Karakteristik Habitat dan Kaitannya dengan Keberadaan Tiga Jenis Kepiting Bakau (Scylla olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata) di Perairan Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah

KARAKTERlSTlK HABITAT DAN KAITANWYA DENOAN
KEBERADAAN tlGA JENIS KEPlTlNG BAKAU (Scylb
oltvecee, S. tranqueberica, dan S . s m t i r ) Dl PERMRAN
KARANG ANYAR. SEGARA ANAKAN, CllACAP
JAWA TENGAH

OLEH:

FITRINA NAZAR

PROGRAM PASCASARJANA
lNSTlTUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK
FITR1NA NAfAR. Karakteristik Habitat dan Kaitannya dengan Keberadaan Tiga Jenis
Kepiting Bakau (Scylla divacea, S. kanquebarica, dan S. serrafa) di Perairan Karang
Anyar, Segara Anakan, Cilacap, J a w Tengah. Dibimbing deh R F. KASWAWf,
SUUSTIONO dan NAWANGSARl SUGIRI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik masing-rnasing habitat
kepiting bakau dan hubungannya dengan distribusi kepiting bakau berdasarkan jenis

dan ukuran. Penelitian dilaksanaltan di perairan dan di daiam hutan mangrove Karang
Anyar, Segara Anakan. Pengambilan data dilakukan setiap hari dari tanggal 1
September 2001 sampai dengan tanggal 31 Desember 2001.

Kondisi parameter kualitas air pada lokasi pengambilan sampel secara umum
berbeda antar stasiun dan bulan, kecuati untuk parameter suhu tidak berbeda antar
stasiun, dan kedalaman perairan tidak berbeda antar bulan. Untuk tekstur substrat
terdiri dari lumpur, fiat, dan pasir, dengan kandungan yang dominan lumpur.
Di Stasiun 4, 5, dan 6 ditemukan 9 genus mangrove yang terdiri dad 6 famili,
dengan kerapatan tedinggi terdapat pada Stasiun 5 (30 individul 100 m?, baik katagofi
pohon maupun anakan.
Sumber makanan alarni bagi kepiting bakau adalah bentos dan serasah.
Bentos diernukan sebanyak 11 genus, dengan kelimpahan tertinggi terdapat pada
Stasiun 4 sebanyak 67 individul mZ.Scars umum jumlah bentos yang ditemukan di
Stasiun I , 2, dan 3 (di perairan) lebih rendah dari Stasiun 4, 5, dan 6 (di hutan
mangrove). Sedangkan untuk bobot serasah tertinggi didapatkan pada Stasiun 6,
sebanyak 41,41 gram/ m2.

Dari hasil penelitian didapatkan tiga jenis kepiting bakau, yaitu ScyiIa olivecea,
S. franquebarica, dan S. serrafa. Kepiting jenis S. oiivacea dan S. tranquebarica

ukuran sedang dan besar cenderung menyebar bersama-sama. Kedua jenis ini
menempati Stasiurr 4, 5, dan 6 yang merupakan stasiun yang berada di dalarn hutan
mangrove, tersebar di bulan Oktober, November, dan Desember.
Untuk kepiting bakau janis S. serrata keberadaannya cenderung terpisah dad
dua jenis lainnya. Jenis S. semta menempati Stasiun 1, 2, dan 3 yang berada di
perairan. S. semfa ukuran kecil tersebar di bulan November, sedangkan S. semta
ukuran besar berada di bulan September, Oktober, dan Oesember.

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang bejudul:

KARAKERISTIK HABITAT DAN KAITANMYA DENGAN KEBERADABN TIGA
JEWS KEPlllNG BAKAU (ScHta d k m , & m-cbt,
dun S.
Dt
PERAIRAN KBRANG ANYAR, SEGARA AN-,
CtLACAP
J A W TENGAH


adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pemah dipublikasikan. Semua
sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.

F1TRINA NAZAR
NRP: 99617

KARAKTERISTIK HABITAT DAN KAITANNYA DENGAN
KEBERADAAN TIGA JENlS KEPfTlNG BAKAU (ScyNa
olivacea, S. Pranquebarica, dan S.sernta) Dl PERAIRAN
KARANG ANYAR, SEGARA ANAKAN, ClLACAP
JAWA TENGAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi llmu Kelautan

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2002

RfWAYAT HIDUP

FlTRlNA NAZAR, penulis adalah anak ke empat dari lima bersaudara dari
pasangan dr. H. Nazantddin Tamin dm Hj. Fatimah Saidi, dilahirkan pada tanggal
20 Maret 1975 di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Pmpinsi Sumatera Barat.

Pendidikan formal yang telah diselesaikan adalah SD Negeri 4 Batusangkar
dan SDN 27 Padang tahun 1982-1988, SMPN 1 Padang tahun 1988-1991, SMAN 1
Padang tahun 1991-1994. Pada bulan September tahun 1994 melanjutkan studi ke
program S1 pada Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Bung
Hatta Padang, yang diselesaikan pada bulan Agustus 1998. Semenjak bulan
September 1999 penulis melanjutkan studi ke jenjang S2 Program Studi llmu
Kelautan (IKL)Program Pascasajana tnstitut Pertanian Bogor.
Selama masa studi penulis selalu aktif dalam berbagai kegidan
ekstrakurikuler, antara lain OSIS, Ketua Majelis Pemusyawaratan Kelas, pengurus
Senat Mahasiswa Fakultas Perikanan, dan rnengikuti berbagai kompetisiantar siswa
antara lain siswa teladan SLTP Nasional 1990, Finalis Lomba Penelaian llmiah
Remaja 1991, Lomba Karya llmiah Remaja LIPI-TVRI 1992, dan Pemilihan

Mahasiswa Berprestasi tingkat Universitas Bung Hatta Padang tahun 1996.

Puji syukur yang tidak terhingga penulis sampaikan kehadirat Allah SVVT,
dengan rahmEtt dan karunia-Nya penulisan tesis ini dapat dirampungkan.
Penyusunan tesis ini dari awal srtmpai selesai tidak tedepas dari bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktu memberikan arahan.
masukan dan kritikan, domngan semangat, kesempatan. do'a mstu. serta dukungan
dana.

Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya tenrtama kepada Bapak Dr. Ir. R.F Kaswadji, M.Sc selaku ketua
komisi dan pembimbing pertama, Bapak Dr. Ir. Sulistiona, M.Sc dan Ibu Prof. Dr.
Nawangsari Sugiri selaku anggota pembimbing. Bapak ReMor lnstitut Pertanian
Bogor, Ibu Prof. Dr. Syafrida Manowoto, M.Sc selaku Direktur Program
Pascasajana IPB beserta staf, Bapak Dr. lr. John I. Pariwono, M.Sc selaku Ketua
Program Studi llmu Kelaufan (PS-IKL), Bapak Dr. lr. Mulia Purba, M.Sc beserta staf
pengajar PPs-IKL lainnya atas kejasama, perfiatian, semangat, pengetahuan, dan
kesempatan yang diberikan sdama menimba itmu di jenjang S2 pada PPs IPB.
Terima kasih yang tak temingga kepada Pak Muh. Hatta, Mbak Nur Asia dan
keluarga, atas segala pertolongan, bantuan, dorongan semangat dan pengertiannya.

