Dinamika Populasi Mikroorganisme Rizosfer Tanaman Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) Pada Perlakuan Pemangkasan dan Pemupukan.

DINAMIKA POPULASI MIKROORGANISME RIZOSFER
TANAMAN KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon) PADA
PERLAKUAN PEMANGKASAN DAN PEMUPUKAN

ANNISA NURUL RAMADHANI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dinamika Populasi
Mikroorganisme Rizosfer Tanaman Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) Pada
Perlakuan Pemangkasan dan Pemupukan adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing (Fahrizal Hazra dan Enny Widyati) dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Data-data dalam
penelitian ini merupakan bagian dari proyek yang didanai oleh DIPA tahun 2013,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan, Bogor. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Annisa Nurul Ramadhani
NIM A14090085

ABSTRAK
ANNISA NURUL RAMADHANI. Dinamika Populasi Mikroorganisme Rizosfer
Tanaman Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) Pada Perlakuan Pemangkasan dan
Pemupukan. Dibimbing oleh FAHRIZAL HAZRA dan ENNY WIDYATI.
Tumbuhan kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) merupakan salah satu jenis
tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat, salah satunya adalah
penghasil minyak atsiri. Tanaman ini dipanen bagian pucuk dan daunnya sehingga
perawatan dalam budidaya tanaman ini adalah pemangkasan dan pemupukan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemangkasan dan
pemupukan terhadap populasi komunitas rizosfer tanaman kilemo (Litsea cubeba
L. Persoon). Pemangkasan dilakukan pada tanaman kilemo umur 2 tahun dan

pemupukan dilakukan dengan empat perlakuan yaitu kontrol (tanpa pemupukan),
pupuk NPK, pupuk Daun, dan pupuk Kompos diberikan baik pada tanaman yang
dipangkas maupun tidak dipangkas. Hasil penelitian menunjukan bahwa
pemangkasan pada tanaman kilemo dapat menurunkan populasi mikroorganisme
penambat N (Azotobacter), mikroorganisme pelarut fosfat (MoPP), dan
mikroorganisme perombak selulosa (MPS). Pemangkasan dengan perlakuan
pemupukan NPK juga cenderung menurunkan populasi mikroorganisme. Namun
demikian, pemberian pupuk organik dapat meningkatkan populasi
mikroorganisme Azotobacter dan mikroorganisme pelarut fosfat (MoPP).
Sedangkan pupuk daun cenderung hanya meningkatkan populasi mikroorganisme
perombak selulosa (MPS).
Kata kunci: Kilemo, Pemangkasan, Pemupukan, Rizosfer, Mikroorganisme.

ABSTRACT
ANNISA NURUL RAMADHANI. Dynamics on Rhizosphere Microorganisms
Population of Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) Affected by Pruning and
Fertilizing Treatments. Supervised by FAHRIZAL HAZRA and ENNY
WIDYATI.
Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) is the one of plant which cultivated as
a medicine plant, such an essential oil. This plant harvested at the tip of leaves and

the leaves, therefore the management include pruning and fertilizing. This
research was aimed to observe the effect of pruning and fertilizing toward
population of rhizosphere communities on kilemo (Litsea cubeba L. Persoon).
Pruning was practiced on to kilemo after 2 years and four fertilizing treatments i.e
control (without fertilizing), NPK fertilizer, microfertilizer and compost,were
applied on to the plant with pruning and without pruning. Results of this research
showed that pruning was able to decrease population of Azotobacter, P
solubilizing microorganism (MoPP), cellulose solubilizing microorganism (MPS).
Pruning with fertilizing NPK treatment also decreased population of
microorganism. Furthermore, giving organic fertilizer was able to increase
population of Azotobacter microorganism and P solubilizing microorganism
(MoPP). Meanwhile, microfertilizer only increased population of cellulose
solubilizing microorganism (MPS).
Keyword: Fertilizing, Kilemo, Pruning, Rhizosphere, Microorganism.

DINAMIKA POPULASI MIKROORGANISME RIZOSFER
TANAMAN KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon) PADA
PERLAKUAN PEMANGKASAN DAN PEMUPUKAN

ANNISA NURUL RAMADHANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Dinamika Populasi Mikroorganisme Rizosfer Tanaman Kilemo
(Litsea cubeba L. Persoon) Pada Perlakuan Pemangkasan dan
Pemupukan.
Nama
NIM

: Annisa Nurul Ramadhani
: A14090085


Disetujui oleh

Ir Fahrizal Hazra M.Sc
Pembimbing I

Dr Enny Widyati
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Dinamika Popul si Mikroorganisme Rizosfer Tanaman Kilemo
(Litsea cubeba L Persoon) Pada Perlakuan Pemangkasan dan
Pemupukan.
Nama

NIM

: Annisa Nurul Ramadhani
: A14090085

Disetujui oleh

Dr E
ati
Pemb mbing II

Ir Fahrizal Hazra M.Sc
Pembimbing I

Tanggal Lulus:

I FEB

ーo Gセ@


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah
Dinamika Populasi Mikroorganisme Rizosfer Tanaman Kilemo (Litsea cubeba L.
Persoon) Pada Perlakuan Pemangkasan dan Pemupukan sebagai salah satu syarat
dalam memeroleh gelar Sarjana Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan atas dukungan dan bantuan berbagai pihak
yang terlibat dalam penelitian ini, khususnya:
1. Bapak Fahrizal Hazra sebagai pembimbing pertama, dan Ibu Enny
Widyati sebagai pembimbing kedua atas arahan dan motivasi yang
diberikan selama pelaksanaan penelitian sampai penulisan skripsi ini.
2. Ibu Rahayu Widyastuti selaku penguji dalam ujian skripsi yang turut
memberikan arahan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi.
3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas HutanBogor atas bantuan pendanaan penelitian melalui dana DIPA tahun 2013.
4. Staff bagian Labolatorium Bioteknologi Tanah yaitu Bapak Jito, Ibu Asih,
Ibu Jul dan Ibu Yani atas segala saran dan bantuan yang diberikan.
5. Orang tua, adik dan seluruh keluarga besar yang telah mendukung dan

memberikan doa tulus kepada penulis.
6. Seluruh teman-teman Ilmu Tanah angkatan 46, kepada Agung Ardianto,
Sri Indahyani dan Teguh Rianto atas segala bantuan dan motivasi yang
diberikan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014
Annisa Nurul Ramadhani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Tanaman Kilemo (Litsea Cubeba L. Persoon)


2

Rizosfer

3

Populasi Mikroorganisme di Rizosfer

3

Interaksi Mikroorganisme Rizosfer

4

Pemangkasan

6

Pemupukan


7

METODE

7

Waktu dan Tempat

7

Deskripsi Lokasi Penelitian

7

Bahan

7

Alat

8

Prosedur

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

11

Pengaruh Pemangkasan Terhadap Total Populasi Mikroorganisme

11

Pengaruh Pemupukan dan Pemangkasan Terhadap Total Populasi
Mikroorganisme

15

Identifikasi Mikroorganisme Rizosfer Dominan

21

SIMPULAN

23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

39

DAFTAR TABEL

1.

Kode perlakuan tanaman pangkas dan non-pangkas

8

2.

Kode perlakuan tanaman pangkas dan non-pangkas

9

3.

Total populasi Azotobacter tanaman pangkas dan non-pangkas

12

4.

Total populasi MoPP tanaman pangkas dan non-pangkas

13

5.

Total populasi MPS tanaman pangkas dan non-pangkas

14

6.

