Perkembangan Dan Morfologi Gametofit Tumbuhan Paku Marga Pteris Di Pulau Jawa.

PERKEMBANGAN DAN MORFOLOGI GAMETOFIT
TUMBUHAN PAKU MARGA PTERIS DI PULAU JAWA

DWI SUNARTI PUSPITASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perkembangan dan
Morfologi Gametofit Tumbuhan Paku Marga Pteris di Pulau Jawa adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015
Dwi Sunarti Puspitasari
NIM G353130131

RINGKASAN
DWI SUNARTI PUSPITASARI. Perkembangan dan Morfologi Gametofit
Tumbuhan Paku Marga Pteris di Pulau Jawa. Dibimbing oleh TATIK
CHIKMAWATI dan TITIEN NGATINEM PRAPTOSUWIRYO.
Pteris L. merupakan salah satu marga besar dari suku Pteridaceae yang
tersebar di daerah tropis maupun subtropik. Penelitian beberapa jenis Pteris di
Indonesia masih sebatas kajian morfologi sporofit, tipe reproduksi, dan sitologi.
Penelitian mengenai perkembangan dan morfologi gametofit pada marga ini
belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari
perkembangan dan morfologi gametofit tumbuhan paku marga Pteris di pulau
Jawa.
Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli 2014 hingga April 2015.
Pengambilan sampel dilakukan di beberapa lokasi di Pulau Jawa, yaitu: Jawa
Barat (Kampus IPB, Situgedhe, Ciomas, dan Cianjur), Jakarta (Mampang
Prapatan), dan Jawa Tengah (Sragen dan Banyumas). Delapan jenis Pteris (P.
biaurita, P. ensiformis, P. exelsa, P. longipinnula, P. mertensioides, P. tripartita,

P. venulosa, dan P. vittata) telah diamati tipe reproduksinya dengan menghitung
jumlah spora pada setiap sporangium. Spora seberat 0.002 gram disemai secara
merata ke dalam kotak plastik yang berisi media campuran vermiculite, spagnum
moss, dan perlite. Perkembangan gametofit diamati setiap tujuh hari sekali sampai
gametofit membentuk organ seksual.
Delapan jenis Pteris Jawa yang telah diamati memperlihatkan variasi tipe
reproduksi. Empat individu bertipe reproduksi seksual (P. ensiformis, P.
mertensioides, P. tripartita, dan P. venulosa), tiap sporangiumnya mengandung
64 spora normal. Tiga jenis lainnya memiliki tipe reproduksi apogami dengan 32
spora normal per sporangium (P. biaurita, P. longipinnula, dan P. vittata). Pteris
exelsa bertipe reproduksi apogami abnormal, sporangiumnya mengandung 64
spora tidak normal (bentuk dan ukuran berbeda).
Perkembangan gametofit secara umum memiliki enam fase penting yaitu
fase rhizoid, fase rhizoid-protokorm, fase filamen, fase spatula, fase hati muda,
dan fase hati dewasa (fase laminar yang telah menghasilkan organ reproduksi).
Perkecambahan spora jenis Pteris mengikuti tipe Vittaria. Jumlah sel dalam
filamen bervariasi antara 2-32 sel. Perkembangan gametofitnya ada tiga tipe,
yaitu: tipe Ceratopteris (P. biaurita, P. exelsa, P. longipinnula, P. mertensioides,
dan P. vittata), tipe Adiantum (P. tripartita), dan modifikasi antar kedua tipe
tersebut (P. ensiformis dan P. venulosa). Empat jenis Pteris yaitu P. biaurita, P.

exelsa, P. longipinnula, dan P. vittata menghasilkan 100% gametofit jantan.
Pteris ensiformis menghasilkan sekitar 83 % gametofit jantan dan 17 %
hermaprodit, sedangkan pada P. tripartita menghasilkan 73% gametofit jantan
dan 27% hermaprodit. Perkembangan gametofit antara jenis Pteris berbeda dalam
enam ciri yaitu jumlah sel dalam filamen, lama perkecambahan spora, waktu
pembentukan notch, waktu pembentukan organ seksual, bentuk gametofit
dewasa, dan tipe perkembangan gametofit.
Kata kunci: Gametofit, Jawa, morfologi, perkembangan, Pteris

SUMMARY
DWI SUNARTI PUSPITASARI. Gametophyte Morphology and Development of
Pteris from Java Island. Supervised by TATIK CHIKMAWATI and TITIEN
NGATINEM PRAPTOSUWIRYO.
Pteris L. is a large fern genus belongs to the Pteridaceae family, which is
distributed in both tropical and subtropical regions. The morphology of
sporophyte, the type of reproduction, and the cytology of Pteris had been
reported. The gametophyte morphology of Pteris in Java has not been studied yet.
The objective of this study was to describe the gametophyte morphology and
development of Pteris in Java Island.
This study was conducted from July 2014 until April 2015. The samples

were collected from several localitions in Java, i.e.: West Java (IPB Campus,
Situgedhe, Ciomas, and Cianjur), East Jakarta (Mampang Prapatan), and Central
Java (Sragen and Banyumas). Eight Pteris species, P. biaurita, P. ensiformis, P.
exelsa, P. longipinnula, P. mertensioides, P. tripartita, P. venulosa, and P. vittata
had been observed for its reproduction types by counting the number of spores in
each sporangium. As much as 0.002 g spores was sown in transparent box
contained of sterile medium containing of vermiculite, spaghnum moss, and
perlite with the ratio of 2:2:1. The gametophyte development of each species was
observed under a microscope every 7 days until it formed sexual organ.
Eight species of Pteris observed show variations of reproduction type.
Four species (P. ensiformis, P. mertensioides, P. tripartita, and P. venulosa) have
a sexual reproduction type, with 64 normal spores per sporangium. Three species
were apogamous with 32 normal spores per sporangium (P. biaurita, P.
longipinnula, and P. vittata). Pteris exelsa was apogamous with 64 irregular
spores per sporangium (various in shape and size).
Generally, the development of gametophyte consists of six important
phases, namely: rhizoid phase, rhizoid-protocorm phase, filamentous phase,
spatulate phase, young heart phase, and mature heart phase (laminar phase bearing
reproduction organ). Spore germination of Pteris is the Vittaria type. The number
of filament cells is varied 2-32 cell. There are three types of gametophyte

development, namely: Ceratopteris-type (P. biaurita, P. exelsa, P. longipinnula,
P. mertensioides, and P. vittata), Adiantum-type (P. tripartita), and the
modifications of the two types (P. ensiformis and P. venulosa). Four species of
Pteris (P. exelsa, P. longipinnula, P. vittata, and P biaurita) produce 100 %
monosexual/male gametophyte. Pteris ensiformis produces 17% hermaphrodite
gametophyte and 83% male gametophyte, while P. tripartita produce 27%
hermaphrodite and 73% male gametophyte. There are six gametophyte differences
among species, which are, the number of filament cell, germinated time, notch
formation time, shape of gametophyte, gametangium formation time, and the type
of gametophyte development.
Keyword: Gametophyte, Java, morphology, development, Pteris

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERKEMBANGAN DAN MORFOLOGI GAMETOFIT
TUMBUHAN PAKU MARGA PTERIS DI PULAU JAWA

DWI SUNARTI PUSPITASARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Alex Hartana, MSc