DireMur PMeSACOP Cilacap beserta staf, keluarga Pak Kuatianto di Cilacap,
keluarga Mas Wadi, Mas Bardi, Pak Sastm, Pak Lurah, dan Warsono di Segara
Anakan atas semua fasiritas dan kernudahan yang telah diberikan.
Tdak lupa juga kepada semua rekan-rekan se-angkatan (IKL-99) atas
kejasama, bantuan, dorongan semangat dan persahabatan yang fulus. Terima
kasih yang tak terhingga kepada Suparman Sasmita, S.Pi dan Nunula Yenti, S.Pi,
teman-teman di Sakura 11 LoJ?dan di Wrsma Buchori Darmaga atas semua
bantuan, dukungan, dan doanya.
Akhirnya penolis persembahkan tesis ini sebagai buMi bakti, terima kasih dan
pedanggungjawaban atas kepercayaan dan kesempatan yang diberikan kepada
yang m u l i kedua orang tua Bapak dr. H. Nazaruddin Tamin, lbunda Hj. Fatimah
Saidi, kakak-kakak dan adik-adik beserta seluruh keluarga besar tercinta,
keponakan tersayang Fatia Farhani, juga M. Rifqi, S.Pi., M.Si. atas segah
pengettian. dukungan, kepellcayaan, perhatian dan kasih yang tak pemah putus.
Semoga segala bantuan, kemudahan, dan pengorbanan yang diberikan semua
pihak, baik yang telah disebutkan di atas maupun yang tidak. diterima dan dinilai
Allah S W disisi-Nya sebagai ibadah. Amien......
Bogor, Oktober 2002
Fitrina Nazar


UAFTAR ISI
DAFTARTABEL .......................................................................................

DAFTAR GAMBAR

..........................................................................

.......................................................................................
ldentifikasi dan Perurnusan Masalah ........................................................
Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................
Tujuan Penelitian ...............................................................................
Manfaat Penelitian .............................................................................
Latar Belakang

TINdAUAN PUSTAKA
Kepiting Bakau .......................... ..............*.......................*.....**.*..,.........*.*
Klasifikasi dan Morfologi ..........................
.....................................
Daur Hidup dan Habitat .....................................................................
.........................

Makanan dan Kebiasaan Makan .........................

.
.

.
.

Preferensi Kepiting Bakau Terhadap Kualitas Air ...................................
Suhu ..................................................................................................
Salinitas .............................................................................................
Derajat Keasaman (pH) ......................
...........................................
Fraksi Substrat ..................................................................................

.
.

Hari Bulan dan Pasang Surut Serta Pengaruhnya Terhadap Fauna Laut
Hutan Mangrove ......................................................................................

Pengertian Hutan Mangrove ...............................................................
Potensi Hutan Mangrove ....................................................................
METODE PENELlTlAN
Lokasi dan Waklu Penelitian ....................................................................

.......................................................................
Metode Peneliiian ...................................................................................
Lokasi Penelitian ...............................................................................
Pengumpulan Data Penelitian dan Prosedur Pelaksanaannya .........
Pengumpulan Contoh Kepiting Bakau ...............................................

Alat dan Bahan Penelitian

ix

x

Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat ........................
Pengukuran Kerapatan Jenis Mangrove ...........................................
Pengambilan Contoh Serasah dan Organisme Makrozoobentos........

Anafisis Data .......................... ...
.........................................................
Kelimpahan Makrozmbentos ............................................................
Pola Oistribusi Kepiting Bakau ..........................................................
Kerapatan Jenis Mangrove .................................................................
Parameter Kuaiitas Air Antar Stasiun dan Antar Bulan ......................
Pengebmpobn Stasiuri Bedasarkan Karakteristik Lingkungan.........
Penyebaran (Distribusi) Kepiting Bakau per Jenis Antar Stasiun dan
Antar Bulan ........................................................................................
Hubungan Antar Bulan per Stasiun dengan Jenis per Keks Ukuran
KepFting Bakau ..................................................................................

HASlL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat Daerah Penelitian ....................................................
Kuatitas Air dan Substrat ..................... .
.
,
.........................................
Vegetasi Mangrove .............................................................................
Ketersediaan Makanan Alami Kepiting Bakau ...................................


Pengebmpokan Stasiun Berdasarkan Karakteristik Lingkungan ...............
Jumlah dan Sebaran Ukuran Kepiting b k a u per Jenis .............................
Distribusi Kepiling Bakau Berdasarkan Umur Bulan ................................
Hubungan Keberadaan Kepiting Bakau dengan Karakteristik Habitat........

KESIMPULAN DAM SARAN

Kesimpulan

...........................................................................................

Saran

...........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

................................................................................

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Morfologi kepiting bakau (Scylla spp) menurut Keenan (1 999)

.........

......... .
.............

7

2. Parameter yang diukur serta alat dan metode yang digunakan

25

3. Kisaran parameter kualis air per stasiun sebma penelitian

34

4. Rata-rata suhu sehma penelitian dan hasil uji Beda Nyata Terkecil
(BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) ..................................,......
35 -

5. Rata-rata salinitas selama penelitian dan hasit uji Beda Nyata Terkecil
(BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) ......................................
..
38
6. Rata-rata pH selama penelitian dan hasil uji Beda Nyata Terkecil
(BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) penelitian ...............................

40

7. Rata-rata kedalaman air selama penelitian dan hasil uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) antar stasiun dan waktu (bukn) ........................,,,,.....

42

.. . .

43

...
10. Daftar jenis vegetasi mangrove yang ditemukan di daerah penelitian ..
11. Kerapatan mangrove per jenis dan per stasiun ..................................

45

8. Rata-rata fraksi substrat per stasiun

......................................

9. Kondisi dan lokasi penyebaran hutan mangrove di Segara Anakan

46
48

12. Kelimpahan makrozoobentos di perairan Karang Anyar Segara
Anakan ..................... .........,. ......... . . . .
.................... .

51

13. Bobot serasah di Stasiun 4, 5, dan 6

53

.

...... ....... ....... ........ .......... . . . .
14. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) rata-rata jumlah kepiting S.
serrata, S,tranquebarica, dan S. olivacea ........................................

59

15. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT)ukuran karapas kepiting jenis S.
semta antar umur bulan hijriyah .......... ................ .... .......... . . .

66

16. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT)ukuran karapas kepiting jenis S.
tranquebarica antar umur bulan hijriyah ........ ..... ........ ...... ....... ...,...

67

17. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) ukuran karapas kepiting jenis S.
olivacea antar umur bulan hijriyah ..................... ....... ............ . . . . 68
18. lndeks Morisita masing-masing jenis kepiting bakau

.............. ..,.........

