Konsentrasi, Viabilitas Spermatofor dan Karakteristik Morfologi Spermatozoa Kepiting Bakau Merah (Scylla olivacea Herbest 1796 ) Asal Jawa, Sulawesi dan Papua

(1)

KONSENTRASI, VIABILITAS SPERMATOFOR DAN

KARAKTERISTIK MORFOLOGI SPERMATOZOA

KEPITING BAKAU MERAH (Scylla olivacea

HERBEST 1796

)

ASAL JAWA, SULAWESI DAN PAPUA

NURIL FARIZAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Konsentrasi,Viabilitas Spermatofor dan Karakteristik Morfologi Spermatozoa Kepiting Bakau Merah

(Scylla olivacea Herbest 1796) Asal Jawa, Sulawesi dan Papua adalah karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 11 Agustus 2009

Nuril Farizah NRP: B351060051


(3)

iii

ABSTRACT

NURIL FARIZAH. Concentration, Viability Of Spermatophores And Morphology Characteristic Of Mud Crab Spermatozoa (Scylla Olivacea Herbest 1796 ) From Java, Celebes and Papua. Under Direction of ARIEF BOEDIONO and R. IIS ARIFIANTINI

Mud crab (Scylla olivacea) is fishery commodity posses a high economic value in Indo-Pacific region. Market supply depends on the seasons, so the continuity product is not available in all years. It effect the aquaculture development of mud crab. The successful of hatchery have influenced by broodstock quality, including the role of male broodstock. The research aim to study the biology reproduction of male mud crab from three locations (Java, Celebes, and Papua). Studies were conducted based on the macro and micro morphology of male reproduction characteristics. The result obtained, that carapace size, weight and color of Scylla olivacea in Java (6.8 ± 0.8 and 10.0 ± 1.0 mm), weight (208.1 ± 59.7 g) and color of body is green to brown. Sample from Celebes (8.4 ± 0.6 and 11.9 ± 0.9 mm), weight (486.9 ± 100.6 g), and Papua (8.9 ± 0.5 and 12.3 ± 0.8 mm), weight (566.3 ± 138.1 g) with color of body is green to red. The weight of testes is 0.8 ± 0.5 g with GSI; 0.06 - 0.82 %, for Java. Celebes, testes weight is 1.9 ± 0.8 g with GSI; 0.12 - 0.72 % and for sample from Papua showed weight of testes is 2.3 ± 0.9 g with GSI; 0.13 – 1.07%. Scylla olivacea is produce simple spermatophores and have aflagellate spermatozoa and non-motile.


(4)

iv

RINGKASAN

NURIL FARIZAH. Konsentrasi, Viabilitas Spermatofor dan Karakteristik Morfologi Spermatozoa Kepiting Bakau Merah ( Scylla olivacea Herbest 1796 ) Asal Jawa, Sulawesi dan Papua. Dibimbing oleh ARIEF BOEDIONO dan R. IIS ARIFIANTINI.

Kepiting bakau merah (Scylla olivacea) merupakan salah satu dari ke empat spesies kepiting bakau di dunia. Kepiting ini memiliki keunggulan dari ketiga spesies kepiting lainnya, yakni proses reproduksinya lebih singkat dan dapat bertahan hidup dalam kondisi ekstrim. Usaha pembenihan yang dilakukan belum memberikan hasil yang maksimal karena survival rate dari benih yang dihasilkan masih sangat rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh penyediaan indukan yang berkualitas rendah sehingga berdampak pada kualitas benih yang dihasilkan. Keberhasilan kegiatan pembenihan dipengaruhi oleh kualitas induk, yaitu induk yang memiliki sel telur atau sel spermatozoa berkualitas baik. Informasi mengenai induk betina maupun jantan yang ideal untuk kegiatan pembenihan kepiting bakau masih sangat minim. Induk jantan yang berkualitas tinggi adalah induk jantan yang memiliki jumlah dan viabilitas spermatozoa yang tinggi, sehingga mempengaruhi keberhasilan dalam fertilisasi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan mengkaji performans reproduksi kepiting bakau merah jantan (Scylla olivacea) pada daerah Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Papua Barat. Performans reproduksi yang dikaji, meliputi; konsentrasi, viabilitas spermatofor dan karakteristik morfologi spermatozoa.

Studi yang dilakukan berdasarkan pengamatan morfologi secara makro dan mikro dari karakteristik reproduksi jantan kepiting bakau merah (Scylla

olivacea). Hasil yang diperoleh menunjukkan tiap daerah memiliki performans

reproduksi yang berbeda hal ini diduga karena perbedaan lokasi yang mempengaruhinya. Untuk ukuran karapas, bobot tubuh dan warna tubuh dari

Scylla olivacea asal Jawa (6.8 ± 0.8 dan 10.0 ± 1.0 mm), bobot tubuh (208.1 ±

59.7 g) dan warna tubuh hijau kecoklatan sampai kemerahan. Sampel dari Sulawesi memiliki ukuran karapas (8.4 ± 0.6 dan 11.9 ± 0.9 mm), dan bobot tubuh (486.9 ± 100.6 g), untuk sampel Papua memiliki ukuran karapas (8.9 ± 0.5 dan 12.3 ± 0.8 mm), bobot badan (566.3 ± 138.1 g) dengan warna tubuh yang agak kemerahaan. Bobot dari testis adalah 0.8 ± 0.5 g dengan GSI; 0.06 - 0.82 %, untuk Jawa. Sampel Sulawesi, bobot testes adalah 1.9 ± 0.8 g dengan GSI; 0.12 - 0.72 % dan untuk sampel dari Papua menunjukkan bobot testes 2.3 ± 0.9 g dengan GSI; 0.13 – 1.07 %.

Konsentrasi spermatofor per individu menunjukkan nilai regresi yang berbeda, untuk daerah Jawa Barat dengan nilai regresi y = 0.016x4 - 0.591x3 + 6.717x2 - 26.3x + 46.04 dengan nilai koefesien determinasi (R²) sebesar 0.357, diikuti oleh sampel dari Sulawesi Selatan dengan nilai regresi y = 0.002x5 - 0.085x4 + 1.151x3 - 5.530x2 + 3.304x + 39.34 dengan koefesien determinasi (R²) adalah 0.335, untuk Papua Barat nilai regresinya, y = 0.004x5 - 0.177x4 + 2.852x3 - 20.01x2 + 56.77x - 20.82 dengan R² = 0.218, menunjukkan persamaan regresi nonlinear. Sedangkan untuk konsentrasi spermatofor dari Scylla olivacea yang tertinggi diperoleh dari sampel Papua Barat yang memiliki nilai kisaran


(5)

v konsentrasi spermatofor dari 7.37 x 10 ³ - 61.63 x 10 ³, kemudian diikuti sampel dari Jawa Barat 1.67 x 10 ³ - 52. 40 x 10 ³ dan Sulawesi Selatan 5.53 x 10 ³ - 45.13 x 10³.

Hasil preservasi spermatofor yang diperoleh dari ketiga lokasi pengambilan sampel, menunjukkan adanya penurunan viabilitas spermatofor seiring dengan waktu preservasi atau penyimpanan spermatofor. Diameter spermatofor sangat bervariasi baik antar sampel, antar individu maupun antar lokasi pengambilan sampel. Spermatofor Scylla olivacea asal Jawa Barat, menunjukkan diameter terkecil 33.75µm dan terbesar 210µm dengan distribusi spermatofor terpusat pada ukuran diameter ≤ 50 sampai dengan ≤ 150µm dan ukuran spermatofor yang paling banyak ditemukan adalah 72.5µm sampai dengan 120µm. Spermatofor dari Scylla olivacea asal Sulawesi Selatan, menunjukkan diameter yang lebih kecil yaitu 18.75µm dan spermatofor terbesar 362.5µm. Distribusi spermatofor pada sampel dari Sulawesi, yaitu terpusat pada ukuran diameter ≤ 50 sampai dengan ≤ 250µm. Jumlah diameter yang paling banyak ditemukan antara 87.5µm sampai dengan 125µm. Diameter spermatofor

Scylla olivacea asal Papua Barat, menunjukkan diameter terkecil 45µm tetapi

spermatofor terbesar hanya 277.5µm, range nilai diameter spermatofor yang sama dengan sampel dari Sulawesi yaitu terpusat pada diameter ≤ 50 sampai dengan ≤ 250µm. diameter spermatofor yang paling sering ditemukan adalah 92.5µm – 152.5µm, lebih tinggi kisarannya dari sampel asal Jawa dan Sulawesi.

Konsentrasi spermatozoa per spermatofor Scylla olivacea menunjukkan nilai yang signifikan, jumlah spermatozoa meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran diameter spermatofor. Untuk spermatopor dengan diameter (40-70) μm, diperoleh konsentrasi spermatozoa per spermatopor ; 6.67 x 10⁶, kisaran diameter spermatopor (70-100)μm, diperoleh konsentrasi spermatozoa 10.12 x 10⁶, kisaran diameter spermatopor (100-130)μm, diperoleh konsentrasi 15.96 x 10⁶, kisaran diameter spermatopor (130-160) μm, diperoleh konsentrasi 15.88 x 10⁶ dan kisaran diameter spermatopor (160-190) μm, diperoleh konsentrasi spermatozoa 16.14 x 10⁶. Scylla olivacea menghasilkan spermatofor tunggal dan terpisah satu sama yang lain berada dalam medium cair dari seminal plasma. Memiliki spermatozoa yang berflagela dan tidak bergerak.


(6)

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk

kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan

laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan

tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya

tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

vii

KONSENTRASI, VIABILITAS SPERMATOFOR DAN

KARAKTERISTIK MORFOLOGI SPERMATOZOA

KEPITING BAKAU MERAH (Scylla olivacea

HERBEST 1796

)

ASAL JAWA, SULAWESI DAN PAPUA

NURIL FARIZAH

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

viii Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Yushinta Fujaya, M.Si


(9)

ix Judul Tesis : Konsentrasi, Viabilitas Spermatofor dan Karakteristik

Morfologi Spermatozoa Kepiting Bakau Merah

(Scylla olivacea Herbest 1796 ) Asal Jawa, Sulawesi

dan Papua

Nama : Nuril Farizah

N R P : B351060051

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Arief Boediono Dr.Dra. R. Iis Arifiantini, M.Si Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Biologi Reproduksi

Dr. drh. Iman Supriatna Prof.Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 11 Agustus 2009 Tanggal Lulus :


(10)

x

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil Alamin, Tiada kata yang paling tulus

dipersembahkan kepada Allah SWT. atas rahmat dan hidayah serta kasih sayang-Nya sehingga tesis dengan judul ‘Konsentrasi, Viabilitas Spermatofor dan Karakteristik Morfologi Spermatozoa Kepiting Bakau Merah (Scylla olivacea Herbest 1796 ) Asal Jawa, Sulawesi dan Papua’dapat diselesaikan. Salam serta shalawat senantiasa dituturkan untuk Baginda Rasullullah S.A.W, pembawa rahmat bagi semua makhluk.

Tesis ini berisikan tentang kajian biologi reproduksi kepiting bakau yang dihubungan dengan performans reproduksinya. Hasil dari penelitian ini nantinya akan menjadi informasi dasar mengenai calon indukan jantan yang baik untuk digunakan dalam kegiatan pembenihan. Kendala dan permasalahan dari awal sampai akhir penelitian dan penulisan, dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan, dukungan, dorongan dan kerjasama dari semua pihak yang telah membantu hingga berakhirnya semua kegiatan penelitian.

Terima kasih dan penghargaan besar penulis ucapkan kepada:

1. Dosen pembimbing : Bapak Prof. Dr. drh. Arief Boediono dan Ibu Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, M.Si, disela kesibukannya bersedia meluangkan waktu dalam membimbing dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Prof. Dr. Yushinta Fujaya, M.Si, yang membantu membimbing dalam penulisan tesis ini.

3. Program Mitra Bahari-Coral reef Management Program II (PMB-COREMAP II) Tahun 2008, atas beasiswa bantuan penulisan tesis Tahun 2008. Pemerintah Provinsi Kaltim atas bantuan stimulan penulisan tesis tahun 2008 dan Pemerintah Kotamadya Samarinda atas bantuan beasiswa tahun 2007.