Analisis

pengaruh

pemberian

pupuk

terhadap

total

populasi

mikroorganisme

20

7.

Hasil identifikasi mikroorganisme penambat N (Azotobacter)

21

8.

Hasil identifikasi mikroorganisme pelarut P (MoPP)

21

9.

Hasil identifikasi mikroorganisme perombak selulosa (MPS)

22

DAFTAR GAMBAR
1.

Tanaman kilemo umur 2 tahun (foto: Enny 2013)

2

2.

Tanaman kilemo umur 2 tahun setelah dipangkas (foto: Enny 2013)

6

3.

Total populasi Azotobacter pada tanaman pangkas dan non-pangkas

11

4.

Total populasi MOPP pada tanaman pangkas dan non-pangkas

12

5.

Total populasi MPS pada tanaman pangkas dan non-pangkas

13

6.

Pengaruh pemangkasan dan pemupukan terhadap total populasi
Azotobacter

15

7.

Pengaruh pemupukan terhadap total populasi Azotobacter

16

8.

Pengaruh pemangkasan dan pemupukan terhadap total populasi
MOPP

17

9.

Pengaruh pemupukan terhadap total populasi MOPP

17

10.

Pengaruh pemupukan dan pemangkasan terhadap total populasi MPS

19

11.

Pengaruh pemupukan terhadap total populasi MPS

19

12.

Koloni Azotobacter, MoPP dan MPS (Makroskopis)

22

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.

Total Populasi Azotobacter Tanaman Pangkas 10 HSP
Total Populasi Azotobacter Tanaman Non-Pangkas 10 HSP
Total Populasi Azotobacter Tanaman Pangkas 30 HSP
Total Populasi Azotobacter Tanaman Non-Pangkas 30 HSP
Total Populasi Azotobacter Tanaman Pangkas 60 HSP
Total Populasi Azotobacter Tanaman Non-Pangkas 60 HSP
Total Populasi Azotobacter Tanaman Pangkas 90 HSP
Total Populasi Azotobacter Tanaman Non-Pangkas 90 HSP
Total Populasi Azotobacter Tanaman Pangkas (Kontrol) 90 HSP
Total Populasi Azotobacter Tanaman Non-Pangkas (Kontrol) 90 HSP
Total Populasi MOPP Tanaman Pangkas 10 HSP
Total Populasi MOPP Tanaman Non-Pangkas 10 HSP
Total Populasi MOPP Tanaman Pangkas 30 HSP
Total Populasi MOPP Tanaman Non-Pangkas 30 HSP
Total Populasi MOPP Tanaman Pangkas 60 HSP
Total Populasi MOPP Tanaman Non-Pangkas 60 HSP
Total Populasi MOPP Tanaman Pangkas 90 HSP
Total Populasi MOPP Tanaman Non-Pangkas 90 HSP
Total Populasi MOPP Tanaman Pangkas (Kontrol) 90 HSP
Total Populasi MOPP Tanaman Non-Pangkas (Kontrol) 90 HSP
Total Populasi MPS Tanaman Pangkas 10 HSP
Total Populasi MPS Tanaman Non-Pangkas 10 HSP
Total Populasi MPS Tanaman Pangkas 30 HSP
Total Populasi MPS Tanaman Non-Pangkas 30 HSP
Total Populasi MPS Tanaman Pangkas 60 HSP
Total Populasi MPS Tanaman Non-Pangkas 60 HSP
Total Populasi MPS Tanaman Pangkas 90 HSP
Analisis ragam populasi Azotobacter Tanaman pangkas dan nonpangkas
Analisis ragam populasi Azotobacter tanaman tangkas dan nonpangkas dan pemupkan
Analisis ragam populasi MoPP tanaman tangkas dan non-pangkas
Analisis ragam populasi MoPP tanaman tangkas dan non-pangkas dan
pemupukan
Analisis ragam populasi MPS tanaman tangkas dan non-pangkas
Analisis ragam populasi MPS tanaman tangkas dan non-pangkas dan
pemupukan
Sifat kimia awal tanah pada rizosfer tanaman Kilemo (Dini 2013)

27
27
27
28
28
28
29
29
29
30
30
30
31
31
31
32
32
32
33
33
33
34
34
34
35
35
35
36
36
36
37
37
37
38

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman Litsea cubeba L. Persoon yang lebih dikenal dengan nama
kilemo termasuk dalam famili Lauraceae. Tumbuhan ini merupakan salah satu
tumbuhan penghasil minyak atsiri (Heyne 1987). Minyak atsiri merupakan salah
satu hasil metabolisme tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan obat-obatan tradisional, kosmetik, aromaterapi dan bahan penyedap
makanan (Liu et al. 2012). Penyebaran tanaman ini meliputi Asia Tenggara, Cina
bagian selatan, Jepang dan Taiwan (Liu et al. 2012). Di Indonesia tanaman ini
banyak dijumpai di daerah Jawa, Sumatera dan Kalimantan dan berada pada
dataran tinggi dalam himpunan vegetasi hutan alam, hutan tanaman, belukar,
perkebunan dan lahan yang dibudidayakan masyarakat (Prosea 1999).
Bagian tanaman yang dipanen umumnya adalah bagian kulit batang,
namun pemanenan pada bagian ini akan menyebabkan kematian pada tanaman.
Sehingga pemanenan hanya dilakukan pada bagian pucuk untuk menghindari
kepunahan, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas pucuk
adalah dengan pemangkasan. Mengacu Effendi et al. (2010) pada budidaya
tanaman teh pemangkasan dapat dilakukan untuk meningkatakan produktivitas
pucuk. Selain untuk peningkatan produktivitas pucuk, pemangkasan juga
berfungsi untuk mengatur arah tumbuh tanaman, menjaga kesehatan tanaman,
mengurangi bagian tanaman yang tidak produktif (parasite), dan mengurangi
habitat hidup bagi organisme pengganggu tanaman (Alvarez 2013).
Pembentukan dan produktivitas pucuk juga dapat ditingkatkan dengan
melakukan pemupukan. Hal ini dilakukan untuk memberikan tambahan unsurunsur hara pada komplek tanah, yang secara langsung maupun tidak langsung
dapat menyumbangkan nutrisi bagi tanaman. Pemupukan bertujuan untuk
memperbaiki tingkat kesuburan tanah agar tanaman mendapatkan nutrisi yang
cukup dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pertumbuhan tanaman.
Mengacu pada budidaya tanaman teh, Effendi et al. (2010) menyatakan bahwa
tingkat kesuburan tanah juga dapat mempengaruhi kecepatan dan tingkat
produktivitas pucuk yang baru.
Rizosfer merupakan daerah sekitar perakaran yang dipengaruhi oleh akar
tanaman (Yulipriyanto 2010). Dalam rizosfer terjadi proses fisika, kimia dan
biologi karena adanya interaksi antara akar dan mikroorganisme. Di dalam
rizosfer dihuni berbagai jenis mikroorganisme diantaranya bakteri, fungi,
aktinomycetes, dan algae (Hardjowigeno 2007). Bakteri merupakan kelompok
mikroorganisme paling dominan penghuni rizosfer dibandingkan mikroorganisme
lainnya (Rao 1994). Komunitas bakteri di rizosfer tidak pernah statis tetapi selalu
berfluktuasi sejalan dengan tahapan pertumbuhan tanaman (Widyati 2013).
Perlakuan yang diberikan kepada tanaman dapat mempengaruhi kondisi rizosfer
tanaman.