72

19. Prosentase kepiting bakau S. olivacea, S. tranquebarica, dan S.
serrata pada masing-masing stasiun berdasarkan karakteristik habitat
yang mempengaruhinya .................................................................. 73

Halaman

....................................................................
2 . Daur hidup kepiting bakau .................................................................
3. Peta bkasi penelitian .........................................................................
4 . Skema metode pengambilan sampel .................................................
5 . Hasil analisis sidik gerombol semua stasiun pada tiap bulan
pengamatan berdasarkan karakteristik lingkungan ...........................
6 . Kepling bakau jenis S . oiivacea ......................................................
7. Kepiting bakau jenis S. tranquebaflca ...............................................
8. Kepiting bakau jenis S. serrata ..............................................*.........
9. Grafik analisis faktorial koresponden antara jenis kepiting per kelas
ukuran dengan stasiun dan bulan pengamatan ...............................
1. Motfologi kepiting bakau

Halaman
1 . Perhitungan anova untuk jenis Scylla serrata

....................................
2 . Perhitungan anova untuk jenis S. tranquebarica ...............................
3. Perhaungan anova untuk jenis S. olivacea ............................ ...... ...
4 . Hasil analisis faktorial koresponden.....................................................
5 . Hasil uji Beda Nyata Terkecif (BNT) rata-rata ukuran karapas kepiting

, ,

6

.

89
96

109
115

S. serrata. S. tranquebariea. dan S. olivacea ......................................

120

Hasil analisis varians jurnlah dan ukuran karapas kepiting jenis S.
semta yaw lertangkap pada empat umur buhn berbeda .................

122

7. Hasil analisis varians jurnlah dan ukuran karapas kepiting jenis S.
tranquebarica yang tertangkap pad8 empat umur bulan berbeda ...... 124
8. Hasif analisis varians jurnlah dan ukuran karapas kepiting jenis S.
olivacea yang tertangkap pada ernpat umur bulan beheda ...............

126

9 . Lokasi stasiun penelitian .....................................................................

128

PENDAHULUAN

Latar belakang
Estuaria merupakan salah satu bentuk dari ekosistem lahan basah yang
luasnya di Indonesia mencapai 38 juta ha (Wetland Indonesia. 1996). Kawasan-

kawasan lahan basah (termasuk estuarial ini, mengalami kenrsakan yang sangat

serius karena perkembangan populasi manusia dan pembangunan yang tidak
bewawasan lingkungan. Hal ini mengakibatkan menyusutnya hutan mangrove,
hutan rawa, hutan gambut beseria keanekaragaman spesies flora dan fauna di
dalamnya, pencemaran air karena penggunaan pupuk, racun hama, penyakit, serta

berbagai industri dan kegiatan pertambangan. Masalah serius lainnya adalah
pelumpuran. karena kegiatan pertanian di lahan atas yang tidak memperhatikan
teknik konsentasi hutan, tanah dan air.

Kawasan Estauria Segara Anakan memiliki luas 45 340 ha (Mumi, 1995).
Secara administrasi termasuk ke dalarn Kabupafen Cilacap, Propinsi Jawa Tengah.

Kawasan ini terdiri atas daratan seluas 11 940 ha, perairan rawa bakau 29 400 ha,
dan perairan rawa payau 4 000 ha. Estuaria Segara Anakan ini dibatasi oleh Pulau
Nusakambangan seluas 30 000 ha. Kekhasan ekosistem ini karena tetaknya

terlindung oleh Pulau Nusakambangan yang memisahkannya dari Samudera
Indonesia. Segara Anakan tetap terpengaruh oleh gerakan pasang sunrt air iaut

karena adanya

dua

kanal.

yaitu

kanal barat

rnenghubungkannya dengan Samudera Indonesia.

dan

kanal timur,

yang

Segara Anakan memiliki tip8 zonasi hutan mangrove yang tedengkap di
Pulau Jawa (Adiwihga, 1992), terdiri atas 26 jenis vegetasi dengan tiga jenis

vegetasi paling dominan yaitu Rhizophora apiculata, R. mucronata, clan Bruguiera
gymnmhiza. Selain itu, ekosistem hutan mangrove dan perairan Segara Anakan
juga merupalran habitat dari berbagai spesies hngka seperti pesut (Orchaella

brevimMs), duyung (Dugong-dugong) serta jenis burung langka yang terancam

punah seperti bluwok (Mycfenacinema) (Mumi, 2000).
Secara ekokgis berfungsi sebagai daerah pemijahan dan pernbesaran

(numery ground) berbagai jenis spesies komersial baik ikan maupun udang dan
habitat berbagai jenis fauna, diantaranya termasuk jenis yang dilindungi, serta
sebagai tempat mencari makan bagi sekitar 45 jenis ikan peruaya (PKSPL, 1997).

Dan segi sosial ekonomi, Segara Anakan merupakan sumber mata pencaharian
bagi rnasyarakat sekiamya, baik di bidang perikanan, pertanian, kehutanan,
pariwisata dan transportasi.
Produktivitas Segara Anakan berikut fungsi

ekologis dan sosial

ekonomisnya mendapat ancaman karena pendangkalan yang berlangsung lama

menyebabkan penyusutan tuasan maupun kedalaman perairannya. Penyusutan ini
disebabkan karena adanya sedimen yang terendapkan sebagai akibat adanya emsi
di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy, DAS Cikonde, dan DAS
Cibeureum. Menurut ECL (1994), DAS Citandui mengkontribusi sekitar 5 juta m3
lumpur/tahun sedangkan DAS

Cikonde sekitar 770 000

m3 lumpurltahun.

Disarnping itu Napitupulu dan Ramu (1982) menyebutkan adanya sumber lumpur
dari OAS Segara Anakan sekitar 1.6 juta rn31tahun dan limpasan banjir dail
Kecamatan Nusa Wuluh sekitar 0,62juta m3ffahun.

kepiting bakau (Scylla olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata) di habitat
alaminya.

ldentifi kasi dan Perumusan Masalah
Perairan Segam Analran saat ini terus mengalami akresi, pendangkalan
serta penrbahan ekosistem -perairan yang menyebabkan terjadinya perubahan

hidromorfografi. Perubahan ini diduga menciptakan habitat yang baik bagi

keberadaan kepiting bakau. Untuk mengetahui parameter karakteristik habitat dan
kaitannya dengsn keberadaan tiga jenis kepiting bakau, maka diperlukan

pendekatan masalah sebagai berikut:
I Menetapkan tip8 habitat dari ke-tiga jenis kepiting bakau bsrdasarkan pada

variasi karakteristik lingkungan.
2

Diamati dan diukur jenis dan kerapatan mangrove, parameter kualitas air dan
substrat, serta ketersediaan makanan alami kepiting bakau.

3

Pada tiap tipe habitat dihitung jumiah individu per jenis, jenis kelamin, panjang
karapas dan lebar karapas kepiting bakau. Kemudian dianaiisis penyebaran dan

ukuran per jenis.
4

Menentukan pola distribusi kepiting bakau pada tiap tipe habitat berdasarkan
pada karakteristik habitat yang mempengaruhinya.

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penetitian
Penelitian ini bertujuan untuk
1.

Mengetahui pola distribusi kepiting bakau bedasarkan jenis dan ukuran.

2.

Mengetahui

kat-akteristik masing-masing habitat kepiting bakau

dan

hubungannya dengan distribusi kepiting bakau.

Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
keberadaan, distribusi, dan kondisi kepiting bakau di alam, dapat menjadi data dasar

bagi kegiatan budidaya, sem menjadi bahan pertimbangan bagi perlindungan,
pengelolaan, dan pernanfaatan sumberdaya kepiting bakau untuk masa yang akan

datang.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah karakteristik dan t i p
habitat yang berbeda di perairan Karang Anyar, Segara Anakan, akan berpengaruh

terhadap keberadaan dan pola penyebaran kepiting bakau.

TlNJAUAN PUSTAKA

Kepiting Bakau
Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau
Klasifikasi kepiting bakau menurut Oemardjati (1992) adalah sebagai berikut:
Filurn

Arthropods

Kelas

Crustacea

Subkelas

Malacostraca

Ordo

Decapoda

Subordo

Branchyura

Famili

Portunidae

Genus

Scylla spp .

Genus Scyila spp. terdiri atas tiga spesies dan satu varietas, yaitu Scyila

semfa, S. manica, S. tranquebarica, dan S. serrata var. paramamosain. Wama
digunakan sebagai faktor pembeda, yaitu S. oceanica dan S. tranquebarica
mempunyai wama dasar kehijauan atau hijau keabuan, sedangkan S. serrata dan S.

serrafavar. paramamosain mempunyai wama dasar hijau merah kecoklatan.
Sedangkan Keenan (1997) mengoreksi tata nama ini dengan membagi

genus Scylla menjadi Scylla olivacea, S. tranquebarica, dan S. semta. Perbedaan

morfologi untuk membedakan ketiga jenis dari genus Scyila yaitu wama, gigi depan
karapas, bentuk duri pada sendi jari, dan bentuk rambut (Tabel 1).

Tabel 1. Morfologi kepiting bakau ( S N l a spp.) menunrt Keenan (1997)

I
I

Wama

Surnber
pembuat
wama
Gigi depankarapas
Duri pada
sendi jari

I

Hljau menuju hijau
abu- abu
Pigmen p"ligonal
termasuk keliped

I

Dalarn

Kedua duri tumpul
Melimpah pada

Hijau cdtlat rnerah,
sepefti karat

Hijau bush taibn

I

Pigmen poliganal
d,-a
pad=
kaki terakhir
Tajam

-

I

Landai

I

Kedua duri Slasdan Satu duri Z c i G , satu
rwncing
agak tumpul
Hanya pada daerah

Scylla serrah (Forskal) mempunyai nama lokal yang beranekaragam
diantaranya kepiting lumpur (Australia), ketarn batu (Malaysia), dan kepiting bakau di

Indonesia (Moosa et al. 1985).

Ciri-ciri kepiting bakau yang merupakan bagian dari suku Portunidae adalah
karapas berwarna sedikit kehijauan, pada kin-kanannya terdapat sembilan buah duri
tajam, dan pada bagian depan diantara kedua tangkai matanya terdapat enam buah
duri, sapit kanan lebih besar dari sapit kiri dengan warna kernerahan pada kedua

ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki jalan dan satu pasang kaki renang yang
terdapat pada ujung abdomen dengan bagian ujungnya dilengkapi alat pendayung

(Kasry, 1996). Selanjutnya Sulistiono et a!. (1992) menyatakan bahwa karapas

berbentuk cembung dan halus, Iebar karapas satu setengah dari panjangnya, bentuk
alur H antara gastrik dan kardiak jelas, empat duri triangular pada lengan bagian
depan mempunyai ukuran yang sama, orbit lebar dan memiliki dua celah, ruas
abdomen pada kepiting bakau jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada yang

betina sedikit membulat. Morfologi kepiting bakau {Scylla spp.) dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Morfologi kepiting bakau (Scylla spp.)
Sedangkan Moosa ef at. (1985) mendeskripsikan kepiting bakau sebagai

berikut: karapas pipih atau agak cembung, bentuk heksagonal atau agak persegi,
bentuk umum bulat telur, karapas lebih lebar dari panjangnya dengan permukaan

yang tidak selalu jelas pembagian daerahnya, tepi anterelateral bergigi lima sampai
sembilan buah, sungut melintang atau menyerong. Pasangan kaki terakhir
berbentuk pipih menyerupai dayung terutama dua mas terakhirnya.
Kepiting jantan dan betina dibedakan oleh mas amomennya. Ruas abdomen

kepiting jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada kepiting betina berbentuk agak
membulat dan lebih lebar.

Daur Hidup dan Habitat
Dalam menjalani kehidupannya, kepiting bakau beruaya dari perairan pantai

k8 perairan lad, kemudian induk dan anak-anak kepiting bakau ini akan berusaha
kembafi ke perairan pantai, muara sungai, atau perairan hutan bakau untuk
berlindung, mencari makanan, dan membesarkan diri. Kepiting bakau yang tebh
siap melakukan perkawinan ini akan memasuki perairan bakau atau tambak. Setelah

perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting betina yang telah
melakukan perkawinan ini akan beruaya ke laut menjauhi pantai untuk memijah.
Kepiting jaritan yang telah melakukan perkawinan akan berada di perairan bakau

dan di sekiiar pantai pada bagian yang berlumpur (Kasry, 1996).
Setelah telur menetas akan muncul larva tingkst 1 (zoea 1) yang akan terus
berganti kulit dan terbawa arus ke perairan pantai hingga mencapai tingkat zoea V.

Proses ini biasanya membutuhkan waktu

18 hari. Zoea V ini akan mengalami

pergantiin kulit lagi rnenjadi megalopa yang bentuk tubuhnya mirip dengan kepiting
dewasa, tetapi masih memitiki ekor. Kepiting bakau pada tingkat megalopa ini akan

beruaya kembal ke pantai, muara sungai, dan kernbali ke hutan mangrove.
Kepiting bakau dapat dikatakan dewasa dan telah dapat memijah pada umur

12-14 bukn (Afrianto dan Liviawati (1992). Untuk mendapatkan gambaran yang
lebih jelas tentang daur hidup kepiting bakau, dapat dilihat pada Gambar 2.

-

-

Gambar 2. Daur hidup kepiting bakau (Soim, 1999).
Warner (1977) menyatakan bahwa kepiting bakau mulai dari telur sampai
dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan, yaUu mulai dari zoea,

megalopa, kepiting muda, dan kepiting dewasa. Setiap terjadi pergantian kulit, zoea
tumbuh dan berkembang yang ditandai dengan adanya seta renang pada endopoda
maxiliped-nya. Megalopa yang mirip kepiting dewasa seringkali dirujuk sebagai
kepiling pada tingkat pasca larva. Dari tingkat megalopa ke kepiting muda ini

dipenukan waktu 11-12 hari.

Makanan dan Kebiasaan Makan

Larva kepiting bakau membutuhkan pakan dalam jumfah tertentu untuk
menunjang aktivitas pertumbuhannya. Jenis pakan yang dikonsumsi kepiting juga
bervariasi, tergantung pa& ukuran kepiting yang dipelihara. Dalarn fase larva,
kepiting menyukai pakan berupa plankton atau kutu air yang berukuran kecil, sesuai
dengan ukuran mulut kepiting yang juga relatif kecil. Umar (2000) menyatakan

bahwa pada saat pertama kali menetas, larva kepiting bakau cenderung lebih
menyukai fitoplankton karena ukuran bukaan mulutnya yang masih kecil. Setelah

mengalami perkernbangan lebih ianjut sehingga

mencapai ukuran

yang

memungkinkan untuk rnemangsa zooplankton, maka larva kepiting bakau cenderung
lebih menyukai zooplankton, yaitu dari jenis kopepoda.

