Analisis Kapasitas Fitoremediasi Tanaman Vetiver (Chrysopogon Zizanioides) Dalam Mereduksi Limbah Cair Organik Studi Kasus Kerambak Jaring Apung Di Waduk Cirata

ANALISIS KAPASITAS FITOREMEDIASI TANAMAN VETIVER
(Chrysopogon zizanioides) DALAM MEREDUKSI LIMBAH CAIR
ORGANIK STUDI KASUS KERAMBAK JARING APUNG
DI WADUK CIRATA

JEFRI NURSANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kapasitas
Fitoremediasi Tanaman Vetiver (Chrysopogon zizanioides) dalam Mereduksi
Limbah Cair Organik Studi Kasus Kerambak Jaring Apung di Waduk Cirata adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor

Bogor, September 2016

Jefri Nursanto
NIM P052130201

RINGKASAN
JEFRI NURSANTO. Analisis Kapasitas Fitoremediasi Tanaman Vetiver
(Chrysopogon zizanioides) dalam Mereduksi Limbah Cair Organik Studi Kasus
Kerambak Jaring Apung di Waduk Cirata. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan
HEFNI EFFENDI.
Pencemaran perairan merupakan masalah global utama yang hingga saat ini
banyak memberikan dampak negatif terhadap bidang akuakultur namun budidaya
perikanan juga turut memberikan dampak negatif terhadap kualitas air di
lingkungan perairan. Budidaya perikanan yang dilakukan dengan menggunakan air
yang tercemar limbah akan menurunkan produksi organisme budidaya dan
berdampak langsung pada aspek sosial dan ekonomi. Secara garis besar, budidaya
perikanan juga menghasilkan limbah yang berasal dari kegiatan budidaya berupa

feses, hasil metabolisme tubuh, sisa pakan yang tidak tercerna oleh organisme
budidaya, maupun organisme yang mati di dasar perairan yang dapat menurunkan
kualitas air budidaya ikan khususnya di waduk cirata. Tingginya unsur hara,
terutama nitrogen (N) dan fosfor (P) yang menyebabkan kandungan kedua zat
tersebut menjadi sangat melimpah di dalam perairan. Di lain pihak, tingginya kedua
unsur hara tersebut akan mengakibatkan perairan menjadi sangat subur
(eutrofikasi) yang seringkali ditandai oleh terjadinya blooming algae di dalam
perairan, terjadi kondisi anoksia, sehingga perairan dapat membahayakan makhluk
hidup yang ada di dalamnya
Fitoremediasi merupakan salah satu cara untuk dekontaminasi limbah dengan
menggunakan tanaman dan bagian-bagiannya, secara in situ atau ex situ. Salah satu
jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk itu adalah vetiver (Chrysopogon
zizanioides). Vetiver mampu bertahan hidup di daerah tergenang dan daerah
bersalinitas moderat. Truong et al. (2008) menyatakan bahwa rumput vetiver ini
mampu tumbuh di wetland area dan efektif mengurangi air limbah.
Penelitian bertujuan untuk mempelajari kemampuan vetiver dalam
mereduksi limbah organik terlarut dalam air dan menganalisis laju
pertumbuhannya. Pada penelitian terdapat tiga perlakuan, yakni vetiver dengan
bobot 15 g dan 30 g serta control, dengan ulangan sebanyak tiga kali, selanjutnya
dilakukan pengamatan terhadap air waduk yang banyak dicemari oleh limbah

anorganik dan limbah organik khususnya dari kegiatan karamba jaring apung. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa vetiver bobot 15g dan 30 g tidak berbeda nyata
pada waktu yang sama untuk memperbaiki kualitas air, tetapi dalam setelah satu
bulan memperlihatkan perbedaan yang signifikan, yakni vetiver 30 g lebih baik dari
15 g. Vetiver tidak mempengaruhi secara nyata kualitas air, namun cenderung
memperbaiki kualitas air. Vetiver mampu tumbuh dengan baik pada media limbah
cair organik. Vetiver yang untuk fitoremediasi, idealnya adalah vetiver yang masih
muda
Kata kunci: Vetiver (Chrysopogon zizanioides), Limbah organik, Kualitas air,
Fitoremediasi

SUMMARY
JEFRI NURSANTO. Phytoremediation Capacity Analized of Vertiver
(Chrysopogon zizanioides) in Reducting Organic Liquid Waste, Study Case on
Kerambak Jaring Apung in Cirata Reservoir. Supervised by ETTY RIANI dan
HEFNI EFFENDI
Water pollution is a major global concern that until now gives many
negative impacts on the aquaculture field. Aquaculture also have a negative impact
on water quality in aquatic environments. Aquaculture which done by using the
contaminated water waste will decrease the production cultivation organisms and

gives direct impact on social and economic aspects. Aquaculture also produces
waste originating from aquaculture activities, in the form of feces, the metabolism
of the body, leftover the food that not digested by the cultivation organisms, or
organisms that die in the bottom waters that can degrade water quality, especially
fish farming in reservoirs. High nutrients, especially nitrogen (N) and phosphorus
(P) which causes the contents of these two substances to be very abundant in the
waters. In another case, the high of two nutrients would result to be very fertile
waters (eutrophication), which are often characterized by the occurrence of
blooming algae in the waters, anoxia conditions occur, so the water can be harmful
to living things in it.
Phytoremediation is one way to decontaminate waste by using plants and
parts thereof, by in situ or ex situ. One species of plants that can be used for that is
vetiver (Chrysopogon zizanioides). The Vertiver able to survive in inundated areas
and moderate-salinity areas. Truong et al. (2008) stated that vetiver grass is able to
grow in the wetland area and effectively reduce wastewater.
The research aims to study the ability of vetiver in reducing organic waste
dissolved in the water and analyzing the growth rate. In the research, there are three
treatments of the vertiver, 15 g, 30 g, and the control which repeated in three times.
Then carried out observations of reservoir water contaminated by sewage that many
inorganic and organic waste, especially from KJA. The results showed that the

vetiver 15 g and 30 g were not significantly different at the same time to improve
water quality, but one month after, its showed a significant difference, that 30 g
vetiver better than 15 g. Vetiver does not significantly affect water quality, but tends
to improve the water quality. Vertiver is able to grow well on the organic liquid
waste medium. Vertiver for phytoremediation is ideally young vertiver.