4. drh. Wahono Esthi P, M.Si, Nurmila Anwar, S.Pi, M.Si, Nur Alam, S.Pi, Ari Nurhayati, S.Pt atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian. Teman-teman di Twin House yang selalu memberikan dukungannya.


(11)

xi 5. Serta tidak lupa juga pada rekan-rekan P.S. BRP 2004-2008 serta rekan-rekan P.S. SVT 2006 atas masukan dan dukungannya, sehingga memudahkan penulisan tesis ini.

Akhir kata, semoga tesis ini dapat berguna dalam rangka pengembangan budidaya perikanan khususnya pembenihan kepiting bakau.

Bogor, 11 Agustus 2009


(12)

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Samarinda Kalimantan Timur pada tanggal 03 September 1981, dari Ayahanda H. Dhamrah Bakrie, BA dan Ibunda Hj. Siti Normasyam. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara.

Tahun 2000 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Samarinda dan pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di program Budidaya Perairan (BDP), Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar dan selesai pada tahun 2005 dengan gelar Sarjana Perikanan.

Selama mengikuti perkuliahan di Universitas Hasanuddin, pernah aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, baik yang bersifat intern sebagai Anggota dalam lingkup Keluarga Mahasiswa Perikanan (KEMAPI) UNHAS di jurusan perikanan, maupun yang bersifat eksternal, diantara yang pernah aktif di ikuti adalah Anggota Aquatic Study Club Makassar (ASCM) (2001-2005), Anggota Rohis Perikanan Unhas (2001-2004). Dibidang akademik penulis, sebagai asisten mata kuliah Histologi (2004/2005), asisten mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Tanah (2003/2004).


(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL...xvi

PENDAHULUAN Latar belakang... 1

Kerangka pemikiran ... 3

Pendekatan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Hipotesis... 4

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi, dan Anatomi Scylla olivacea... 5

Penyebaran dan Habitat... 6

Siklus Hidup... 6

Sistem Reproduksi Kepiting Bakau Merah Jantan... 7

Testes ... 9

Vas Deferen ... 9

Spermatofor... 10

Spermatozoa ... 11

Fisiologi dan Perkembangan Gonad... 12Mekanisme Hormonal pada Individu ... 12

Fase-Fase Reproduksi... 13

Kopulasi... 14

Perkembangan Gonad ... 14

Proses Spermatogenesis pada Kepiting ... 16

Tahap Spermatogonia ... 17

Tahap Spermatosit Primer ... 18

Tahap Reduksi... 19

Tahap Spermatosit Sekunder ... 20

Transformasi dari Spermatid menjadi Spermatozoa... 21

Pengeluaran dari Spermatozoa Matang ... 22


(14)

xiv MATERI DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat ... 28

Prosedur Penelitian ... 28

Sampling Hewan Uji ... 28

Koleksi Testes dan Penghitungan Kons. Spermatofor... 29

Pengukuran Diameter dan Koleksi Spermatofor... 29

Penghitungan Jumlah Spermatozoa per Spermatofor ... 30

Preservasi Spermatofor ... 30

Pengamatan Struktur & Morfologi Spermatofor dan Spermatozoa dengan SEM ... 30

Rancangan Penelitian dan Analisis Data... 30

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Kepiting Bakau Merah Jantan... 31

Konsentrasi Spermatofor Kepiting Bakau Merah ... 37

Preservasi Spermatofor Kepiting Bakau Maerah ... 39

Kisaran Diameter Spermatofor ... 41

Konsentrasi Spermatozoa Dihubungkan dengan Ukuran Spermatofor .. 43

Morfologi Spermatofor dan Spermatozoa... 45

PEMBAHASAN UMUM ... 47

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 51

Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52


(15)

xv DAFTAR GAMBAR

Halam

an

1.Perbedaan morfologi dari keempat spesies Scylla spp……… 5

2.Siklus hidup kepiting bakau (Scylla spp)... 7

3.Sistem reproduksi kepiting jantan secara umum………. 8

4.Anatomi organ kelamin jantan kepiting bakau (Scylla spp)... 8

5. Spermatofor dari kelas crustacea... 10

6. Morfologi umum spermatozoa kepiting... 11

7. Kontrol endokrin pada reproduksi jantan... 13

8. Gambaran histologi testis kepiting Telmessus cheiragonus……… 16

9.Tahap spermatogonia pada kepiting... 23

10.Tahap spermatosit primer pada kepiting... 24

11.Tahap spermatosit sekunder pada kepiting... 25

12.Transformasi spermatid menjadi spermatozoa... 26

13.Karakteristik umum S. olivacea asal Jawa, Sulawesi dan Papua…… 31

14.Ciri karakteristik Scylla olivacea………. 32

15.Konsentrasi spermatofor per individu Scylla olivacea... 36

16. Kisaran diameter spermatofor asal Jawa Scylla olivacea... 36

17. Kisaran diameter spermatofor asal Sulawesi Scylla olivacea.... 37

18. Kisaran diameter spermatofor asal Papua Scylla olivacea... 38

19. Morfologi spermatofor dan spermatozoa S. olivacea dengan SEM.... 40

20. Sistem reproduksi Scylla olivácea……… 41

21. Ruas abdomen dan alat kopulasi dari Scylla olivácea………. 42

22. Berbagai ukuran dan bentuk spermatofor dari Scylla olivácea……… 43


(16)

xvi DAFTAR TABEL

Halam

an

1. Aktivitas reproduksi kepiting bakau Scylla spp ...14

2. Karakteristik umum Scylla olivacea jantan...32

3. Rataan konsentrasi spermatozoa per spermatofor S. olivacea...39

DAFTAR LAMPIRAN Halam an 1. Prosedur pembuatan larutan pembilas testes...57

2. Komposisi larutan medium spermatofor dan spermatozoa...58

3. Prosedur SEM dari spermatozoa kepiting bakau merah ...59


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kepiting bakau adalah komoditas perikanan pantai yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi di wilayah Indo-Pasifik dan banyak digemari masyarakat karena rasanya lezat dan kandungan gizinya yang cukup tinggi (Kasri 1982).

Kepiting bakau merah (Scylla olivacea) merupakan salah satu dari ke empat

spesies kepiting bakau di dunia (Keenan 1999). Kepiting bakau merah ini memiliki keunggulan dari ketiga spesies kepiting lainnya, yakni proses reproduksi dari kepiting ini lebih singkat (lebih cepat bertelur) dan dapat bertahan hidup dalam kondisi yang ekstrim kekurangan air.

Permintaan pasar yang terus meningkat, telah menjadikan komoditas ini

sebagai salah satu andalan ekspor non migas. Selama ini permintaan pasar akan

kepiting bakau sebagian besar masih dipenuhi dari hasil penangkapan di alam yang jumlahnya terbatas dan sangat bergantung kepada musim sehingga kontinuitas produksi tidak dapat dipertahankan sepanjang tahun. Hal ini berimbas pada tuntutan yang mendesak untuk pengembangan budidaya kepiting bakau (Karim et al. 2002).

Upaya budidaya mulai dari pembenihan (Rustam 1989), pembesaran (Sulaeman & Hanafi 1992), penggemukan, pematangan gonad untuk betina bertelur (Gunarto 1990; Fattah 1998; Fujaya 2004) yang memiliki nilai jual tinggi di luar serta dikembangkannya budidaya kepiting lunak (soft shelled) yang memiliki prospek cerah (Fujaya 2007). Namun semua kegiatan budidaya tersebut sebagian besar masih mengandalkan bibit yang berasal dari alam, yang kita ketahui sekarang jumlahnya sudah berkurang. Hal ini disebabkan oleh kegiatan eksploitasi (penangkapan) di alam serta terjadinya pengerusakan pada habitat asli dari kepiting bakau. Aktivitas manusia yang mengeksploitasi hutan mangrove tanpa terkendali, antara lain; penebangan untuk pemukiman, areal budidaya dan lain-lainya.

Saat ini upaya pembenihan yang dilakukan belum juga memberikan hasil yang maksimal karena survival rate dari benih yang dihasilkan masih sangat rendah (Smullen 1997; Mann et al. 1999; Zeng et al. 1999; Le Vay et al. 2005).


(18)

2 Hal ini mungkin disebabkan oleh penyediaan indukan yang berkualitas rendah sehingga berdampak pada kualitas benih yang dihasilkan. Keberhasilan kegiatan pembenihan dipengaruhi oleh kualitas induk, yaitu induk yang memiliki sel telur atau sel spermatozoa berkualitas baik (Fujaya 2007). Beberapa penelitian yang telah dilaporkan lebih banyak mengarah pada induk betina yang bisa menghasilkan kualitas telur yang baik (Fattah 1998; Jalil 1999), tetapi penelitian mengenai kualitas induk betina dan sel telur yang baik juga belum banyak dilakukan sedangkan kualitas benih yang baik bukan hanya tergantung pada induk betina tetapi juga pada induk jantan.

Induk jantan yang berkualitas tinggi adalah induk jantan yang memiliki jumlah dan viabilitas spermatozoa yang tinggi, sehingga mempengaruhi

keberhasilan dalam pembuahan (fertilisasi) yang tinggi (Akarasanon et al. 2004).

Sampai saat ini informasi mengenai induk jantan kepiting bakau merah yang baik sangat terbatas, karena penelitian yang berkaitan dengan spermatozoa dan sistem reproduksi jantan kepiting bakau masih sedikit dilakukan (Bhavanishankar & Subramoniam 1997).

Daerah migrasi kepiting bakau tidak luas, sehingga diperkirakankepiting

bakau dari suatu daerah dengan daerah yang lainnya memiliki kualitas berbeda, hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan, sumber makanan yang tersedia

dan lainnya. Performans reproduksi pada golongan krustacea dipengaruhi

berbagai faktor, yaitu ; faktor lingkungan, makanan, dan hormonal (Sulaeman 1992).

Faktor lingkungan, tempat dimana spesies itu hidup berkaitan pula dengan distribusi makanannya. Selain itu faktor hormonal juga memegang peran penting dalam suatu siklus reproduksi. Faktor hormonal juga berkaitan dengan lingkungan, jika lingkungan kurang mendukung akan memberikan tekanan pada individu tersebut sehingga proses reproduksi yang biasanya terjadi mengalami gangguan atau berhenti sama sekali, ini berkaitan dengan sistem endokrin

(Pickering et al. 1987; Pankhurst & Dedual 1994; Haddy & Pankhurst 1999;

Barton 2002). Indonesia terdiri atas tiga paparan dasar laut yaitu; Jawa terletak pada paparan Sunda, Papua terletak pada paparan Sahul, dan Sulawesi terletak pada kawasan Wallacea. Secara alami kepiting bakau tidak dapat menyeberangi


(19)

3 paparan yang satu dengan lainnya, karena dibatasi oleh palung laut yang dalam. Pemilihan tiga daerah di Indonesia yakni: Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Papua Barat diasumsikan bahwa ketiga daerah tersebut mewakili Indonesia. Dengan demikian diduga kepiting dari ketiga daerah tersebut memiliki performans reproduksi berbeda, sehingga penelitian ini bertujuan mengkaji performans reproduksi kepiting bakau merah jantan (Scylla olivacea) pada daerah Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Papua Barat.

Kerangka Pemikiran

Kegiatan pembenihan pada kepiting bakau, khusus kepiting bakau merah (Scylla olivacea) belum optimal. Fekunditas, hatcing rate, dan survival rate larva serta anakan yang dihasilkan masih rendah. Kualitas indukan yang digunakan dalam kegiatan pembenihan belum memenuhi standar. Penyediaan dan penggunaan indukan yang berkualitas masih disuplai dari alam, jadi diperlukan informasi mengenai induk yang berkualitas tinggi. Sehingga usaha pembenihan dapat optimal dari segi kualitas telur dan spermatozoa, khususnya untuk induk jantan berpotensi sebagai indukan yang memiliki kualitas spermatozoa baik. Penyediaan induk jantan yang berkualitas memegang peran penting dalam kegiatan pembenihan selain induk betina. Penelitian yang berkaitan dengan spermatozoa dan sistem reproduksi jantan kepiting bakau masih sedikit dilakukan.