2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemangkasan dan
pemupukan terhadap dinamika populasi mikroorganisme rizosfer yaitu
mikroorganisme penambat N, mikroorganisme pelarut P, dan mikroorganisme
perombak selulosa pada tanaman kilemo.

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kilemo (Litsea Cubeba L. Persoon)
Tumbuhan Litsea cubeba L. Persoon di daerah Jawa Barat dikenal dengan
nama kilemo, di Jawa Tengah dikenal dengan nama krangean, sedangkan di
Sumatera Utara dengan nama antarasa (Gambar 1). Tumbuhan ini termasuk
famili Lauraceae, yang merupakan pohon perdu dengan diameter batang 6 – 20
cm serta tinggi pohon mencapai 5 – 12 meter. Penyebaran tumbuhan kilemo di
Indonesia meliputi daerah Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Tumbuhan kilemo di
pulau Jawa banyak dijumpai di daerah dengan ketinggian 230 – 700 m di atas
permukaan laut, terutama di daerah lereng gunung (Heyne 1987).

Gambar 1 Tanaman kilemo umur 2 tahun (foto: Enny 2013)
Tumbuhan ini merupakan salah satu tumbuhan penghasil minyak atsiri
(Heyne 1987). Minyak atsiri dikenal dengan nama minyak eteris atau minyak
terbang (essential oil, volatile) yang merupakan salah satu hasil metabolisme
tanaman. Istilah esensial dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman
asalnya. Dalam keadaan segar dan murni, minyak atsiri umumnya tidak berwarna,
namun pada penyimpanan lama minyak atsiri dapat teroksidasi. Untuk mencegah
teroksidasi, minyak atsiri harus disimpan dalam bejana gelas yang berwarna gelap,
diisi penuh, ditutup rapat, serta disimpan di tempat yang kering dan sejuk
(Gunawan & Mulyani, 2004). Minyak atsiri bersifat mudah menguap pada suhu
kamar, mempunyai rasa getir, serta berbau wangi sesuai dengan bau tanaman
penghasilnya (Sudaryani dan Sugiharti, 1990). Minyak atsiri pada industri banyak

3
digunakan sebagai bahan pembuat kosmetik, parfum, antiseptik dan lain-lain.
Beberapa jenis minyak atsiri mampu bertindak sebagai bahan terapi (aromaterapi)
atau bahan obat suatu jenis penyakit. Fungsi minyak atsiri sebagai bahan obat
tersebut disebabkan adanya bahan aktif, sebagai contoh bahan anti radang,
hepatoprotektor, analgetik, anestetik, antiseptik, psikoaktif dan anti bakteri
(Agusta 2000).
Seperti halnya minyak atsiri yang lain, minyak kilemo juga termasuk hasil
metabolisme dari tumbuhan aromatik, karena hampir semua bagian tumbuhan ini
beraroma dan mengandung minyak (Kayang et al. 2009). Minyak kilemo juga
umumnya dimanfaatkan dalam industri makanan, kosmetik dan rokok. Selain
digunakan sebagai sumber minyak untuk berbagai makanan dan keperluan industri
obat-obatan, minyak tersebut juga dapat digunakan untuk industri kimia seperti
cat, tinta, resin, vanish, plastik dan biodisel (Chen et al. 2008). Sebagai bahan obatobatan tradisional minyak kilemo digunakan sebagai obat rematik, pegal-pegal,
demam, dan untuk rempah (Rahmawati 2004). Akar dan cabang kilemo digunakan
oleh masyarakat untuk obat sakit pencernaan, sakit kepala, sakit otot, sakit saat
menstruasi, dan obat mabuk perjalanan (Heryati 2009).
Rizosfer
Istilah rizosfer diperkenalkan pada tahun 1904 oleh Hiltner, seorang ilmuan
Jerman untuk menunjukkan bagian tanah yang dipengaruhi oleh perakaran
tanaman (Rao 1994). Rizosfer berasal dari kata rhizo dan sphere. Rhizo berarti
akar, sedangkan sphere diartikan sebagai suatu zona yang mengelilingi suatu
“sentral point” dimana menjadi tempat aktivitas komunitas (“society”) dari
beragam jenis mikroorganisme (Rao 1994).
Rizosfer adalah habitat yang didominasi oleh tanaman dan bukan
didominasi oleh tanah (Yulipriyanto 2010). Rizosfer dipengaruhi oleh akar
tanaman. Nutrien-nutrien yang tersedia dipengaruhi oleh metabolisme tanaman,
demikian juga pH, oksigen dan konsentrasi CO2, tekanan osmosis dan pengaruh
permukaan tanah juga ditentukan oleh sistem perakaran dan hanya sedikit
dipengaruhi oleh tanah yang ada disekitarnya. Akumulasi sumber nutrien yang
dihasilkan dari sekresi akar dan dari pengelupasan kulit akar menyebabkan
perbedaan yang nyata terhadap jumlah dan kesuburan populasi mikroorganisme
antara daerah rizosfer dengan non-rizosfer (Yuliprianto 2010).
Populasi Mikroorganisme di Rizosfer
Kondisi rizosfer berbeda dengan kondisi tanah non-rizosfer, dalam rizosfer
terjadi proses fisika, kimia dan biologi karena adanya interaksi akar terkait
mikroorganisme (Oliveira et al. 2009). Pada rizosfer, akar tanaman yang berbeda
bersaing untuk mendapatkan air, mineral dan nutrisi (Sanaullah et al. 2011).
Banyak mikroorganisme rizosfer memiliki kemampuan untuk meningkatkan
pertumbuhan tanaman dan produktivitas akibat adanya interaksi antara
mikroorganisme, tanah dan tanaman ( Rosas et al. 2006).
Terdapat satu keunikan terhadap sekelompok mikroorganisme yang hidup di
daerah sekitar akar tanaman. Hal ini berhubungan dengan sistem akar tumbuhan
tingkat tinggi yang tidak hanya berasosiasi dengan senyawa-senyawa organik dan

