Tipologi Fungsional Mangrove Dan Keterkaitannya Dengan Komunitas Iktiofauna Di Pulau Lentea Kecamatan Kaledupa Selatan Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara

!

"

!

#
$

% !

&
%

'

(

)

" -


*++,

!"# $%!&! $
' () #& (*!
!00/ *($ *
# (# )& ') !/(,
&#'/%
*)( *-(
!/(,# )( /& +#)*
'# '* #-(*! !.

)

+*(, -,($!. /
1 (!2* # # -$
'

(
%

.

%
(

!

"

%

!

)

/

*++0% !
% 1


)

22

34

% 1

5
%
6
8!1*7 $

(
!)
7

:%
:
8


(
8!197 $

8;

('

-

*++0

/
/

(

(

%

(
(

>
/

8- :%

9(2

$

$
$
( 3%*@

*%2?

)


A

3+
2%+,

% A

8

(

:%

A
)
8

( 1):%

B

!

$

"

!

#

$
34

% !

-

22
% C
(

$

$
(

%

$
%

!)
7

$

(

$

(

$

%

(
%
$

$

%

&

$

&

%


3

1 *%( 0*&*1 )(*(/( # (
1 *%( '*&* '/ *

' (

*
'

#
#

! ! 4
5/ '

&

&


#
&&

&
&

#

&
#

* (

&
&

&

&

&

)

#

&

)

&
#

,/

&
"

#
)

#

&

#
"

&

!
!
!

/

7
!

"

-

7

" -

->

7

1429+2++39

!

%

$

%

% %

;% '

% %>

( B)

)

( B)

)

(
!

!

% % $

A$

(

7 ** )

*++,

%!

%

% %

$

)% -

(

7

%!

$

)

6 *%!&! *
/ )*! &
1(*!. / '* /& / # (# 4
/& +#)* #
6

!"
!"# '
#- 0 (

#(# 1 *(
$
&#'/% #& (

(

'#
2/% (#

%

(
'

;% '
)
(

'

(
(
C

)
' (

(

%
!

!%

!

=
%

8 !=
'
(
*++2

('
'

:
81
( D

(
(
$
$ (

!%

!

$

8
$

(

A
$
6 (

8'

! $

=

!
:

&

!:(

:(

$

8< (

(

>

/
'

(

B

(

(
C

%

=

)
" '

(

A

(
% %
% % >

%

( B)(
B)

)

=$
!0/ *( )
1 (!2*

%A
(

'

C

8
(

( '
: '(

)

()

(
$

( "
(
"
!

)

!" % )

:
%

(
(

%

'

(

)

*++,

92 /

C
!

89@00=9@,3:%

)-

:%

*++9

++,

$

>

9@,3=9@,4
-

+*

8)

>

%

! -

!

" )
9 /

( )

!

(

9@0+
'

)

$

+*

$

$

$
%

9@,4=9@,@

$

%

!

! $

8!9:

9@,@

!

A

/
'

C

9@@?%
! $

9@@@

$

$

!

!
%
!

A

C

*++2
(!

$

'

%

& 0
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

.

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

.

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

.

9%9%
'
9%*%
9%3%
$
9%?%
9%2% C

*%9% B
*%*%
*%3%
*%?%

3%9% "
3%*%
3%3%
3%3%9
3%3%*
)%
'%
1%
%
3%?% )
3%?%9% )
3%?%*% )
)% )
'% )
3%?%3% )
)%
'%
1%
3%?%?% )
'
3%?%2% )

!

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

9
9
?
?
?

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
B
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
B
%%%%%%%%

2
4
0
99

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
!
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
!
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
!
A
)
E
%%%%%%%%%
!
)
!
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
!
6
%%%%%%%%%%%%%%%%
!
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
E
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
6
%%%%%%%%%%%%%%%%%
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
6
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
/
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
/
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
$
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
C
'
E
!
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
!
'
!
%%%%%%

93
93
92
92
90
90
9,
9,
9@
9@
9@
*9
*9
*9
**
**
*3
*3
*?
*4

3%?%4%
$
3%?%0% )

A
'
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

*4

)
B
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

*@

?%9% E
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
?%*%
'
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
?%3% !
!
'
%%%%%
?%3%9% !
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
?%3%* !
'
'
!
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
?%?%
)
B
%%%%%%

39
3?
?*
?*

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

24

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

2,

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

43

?0
2+

& 0
9

&

*
3

(
-

%%%%%%%%%%%

99

%%%%%%

*9

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

?2

& 0
9

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

*

"

!

%%%%

9?

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

94

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

90

=
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

39

=

%%

3*

=

%

33

=

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

3?

=

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

32

=

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

34

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

30

3

=

?

8

2% /

=$

:

4%
0% ,

@

$

-

=

-

=

9+% -

=

99% -

=

C
=

9*% -

=

8

/
>
8 > :(
8 - : %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

43

%%%%

4?

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

42

6
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

44

6
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

40

>
8 >:

8 > :(
-

-

3

$

?

$

2

$

4% -

%%%%%%%%%%%%%%%

0 /

,

4,

(
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

4,

8) :
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

09

A
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

03

C

@

9+%

(

$

$
FFFFFFFFFFFFFFFFFFFF%%%%%%%%%%%%%%%%

04

9+% ;
FFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFF 00
99% C

)
FFFFFFFFFFFFFFFFFFFFF

93
9?

9( *

3 %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

$
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

0@
,+
,*

Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam hayati yang memiliki manfaat
penting baik dari aspek ekologi maupun aspek sosial ekonomi. Ditinjau dari aspek
ekologi, mangrove dihuni oleh beragam jenis biota baik yang hidup di perairan maupun
yang berasal dari daratan. Salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis penting
hidup di daerah mangrove adalah komunitas iktiofauna.
Ekosistem mangrove dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber bahan kayu
bakar, tiang tiang rumput laut dan sebagainya. Pemanfaatan ekosistem mangrove
semakin meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. Jika hal ini terus
berlangsung dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan ekosistem

mangrove yang

pada akhirnya akan mengancam kehidupan berbagai macam fauna invertebrata dan
vertebrata pada ekosistem ini, termasuk berbagai jenis iktiofauna.
Secara bio ekologis, perairan Pulau Lentea terdiri dari empat ekosistem penting,
yaitu pantai berpasir, lamun, mangrove dan terumbu karang. Pada keempat ekosistem ini
hidup beragam jenis biota. Ekosistem pantai berpasir didominasi oleh berbagai jenis
moluska, echinodermata (teripang). Ekosistem lamun dihuni oleh jenis ikan diantaranya
beronang, crustacea (kepiting), echinodermata (teripang), kerang kerangan dan lain lain,
sedangkan pada ekosistem mangrove terdapat beberapa jenis iktiofauna, dan beberapa
jenis gastropoda serta bivalvia.
Keterkaitan

ekosistem

mangrove

dengan

sumberdaya

iktiofauna

telah

dikemukakan oleh beberapa peneliti sebelumnya, diantaranya adalah Kawaroe (2000)
yang melaporkan bahwa di daerah mangrove Mayangan dan Blanakan Kabupaten Subang
Jawa Barat ditemukan sebanyak 74 spesies ikan ekonomis penting dari 37 famili yang
memperlihatkan adanya kontribusi ekosistem mangrove sebagai tempat tumbuh besar dan
mencari makan bagi beragam jenis ikan.