Hal ini didukung oleh pendapat Kasry (1996) bahwa larva kepiting bakau
lebih bersifat pernakan plankton, khususnya larva pada tingkat awal. Makanannya
terdiri dari berbagai organisme planktonik seperti diatom, Tetmselmis chuii, Chlomlla

sp., rotifer, larva ekinodermata, larva berbagai jenis moluska, cacing, dan lain-lain.
Jadi semakin tinggi tingkat larvanya, makanannya pun lebih bersifat kamivor-

omnivor.
Makanan hidup yang dikrikan pada larva yang dipelihara di Iaboratorium
diusahakan berukuran tubuh yang lebih kecil daripada ukuran bukaan mulut larva.

Karena itu, larva tingkat awal ini sebaiknya dihrikan rotifera dan fitoplankton (Kasry,
1996). Setelah mernasuki fase megalopa, kepiting bakau cenderung lebih menyukai

organisme yang berukuran lebih besar. Dari penelitian Munir (1999) didapatkan
bahwa kombinasi pakan alami berupa Brachionus sp. dengan Tetmselmis sp.

rnemberikan kelangsungan hidup yang paling tinggi.

Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan segala dan pernakan bangkai

(omnivorous-scavenger). Mereka rnemakan tumbuhan, bangkai hewan, kayu dan
bambu di tambak-tambak (Kasry, 1996). Soim (1999) lebih lanjut menjelaskan

bahwa kepiting bakau lebih menyukai makanan alami berupa algae, bangkai hewan
dan udang. Aktivitas makan kepiting bakau jantan lebih tinggi daripada aktivitas
makan kepiting betina (Mangampa et a/. 1987). Selanjutnya dijelaskan oleh Lavina
(1977) dalam Mangampa et a/. (1987) bahwa pada kepiting betina energi yang ada
digunakan untuk perturnbuhan dan perkembangan gonad, sehingga aktivitas makan
pada kepiting betina cenderung menurun.
Hutching dan Saenger (1987) menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di

sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya Ipneumatophore). Hill (1978)
menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk
kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah
cukup tersedia. Hal senada juga diungkapkan Moosa et a!. (1985) bahwa kepiting
bakau menrpakan organisme bentik yang memakan serasah, habitatnya adalah
perairan intertidal di dekat hutan mangrove yang krsubstrat lumpur.

Opnai (2986) menyatakan bahwa kepiting bakau di perairan hutan mangrove
Papua New Guinea, 89% lambungnya berisi bivalvia, gastropoda dan rnoluska

lainnya, serta 11% sisanya terdiri dari krustasea yang sulit untuk diidentifikasi. Hasil
analisa isi perut dari kepiting bakau yang ditangkap di rnuara Sungai Cenranae Bone
rnenunjukkan bahwa lebih dari 90% isi lambungnya terdiri dari jenis alga (Spirogyra
sp. dan Cham sp.), larva insekta dan benih tiram (Gunarto et at. 19871, sedangkan di

perairan Segara Anakan banyak diternukan rnoluska dan tiram, yang merupakan
habitat yang baik bagi kehidupan kepiting bakau.

Tangan dan -pit

kepiting yang besar dan kuat memungkinkannya untuk

menyerang musuh dengan ganas atau membek-rob&

makanannya. Sobekan

makanan itu dibawa ke mulut dengan kedua sapitnya. Kepiting bakau biasanya
makan tidak beraturan, tetapi biasanya lebih aktif di rnalam hari daripada di siang

hari. Karena itu kepiting bakau tergolong hewan noktumal (hewan yang aktif di
malam hari) (Moosa et al. 1985).

Almada (2001) dari hasil penelitiannya di laboratorium menambahkan waktu

makan kepifing bakau adalah malarn hari (pukul 18.00 - 24.00). Siang hati kepiting
juga makan, tapi jumlah dan frekuensinya lebih kecil daripada rnalam hari. Dari hasil
percobaan di laboratorium diperoieh infomasi bahwa kepiting bakau lebih menyukai

umpan berupa kulit sapi karena baunya yang lebih menyengat dan disukai kepiting
daripada umpan lain berupa belut dan ikan nila.

Preferensi Kepiting Bakau Te*adap Kualitas Air
Kualitas air merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi keberadaan dan perturnbuhan semua organisme, termasuk kepiting

bakau. Dengan demikian di atarn, kepiting bakau hanya akan menempati habitat
dalam suatu badan perairan yang memiliki kondisi kualitas air yang mampu ditobrir
oleh organisme tersebut.

Kedalaman Air
Kedalaman air salah satunya dipengaruhi oleh peristiwa pasang surut.
Kedalaman air ini berpengaruh kepada kepiting bakau terutama pada saat terjadi

perkawinan. Walaupun demikian, kepiting bakau ini tetap dapat hidup pada perairan
yang dangkal. Wahyuni dan lsmail (1987) mendapatkan kepiting bakau hidup

pada kedalaman 30 cm- 79 cm di perairan dekat huian mangrove dan 30 cm - 125

cm di muara sungai.
Pada siang hari kepiting bakau terlihat menuju ke perairan yang dangkal,
sedangkan di Pulau Caroline bagian timur, Scylla

$errata ditangkap di perairan di

sekitar hutan mangrove saat air surut (Hill, 1980).
larva kepiting bakau yang berasal dari lauf banyak dijurnpai di sekitar

estuaria dan hutan mangrove karena terbawa arus dan air pasang biasanya akan
menempel pada akar-akar mangrove untuk bedindung. Kepiting bakau tahap juvenil
(first cmb) mengikuti pasang tertinggi di zona intertidal untuk rnencari makan, lalu

kembali lagi ke zona sub-tidal pada saat air sum.

Sedangkan kepiting bakau dewasa rnerupakan penghuni tetap perairan
zona intertidal, membenamkan dirinya ke dalam lumpur atau menggali lubang pada
substrat yang lunak (Mulya, 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa sebelurn molting

@re-molf) kepiting bakau membenamkan dirinya ke dalam lumpur atau masuk ke
dalam lubang sampai karapasnya mengeras.
Suhu
Suhu adalah faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap kehidupan

kepiting bakau. Pengaruh langsung dari suhu terhadap kehidupan di laut adalah laju
fotosintesis fitoplankton dan proses fisiologi hewan, meliputi metabolisme dan siklus
reproduksinya.
Menurut Hill (1982),suhu air dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan,

molting, aktivitas dan juga nafsu rnakan kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah

dari 20 OC akan mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau menurun.

Biasanya pada saat ini pertumbuhan akan terhenti, walaupun kepiting masih tetap

hidup.
Di perairan hutan mangrove Muara Dua Segara Anakan, kepiting bakau

didapatkan pada kisaran suhu 28,s OC -36,OOC (Wahyuni dan Sunaryo,1981). Toro
('l986) mendapatkan kepiting bakau pada perairan dengan kisaran suhu 27,6 OC

-

.