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian ini yaitu “Perkembangan dan Morfologi Gametofit
Tumbuhan Paku Marga Pteris di Pulau Jawa”. Penelitian yang berlangsung dari
bulan Juli 2014 hingga Agustus 2015 ini dilakukan di Laboratorium Taksonomi
Tumbuhan, Departemen Biologi FMIPA IPB dan Laboratorium TREUB, Pusat
Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor, LIPI. Sebagian dari tesis ini telah
dipublikasi dengan judul “Gametophyte Morphology and Development of Six
Species of Pteris (Pteridaceae) from Java Island Indonesia” pada jurnal berskala
internasional, The Journal of Tropical Life Science (JTROLIS) 5 (2): 108-114.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Tatik Chikmawati, MSi dan Dr
Titien Ngatinem Praptosuwiryo, SSi MSi selaku dosen pembimbing yang telah
banyak memberikan nasihat, motivasi, saran serta bimbingan. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada bapak dan ibu dosen Program Studi Biologi
Tumbuhan (BOT) atas semua ilmu, pengalaman, bimbingan, dan nasihat yang
diberikan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dirjen
Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas pemberian Beasiswa Program Pascasarjana
Dalam Negeri (BPPDN). Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada institusiinstitusi dimana penulis dapat menggunakan fasilitasnya (Laboratorium
Taksonomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB dan Laboratorium

TREUB, Pusat Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor, LIPI) dan mendapat
ijin pengambilan sampel (Kebun Raya Cibodas dan Kebun Raya Baturraden).
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua, seluruh keluarga dan
sahabat atas segala doa, dukungan, serta kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015
Dwi Sunarti Puspitasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN


ix

1

PENDAHULUAN
Tujuan Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pteris L.
Tipe Reproduksi Tumbuhan Paku
Perkembangan Gametofit Marga Pteris
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan Tumbuhan
Teknik Pengambilan Bahan Tumbuhan
Koleksi Spora
Pengamatan Tipe Reproduksi
Pengamatan Gametofit
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tipe Reproduksi dan Morfologi Spora

Perkembangan Gametofit Pteris spp.
Deskripsi Morfologi Gametofit Pteris spp.
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

1
2
3
3
4
5
10
10
11
11
11
11
11

12
13
13
15
22
33
33
33
34

LAMPIRAN

38

RIWAYAT HIDUP

44

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Urutan fase perkembangan gametofit tumbuhan paku
Lokasi pengambilan sampel tumbuhan paku Pteris
Ukuran spora dan tipe reproduksi Pteris spp.
Perbandingan perkembangan gametofit antara hasil pengamatan
dengan hasil Zhang et al. (2008)

5 Inisiasi pembelahan sel awal pada filamen
6 Rata-rata jumlah sel pada delapan jenis Pteris spp. yang diamati selama 10
minggu
7 Ukuran gametofit dewasa tumbuhan paku Pteris

8
10
13
17
17
19
22

DAFTAR GAMBAR
1 Bagan tipe-tipe perkecambahan spora tumbuhan paku homospora (Nayar
& Kaur 1971)
2 Bagan perkembangan gametofit tumbuhan paku homospora (Nayar &
Kaur 1971). (Tipe Osmunda: 1=Filamen; 2–4=Piringan; 5=Gametofit
muda; 15–17=Gametofit dewasa); (Tipe Marattia: 6– 7=Gametofit muda;
15–17=Gametofit dewasa); (Tipe Adiantum: 8=Filamen; 9–13=Piringan;
14=Gametofit muda; 15–17=Gametofit dewasa); (Tipe Drynaria:
8=Filamen; 11, 18–20=Piringan; 15–17=Gametofit dewasa); ( Tipe
Ceratopteris: 8=Filamen; 11, 18, 19, 21=Piringan; 22=Gametofit muda;
23–24=Gametofit dewasa); (Tipe Kaulina: 8=Filamen; 11, 18, 19,
25=Piringan; 26=Gametofit muda; 27=Gametofit dewasa); (Tipe
Aspidium: 28–29=Filamen; 30–38=Piringan; 39=Gametofit muda;
40=Gametofit dewasa) (Nayar & Kaur 1971)
3 Peta lokasi pengambilan sampel Pteris spp. di Pulau Jawa. 1=Gunung
Slamet, Baturaden, Banyumas, Jawa Tengah; 2=Sragen, Jawa Tengah; 3=
Cianjur, Jawa Barat; 4=Ciomas, Bogor Jawa Barat; 5=Dramaga, Bogor,
Jawa Tengah; 6=IPB, Dramaga, Bogor, Jawa Barat; 7=Mampang, Jakarta
Selatan
4 Spora P. exelsa dan P. tripartita pada tipe reproduksi apogami dan
seksual. A – B. Tipe apogami P. exelsa. C– D. Tipe seksual pada P.
tripartita. Ukuran dan bentuk spora yang tidak sama ditunjukkan dengan
tanda panah. Perbesaran 10x4 dan 10x10
5 Bentuk Spora Pteris. A. P. biaurita; B. P. ensiformis; C. P. exelsa; D. P.
longipinnula; E. P. mertensioides; F. P. tripartita; G. P. venulosa; H. P.
vittata
6 Perbandingan kecepatan perkembangan gametofit Pteris spp.
Perkecambahan spora ( ), pembentukan laminar ( ), pembentukan
organ seksual ( )
7 Pertumbuhan jumlah sel gametofit Pteris spp. Pteris biaurita (
), P.
ensiformis (
), P. exelsa (
), P. longipinnula ( ), P. mertensioides
(
), P. tripartita (
), P. venulosa (
), P. vittata (
)
8 Bentuk ujung gametofit. A. P. biaurita; B. P. ensiformis; C. P. exelsa; D.
P. longipinnula; E. P. tripartita; F. P. vittata
9 Persentase munculnya ekspresi seksual. Gametofit jantan ( ), gametofit
hermafrodit ( )
10 Organ seksual. A. Anteridium tampak dari samping. B. Arkegonium
tampak dari atas. ST= Sel tudung; SC=Sel cincin; SB=Sel basal;
AN=Anteridium; AR= Arkegonium
11 Perkembangan dan morfologi gametofit P. biaurita. A. Fase rhizoid atau
protokorm; B. Fase filamen; C. Pembelahan sel di ujung filamen yang
ditunjuk dengan anak panah; D-E-F. Fase spatula; G-H. Fase hati muda; IJ. Hati dewasa; K. Anteridium kosong, sperma telah keluar. m=Daerah
meristem; AN=Anteridium
12 Perkembangan dan morfologi gametofit P. ensiformis. A. Fase rhizoid
atau protokorm; B. Fase filamen; C. Pembelahan sel secara miring di
ujung filamen; D-E. Fase spatula; F-G-H-I. Fase hati muda; J. Fase hati