Key words : Vetiver (Chrysopogon zizanioides), Organic Waste, Water Quality,
Phytoremediation.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS KAPASITAS FITOREMEDIASI TANAMAN VETIVER
(Chrysopogon zizanioides) DALAM MEREDUKSI LIMBAH CAIR

ORGANIK STUDI KASUS KERAMBAK JARING APUNG
DI WADUK CIRATA

JEFRI NURSANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumber daya Alam Dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Syaiful Anwar, MSc

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September sampai Desember 2015
ini ialah Analisis Kapasitas Fitoremediasi Tanaman Vetiver (Chrysopogon
zizanioides) Dalam Mereduksi Limbah Cair Organik Studi Kasus Kerambak Jaring
Apung Di Waduk Cirata.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Etty Riani, MS sebagai ketua
komisi pembimbing dan Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil sebagai anggota komisi
pembimbing, yang telah banyak memberikan nasehat, saran, motivasi, waktu
konsultasi, serta solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi penulis selama
melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Selain itu penulis
ucapkan terima kasih kepada penguji luar komisi : Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc dan
Prof Dr Ir H Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (PSL) IPB, yang telah memberikan motivasi
selama studi dan masukan pada saat ujian sidang tesis. Kepada DIKTI melalui
Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) 2013/2014, terima
kasih atas kepercayaannya untuk memberikan beasiswa kuliah selama menempuh
pendidikan pascasarjana di IPB.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Fitri Riani, Beni Staria
Maulana, Syaminan, Sari Nurlita, Pratiwi, Kiki, Rastya Gesilia, dan Andria atas
nasehat, bantuan serta persahabatannya selama ini. Pak Eman, Ka Bagus Utomo

S.Pi, Pak Nata, dan pak John Hendrik selaku staf PPLH IPB, terima kasih atas
bantuannya selama penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
seluruh staf dan pengajar Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan
Lingkungan (PSL) atas semua ilmu, pengalaman dan bimbingannya. Teman-teman
PSL angkatan 2013 terima kasih atas kebersamaan, keceriaan, dan semangat yang
diberikan. Ucapan terima kasih kepada teman-teman Asrama Mahasiswa
Pascasarjana Sulawesi Tengah dan Keluarga Besar HIMPAST Dan PPMI Bogor
atas bantuan dan kerjasamanya.
Ucapan terima kasih tak terhingga juga penulis ucapkan kepada Ayahanda
Yelfitra , Ibunda Ida Nursanti dan Angga Maulana Dan Defita Nurfitria adikadikku tercinta, serta seluruh keluarga atas doa, kasih sayang, dan dukungan yang
diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

Jefri Nursanto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1
1

Kerangka Pikiran

3

Rumusan Masalah


4

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA
Pencemaran Air

6
6

Dampak Aktivitas Manusia di Peraira Waduk

7


Sistem Fitoremedias

8

Karakteristik Rumput Vertiver (Chrysopogon zizanoides)
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian

10
13
13

Alat dan Bahan

13

Prosedur Penelitian

14

Persiap Tanaman Vertiver
Percobaan Teknologi Hidroponik Sistem Digantung (THSD)
Pelaksanaan Penelitian dengan Sistem Vetiver Digantung
Percobaan Teknologi Hidroponik Sistem Terapung (THST)
Pelaksanaan Percobaan Fitoremediasi dengan Vertiver terapung
Laju PertumbuhanVertiver
Analisis Kualitas Air

14
14
14
15
15
16
16

Analisis Data

17

HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu Perairan

17
17

Kelarutan Oksigen (DO)

20

BOD (Biological Oxygen Demand)

22

Ammonia (N-NH3)

24

Nitrat (N-NO3)

27

Phosfat (P-PO4)

30

Derajat Keasaman (pH)

32

Pertumbuhan Tanaman Vertiver (Chrysopogon zizanioides)

34

Hubungan antara Parameter Kualitas Air dengan Pertumbuhan Vertiver

37

Rekomendasi

39

SIMPULAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

40
40
41

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

46

DAFTAR TABEL
1
2

Parameter kuliatas air
Hasil analisis korelasi antara kualitas air dengan pertumbuhan vetiver

16
38

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Diagram kerangka pemikiran penelitian
Karakteristik Morfologi Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides)
Peta lokasi penelitian Waduk Cirata, Jawa Barat
Desain Wadah Teknik Fitoremediasi Limbah Organik
Pelaksanaan penelitian dengan perlakuan tanaman vetiver di letakan
secara digantung pada box stryfoam
Pelaksanaan penelitian dengan perlakuan tanaman vetiver di letakan
secara terapung box stryfoam
Suhu air pada perlakuan tanaman vetiver dengan metode secara
digantung pada bulan November
Suhu air pada perlakuan tanaman vetiver yang di letakan secara
terapung pada bulan Desember.
Konsentrasi kelarutan oksigen dalam air pada perlakuan tanaman
vetiver dengan metode secara menggantung pada bulan November
Konsentrasi kelarutan oksigen dalam air pada perlakuan tanaman vetiver
dengan metode secara terapung pada bulan Desember
Nilai konsentrasi BOD dalam air pada perlakuan tanaman vetiver
dengan metode secara menggantung pada bulan November
Nilai konsentrasi BOD dalam air pada perlakuan tanaman vetiver
dengan metode secara terapung pada bulan Desember
Konsentrasi amonia dalam air pada perlakuan rumput vetiver dengan
metode secara digantung di bulan November
Konsentrasi amonia dalam air pada perlakuan rumput vetiver dengan
metode secara terapung di bulan Desember

4
11
13
14
15
15
19
19
21
22
23
23
26
26

15 Konsentrasi nitrat dalam air pada perlakuan rumput vetiver dengan
metode digantung di bulan November
16 Konsentrasi nitrat dalam air pada perlakuan rumput vetiver dengan
metode terapung di bulan Desember
17 Konsentrasi phospat dalam air pada perlakuan rumput vetiver
dengan metode digantung di bulan November
18 Konsentrasi phospat dalam air pada perlakuan rumput vetiver dengan
metode digantung di bulan Desember
19 Nilai (pH) air pada perlakuan rumput vetiver dengan metode
digantung pada bulan November
20 Nilai (pH) air pada perlakuan rumput vetiver dengan metode
terapung pada bulan Desember
21 Panjang tanaman vetiver pada perlakuan rumput vetiver digantung
pada bulan November
22 Panjang tanaman vetiver pada perlakuan rumput vetiver dengan metode
digantung pada bulan November
23 Panjang tanaman vetiver pada perlakuan rumput vetiver dengan metode
terapung di bulan Desember