Ekosistem mangrove di Pulau Lentea merupakan bagian ekosistem mangrove
yang ada di Pulau Kaledupa dan sebagai hutan mangrove terluas (198 ha ) di Kabupaten

2
Wakatobi. Mangrove di Pulau Lentea terdiri dari tiga genera yaitu
dan

(api api),

(Ola, 2004). Umumnya vegetasi mangrove ditemukan dalam

tingkat pohon dan perkembangannya cukup baik. Pada ekosistem mangrove di lokasi
penelitian ditemukan berbagai jenis iktiofauna yang bernilai ekonomis penting.
Keberadaan komunitas iktiofauna ini sangat tergantung pada kondisi ekosistem mangrove
yang merupakan habitat bagi komunitas iktiofauna, baik sebagai daerah asuhan
(

), daerah mencari makan (

pemijahan (

) maupun sebagai tempat

) dan tempat berlindung.

Pemanfaatan sumberdaya mangrove yang cenderung meningkat oleh masyarakat
yang digunakan sebagai sumber bahan kayu bakar, tiang tiang rumput laut dan
sebagainya dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove, yang
mengakibatkan hilangnya komponen sumberdaya hayati lain yang terkandung di
dalamnya dan sumberdaya perikanan di wilayah perairan sekitarnya. Akhirnya ketika
ekosistem mangrove ini mengalami tekanan maka akan berdampak pada keberadaan
komunitas iktiofauna. Menurut May

(2005), sesuai dengan pendapat para peneliti

perikanan yang meyakini bahwa perikanan tradisional di daerah pesisir di sekitar
Kaledupa telah mengalami penurunan. Sumberdaya hasil laut desa Lentea saat ini juga
telah mengalami penurunan dibandingkan pada tahun tahun sebelumnya. Salah satu
bukti sumberdaya hasil laut yang menunjukkan penurunan dan dikhawatirkan adalah
sumberdaya iktiofauna yang sudah berada pada kondisi tangkap lebih yang ditandai
adanya jenis ikan yang ditangkap dibawah ukuran dewasa. Hal ini disebabkan adanya
anggota masyarakat desa yang kadang menggunakan tehnik alat tangkap seperti jaring
dan sero yang menggunakan ukuran mata jaring yang sangat kecil. Juga hadirnya
sebagian nelayan dari luar desa, dan

nelayan dari luar kecamatan/kabupaten

yang

melakukan penangkapan hasil hasil laut dikawasan tersebut yang kadang menggunakan
bom dan potasium. Penurunan sumberdaya hasil laut ini juga tidak terlepas dari adanya
kegiatan masyarakat yang mengeksploitasi mangrove yang digunakan sebagai sumber
bahan kayu bakar dan sebagainya.
Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem mangrove untuk kelangsungan
proses ekologis, hidrologis dan ketersediaan komunitas iktiofauna maka perlu dilakukan
penelitian ini dengan mengkaji keterkaitan antara kondisi ekosistem mangrove dan

3
keterkaitannya dengan komunitas iktiofauna, mengingat hal tersebut sampai saat ini
khususnya di Pulau Lentea Kaledupa Selatan belum pernah dilakukan. Secara umum
diagram pendekatan masalah dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Ekosistem Mangrove

Fungsi fisik

Fungsi ekologi

Fungsi sosial ekonomi

Habitat alami

Daerah pemijahan

Daerah asuhan

Daerah mencari makan

Struktur vegetasi
mangrove

Kondisi biofisik lingkungan
perairan dan sedimen

Komunitas iktiofauna
berdasarkan jenis
dan ukuran

Batasan penelitian

Gambar 1. Diagram pendekatan masalah

4

1. Mengkaji struktur dan kondisi ekosistem mangrove.
2.

Mengkaji struktur iktiofauna dan sebarannya berdasarkan kondisi perairan.

3. Menganalisis keterkaitan antara ekosistem mangrove dan komunitas iktiofauna.
! "

#
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam bidang pendidikan dan

ilmu pengetahuan mengenai keterkaitan antara mangrove dan komunitas iktiofauna.
Selain itu juga memberikan informasi dan masukan bagi PEMDA setempat, masyarakat
dan pengguna lain akan pentingnya ekosistem mangrove terhadap komunitas iktiofauna.
Informasi ini selanjutnya dapat digunakan dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove
bagi kepentingan perikanan dan konservasi.
$

%
Kerapatan dan Nilai Penting mangrove serta kondisi biofisik lingkungan perairan

mangrove berpengaruh terhadap struktur komunitas iktiofauna.

5
&

%

'

(

%)

Beberapa ahli mendefinisikan istilah mangrove secara berbeda beda, namun pada
dasarnya merujuk pada hal yang sama. Kata mangrove berasal dari kata
berarti komunitas suatu tumbuhan (How Chaw 1984

yang

Rusila

1993),

sedangkan Bengen (2004) mendefinisikan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai
tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh
dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Mangrove umumnya

tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan
terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, karena itu hutan
mangrove banyak ditemukan di pantai pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan
daerah pantai yang terlindung .
Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi,
dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis
palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat
kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam
hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang
termasuk ke dalam empat famili : Rizophoraceae
Sonneratiacea

, Avicenniaceae

dan
dan Meliaceae !

"

Secara umum karakteristik habitat (tempat hidup) mangrove adalah sebagai berikut
(Bengen, 2004) :


Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung atau berpasir.



Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya
tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi penggenangan menentukan
komposisi vegetasi mangrove.



Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.



Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
bersalinitas payau (2 – 22 ‰) hingga asin (mencapai 38 ‰).

Air

6
Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri khusus karena
lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh salinitas serta
fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut air Laut (Duke, 1992).
Ekosistem mangrove dikenal juga dengan istilah
dan hutan payau (Kusmana

,

#

2005), yang terletak di perbatasan antara darat dan laut,

tepatnya di daerah pantai dan disekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut
air laut (Sumaharni, 1994).
Ekosistem mangrove dan perairan di sekitarnya merupakan suatu ekosistem yang
spesifik. Hal ini disebabkan oleh proses kehidupan organisme yang saling berkaitan
yang terdapat di daratan maupun di lautan.