Pendekatan masalah dalam mengatasi hal tersebut diatas adalah mencari informasi sumber induk jantan berkualitas tinggi dari beberapa daerah. Kualitas induk jantan kepiting bakau yang baik dapat diduga berdasarkan morfologi makro dan mikro dari karakteristik reproduksi jantan; ukuran karapas dan bobot tubuh, ukuran dan jumlah spermatofor yang diproduksi oleh setiap pejantan, jumlah spermatozoa dalam setiap spermatofor, viabilitas spermatozoa, normal dan abnormalitas spermatozoa. Sehingga memberikan informasi dasar (database)

untuk induk jantan yang berkualitas baik. Oleh karena itu, diperlukan penelitian

yang berkaitan dengan kepiting bakau merah jantan. Mengkaji performans reproduksi kepiting bakau merah jantan yang berasal dari beberapa lokasi


(20)

4 jantan kepiting bakau merah berkualitas tinggi. Parameter lain yang dapat

digunakan sebagai indikator mutu induk jantan adalah hatching rate, survival

rate, laju perkembangan dan pertumbuhan namun demikian parameter ini selain dipengaruhi oleh jantan juga dipengaruhi oleh betina.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengkaji performans reproduksi kepiting bakau merah jantan (Scylla olivacea) pada daerah Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Papua Barat. Performans reproduksi yang dikaji, meliputi; konsentrasi, viabilitas spermatofor dan karakteristik morfologi spermatozoa. Data ini akan digunakan sebagai informasi dasar (database) mengenai induk jantan yang berkualitas dan bermutu tinggi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sumber calon induk kepiting bakau merah yang lebih baik untuk digunakan dalam pembenihan secara buatan di hatchery. Selain itu, menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya reproduksi kepiting bakau jantan.

Hipotesis

1. Perbedaan ukuran tubuh (panjang dan lebar karapas) dan bobot tubuh

tidak berpengaruh pada tingkat kematangan gonad pada individu jantan kepiting bakau merah (Scylla olivacea).

2. Gonad stomatik indeks (GSI) berpengaruh pada konsentrasi spermatofor.

3. Spermatofor yang berukuran besar diduga menyimpan jumlah atau masa

spermatozoa lebih banyak dibandingkan dengan spermatofor berukuran sedang atau kecil.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi, Morfologi, dan Anatomi Scylla olivacea

Berdasarkan faktor ekologi dan faktor fisik perkembangan larva dari kepiting bakau, diklasifikasikan ke dalam filum Arthropoda, sub filum

Mandibula, kelas Crustacea, sub kelas Malacostraca, super ordo Eucarida, ordo

Decapoda, sub ordo Reptantia, seksi Brachyura, sub seksi Branchyrhyncha,

famili Portuninae, genus Scylla dan spesies Scylla serrata, Scylla tranquebarica

dan Scylla ocenica (Joel & Raj 1983; Stephenson & Champbell 1960 dalam

Watanabe et al. 2001). Lebih lanjut menurut Keenan et al. 1999, bahwa berdasarkan perbedaan sifat morfologi dan ekologi kepiting bakau yang hidup di alam terdiri atas empat spesies yaitu ; Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla

paramamosain, dan Scylla olivacea. Keempat jenis kepiting ini memiliki

perbedaan pada bentuk morfologinya, yakni pada bentuk duri antara mata dan kehadiran duri pada korpus (Gambar 1)

Gambar 1 Perbedaan morfologi dari keempat spesies Scylla (Keenan et al. 1999)

Scylla tranquabarica Scylla olivacea


(22)

6 Bentuk badan kepiting secara umum adalah badan yang pendek dengan abdomen yang tereduksi. Badan yang pendek diakibatkan oleh fusi antara kepala dan torak membentuk cefalotorak dan ditutupi oleh karapas. Sedangkan abdomen tereduksi menjadi tipis, rata dan terlipat dibawah cefalotorak. Oleh sebab itu, kepiting dinamakan brachyuna atau ekor pendek (Garth & Abbott 1980). Kepiting bakau ditutupi oleh karapas yaitu kulit yang terdiri atas kitin bercampur bahan kapur yang telah mengeras. Karapas berbentuk bulat pipih, dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain terdapat diantara kedua matanya. Mempunyai sepasang kaki jalan yang bentuknya besar disebut capit yang berfungsi untuk memegang, tiga pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung (Karim 1998 ).

Penyebaran dan Habitat

Scylla olivacea hidup pada berbagai habitat dan sebagian besar hidup di

laut, sebagian hidup di perairan bakau atau di estuari. Pada masa juvenil sampai menjelang dewasa atau dewasa, kepiting hidup di pantai, muara-muara sungai dan hutan bakau dengan cara membuat lubang (Kasry 1986). Sebagian besar siklus hidup kepiting bakau dilalui di sekitar muara sungai dan hutan bakau (Sulaeman & Hanafi 1992). Kemampuannya yang tinggi untuk beradaptasi pada perubahan kualitas air seperti salinitas, menyebabkan kepiting sering dijumpai di sungai yang jauh dari laut dengan salinitas rendah (sekitar 5 ppt). Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan bakau, selanjutnya kepiting betina beruaya ke laut untuk memijah dan kepiting jantan tetap di perairan hutan bakau atau muara sungai (Hill 1979).

Siklus Hidup

Kepiting bakau betina yang matang kelamin akan beruaya dari perairan pantai ke perairan laut untuk memijah (Brick 1974). Kemudian kepiting bakau betina dan anak-anaknya tersebut akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan hutan bakau untuk berlindung, mencari makanan atau membesarkan anaknya. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau


(23)

7 telah dewasa berada di perairan bakau, di tambak atau disela-sela akar bakau atau paling jauh sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang makanannya melimpah. Mosa et al. (1985), menyatakan bahwa kepiting bakau mengalami beberapa tingkatan perkembangan mulai telur sampai dewasa.

Tingkat perkembangan tersebut dimulai dari telur, zoea, megalopa, kepiting muda dan kepiting dewasa. Telur yang telah dibuahi menetas dalam waktu 2-4 minggu menjadi larva dengan lima tingkatan zoea dan satu megalopa. Larva tersebut akan terbawa arus ke pantai. Hill (1974) menemukan bahwa larva kepiting bakau tahap zoea I tidak dapat mentolerin salinitas dibawah 14 ppt. Setelah tahap zoea, perkembangan selanjutnya adalah megalopa. Megalopa akan berenang dan masuk kembali ke muara sungai atau mangrove untuk mencari makanan dan perlindungan. Selanjutnya megalopa akan berkembang menjadi kepiting bakau muda yang bersifat bentik kemudian menjadi dewasa. Siklus hidup kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Siklus Hidup Kepiting Bakau (Scylla spp) Modifikasi Kanna (2000)

Sistem Reproduksi Kepiting Bakau Jantan

Kepiting merupakan organisme dioecious, artinya mempunyai jenis kelamin jantan dan betina pada individu yang berbeda. Berdasarkan struktur organ reproduksinya kepiting bakau tergolong kepiting yang melakukan internal

fertilization (pembuahan di dalam). Sistem reproduksi pada jantan terdiri atas

testis, saluran spermatozoa, dan alat ejakulasi. Sedangkan pada reproduksi kepiting betina terdiri atas ovarium, saluran telur, dan spermateka. Perbedaan


(24)

8 kepiting jantan dan betina adalah pada ruas-ruas abdomennya. Untuk jantan memiliki ruas-ruas abdomen yang lebih sempit dibandingkan dengan betina yang memiliki ruas-ruas abdomen yang lebar dan membulat (Mossa et al. 1985). Kepiting betina memiliki empat pasang pleopod yang digunakan untuk membawa telur selama musim reproduksi sedangkan jantan hanya memiliki dua pasang pleopod yang digunakan sebagai organ kopulasi.

Gambar 3 Skema dari Sistem Reproduksi Kepiting Jantan Secara Umum. Anterior Testis (AT) bergabung dengan Commissure (C),Posterior Testis (PT), Ekspansi (EX) dan Posterior Vas Deferens (PV)

Gambar 4 Anatomi Organ Kelamin Jantan Kepiting Bakau (Scylla sp)

Sistem reproduksi kepiting jantan secara umum terdiri atas testis, saluran spermatozoa, dan alat ejakulasi (Gambar 3). Kepiting bakau jantan memiliki ruas-ruas abdomen yang lebih sempit dibandingkan dengan betina, dua pasang pleopod yang digunakan sebagai organ kopulasi (Gambar 4).


(25)

9

Testes

Susunan sistem reproduksi kepiting bakau jantan dari Scylla spp, terdapat dibawah cefalotorak. Terdiri dari sepasang testes dan vas deferen sama halnya dengan sistem reproduksi yang telah digambarkan untuk ordo

Decapoda secara umum. Organ reproduksi jantan pada sub kelas

Malacostraca, ditemukan dalam cefalotorak atau torak (Krol et al. 1992).

Saluran reproduksi jantan pada beberapa Decapoda, terdiri dari sepasang testis dan saluran genital (Johnson, 1980 pada C. Sapidus &Leite, 2002 pada U.

Cordatus). Tiap saluran genital terdiri dari suatu kumpulan pipa, bagian vas

deferen, dan suatu saluran ejakulator yang berakhir dalam seminal vesicle atau suatu ampoule terminal, bergantung pada masing-masing spesies (Krol et al. 1992).

Vas Deferen

Bagian vas deferen dari Scylla olivacea terdiri dari dua bagian utama secara umum seperti halnya pada Decapoda lainnya, namun tidak selalu sama bergantung spesies. Pada kasus lainnya, vas deferen pada L. emarginata (Hinsch & Walker 1974), C. sapidus (Johnson 1980), dan T. orientalis (Burton 1995) membagi vas deferen menjadi tiga bagian, sedangkan pada S. chacei (Hinsch & Mcknight 1988), vas deferen terbagi menjadi empat bagian dan pada

D. pugilator (Manjon-Cabeza & Evenness 2000) vas deferen terbagi menjadi

delapan bagian. Kriteria perbedaannya ditentukan secara mikroskopis dan makroskopis bergantung spesies.

Binford (1913), menggambarkan struktur dari vas deferen berupa garis lurus dengan epithelium kolumnar yang mensekresikan bahan kimia yang diperlukan untuk menghasilkan dinding dari spermatofor. Cronin (1947) meneliti bahwa kebanyakan bagian anterior dari vas deferen berperan dalam pengeluaran bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk membungkus dan penyimpanan spermatofor. Hinsch dan Mcknight (1988) juga memberikan pernyataan pada pembentukan awal dari spermatofor dan produksi cairan seminal terjadi di bagian anterior dari vas deferen. Namun menurut Marie (1999) bahwa sel sperma meninggalkan testes dan memasuki vas deferen untuk berkembang sepenuhnya menjadi spermatozoa, tetapi diduga beberapa sel spermatozoa


(26)

10 menyelesaikan pematangan mereka di dalam spermateka. Sedangkan penelitian pada cairan seminal plasma dari crustacea menunjukkan bahwa seminal plasma beberapa spesies antara lain; Cirripede (Barnes 1962) dan kepiting (Jeyalectumie & Subramoniam 1987) memiliki kesamaan dengan semen dari mamalia.

Spermatofor

Kepiting atau Brachyuran menghasilkan spermatofor tunggal yang berada dalam medium cair dari seminal plasma (Jeyalectumie & Subramoniam 1997). Spermatofor crustacea memiliki bentuk yang bervariasi (Gambar 5), namun pengetahuan mengenai komposisi kimiawi dari spermatofor sangat sedikit. Beberapa peneliti memberikan pernyataan bahwa dinding dari spermatofor tersusun dari kitin (Spalding 1942; King 1948).