6

7

10

14

15

16

18
20
21

21

25

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

13

14

15

16

17

18

dewasa; K. Arkegonium tampak dari atas; L. Anteridium tampak dari atas.
SS=sel sudut; m=Daerah meristem; AR=Arkegonium; AN=Anteridium
26
Perkembangan dan morfologi gametofit P. exelsa. A. Fase rhizoid atau
protokorm; B. Fase filamen; C-D. Pembelahan sel di ujung filamen; E-FG. Fase spatula; H-I. Fase hati muda; J. Fase hati dewasa; K. Anteridium
tampak dari samping. m=Daerah meristem; AN=Anteridium; SB=Sel
basal; SC=Sel cincin; ST=Sel tudung
27
Perkembangan dan morfologi gametofit P. longipinnula. A. Fase rhizoid
atau protokorm; B. Fase filamen; C. Pembelahan sel di sub pangkal dan
bagian tengah filamen; D-E. Fase spatula; F-G-H. Fase hati muda; I-J.
Fase hewasa; K. Anteridium tampak dari atas. m=Daerah meristem;
AN=Anteridium
28
Perkembangan dan morfologi gametofit P. mertensioides. A. Fase rhizoid
atau protokorm; B. Fase filamen; C-D. Pembelahan sel di ujung filamen;
E-F. Fase spatula; G-H-I. Fase hati muda. m=Daerah meristem
29
Perkembangan dan morfologi gametofit P. tripartita. A. Fase rhizoid atau
protokorm; B. Fase filamen; C. Pembelahan sel secara membujur di ujung
filamen; D. Pembelahan sel secara miring di ujung filamen; E. Fase
spatula; F-G-H. Fase hati muda; I-J. Fase hati dewasa; K. Arkegonium
tampak dari atas; L. Anteridium tampak dari atas. m=Daerah meristem;
AR=Arkegonium AN=Anteridium
30
Perkembangan dan morfologi gametofit P. venulosa. A-B. Fase rhizoid
atau protokorm; C. Filamen; D. Pembelahan sel secara membujur di ujung
filamen; E. Pembelahan sel secara miring diujung filamen; F. Fase spatula;
G-H-I. Hati muda. m=Daerah meristem; SS=Sel sudut
31
Perkembangan dan morfologi gametofit P. vittata. A. Fase rhizoid atau
protokorm; B. Fase filamen; C. Pembelahan sel di ujung filamen; D-E.
Fase spatula; F. Pembentukan daerah meristem di bagan tepi piringan; FG. Fase hati muda; H. Fase hati dewasa; I. Anteridium dewasa tampak dari
atas; J-K. Anteridium kosong tampak dari atas. m=Daerah meristem;
AN=Anteridium
32

DAFTAR LAMPIRAN
1 Pteris biaurita L.: A. Perawakan; B. Lembaran daun; C. Bagian tengah
anak daun dengan cuping-cuping subur, memperlihatkan urat daun
berareola pada sinus
2 Pteris ensiformis Burm.f.: A. Perawakan; B. Anak daun mandul; C.
Anak daun subur; D. Bagian tengah anak daun dengan cuping-cuping
subur, memperlihatkan urat daun berareola pada sinus
3 Pteris exelsa Gaud.: A. Perawakan; B. Daun; C. Anak daun subur; D.
Bagian tengah anak daun subur, memperlihatkan urat daun bebas pada
cuping dan sorus yang indusiumnya masih tertutup
4 Pteris longipinnula Wall.: A. Perawakan; B. Daun; C. Bagian tengah
anak daun subur, memperlihatkan urat daun bebas pada cuping dan
sorus masak yang indusiumnya masih tertutup
5 Pteris mertensioides Wild.: A. Perawakan; B. Anak daun; C. Bagian
tengah anak daun subur dengan cuping-cuping bersorus masak,
indusium sebagian terbuka
6 Pteris tripartita Sw.: A. Perawakan; B. Daun; C. Bagian tengah anak
daun subur dengan cuping-cuping bersorus masak, indusium terbuka
7 Pteris venulosa Blume.: A. Perawakan; B. Daun subur,
memperlihatkan anak daun bersorus masak dengan indusium terbuka
8 Pteris vittata L.: A. Perawakan; B. Daun; C. Anak daun subur,
memperlihatkan spora masak dengan indusium terbuka
9 Hasil perhitungan ANOVA

39

39

40

40

41
41
42
42
43

1 PENDAHULUAN
Pteris L. merupakan salah satu marga besar dari suku Pteridaceae yang
tersebar di daerah tropis dan subtropis (Holttum 1996). Pteris di dunia
diperkirakan mencapai 280 jenis (Copeland 1958) dan 19 jenis diantaranya
ditemukan di pulau Jawa (Backer & Posthumus 1939). Pteris umumnya tumbuh
di daerah dengan suhu hangat namun juga dapat hidup pada suhu dingin. Marga
ini dapat ditemukan di daerah yang ternaungi kanopi maupun terbuka, hidup di
tanah, menempel di permukaan batu kapur serta bebatuan lainnya (Holttum 1966;
Tryon et al. 1990). Beberapa jenis juga dapat bertahan hidup di daerah yang
terkontaminasi oleh arsenik atau logam lainnya (Ma et al. 2001).
Pteris memiliki karakter daun majemuk menyirip, mulai dari menyirip
tunggal hingga menyirip ganda. Daun steril dari anggota Pteris umumnya
berukuran lebih pendek dan terletak di bagian bawah, sedangkan daun fertil lebih
sempit dan panjang (Holttum 1966). Jenis-jenis Pteris mudah dikenali dari
karakter sorus. Sorus tersusun linier dan terletak di sepanjang tepi daun, tetapi
biasanya tidak mencapai ujung anak daun. Struktur ini dilindungi oleh indusium
palsu yang terbentuk dari tepi daun yang menggulung (Copeland 1958; Holttum
1966).
Secara taksonomi, Pteris sangat menarik karena ditemukan banyak jenis
kompleks yang disebabkan oleh poliploidi, hibridisasi (Walker 1962), dan
apogami (Chang 1991) yang dapat mengakibatkan variasi morfologi (Walker
1958). Jenis kompleks yang telah dilaporkan sebelumnya yaitu P. cadieri di
Taiwan (Chao et al. 2010) dan P. cretica di Amerika (Martinez & Morbelli 2009).
Apogami mempunyai kaitan erat dengan poliploidi dan mengambil peran yang
sangat penting untuk terjadinya jenis kompleks (Lovis 1977).
Gametofit merupakan generasi tumbuhan paku penghasil gamet yang
berkembang dari spora (Rhagavan 2005). Fase perkembangan gametofit meliputi
perkecambahan spora, pembentukan laminar, bentuk dewasa, dan gametangia.
Fase tersebut merupakan informasi penting untuk mempelajari evolusi, filogeni,
biologi reproduksi, dan penciri tumbuhan paku (Nayar & Kaur 1971; Chiou &
Farrar 1997). Tipe perkecambahan Vittaria merupakan karakter paling maju,
sedangkan tipe yang paling primitif adalah Amorphous. Pada tumbuhan paku
homospora tipe perkembangan gametofit yang lebih primitif yaitu tipe Adiantum,
sedangkan tipe Kaulinia merupakan tipe yang paling maju (Nayar & Kaur 1971).
Pteris vittata, P. finotii, P. fauriei, P. exelsa, P. wallichiana, P. ensiformis.
P. cretica, P. multifida, P. deflexa, P. denticulata, P. tristicula, P. faurirei, P.
incompleta, dan P. berteroana merupakan jenis-jenis yang telah diamati
perkembangan dan morfologi gametofitnya (Chiou 1992; Mendoza et al. 1997;
Prada et al. 2008; Zhang et al. 2008; Martinez 2010; Martinez et al. 2013).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa marga Pteris umumnya
memiliki tipe perkecambahan Vittaria dengan tipe perkembangan gametofit
Ceratopteris. Meskipun demikian, antar gametofit Pteris memiliki beberapa
perbedaan yaitu jumlah sel dalam filamen, lama perkecambahan, lama waktu
pembentukan gametangia, bentuk tepi gametofit, dan jumlah sel leher pada
arkegonium (Chiou 1992; Mendoza et al. 1997; Prada et al. 2008; Zhang et al.
2008; Martinez 2010; Martinez et al. 2013).