Selain itu ekosistem mangrove sangat

berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya, karena hutan mangrove berperan sebagai
penghasil bahan organik yang berguna untuk menunjang kelestarian organisme
(Heald dan Odum, 1972

*

+

#

Djamali, 1994).

%

%)

Mangrove merupakan sumberdaya alam wilayah pesisir tropis yang memiliki
manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas terhadap aspek sosial, ekonomi, dan
ekologi. Besarnya peranan ekosistem mangrove terhadap kehidupan dapat diamati dari
keragaman jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan, maupun di tajuk tajuk
tumbuhan mangrove serta ketergantungan manusia secara langsung terhadap ekosistem
ini (Naamin, 1991). Hutan mangrove juga merupakan kombinasi dari tanah, air,
tumbuhan, binatang, dan manusia yang menghasilkan barang dan jasa (Hamilton and
Snedaker, 1984).
Menurut pendapat para ahli, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik
dengan berbagai macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologi, fungsi ekonomi atau
fungsi produksi (Naamin 1991). Fungsi fisik dari ekosistem mangrove, yaitu menjaga
garis pantai tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi
pantai, serta sebagai zat perangkap zat pencemar dan limbah. Fungsi biologi ekosistem
mangrove adalah sebagai daerah pasca larva dan juvenil jenis jenis ikan tertentu dan
menjadi habitat alami berbagai jenis biota. White

Naamin (1991) menyatakan

7
bahwa ekosistem mangrove memiliki produktivitas yang tinggi, dan fungsi ekonomis
ekosistem mangrove sangat banyak baik jumlah maupun kualitasnya.
Bengen (2004),

menyatakan fungsi ekologis hutan mangrove adalah sebagai

berikut :


Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan
lumpur dan perangkap sedimen yang di angkut oleh aliran air permukaan.



Sebagai penghasil sejumlah detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan
pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai
bahan makanan bagi para pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan secara
bakterial menjadi mineral mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan.



Sebagai daerah asuhan (

), daerah mencari makan (

daerah pemijahan (

) dan

) bermacam biota perairan (ikan, udang dan

kerang kerang) baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai.
Peran yang sangat penting dari ekosistem mangrove adalah berhubungan dengan
produktivitas primer ekosistem tersebut yang tinggi jika dibandingkan dengan ekosistem
lain di wilayah pesisir, karena secara biologi ekosistem mangrove merupakan ekosistem
pesisir yang subur dan diperkirakan produktivitas primer ekosistem ini adalah lebih besar
dari pada produktivitas ekosistem perairan pantai lainnya seperti ekosistem terumbu
karang dan padang lamun (Indradjaya, 1992).

Sebagai suatu ekosistem, mangrove

menopang kekayaan plasma nutfah yang mengakibatkan banyak biota darat maupun biota
laut yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di ekosistem ini. Dilihat dari aspek
perikanan dapat diduga bahwa ekosistem mangrove merupakan daerah penghasil ikan,
udang, kepiting dan produk perikanan lain yang memanfaatkan ekosistem mangrove
sebagai tempat mencari makan (

dan tempat pembesaran (

"

(

%)

Suhu perairan merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sebaran organisme
akuatik dan reaksi kimia. Peningkatan suhu perairan secara langsung ataupun tidak
langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme suatu perairan. Selanjutnya Sylva

8
Train (1979) menyatakan bahwa suhu berpengaruh terhadap metabolisme,
respirasi, tingkah laku, distribusi, migrasi, kecepatan makan, pertumbuhan dan reproduksi
organisme perairan. Kusmana (1993) menyatakan bahwa pertumbuhan mangrove yang
baik memerlukan suhu udara rata rata minimal lebih besar dari 20°C dan perbedaan suhu
musiman tidak melebihi 5°C, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman
mencapai 10°C. Hutching dan Saenger (1987) mendapatkan kisaran suhu optimum untuk
pertumbuhan beberapa spesies mangrove, yaitu
18 20°C dan suhu optimum

tumbuh baik pada suhu

spp. sekitar 27°C.

Boyd (1982) mendefinisikan kekeruhan sebagai ukuran biasan cahaya dalam air
yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi suatu polutan yang terkandung
di perairan. Kekeruhan pada perairan pesisir tidak sama sepanjang tahun, air akan
sangat keruh pada musim penghujan. Kekeruhan di perairan pesisir terutama
disebabkan oleh adanya erosi dari daratan. Pengaruh utama dari kekeruhan adalah
penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga menurunkan aktivitas
fotosintesis fitoplankton dan alga bentik, akhirnya akan menurunkan produktivitas
perairan (Nybakken, 1988)
Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove, berbagai jenis
mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda beda. Beberapa
diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media
tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam
dari kelenjar khusus daunnya.

Bengen (2004) menyatakan adaptasi mangrove

terhadap kadar garam yang tinggi ada beberapa cara yakni tumbuhan memiliki sel
sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam, berdaun tebal dan
kuat yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam dan
daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran
salinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. Lingkungan asin
(bergaram) diperlukan untuk kestabilan ekosistem mangrove (Lugo, 1980).
Salinitas pada air, tanah dan substrat diketahui sangat penting bagi pertumbuhan
sintasan, dan zonasi mangrove (Aksornkoae, 1993).

Tumbuhan mangrove

tumbuh subur pada daerah estuaria dengan salinitas 10 30‰. Jenis jenis

9
umumnya ditemui hidup di daerah dengan salinitas tanah mendekati
salinitas air laut.
Noor

(1999).

pada salinitas 55 ‰ (Chapman, 1976
Jenis jenis

umumnya tumbuh pada daerah dengan

salinitas di bawah 25 ‰ (MacNae, 1968

Noor

, 1999) menyebutkan bahwa

kadar salinitas optimum untuk "

adalah 10 25 ‰.

Sumber oksigen terlarut dalam perairan dapat diperoleh dari hasil proses
fotosintesis fitoplankton atau tumbuhan hijau dan proses difusi dari udara, serta hasil
proses kimiawi dan reaksi reaksi oksidasi. Keberadaan oksigen di perairan biasanya
diukur dalam jumlah oksigen terlarut dalam satu liter air. Oksigen terlarut sangat
penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis
dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah.

Oleh karena itu, konsentrasi

oksigen terlarut berperan mengontrol komposisi spesies, distribusi dan pertumbuhan
mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan
tanah, keanekaragaman tumbuhan, dan organisme aquatik.
Hara yang dihasilkan oleh serasah mangrove antara lain mengandung N dan P
yang terlarut dalam air akan menunjang proses pertumbuhan fitoplankton. Sehingga
terdapat hubungan antara total N dan P serasah, total N dan P air, produktivitas
perairan dan jumlah individu fitoplankton, zooplankton dan makrozoobentos
(Welch dan Lindell, 1980).
Fitoplankton merupakan tumbuhan mikroorganisme yang hidup melayang atau
mengapung di dalam air dan tidak mampu menahan arus (Barnes, 1980).