Uma dan Subramoniam (1979) tidak menemukan kitin pada Brachyuran, kepiting bakau Scylla serrata. Sedangkan spermatofor yang terdapat dalam individu betina pada crustacea laut, pada membran spermatozoanya terdapat kantung yang melekat, diduga mengandung gelatin kental (Berry & Heydorn 1970). Walaupun begitu ada beberapa substrat pada selaput membran dari spermatozoa dalam transport spermatozoa, namun komposisi kimianya belum diketahui (Subramoniam 1984).

Gambar 5 Spermatofor dari C. quadricarinatus A: Gambar secara umum dari

spermatofor (stained with Masson-Trichrome; bar: 286 μm). B: Gambaran

detail dari spermatofor (stained with Masson-Trichrome; bar: 26 μm).CD:

cytoplasmic droplets; M: matrix; PL: primary layer dari spermatofor; SF: spermatofor (Greco & Nostro 2007)


(27)

11 Spermatofor yang baik ditunjukkan dengan jumlah spermatozoa yang tinggi di dalamnya. Spermatofor memelihara kemampuan fertilisasi spermatozoa yang sudah pasti mengarah pada tingginya angka pembuahan yang tinggi, berdampak, pada kesempatan yang tinggi bagi embrio untuk bertahan hidup, menetas dan hidup sebagai larva (Akarasanon et al. 2004).

Spermatozoa

Spermatozoa dari crustacea (udang dan kepiting), memiliki suatu

flagelate, tidak memiliki midpiece, dan tidak bergerak (non-motile), serta

berbagai macam bentuknya. Spermatozoa dari Natant (udang) bentuknya seperti paku tunggal, sebaliknya pada spermatozoa Decapoda Reptalia (kepiting) dalam bentuk multistellate (Gambar 6).

Gambar 6 Morfologi umum spermatozoa kepiting, keterangan gambar : AC (apical

cap); AM (akrosomal membran); AT (akrosomal tubule); C (sentriole); CR

(convex ring); CYR(cytoplasmic region); DR (ditch ring); FL (fibrous

layer); LS (lamellar structure); M (mitochondria); MC (membrane

complex); ML (middle layer); N (nucleus); NM. (nuclear membrane);

PM.(plasma membrane); PO (percutor organ); RA. (radial arm); SZ

(subcap zone); TR (thickened ring) (Shan et al. 1999).

Spermatozoa dari Echinodermata, Mollusca, Polychaetes dan Crustacea menunjukkan variasi yang besar dalam morfologi spermatozoanya, dan semua

Crustacea memiliki akrosom yang khas (Qamieson et al. 1995; Gwo et al. ;

1996, 1997, 2000). Akrosom terletak pada bagian anterior dari kepala spermatozoa lebih rendah dari membran plasma. Akrosom mengandung enzim yang berfungsi dalam exocytosis dan penetrasi spermatozoa ke telur selama pembuahan. Spermatozoa harus melalui reaksi akrosom yakni; terjadinya


(28)

12 perubahan dalam bagian akrosom sebelum menuju telur dan penetrasi secara ekstraseluler yang membutuhkan waktu (Clark et al. 1981; Jamieson et al. 1995; Gwo et al. 2000). Kelangsungan hidup spermatozoa secara umum dapat diperkirakan dari motilitas spermatozoa tetapi metode evaluasi ini tidak dapat diaplikasikan untuk spermatozoa dari crustacea, Decapoda. Spermatozoa

crustacea, Decapoda tidak bergerak (Clark et al. 1981). Untuk menentukan

kelangsungan hidup dari spermatozoa crustacea menggunakan metode pewarnaan eosin-nigrosin (Jeyalectumie & Subramoniam 1989) atau pewarnaan trypan blue (Bhavanishankar & Subramoniam 1997). Spermatozoa hidup tidak terwarnai, sedangkan sperma mati terwarnai dengan baik. Untuk kelangsungan hidup viabilitas dari spermatozoa Scylla serrata, bervariasi antara 95% - 67% dari suhu -196°C sampai -4°C (Jeyalectumie & Subramoniam 1997). Produksi, kualitas spermatozoa, dan pembentukan spermatofor merupakan variabel penting dalam reproduksi jantan (Leung-Trujillo & Lawrence 1987; Díaz et al. 2001). Pembentukan karbohidrat sebagai substrat utama yang digunakan dalam pemeliharaan spermatozoa sampai didalam spermateka kepiting betina matang gonad (Jeyalectumie 1989).

Fisiologi dan Pertumbuhan Gonad

Seluruh Decapoda termasuk kepiting bakau pada ukuran kepiting muda (juvenil) memiliki gonad yang belum berdiferensiasi, artinya terdapat saluran sperma (vas deferen) dan saluran telur (oviduct) bersama-sama. Perkembangan ke arah jenis kelamin jantan atau betina ditentukan oleh berkembangnya atau tidak berkembangnya kelenjar androgen. Testis dan karakteristik seksual jantan dirangsang oleh hormon androgenik yang disekresikan oleh kelenjar androgen. Sedangkan ovarium akan berkembang apabila tidak adanya kelenjar androgen (Meussy & Payen 1988; Lockwood 1996).

Mekanisme Hormonal pada Individu Jantan

Informasi mengenai peranan hormon dalam pengontrolan proses spermatogenesis pada kepiting bakau masih sedikit, tetapi untuk golongan crustacea secara umum digambarkan peranan dan pengontrolan dari kelenjar androgen terhadap proses spermatogenesis pada individu jantan (Gambar 7).


(29)

13 Gambar 7 Diagram Sistematik dari kontrol endokrin pada reproduksi jantan dalam udang. Keterangan : AH: hormone kelenjar androgenic, MF: methyl

farnesoate, MOIH: mandibular organ-inhibiting hormone (Okumura 2004) Methyl farnesoate merupakan substansi yang memiliki fungsi dalam reproduksi jantan disertai beberapa faktor yang ada dalam system saraf pusat, otak, dan ganglion torak juga berperan dalam memelihara spermatogonia dan perkembangan dari testes. Untuk reproduksi jantan pada udang, hormon kelenjar androgen berperan dalam kontrol differensiasi seksual (Okumura 2004).

Ada dua neurohormon yang berperan dalam siklus kematangan gonad,

Gonad Inhibiting Hormone (GIH), yang dilepaskan dari kelenjar sinus, dan Gonad

Stimulating Hormone (GSH) yang ditemukan pada otak dan ganglion torak kepiting

(Sarojini et al. 1995).

Fase-Fase Reproduksi

Fase – fase reproduksi kepiting dimulai dari kopulasi (transfer spermatofor), perkembangan testes, kopulasi, pembuahan dan penetasan. Aktivitas reproduksi kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel 1.


(30)

14 Tabel 1 Aktivitas Reproduksi Kepiting Bakau

Aktivitas Reproduksi Waktu (hari)

Kopulasi

Proses Perkembangan Testes 30

Telur keluar sampai menetas 17

Kopulasi

Kopulasi hanya terjadi pada kepiting betina dan jantan yang telah dewasa kelamin. Kegiatan kopulasi dilakukan setelah betina berganti kulit sebelum pemijahan. Fermon yang dikeluarkan oleh kepiting betina pada saat ganti kulit mampu menarik kepiting jantan untuk mendekatinya (Primavera 1985; Soim 1994). Setelah karapak betina mulai mengeras, kepiting jantan membalikkan tubuh betina sehingga perut dan alat kelaminnya saling berhadapan dan selanjutnya kepiting jantan akan mentransfer spermatofor kedalam saluran reproduksi betina, yang disebut dengan spermateka dengan bantuan pleopod jantan yang berfungsi sebagai alat kopulasi (Barnes 1987).

Perkembangan Gonad

Tahap perkembangan lobul testikular pada kepiting Telmessus

cheiragonus, dilaporkan oleh Nagoa dan Munehara (2003), yang dibagi menjadi

6 tahapan berdasarkan studi histologi, yaitu : Tahap I: Tahap Proliferasi Spermatogonia

Tahap ini ditunjukkan dalam Gambar 8a, lobul mengandung spermatogonia dengan sitoplasma tipis dan nukleus berbentuk bulat panjang. Terdapat kromatin sekitar membran nuklear. Spermatogonia dalam lobul testikular memperlihatkan mitosis asynchronous. Diameter nuklei dari spermatogonia adalah 9.9 ± 1.3 x 8.0 ± 0.8mm.

Tahap II: Tahap Spermatosit Pertama

Tahap ini ditunjukkan pada Gambar 8b, sel-sel germ dalam lobul testikular selama tahap ini tidak mencapai fase zygoten dari meiosis. Sitoplasma dari spermatosit adalah kental sebagai mana yang terdapat pada spermatogonia, dan


(31)

15 nuklei menunjukkan berbagai bentuk dengan aglutinasi dari kromatin. Diameter dari nuklei sebelum hilangnya membran nuklear adalah 9.4 ± 1.1 x 8.1 ± 0.7 mm. Terjadinya meiosis secara sikronisasi pada tiap lobul individu. Tahap III: Tahap Pembelahan Reduksi (Reduction division stage)

Tahap ini ditunjukkan pada Gambar 8c dan 8d, lobul testikular selama tahap ini termasuk dalam spermatosit pertama setelah fase diploten dari meiosis atau spermatosit sekunder sebelum telofase dari bagian kedua. Pada tahap ini, spermatosit menunjukkan bentuk irregular. Nukleus dari spermatid terlihat seperti bola dengan rata-rata diameter 4.2 ± 0.6 mm.

Tahap VI : Tahap Spermatogenesis

Tahap ini ditunjukkan pada Gambar 8e, spermiogenesis terjadi di dalam lobul testikular. Penampakan kantung akrosomal sekitar nuklei saat spermiogenesis dimulai. Nukleus secara bertahap memanjang pada kantung akrosomal dan berada di sekitar area kantung saat proses spermigenesis sempurna.

Tahap V : Tahap Spermatozoa Bebas

Tahap ini ditunjukkan pada Gambar 8f, spermatozoa terpisah dari sel nutrisi di lapisan lumen dari lobul testikular. Spermatozoa memiliki suatu kantung akrosomal dan nukleus dengan tiga lengan nuklear yang memanjang membentuk jari-jari lingkaran. Sel nutrisi menyerupai sel-sel epitelia dari saluran seminiferus, spermatozoa yang diobservasi dalam lumen serta yang di dalam saluran seminiferus dikelilingi oleh sel nutrisi. Saluran seminiferus dianggap sebagai suatu lobul.

Pada brachyuran, spermatosit berkembang secara sikronisasi pada tiap lobul testikular. Lobul yang paling berkembang adalah pada tahap VI, dimana terdapat banyak spermatozoa bebas (Nagoa dan Munehara 2003).


(32)

16 Gambar 8 Gambaran Histologi dari lobul testikular pada saat tahap perkembangan. (a) Tahap I (spermatogonia proliferation stage). (b) Tahap II (first spermatocyte stage). (c) Tahap III (reduction division stage). (d) Tahap IV (spermatid stage). (e) Tahap V (spermiogenesis stage). (f) Tahap VI (free sperm stage). Bar 50 mm (Nagoa & Munehara 2003).

Proses Spermatogenesis pada Kepiting

Studi histologi pada sistem reproduksi kepiting jantan Callinectes sapidus telah dilaporkan, bahwa testis Brachyuran mengandung sel kelamin selama fase spermatogenesis yang berbeda-beda dari spermatogonia ke spermatozoa. Fluktuasi presentase kehadiran dari sel germ selama fase spermatogenesis ditemukan pada beberapa Brachyuran dan perubahan tersebut berhubungan dengan aktivitas mating (Nagoa dan Munehara 2003).


(33)

17 Spermatogenesis pada brachyuran telah dilaporkan secara mendetail, pada kepiting Cancer magister oleh Fasten (1918) dapat dilihat pada Gambar 9, 10, 11, dan 12, yaitu :

Tahap Spermatogonia

Sel spermatogonia merupakan sel yang berukuran besar, dengan garis sitoplasmik yang jelas serta nuklei menonjol. Tahap spermatogonia primer dan sekunder bisa dibedakan. Spermatogonia primer ukurannya lebih besar dibandingkan dengan spermatogonia sekunder.