2
Perkembangan dan morfologi gametofit jenis-jenis tumbuhan paku di
Indonesia masih sedikit diinformasikan karena baru mencakup beberapa jenis
yaitu Cyathea contaminans (Handayani & Hartini 2003), Dicksonia blumei
(Hartini 2005), Polypodiaceae (Nurchayati 2010), dan Asplenium nidus
(Praptosuwiryo 2010). Penelitian terdahulu melaporkan bahwa suku
Polypodiaceae memiliki bentuk gametofit yang sangat bervariasi. Jenis
Dryopteris concolor dan Pityrogramma calomelanos memiliki protalium
berbentuk hati yang memanjang, sedangkan protalium berbentuk hati melebar
ditemukan pada Adiantum caudatum, Asplenium nidus, dan Nephrolepis falcate
(Nurchayati 2010). Asplenium nidus memiliki tipe perkecambahan spora Vittaria
dan perkembangan gametofit Aspidium (Praptosuwiryo 2010).
Informasi beberapa jenis Pteris di Indonesia masih terbatas pada kajian
morfologi sporofit, tipe reproduksi, dan sitologi seperti P. biaurita, P. ensiformis,
P. multifida, P. tripartita, dan P. vittata (Zubaidah 1998; Praptosuwiryo &
Darnaedi 2008; Hastuti et al. 2011; Effendi et al. 2014; Mumpuni 2014).
Penelitian tersebut melaporkan bahwa P. biaurita, P. ensiformis, P. multifida, dan
P. vittata memiliki tingkat ploidi dan tipe reproduksi yang berbeda. Tingkat ploidi
diploid dan tetraploid apogami dijumpai pada P. biaurita (Zubaidah 1998). Ploidi
diploid dan triploid seksual dijumpai pada P. ensiformis var. victoriae, sedangkan
tetraploid seksual ditemukan pada P. ensiformis var. ensiformis (Effendi et al.
2014). Pteris multifida memiliki dua tipe ploidi yaitu triploid apogami dan
tetraploid seksual (Hastuti et al. 2011). Pteris vittata juga memiliki dua tingkat
ploidi yaitu tingkat ploidi tetraploid seksual (Praptosuwiryo & Darnaedi 2008;
Mumpuni 2014) dan pentaploid apogami (Mumpuni 2014). Sejauh ini penelitian
mengenai perkembangan dan morfologi gametofit Pteris di Pulau Jawa belum
pernah dilakukan. Tulisan ini melaporkan hasil penelitian mengenai
perkembangan dan morfologi gametofit tumbuhan paku khususnya dari marga
Pteris di Pulau Jawa.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan dan morfologi
gametofit delapan jenis tumbuhan paku marga Pteris yaitu P. biaurita, P.
ensiformis, P. exelsa, P. longipinnula, P. mertensioides, P. tripartita, P. venulosa,
dan P. vittata di Pulau Jawa.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pteris L.
Pteris merupakan marga besar tumbuhan paku dari suku Pteridaceae yang
memiliki distribusi luas. Marga ini tersebar di daerah tropis hingga subtropis
(Holttum 1966). Beberapa ahli taksonomi memberikan dugaan jumlah Pteris di
dunia berbeda, sekitar 250 jenis (Holttum 1966; Tryon et al. 1990) dan 280 jenis
(Copeland 1958). Sementara itu, 19 jenis tersebar di Pulau Jawa yaitu P. biaurita
L., P. cretica L., P. dalhousiae Hook., P. ensiformis Burm.f., P. exelsa Gaud., P.
geminata Wall., P. heteromorpha Fee., P. longipinnula Wall., P. mertensioides
Wild., P. multifida Poir., P. pellucida C. Perls., P. pellucens J. Agardh., P.
quadriaurita Retz., P. reducta Backer., P. semipinnata L., P. tripartita Sw., P.
venulosa Blume., P. vittata L., dan P. wallichiana J. Agardh. (Backer &
Phosthumus 1939).
Jenis-jenis Pteris dapat tumbuh di berbagai habitat seperti di daerah terbuka
maupun ternaungi kanopi, hidup di tanah, menempel di bebatuan maupun tembok,
di tepi aliran sungai, dan hutan (Holttum 1966; Tryon et al. 1990; Peris 2012).
Pteris di Afrika dapat hidup pada ketinggian 15 – 2750 m dpl (Peris 2012),
sedangkan di Indonesia jenis-jenis dari marga ini dapat tumbuh pada ketinggian 0
– 2161 m dpl (Zubaidah 1998; Saputra & Qotrunnada 2011; Effendi et al 2014;
Mumpuni 2014). Pteris vittata dapat tumbuh pada ketinggian 0 m dpl di Pulau
Karimunjawa Jawa Tengah, tetapi juga mampu tumbuh pada ketinggian 2161 m
dpl, dengan suhu 18.8 oC - 36.7 oC, kelembaban 35.1% - 89.4% dan intensitas
cahaya 130 - 1772 Lux (Saputra & Qotrunnada 2011; Mumpuni 2014). Effendi et
al. (2014) melaporkan bahwa P. ensiformis di Jawa dapat ditemukan pada
ketinggian 11 - 650 m dpl. Jenis P. biaurita tersebar pada ketinggian 400 - 600 m
dpl di Jawa timur (Zubaidah 1998). Chang et al. (1992) melaporkan P. biaurita
merupakan jenis yang predominan pada daerah tropis sampai subtropis dan dapat
ditemukan di dataran rendah sampai dataran tinggi.
Secara etimologi bahasa Yunani, Pteris berasal dari kata “pteron” yang
artinya sayap atau bulu. Anak daun yang menyerupai bulu merupakan ciri khas
dari marga Pteris (Olsen 2007). Selain ciri tersebut, marga Pteris memiliki
karakteristik lain yaitu daun majemuk bervariasi mulai dari menyirip tunggal
hingga menyirip ganda. Daun steril terletak di bagian bawah berukuran lebih
pendek dan lebar jika dibandingkan dengan daun fertil. Anak daun berhadapan
dengan suatu anak daun pada bagian ujung dan anak daun paling bawah
bercabang atau tidak bercabang. Sorus linier tersusun sepanjang tepi daun tetapi
tidak sampai pada ujung anak daun dan dilindungi oleh indusium palsu (Holttum
1966). Marga ini mempunyai kromosom dasar x=29 (Walker 1962).
Jenis-jenis Pteris dapat dibedakan berdasarkan bentuk daun, torehan daun,
dan keberadaan cabang anak daun pada bagian basal daun. Daun monomorfis
dengan bagian basal tidak bercabang ditemukan pada P. vittata dan P. insignis,
sedangkan daun dimorfis dengan anak daun bercuping atau bagian basal anak
daun bercabang dapat ditemukan pada P. ensiformis, P. scabripes, dan P.
venulosa. Ketiga jenis tersebut dibedakan berdasarkan bentuk anak daun steril.
Pteris venulosa memiliki anak daun steril yang bergerigi hanya di sepanjang