Ruang

hidupnya mulai dari permukaan hingga pada kedalaman yang dapat ditembus oleh cahaya
matahari. Fitoplankton mampu hidup di perairan yang tenang seperti kolam, danau dan
waduk atau di perairan laut. Kesuburan suatu perairan dan potensi sumberdaya hayati
umumnya ditentukan oleh besarnya biomassa dan produktivitas fitoplankton (Nontji,
1984). Dalam suatu perairan fitoplankton memiliki fungsi (1) pengubah zat anorganik
menjadi zat organik; (2) makanan zooplankton dan beberapa jenis larva ikan; (3) sumber
zat asam; dan (4) bagian dari daur ulang hara yang terkandung dalam perairan
(Raymont, 1963).
Fitoplankton merupakan salah satu organisme penting di perairan karena
fitoplankton adalah produser primer yang sangat penting bagi rantai makanan, dimana

10
fitoplankton mengolah makanan dari mineral dan zat hara dengan prosess fotosintesis
menjadi zat zat organik.

Selanjutnya fitoplankton akan dimakan oleh zooplankton

sebagai konsumen pertama, sedangkan zooplankton sendiri akan dimakan oleh konsumen
tingkat kedua yang merupakan hewan predator. Dengan demikian fitoplankton secara
tidak langsung sangat

dibutuhkan bagi kehidupan organisme di suatu perairan

(Raymont, 1963).
Kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dipengaruhi oleh tersedianya unsur hara
terutama dalam bentuk senyawa fosfor dan nitrat.

Oleh karena itu kelimpahan

fitoplankton dapat bervariasi baik menurut ruang maupun waktu.

Dalam variasinya

menurut ruang, estuaria sering merupakan area kesuburan tinggi dan populasi
fitoplankton yang cukup besar (Hartati
Zooplankton sangat kaya jenis.
sebagai plankton, disebut

$

1990).
Ada hewan yang seluruh daur hidupnya tetap
.

Ada pula yang hanya sebagian dari daur

hidupnya sebagai plankton. Kehidupan sebagai plankton dijalaninya hanya pada awal,
sebagai telur atau larva, sedangkan bila telah dewasa hidup sebagai nekton (berenang
bebas) atau bentos (hidup di dasar laut). Plankton yang bersifat sementara ini disebut
$

. Acapkali bentuk larva sebagai plankton sangat jauh bedanya dengan

bentuk dewasanya. Larva kepiting misalnya sama sekali tidak menunjukkan persamaan
bentuk dengan kepiting dewasa (Nontji, 1993).
Bentos mencakup semua organisme yang hidup di dasar atau dalam dasar perairan.
Berdasarkan pada ukurannya, bentos dikelompokkan menjadi makrobentos (tersaring
dengan

No. US. 30) dan mikrobentos, sedangkan menurut batasan biologis

digolongkan menjadi fitobentos dan zoobentos (Dahuri

1993). Zoobentos yang

hidup di permukaan dasar perairan dinamakan epifauna dan yang hidup di bawah
permukaan dasar perairan dinamakan infauna.
Peran bentos di dalam ekosistem perairan sangat besar diantaranya sebagai pengurai
bahan bahan organik yang terdapat di dasar atau dalam dasar perairan, pemindah energi
dari produser primer ke organisme pada tingkat trofik yang lebih tinggi. Selain itu,
beberapa diantaranya bernilai ekonomis penting, seperti oyster, lobster, golongan
kepiting dan udang.

11
Sebagian besar jenis jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur
terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman, 1976). Di
Indonesia, substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan
dan

" Jenis jenis lain seperti

tumbuh

dengan baik pada substrat berpasir, bahkan pada pulau karang berupa pecahan
karang, kerang dan bagian bagian dari %
#

"

Di Indonesia,

"

dan

tumbuh pada pantai yang berpasir, atau bahkan pada pantai

berbatu (Ding Hou Kint, 1934
! (

+ ,

Norr
%#

+

1999).
%

%)

Ekosistem mangrove merupakan daerah perikanan yang lebih subur daripada
dataran lumpur terutama yang terdapat di daerah sepanjang pantai sekitar beting karang
(reef) dan laguna (lagoon). Tumbuhan mangrove dapat memproses makanan yang
merupakan suplai pangan dari dataran lumpur ke bentuk yang tersedia dan dapat
dimanfaatkan oleh berbagai jenis hewan laut seperti ikan, kepiting dan kerang kerangan
yang dapat dimakan oleh manusia. Tumbuhan mangrove disamping melengkapi pangan
untuk binatang juga mampu menciptakan iklim yang cocok untuk binatang tersebut.
Tidak teraturnya sistem perakaran dan batang mangrove serta dengan berbagai bentuk
ukuran parit dan kolam yang saling berhubungan, merupakan perlindungan bagi banyak
binatang, khususnya sebagai tempat membesarkan anak karena suplai makanan tersedia
dan terlindung dari ikan pemangsa dan ganasnya laut (Sukarjo dan Frey, 1986
Kaswinto, 1992).
Burbridge dan Maragos (1985) menyatakan bahwa ekosistem pesisir terkait satu
sama lain karena adanya aliran energi dan mineral.

Meskipun hutan mangrove

ditemukan di sepanjang garis pantai Queensland, penelitian penelitian mengenai
komunitas ikan yang masuk ke habitat habitat ini pada saat pasang masih sedikit
(Stephenson dan Dredge 1976; Morton 1990; Robertson and Duke 1990

Halliday,

1996). Hal ini mengindikasikan bahwa kerugian habitat belum diperhitungkan dalam
produktivitas perikanan.
Sebagian besar jenis biota laut (ikan, udang, kepiting) yang bernilai ekonomi
penting hidup di daerah mangrove. Menurut Snedaker (1978) sekitar 80% dari jenis jenis