Spermatogonia primer mengandung sejumlah besar kromatin dengan nukleus. Ketika sel terbagi menjadi kumpulan besar kromatin pada nukleus, dimulai proses pembelahan. Proses ini berlanjut sampai kromatin tersusun ke dalam sejumlah besar sel berbentuk bulat panjang (elliptical) yang tebal, terdistribusi di seluruh nukleus. Jumlah dari kumpulan kromatin yang diamati berbeda-beda, dengan jumlah ber kisaran 40 - 65. Binford (1913) melaporkan pada Menippe mercenaria dan Cambarus virilis, menemukan sequence yang sama pada proses tersebut. Beberapa kumpulan kromatin sebagai kromosom yang masuk kedalam piringan equator dari tahap metafase spermatogonia. Jumlah kromosom akhir ditentukan pada tahap metafase. Penampakan kumpulan kromatin menunjukkan lebih banyak kromosom tunggal.

Keadaan sekitar dinding nuklear dikelilingi oleh kumpulan kromatin yang masuk kedalam sel pada tahap metafase. Kromosom berada dalam garis equator dengan bentuk dumb-bell shaped dan munculnya kumparan serabut halus. Sentromer secara mudah dipisahkan pada kutub yang berlawanan. Penyebaran kromosom pada seluruh bidang equator. Penampakan kromosom kecil, bulat dan jumlahnya banyak tidak bisa dihitung. Tahap anafase, kemudian diikuti oleh tahap telofase, kemudian sel membagi kedalam spermatogonia sekunder.

Pembelahan spermatogonia sekunder serupa dengan spermatogonia primer, pembelahan berlanjut pada pola yang sama. Pembelahan pokok dari spermatogonia sekunder menghasilkan spermatosit primer dorman. Pada bidang spermatogonia dari tubular, beberapa sel ditemukan mengalami reduksi. Perubahan struktur nuklei ke bentuk irregular yang lebih besar dengan penonjolan ( pseudopodia-like).


(34)

18 Beberapa sel yang terdapat di tubuli disebut dengan sel nutrisi "nutritive

cells", telah dipelajari pada spermatozoa matang Cambarus virilis. Sel-sel

nutrisi, memiliki struktur yang unik. Nuklei dari sel nutrisi mengandung masa kromatin, sementara pada sitoplasmanya memiliki banyak butiran lemak.

Umumnya penelitian awal pada Decapoda seperti : Grobben 1978; Gilson 1986; Hermann 1990, yang melaporkan bahwa spermatogonia berasal dari sel nutrisi. Sebaliknya, Keppen (1906) dan George (1992) melaporkan hal yang berlawanan bahwa sel nutrisi berasal dari perubahan spermatogonia. Hal ini sama yang didapatkan pada Cancer magister. Saat potongan sel nutrisi diuji coba, terjadi amitosis. Fakta bahwa terjadi pembelahan dalam sel-sel nutrisi. Studi nuklei yang menunjukkan bahwa sel-sel nutrisi menjadi ambceoid dalam penampakannya.

Tahap Spermatosit Primer

Tahap ini menunjukkan pembelahan spermatogonia. Setelah periode waktu pertumbuhan dan sinapsi, terjadi reduksi. Selama dua periode pertumbuhan terbentuk body spherical, dikelilingi oleh ruang kosong yang membuat spermatosit primer terlihat penampakannya dalam sitoplasma.

a. Periode Pertumbuhan

Periode ini meliputi: tahap persiapan, sinapsi dan pembentukan tetra. Awal dari fase profase, kromatin di dalam nukleus dari spermatosit yang dorman terdiri dari kumpulan kromatin yang sedikit. Beberapa spermatosit yang jumlahnya sedikit terlihat benang-benang berupa garis tipis dan adanya penampakan granular. Kromatin pada nukleus membelah ke dalam struktur yang lebih kecil dan kemudian mulai masuk ke dalam. Pada waktu yang bersamaan sel mengalami peningkatan dalam ukuran. Tahap ini merupakan awal dimulainya periode pertumbuhan dan peningkatan ukuran sel dengan jelas.

Spireme terbentuk, benang-benang leptoten terpisah dan bisa dibedakan antara

satu dengan yang lainnya.

Benang leptotene berpindah ke salah satu kutub dari nukleus, disebut pula dengan "synaptic pole" dalam garis lintang sejajar yang berpasangan. Wilson (1913), menggambarkan badan polar yang sama pada Pentatoma, disebut


(35)

19 dengan "chromatoid body." Pada Cambarus virilis, ditemukan sepasang badan kromatoid yang terlihat juga pada tahap yang sama dalam perkembangan spermatosit Cancer magister.

Benang-benang yang terdapat pada garis lintang menjadi lebih dekat dan berpasangan pada kutub synaptic dan sel masuk pada tahap pachyten, dimana sepasang dari benang leptoten menyatu ke dalam gemini thick. Setelah penyatuan yang konstan untuk beberapa lama, komponen dari tiap geminus mulai terurai. Tiap geminus membelah membujur, dan secara serempak pembukaan dari benang-benang yang dempet pada akhirnya, menghasilkan penampakan seperti 8, V, atau kurang lebih seperti U. Batang yang lain membagi secepatnya seluruh lengan dari tiap geminus. Dimulai dari potongan dua bidang yang membujur dan mengkerut secara jelas terlihat dalam dua lengan dari 8 yang terletak ditengah pada nukleus.

Dua bidang pembelahan yang membujur, empat benang kromatid terbentuk. Dua pasang dari beberapa benang melanjutkan kembali untuk bercabang saling berlawanan sampai akhirnya mereka berbentuk X. Sepasang benang yang berada pada posisi berlawanan dari titik penyatuan pusat. Tiap X kemudian berpindah mendekat satu sama lain, sampai pada garis lintang sejajar. Titik penyatuan pusat kemudian hilang, dan empat benang tipis tersusun dalam dua garis lintang sejajar yang dihasilkan.

Tiap benang menjadi tipis dan bertambah tipis setelah masuk ke dalam masa kromatid yang berbentuk kumparan bola dan segera tiap geminus mengalami perubahan kedalam bentuk empat spherical kromosom, menggambarkan empat serangkai. Tiap tetra mengandung empat univalen kromosom. Selanjutnya sepasang dari beberapa penyatuan univalen kromosom menghasilkan dua bivalen yang besar yang berdempetan antara satu dengan yang lainnya. Kondensasi dari bivalen berlanjut sampai mereka berubah ke dalam struktur dumb-bell shaped. Proses pertumbuhan ini telah selesai dan sel siap untuk mengalami pengurangan.

b. Pembelahan Reduksi (reduction division)

Tahap akhir periode pertumbuhan, dinding nuklear mulai membelah. Dua sentromer yang telah terbentuk dari pembelahan sentomer asli, berpindah


(36)

20 ke kutub yang berlawanan, dan terlihat kumparan serabut tipis antara sentromer dan kromosom. Kromosom segera tertarik ke bidang equator, mengalami reduksi. Bivalen yang berbentuk dumb-bell shaped terlihat tersusun. Terlihat badan kromatid pada kutub yang berlawanan. Tiap badan dikelilingi dan dikarakteristik oleh ruang kosong dan lebih mudah dikenali.

Periode metafase, semua kromosom berkelompok pada bidang equator dan penampakannya seperti lonceng tumpul (large dumb-bells). Pada tahap metafase terdapat enam puluh kromosom yang telah dibedakan. Secara umum berbentuk oval, ada beberapa ukuranya lebih besar dibandingkan yang lain dan terdistribusi pada bidang equator. Badan kromatid selalu berpindah ke kutub yang berlawanan dari sel. Kedudukan badan kromatid berada pada kumparan serabut, sementara pada kasus lainnya badan kromatid terlihat dalam sitoplasma.

Anafase adalah tahap setelah tahap metafase. Bivalen berbentuk lonceng dumb-bells terpisah dan tertarik pada kutub yang berlawanan. Badan kromatid berpindah dalam beberapa arah. Proses pembelahan berlanjut dan setahap demi setahap spermatosit primer masuk pada tahap telofase. Pada akhir telofase, kromosom yang lengkap berpindah ke kutub yang berlawanan kemudian dikelilingi oleh dinding nuklear yang tipis. Sitoplasma tertarik kedalam dua bagian dan selama proses itu, kumparan serabut juga ikut tertarik pada pusatnya dan terbentuk "zwischenkorper". Ketika tahap ini selesai dua spermatosit sekunder dihasilkan.

Tahap Spermatosit Sekunder

Spermatosit sekunder terbentuk pada tahap telofase, terjadinya pembelahan reduksi. Tidak ada periode istirahat, sel diasumsikan pada tahap metafase, dan kromosom pada garis atas equator berbentuk lonceng

(dumb-bells). Tahap anafase dan telofase dengan urutan sistematik, menghasilkan

pembelahan spermatosit sekunder ke bentuk spermatid. Dua tipe dari spermatid yang terbentuk, satu tipe yang mengandung badan kromatid tunggal dalam sitoplasma sedangkan tipe kedua tanpa badan kromatid.


(37)

21

Transformasi dari Spermatids menjadi Spermatozoa

Produksi spermatid pada pertama kali adalah kecil dan nukleinya mengandung masa yang sebagian besar material kromatid. Sitoplasma homogen dan sentromer yang menonjol ditemukan.

Pada tipe kedua dari perkembangan spermatid, sitoplasma mengandung sentrosomer juga memiliki badan kromatid. Perubahan yang dialami oleh spermatid dalam pergantian bentuk ke spermatozoa terjadi dalam nukleus. Masa kromatin dari nukleus berkurang secara bertahap. Pertama pada kumpulan besar dari khromatin yang membelah ke dalam masa granular dan beberapa bagian diperlengkap sampai tahap akhir, tiga badan kromatin yang bundar. Struktur kromatin tetap spherical. Spermatid menampakan struktur yang jelas, yaitu; 1) nukleus yang homogen dengan suatu karyosome sebagai tubuh pusat, 2) sitoplasma ditemukan, 3) sentromer, dan 4) masa mitokondria.

Nukleus mengembara pada satu kutub spermatid, sementara pada kutub yang berlawanan terdapat vakuola. Pada saat bersamaan masa mitokondria berkelilingi di antara nukleus dan vakuola dan akhirnya mengisi seluruh ruangan. Peningkatan ukuran sentrosomer dan mengambil bagian dalam pusat massa mitokondria. Masa mitokondria kemudian ditransformasi ke dalam kumparan, dan sentrosomer menempati pusat pada bagian dalam. Bagian atas dari nukleus terletak pada ruang ini. Bersamaan badan karyosome terletak pada pusat nukeus pindah ke atas bagian tengah dari nukleus secara langsung di bawah sentrosomer. Perubahan terakhir pada vakuola dalam anterior. Pada vakuola terlihat seperti gelembung kecil yang berupa cairan.

Selama sentrosomer dan badan karyosome berada pada nukleus, dalam bentuk memanjang menyerupai batang yang disebut dengan badan sentral. Pada awal, badan sentral berbentuk seperti lonceng (a dumb-bell), panjangnya tidak diketahui. Tahap ini terjadi pembukaan pada bagian tengah dari terluar atau akhir distal dari kantung kedua dan bersamaan dengan badan sentral lebih memanjang dan bagian luar berbentuk pipa tipis yang terhubung dengan pembukaan distal dalam kantung kedua.


(38)

22 Kumparan kromatid terlihat lebih jelas sebagai akhir distal pada badan sentral. Penyatuan dua elemen kedalam struktur tunggal, nuklear-mitokhondrial menjadi pendek. Perubahan berlanjut kantung kedua tersusun rapat ke dalam kantung pertama. Bagian terluar dari badan sentral secara lengkap berubah ke bentuk tabung yang berlubang dengan dinding yang tipis. Menunjukkan beberapa struktur, mulai dari jari-jari yang berbentuk lingkaran pada penampilan spermatozoa. Setelah transformasi spermatid secara lengkap ke bentuk spermatozoa yang matang, dan pada tahap ini spermatid terlihat berbentuk oval atau bulat dengan lengan yang berbentuk lingkaran sangat rapat mengelilingi

nuklear-mitokhondria.