28
29
31
31
33
33
35
35
36

DAFTAR LAMPIRAN
1 Suhu rata-rata perairan yang diberi perlakuan rumput vetiver
2 Kelarutan oksigen rata-rata perairan (ppm) diberi perlakuan rumput
3 Konsetrasi BOD rata-rata perairan (ppm) yang diberi perlakuan rumput
4 Konsentrasi amonia rata-rata perairan (ppm) yang diberi perlakuan
5 Kelarutan nitrat ammonia rata-rata perairan (ppm) yang diberi perlakuan
6 Kelarutan phospat rata-rata perairan (ppm) yang diberi perlakuan
7 Kelarutan phospat rata-rata perairan (ppm) yang diberi perlakuan
8 Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan (berat rumput vetiver)
terhadap suhu perairan
9 Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan (berat rumput vetiver)
terhadap kelarutan oksigen dalam air
10 Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan (berat rumput vetiver)
terhadap nilai BOD dalam air
11 Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan (berat rumput vetiver)
terhadap kelarutan ammonia dalam air
12 Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan (berat rumput vetiver)
terhadap kelarutan nitrat dalam air
13 Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan (berat rumput vetiver)
terhadap kelarutan phospat dalam air
14 Metode THST pada bobot vetiver 15 gram pada box styrofoam 2
15 Metode THST pada bobot vetiver 15 gram pada box styrofoam 5
16 Metode THST pada bobot vetiver 30 gram pada box styrofoam 3
17 Metode THST pada bobot vetiver 30 gram pada box styrofoam 6

46
46
46
47
47
47
48
48
48
49
49
49
50
50
51
51
52

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan, tanpa air
tidak akan ada kehidupan. Dalam kenyataannya air bukan hanya dibutuhkan
manusia saja, namun juga dibutuhkan oleh semua makhluk hidup tanpa kecuali.
Atau dengan kata lain, air merupakan bahan yang mutlak harus ada, baik untuk
tumbuhan, hewan maupun mikroorganisme. Oleh karena itu air harus selalu ada
dengan kualitas yang baik dan kuantitas yang cukup agar dapat mendukung
kehidupan berbagai makhluk hidup.
Air dengan kualitas yang baik dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup,
namun di lain pihak hamper di seluruh wilayah Indonesia, terutama di wilayah
perkotaan telah terjadi pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan di
Indonesia terutama terjadi di sungai, danau, waduk, dsb, bahkan dalam beberapa
tahun belakangan ini pencemaran cenderung terus meningkat. Penyebab utama
pencemaran ini adalah akibat limbah rumah tangga (40%), limbah industri (30 %),
dan sisanya berasal dari limbah pertanian dan peternakan (Kurniadie 2001). Salah
satu waduk yang sudah tercemar adalah Waduk Cirata.
Waduk Cirata adalah salah satu waduk serbaguna, yang selain dimanfaatkan
sebagai sumberdaya PLTA, juga dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan dan
pariwisata. Hal ini terjadi karena waduk juga dimanfaatkan untuk upaya
memperbaiki kehidupan ekonomi masyarakat di sekitar waduk. Adapun salah satu
pemanfaatan dari Waduk Cirata adalah pemanfaatan untuk kegiatan budidaya ikan
pada karamba jaring apung (KJA). Bahkan kegiatan budidaya dalam KJA ini
terlihat jauh lebih menonjol dibanding kegiatan lain yang sama-sama
memanfaatkan potensi sumberdaya alam setempat. Kegiatan perikanan sangat pesat
perkembangannya tersebut ditunjukkan oleh pertambahan jumlah KJA yang
tersebar di perairan waduk yang selalu meningkat dari tahun ke tahun (BPWC
2014).
Kegiatan budidaya dalam KJA yang berkembang melebihi daya dukung
lingkungan, mengakibatkan terjadinya penumpukan nutrient, mengingat sisa pakan
dan feses ikan yang dihasilkan dari KJA jumlahnya sudah jauh melebihi kapasitas
asimilatif perairannya. Hal tersebut diperkuat oleh laporan Garno (2002), bahwa
pengembangan KJA banyak menyumbangkan sisa pakan dan hasil metabolisme
ikan yang cenderung meningkatkan unsur hara di dalam perairan, sehingga
mempercepat terjadinya eutrofikasi. Laju tingkat kesuburan perairan yang
berlebihan tersebut, akan berakibat buruk terhadap kehidupan di perairan, baik
kehidupan alami maupun yang sengaja budidaya. Dampak buruk tersebut antara
lain adalah terjadinya perubahan diversitas biota, pertumbuhan tidak normal,
perubahan genetik, bahkan juga mengakibatkan terjadinya kematian, dan menurut
Riani (2015) dampak buruk dari terjadinya pencemaran di Waduk Cirata adalah
terjadinya kerusakan organ pada organisma yang dibudidaya di dalam KJA, bahkan
di Waduk Saguling mengakibatkan terjadinya kecacatan pada larva sironomus
(Riani et al. 2014). Oleh karena itu maka perlu dicari berbagai cara untuk
memimimalkan terjadinya pencemaran tersebut.

2

Fitoremediasi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mendekontaminasi limbah perairan dengan menggunakan tanaman dan bagianbagiannya baik secara in situ maupun ex situ (Cunningham et al. 1995). Beberapa
penelitian sebelumnya tentang fitoremediasi tanaman air yang menyerap zat
pencemar dalam limbah yakni fitoremediasi dengan menggunakan tanaman
Ipomoea aquatica, Paspalum vaginatum, Phragmites australis (Lin et al. 2002);
fitoremediasi dengan menggunakan tanaman Scirpus acutus, Eleocharis palustris;
Sparganium emersum (Michael 2003); fitoremediasi dengan menggunakan
tanaman Hydrilla verticilata (Rahman et al. 2011); fitoremediasi dengan
menggunakan tanaman eceng gondok (Syahputra 2005 ); fitoremediasi dengan
menggunakan tanaman genjer (Priyanti dan Yunita, 2013). Selain hal tersebut,
khusus untuk di wilayah tambak, fitoremediasi dengan menggunakan tanaman
dengan menggunakan vegetasi Phragmites australis,Spartina alterniflora dan
Scirpus mariqueter (Shi et al. 2011). Selain hal tersebut juga dilakukan
fitoremediasi terutama untuk limbah yang berasal dari kegiatan budidaya udang
vaname, dengan menggunakan tanaman vetiver, dan hasilnya bahwa tanaman
vetiver merupakan tanaman yang mampu menurunkan limbah oganik yang berasal
dari kegiatan budidaya udang vaname (Raharjo et al. 2015 a, b, c).
Diantara tanaman yang prospektif untuk digunakan sebagai agen
fitoremediasi limbah organik adalah vetiver (Chrysopogon zizanioides). Vetiver
patut dipertimbangkan mengingat berbagai sifat positifnya, antara lain tidak
memerlukan persyaratan tumbuh khusus, dapat tumbuh dengan baik pada media
yang sangat ekstrim, dan sistim perakarannya masif (Truong 2011). Tanaman ini
memiliki kapabilitas spesifik dalam mereduksi material organik seperti COD, BOD,
amonia, dan juga logam seperti Zn (90%), As (60%), Pb (30-71%), dan Hg (1315%) (Truong 2004). Krateristik dari tanaman Vetiver ini, sejenis rumput abadi
dengan kemampuan adaptasi ekologis yang kuat dan produktivitas biomassa yang
besar, mudah untuk mengelola dan dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah yang
berbeda, yang membuatnya calon fitoremediator ideal untuk mengendalikan
pencemaran lingkungan.
Penelitian tentang vetiver umumnya sebagai agen fitoremediasi pada tanah,
seperti detoksifikasi dan fitoremediasi tanah terkontaminasi dengan fly ash dari
pembangkit listrik termal (Ghosh et al. 2014), dan pengendalian erosi (Dalton
1996). Rumput vetiver memiliki salah satu karateristik yang unik, karena tanaman
ini memiliki akar yang sangat panjang, sehingga rumput ini mampu mengikat
sedimen yang mengandung pencemar dengan baik, dan sangat efisien dalam
menyerap nutrisi yang larut seperti N dan P dan logam berat dalam air yang
tercemar. Penggunaan tanaman vetiver sebagai fitoremediator, belum banyak yang
mengkaji tentang kemampuan vetiver dalam mendegradasi limbah cair organik.
Oleh karena itu maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat kemampuan
tanaman vetiver dalam mereduksi limbah organik, di wilayah yang tercemar berat
oleh limbah organik seperti di perairan Waduk Cirata yang saat ini merupakan
perairan yang tercemar berat oleh limbah organik.