12
ikan laut daerah tropika menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase dalam daur
hidupnya, di daerah pesisir berhutan mangrove.
Djamali (1994), menyatakan bahwa di perairan mangrove sekitar Sungai Donan dan
Sungai Sapuragel (Cilacap, Jawa Tengah) ditemukan 15 spesies ikan yang berasal dari
10 famili. Di sekitar perairan mangrove Teluk Bintuni, Papua Barat ditemukan
57 spesies ikan dari 26 famili. Di perairan sekitar mangrove muara Sungai Berau,
Kalimantan Timur didominasi oleh ikan ikan dari famili Sciannidae, Polnemidae dan
Strimateidae.
Di perairan Mangrove sekitar sungai Musi Banyuasin, dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa di daerah tersebut dijumpai 99 spesies ikan dari 38 famili, 9 famili
diantaranya merupakan ikan yang bernilai ekonomis penting (Genisa, 1994).
Kawaroe (2000) melaporkan bahwa terdapat sebanyak 74 spesies ikan ekonomis
penting dari 30 famili di perairan mangrove sekitar Mayangan dan Blanakan, kabupaten
Subang, hasil tangkapan di dua daerah tersebut didominasi oleh &
'

dan (

" Kelompok famili ikan

tersebut diklasifikasikan ke dalam dua grup, yaitu ikan yang berasosiasi dengan estuaria
sungai dan ikan yang berasosiasi dengan estuaria laut. Meskipun fauna ikan di Mayangan
memiliki kelimpahan yang rendah, tetapi nampaknya kaya akan spesies ketimbang
daerah Blanakan.
Menurut beberapa peneliti sebelumnya bahwa hanya (Yanez Aranccibia, 1985
Haroen, 2002) melaui penelitian yang dilakukan di teluk Mexico, telah
menemukan secara jelas hubungan positif antara penangkapan ikan yang dilakukan
secara komersil dengan wilayah pesisir yang ditumbuhi mangrove. De Graaf dan Xuan
(1997) memberikan gambaran mengenai hubungan antara hasil tangkapan ikan dan
mangrove merupakan ssuatu hubungan yang kompleks karena perubahan perubahan yang
terjadi pada

adalah sangat nyata.

13
13
-

/

"

.

+

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2007 di ekosistem
mangrove yang terdapat di pulau Lentea Kecamatan Kaledupa Selatan Kabupaten
Wakatobi Sulawesi Tenggara (Gambar 2) dan analisa sampel dilakukan di Laboratorium
Dasar Kimia Analitik Universitas Haluoleo Kendari, serta Laboratoriun Biologi Laut
Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.

"
Materi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari pohon mangrove,
contoh air dan sedimen di lokasi penelitian, serta bahan pengawet iktiofauna (formalin)
dan iktiofauna hasil tangkapan.
Peralatan, bahan, alat dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
secara rinci disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter biofisik perairan dan sedimen serta bahan/alat analisis
NO

Kualitas Air

Satuan

Bahan/Alat analisis

Bahan

Parametr Fisik
1.
2

Suhu (
)
Kekeruhan

°C
NTU

Termometer
Turbidimeter

Air contoh
Air contoh


mg/l
mg/l
mg/l

pH meter
Refraktometer
Alat Titrasi
Spektrofotometer
Spektrofotometer

Air contoh
Air contoh
Air contoh
Asam disulfonim, NO3, H4OH
Asam disulfonim, PO4,
NH4OH

mV

pH meter
Redoks potensiometer

Substrat
Sampel sedimen
Sampel sedimen

Plankton net
Pipa paralon
Meteran, Counter

Ind iktiofauna
Air contoh
Ind makrozoobentos
Area mangrove

Parameter Kimia
1.
2.
3.
4.
5

pH (
)
Salinitas (
)
DO
NO3 N (Spektofotometrik)
PO4 (Sepektofotomtrik)

Kualitas Sedimen
1.
2.
3.

Fraksi Substrat
pH
EH
Biologi

1
2.
3.
4.

Iktiofauna
Plankton
Makrozoobentos
Mangrove

cm, ind
sel/l
ind/m2
Ind/ha, %

14

Gambar 2. Lokasi penelitian di kepulauan Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara

15
% +

Lokasi penelitian dibagi atas tiga stasiun pengamatan. Penentuan titik stasiun
dilakukan pada setiap kerapatan mangrove baik secara vertikal maupun secara horizontal,
dan berdasarkan keberadaan ekosistem mangrove di Pulau Lentea (Gambar 3).
Stasiun 1 ditempatkan di sebelah barat Pulau Lentea, dengan kondisi topografi
pantainya agak curam, kedudukan ekosistem mangrove dengan ekosistem lamun dan
terumbu karang yang cukup berdekatan. Pada stasiun ini pula ditentukan sub stasiun,
dimana sub stasiun 1A terletak di bagian utara selat yang berhadapan langsung dengan
perairan desa Langge sub stasiun 1B terletak di bagian tengah selat, sub stasiun 1C
terletak di teluk dan sub stasiun 1D di sebelah selatan selat berhadapan dengan perairan
Pulau Batambawi.
Stasiun 2 ditempatkan di sebelah utara Pulau Lentea yang berbatasan dengan Pulau
Darawa dimana topografi pantainya agak curam, ekosistem mangrove dan ekosistem
lamun berdekatan namun agak jauh dari ekosistem terumbu karang. Sub stasiun 2A
terletak di sebelah kanan selat, sub stasiun 2B terletak di bagian tengah selat dan sub
stasiun 2C terletak di bagian kiri selat
Stasiun 3 terletak di sebelah timur Pulau Lentea, agak menjorok ke dalam sehingga
agak terlindung dari gelombang laut Banda oleh karena itu masih terdapat ekosistem
mangrove. Keadaan topografi pantainya lebih landai, jarak antara ekosistem mangrove,
ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang agak berjauhan.

16











■■





■■





■■

■■











Gambar 3. Lokasi pengambilan sampel pada masing masing stasiun

17

+

+
)

%)

Sampel vegetasi mangrove yang digunakan adalah pada tingkat pohon (

),

dengan kriteria diameter > 4 cm (Bengen, 2004).
Pengambilan sampel untuk analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan
menggunakan metoda plot transek garis dari arah perairan ke arah darat di daerah
intertidal (Bengen, 2004). Panjang transek garis batas tumbuh mangrove ke arah darat
bergantung kepada ketebalan mangrove pada tiap tiap stasiun pengamatan. Pada setiap
transek garis dari arah perairan ke arah darat diletakkan petak petak contoh (plot)
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10m x 10 m (Gambar 4).

Darat

Plot 1

Plot 2

Plot 3

Plot 1

Plot 2

Plot

L
A
U
T

300 m

300 m
Plot 1

%0

Plot 2

Plot 3

1% %

Gambar 4. Transek garis dengan petak contoh (plot) dari pinggir perairan ke arah darat
untuk pengamatan vegetasi mangrove.

18
Jumlah petak contoh untuk tiap tiap transek garis adalah 3 petak contoh. Pada
setiap petak contoh yang telah ditentukan, dilakukan pengukuran jumlah individu setiap
jenis dan lingkar diameter batang pohon. Pengukuran lingkar diameter batang dilakukan
setinggi dada (DBH = )
-

%
+

) atau sekitar 1.3 m di atas pertemuan akar.