4
anorganik yang berada disekelilingnya, tetapi juga dengan sekelompok
mikroorganisme tanah yang sangat aktif. Bentuk dan sifat mikroorganisme
sekeliling akar jauh berbeda dengan kelompok mikroorganisme yang beberapa
centimeter jaraknya dari permukaan akar. Kehadiran mikroorganisme tersebut
tidak secara tiba-tiba, tetapi sudah merupakan sifat alami yang terbawa sejak biji
tanaman tersebut berkecambah. Juga sebaliknya, akar sangat dipengaruhi oleh
kelompok mikroorganisme tersebut (Yulipriyanto 2010).
Struktur komunitas mikroorganisme di dalam rizosfer berbeda dengan
tanah non-rizosfer, jumlah dan jenis populasi akan sangat berbeda tergantung
pada jumlah dan komposisi eksudat akar yang dihasilkan oleh tanaman
(Marschner et al. 2011). Jumlah dan komposisi ini bervariasi antar jenis tanaman
yang dipengaruhi oleh fisiologi tanaman, status hara, tekanan lingkungan dan
penyakit pada tanaman.
Selain itu mikroorganisme dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman
dan serapan hara oleh tanaman dengan merangsang atau menghambat zat yang
mempengaruhi fisiologi akar dan sistem akar. Pelepasan eksudat akar dengan
kepadatan mikroorganisme dan aktivitas metabolisme yang tinggi akan lebih besar
dalam tanah rizosfer dibandingkan tanah non-rizosfer (Marschner et al. 2011).
Mikroorganisme memainkan perananan kunci dalam siklus hara dengan
cara menguraikan, mineralisasi bahan organik dan melepaskan serta mengubah
nutrisi anorganik. Ketika suatu mikroorganisme kekurangan unsur hara tertentu
yang dibutuhkan, mereka dapat mempengaruhi ketersediaan hara dengan cara
reduksi atau oksidasi (Marschner et al. 2011). Sebagian besar mikroorganisme di
rizosfer adalah saprofit atau dekomposer yang berinteraksi secara netral (tidak
secara langsung menguntungkan tetapi tidak menimbulkan kerusakan). Dampak
yang ditimbulkan oleh mikroorganisme kelompok ini adalah mempengaruhi
pertumbuhan tanaman secara tidak langsung (Widyati 2013).
Sejalan dengan pertumbuhan akar, terjadi perubahan musim-musim
populasi mikroorganisme. Komunitas bakteri di rizosfer tidak pernah statis tetapi
selalu berfluktuasi sejalan dengan tahapan pertumbuhan tanaman. Komposisi
bakteri akan berbeda pada lokasi yang satu dengan yang lainnya. Komposisi akan
berbeda pula pada jenis tanah yang berbeda, spesies tanaman yang berbeda,
musim yang berbeda dan sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim setempat. Adapun
tahapan pertumbuhan tanaman mungkin merupakan faktor yang sangat penting
dalam menentukan struktur komunitas mikroorganisme rizosfer. Hal ini karena
pada fase pertumbuhan tanaman yang berbeda akan menghasilkan eksudat akar
yang berbeda (Widyati 2013).
Interaksi Mikroorganisme Rizosfer
Berbagai macam mikroorganisme penghuni rizosfer diantaranya bakteri,
fungi, actinomycetes dan algae (Yulipriyanto 2010). Terjadi interaksi antar
mikroorganisme dalam rizosfer. Berbagai interaksi tersebut dapat berupa
netralisme, simbiosis, protokooperasi, komensalisme, kompetisi, amensalisme,
parasitisme dan predasi. Selain terjadi interaksi antar mikroorganisme, terjadi pula
interaksi antara mikroorganisme dengan tanaman. Interaksi mikroorganisme
dengan tanaman tersebut diantaranya sebagai patogen/ parasit akar dan simbiosis
antara akar dan mikroorganisme (Yulipriyanto 2010). Berbagai interaksi tersebut

5
dapat bersifat menguntungkan maupun merugikan bagi tanaman. Berbagai
mikroorganisme yang menguntukan diantaranya kelompok fungsional
mikroorganisme penambat N (Azotobacter), mikroorganisme pelarut P (MoPP),
dan mikroorganisme perombak selulosa (MPS).
Azotobacter
Tanah selalu berada dalam kekurangan unsur N (Hardjowigeno 2007).
Namun di rizosfer terdapat sekelompok bakteri yang membantu menambat N.
Salah satu bakteri penambat N tersebut adalah Azotobacter yang merupakan
bakteri penambat nitrogen yang hidup bebas. Genus Azotobacter memiliki
peranan menambat N pada kisaran di lingkungan yang berbeda seperti tanah, air
dan sedimen. Bahkan berbagai percobaan telah menunjukan bahwa dalam kondisi
lingkungan tertentu, inokulasi dengan Azotobacter memiliki efek menguntungkan
hasil tanaman, karena peningkatan tetap kandungan nitrogen dalam tanah dan
sekresi mikroorganisme merangsang hormon, seperti giberelin, auksin dan
sitokinin. Distribusi Azotobacter dalam tanah juga sangat dipengaruhi oleh nilai
pH (Aquilanti 2004).
Mikroorganisme Pelarut P (MoPP)
Fosfor (P) merupakan salah satu nutrisi makro penting utama untuk
pertumbuhan tanaman. P dalam tanah terutama ditemukan sebagai P yang terikat
dengan mineral atau P organik yang tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman.
Mikroorganisme, bakteri dan jamur memainkan peranan kunci dalam siklus P
alam dan mengkonversi dalam bentuk P yang tersedia, yang penting untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup tanaman (Behera 2013). Bakteri pelarut P
adalah mikroorganisme dominan yang melarutkan mineral P dalam tanah,
dibandingkan dengan jamur atau actinomycetes (Guang-can et al. 2008). Salah
satu akibat dari inokulasi bakteri MoPP dalam melarutkan P diantaranya adalah
peningkatan produksi asam di rizosfer. Pseudomonas sp., Bacillus sp., Bacillus
megaterium, dan Chromobacterium sp. adalah sebagian dari kelompok MoPP
yang mempunyai kemampuan tinggi sebagai “biofertilizer” dengan cara
melarutkan unsur P yang terikat pada unsur lain (Fe, Al, Ca, dan Mg), sehingga
unsur P tersebut menjadi tersedia bagi tanaman (Widawati 2006). Berbagai jenis
bakteri MoPP diantaranya Pseudomonas, Mycobacterium, Micrococcus, Bacillus,
Flavobacterium, Rhizobium, Mesorhizobium dan Sinorhizobium (Rosas et al.
2006).
Mikroorganisme Perombak Selulosa (MPS)
Bakteri selulolitik merupakan salah satu contoh dari mikroorganisme
selulolitik. Bakteri selulolitik dapat menguraikan zat organik, yaitu selulosa
menjadi bentuk yang lebih sederhana. Bakteri selulolitik dapat ditemukan pada
tanah, pada pupuk, dan pada jaringan tumbuhan yang sudah membusuk. Contoh
bakteri selulolitik yang banyak dikenal adalah bakteri yang berasal dari genus
Bacillus, Clostridium, dan Pseudomonas. Selain itu ada juga yang berasal dari
genus Cellulomonas, Corynebacterium, Cytophaga, Vibrio, Polyangium, dan
Sporocytophaga (Alexander, 1977).

6
Pemangkasan
Pemangkasan adalah kegiatan pembuangan secara selektif bagian dari
tanaman seperti cabang, pucuk, tunas atau akar. Dalam bidang kehutanan,
pemangkasan cabang adalah kegiatan pembuangan cabang untuk memperoleh
batang bebas cabang yang bebas dari mata kayu dan membentuk struktur pohon
(Kosasih et al. 2010). Pemangkasan dilakukan sebagai usaha untuk perbaikan
kualitas kayu dan sering digunakan dalam bidang silvikultur dalam pengelolaan
hutan. Pembuangan batang sekunder dan cabang-cabang kecil dilakukan untuk
meningkatkan pertumbuhan dan kuantitas dan kualitas kayu yang diproduksi.
Fungsi lain dari pemangkasan diantaranya mengurangi kompetisi pertumbuhan
batang tanaman. Berdasarkan tujuan pengelolaannya, pemangkasan telah
disarankan sebagai alat penting untuk meningkatkan produktivitas kayu,
meningkatkan kualitas hutan produksi atau produksi buah. Selain efek positif,
terdapat efek negatif dari pemangkasan tanaman diantaranya pengurangan daerah
fotosistesis tanaman, kematian akar, dan pengurangan cadangan (Alvarez 2013).
Pemangkasan tanaman kilemo dilakukan dengan memangkas seluruh bagian
dahan di atas cabang terendah (Gambar 2).