30,5 OC Sedangkan di perairan hutan mangrove Tanjung Pasir Tangerang, kepiting
bakau diternukan pada suhu perairan tata-rata 28,8 OC.

Brick (1974) dalam Kasry (1986), menyatakan bahwa di Hawai kepiting
bakau betina beruaya untuk memijah dengan cara mencari perairan dengan kisaran
suhu air 24

OC

- 28 'c, sedangkan di Thailand, suhu Ma-rata 29,O

OC.

Menurut

Felder dan Heasman (19781, perairan yang bersuhu tinggi cenderung akan

meningkatkan pertumbuhan kepiting bakau, sehingga kepiting bisa dewasa dalarn
waktu yang lebih singkat.

Suho juga dapat mempengaruhi kehidupan larva. daiarn hat ini tingkat
perkembangan larva dengan adanya perbedaan suhu pemeliharaan. Zoea ke lima
pertama dicapai pada waktu 15 hari pemeliharaandengan ratwata suhu 27,5 OC,14

- 15 hari pada suhu 22,5 OC,

13

- 14 hari pada suhu 27 'C, dan 14 - 18 hari pada

suhu 27 OC (Heasman dalam Siahainenia, 2000). Diduga bahwa disamping

kepadatan makanan, maka suhu juga berperan terhadap efisiensi pemanfaatan
makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting bakau.

Salinitas
Menuiut Kinne (1964) dalam La Sara (19941, salinitas diduga mempengaruhi
struktur dan fungsi organ organisme perairan melalui perubahan tekanan osmotik,
proporsi relatif bahan pelamt, koefisien absorbsi dan kejenuhan kelarutan,

viskositas, perubahan penyerapan sinar, penghantaran suara dan daya hantar listrik.
Hal ini akan mengubah komposisi spesies pada situasi ekologi saat itu.

Organisme tertentu membutuhkan salinitas betbeda pada setiap fase dari

siklus hidupnya. Pada kepiting bakau, salinitas berpengaruh terutama pada saat

pergantian kulit. Kasry (1991) mengungkapkan bahwa kisaran ideal untuk
pertumbuhan kepiting bakau belum dapat ditentukan secara pasti, tetapi diketahui

bahwa larva zoea sangat sensitif dengan kondisi perairan yang bersalinitas rendah.
Kepiting dewasa biasanya kawin dan mematangkan telurnya pada perairan dengan

-

salinitas 15 'IoD
20 'loo kemudian beruaya ke laut dalam untuk rnemijah.

Kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau cukup has. Kepiting
bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 'la dan lebih besar

dari 30 Olm. Hill (1978) melaporkan bahwa Scyila serrata mampu mentolerir perairan
dengan salinitas sarnpai 60 0100, sedangkan Wahyuni dan lsmail (1987)

rnendapatkan kepiting bakau dewasa di Tanjung Pasir, Tangerang dengan kisaran
salinitas 0

O/W

-

1 8 ~ / ~sedangkan
,
menurut Retnowati (1991). kepiting bakau

ditemukan pada hutan mangrove Muara Kamal dengan kisaran salinitas 5

- 30

0

loo.

Derajat Keasaman (pH)
Dari hasil penemian Sudiarta (1988) kisaran pH antara 7,9

- 8,3

dapat

mendukung kehidupan kepiting bakau yang dipelihara. Wahyuni dan Sunaryo (198 1)
menambahkan bahwa pada hutan mangrove Segara Anakan Cilacap, kepiting
bakau didapatkan pada kisaran pH 6,18

- 7,50, di pertambakan Muara Kamal,

Jakarta, kepiting bakau didapatkan pada kisaran pH 7,O - 8,O (Retnowati, 1991).
Sedangkan menurut Hutasoit (1991), di Sukabumi kepiting bakau hidup pada

kisaran pH 6,21- 8,50. Penelitian Lain juga melaporkan bahwa kepiting bakau dapat
hidup pada kondisi perairan asam. yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pH
rda-rata 6.16 (Walsh dalam Sara, 1994).

Fraksi Subsbat
Tekstur substrat di sekiar hutan mangrove umumnya terdiri atas lumpur dan
liat. Hal ini sangat memungkinkan sebab partikel lumpur dan liat akan

cepat

mengendap karena air di sekiiamya relatif tenang dan terlindung.
Adanya substrat di sekiar hutan mangrove sangat mendukung kehidupan

kepiting bakau, terutama untuk rnelangsungkan perkawinan. Menurut Moosa et al.
(1985), habitat kepiting bakau adalah pada perairan intertidal (dekat hutan

mangrove) yang bersubstrat lumpur. Substrat di dalam dan di sekitar hutan

rnangrwe yang didomlnasi oleh kandungan lumpur banyak mengandung bahan
organik, tempat serasah dari hutan mangrove akan terurai membentuk detritus dan
kernudian mengendap pada substrat. Serasah sendiri rnerupakan makanan alarni
bagi kepiting bakau.
Substrat halus berupa lumpur dan liat yang mengandung banyak serasah

dan bahan organik juga mendukung kehidupan berbagai organisme, tenrtarna
gastropoda. Gastropods sendiri merupakan salah satu makanan alami kepiting

bakau. Dari hasil penelifan Opnai (1986) dalam Siahainenia (2000). dinyatakan

bahwa 89 % isi lambung kepiting bakau adalah bivalvia, gastropoda, dan moluska
lainnya.
Berkaitan dengan kehidupan dan penyebaran kepiting bakau maka
kandungan substrat dasar perairan hutan mangrove merupakan faktor pendukung
yang penting. Selain rnempenganrhi kehidupan dan penyebaran kepiting bakau juga

mempengaruhi kehidupan dan penyebaran moluska yang rnerupakan pakan alami
bagi kepifing bakau.

Hari Bulan dan Pasang Surut Serta Pengaruhnya Terhadap Fauna Laut
Hari bulan adalah usia bulan yang dihitung sejak bulan gelap hingga bulan
gelap berikutnya, biasanya dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran I adalah sejak

gelap pertarna sampai dengan bulan brbentuk setengah purnama. Kuadran II
adalah sejak setengah purnama sampai bulan bulat penuh (purnama). Kuadran 111

adalah sejak bulan bulat penuh (pumama) sampai berbentuk setengah pumama

kedua. Kuadran IV adalah sejak bulan berbentuk setengah purnarna kedua sampai
bulan gelap kembali. Perbedaan tampiIan tersebut disebabkan posisi relatif bulan
terhadap rnatahari. Lama tiap periode rata-rata tujuh hari, satu bulan terdiri atas 28
hari atau 29 hari (terkadang 30 hari).
Kedudukan relatif bulan terhadap matahari tersebut menimbulkan pasang
sum atau perubahan tinggi pemukaan perairan di bumi (Sijabat, 1970). Disarnping

naik turunnya permukaan air laut akibat kedudukan bulan, kedudukan bulan dapat

pula menyebabkan pencahayaan alami pada malam hari yang dapat berpengaruh
terhadap kehidupan perairan. Pada saat bulan purnarna, kolom perairan lapisan atas
menjadi relatif tenang. Keadaan ini dimanfaatkan oleh fauna yang aktif di malam hari
yang mengandalkan indera penglihatan untuk mencari makan, melakukan
pemijahan dan ruaya. Pada saat periode bulan gelap, aktivitas fauna-fauna tersebut
berbeda.