4
ujung anak daun dan tulang tengah daun bersayap, sedangkan P. ensiformis
memiliki daun steril memanjang dengan bagian tepi bergigi. Pteris scabripes
memiliki tepi anak daun steril yang bergerigi. Anak daun bercuping dengan tulang
daun bebas dimiliki oleh P. asperula, P. dalhousiae, P. exelsa, P. grevilleana, P.
longipinnula, P. mertensioides, dan P. semipinnata, sedangkan tulang daun
menjala dimiliki oleh P. biaurita dan P. tripartita (Holttum 1966; Andrews 1990).
Pteris mempunyai banyak manfaat untuk kehidupan manusia. Selain
dimanfaatkan sebagai tanaman hias (de Winter & Amoroso 2003), jenis-jenis
Pteris telah banyak digunakan sebagai obat tradisional (Chen et al. 2007). Daun
P. ensiformis di Bougainvelle, digunakan untuk mengontrol menstruasi
(Srivastava 2007). Daun P. ensiformis juga telah dimanfaatkan di Malaysia
sebagai jus untuk obat disentri, mengobati pembengkakan di leher, dan menjaga
kesehatan mulut; sedangkan di New Guinea dimanfaatkan sebagai obat bisul,
borok, dan luka (de Winter & Amoroso 2003). Di Bougainvelle daun P. tripartita
dimanfaatkan sebagai ramuan untuk membantu proses melahirkan (Srivastava
2007).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa marga Pteris memiliki berbagai
macam senyawa fenol dan antioksidan sehingga dapat digunakan sebagai obat
(Chen et al. 2007). Senyawa antioksidan dan fenolik pada daun Pteris memiliki
peran penting yang berkaitan dengan gizi manusia sebagai agen pencegahan
terhadap beberapa penyakit dan melindungi jaringan tubuh dari cekaman oksidatif
(Scalbert et al. 2005). Senyawa fenolik pada P. ensiformis yang paling banyak
yaitu senyawa 7-O-caffeoylhydroxymaltol 3-O-b-D-glucopyranoside, senyawa
3.5-di-O-caffeoylquinic acid, dan hispidin 4-O-b-D-glucopyranoside (Chen et al.
2007). Kandungan senyawa diterpen yang diisolasi dari Pteris telah terbukti
menjadi agen antitumor dengan menginduksi apoptosis (Chen et al. 2004).
Pemanfaatan Pteris sudah diterapkan dalam aspek lingkungan. Pteris vittata
di Florida telah digunakan sebagai hiperakumulasi logam berat Arsenik (As) (Ma
et al. 2001). Pteris vittata tidak hanya efisien dalam mengambil jumlah besar As
(2.3% berat kering tanaman) dari tanah, tetapi juga di translokasi biomassa As di
atas tanah sampai 90% dari total serapan As. Oleh karena itu, memungkinkan P.
vittata dimanfaatkan untuk remediasi tanah yang terkontaminasi logam (Tu &
Ma 2002).
Tipe Reproduksi Tumbuhan Paku
Tumbuhan paku mengalami dua fase pergiliran keturunan yaitu fase
gametofit dan sporofit yang keduanya hidup bebas. Fase gametofit merupakan
fase singkat, sedangkan sporofit merupakan fase dominan. Dalam masa hidupnya,
siklus hidup dan pembentukan spora pada tumbuhan paku homospora dapat
terjadi secara seksual ataupun apogami (Klekowski 1973).
Tipe seksual tumbuhan paku umumnya mempunyai 16 sel induk spora yang
akan membentuk 64 spora haploid yang viabel melalui proses meiosis. Spora
haploid akan tumbuh menjadi gametofit yang memiliki arkegonium dan
anteridium. Arkegonium dan anteridium mengalami mitosis akan menghasilkan
gamet betina (sel telur) dan gamet jantan (spermatozoid). Selanjutnya gamet
betina dan gamet jantan akan mengalami peleburan sehingga membentuk zigot.
Zigot akan membentuk sporofit melalui pembelahan mitosis (Klekowski 1979).

5
Pada siklus hidup tumbuhan paku apogami, sporofit yang terbentuk
merupakan proliferasi gametofit tanpa adanya fertilisasi (Evans 1964). Tumbuhan
paku tipe apogami umumnya memiliki 8 sel induk spora yang akan membentuk
32 spora yang masing-masing spora memiliki jumlah kromosom yang sama
dengan sporofit induk. Satu sel induk spora mengalami tiga kali pembelahan
mitosis, tetapi pada fase anafase awal mengalami gagal berpisah sehingga
menghasilkan delapan sel induk spora yang masing-masing mengalami
penggandaan jumlah kromosom. Sel induk spora tersebut mengalami meiosis
secara normal dengan kromosom bivalen menghasilkan 32 spora (Manton 1950;
Evans 1964; Klekowski 1973).
Gas etilen, asam suksinat, asam naftalena asetat (NAA), asam gibberelat,
konsentrasi fosfor yang tinggi, panjang gelombang cahaya tertentu dan kekeringan
tempat tumbuh dapat menginduksi terjadinya apogami (Gifford & Foster 1989).
Selain itu, faktor lingkungan seperti cahaya, ketinggian tempat dan suhu daerah
memiliki peran dalam pengaturan tipe reproduksi (Kato & Iwatsuki 1986).
Respon setiap jenis tumbuhan terhadap ketinggian tempat tidak sama. Pteris
biaurita dengan tipe reproduksi apogami paling sering dijumpai di dataran rendah,
sedangkan tipe campuran semakin banyak ditemukan pada daerah yang lebih
tinggi (Zubaidah 1998). Akan tetapi, pada jenis Dryopteris tipe reproduksi
apogami paling sering ditemukan di dataran tinggi dan suhu dingin, dan tipe
seksual lebih sering ditemukan di daerah bersuhu panas (Hirabayashi 1974).
Tingkat ploidi, jumlah spora per sporangium, ukuran spora, perkembangan
gametofit, dan pembentukan serta morfologi sporofit muda mempunyai kaitan erat
dengan tipe reproduksi (Huang et al. 2011). Sekitar 75% tumbuhan paku apogami
adalah polipoid (Walker 1962). Hal ini disebabkan oleh fenomena apogami dapat
memungkinkan penggandaan jumlah kromosom (Evans 1964). Pada umumnya
ukuran spora tipe apogami lebih besar dibandingkan dengan tipe seksual,
misalnya pada Diplazium (Praptosuwiryo & Darnaedi 1994). Morfologi daun
dapat berkaitan dengan tipe reproduksi, seperti pada Dryopteris sparsa. Tipe
seksual memiliki helaian daun lebih kecil dengan pasangan anak daun lebih
jarang, basiskopik anak daun terbawah sederhana sedangkan tipe apogami helaian
daun lebih lebar, pasangan anak daun lebih rapat dengan ujung meruncing, dan
basiskopik anak daun terbawah lebih besar dan menyirip (Darnaedi 1987;
Zubaidah 2006). Akan tetapi, pada jenis tertentu seperti pada P. multifida
morfologi daun tidak berkaitan dengan tipe reproduksi karena keragaman dan
bentuknya hampir tidak berbeda (Hastuti et al. 2011).
Perkembangan Gametofit Marga Pteris
Spora merupakan sel pertama dari fase haploid dalam siklus kehidupan
tumbuhan paku (Hoshizaki & Moran 2001). Perkecambahan spora merupakan
fase awal perkembangan gametofit, yang ditandai dengan terjadinya pembelahan
sel menjadi beberapa sel, dan disertai dengan munculnya rhizoid (Rhagavan
2005). Berdasarkan letak pembelahan sel dan fase pembentukan rhizoid, pola
perkecambahan spora dibedakan menjadi delapan tipe yaitu tipe Anemia,
Osmunda, Vittaria, Gleicheina, Cyathea, Hymenophyllum, Mecodium, dan
Trichomanes (Gambar 1). Tipe Anemia, Osmunda, dan Vittaria memiliki ciri
letak inisiasi pembelahan sel berada di daerah ujung (polar), sedangkan letak

6
pembelahan sel berada di daerah ekuator merupakan karakter tipe Gleicheina,
Cyathea, Hymenophyllum, Mecodium, dan Trichomanes (Nayar & Kaur 1971).