Gambar 2 Tanaman kilemo umur 2 tahun setelah dipangkas (foto: Enny 2013)
Pemangkasan meningkatkan distribusi cahaya melalui kanopi dan
mendorong pertumbuhan tanaman penutup tanah yang dapat digunakan untuk
memerangi erosi tanah. Distribusi pestisida yang diseprotkan pada tanaman untuk
pengendalian hama dan penyakit juga umumnya juga lebih efektif diaplikasikan
di pohon kanopi terbuka yang telah dipangkas (Olesen 2013). Calatayud (2008)
melaporkan bahwa perlakuan pemangkasan telah terbukti memberikan pengaruh
besar terhadap perkembangan tanaman, yang secara langsung berpengaruh pada
biomas akar tanaman, melalui penurunan luas permukaan daun, perubahan
fotosintesis atau alokasi laju respirasi, laju pertumbuhan dan pola alokasi karbon
yang dapat menyebabkan perubahan total populasi mikroorganisme.

7
Pemupukan
Pemupukan telah lama menjadi praktek agronomi penting untuk
meningkatkan kualitas dan produktivitas tanaman (Zhou 2013). Pengaruh
pemupukan banyak terbukti dapat meningkatkan hasil panen tanaman. Namun,
efek pemupukan pada struktur tanah masih belum jelas dampak positif dan
negatifnya. Berbagai penelitian menunjukan bahwa pemupukan jangka panjang
menggunakan bahan kimia dapat meningkatkan produksi tanaman tetapi
mengurangi kualitas struktur tanah yaitu meningkatkan bobot isi tanah dan
struktur tanah menjadi memburuk (Zhou 2013).
Pemupukan dapat berpengaruh pada peningkatan biomasa tanaman tetapi
cenderung tidak berpengaruh pada pertumbuhan akar tanaman (Glab 2013).
Pemberian pupuk N berbanding terbalik dengan pertumbuhan akar tanaman.
Menurut Zhao (2013) pengaruh pemupukan terhadap komunitas mikroorganisme
di dalam tanah masih belum jelas, bahkan beberapa penelitian melaporkan
pemupukan dapat mengurangi biomasa mikroorganisme tanah.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan antara bulan April sampai bulan September 2013 di
Laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sampel tanah diambil dari
rizosfer tanaman kilemo umur dua tahun yang ditanam di Hutan Penelitian Desa
Cikole Kecamatan Lembang, Bandung.
Deskripsi Lokasi Penelitian
Hutan Penelitian (HP) Cikole terletak di Desa Cikole, Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung. Keadaan topografi adalah bergelombang sampai
berbukit dengan ketinggian 1.350-1.500 m di atas permukaan laut (dpl). Bentuk
wilayahnya bergunung dengan kelerengan yang sangat curam (>25%) dan
kelerengan mengarah ke selatan. Secara geografi HP Cikole terletak pada
6º45’30″ sampai dengan 6º47’30″ LS dan 107º39’59″ sampai dengan 107º41’30″
BT. Penanaman tanaman kilemo dilakukan searah lereng karena mengutamakan
teknik konservasi lahan.
Bahan
Bahan yang digunakan terdiri dari: sampel tanah di sekitar rizosfer tanaman
kilemo umur 2 tahun, pupuk NPK, pupuk daun, pupuk kompos, larutan fisiologis,
media untuk isolasi dan seleksi mikroorganisme yaitu media Pikovskaya untuk
pertumbuhan mikroorganisme pelarut fosfat, media CMC (carboximethyl
celulase) untuk pertumbuhan mikroorganisme perombak selulosa dan media NFM
(nitrogen free medium) untuk pertumbuhan Azotobacter.

8
Alat
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain: peralatan
pemangkasan dan pengambilan sampel tanah rizosfer, peralatan gelas, shaker,
jarum ose, bunsen, autoklaf, laminair flow, oven, inkubator, timbangan,
mikroskop, dan lain-lain.
Prosedur
Pengambilan Sampel Tanah (Pemangkasan)
Pengambilan sampel tanah rizosfer tanaman kilemo umur 2 tahun dilakukan
pada 12 tanaman terpilih untuk setiap perlakuan dan dikompositkan menjadi 4
ulangan. Pemangkasan tanaman kilemo dilakukan dengan memotong semua
bagian dahan diatas cabang terendah, sehingga masih tersisa daun dalam jumlah
sedikit. Hasil pemangkasan digunakan sebagai hasil panen untuk selanjutnya
diolah untuk menghasilkan minyak kilemo. Pemangkasan dilakukan sekali di awal
yaitu pada 0 hari setelah pangkas (HSP). Selanjutnya sampel tanah rizosfer pada
tanaman pangkas diambil pada empat waktu berbeda yaitu pada 10 HSP, 30 HSP,
60 HSP, dan 90 HSP. Sampel tanah rizosfer tanaman non-pangkas disesuaikan
waktu pengambilannya bersama sampel rizosfer tanaman pangkas dengan tujuan
mengefektifkan waktu dan biaya pengambilan sampel. Selanjutnya ditetapkan
total populasi dari tiga kelompok fungsional mikroorganisme diantaranya
mikroorganisme penambat N (Azotobacter), mikroorganisme pelarut fosfat
(MoPP) dan mikroorganisme perombak selulosa (MPS).
Tabel 1 Kode perlakuan tanaman pangkas dan non-pangkas
HSP
10
30
60
90

Pangkas (P)
P1
P2
P3
P4

Non-Pangkas (NP)
NP1
NP2
NP3
NP4

Pengambilan Sampel Tanah (Pemupukan)
Pemupukan dilakukan secara melingkar terhadap pohon dengan jari-jari 1 –
1,25 meter. Pemupukan dilakukan pada tanaman pangkas dan non-pangkas pada
umur 30 HSP. Selanjutnya sampel tanah rizosfer diambil pada dua waktu berbeda
yaitu 60 HSP (30 hari setelah pemupukan) dan 90 HSP (60 hari setelah
pemupukan). Perlakuan yang diberikan antara lain kontrol (tanpa pupuk), pupuk
NPK, pupuk daun, dan pupuk organik. Dosis pupuk yang diberikan sesuai dengan
anjuran pada kemasan label, yaitu pupuk NPK sebanyak 200 g/pohon, pupuk daun
sebanyak 3 g/ 10 liter/ 20 pohon dan pupuk organik sebanyak 500 g/ pohon.