Seiain faktor cahaya, faktor lain yang cukup berpenganrh pada fauna
perairan dangkal adalah faktor arus. Ada tiga jenis pasang surut di Indonesia, yaitu

pasang surut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda (semi diurnal tide) dan jenis

campuran.Pasmg surut harian tunggal hanya tejadi satu kali pasang dan satu kali
surut setiap had, seperti yang tejadi di Selat Karimata yaiiu antara Kafimantan dan

Sumatera. Pasang surut harian ganda terjadi dua kali pasang dan dua kali surut

yang tingginya hampir sama setiap hari seperti yang tejadi di Selat Malaka dan h u t
Andaman. Pasang surut campuran jenis tunggal dan atau ganda masih menonjol
pasang sunrt campuran yang condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semi

diurnal), tejadi dua kali pasang dan surut dalam sehari, terdapat di perairan
Indonesia Timur. Pasang sunrt wndong ke harian tunggal (mixed tide prevailing
diurnat), tejadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap harinya, terjadi di Selatan

Kalimantan dan Utara Jawa Barat (Nontji, 1987).
Pada saat pasang naik, fauna hut dapat bergerak ke perairan yang lebih

dangkal yakni yang dekat dengan garis pantai. Sebagian fauna akan beruaya ke

pantai mencari makan mernanfatkan fauna-fauna Lain di dasar perairan yang tidak
terendarn air secata berkab. Sebagian ikan yang beruaya masuk ke muara-muara
sungai jauh ke pedalaman. Pada saat sunit sebaliknya, fauna umumnya akan
menjauhi pantai garis.
Pada saat puncak periode bulan gelap dan bulan terang (pumama) jarak
bulan terhadap bumi minimum. Sehingga biasanya akan terjadi pasang penuh yang
mengakibatkan arus pasang surut yang kuat. Perubahan kondisi permukaan laut ini
dapat berpengamh nyata terhadap hasil tangkap harian, contohnya rajungan. Pad8

wakfu bulan gelap, rajungan tidak aktif mencari makan, sedangkan pada periode
Man

terang

aktivitas

rajungan meningkat.

Susilo (1992)

menyarankan

penangkapan rajungan sebaiknya dilaksanakan pada saat periode bulan sabit
pertama, periode bulan terang, dan periode bulan setengat1 pumama kedua.
Keadaan pencahayaan bulan berpengaruh terhadap ikan hasil tangkap nelayan

(Atrnaleksana 1981, Sutowo 1984, dan Tatuwo 1997). Untuk mengoperasikan alat

tangkap ikan yang menggunakan cahaya sebagai pemikat untuk mengumpulkan
ikan, periode bulan yang paling produktif adalah saat bulan gelap dan penode bulan
setengah pumama.

Hutan Mangrove
Pengertian Hutan Mangrove

Kata mangrove merupakan perpaduan anfara bahasa Portugis yaitu Mangue
dan bahasa lnggris yaitu Grove (Macnae, 1968). Kata Mangmwe di dalam bahasa
lnggris dipakai baik untuk komunitas pepohonan. rerumputan atau semak belukar
yang tumbuh di daerah pesisir, atau untuk individu jenis tumbuhan lain yang
berasosiasi dengannya.

Pengertian hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi
pasang surut air laut dengan keadaaan tanah yang anaerobik. Walau keberadaan
hutan ini tidak tergantung pada iklim, tapi umumnya hutan mangrove dapat tumbuh

dengan baik di daerah tropik pada daerah pesisir yang terlindung seperti delta
sungai dan estuaria.

Volume

air tawar dan air laut yang bercampur serta frekuensi

percampurannya sangat berpengaruh pada kondisi fisika-kimia perairan hutan

mangrove. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi komunitas mangrove
adalah suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, arus, kekeruhan, dart substrat dasar
(Nybakken, 1992).
Darsidi (1986) mengungkapkan ciri-ciri hutan mangrove sebagai berikut;

(1). Dipengaruhi oleh pasang surut ; (2). Tidak dipengaruhi oleh iklim; (3). Tanah

tergenang air laut, lumpur, atau pasir; (4). Hutan tidak mempunyai struktur tajuk;

(5). Pohon dapat mencapai ketinggian 30 meter; dan (6). Jenisjenis pohon dari laut
ke arah darat adalah bakau bandul (Rhimphora mucmnata), api-api (A vicennia

marina), bog ern (Sonnemtia alba),

n yirih (Xylocarpus moluccensis), tancang

(Brugujera gymnorrhiza). dan nipah (Nypa fruticans).

PoCnsi Hutan Mangrove

Perkiraan luas hutan mangrove di Indonesia sangat beragam. Giesen (1993)
rnenyebutkan bahwa luas mangrove lndonesia 2,5 juta hektar, Dit. Bina Program

INTAG (1996) rnenyebutkan 3,5 juta hektar. Umumnya mangrove ditemukan

menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia.

Hutan mangrove Segara Anakan merupakan sumberdaya alam yang langka
dan merupakan hutan mangrove terluas yang masih tersisa di Pulau Jawa. Luasnya

saat ini tinggat 9 695 ha dengan penyusutan rata-rata dari tahun 1984 sampai tahun
1994 seluas 300,5 ha/tahun. Penyusutan ini terjadi akibat banyaknya konversi hutan

mangrove menjadi areal tambak, lahan pertanian, atau untuk permukiman.
Darsidi (1986) mengungkapkan bahwa secara garis besamya potensi hutan

mangrove terbagi dua, yaitu potensi dari segi ekologis dan potensi ekonomis.
Potensi ekologis hutan mangrove terletak pada kemampuan hutan mangrove dalam
mendukung eksistensi lingkungan, yaitu sebagai penahan angin, gelombang, hutan

air asin, pengendali banjir, tempa? mencari makan, persernbunyian, dan daerah
asuhan bagi berbagai biota air, yang semuanya ini sulit untuk dinilai dengan uang.
Untuk potensi ekonomi, dilihai dari kemampuan hutan mangrove dalarn
menyediakan produk yang dapat diukur dengan uang, salah satunya adalah kayu.

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di perairan dan di dalam hutan mangrove Karang Anyar,
Desa Ujung Gagak, Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Pengambilan sarnpel dilakukan setiap hari selama empat bulan, mulai dari

tanggal 1 September 2001 sampai dengan bulan tanggal 31 Desember 2001.

Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini anbra lain alat tangkap (wadong

dan jaring), tongkat berskala, sieve set, sieve shaker, petak pengarnatan, pipa

paralon, kompas, hand counter, hand refmcto salinometer, pH meter, timbangan
elektronik balans model ER-120A, oven, termorneter air raksa, buku identifikasi
kepiting bakau, makrozoobentos dan mangrove, botof sampel, ember plastik,

kantong plastik, kertas saring, meteran yang terbuat dari plastik, alat bedah, botol
film, mikroskop, gelas ukur, pipet, gelas preparat, mikrometer, jangka sorong, serta

alat tulis.
Bahan yang digunakan adalah contoh kepiting bakau, tumbuhan mangrove,
makrozoobentos, contoh air dan substrat, contoh serasah, alkohol 70
%, kertas label, karet gelang, dan tissu.