Gambar 1 Bagan tipe-tipe perkecambahan spora tumbuhan paku homospora
(Nayar & Kaur 1971)
Tipe perkecambahan spora Pteris mengikuti tipe Vittaria. Pada tipe ini
inisial sel membelah pada ujung bagian polar. Pembelahan selanjutnya
menghasilkan filamen yang terdiri dari beberapa sel. Bagian proksimal
memanjang membentuk filamen yang akhirnya akan menjadi rhizoid. Rhizoid
pada umumnya tidak mengandung klorofil, cenderung tumbuh ke arah bawah,
berfungsi untuk menghisap air dan nutrisi dari dalam media tumbuh (Nayar &
Kaur 1971). Penelitian Zhang et al. (2008) melaporkan rhizoid pertama pada
Pteris fauriei memiliki klorofil.
Setelah spora berkecambah, sel-sel penyusunnya akan mengalami
pembelahan sehingga terbentuk piringan. Sel-sel meristem pada piringan akan
terus mengalami pembelahan membentuk gametofit. Tipe perkembangan
gametofit ada tujuh macam yaitu tipe Osmunda, Marattia, Adiantum, Drynaria,
Ceratopteris, Kaulinia, dan Aspidium (Gambar 2). Ketujuh tipe tersebut berbeda
pada tiga ciri yaitu letak pembelahan sel, letak daerah pembentukan meristem,
bentuk gametofit dewasa, dan fase perkembangan gametofit (Tabel 1).

7

Gambar 2 Bagan perkembangan gametofit tumbuhan paku homospora (Nayar &
Kaur 1971). (Tipe Osmunda: 1=Filamen; 2–4=Piringan;
5=Gametofit muda; 15–17=Gametofit dewasa); (Tipe Marattia: 6–
7=Gametofit muda; 15–17=Gametofit dewasa); (Tipe Adiantum:
8=Filamen; 9–13=Piringan; 14=Gametofit muda; 15–17=Gametofit
dewasa); (Tipe Drynaria: 8=Filamen; 11, 18–20=Piringan; 15–17=
Gametofit dewasa); ( Tipe Ceratopteris: 8=Filamen; 11, 18, 19, 21=
Piringan; 22=Gametofit muda; 23–24=Gametofit dewasa); (Tipe
Kaulinia: 8=Filamen; 11, 18, 19, 25=Piringan; 26=Gametofit muda;
27=Gametofit dewasa); (Tipe Aspidium: 28–29=Filamen; 30–38=
Piringan; 39=Gametofit muda; 40=Gametofit dewasa) (Nayar &
Kaur 1971)

8
Tabel 1 Urutan fase perkembangan gametofit tumbuhan paku
Tipe perkembangan gametofit
Osmunda
Marratia
Adiantum
Drynaria
Ceratopteris
Kaulinia
Aspidium

Nomor fase perkembangan gametofit
1, 2, 3, 4, 5, 15, 16, 17
6, 7, 15, 16, 17
8, 9, 10 (atau 8, 11, 12), 13, 14, 15, 16,
17
8, 11, 18, 19, 20, 15, 16, 17
8, 11, 18, 19, 21, 22, 23, 24
8, 11, 18, 19, 25, 26, 27
28, 29, 30, 31 (28, 29, 32, 35 atau 28,
33, 34, 35 atau 28, 33, 34, 35 atau 28,
33, 36), 37, 38, 39, 40

Sekitar 41% dari jenis tumbuhan paku marga Pteris di Taiwan memiliki tipe
reproduksi apogami (Chang 1991). Gametofit tumbuhan paku apogami umumnya
tidak menghasilkan arkegonium (Knobloch 1966). Hal tersebut dikarenakan
arkegonium mengalami aberasi sehingga tidak berfungsi. Akan tetapi, beberapa
jenis tumbuhan paku apogami dalam masa perkembangan gametofitnya dapat
menghasilkan anteridium dan arkegonium, misalnya pada jenis Diplazium
megaphyllum dan Cheilanthes hirsuta. Keberadaan rambut dan sisik pada area
embrionik, tracheid tanpa gumpalan, dan ada tidaknya midrib pada daun pertama
juga menjadi ciri individu tersebut bertipe apogami (Chiou et al. 2006).
Keberhasilan perkecambahan spora dan perkembangan morfologi gametofit
dipengaruhi oleh media tumbuh, kematangan spora, air, kelembaban, aerasi, dan
pH (Toogood 1999). Perkembangan gametofit Cyatheaceae memberikan hasil
yang berbeda pada media tanah, air destilata dan media agar. Spora pada media
agar lebih cepat tumbuh jika dibandingkan dengan media tanah dan air destilata.
Fase protallium pada media tanah dapat menghasilkan lebih banyak organ seksual.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa gametofit berbentuk hati serta
arkegonium ditemukan pada media tanah dan agar, sedangkan pada media distilasi
tidak ada arkegonium. Namun, media agar memiliki kelemahan yaitu lebih mudah
terkontaminasi oleh bakteri dan jamur. Keberadaan bakteri dan jamur dapat
menghambat perkembangan spora (Chen et al. 2008)
Kerapatan gametofit dapat mempengaruhi ukuran gametofit dan ekspresi
seksual. Fenomena yang terjadi pada jenis Osmunda cinnamomea semakin rapat
gametofit menyebabkan ukuran gametofit semakin kecil. Gametofit betina banyak
ditemukan pada populasi dengan kerapatan rendah atau tinggi. Adapun gametofit
jantan dan hermafrodit lebih banyak ditemukan pada populasi dengan kerapatan
intermediet atau sedang. Terbentuknya gametofit jantan dan hermafrodit
disebabkan adanya perkawinan antar individu (Huang et al. 2004). Gametofit
betina, gametofit jantan dan monoesis pada P. ensiformis ditemukan pada
kerapatan rendah sedangkan gametofit hermafrodit ditemukan pada kerapatan
tinggi (Chiou 1992). Ekspresi seksual sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh
kerapatan gametofit tetapi juga diinduksi oleh antheridiogen yang merupakan
hormon pertumbuhan dan penentu ekspresi seksual (Schneller et al. 1990).
Cahaya mempunyai peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan
gametofit tumbuhan paku. Kondisi cahaya yang rendah dapat menghasilkan

9
jumlah sel pada filamen yang lebih sedikit. Selain itu, aktivitas pembelahan sel
lebih lambat jika dibandingkan pada kondisi cahaya yang cukup (Rhagavan 2005).
Penelitian Kamachi et al. (2007) menunjukkan bahwa cahaya merah mampu
menekan laju perkembangan gametofit betina pada jenis tipe mutan Ceratopteris
richardii.
Perkecambahan spora dipengaruhi juga oleh viabilitas spora. Semakin baik
viabilitas spora maka presentase perkecambahan spora semakin tinggi. Sementara
itu, viabilitas spora dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti genotipe dan
umur, atau faktor ekstrinsik seperti kondisi lingkungan. Lama waktu penyimpanan
spora dapat mempengaruhi lama perkecambahan tetapi berbeda untuk tiap jenis.
Lama penyimpanan spora Polistichium polibestarum selama dua hari setelah
panen mampu berkecambah pada hari ke-7 setelah semai, sedangkan pada
Jamessonia scammaniae waktu penyimpanan spora selama dua tahun mampu
berkecambah pada hari ke-25 setelah semai (Rhagavan 2005). Kondisi lingkungan
seperti suhu lingkungan dapat mempengaruhi masa dormansi spora saat
berkecambah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suhu normal untuk
perkecambahan spora antara 10 oC - 20 oC. Akan tetapi, beberapa jenis tumbuhan
paku memiliki spora yang mampu tumbuh pada suhu yang tinggi (Quintanilla &
Escudero 2006).