9
Tabel 2 Kode perlakuan tanaman pangkas dan non-pangkas
HSP
60

90

Pangkas (P)
Kontrol
NPK
Daun
Organik
Kontrol
NPK
Daun
Organik

Non-Pangkas (NP)
Kontrol
NPK
Daun
Organik
Kontrol
NPK
Daun
Organik

Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap yang tediri dari
empat blok dan kemudian dilakukan analisis statistik menggunakan Anova-SAS.
Penetapan Total Mikroorganisme
a. Sterlisasi Alat dan Bahan
Setiap alat dan bahan yang akan digunakan untuk proses isolasi harus
dipastikan steril agar hasil yang didapatkan tidak terdapat kontaminan. Sterilisasi
pada alat seperti cawan, pipet, tabung reaksi, erlenmeyer dilakukan dengan
membungkus alat-alat tersebut menggunakan kertas dan memasukannya ke dalam
autoklaf selama 20 menit pada temperatur 120⁰ Celcius tekanan 1 atm.
Selanjutnya setelah proses autoklaf selesai, alat dimasukan ke alam oven 60⁰
Celcius agar kering. Berbeda dengan alat, sterilisasi bahan hanya dilakukan
dengan mengautoklaf bahan (media dan larutan fisiologis) selama 15 menit
dengan temperatur 120⁰ Celcius tekanan 1 atm.
b. Pengenceran (dilution series)
Larutan yang digunakan untuk pengenceran adalah larutan fisologis.
Larutan fisiologis merupakan larutan pengencer yang terbuat dari 8,5 gram NaCl
untuk setiap liter aquades. Sebelum melakukan proses pengenceran, harus
dipastikan larutan fisiologis/pegencer yang digunakan sudah melalui proses
sterilisasi. Proses pengenceran dilakukan dengan menimbang 10 gram bahan
tanah yang digunakan untuk menentukan jumlah mikroorganisme dengan
ditambahkan 90 ml larutan fisiologis yang dimasukan ke dalam erlenmeyer 250
ml. Erlenmeyer dengan bahan tanah 10 gram dan larutan fisiologis 90 ml tersebut
merupakan larutan pengencer 10⁻¹. Selanjutnya untuk mendapatkan seri
pengenceran 10⁻², 10⁻³, 10⁻⁴, dan 10⁻⁵ pipet 1 ml suspensi dari seri pengenceran
sebelumnya ke dalam 9 ml larutan fisiologis yang telah dimasukan dalam tabung
reaksi. Sebelum suspensi dipindahkan, pastikan larutan dengan seri pengencer
sebelumnya sudah dikocok sedemikian rupa sehingga didapatkan suspensi bakteri
yang homogen. Tutup semua erlenmeyer dan tabung reaksi dengan memakai
penutup kapas atau almunium foil.

10
c. Persiapan Media
• Media NFM untuk pertumbuhan mikroorganisme Azotobacter
a). K2HPO4 0,9 g, KH2PO4 0,1 g, MgSO4.7H2O 0,1 g, CaCl2.2H2O 0,1 g,
NaMoO4 0,005 g, FeSO4 0,0125 g, Manitol 5 g, Agar 20 g ditimbang.
b). Bahan-bahan media tersebut dilarutkan dalam 1 liter aquades dan dikocok
hingga homogen dan dipanaskan.
c). Media tersebut diautoklaf selama 15 menit pada temperatur 120oC tekanan
1 atm.
d). Media tersebut siap dipakai.
• Media Pikovskaya untuk pertumbuhan mikroorganisme pelarut fosfat
a). Glukosa 10 g, Ca3PO4 5 g, (NH4)SO4 0,5 g, KCL 0,2 g, MgSO4.7H2O 0,1 g,
MnSO4 sedikit, FeSO4 sedikit, Yeast extract 0,5 g, Agar 20 g ditimbang.
b). Bahan-bahan media tersebut dilarutkan dalam 1 liter aquades dan dikocok
hingga homogen dan dipanaskan.
c). Media tersebut diautoklaf selama 20 menit pada temperatur 120oC tekanan
1 atm.
d). Media tersebut siap dipakai.
• Media CMC untuk pertumbuhan mikroorganisme perombak selulosa
a). KH2PO4 1,0 g, K2SO4.7H2O 0,5 g, NaCl 0,5 g, FeSO4 0,01 g, MnSO4 0,01 g,
NH4NO3 1,0 g, Tepung selulosa 10 g, Agar 20 g ditimbang.
b). Bahan-bahan media tersebut dilarutkan dalam 1 liter aquades dan dikocok
hingga homogen dan dipanaskan.
c). Media tersebut diautoklaf selama 15 menit pada temperatur 120oC tekanan
1 atm.
d). Media tersebut siap dipakai.
d. Isolasi
1. Buat suatu seri pengenceran sesuai dengan kondisi tanah dan mikroorganisme
yang akan di isolasi. MOPP pengenceran 10⁻³ dan 10⁻⁴, Perombak Selulose
10⁻³ dan 10⁻⁴, dan Azotobacter 10⁻² dan 10⁻³.
2. Kemudian pipet 1 ml suspensi dari yang paling encer dipindahkan ke dalam
cawan petri yang sudah disterilisasi. Dalam setiap cawan dituliskan informasi
penting mengenai isolat yang dimasukan seperti nomor contoh/perlakuan, seri
pengenceran, tanggal inkubasi, dan media yang digunakan.
3. Media yang telah disiapkan didinginkan sampai temperatur media tersebut
sekitar 40-45º Celcius. Hal ini dilakukan karena apabila media yang dituang ke
dalam cawan terlalu panas maka akan membunuh mikroorganisme yang akan
diteliti, sebaliknya apabila terlalu dingin maka agar akan memadat dan
membentuk gumpalan-gumpalan dalam cawan. Jumlah media yang dituangkan
ke cawan petri berkisar antara 10-15 ml.
4. Setelah media benar-benar padat, inkubasi pada temperatur antara 37º-41º
Celcius dengan meletakkan cawan petri secara terbalik agar uap air tidak
menempel pada penutup cawan petri.

11
5. Pengamatan dilakukan setelah 3, 5, atau 7 hari setelah inkubasi tergantung
pada pertumbuhan bakteri/ fungi yang akan diamati.
6. Perhitungan jumlah mikroorganisme yang dihasilkan dengan mengalikan ratarata jumlah koloni per cawan petri dengan faktor pengenceran untuk
mendapatkan jumlah mikroorganisme total untuk setiap gram contoh tanah
kering udara. Hasil ini dikonversikan ke jumlah mikroorganisme di dalam 1
gram tanah kering mutlak dengan memperhitungkan kadar air tanah.
Identifikasi Mikroorganisme Dominan
Koloni yang sering muncul selanjutnya dianggap sebagai mikroorganisme
yang paling dominan. Koloni tersebut kemudian diidentifikasi meliputi tiga
tahapan yaitu identifikasi morfologi koloni meliputi warna, bentuk, tepi koloni,
elevasi, morfologi sel meliputi bentuk sel dan fisiologi terbatas yaitu pewarnaan
gram.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemangkasan Terhadap Total Populasi Mikroorganisme
Azotobacter

102 SPK/ g BKM

Berdasarkan Gambar 3. populasi Azotobacter pada perlakuan pangkas
cenderung lebih rendah dari perlakuan non-pangkas pada semua pengamatan
kecuali pada umur 30 HSP. Perbedaan yang nyata terlihat secara statistik antara
populasi Azotobacter pangkas dan non-pangkas pada umur 90 HSP. Perlakuan
pangkas maupun non-pangkas dari umur 10 HSP ke 30 HSP menurun diduga
akibat turunnya kadar air. Menurut Haei (2011) kadar air merupakan salah satu
faktor utama yang berperan dalam aktivitas mikroorganisme, ketika kadar air
menurun maka aktivitas mikroorganisme juga menurun. Selain itu beberapa faktor
seperti tipe tanah, kelembaban tanah, pH dan temperatur, dan umur serta kondisi
tanaman juga mempengaruhi efek rizosfer yang juga mempengaruhi keberadaan
dan distribusi mikroorganisme di dalamnya (Rao 1994).
35
30
25
20
15
10
5
0
10 HSP

30 HSP

Pangkas

60 HSP

90 HSP

Non Pangkas

Gambar 3 Total populasi Azotobacter pada tanaman pangkas dan non-pangkas

12
Berdasarkan uji statistik pada Tabel 3, perbedaan yang nyata terlihat pada
total populasi Azotobacter umur 90 HSP antara tanaman pangkas dan nonpangkas. Sedangkan pada umur 10 HSP, 30 HSP, dan 60 HSP perbedaan antara
tanaman pangkas dan non-pangkas tidak terlihat nyata secara statistik. Pada umur
90 HSP total populasi Azotobacter baik pada tanaman pangkas maupun nonpangkas memiliki nilai paling tinggi dan perbedaan yang nyata diduga akibat pada
umur 90 HSP mikroorganisme berada pada fase pertumbuhan (eksponensial).
Pada fase ini mikroorganisme membelah dengan cepat dan konstan mengikuti
kurva logaritmik.
Tabel 3 Total populasi Azotobacter tanaman pangkas dan non-pangkas
Umur
10 HSP
30 HSP
60 HSP
90 HSP