+

Pengambilan sampel air dilakukan pada masing masing substasiun pengamatan.
Sampel air yang diukur di lapangan meliputi suhu, kekeruhan, oksigen terlarut (DO), pH
dan salinitas. Sedangkan untuk sampel yang tidak dapat diukur langsung di lapangan
( nitrat dan fosfat) dilakukan pengambilan sampel air kemudian dimasukkan dalam 'cool
box' untuk mengurangi aktivitas mikroorganisme dalam sampel selanjutnya dianalisis di
laboratorium.
Sampel sedimen diambil dengan menggunakan pipa paralon, yang diambil pada
substasiun yang sama dengan pengambilan contoh air, sedimen diambil kurang lebih 500
gram selanjutnya dimasukkan ke dalam plastik dan disimpan dalam

# * selanjutnya

dianalisis di laboratorium. Sampel air dan sedimen dianalisis di laboratorium Dasar
Kimia Analitik Universitas Haluoleo Kendari.
2

% +

%3%%

%

Pengambilan sampel plankton dari kolom air diambil dengan bantuan ember
(5 liter) sebanyak 20 kali ulangan sehingga total air yang disaring nantinya sebanyak
100 liter. Sampel plankton disaring dengan menggunakan

$

(jaring plankton)

yang berbentuk kerucut dengan diameter 30 cm dan mata jaring 35 Pm untuk
fitoplankton dan zooplankton. Hasil saringan plankton dituangkan ke dalam botol contoh
dan diawetkan dengan larutan lugol.
Plankton yang telah diawetkan kemudian diidentifikasi hingga ke takson yang
memungkinkan yaitu genus dengan menggunakan buku pedoman Yamaji (1982), Tomas
(1997) di Laboratoriun Biologi Laut Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin Makasar.
Hewan makrozoobentos yang berada di atas dan di dalam lumpur sedimen diambil
dikumpulkan pada setiap sub stasiun yang sama dengan titik pengambilan sampel
kualitas air, dengan menggunakan alat

“Pipa paralon ”yang berdiameter lingkaran

19
14.5 cm dengan tinggi pipa 25 cm dalam petak contoh 1m x 1m sebanyak 3 kali,
selanjutnya untuk memisahkan makrozoobentos dari lumpur dan benda benda lain
digunakan saringan dengan ukuran mata jaring 0.5 mm Setelah bentos terpisah dari
substrat dasar, kemudian dikumpulkan dan dikemas dalam botol serta diawetkan dengan
larutan formlain 37% untuk selanjutnya diidentifikasi hingga takson yang memungkinkan
di Laboratoriun Biologi Laut Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin Makasar.
%#
Pengambilan sampel iktiofauna pada setiap stasiun dilakukan dengan menggunakan
alat tangkap

dengan ukuran panjang 20 meter, lebar 1,5 meter dengan 3 ukuran

mata jaring yaitu 2,54 cm, 3.29 cm dan 6.35 cm. Pengambilan contoh pada setiap
substasiun dilakukan pada saat pasang hingga surut dengan tiga kali ulangan. Dari semua
jenis iktiofauna yang tertangkap dilakukan identifikasi jenis, dan diukur panjang totalnya,
diawetkan dengan larutan formalin (4%) untuk identifikasi lebih lanjut.
Informasi komunitas iktiofauna yang perlu diketahui adalah :

!
!



Jenis iktiofauna yang diperoleh untuk mengetahui komposisi jenis.



Data panjang total iktiofauna.



Kelas ukuran iktiofauna
+
)

%)

Analisis data vegetasi mangrove menggunakan metode yang diberikan oleh Bengen
(2004), yaitu meliputi: Kerapatan Jenis (Ki), Kerapatan Relatif (KRi), Frekuensi Jenis (F),
Frekuensi Relatif (FRi), Basal Area (BA), Penutupan Jenis atau Dominasi (Di), Dominasi
Relatif (DRi) dan Nilai Penting (NP) :
1. Kerapatan Jenis (Ki) adalah jumlah individu jenis i dalam suatu unit area
...............................................................................(1)
dimana Ki adalah kerapatan jenis i, ni adalah jumlah total individu dari jenis i dan A
adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot).

20
2. Kerapatan Relatif (KRi) adalah perbandingan antara jumlah individu jenis i (ni) dan
jumlah total tegakan seluruh jenis (Σn) :
(4 5 6 0 Σ 7 8 99…………………………....................(2)
3. Frekuensi Jenis (F) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh/plot
yang diamati :

Σ ……………………………………....................(3)
di mana

i

adalah frekuensi jenis i, pi adalah jumlah petak contoh/plot di mana

ditemukan jenis i, dan p adalah jumlah total petak contoh/plot yang diamati.
4. Frekuensi Relatif (FRi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dan jumlah
frekuensi untuk seluruh jenis (ΣF) :

Σ

…………………………………...(4)

- 5 6π
π -

7 0 !..........................................................(5)

5. Basal Area (BA)

di mana BA adalah basal area, π (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah
diameter batang pohon dari jenis i.
6. Penutupan Jenis atau Dominasi Jenis (Di) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu
unit area :
5 Σ - 0 ……………………………………………(6)
di mana BA adalah Basal Area dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas
total petak contoh/plot)
:

Penutupan Relatif Jenis atau Dominasi Relatif (DRi) adalah perbandingan antara luas
area penutupan jenis i

dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis, atau

perbandingan antara dominasi individu jenis I (Di) dan jumlah total dominasi seluruh
individu (ΣD) :
4 56

0 Σ 7 8 99.....................................................(7)

21
8. Nilai Penting (NP) adalah jumlah nilai Kerapatan Relatif (KRi), Frekuensi Relatif
(FR) dan Dominasi Relatif (DRi) :
…………………………………………………...(8)

!

% +

%3%%

%

%
Pemeriksaan dan pengukuran plankton (fitoplankton dan zooplankton) dilakukan di
laboratorium dengan alat seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Parameter, metode dan alat yang digunakan dalam analisis plankton.
NO

Parameter yang diukur

Metode analisis

1.

Fitoplankton

Pencacah

2.

Zooplankton

Pencacah

Alat
Mikroskop,

$+

Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dinyatakan dalam sel per liter. Rumus
perhitungan kelimpahan fitoplankton adalah sebagai berikut :
* (, / , ) *(, 1 / ,
, 2

=

dimana :
N

= Kelimpahan plankton (sel/l)

n

= Jumlah sel yang tercacah (sel)

Vt

= Volume total

Vs

= Volume

(1000 mm3)

$+
$+

)

yang diamati (150 ml)

Vol 1 = Volume air contoh hasil pengendapan (100 ml)
Vol 2 = Volume air contoh yang diendapkan (100 ml)
Vols = Volume penampang
-

%3%%

$+

(1 ml)

%

Komposisi spesies hewan makrobentos menggambarkan kekayaan spesies hewan
makro bentos yang terdapat di lingkungan perairan. Sedangkan kepadatan spesies hewan
makrobentos didefinisikan sebagai jumlah individu satu spesies per stasiun, biasanya
dalam satuan meter kuadrat (Odum, 1971).