10

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2014 – April 2015. Pengambilan
sampel dilakukan pada tujuh lokasi di Pulau Jawa yang meliputi Jawa Barat (4
lokasi), Jakarta (1 lokasi), dan Jawa Tengah (2 lokasi) (Gambar 3 dan Tabel 2).
Pengamatan perkembangan morfologi gametofit tumbuhan paku marga Pteris
dilakukan di Laboratorium Treub Pusat Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya
Bogor, LIPI dan Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Departemen Biologi,
Institut Pertanian Bogor (IPB).

Gambar 3

Peta lokasi pengambilan sampel Pteris spp. di Pulau Jawa.
1=Gunung Slamet, Baturaden, Banyumas, Jawa Tengah;
2=Sragen, Jawa Tengah; 3=Cianjur, Jawa Barat; 4=Ciomas,
Bogor Jawa Barat; 5=Dramaga, Bogor, Jawa Tengah; 6=IPB,
Dramaga, Bogor, Jawa Barat; 7= Mampang, Jakarta Selatan

Bahan Tumbuhan
Delapan jenis tumbuhan paku Pteris dengan organ lengkap dan berspora
dikoleksi dari tujuh lokasi di Pulau Jawa (Tabel 2). Spesimen herbarium disimpan
di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Departemen Biologi, IPB.
Tabel 2 Lokasi pengambilan sampel tumbuhan paku Pteris

1

Pteris biaurita L.

No
Koleksi
DSP 050

2
3
4
5
6
7

Pteris ensiformis Burm.f.
Pteris exelsa Gaud.
Pteris longipinnula Wall.
Pteris mertensioides Willd.
Pteris tripartita Sw.
Pteris venulosa Blume.

DSP 035
DSP 045
DSP 037
DSP 047
DSP 021
DSP 034

8

Pteris vittata L.

DSP 051

No

Nama Jenis

Lokasi
Ds. Krikilan, Sangiran, Kab. Sragen Jawa
Tengah
Jl. Agatis Kampus IPB, Dramaga, Kab. Bogor
Kebun Raya Cibodas, Cianjur, Jawa Barat
Ds. Situgedhe, Dramaga, Kab. Bogor Jawa Barat
Kebun Raya Cibodas, Cianjur, Jawa Barat
Ds. Tanglebun, Ciomas, Kab. Bogor, Jawa Barat
G. Slamet, Kemutuk Lor, Baturaden, Kab.
Banyumas Jawa Tengah
Jl.Mampang Prapatan XV, Mampang, Jakarta
Selatan

11
Metode
Teknik Pengambilan Bahan Tumbuhan
Lokasi pengambilan sampel ditentukan dengan pengamatan spesimen jenisjenis Pteris Jawa di Herbarium Bogoriense, LIPI Cibinong untuk mengetahui
persebaran Pteris di Pulau Jawa. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel
dengan menggunakan metode jelajah ke lokasi untuk mencari jenis-jenis
tumbuhan paku marga Pteris pada setiap lokasi yang telah ditentukan (Tabel 2).
Tumbuhan paku yang diambil berupa tumbuhan yang mempunyai organ lengkap
dan telah menghasilkan spora (Rugayah et al. 2004). Sebelum dikoleksi,
tumbuhan paku dengan organ lengkap tersebut didokumentasi. Tumbuhan hasil
koleksi dibuat spesimen herbarium sesuai dengan metode standar (Vogel 1987).
Daun subur dengan spora masak yang telah dicuci bersih dimasukkan ke dalam
lipatan koran untuk pengamatan perkembangan gametofit. Material daun fertil
dikumpulkan, diberi label kemudian diatur di dalam lipatan kertas koran dan
diawetkan, selanjutnya untuk pengamatan tipe reproduksi.
Koleksi Spora
Spora yang telah masak ditandai dengan berubahnya warna indusium dari
hijau menjadi coklat. Anak daun tempat menempelnya spora dicuci dalam air
mengalir untuk menghindari terjadinya kontaminasi dengan spora dari jenis paku
lain. Anak daun dikering anginkan sampai kering, kemudian dimasukkan ke
dalam kertas amplop samson yang telah diberi label. Spora dipisahkan dari
kotoran (bulu-bulu atau sisik-sisik daun) dengan memiringkan amplop pelanpelan sehingga kotoran akan jatuh lebih dulu dan spora yang lebih lembut
cenderung tetap melekat di dalam amplop (Chiou & Farrar 2001).
Pengamatan Tipe Reproduksi
Satu sporangium diletakkan di atas kaca benda, kemudian ditutup dengan
kaca penutup. Sporangium dipecah dengan bantuan jarum dengan cara
mengetukkan jarum pada kaca penutup. Spora yang tersebar dihitung dengan
bantuan hand-counter. Setiap individu paling sedikit diamati 10 sporangium
(Knobloch 1966). Individu yang mempunyai 32 spora pada setiap sporangiumnya
digolongkan sebagai individu bertipe apogami, sedangkan yang berisi 64 spora
per sporangium digolongkan sebagai individu bertipe seksual (Walker 1962).
Pengamatan Gametofit
Media campuran yang terdiri atas vermiculite, sphagnum moss, dan perlite
dengan perbandingan 2:2:1 dimasukkan ke dalam kotak plastik (14.5 x 9.5 x 4.5
cm). Permukaan atas media campuran tersebut dilapisi kertas saring, kemudian
disterilisasi dengan air mendidih selama 12 jam. Setelah media dingin, spora
seberat 0.002 gram ditaburkan secara merata ke dalam kotak plastik. Sebanyak 30
prothalus dari masing-masing jenis dipilih secara acak kemudian diamati
perkembangan dan pertumbuhan gametofitnya. Perkembangan dan morfologi

12
yang diamati yaitu, spora berkecambah, filamen, laminar, warna rhizoid, bentuk
gametofit, dan ekspresi seksual, sedangkan parameter pertumbuhan yang diamati
adalah jumlah sel dan ukuran gametofit. Pengamatan perkembangan dan
morfologi gametofit menggunakan mikroskop stereo, kemudian difoto dengan
mikroskop cahaya setiap tujuh hari sekali sampai gametofit membentuk organ
seksual (Huang et al. 2009).

Analisis Data
Data pertumbuhan dan perkembangan gametofit marga Pteris
dideskripsikan berdasarkan ciri morfologi yang diamati. Data pertumbuhan
gametofit dianalisis dengan ANOVA, dan untuk hasil analisis yang berbeda nyata
selanjutnya diuji dengan uji Duncan.