3
Kerangka Pikiran
Sumber air Waduk Cirata berasal dari aliran Sungai Citarum. Oleh karena itu
ke dalamnya juga bermuara limbah rumah tangga (domestik), air sisa kegiatan
pertanian, termasuk di dalamnya limbah dari kegiatan perikanan (KJA), serta air
tanah yang terbawa ketika hujan. Adanya asupan limbah rumah tangga (domestik)
dan limbah kegiatan pertanian dan perikanan dikhawatirkan dapat menurunkan
kualitas air yang pada akhirnya menyebabkan keseimbangan ekosistem waduk
terganggu. Terganggunya keseimbangan ekosistem waduk dapat menyebabkan
penurunan produktivitas waduk dan mengurangi daya guna waduk (sebagai tempat
pemeliharaan ikan). Terganggunya keseimbangan ekosistem waduk ini seringkali
direpleksikan dengan terjadinya kematian massal ikan. Selain itu, terganggunya
keseimbangan ekosistem waduk juga menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi. Hal
tersebut sejalan dengan pernyataan Sanz-Lazaro et al. (2011) yang mengatakan
bahwa budidaya ikan dapat mempengaruhi kualitas air, tidak hanya parameter fisik,
kimia dan biologi, tetapi juga fungsi ekosistem dari sudut pandang trofik, sehingga
akan mempengaruhi rantai makanan dan keseimbangan antara kelompok trofik.
Salah satu teknologi dalam proses bioremediasi adalah dengan menggunakan
tanaman (fitoremediasi). Pemanfaatan tanaman vetiver diharapkan mereduksi
limbah cair organik. Menurut Truong et al. (2004) tumbuhan vetiver mampu
menyerap N dan P yang tercemar dalam air, toleran terhadap herbisida dan
pestisida, sangat toleran terhadap Al, Mn, dan logam berat seperti As, Cd, Cr, Ni,
Pb, Hg, Se dan Zn dalam tanah dan air. Perubahan kandungan bahan organik pada
kuliatas air Waduk Cirata dapat dilihat pada nilai uptake rate dan laju pertumbuhan
pada proses fitoremediasi menggunakan tanaman vetiver.
Pengetahuan tentang seberapa besar pontensi kemampuan tanaman vetiver
dalam mereduksi bahan pencemar organik yang berlebihan yang terlarut dalam air
tawar, hingga saat ini masih belum ada, sehingga perlu dilakukan berbagai
percobaan dengan beberapa perlakuan yang berbeda, untuk mengetahui hal
tersebut. Informasi ini diharapkan akan dapat digunakan sebagai pedoman
pengambilan keputusan bagi pihak-pihak terkait, serta pengelola Waduk Cirata
demi menjaga keseimbangan ekosistem waduk. Adapun kerangka pikir penelitian
ini dapat dilihat dapat lebih jelas pada Gambar 1.

4

AktivitasManusia

Waduk
Citara
Transportasi

Domestik

KJA
(Kerambak Jaring Apung)

Limbah Organik
Fitoremediasi
Chrysopogon zizanioides L

Kualitas Air
a. pH
b. BOD5
c. Suhu
d. Bahan Organik

Pertumbuhan Tanam
a. Laju Pertumbuhan
tanaman vetiver
b. Pertambahan Tunas
c. Pertumbuhan Akar

Rekomendasi Pengelolaan dan Pencegahan Pencemaran
Lingkungan di Wilayah Waduk Cirata

Gambar 1 : Diagram kerangka pemikiran penelitian

Rumusan Masalah
Pencemaran perairan merupakan masalah global utama yang hingga saat ini
banyak memberikan dampak negatif terhadap bidang akuakultur namun budidaya
perikanan juga turut memberikan dampak negatif terhadap kualitas air di
lingkungan perairan. Budidaya perikanan yang dilakukan dengan menggunakan air
yang tercemar limbah akan menurunkan produksi organisme budidaya dan
berdampak langsung pada aspek sosial dan ekonomi. Secara garis besar, budidaya
perikanan juga menghasilkan limbah yang berasal dari kegiatan budidaya berupa
feses, hasil metabolisme tubuh, sisa pakan yang tidak tercerna oleh organisme
budidaya, maupun organisme yang mati di dasar perairan yang dapat menurunkan
kualitas air budidaya ikan khususnya di waduk.
Terdapat berbagai masalah yang terkait dengan kualitas air, seperti derajat
keasaman (pH) yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, kandungan bahan organik