YO,forrnafin 4

Metode Penelitian
Lokasi Penetitian

Deskripsi Lokasi Penelitian
Gerumbul Karang Anyar adalah salah satu daerah pemukiman nelayan di

pinggiran perairan bagian barat Segara Anakan.
Sebagian besar masyarakatnya

bermata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan dan petani bmbak. Saiah
satu usaha penangkapan yang dilakukan nelayan tersebut adalah menangkap

kepiting bakau, baik di perairan Segara Anakan maupun di dalam hutan mangrove.

Alat yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau di perairan adalah

jaring, sedangkan untuk menangkap kepiting bakau di daerah hutan mangrove
digunakan wadong/ bubu (imp).

Penentuan Stasiun Penelitian
Penentuan stasiun penelitian dilakukan bedasarkan kepada daerah
penangkapan kepiting bakau oleh nelayan di Karang Anyar dan sekitarnya. Terdapat

enam stasiun penelitian meliputi masing-masing tiga titik di perairan dan tiga titik di
dalam hutan mangrove, seperti ditampilkan pada Gambar 3. Selengkapnya stasiunstasiun ini adalah:
Stasiun 1 : Perairan Tirang Kesik

Stasiun 2 : Perairan Utara Bagian
Stasiun 3 : Perairan Selafan Muara Dua
Stasiun 4 : Hutan Mangrove J o ~ g o r
Stasiun 5 : Hutan Mangrove Muat'a Dua
Stasiun 6 : Hutan Mangrove Bagian

Pengumpulan Data Penelitian dan Prosedur Pelaksanaannya
Pengumpulan data penelitian mencakup parameter yang diukur dan
satuannya, alat atau metode pengukuran dan ternpat pengukuran disajikan dalam
Tabel 2. berikut:
Tabel 2. Parameter yang diukur serta alat dan metode yang digunakan
+

Termometer Hg
Salinitas air

mangrove
ldentifikasi

jenis
Kerapatan
jenis mangrove
4.

Analisis
makanan alami
kepiting bakau
Kelimpahan
makrozoobenthos

Buku identifikasi

-

in-situ

Belt tmnsek (diidentifikasi,
diukur diameter,dan
dihitung jumlah individu
per jenis).

individul
100 mZ

Petak pengamatan, dan
sieve set (diidentifikasi,
dihitung jumlah individu
per jenis)
Petak pengamatan, oven,
dan timbangan Ohauss
(dibersihkan, dikeringkan
dan ditimbang)

individu /
m2
grl m2

in-situ

a

in-situ
dan lab
in-situ
dan lab

Pengumpulan Contoh Kepiting Bakau
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan alat tangkap nelayan
tradisional yaitu wadong dan jaring. Untuk penangkapan kepiting bakau di hutan
mangrove, digunakan wadong (bubu) berukuran 90 crn x 60 cm x 30 cm (panjang x
lebar x tinggi). Pada tiap stasiun, wadong ditempatkan secara acak dalam petak
pengamatan berukuran 20m x 20 m. Penempatan wadong yang telah diberi umpan

dilakukan pada pukul 16.00WIB, sedangkan pengambilan kepiting bakau dilakukan

keesokan harinya pada pukul 07.00WIS. Pernasangan wadong dan pengambilan
contoh kepiting bakau dilakukan setiap hari selama empat bulan.
Sedangkan untuk penangkapan kepiting di perairan digunakan jaring kepiting
dengan ukuran mata jaring 3 inci, panjang jaring 30 m. Jaring ditempatkan di

perairan, searah dengan arah arus. Penangkapan kepiting bakau dengan jaring ini
dilakukan dari pukul08.00 sampai dengan pukul 15.00WIB.

Selanjutnya kepiting bakau yang didapat diidentifikasi, dihitung jumlah
individu per-jenis dan jenis kelamin, panjang dan lebar karapas. Metode
pengarnbilan sampel mangrove,

kualitas air dan substrat, serasah

makrozoobentos, serta kepiting bakau disajikan pada Garnbar 4.

dan

Gambar 4. Skema metode pengambilan sampel
Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat

Pengukuran parameter fisik-kimia air dan substrat dilakukan secara in-sifu (di
lapangan), sedangkan untuk fraksi substrat dilakukan dengan cara mengambil
sampel substrat pada tiap stasiun pengamatan, dikeringanginkan dan dibawa ke
Laboratorium llmu Tanah Fakultas Pertanian lnstitut Pertanian Bogor untuk dianalisa
berdasarkan persentasi ukuran butiran.

Pengukuran Kerapatan Jenis Mangrove
Pengukuran kerapatan jenis mangrove dilakukan dengan membuat petak
pengamatan berukuran 10 m x 10 m untuk katagori pohon (diameter > 10 cm) pada
stasiun pengamatan 4 , 5, dan 6. Selanjutnya diidentifikasi dan dihitung jumlah

individu perjenisnya. Hal yang sama juga dilakukan untuk katagori anakan (diameter

2-10 cm) dengan membuat petak pengarnatan berukuran 5 rn x 5 rn di dalam petak

pengamatan 10 rn x 10 m tersebut.

Pengambitan Contoh Serasah dan Organisme Makroroobentos
Pengambilan contoh serasah dan organisme makrozoobentos dibkukan

pada tiap stasiun pengarnatan bersamaan
dengan pengambilan contoh kepaing
bakau. Contoh serasah diambil dengan menggunakan para

Dokumen yang terkait

Studi Pertumbuha dan Reproduksi Kepiting Bakau Scylla serruta, S.tranquebarica, S.Oceanica di Segara Anakan, Kab. Cilacap, Jawa Tengah

0 8 72

Pengaruh Perikanan Apong terhadap Keberadaan Sumberdaya Udang (PENAEID) di Perairan Karang Anyar, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (Studi Kasus di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap)

0 11 154

Studi Pertumbuhan dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau Scylla serrata dan S. tranquebarica di Perairan Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur

0 6 106

Analisis Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau (Scyllu serrata) di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

1 10 70

Distribusi dan kelimpahan kepiting bakau (Scylla olivacea, S. transuebarica, S. serrata) di segara anakan, Cilacap

0 8 7

Karakteristik Habitat Alami Kepiting Bakau Scylla Serrata Di Desa Ujung Alang, Cilacap Sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture

1 7 44

Pertumbuhan Dan Produktivitas Kepiting Bakau (Scylla Serrata) Di Perairan Delta Cimanuk, Indramayu, Jawa Barat

1 9 38

Pengaruh Perikanan Apong terhadap Keberadaan Sumberdaya Udang (PENAEID) di Perairan Karang Anyar, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (Studi Kasus di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap)

0 2 72

Karakteristik Habitat dan Kaitannya dengan Keberadaan Tiga Jenis Kepiting Bakau di Perairan Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah

0 4 140

View of ANALISIS BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI KEPITING BAKAU (SCYLLA SERRATA) DI PERAIRAN SEGARA ANAKAN, KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH

0 0 7