Spermatozoa matang, menunjukkan badan sentral terletak pada bagian tengah, dikelilingi kantung kedua, kantung pertama, dan nuklear-mitokhondria. Struktur spermatozoa berupa badan sentral terdiri dari akhir distal dan akhir proksimal. Khromatin-ring, terletak pada bagian atas dari kantung kedua. Spermatozoa lepas pada saat matang, kemudian spermatozoa masuk ke dalam vas deferen, dan dikelilingi oleh kantung membran atau spermatofor.

Pengeluaran dari Spermatozoa Matang

Tahap pertama dalam pengeluaran spermatozoa adalah ektrusi dari kantung kedua. Kantung ini secara normal mengelilingi badan sentral dan melekat dalam kantung pertama. Ketika kantung kedua mulai dilepaskan pada ukuran dan waktu yang sama. Kantung ini dibawa kebagian atas dari kantung pertama dan terlihat seperti lingkaran yang tipis. Bersamaan dengan akhir distal dari badan sentral yang juga extruded, mendesak kantung tersebut pada bagian padat proximal, perubahan ke bentuk seperti duri. Ketika kantung kedua telah kompleks untuk bebas, kemudian kantung pertama memulai untuk evert dan melanjutkan proses ini sampai lengkap pada bagian luar. Selama eversi, pada akhir proximal dari badan sentral mendorong ke atas pada bagian tubular distal sampai yang kedua akhirnya bebas ke luar.

Pelepasan sempurna spermatozoa dapat terlihat pada Gambar 10, bagian atas terdiri dari kantung kedua, bagian dalam mengandung kantung pertama, dengan bentuk tubuh yang cenderung keatas seperti duri. Bagian bawah terdiri dari nuklear-mitokhondria, yang berubah ke bentuk kurang lebih seperti bola.


(39)

23 Pada beberapa kasus, tahap ini ditunjukkan pada Gambar terakhir dari proses spermatogenesis pada kepiting Cancer magister.

Gambar 9 Tahap spermatogonia pada kepiting Cancer magister (Fasten 1918)

1. Tahap spermatogonia primer yang beristirahat

2. Profase awal spermatogonia, menunjukkan pembagian kromatin dengan dua

sitoplasma

3. Profase akhir spermatogonia prophase, kumpulan kromatin dengan

nukleus

4. Metafase, spermatogonium primer

5. Anafase, spermatogonium primer

6-7. Telofase, spermatogonium primer

8. Tahap spermatogonia sekunder yang beristirahat

9-12. Sel nutrisi, nuklei irregular dan globul lemak dengan sitoplasma

13. Sel nutrisi, nukleus menunjukkan keadaan terdesak ke tengah terlihat peristiwa

amitosis.

Keterangan gambar : b : Badan sentral c : Sentrosomer d : Kumparan kromatid h : Nuklear-mitokhondria k : Badan khromatid m : Masa mitokhondria n : Nukleus

r : Spermatozoa arm v : Vakuola primer (primary vesicle) t ' : Vakuola sekunder


(40)

24

Gambar 10 Tahap Spermatosit Primer pada kepiting Cancer magister

(Fasten 1918)

14-15. Sel nutrisi, dengan dua nuklear diduga amitosis.

16-17. Awal profase, tahap spermatosit primer pada gambar 17. Dua masa kromatid

dengan sitoplasma terwarnai dengan gelap.

18. Tahap leptoten

19. Tahap sintesis dan sinapsis. Tahap leptoten ini, berupa benang-benang yang

berpasangan, tersusun pada equator yang terbagi pada kutub synaptic dari sel.

Keterangan : badan khromatid (k), dan sentrosome (c),terlihat dalam sitoplasma.

20. Tahap pachyten dan leptoten, sepasang benang membentuk geminius ditengah.

21-22. Tahap diploten.

23. Tahap post diploten

24. Pembentukan tetra, pada tahap ini dinding inti (nuklear) mulai membagi.

25. Perubahan tetra ke bentuk dumb-bells, sel masuk ke fase metafase

dan badan kromatid dikelilingi oleh ruang kosong pada kutub yang berlawanan.


(41)

25

Gambar 11 Tahap Spermatosit Sekunder pada kepiting Cancer magister

(Fasten 1918)

26. Metafase, spermatosit primer menunjukkan badan khromatid pada kumparan

serabut pada kutub yang berlawanan.

27-28. Kutub spermatosit primer, menunjukkan 60 kromosom.

29-32. Tahap anafase dan telofase dari spermatosit primer menunjukkan badan kromatid pada kutub yang berlawanan. Gambar 32, badan kromatid yang diamati tetap berada pada sitoplasma.

33. Metafase spermatosit sekunder, menunjukkan badan kromatid tunggal

pada satu kutub.

34-35. Kutub spermatosit sekunder, menunjukkan 60 kromosom.

36-37. Tahap anafase dari spermatosit sekunder, menunjukkan kedudukan yang

berbeda, dimana badan kromatid mungkin menempati bagian dalam dinding sel.

38-39. Tahap telofase spermatosit sekunder, badan kromatid tunggal pada


(42)

26

40. Dua tipe spermatid yang terbentuk, satu tanpa badan kromatid dan yang

lainnya mengandung badan kromatid. Sentromer berwarna gelap ditemukan di sitoplasma pada kedua tipe spermatid.

41. Tahap awal dalam perubahan spermatid yang berisi badan kromatid

42. Pada tahap ini badan kromatid dikeluarkan dari spermatid

43-47. Tahap perubahan awal dari spermatid yang minus akan badan khromatid, reduksi

dari khromatin dan penampakan dari masa mitokhrondria (m) dalam sitoplasma. Pada gambar 47, karyosom tunggal menempati pusat dari nukleus.

Gambar 12 Transformasi Spermatid menjadi Spermatozoa pada kepiting

Cancer magister (Fasten 1918)

48-53. Perubahan spermatid secara bertahap, dihasilkan dalam vakuola primer. terbentuk pada satu kutub, sementara nukleus (n) menempati kutub yang berlawanan, dan masa mitokhrondria (m) dan sentrosomer (c) juga menempati


(43)

27

54. Vakuola sekunder (t/) terlihat penampakan akhir distal pada vakuola primer.

55-58. Tahap transformasi dari spermatid dalam vakuola primer dan sekunder berubah ke dalam bentuk kantung, dan central body(b) terlihat seperti lonceng.

59-62. Perubahan spermatid menunjukkan lubang terluar akhir distal dari central body.

pembentukan ring kromatin (d), dan penyatuan inti dan masa mitokondria kedalam bentuk nuclear-mitochondria (a).

63-64. Pembentukan arm dari spermatozoa.

65-66. Bagian sisi samping dan bawah menunjukkan secara detail struktur spermatozoa matang

67. Spermatofor, berisi spermatozoa matang.

68-69. Tipe spermatozoa, yang terdiri dari tiga dan empat bagian yang terlihat menggantung pada cancer magister.

70-78. Secara bertahap mengeluarkan spermatozoa matang ketika dipenuhi tekanan osmotik dengan larutan garam dari air laut.

79. Spermatozoa terlepas.

80. Keluarnya spermatozoa dari kantung sekunder dengan sempurna.

Pengaruh Lingkungan Terhadap Siklus Reproduksi

Faktor lingkungan seperti suhu, cahaya, dan ketersediaan pakan adalah faktor luar yang umum mempengaruhi reproduksi (Sastry 1983). Namun faktor-faktor ini mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap rangkaian tahap-tahap gametogenesis maupun fase lain dalam siklus reproduksi. Primavera (1985) mengemukakan bahwa pakan berpengaruh terhadap pematangan gonad Penaeid, tetapi tidak demikian terhadap perkawinan dan pemijahan. Sedangkan suhu, salinitas, dan cahaya tidak saja berpengaruh terhadap pematangan gonad, tetapi juga terhadap kopulasi, pemijahan, pembuahan dan penetasan.


(44)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2008 sampai Februari 2009. Tahapan penelitian, dibagi dua tahap. Tahap I, meliputi; 1) Sampling hewan uji, 2) Koleksi testes dan penghitungan konsentrasi spermatofor, 3) Pengukuran diameter dan koleksi spermatofor, 4) Penghitungan jumlah spermatozoa dalam spermatofor, dan 5) Preservasi spermatofor. Tahap II, preparasi Scanning

Electron Microscope (SEM). Penelitian dilakukan di Laboratorium Embriologi,

Laboratorium Unit Rehabilitas Reproduksi (URR) dan Laboratorium Histologi FKH-IPB. Pengamatan morfologi spermatofor dan spermatozoa (Scylla olivacea) dengan SEM dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong.

Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepiting bakau merah jantan (Scylla olivacea) sebagai sumber testes, spermatofor, dan spermatozoa yang berasal dari tiga lokasi pengambilan sampel (Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat) yang memiliki kisaran ukuran karapas berkisar 8-15 cm dan bobot tubuh 200-500 gr.

Tahapan Penelitian I Sampling Hewan Uji

Pengambilan hewan uji dari tiga daerah, yaitu; Jawa (Blanakan, Jawa Barat), Sulawesi (Maros, Sulawesi Selatan) dan Papua (Fak-Fak, Papua Barat), yang diperoleh dari pengumpul lokal. Pemilihan spesimen berdasarkan morfologi tubuh yang normal, sehat, serta kondisi badan yang lengkap. Spesimen yang diambil sebanyak ± 16 ekor tiap lokasi penelitian. Spesimen ditampung sementara untuk adaptasi di URR-FKH IPB. Pengukuran karakteristik morfometrik kepiting bakau merah mengikuti petunjuk Warner (1977), pengukuran panjang dan lebar karapas menggunakan mikrometer dengan


(45)

29 ketelitian 0.05 mm. Pengukuran karapas diukur dari letak antara gigi median sampai tepi posterior karapas dalam bentuk garis lurus, sedangkan lebar karapas diukur dari kedua gigi anterolateral. Berat kepiting secara individual dihitung dengan menggunakan timbangan.

Koleksi Testes dan Penghitungan Konsentrasi Spermatofor

Kepiting bakau terlebih dahulu dibersihkan, selanjutnya dipingsankan dalam freezer (-30oC). Setelah pingsan, kepiting dibedah pada bagian cefalatorak untuk pengambilan jaringan testes. Jaringan testes, ditimbang dengan timbangan elektrik (Electonic Analytical Balance, ANDGR-200). Setelah itu dicuci dalam larutan NaCl fisiologis 0.82 %, dan dikeringkan dengan kertas saring.

Untuk penghitungan konsentrasi spermatofor, testes dicacah dengan gunting steril, cairan yang keluar diambil dengan mikropipet sebanyak 10 μL dan dilarutkan dengan 990 μL larutan Ca ++Saline (1:10) dalam mikrotube 1.5 mL. Kedua larutan dihomogenkan, sebanyak 10 μL dari campuran tersebut diteteskan ke gelas objek dan dilakukan penghitungan seluruh spermatofor yang terlihat dibawah mikroskop dan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Penghitungan konsentrasi spermatofor per individu menggunakan rumus : (∑ spermatofor yang teramati X 10 μL larutan yang diambil dari mikrotube berisi kedua larutan yang telah dihomogen tersebut).

Pengukuran Diameter dan Koleksi Spermatofor

Pengukuran diameter spermatofor kepiting bakau merah menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer okuler. Spermatofor yang diukur berkisar ± 250 buah untuk tiap individu. Setiap spermatofor diukur berdasarkan ukuran terbesar sampai terkecil, hal ini dilakukan untuk mengetahui kisaran ukuran diameter spermatofor.

Koleksi spermatofor dilakukan dengan mengambil spermatofor segar dari bagian tengah vas deferen pada jaringan testes dengan cara menusuk dinding tipis dari bagian tengah vas deferen, seminal plasma yang mengandung spermatofor dikoleksi dalam petri dish (Bhavanishankar & Subramonian 1997; Sato et al. 2004), menggunakan mikroskop stereo (Nikon, SMZ-2T, Japan).