5
yang tinggi, kontaminasi zat tercemar dsb. Namun diantara masalah-masalah
tersebut, adanya kontaminasi bahan pencemar seringkali menimbulkan masalah
yang lebih besar lagi. Salah satu bahan pencemar yang sering bermasalah pada
perairan yang didalamnya terdapat budidaya dalam KJA antara lain adalah
tingginya unsur hara, terutama nitrogen (N) dan fosfor (P), sehingga kandungan
keduanya menjadi sangat melimpah di dalam perairan. Di lain pihak, tingginya
kedua unsur hara tersebut akan mengakibatkan perairan menjadi kelewat subur
(eutrof) yang seringkali ditandai oleh terjadinya blooming algae di dalam perairan,
terjadi kondisi anoksia, sehingga perairan dapat membahayakan makhluk hidup
yang ada di dalamnya (Effendi 2000).
Di Waduk Cirata hal tersebut di atas dapat terjadi, mengingat pada waduk
ini terdapat kegiatan-kegiatan, seperti wisata perahu, restoran apung, transportasi
dan aktivitas KJA yang semuanya akan mensuplai a limbah organik dalam jumlah
yang sangat besar. Hal tersebut pada akhirnya memberi dampak negatif terhadap
fungsi dan pemanfaatan waduk. Menurut BPWC (2014) jumlah KJA yang terdapat
di Waduk Cirata melebihi daya dukung yang telah ditetapkan. Oleh karena itu maka
kegiatan yang paling banyak menyumbang limbah organic ke dalam Waduk Cirata
diduga berasal dari limbah pakan budidaya dalam KJA. Oleh karena itu maka harus
dicari cara untuk menanggulangi hal tersebut, dan salah satunya melalui
penggunaan rumput vetiver. Berdasarkan hal tersebut di atas, dirumuskan beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kemampuan tanaman rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides)
dalam mereduksi limbah organik terlarut dalam air yang berasal dari limbah
domestik di Waduk Cirata menggunakan vetiver system ?
2. Bagaimana laju pertumbuhan tanaman rumput vetiver apabila dalam limbah
organik?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka tujuan penelitian dari dilakukannya
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kemampuan tanaman rumput vetiver/ akar wangi (Chrysopogon
zizanioides) dalam mereduksi limbah organik terlarut dalam air yang berasal
dari limbah domestik di Waduk Cirata menggunakan vetiver system
2. Menganalisis laju pertumbuhan tanaman rumput vetiver dalam limbah organik
3. Menyusun strategi minimalisasi pencemaran melalui teknologi fitoremediasi
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini selanjutnya diharapkan dapat dimanfaatkan untuk:
1. Memberi rekomendasi pengembangan pengolahan Waduk Cirata dengan
memanfaatkan tanaman akar wangi sebagai penyerap limbah cair organik dan
domestik
2. Menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan pengelolaan dan
perencanaan di Waduk Cirata oleh pemerintah wilayah setempat.

6

TINJAUAN PUSTAKA
Pencemaran Air
Pencemaran atau seringkali disebut sebagai polusi, saat ini merupakan kejadian
yang sering terjadi di sekitar kita. Pencemaran pada umumnya ditimbulkan oleh
proses aktivitas manusia yang berakibat merugikan terhadap kehidupan manusia
baik langsung maupun tidak langsung (Sutrisno et al. 1991). Menurut Saeni (1989),
pencemaran adalah peristiwa terjadinya penambahan bermacam-macam bahan
sebagai hasil dari aktivitas manusia ke dalam lingkungan, yang biasanya dapat
memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap lingkungannya.
Pencemaran juga dapat terjadi apabila ada gangguan terhadap daur suatu zat,
misalnya laju produksi suatu zat melebihi laju penggunaan zat, sehingga terjadi
pembuangan (Soemarwoto, 1992). Menurut Odum (1971) suatu lingkungan
dikatakan tercemar apabila terjadi perubahan fisik, kimia dan biologi yang tidak
dikehendaki terhadap air, tanah dan udara. Dengan demikian apabila dilihat dari
media yang dicemari, maka pencemaran dapat dibedakan menjadi tiga macam
yaitu: pencemaran air, tanah dan udara (Darmono, 2001, Kristianto,2004 serta
Riani, 2012). Menurut Riani (2012) apabila terjadi pencemaran lingkungan, maka
bagian lingkungan yang paling menderita adalah air.
Air merupakan sumber daya alam yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup.
Namun demikian mengingat air selalu bersiklus, maka air masuk pada kategori
sumberdaya alam yang dapat diperbarui. Namun demikian sifat air yang sangat
istimewa mengakibatkan air akan dapat dengan mudah terkontaminasi oleh
aktivitas manusia (Riani, 2012). Dalam penggunaannya, air banyak digunakan oleh
manusia untuk berbagai kegiatan antropogenik, dengan tujuan bermacam-macam.
Oleh karena itu maka air yang sifatnya sangat istimewa dan banyaknya kegiataan
antropogenik mengakibatkan air dengan mudahnya dapat tercemar.
Air dapat dibedakan menjadi beberapa kriteria yang berbeda-beda, berdasarkan
tujuan penggunaannya. Oleh karenanya maka kualitas air untuk berbagai jenis
kegiatan kriterianya tidak sama antara yang satu dengan lainnya. Dalam hal ini, air
yang sangat kotor sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai air minum, seringkali
masih dikategorikan cukup bersih untuk kebutuhan seperti mencuci, pembangkit
tenaga listrik, pendingin mesin dan berbagai kegiatan lainnya. Pencemaran air dapat
merupakan masalah regional maupun lingkungan global, dan sangat erat kaitannya
dengan kualitas tanah maupun dengan kualitas udara yang ada di sekitarnya (Riani,
2012).
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001, pencemaran air adalah
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi dan atau komponen lain
ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukkannya. Menurut Peraturan Pemerintah RI, No. 20 Tahun (1990)
pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi
dan atau kehidupan lain kedalam air dan atau berubahnya tatanan komposisi air oleh
kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi
lagi sesuai dengan peruntukannya. Menurut Undang-undang No. 23 tahun 1997

7
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan diartikan sebagai
masuknya atau dimasukannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke
dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia, sehingga kualitasnya turun sampai
ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi
sesuai dengan peruntukkannya. Menurut Undang-undang No. 23 tahun 1997,
pencemaran hanya terjadi jika diakibatkan oleh manusia, sementara dalam UU No.
4 tahun 1982, definisi pencemaran mencakup sumber penyebab alami. Berdasarkan
pengertian ini, masalah pencemaran air terkait dengan tiga hal penting, yaitu: (1)
unsur yang masuk atau dimasukkan ke dalam air, (2) kualitas dan penurunan
kualitas air, serta (3) peruntukkan air.
Menurut Kristianto (2004), pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air
dari keadaan normal. Oleh karenanya maka pada kondisi tercemar, maka
kondisinya keluar dari kemurniannya. Menurut Hart dan Fuler (1980), air dikatakan
tercemar jika mengalami hal-hal berikut :
a. Air mengandung zat, energi dan atau komponen lain yang dapat merubah fungsi
air sesuai peruntukkannya, atau disebut parameter pencemaran.
b. Kandungan parameter pencemaran di dalam air telah melampaui batas toleransi
tertentu atau disebut baku mutu hingga menimbulkan gangguan terhadap
pemanfaatannya. Dengan kata lain air tidak sesuai dengan peruntukkannya.
Menurut Riani (2012) pada kondisi tercemar, beberapa parameter kualitas air
keluar dari kisaran toleransinya, sehingga pada umumnya menjadi faktor pembatas
untuk kehidupan organisme