22
Secara matematis dapat dijabarkan sebagai berikut :
K = 10000 x ∑ni
A
dengan :
K

= Kelimpahan hewan makrobentos ( ind/ m2)

∑ni

= Jumlah hewan makrobentos (individu)

A

= Luas pipa paralon (cm2 )

10000 = Konversi dari cm2 ke m2
!

%
(

%#
%#

Kelimpahan iktiofauna dinyatakan dalam individu per meter kuadrat.

Rumus

perhitugan kelimpahan iktiofauna adalah sebagai berikut :
=



dimana :
N = Kelimpahan iktiofauna (ind/m2)
ni = Jumlah iktiofauna jenis i yang tertangkap (individu)
A

(m2)

= Luas alat tangkap

- (

%#
Keanekaragaman jenis iktiofauna dihitung dengan menggunakan Indeks Shannon

Wiener (Odum, 1993) :
% '= − ∑(

log

)

=1

dimana :
H’ = Indeks Keanekaragaman Shanon Wiener
ni = Jumlah jenis iktiofauna ke i
N = Jumlah semua jenis iktiofauna

23
Kriteria penilaian berdasarkan keanekaragaman jenis adalah :
1. jika H’ < 1, Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, jumlah iktiofauna tiap jenis
sedang dan kestabilan komunitas rendah.
2. Jika 1 < H’ < 3, Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, jumlah iktiofauna tiap
jenis sedang dan kestabilan komunitas sedang.
3. Jika H’ > 3, keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, jumlah iktiofauna tiap jenis
tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.

2 (

%#
Keseragaman jenis Iktiofauna (E) dihitung dengan menggunakan Indeks

Shannon Wiener (Odum, 1993) :
E = H’/H’maks
dimana :
E

= Indeks keseragaman

H’max = log S
S

= Jumlah jenis iktiofauna

Nilai keseragaman jenis berkisar antara 0 dan 1. Semakin kecil nilai tersebut
(mendekati nol) maka semakin kecil keseragaman yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa
penyebaran individu tiap jenis tidak sama dan ada kecendrungan populasi tersebut
didominasi oleh suatu jenis. Jika nilai keseragaman tinggi (mendekati 1), maka dikatakan
bahwa populasi menyebar merata dan tidak ada jenis yang dominan.

%

%#

Dominansi jenis dihitung dengan menggunakan Indeks Dominansi Simpson
(Odum, 1993) :
-

5


=1

(
(

− 1)
− 1)

dimana ;
D = Indeks dominansi jenis
ni = Jumlah iktiofauna jenis ke i
N = Jumlah total iktiofauna

24

!!

%)
+

+

)

%#

+

Untuk menentukan karaktersitik variasi biofisik perairan dan sedimen antar stasiun
pengamatan digunakan Analisis Komponen Utama (-

atau

PCA) (Bengen, 2000). Analisis Komponen Utama merupakan metoda statistik deskriptif
yang dapat digunakan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi
maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri
dari stasiun penelitian sebagai individu statistik (baris) dan variabel lingkungan (Biofisik
perairandan sedimen) yang berbentuk kuantitatif (kolom).
Bengen (2000) lebih lanjut menyatakan bahwa analisis ini memungkinkan adanya
suatu reduksi terhadap dimensi dari ruang ruang agar dapat lebih mudah dibaca dengan
kehilangan informasi sesedikit mungkin. Metode ini bertujuan mendeterminasi sumbu
sumbu optimum tempat diproyeksikannya individu individu dan / atau variabel variabel.
Data variabel biofisik perairan dan sedimen yang diperoleh tidak memiliki
pengukuran yang sama, maka sebelum dilakukan Analisis Komponen Utama, data
tersebut perlu dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian
Nilai sesudah pemusatan diperoleh dari selisih antara nilai variabel dengan nilai
rata rata, yakni :

=

_

−*

dimana :
C = Nilai pemusatan
Ni = Nilai asli variabel
_

* = Nilai rata rata variabel
Sementara pereduksian merupakan hasil bagi antara variabel yang telah
dipusatkan dengan nilai simpangan baku variabel, yang dirumuskan sebagai berikut:
=

dimana :
R = Nilai pereduksian
C = Nilai pemusatan
S = Nilai simpangan baku variabel

25
Untuk menentukan hubungan antara dua variabel digunakan pendekatan matriks
korelasi yang dihitung dari indeks sintetik (Ludwig dan Reynolds, 1988), yaitu:
R s x s = As x n At n x s
dimana :
Rs x s = Matriks korelasi rij
As x n = Matriks indeks sintetis rij
At n x s = Matriks transpose (pertukaran baris dan kolom) dari matriks A
Korelasi linear antara dua variabel yang dihitung dari indeks sintetiknya merupakan
peragam dari dua variabel yang telah dinormalkan. Tahapan ini sebenarnya merupakan
suatu usaha untuk mentransformasikan p variabel kuantitatif awal (inisial), yang kurang
lebih saling berkorelasi, ke dalam p variabel kuantitatif baru yang disebut komponen
utama. Dengan demikian hasil dari analisis ini tidak berasal dari variable variabel awal
(inisial) tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linier variabel variabel
asal.
Di antara semua indeks sintetik yang mungkin, analisis ini mencari terlebih dahulu
indeks yang menunjukkan ragam individu yang maksimum.

Indeks ini disebut

komponen utama pertama atau sumbu ke 1 (F1), yaitu suatu proporsi tertentu dari ragam
total stasiun yang dijelaskan oleh komponen utama ini. Selanjutnya dicari komponen
utama kedua (F2) yang memiliki korelasi nihil dengan F1 dan memiliki ragam individu
terbesar. Komponen utama kedua memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap
komponen utama pertama. Proses ini berlanjut terus sehingga diperoleh komponen utama
ke p, di mana bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil.
Pada prinsipnya Analisis Komponen Utama menggunakan pengukuran jarak
Euclidean

(jumlah

kuadrat

perbedaan

antara

individu

untuk

berkoresponden) pada data. Jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut:
2

( , 2 ) = ∑ ( ! . − ! ' . )2
. =1

dimana :
i,i’ = dua baris
j

= indeks kolom (bervariasi dari 1 hingga p)

variabel

yang

26
Semakin kecil jarak Euclidean antara dua stasiun, maka semakin mirip
karakteristik biofisik perairan dan sedimen antar kedua stasiun tersebut dan sebaliknya
semakin besar jarak Euclidean antara dua stasiun, maka semakin berbeda karaktersitik
Biofisik perairan dan sedimen kedua stasiun tersebut.