(46)

30

Penghitungan Jumlah Spermatozoa

Penghitungan konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan cara mengeluarkan spermatozoa dari spermatofor (Bhavanishankar & Subramonian 1997). Pengeluaran spermatozoa dari spermatofor dilakukan dengan pronase dengan prosedur, sebagai berikut; 1) Spermatofor dikoleksi sesuai dengan klasifikasi ukuran yang telah ditentukan, diletakkan dalam objek gelas dan diteteskan dengan 2 μL pronase 0.05 % dan ditambahkan 8 μL larutan medium spermatozoa (Ca++ free saline). 2) Didiamkan selama 15-20 menit kemudian dihomogenkan 3) Larutan yang berisi spermatozoa diambil menggunakan pipet sebanyak 5 μL, kemudian diteteskan pada Neubauer Chamber untuk dilakukan penghitungan sel spermatozoa.

Preservasi Spermatofor

Preservasi spermatofor dengan memberikan perlakuan pada lama penyimpanan spermatofor (0,5,10,15, dan 20 hari) dalam refreigator 4◦ C untuk menguji viabilitas dari spermatofor Scylla olivacea.

Tahapan Penelitian II

Pengamatan Struktur dan Morfologi Spermatozoa Dengan SEM

Pengamatan SEM untuk melihat morfologi permukaan spermatofor dan spermatozoa secara detail dari kepiting bakau merah menggunakan SEM

mengikuti prosedur standar yang ada.

Rancangan Penelitian dan Analisis Data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel, histogram, grafik, dan scaterplot menggunakan program Excell untuk melihat rataan dan sd dari masing-masing karakteristik umum Scylla olivacea yang berasal dari tiga lokasi, konsentrasi spermatofor per individu, viabilitas spermatofor, kisaran ukuran spermatofor, konsentrasi spermatozoa per spermatofor. Untuk gambar morfologi spermatofor dan spermatozoa dianalisis secara deskriptif


(47)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Umum Kepiting Bakau Merah Jantan Scylla olivacea

Gambar 13 Karakteristik umum Scylla olivacea, Keterangan; A = Blanakan, Jawa Barat

B = Maros, Sulawesi Selatan dan C = Fak-Fak, Papua Barat

Berdasarkan pengamatan diperoleh hasil yang menunjukkan kepiting bakau merah jantan (Scylla olivacea) yang berasal dari tiga lokasi pengambilan sampel penelitian, memiliki perbedaan morfometrik yang cukup signifikan ini terlihat dari ukuran dan warna tubuh (Gambar 13). Kepiting bakau merah jantan yang berasal dari Blanakan, Jawa Barat memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan kepiting bakau merah jantan dari Maros, Sulawesi Selatan dan Fak-Fak, Papua Barat. Selain itu, memiliki warna tubuh yang lebih terang dibandingkan dengan kepiting dari kedua daerah lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan hábitat yang berhubungan langsung dengan wilayah geografi masing-masing lokasi, sehingga merupakan suatu indikator yang dapat digunakan dalam pencirian morfometrik dari kepiting bakauitu sendiri. Perbedaan


(48)

32   

morfologi pada Scylla spp sangat dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya, walaupun berbeda morfologinya tetap spesies Scylla spp yang sama. Kondisi lingkungan yang spesifik bisa menghasilkan bentuk morfologi yang berbeda (Stephenson & Campbell 1960; Fuishimi & Watanabe 2000).

Gambar 14 Ciri Karakteristik Scylla olivacea, Keterangan; a = duri pada corpus dan b = bentuk frontal teeth yang pendek dan tumpul

Untuk membedakan Scylla olivacea dari ketiga spesies Scylla spp yang lain, dapat dilihat dari karakteristik morfologi; bentuk dari frontal teeth, duri pada bagian corpus, propodus dari chelipid serta warna tubuh (Keenan et al. 1998).

Scylla olivacea, memiliki ciri karakteristik dengan bentuk frontal teeth yang lebih

rendah (tumpul) dibandingkan dengan ketiga spesies Scylla spp lainnya, terdapat satu duri pada bagian corpus dan memiliki warna tubuh yang bervariasi dari hijau, orange kemerahan sampai coklat kehitaman, sehingga Scylla olivacea lebih dikenal dengan nama kepiting bakau merah (Gambar 14).

Kepiting bakau ini memiliki keunggulan dari spesies kepiting bakau lainnya, yaitu memiliki siklus reproduksi yang lebih singkat dan untuk individu betina lebih cepat bertelur. Selain itu kepiting ini mampu bertahan dalam kondisi kekurangan air dalam jangka waktu lama asal dalam keadaan lembab.

Umumnya kepiting bakau merah lebih sering ditemukan di daerah mangrove dan muara sungai. Sebagian besar siklus hidup kepiting bakau dilalui di sekitar muara sungai dan hutan bakau (Sulaeman 1992). Kepiting ini lebih


(49)

33   

menyukai salinitas air yang rendah. Ukuran tubuh dari kepiting bakau merah ini lebih kecil dibandingkan spesies kepiting bakau lainnya. Ukuran yang paling besar bisa mencapai 18 cm.

Tabel 2 Karakteristik Umum Reproduksi Scylla olivacea Jantan Asal Blanakan (Jawa Barat), Maros (Sulawesi Selatan) dan Fak-Fak (Papua Barat)

Daerah Karakteristik Umum Mean ± Sd

Bobot Tubuh (g) 208.1 ± 59.7

Panjang Karapas (mm) 6.8 ± 0.8

Lebar Karapas (mm) 10.0 ± 1.0

Gonad (g) 0.8 ± 0.5

Blanakan, Jabar

GSI (%) 0.06-0.82 (0.4 ± 0.24)

Bobot Tubuh (g) 486.9 ± 100.6

Panjang Karapas (mm) 8.4 ± 0.6

Lebar Karapas(mm) 11.9 ± 0.9

Gonad (g) 1.9 ± 0.8

Maros, Sulsel

GSI (%) 0.12 - 0.72 (0.4 ± 0.19)

Bobot Tubuh (g) 566.3 ± 138.1

Panjang Karapak (cm) 8.9 ± 0.5

Lebar Karapak (cm) 12.3 ± 0.8

Gonad (g) 2.3 ± 0.9

Fak-Fak, Pabar

GSI (%) 0.13 – 1.07 (0.44 ± 0.23)

 

Blanakan, Jawa Barat

Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Juli – Desember 2008. Untuk kepiting bakau merah jantan melakukan aktivitas reproduksi sepanjang tahun. Aktivitas reproduksi dari kepiting bakau dimulai pada akhir musim panas hingga memasuki musim penghujan atau musim hujan, dimana perairan mangrove pada daerah tropis kaya akan nutrisi (Heasman et al. 1985; Sara et al. 2006).

Nilai bobot tubuh Scylla olivacea jantan asal Jawa Barat (Tabel 2) adalah 208.1 ± 59.7 g, dengan panjang dan lebar karapas masing-masing adalah 6.8 ± 0.8 mm dan 10.0 ± 1.0 mm. Distribusi ukuran panjang dan lebar karapas yang beragam dari sampel Jawa, mengindikasikan bahwa daerah tempat pengambilan sampel tersebut merupakan feeding ground dan nursery ground bagi kepiting bakau, ukuran sampel yang relatif lebih kecil dan jumlah sangat terbatas


(50)

34   

dibandingan dengan spesies kepiting bakau lainnya yang berada pada lokasi penelitian, yakni Scylla paramamosain dan Scylla serrta yang jumlah sangat melimpah dengan nilai kisaran bobot tubuh yang lebih besar.

Berdasarkan pengalaman pribadi di lapangan untuk spesies Scylla olivacea agak sulit ditemukan di daerah Jawa, jika ada jumlahnya pun sangat terbatas. Hal in disebabkan oleh pola distribusi dari kepiting bakau itu sendiri. Umumnya di daerah Jawa untuk spesies kepiting bakau yang distribusinya melimpah adalah spesies Scylla paramamosain. Scylla paramamosain memiliki penyebaran mulai dari; Laut Cina Selatan, Vietnam, Singapura, Cina, Taiwan, Hongkong, Laut Jawa, Kalimantan dan Jawa. Sedangkan untuk Scylla olivacea sendiri, pola distribusinya, yakni; Samudera Indian, Pakistan sampai Australia Barat, Laut Cina Selatan, Thailand, Singapura, Vietnam, Sarawak, Samudera Pasifik, Filipina, dan Timor (Keenan et al. 1998).

Selain pola distribusi dari kepiting bakau merah itu sendiri, ini juga berkaitan dengan ekosistem mangrove tempat hidupnya. Berdasarkan pengalaman di lapangan di daerah Blanakan, Jawa Barat kondisi ekosistem mangrove disana sangat memprihatikan. Banyaknya pembukaan lahan budidaya yang tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem mangrove dan masyarakat sekitar juga menggunakan bakau sebagai bahan kayu bakar untuk kegiatan rumah tangga. Hutan mangrove sebagai habitat kepiting bakau, sudah mengalami degradasi. Umumnya mangrove yang ada di daerah Jawa mengalami kerusakan karena aktivitas manusia, seperti; pembukaan pemukiman, lahan budidaya, dan lainnya.

Pertambahan penduduk, penebangan hutan dan pertambakan merupakan tiga ancaman utama kelestarian hutan mangrove di Jawa (Hasmonel et al. 2000), Jawa merupakan kawasan dengan penduduk paling padat di dunia (Ligtvoet et al. 1996), dimana 60% peduduk Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta tinggal di pulau yang luasnya hanya seperlima luas negeri (Hadianto 1998), sehingga tingkat perubahan habitat alami sangat tinggi, termasuk untuk permukiman (Silvius et al. 1987). Hutan mangrove di pulau Jawa, pada tahun 1985 seluas 170.500 ha, namun pada tahun 1997 tinggal 19.077 ha (11.19%). Penyusutan terbesar terjadi di Jawa Timur, dari luasan 57.500 ha tinggal 500 ha (8%), di Jawa Barat dari 66.500 ha tinggal kurang dari 5.000 ha (7.5%), dan di Jawa Tengah dari


(51)

35   

46.500 ha tinggal 13.577 ha (29%). Sementara luas tambak di pulau Jawa adalah 128.740 ha yang tersebar di Jawa Barat (50.330 ha), Jawa Tengah (30.497 ha), dan Jawa Timur (47.913 ha). Apabila ekstensifikasi tambak dengan mengubah hutan mangrove terus dilakukan, maka kemungkinan besar akan sangat sulit menemukan hutan mangrove di Jawa (Giesen 1993; Republika 23/7/2002).

Mangrove merupakan habitat alam dari kepiting bakau (Scylla spp). Kepiting bakau hidup pada berbagai habitat dan sebagian besar hidup di laut, sebagian hidup di perairan bakau, atau di estuari. Pada masa juvenil sampai menjelang dewasa atau dewasa, kepiting hidup di pantai, muara-muara sungai dan hutan bakau dengan cara membuat lubang (Kasri 1982).Sekitar 80% dari jenis – jenis ikan laut daerah tropika menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase dalam daur hidupnya, di daerah pesisir berhutan mangrove.

Untuk nilai bobot gonad Scylla olivacea jantan adalah 0.8 ± 0.5 g, berdasarkan hasil bobot badan dan bobot gonad tersebut dapat dihitung nilai

Gonad Stomatik Indeks (GSI) sebagai berikut; 0.06 - 0.82 % (0.4 ± 0.24). Nilai

kisaran GSI tertinggi yang diperoleh untuk sampel Jawa, yakni; 0.82 % lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kisaran GSI untuk sampel Sulawesi, yakni; 0.72%. Hal ini sebabkan karena GSI tidak saja dipengaruhi oleh ukuran tubuh dan bobot dari kepiting tetapi lebih dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad. Walaupun ukuran dan bobot tubuh dari kepiting lebih kecil tetapi jika testis dalam kondisi matang maka nilai GSI besar begitupun sebaliknya. Gonad stomatik indeks sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor- faktor yang mempengaruhi adalah; ukuran tubuh, umur, ketersediaan pakan, lingkungan fisik, sifat biokimia air, dan faktor neuroendokrin (Rukminasari 1999).