Dampak Aktivitas Manusia di Perairan Waduk
Menurut Achmad (2011), Indonesia sebagai negara berkembang, pencemaran
oleh air domestik merupakan pencemar terbesar, yaitu sekitar 85% limbah yang
masuk ke badan air. Hal ini karena belum adanya pengolahan limbah sebelum
dibuang ke badan air. Khusus di negara maju, limbah domestik yang masuk ke
badan air hanya sekitar 15%. Sumber pencemaran dari pertanian berasal dari
penggunaan pupuk dan pestisida. Pupuk yang digunakan tidak seluruhnya terserap
kedalam tanah, namun ada yang terbuang ke sungai. Apabila penggunaan pupuk
urea untuk sekali panen sebanyak 300 kg/Ha, pupuk TSP sebanyak 100 kg/Ha,
kadar kandungan nitrogen (N) di pupuk urea sebesar 45%, dan kandungan fosfor
(P) di pupuk TSP sebesar 20%, dan asumsi limbah pupuk yang masuk ke waduk
sebesar 10 (Achmad 2011).
Di beberapa waduk, pembudidaya ikan memanfaatkan waduk sebagai lahan
budidaya ikan dengan menggunakan sistem keramba atau Keramba Jaring Apung
(KJA). Sifat perairan waduk yang masih dianggap sebagai common property (milik
bersama) dan open access (sifat terbuka) menyebabkan pertumbuhan KJA di
berbagai tempat berkembang sangat pesat dan cenderung tidak terkontrol dan tak
terkendali. Hal tersebut didukung dengan budidaya ikan berbasis pakan buatan
(pelet) dimana aktivitas budidayanya menggunakan pemberian pakan hampir 70%
dari proses produksinya (Garno 2002).
Meningkatnya usaha budidaya ikan ini sudah tentu akan memberikan dampak
positif dan negatif bagi kehidupan manusia maupun lingkungan hidup. Dampak
positif yang diberikan dapat berupa ketersediaan bahan pangan berprotein dan

8

terbukanya lapangan pekerjaan. Menurut Bony (2008), budidaya ikan memberikan
kontribusi signifikan terhadap pasokan pangan global, yakni menyediakan sekitar
30% dari produksi perikanan. Sedangkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan
adalah pencemaran perairan khususnya akibat limbah organik yang berasal dari
limbah lumpur/sedimen (sludge) dari feces dan sisa pakan (aquaculture effluents),
baik berupa deplesi oksigen dan eutrofikasi serta blooming alga.
Keadaan ini diperkuat oleh pendapat (Kioussiset al 2000), Perairan alami dapat
terkontaminasi, dan kualitasnya menurun, oleh keluarnya polutan anion hara seperti
nitrat, nitrit dan fosfat.
NO3, NO2, dan PO4 adalah tiga konsentrasi
yang biasanya ditemukan dalam pembuangan limbah air dari sirkulasi sistem
produksi perikanan budidaya.
Menurut Grepin (2010), Penurunan kualitas air ini dapat disebabkan oleh
kegiatan lain yang berasal dari limbah industri, domestik, pertanian dan lain-lain
serta dari kegiatan budidaya ikan itu sendiri (kotoran ikan/feces dan sisa pakan).
Penurunan kualitas air dari limbah organik akibat kegiatan budidaya ikan itu
sendiri umumnya diakibatkan oleh banyaknya pelepasan produk limbah yang
berasaldari metabolisme ikan (feces) dan sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan
budidaya. Keberadaan feces sangat tergantung pada tingkat efektifitas konversi
pakan dari ikan yang dibudidayakan, dimana konversi pakan (KP) ideal secara
teoritik adalah 1 kg pakan yang diberikan akan menghasilkan 1 kg daging (faktor
KP = 1). Namun kenyataan di lapangan KP pada kegiatan budidaya lebih dari 1.
Dalam hal ini semakin besar nilai konversi pakan, maka akan semakin besar pula
limbah (feces) yang akan dihasilkan. Selain hal tersebut, sisa pakan yang dihasilkan
dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA sangat tergantung pada tingkat efisiensi
pemberian pakan. Semakin rendah efisiensi pemberian pakan maka akan semakin
banyak sisa pakan yang dihasilkan.
Sistem Fitoremediasi
Fitoremediasi berasal dari dua kata yaitu phyto berasal dari Bahasa Yunani
yaitu phyton yang berarti tumbuhan/tanaman (plant), serta kata remediation yang
merupakan Bahasa Latin remediare (to remedy) yang berarti memperbaiki/
menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Berdasarkan kedua kata tersebut,
maka fitoremediasi dapat dikatakan sebagai suatu sistem dimana tanaman tertentu
yang umumnya bekerjasama dengan mikroorganisme dalam media (tanah, koral
dan air) berupaya untuk mengubah zat kontaminan (pencemar) dari kadar yang
masuk pada kategori bahaya, menjadi kurang atau tidak berbahaya, bahkan menjadi
bahan yang berguna secara ekonomi (Wang et al. 2010). Selanjutnya dikatakan
bahwa fitoremediasi menggunakan tanaman hijau untuk membersihkan
limbah/daerah yang terkontaminasi bahan yang berbahaya/beracun. Konsep
penggunaan tanaman untuk menghilangkan nutrien yang berasal dari air limbah dan
senyawa-senyawa lain pada dasarnya sudah diimplementasikan sejak 300 tahun
yang lalu, yang dilaksanakan pada pembuangan air limbah.
Fitoremediasi merupakan suatu teknik yang menjanjikan dapat mengatasi
pencemaran dengan murah, efektif, dan dapat digunakan secara langsung di tempat
yang tercemar, serta dapat digunakan secara langsung di tempat yang terkena
pencemaran dengan menggunakan tanaman.