Pangkas
10,83
8,32
11,37
15,18

Non-pangkas
13,15a
8,29a
12,40a
33,28b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji DMRT taraf 5%

Mikroorganisme Pelarut P (MoPP)
Seperti halnya pada populasi Azotobacter, pada Gambar 4. terlihat
populasi MoPP dengan perlakuan pemangkasan juga selalu lebih rendah dari
perlakuan non-pangkas. Secara statistik perbedaan yang nyata pada populasi
MOPP terlihat pada umur 30 HSP sedangkan pada umur 10, 60 dan 90 HSP
perbedaan populasi MoPP tidak berbeda nyata.. Terjadi peningkatan populasi
mikroorganisme dari umur 10 HSP dengan nilai 3,26 x 103 SPK/g BKM hingga
30 HSP menjadi 10,74 x 103 SPK/g BKM dan selanjutnya kembali menurun pada
umur 60 HSP hingga umur 90 HSP. Pada perlakuan pemangkasan populasi MOPP
juga terjadi peningkatan populasi mikroorganisme dari umur 10 HSP dengan nilai
4,32 x 103 SPK/g BKM hingga umur 30 HSP menjadi 21,24 x 103 SPK/g BKM
dan selanjutnya kembali menurun pada umur 60 HSP hingga umur 90 HSP.

103 SPK/ g BKM

30
25
20
15
10
5
0
10 HSP

30 HSP

Pangkas

60 HSP

90 HSP

Non Pangkas

Gambar 4 Total populasi MOPP pada tanaman pangkas dan non-pangkas

13
Berdasarkan uji statistik pada Tabel 4, perbedaan yang nyata terlihat pada
total populasi MoPP umur 30 HSP antara tanaman pangkas dan non-pangkas.
Sedangkan pada umur 10 HSP, 60 HSP, dan 90 HSP perbedaan antara tanaman
pangkas dan non-pangkas tidak terlihat nyata secara statistik. Pada umur 30 HSP
total populasi MoPP baik pada tanaman pangkas maupun non-pangkas memiliki
nilai paling tinggi dan perbedaan yang nyata diduga akibat pada umur 90 HSP
mikroorganisme berada pada akhir fase pertumbuhan (eksponensial). Pada akhir
fase eksponensial kecepatan pertumbuhan populasi menurun dikarenakan nutrien
untuk sumber pertumbuhan mikroorganisme sudah berkurang, atau adanya hasil
metabolisme yang mungkin beracun atau dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme.
Tabel 4 Total populasi MoPP tanaman pangkas dan non-pangkas
Umur

Pangkas

Non-pangkas

10 HSP

3,26

30 HSP
60 HSP

10,73
3,68

4,32a
21,24ab

90 HSP

9,66

5,26a
12,20a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Mikroorganisme Perombak Selulosa (MPS)
Gambar 5. menunjukan populasi MPS pada perlakuan pangkas umur 30,
60 dan 90 HSP lebih rendah dari perlakuan non-pangkas kecuali pada umur 10
HSP menunjukan populasi MPS pangkas lebih tinggi dibandingkan non-pangkas.
Secara statistik perbedaan populasi MPS yang nyata terlihat pada umur 30 HSP.
Pada perlakuan pangkas umur 10 HSP populasi MPS sebesar 7,86 x 103 SPK/g
BKM dan menurun pada umur 30 HSP dan selanjutnya kembali meningkat pada
umur 60 HSP hingga umur 90 HSP. Sedangkan pada perlakuan non-pangkas
populasi MPS terus meningkat dari umur 10 HSP hingga 90 HSP.

103 SPK/ g BKM

30
25
20
15
10
5
0
10 HSP

30 HSP

Pangkas

60 HSP

90 HSP

Non Pangkas

Gambar 5 Total populasi MPS pada tanaman pangkas dan non-pangkas

14
Berdasarkan uji statistik pada Tabel 5, perbedaan yang nyata terlihat pada
total populasi MPS umur 30 HSP antara tanaman pangkas dan non-pangkas.
Sedangkan pada umur 10 HSP, 60 HSP, dan 90 HSP perbedaan antara tanaman
pangkas dan non-pangkas tidak terlihat nyata secara statistik. Tetapi, sama halnya
seperti Azotobacter, nilai populasi tertinggi MPS terdapat pada umur 90 HSP
karena diduga mikroorganisme berada pada fase pertumbuhan (eksponensial).
Pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh medium tempat
tumbuhnya mikroorganisme seperti pH dan kandungan nutrient, juga kondisi
lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara.
Tabel 5 Total populasi MPS tanaman pangkas dan non-pangkas
Umur

Pangkas

Non-pangkas

10 HSP

7,89

30 HSP
60 HSP

5,79
9,67

6,37a
7,30ab

90 HSP

14,07

16,07a
28,83a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Secara umum ketiga kelompok fungsional mikroorganisme dari tanaman
dengan perlakuan pangkas lebih rendah dari tanaman dengan perlakuan nonpangkas. Hal ini diduga berhubungan dengan berkurangnya luas permukaan
tanaman untuk melakukan proses fotosintesis sehingga berkurangnya jumlah
karbohidrat yang disintesis yang berpengaruh terhadap ketersediaan energi bagi
mikroorganisme di dalam rizosfer tanaman tersebut. Hal tersebut menyebabkan
hasil asimilat dari fotosintesis yang dilakukan pada daun terbagi untuk
pertumbuhan cabang sekunder.Calatayud (2008) melaporkan bahwa perlakuan
pemangkasan telah terbukti memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan
tanaman, yang secara langsung berpengaruh pada biomasa akar tanaman, melalui
penurunan luas permukaan daun, perubahan fotosintesis atau alokasi laju respirasi,
laju pertumbuhan dan pola alokasi karbon yang dapat menyebabkan perubahan
total populasi mikroorganisme.
Sejalan dengan itu, Glenn (2011) menyatakan sistem akar tanaman berasal
dari energi dari hasil fotosintat yang ditanslokasikan dari kanopi ke sistem akar.
Sehingga diduga apabila hasil fotosintesis menurun akibat berkurangnya jumlah
daun maka energi yang dihasilkan dari fotosintesis yang akan ditranslokasikan ke
akar juga menurun. Selain itu, perbedaan total populasi juga dapat disebabkan
oleh keberadaan substrat yang dihasilkan oleh akar tanaman berupa eksudat
akar.Eksudat ini akan mempengaruhi kehidupan mikroorganisme disekitar
perakaran dengan memanfaatkannya sebagai sumber nutrisi dan sumber karbon
bagi pertumbuhannya (Dermiyati 2009). Eksudat tersebut merupakan senyawa
yang dikeluarkan oleh perakaran tanaman meliputi asam amino, gula, asam
organik, vitamin-vitamin, nukleotid (Rao 1994).
Total populasi mikroorganisme pada tanaman yang dipangkas cenderung
selalu lebih rendah juga diduga akibat efek pemangkasan yaitu adanya pergerakan
karbohidrat kebagian tanaman yang mengalami luka akibat pemangkasan