13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tipe Reproduksi dan Morfologi spora
Sebanyak delapan jenis Pteris telah diamati tipe reproduksinya, 4 jenis
diketahui mempunyai tipe reproduksi seksual, dan 4 jenis lainnya bertipe
reproduksi apogami (Tabel 3). Tipe reproduksi seksual yang memiliki 64 spora
per sporangium ditemukan pada jenis P. ensiformis, P. mertensioides, P.
tripartita, dan P. venulosa, sedangkan tipe reproduksi apogami ditemukan pada
jenis P. biaurita, P. exelsa, P. longipinnula, dan P. vittata.
Tabel 3 Ukuran spora dan tipe reproduksi Pteris spp.
Jenis

P. biaurita
P. ensiformis
P. exelsa
P. longipinnula
P. mertensioides
P. tripartita
P. venulosa
P. vittata

Diameter
ekuatorial
(μm)
43.0 – 46.2
31.3 – 36.8
21.4 – 50.9
50.8 – 57,6
40.4 – 42.7
50.2 – 51.6
32.5 – 37.4
43.7 – 54.3

Panjang Polar
(μm)
36.0 – 45.7
29.8 – 34.5
17.9 – 46.7
44.5 – 50.5
37.4 – 39.8
40.7 – 48.7
33.8 – 41.1
41.7 – 51.9

Jumlah spora
per sporangium

Tipe
reproduksi

32
64
64
32
64
64
64
32

Apogami
Seksual
Apogami
Apogami
Seksual
Seksual
Seksual
Apogami

Pteris exelsa memiliki 64 spora per sporangium, tetapi digolongkan ke
dalam tipe reproduksi apogami karena memiliki bentuk yang berbeda (Gambar 4
A – B). Mumpuni (2014) melaporkan bahwa tipe apogami pada P. vittata juga
memiliki 64 spora dengan bentuk dan ukuran berbeda. Bentuk dan ukuran spora
berbeda dapat dihasilkan dalam satu sporangium yang sama karena pada saat
meiosis beberapa kromosom saling berpasangan dan membentuk kromosom
univalen, bivalen, dan multivalen yang mengakibatkan kromosom tidak tersebar
secara merata, sehingga hasil akhir meiosis menunjukkan keadaan jumlah
kromosom yang tidak seimbang dan menghasilkan bentuk spora tidak normal
(Manton 1950; Klekowski 1973).
Pteris biaurita memiliki tipe reproduksi apogami. Studi sebelumnya
melaporkan bahwa tipe apogami pada P. biaurita paling sering ditemukan
daripada tipe seksual (Zubaidah 1998; Darnaedi 1992; Chang et al. 1992).
Zubaidah (1998) melaporkan diantara 90 individu P. biaurita yang diamati, tidak
pernah dijumpai tipe seksual, melainkan ditemukan 78 individu mempunyai tipe
apogami, dan 12 individu bertipe campuran. Penelitian lain melaporkan bahwa
tipe seksual dari jenis ini juga ditemukan relatif sedikit di Bogor (Darnaedi 1992).
Tipe reproduksi seksual pada P. biaurita di Taiwan juga tidak pernah ditemukan
(Chang et al. 1992). Pengaturan tipe reproduksi pada tumbuhan paku dipengaruhi
oleh faktor lingkungan seperti cahaya, ketinggian tempat, dan suhu daerah (Kato
& Iwatsuki 1986). Tipe reproduksi apogami diinduksi oleh kadar gas etilen, asam
suksinat, asam naftalena asetat (NAA), asam gibberelat, konsentrasi fosfor yang

14
tinggi, panjang gelombang cahaya tertentu, dan kekeringan tempat tumbuh
(Gifford & Foster 1989).

30 um

30 um

C

30 um B

A

30 um

D

Gambar 4 Spora P. exelsa dan P. tripartita pada tipe reproduksi apogami dan
seksual. A – B. Tipe apogami P. exelsa. C – D. Tipe seksual pada P.
tripartita. Ukuran dan bentuk spora yang tidak sama ditunjukkan
dengan tanda panah. Perbesaran 10x4 dan 10x10
Tipe seksual pada marga Pteris khususnya P. vittata dan P. ensiformis
paling sering dijumpai di Pulau Jawa. Penelitian sebelumnya juga melaporkan
hasil yang sama. Sebanyak 14 individu P. ensiformis, ditemukan 13 individu
bertipe seksual dan 1 individu apogami (Effendi et al. 2014). Mumpuni (2014)
melaporkan sebanyak 37 individu P. vittata di Pulau Jawa, ditemukan 35 individu
memiliki tipe reproduksi seksual dan 2 individu dengan tipe apogami.
Spora semua jenis Pteris yang diamati berbentuk trilet (Gambar 5). Akan
tetapi, pada P. exelsa memiliki bentuk spora beragam mulai dari trilet, tetrahedral,
dan elips (Gambar 4B). Semua jenis Pteris memiliki apertur triradiat. Ukuran
spora baik diameter ekuatorial dan panjang polar bervariasi antar jenis (Tabel 3).
Pteris longipinnula memiliki ukuran spora paling besar dari pada jenis lain,
sedangkan ukuran yang paling bervariasi terdapat pada P. exelsa. Warna spora
bervariasi, spora dari P. biaurita, P. longipinnula, dan P. tripartita berwarna
coklat, spora dari P. ensiformis berwarna coklat tua, spora dari P. vittata memiliki
warna coklat keputihan, sedangkan spora P. venulosa berwarna kekuningan.

15

A

B

A

D

C

E

G

F

H

Gambar 5 Bentuk Spora Pteris. A. P. biaurita; B. P. ensiformis; C. P. exelsa; D.
P. longipinnula; E. P. mertensioides; F. P. tripartita; G. P. venulosa;
H. P. vittata
Perkembangan Gametofit Pteris spp.
Perkembangan gametofit tumbuhan paku secara umum terdiri dari enam
fase penting yaitu fase rhizoid, fase rhizoid-protokorm, fase filamen, fase spatula,
fase hati muda, dan fase hati dewasa. Fase rhizoid ditandai dengan munculnya
rhizoid di bagian polar. Munculnya rhizoid dan sel pertama yang berklorofil
menandai dimulainya fase rhizoid-protokorm. Pada fase filamen, sel protokorm
membelah menjadi beberapa sel sehingga menghasilkan protalus berbentuk
benang uniseriate. Sel-sel ujung atau sub ujung pada filamen membelah secara
membujur, kemudian mengalami pembelahan sel secara berulang sehingga
protalus menyerupai bentuk spatula, inilah fase spatula. Fase hati muda dimulai
ketika sel-sel poligonal yang terletak di sub ujung spatula mulai membesar dan
protalus mulai menjantung tetapi belum menghasilkan organ reproduksi. Pada
fase hati dewasa, protalus menjatung dan telah menghasilkan organ reproduksi.

16
Perkecambahan Spora dan Perkembangan Gametofit
Kecepatan perkecambahan spora jenis Pteris yang diamati bervariasi
(Gambar 6). Perkecambahan spora umumnya terjadi pada 10-20 hari setelah semai
(HSS). Pteris ensiformis mengalami perkecambahan yang paling cepat yaitu 10
HSS. Pteris mertensioides merupakan jenis yang paling lambat berkecambah
sekitar 20 HSS.
Perkecambahan spora jenis Pteris mengikuti tipe Vittaria. Karakteristik tipe
Vittaria ditandai dengan sel pertama yang terbentuk tegak lurus dengan rhizoid
(Nayar & Kaur 1971). Tipe Vittaria nampaknya umum terjadi dalam marga Pteris
seperti yang dideskripsikan oleh Mendoza et al. (1997), Prada et al. (2008), Zhang
et al. (2008), Martínez (2010), dan Martinez et al. (2013).

Gambar 6

Perbandingan kecepatan perkembangan gametofit Pteris spp.
Perkecambahan spora (
), pembentukan laminar (
),
pembentukan organ seksual (
)

Pembelahan sel selanjutnya menghasilkan filamen yang terdiri dari beberapa
sel. Pteris ensiformis dan P. venulosa memiliki filamen terpendek yang terdiri
atas 2-4 sel, sedangkan filamen terpanjang terdapat pada P. longipinnula sekitar 532 s