9
Teknologi ini potensial untuk diaplikasikan, aman digunakan dengan
dampak negatif kecil, memberikan efek positif yang multiguna terhadap kebijakan
pemerintah, komunitas masyarakat dan lingkungan, biaya relatif rendah, mampu
mereduksi volume kontaminan, dan memberikan keuntungan langsung bagi
kesehatan masyarakat. Keuntungan paling besar dalam penggunaan fitoremediasi
adalah biaya operasi yang lebih murah (Fahruddin 2010).
Keuntungan utama dari aplikasi teknik fitoremediasi dibandingkan dengan
system remediasi lainnya adalah kemampuannya untuk menghasilkan buangan
sekunder yang lebih rendah sifat toksiknya, lebih bersahabat dengan lingkungan
serta lebih ekonomis. Kelemahan fitoremediasi adalah dari segi waktu yang
dibutuhkan lebih lama dan juga terdapat kemungkinan masuknya kontaminan ke
dalam rantai makanan melalui konsumsi hewan dari tanaman tersebut (Fahruddin
2010).
Metode remediasi yang dikenal sebagai fitoremediasi ini mengandalkan
pada peranan tumbuhan dalam menyerap, mendegradasi, mentransformasi dan
mengimobilisasi bahan pencemar, baik itu logam berat maupun senyawa organik.
Mekanisme kerja fitoremediasi terdiri dari beberapa konsep dasar yaitu:
fitoekstraksi, fitovolatilisasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, rhizofiltrasi dan interaksi
dengan mikroorganisme pendegradasi polutan (Kelly 1997).
Menurut Youngman (1998) untuk menentukan tanaman yang dapat
digunakan pada penelitian fitoremediasi dipilih tanaman yang mempunyai sifat: a)
Cepat tumbuh, b) Mampu mengkonsumsi air dalam jumlah yang banyak pada
waktu yang singkat, c) Mampu meremediasi lebih dari satu polutan, d) Toleransi
yang tinggi terhadap polutan.
Menurut Truong dan Hart (2001), penghilangan unsur N dan P dalam
pencemaran air oleh vegetasi (fitoremediasi) merupakan cara yang paling efektif,
biayanya murah dan ramah lingkungan. Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil
penelitian Wang et al. (2010) yang mendapatkan hasil bahwa fitoremediasi bukan
hanya dinilai tidak inovatif saja tetapi juga ramah lingkungan dan ekonomis,
sehingga lebih sesuai dengan solusi keteknikan untuk banyak masalah lingkungan
di dunia. Namun demikian walaupun aplikasi ini sederhana, namun sudah menjadi
teknologi baru ini mempunyai kemampuan sangat baik untuk berbagai bidang dan
cara-cara yang berbeda yang dapat digunakan untuk memerangi terjadinya
pencemaran perairan.
Menurut Truong et al. (2010) serta Otte dan Jacob (2006), mekanisme
remediasi tumbuhan berlangsung secara alami dengan melalui enam tahap proses
yang berlangsung secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan/
pencemar yang berada disekitarnya. Adapun keenam tahapan proses tersebut
adalah sebagai berikut:
 Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan untuk menarik
zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi di sekitar akar tumbuhan,
proses ini disebut juga hyperacumulation.
 Rhizofiltration (rhizo = akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat
kontaminan yang dilakukan oleh akar, dan selanjutnya zat rersebut akan
menempel pada akar.
 Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar
yang tidak mungkin terserap ke dalam batang tumbuhan (hanya terjerap).

10







Zat-zat tersebut akan menempel erat pada akar sehingga tidak akan terbawa
oleh aliran air yang terdapat dalam media tersebut.
Rhyzodegradetion disebut juga enhanced rhezosphere biodegradation, or
plented-assisted bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat
kontaminan oleh aktivitas mikroba yang berada di sekitar akar tumbuhan,
misalnya ragi, fungi dan bakteri.
Phytodegradation (phytotransformation) yaitu proses yang dilakukan oleh
tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai
molekul yang kompleks, hingga menjadi bahan yang tidak berbahaya
dengan susunan molekul yang lebih sederhana, dan selanjutnya malah dapat
bermanfaat bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat
berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar, dengan
bantuan enzim yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Terkait hal
tersebut, beberapa tumbuhan mengeluarkan enzim berupa bahan kimia yang
berperan dalam mempercepat proses degradasi bahan pencemar.
Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat kontaminan oleh
tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan
yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya diuapkan ke atmosfir. Pada
beberapa tumbuhan setiap batangnya dapat menguapkan air 200 sampai
dengan 1000 liter/hari.

Karakteristik Rumput Vetiver (Chrysopogon zizanioides)
Tanaman Vetiver termasuk Family Gramineae, berumpun lebat, akar tunggal
bercabang banyak dan berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai merah tua.
Rumpun tanaman akar wangi terdiri atas beberapa anak rumpun yang nantinya
dapat dijadikan bibit (Raoet al 2008). Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides,
L) adalah tumbuhan yang berasal dari India dan secara tradisional telah digunakan
untuk perlindungan kontur (lereng). Rumput vetiver sebelumnya dikenal dengan
nama latin Vetiveria zizanioides yang kemudian reklasifikasi ulang menjadi
Chrysopogon zizanioides L (Gambar 2). Sistem fitoremediasi dengan menggunakan
vetiver ini membutuhkan biaya yang murah dan terbukti sangat efektif yang
menawarkan solusi lingkungan. Di Indonesia rumput vetiver lebih dikenal dengan
nama "akar wangi" yang biasanya dimanfaatkan minyak atsiri dari akarnya.
Keistimewaannya adalah akarnya yang sangat panjang sehingga dapat
melebihi panjang bagian yang tumbuh di atas tanah. Vetiver ini mempunyai
karakteristik/keunggulan luar biasa karena memiliki tingkat toleransi terhadap
kondisi klimat, tanah, lahan basah yang beragam, sehingga sekarang banyak
digunakan sebagai teknik bioengineering dan fitoremediasi untuk mitigasi
lingkungan seperti stabilisasi daerah lereng, stabilisasi infrastruktur, rehabilitasi
tanah pertambangan (air asam tambang dan batuan penutup), pembuangan air
limbah, perangkap sedimen (sediment trap), fitoremediasi yang mengkontaminasi
tanah dan air, dan beberapa kegiatan lain dari pengendalian dampak lingkungan
hidup (Truong et al. 2008). Vetiver juga dimanfaatkan sebagai pakan hijauan ternak
sapi dan kerbau, bahkan akarnya dimanfaatkan sebagai minyak atsiri untuk parfum.
Tumbuhan Vetiver juga akan membentuk tanaman pagar yang sangat efektif
untuk memperlambat dan menyebarkan limpasan air, mengurangi erosi tanah,

11
mempertahankan kelembaban tanah dan memerangkap sedimen serta zat-zat kimia
pertanian. Tumbuhan vetiver memiliki karakteristik yang sangat unik, seperti
diuraikan di bawah ini

Gambar 2 Karakteristik Morfologi Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides)
yang memiliki panjang akar hingga dua meter (Sumber: Truong et al.
2011).