15
sehingga terjadi kompetisi dengar akar tanaman (Calatayud 2008). Hal ini
menyebabkan berkurangnya substrat yang dikeluarkan oleh akar sehingga sumber
nutrisi bagi mikroorganisme berkurang yang menyebabkan populasinya juga
menurun.
Perlakuan pemangkasan juga mempengaruhi naungan tanaman karena
berkurangnya jumlah daun sehingga meningkatkan distribusi cahaya yang masuk
melalui kanopi. Tetapi pengaruh naungan tidak secara langsung mempengaruhi
total populasi mikroorgannisme. Karena efek yang diberikan langsung
berpengaruh kepada tanah dan bukan tanaman. Sejalan dengan Yuliprianto (2010)
yang menyatakan bahwa pengaruh rizosfer didominasi oleh kondisi tanaman dan
hanya sedikit dipengaruhi oleh tanah yang ada disekitarnya.
Pengaruh Pemupukan dan Pemangkasan Terhadap Total Populasi
Mikroorganisme
Setelah 30 HSP, pada setiap tanaman baik pada perlakuan pangkas
maupun non pangkas dilakukan pemupukan. Hal ini dilakukan untuk memberikan
tambahan unsur-unsur hara pada komplek tanah sehingga dapat memperbaiki
tingkat kesuburan tanah agar tanaman mendapatkan nutrisi yang cukup untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas pertumbuhan tanaman. Menurut
Leiwakabessy dan Sutandi (2004) hara atau nutrient adalah zat yang diserap
tanaman untuk makanannya.Perlakuan pemupukan ini menggunakan tiga jenis
pupuk dan satu kontrol. Pupuk yang digunakan diantaranya NPK, pupuk daun,
dan pupuk kompos. Pemupukan dilakukan pada umur 30 HSP setelah
pemangkasan dikarenakan tanamanan yang telah dipangkas sudah menghasilkan
tunas.
Azotobacter

10² SPK / g BKM

20
15
10
5
0
P Kontrol
P NPK
P Daun
P Kompos

60 HSP
11,37
6,70
10,93
5,29

90 HSP
15,18
10,92
13,10
14,83

Gambar 6 Pengaruh pemangkasan dan pemupukan terhadap total populasi
Azotobacter

10² SPK / g BKM

16
35
30
25
20
15
10
5
0

NP Kontrol
NP NPK
NP Daun
NP Kompos

60 HSP
12,40
8,05
9,41
11,26

90 HSP
33,28
13,86
10,06
22,32

Gambar 7 Pengaruh pemupukan terhadap total populasi Azotobacter
Berdasarkan Gambar 6. terlihat populasi Azotobacter pada tanaman
kontrol selalu lebih tinggi dibandingkan tanaman dengan perlakuan pemupukan.
Berdasarkan perhitungan persen peningkatan populasi dari umur pangkas 60 HSP
ke 90 HSP populasi mikroorganisme cenderung meningkat untuk setiap jenis
pupuk kecuali pemberian pupuk daun dibandingkan kontrol. Pupuk yang
memberikan peningkatan tertinggi populasi secara berturut-turut yaitu kompos
180%, NPK 63%, dan pupuk daun 19,85% sedangkan kontrol 33,5%.
Berdasarkan Gambar 7. Sama seperti pada tanaman pangkas, pada
tanaman non-pangkas terlihat populasi Azotobacter pada tanaman kontrol selalu
lebih tinggi dibandingkan tanaman dengan perlakuan pemupukan. Setelah satu
bulan pemberian pupuk yaitu pada umur pangkas 60 HSP hingga 90 HSP
populasi Azotobacter meningkat untuk setiap jenis pupuk maupun kontrol.
Berdasarkan perhitungan peningkatan populasi dari 60 HSP ke 90 HSP,
pemberian pupuk dapat menurunkan populasi mikroorganisme. Diantara ketiga
perlakuan pemberian pupuk, pemberian pupuk kompos merupakan yang paling
rendah dalam menurunkan populasi yaitu sebesar 98,22% dibandingkan kontrol
sebesar 168,3%.
Secara umum pada tanaman pangkas maupun non-pangkas, pemberian
pupuk kompos cenderung lebih besar meningkatkan populasi Azotobacter
dibandingkan pemberian pupuk NPK dan pupuk daun. Hal ini sesuai dengan
kecenderungan bahwa peningkatan bahan organik tanah karena pemberian pupuk
organik dapat mengatur kelembaban dan aerasi, pemantap struktur tanah,
meningkatkan KTK, sebagai sumber hara bagi tanaman dan sebagai sumber
energi bagi aktivitas jasad mikro (Suryantini 2002). Matias (2009) juga
menyatakan bahwa sebagian besar populasi mikroorganisme bergantung pada
masukan bahan organik dalam tanah. Selain itu bahan organik diketahui
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme. Jumlah selsel Azotobacter dan jumlah nitrogen yang difiksasi olehnya juga semakin banyak
dengan adanya penambahan bahan organik (Rao 1994).

17
Mikroorganisme Pelarut P (MoPP)

10³ SPK / g BKM

15

10

5

0
P Kontrol
P NPK
P Daun
P Kompos

60 HSP
3,68
7,66
6,21
4,73

90 HSP
9,66
6,77
8,34
5,17

Gambar 8 Pengaruh pemangkasan dan pemupukan terhadap total populasi MOPP

10³ SPK / g BKM

15

10

5

0
NP Kontrol
NP NPK
NP Daun
NP Kompos

60 HSP
5,26
6,51
4,50
5,92

90 HSP
12,20
7,24
4,59
9,45

Gambar 9 Pengaruh pemupukan terhadap total populasi MOPP
Berdasarkan Gambar 8. terlihat populasi MoPP pada umur pangkas 60
HSP tanaman kontrol memiliki populasi MOPP yang lebih rendah dibandingkan
tanaman dengan perlakuan pemupukan. Setelah satu bulan pemberian pupuk yaitu
pada umur pangkas 60 HSP hingga 90 HSP populasi MoPP meningkat untuk
kontrol dan setiap jenis pupuk kecuali NPK.

18
Berdasarkan perhitungan persen peningkatan populasi dari 60 HSP ke 90
HSP, pemberian pupuk cenderung menurunkan populasi MoPP dibandingkan
kontrol. Pupuk yang memberikan peningkatan tertinggi populasi MoPP secara
berturut-turut yaitu pupuk daun 34,29%, dan kompos 9,30% sedangkan kontrol
meningkat 162,5%. Sedangkan pada pemberian pupuk NPK mengalami
penurunan dari 60 HSP ke 90 HSP sebesar 11,61%. Populasi MoPP menurun
ketika diberikan pupuk NPK diduga akibat ketersediaan P dalam tanah meningkat
sehingga aktivitas dan populasi MoPP dalam melarutkan P menjadi menurun. Hal
ini sesuai dengan penyataan Marschner (1995) bahwa pemberian unsur hara yang
berlebih akan mempengarui proses mikroorganisme dalam memfiksasi unsur hara
bagi tanaman.
Berdasarkan Gambar 9. terlihat populasi MoPP pada umur pangkas 60
HSP tanaman kontrol memiliki populasi MoPP yang lebih rendah dibandingkan
tanaman dengan perlakuan pemupukan. Setelah satu bulan pemberian pupuk yaitu
pada umur pangkas 60 HSP hingga 90 HSP populasi MoPP meningkat untuk
kontrol dan setiap jenis pupuk. Sama seperti pada tanaman pangkas, pemberian
pupuk pada tanaman non-pangkas juga cenderung menurunkan populasi MoPP
dibandingkan kontrol. Berdasarkan perhitungan persen peningkatan populas