Maros, Sulawesi Selatan

Nilai bobot tubuh Scylla olivacea jantan asal Sulawesi Selatan (Tabel 2) adalah 486.9 ± 100.6 g. Nilai kisaran bobot tubuh yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sampel dari Jawa bisa diasumsikan kepiting bakau asal Sulawesi memiliki morfologi fisik yang lebih besar dibandingkan dengan kepiting bakau asal Jawa, diduga hal ini disebabkan oleh habitat dari kepiting bakau tersebut. Mengacu pada lokasi sampel, yakni; daerah Sulawesi yang memiliki kondisi mangrove yang masih bagus dibandingkan dengan daerah Jawa.


(52)

36   

Mangrove dengan kondisi fisik yang menyusunnya berupa substrat yang liat berlumpur dan dengan adanya guguran daun mangrove serta dinamika pergerakan air yang fluktuatif menyebabkan tinggi kandungan bahan organik yang menentukan tingkat produktivitas perairan tersebut. Produktivitas perairan yang tinggi menyokong semua komunitas yang berada dalam wilayah tersebut. Kepiting bakau merupakan organism bentik pemakan serasah dan habitatnya adalah perairan intertidal (mendekati daerah mangrove) yang bersubstrat lumpur (Moosa et al. 1985). Kondisi ekosistem mangrove yang masih terjaga di daerah Sulawesi, menyokong segala aspek kehidupan yang berada dalam ekosistem tersebut, termasuk kepiting bakau. Kepiting bakau, khusus Scylla olivacea yang siklus hidupnya lebih banyak berada di daerah mangrove. Mangrove sebagai

feeding ground dan nursery ground, yang menyokong siklus hidup dari kepiting

bakau salah satunya siklus reproduksi.

Untuk nilai panjang dan lebar karapas masing-masing adalah 8.4 ± 0.6 mm dan 11.9 ± 0.9 mm. Distribusi ukuran panjang dan lebar karapas yang seragam dari sampel Sulawesi, mengindikasikan bahwa kepiting bakau yang terambil adalah kepiting bakau yang dewasa siap memijah karena ukuran tubuhnya relatif besar. Nilai bobot gonad menunjukkan nilai 1.9 ± 0.8 g, dengan nilai GSI yang diperoleh sebesar 0.12 - 0.72 % (0.4 ± 0.19). Proses reproduksi pada hewan air, sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Hal ini yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam gonad itu sendiri. Umumnya pertambahan bobot gonad pada ikan betina 10-25% dan pada ikan jantan hanya 5-10% dari bobot tubuh. Kematangan gonad pertama kali pada spesies ikan berbeda, ukuran tubuh untuk matang gonad juga bervariasi antara spesies ikan. Hal ini juga berlaku pada tiap individu walaupun satu spesies. Faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad hewan air, antara lain: suhu, makanan dan hormonal.

Fak-Fak, Papua Barat

Nilai bobot tubuh Scylla olivacea jantan asal Papua (Tabel 2) adalah 566.3 ± 138.1 g. Mayoritas sampel dari Papua Barat memiliki ukuran dan bobot tubuh yang besar bahkan ada yang hampir mencapai 1 kg, lebih tinggi dibandingkan dengan sampel dari Jawa Barat maupun Sulawesi Selatan. Mengacu pada lokasi


(53)

37   

pengambilan sampel, yakni; daerah Papua yang memiliki kondisi mangrove yang masih bagus dibandingkan dengan daerah Jawa dan Sulawesi. Dari 2,4 juta hektar mangrove yang kondisinya baik, menurut Departemen Kehutanan, sebagian besar berada di daerah yang jauh dari permukiman masyarakat seperti di Papua. Papua merupakan salah satu provinsi yang memiliki mangrove terluas di Indonesia yaitu; 1.438.421 hektar dan dalam kondisi yang baik.

Panjang dan lebar karapas Scylla olivacea jantan asal Fak-Fak, Papua Barat masing-masing adalah 8.9 ± 0.5 mm dan 12.3 ± 0.8 mm. Distribusi ukuran panjang dan lebar karapas yang seragam dari sampel Papua sama halnya dengan sampel dari Sulawesi. Sedangkan untuk bobot gonad diperoleh nilai 2.3 ± 0.9 g dan nilai GSI adalah 0.13 – 1.07 % (0.44 ± 0.23), tertinggi dibandingkan kedua daerah lainnya Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.

Konsentrasi Spermatofor Kepiting Bakau Merah Scylla olivacea

Gambar 15 Grafik Konsentrasi Spermatofor per Individu Scylla olivacea Keterangan;

a= Blanakan, Jawa Barat, b = Maros, Sulawesi Selatan dan c = Fak-Fak,


(1)

55 Minagawa M, Chiu JR, Kudo M, Takashima E. 1994. Male Reproduction

Biology of the Red Frog Crab, Rarina rarina, off Hachijojima, Izu Islands, Japan. Marine Biology 118: 393-401.

Moosa MK, Aswandy I, Kasry A. 1985. Kepiting Bakau Scylla serrata (Forsskal,1775) dari Perairan Indonesia. Sumber Hayati Perairan LON-LIPI. Jakarta.

Nagao J, Hiroyuki M. 2003. Annual Cycle of Testicular Maturation in the Helmet Crab Telmessus cheiragonus. Fisheries Science 69: 1200-1208. Nimrat S. 2005. Preservation of Black Tiger Penaeus monodon Spermatophore by

Chilled Storage. Journal of Word Aquaculture Society Volume (36): 1 Okumura T. 2004. Review Perspectives on Hormonal Manipulation of Shrimp

Reproduction. JARQ 38 (1), 49 – 54 (http://www.jircas.affrc.go.jp)

Pankhurst NW, Dedual M. 1994. Effect of capture and recovery on plasma levels of cortisol, lactate, and gonadal steroids in a natural population of rainbow trout. J. Fish Biol. 45:1013-1025.

Pickering AD, Pottinger TG, Carragher J, Sumpter JP. 1987. The effect of acute and chronic stress on the levels of reproduction hormones in the plasma of mature male brown trout, Salmon trutta L. Gen. Comp. Endocrinol, 68:249-259.

Republika, 23/7/2002. Kajian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Mengejutkan. Rukminasari N. 1999 . Kajian Tentang Biologi Reproduksi Kepiting Rajungan

(Portunus pelagicus,Linn) di Perairan Pulau Salemo Kabupaten Dati II Pangkep. Tesis. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Sainte-Marie G, Sainte-Marie B. 1999. Reproductive products in the adult snow crab (Chionoecetes opilio). I.Observations on spermatogenesis and spermathophore formation in the vas deferens. Can. J. Zool. 11: 440-450.

Saru A. 2007. Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan Di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Ringkasan Desertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Sasikala SL, Subramoniam T. 1987. On the occurrence of acid mucopolysaccharides in the spermatophores of two marine prawns, Penaeus indicus (Milne Edwards) and Metapenaeus monoceros (Fabricius) (Crustacea: Macrura). Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 113:145-153.

Sato T, Ashidate M, Goshima S. 2004. A new method to extract sperm from spermatophores of the male spiny king crab Paralithodes brevipes (Anomura: Lithodidae). Crustacean Research 33: 10-14.

Setyawan AD. 2008. Buku Ajar: Biodiversitas Ekosistem Mangrove di Jawa; Tinjauan Pesisir Utara dan Selatan Jawa Tengah. Surakarta. Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Sebelas Maret.


(2)

56 Shan et al. 1999. Studies on the Comparative Ultrastructure of Crab

Spermatozoa (Crustacea, Decapoda, Reptantia, Brachyura). Zoologigal Research vol. 20:5.

Silvius MJ, Steeman APJM, Berczy ET, Djuharsa E, Taufik AW. 1987. The Indonesian Wetland Inventory. A PreliminaryCompilation of Existing Information on Wetlands of Indonesia, Vol. I and II. Bogor: PHPA, AWB/INTERWADER, EDWIN.

Spalding JF. 1942. The nature and formation of the spermatophore and sperm plug in crab, Carcinus maenas. Quat. J. Microsc. Science, 83: 399-422. Subramoniam T. 1984. Spermatophore formation in two intertidal crabs Albunea

symnista and Emerita Asiatica (Decapoda:Anomura), Biol. Bull. 166: 78-95 Sulaeman HA. 1992. Pengaruh Pemotongan Tangkai Mata Terhadap

Kematangan Gonad Dan Pertumbuhan Kepiting Bakau, Scylla serrata. Buletin Balai Penelitian Budidaya Pantai, 8(4): 56-62

Surtida M. 1997. AQD’s mudcrab R&D. SEAFDEC Asian Aquaculture, 19 (3), 17–20.

Tudge CC. 1999. Ultrastrukture of Spermatophore Lateral Ridge in Hermit Crabs (Decapoda; Anomura, Paguroidea. Journal Crustaceana 72 (1), Australia. Uma K, Subramoniam T. 1979. Histochemical characteristics of spermatophore

layers of Scylla serrata (Forskal) (Decapoda: Portunidae). Int. J. Invert. Reprod., 1:31-40.

Warner GF. 1977. The biology of crabs. Elek science, London. Hal 202.

Watanabe S, Sulistiono, Yokota M. 2001. Crab Resources and Stock Enchancement in Indonesia. Journal of Aquatic Sciences and Fisheries. Volume I, Nomor I, 2001. P 85-95.

Zanevek LLJD, PoUkoski KL. 1977. Collection and physical examination of the ejaculate. Pp. 147-172 in Techniques of Human Andrology, E. S. E. Hafez, ed. Elsevier/North-Holland Bio-medical Press.


(3)

57 Lampiran 1 Prosedur pembuatan larutan pembilas testes

Larutan Pembilas (NaCl Fisiologis)

Bahan:

1. Serbuk NaCl 0,82 gr 2. Milli-Q 100 ml

Cara pembuatan : bahan dicampur merata dan disterilisasi dengan autoclave pada suhu 1500 C selama 15 menit.


(4)

58 Lampiran 2 Komposisi Larutan Medium untuk Spermatofor dan Spermatozoa larutan Ca 2+ - free saline ( 1 L)

Komposisi Jumlah (g)

NaCl 21.63

KCl 1.12

H3BO3 0.53

NaOH 0.19

MgSO4.7H2O 4.93


(5)

59 Lampiran 3 Prosedur SEM dari Spermatozoa Kepiting Bakau Merah

(Scylla olivacea)

a. Preparasi SEM

b. Buat kotak kecil dari objek glass (tetes dengan neofren 2,5%) c. Teteskan spermatozoa (setelah disentrifugasi untuk menghilangkan

pengencer)

d. Perendaman dengan glutaradehida 2,5 % (sebagai fiksatif) selama 1-2 jam e. Washing dengan PBS ( 3 kali @ 5 menit)

f. Rendam dengan asam tannin 2 % in DW selama 1jam g. Washing dengan PBS sampai jernih

h. Osmium tetraoxyde O5O4 1 % in DW selama 1 jam (cukup ditetes) i. Washing dengan PBS

j. Dehidrasi dengan alkohol 70%-100% @ 1 jam (alkohol 100 %, 3 kali) k. Dehidrasi II dengan t-butanol (propylene oxyde atau aseton pa, 3 kali) l. Sediaan dikeringkan menggunakan freezedryer

m. Tempelkan dilogam n. Coating dengan platinum o. Sediaan diamati dengan SEM


(6)

60 Lampiran 4 Uji Statistika dengan SPSS Data Konsentrasi Spermatozoa per Spermatofor Scylla olivacea

UJI ANOVA

Konsentrasi Spermatozoa per Spermatofor

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 225.870 4 56.468 5.919 .010

Within Groups 95.409 10 9.541

Total 321.279 14

Duncan

Subset for alpha = .05

perlakuan N 1 2 3

40-70 3 6.6700

70-100 3 10.1200 10.1200

130-160 3 15.8767 15.8767 100-130 3 15.9633 15.9633

160-190 3 16.1433

Sig. .201 .051 .922

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.