!$

%#

+

Untuk mengetahui sebaran iktiofauna berdasarkan stasiun penelitian digunakan
Analisis Faktorial Koresponden (

atau CA) (Bengen, 2000).

Analisis Faktorial Koresponden merupakan salah satu bentuk analisis sidik peubah
ganda atau analisis statistik multidemensi. Analisis ini didasarkan atas matriks data
I baris (kelimapahan iktiofauna) dan J kolom (stasiun) dimana ditentukan pada baris ke i
dan kolom ke j kelimpahan iktiofauna dari stasiun pengamatan.
Analisis Faktorial Koresponden merupakan suatu analisis komponen utama ganda
dengan suatu pengukuran jarak khi kuadrat. Analisis ini tidak menghasilkan dua grafik
yang independen tapi hanya satu grafik unik dimana baris dan kolom dipresentasikan
pada grafik yang sama. Hal ini dimungkinkan karena terdapat hubungan sederhana
antara koordinat faktoril dari karakter baris dan karakter kolom. Selanjutnya untuk
pengukuran kemiripan antara dua baris atau dua kolom dilakukan melalui pengukuran
jarak khi kuadrat dengan menggunakan persamaan :
2

( , ') = ∑(! . / ! − !
. =1

'.

/ ! ' )2 / ! .

dimana :
Xi = Jumlah dari baris i untuk keseluruhan kolom j
Xj = Jumlah dari kolom j untuk keseluruhan baris i

!<

%

%

%#

+

%

%

Analisis pemisahan kelompok kelas ukuran iktiofauna berdasarkan ukuran panjang
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode Bhatacharya.

Metode

Bhatacharya merupakan salah satu grafis untuk untuk memisahkan data sebaran
frekuensi panjang kedalam beberapa distribusi normal.

27
Berdasarkan Sparre dan Venema (1992), penentuan distribusi normal ini di mulai
dari sisi kiri distribusi total

kemudian bergerak ke kanan selama masih ada distribusi

normal yang dapat dipisahkan dari distribusi total. Seluruh proses pemisahan distribusi
normal adalah:
1. Menentukan kemiringan (

) sebuah distribusi normal yang tidak terkontaminasi,

yang terletak pada sisi kiri distribusi normal.
2. Menentukan distribusi normal kelompok dan mentransformasikan ke dalam satu garis
lurus.
3. Menentukan jumlah iktiofauna (N) yang terdapat dalam kelas panjang yang termasuk
kedalam kelompok pertama dan memisahkannya dari distribusi total.
4. Mengulangi proses diatas untuk mencari distribusi normal frekuensi panjang
selanjutnya, sampai tidak ada lagi distribusi normal yang ditemukan.
5. Nilai rata rata (modus) dari tiap tiap kelompok yang telah ditentukan melalui tahap 1
sampai 4 dapat digunakan untuk mencari perbedaan umur tiap tiap kelompok.
Distribusi normal mempunyai persamaan sebagai berikut:

( *) =

( ) ( /)
( * − * )2
− exp −
2 2
( )( 2π )

[

]

.............................. (1)

dimana :
Fc

= Frekuensi teoritis

N

= Jumlah pengamatan

dL

= Interval kelas

x

= Tengah kelas

*

= Nilai tengah panjang

π

= 3,14159

s

= Simpangan baku

dengan :

=

1
−1

∑ {*

− *2

}

=1

dimana:
N

= Jumlah iktiofauna

*

= Panjang iktiofauna ke i

Untuk melinierkan persamaan (1), dilakukan dengan 2 langkah:

28
1. Mengkonversikan suatu persamaan distribusi normal kedalam suatu parabola.
Langkah ini dilakukan dengan menarik logaritma kedua sisi persamaan (1):

 ( ) ( /)  ( * − * )
( *) = ln 
................................ (2)
−
2
2
(
)
(
2
π



ln

Dengan menganggap ln fc (x) merupakan suatu peubah tidak bebas y dan
x sebagai peubah bebas, maka diperoleh hubungan fungsional antara y dan x,
sehingga persamaan (2) dapat ditunjuk secara grafis oleh suatu parabola yang
rumusnya sebagai berikut:
= + #( * ) + ( * ) 2

.............................................. (3)

dengan:
y = ln Fc(x)

 ( ) ( /) 
2
= ln 
 − (*)
 ( ) ( 2π ) 
#=

*

=−

2

1
2 2

2. Mengkonversi parabola pada langkah 1 di atas kedalam suatu persamaan linear
,

= ln (

( * + /) − ln

(* )

[* + (

............................................... (5)

.....................................

(4)

dapat dituliskan:
,

= ln

/ / 2) ]

dimana y’ adalah selisih antara jumlah logaritma kelas panjang tertentu dan
jumlah logaritma kelas panjang sebelumnya.

Dokumen yang terkait

Pendekatan Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Kaledupa, Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara)

0 14 114

Tipologi Mangrove dan Keterkaitannya dengan Populasi Gastropoda Littorina neritoides (LINNE, 1758) di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan

1 18 81

Rancangbangun pengelolaan pulau pulau kecil berbasis pemanfaatan ruang (kasus gugus pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi)

0 7 140

Tipologi Mangrove dan Keterkaitannya dengan Kondisi Lingkungan di Desa Karangsong Indramayu

4 19 39

Degradasi Ekosistem Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi

5 20 75

Pendekatan Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Pulau Kecil (Studi Kasus Pulau Kaledupa, Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara)

0 9 104

PENGEMBANGAN PARIWISATA BAHARI BERBASIS MASYARAKAT DI PULAU KALEDUPA, KABUPATEN WAKATOBI, PROVINSI SULAWESI TENGGARA (Community Based Marine Tourism Development in Kaledupa Island, Wakatobi Regency, South East Sulawesi Province) | Salim | Jurnal Manusia d

0 0 2

PENGEMBANGAN PARIWISATA BAHARI BERBASIS MASYARAKAT DI PULAU KALEDUPA, KABUPATEN WAKATOBI, PROVINSI SULAWESI TENGGARA (Community Based Marine Tourism Development in Kaledupa Island, Wakatobi Regency, South East Sulawesi Province) | Salim | Jurnal Manusia d

0 0 1

PENGEMBANGAN PARIWISATA BAHARI BERBASIS MASYARAKAT DI PULAU KALEDUPA, KABUPATEN WAKATOBI, PROVINSI SULAWESI TENGGARA (Community Based Marine Tourism Development in Kaledupa Island, Wakatobi Regency, South East Sulawesi Province) | Salim | Jurnal Manusia d

0 0 8

KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA KOMUNITAS MANGROVE DI PULAU HOGA KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

1 0 7