Karakteristik Morfologi
Rumput vetiver tidak memiliki stolons atau rimpang, akarnya halus
terstruktur dapat tumbuh dengan sangat cepat (dalam beberapa aplikasi kedalaman
perakaran dapat mencapai 3-4 m pada tahun pertama) (Gambar 2). Sistem akar yang
dalam ini membuat tanaman ini sangat toleran kekeringan dan sulit tercabut oleh
arus yang kuat dan apabila batang tanaman ini terkubur oleh sedimen yang
terperangkap maka akan tumbuh akar baru pada batang. Ketika ditanam rapat,
tanaman pagarnya yang lebat berguna sebagai penyaring sedimen yang efektif dan
penyebar air (Truong et al. 2011).
Akar vetiver mampu menembus lapisan setebal 15 cm yang sangat keras.
Dilereng yang sangat keras dan berbatu, ujung-ujung akar vetiver mampu masuk
menembus dan menjadi semacam jangkar yang kuat. Cara kerja akar ini sama
seperti besi yang masuk menembus lapisan tekstur tanah dan pada saat yang sama
menahan partikel-partikel tanah dengan akar serabutnya (Booth 2004).
Menurut Truong et al. (2008), rumput vetiver juga memiliki akar yang
panjang, sehingga mengakibatkan volume yang sangat besar dari rizosfer dan
selanjutkan akan bermanfaat untuk terjadinya pertumbuhan bakteri dan jamur yang
berlipat-lipat. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyerapan kontaminan yang
tinggi oleh rumput vetiver serta mampu memecah/memotong proses nitrifikasi.
Adapun kemampuan rumput vetiver dalam menghilangkan nutrien N dan P,

12

penelitiannya sebenarnya telah banyak dilakukan, khususnya untuk limbah yang
berasal dari rumah tangga (tinja).
Batangnya keras dan tegak yang dapat mengatasi aliran air yang relatif kuat.
Karakteristik lainnya, rumput ini sangat tahan terhadap hama, penyakit dan api.
Beberapa karakteristik rumput vetiver yang sudah diuraikan di atas
menunjukkan bahwa secara morfologi rumput vetiver mempunyai kemampuan
yang luar biasa, sebagai bioengineering (rekayasa teknologi dengan memanfaatkan
tanaman) dan fitoremediasi penggunaan teknologi hijau dengan menggunakan
tanaman yang berfungsi menghilangkan pencemar yang mengkontaminasi tanah
dan air). Oleh karena itu maka fitoremediasi bagus sekali bila dilakukan
menggunakan rumput vetiver. Hal ini disebabkan rumput vetiver secara morfologi
memiliki akar yang panjang, sehingga rumput ini mampu mengikat sedimen yang
mengandung pencemar dengan baik. Selain hal tersebut vetiver juga mempunyai
tingkat toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan ekstrim (kualitas air/studi
kasus N, P dan pestisida maupun keadaan iklim). Rumput vetiver juga mempunyai
kemampuan menahan dorongan arus dan memperangkap sedimen yang
mengandung nutrien terutama senyawa-senyawa yang mengandung unsur N dan
unsur P.
Karakteristik Fisiologi
Keunikan fisiologi dari rumput ini adalah bahwa vetiver mempunyai tingkat
toleransi yang tinggi, baik terhadap kondisi kekeringan maupun basah (banjir),
keasaman dan kebasaan (pH 3,3 – 12,5), suhu -14 - 55 oC, curah hujan minimum
300 mm, tumbuh dengan baik kondisi kelembaban tinggi walaupun dapat pula
tumbuh di tanah yang keringdan sinar matahari penuh, salinitas antara 0 – 22,5 %
Selain itu vetiver juga memiliki tingkat toleransi tinggi terhadap kandungan
logam berat yang tinggi, persen pengurangan (% high removal) untuk N dan P dari
pencemar air organik, % high removal COD, N, dan P pada leachate yang berasal
dari sampah organik (Truong et al. 2011).
Karakteristik Ekologi
Meskipun vetiver sangat toleran terhadap beberapa keadaan ekstrim tanah dan
iklim seperti disebutkan diatas, seperti umumnya rumput, vetiver tidak toleran
terhadap tempat teduh. Keteduhan akan mengurangi pertumbuhannya dan dalam
kasus ekstrim bisa jadi membunuh vetiver. Karenanya vetiver sebaiknya ditanam di
lingkungan yang terbuka dan bebas dari rumput liar. Pengendalian terhadap rumput
liar bisa jadi diperlukan selama masa awal pertumbuhan. Pada tanah yang mudah
terkikis dan tidak stabil, vetiver akan mengurangi erosi lebih dulu, menstabilkan
tanah yang terkikis (khususnya lereng yang curam), kemudian dikarenakan
kelembaban dan nutrisi yang tersimpan, meningkatkan mikrolingkungannya
sehingga tanaman lain atau dari benih yang ditaburkan lainnya bisa ditanam
setelahnya. Adanya karakteristik tersebut, maka vetiver bisa disebut sebagai
tanaman perawat pada tanah kurang bagus (Truong et al. 2011).

13

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September – Desember 2015.
Pengambilan sampel dan pengukuran kualitas air dilakukan di Waduk Cirata,
Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat (Gambar 3).
Analisis parameter kualitas air dilaksanakan pada Laboratorium Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian : Waduk Cirata, Jawa Barat

Alat Dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah, pH meter, DO meter,
timbangan analitik, styrofoam ukuran: 75x42x22 cm dengan Tebal 3 cm, peralatan
pengambilan sampel air di lapangan yang digunakan pada penelitian ini adalah
kemmerer water sampler, botol winkler, ice box. Selain itu juga dilakukan
pemeriksaan di laboratorium dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption
Spectrophotometer), peralatan gelas kimia. Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sampel air hasil percobaan, tanaman vetiver (Chrysopogon zizanioides)
aquadest, dan bahan kimia seperti alkohol, HCl, H2SO4, H2O2 dan HNO3

14

Prosedur Penelitian
Persiapan Tanaman Vetiver
Dalam penelitian ini digunakan bibit tanaman vetiver (Chrysopogon
zizanioides L) berumur dua minggu. Selanjutnya tanaman vetiver ini digunakan
menjadi bahan perlakuan dalam penelitian. Adapun yang menjadi perlakuan di sini
adalah bobot vetiver, oleh karena itu maka pada tanaman vetiver selanjutnya
dilakukan penimbangan biomassa tanaman yaitu 15 gr dan 30 gr. Setelah itu
tanaman vetiver dipotong dengan ukuran yang sama, yakni helaian daunnya
dipotong, sehingga panjang daunnya sama yakni 10 cm. Tanaman vetiver ini
selanjutnya ditanam pada pot kecil yang berisi media tanah. Adapun wadah
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Desain wadah teknik fitoremediasi limbah organik menggunakan
rumput vetiver
Percobaan Teknologi Hidroponik Sistem Digantung (THSD)
Pada tahap penelitian dibuat percobaan dengan perlakuan yakni vetiver
diletakan dengan cara digantung pada skat bambu yang letakan pada box
styrofoam . Pada percobaan ini dilakukan proses aklimatisasi, tujuan tahap ini aga