Habitat Dan Populasi Mentilin (Cephalopachus Bancanus Bancanus) Di Kabupaten Bangka

HABITAT DAN POPULASI MENTILIN
(Cephalopachus bancanus bancanus) DI KABUPATEN BANGKA,
PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

RANDI SYAFUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI, SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Habitat dan Populasi
Mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus) di Kabupaten Bangka” adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, ?? September 2016
Randi Syafutra
NRP. P053140011

RINGKASAN

RANDI SYAFUTRA. Habitat dan Populasi Mentilin (Cephalopachus bancanus
bancanus) di Kabupaten Bangka. Dibimbing oleh HADI SUKADI ALIKODRA,
ENTANG ISKANDAR
Mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus) adalah satwa bendera Pulau
Bangka dan telah dilindungi oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu, C. b. bancanus
telah ditetapkan sebagai satwa terancam punah oleh IUCN. Penetapan status
konservasi C. b. bancanus tersebut secara pasti didasarkan pada semakin
berkurangnya habitat dan populasi C. b. bancanus. Penelitian ini bertujuan
mengidentifikasi habitat, distribusi dan populasi, serta permasalahan pelestarian
mentilin di Kabupaten Bangka. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2015
hingga Mei 2016 di empat desa di Kabupaten Bangka, yaitu Zed, Kemuja, Paya
Benua, dan Petaling.

Hasil penelitian menunjukkan habitat mentilin secara umum di Kabupaten
Bangka adalah agroforest karet (Hevea brasiliensis) berumur 10 tahun ke atas yang
sudah tidak terurus pemiliknya (terlantar). Spesies vegetasi yang dimanfaatkan
mentilin sebagai vegetasi tidur adalah seruk (Schima wallichii), mengkirai (Trema
orientalis), bua bulu (Ficus annulata), dan bua tupai (F. aurata). Habitat mentilin
didominasi oleh serangga dari ordo Lepidoptera dan Orthoptera. Distribusi mentilin
tertinggi terdapat di habitat mentilin di Desa Petaling dan terendah terdapat
di habitat mentilin di Desa Zed. Distribusi mentilin dipengaruhi oleh jarak habitat
mentilin terhadap permukiman dan semak belukar. Kepadatan populasi mentilin
berkisar 2,22-17,78 ekor/km2. Estimasi populasi mentilin di Desa Zed, Kemuja,
Paya Benua, dan Petaling masing-masing berjumlah 90 ekor, 296 ekor, 348 ekor,
dan 1.078 ekor. Perburuan liar dan perdagangan, serta konversi hutan menjadi
perkebunan kelapa sawit skala besar dan permukiman menjadi permasalahan
pelestarian mentilin yang terjadi di semua lokasi penelitian.
Kata”kunci:””Cephalopachus bancanus bancanus, habitat, Kabupaten Bangka,
Kata”kunci:””populasi

SUMMARY

RANDI SYAFUTRA. Habitat and Population of Mentilin (Cephalopachus

bancanus bancanus) in Bangka Regency. Supervised by HADI SUKADI
ALIKODRA, ENTANG ISKANDAR
Mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus) is a flagship subspecies of
Bangka Island and has been protected by Indonesia Government. Besides, C. b.
bancanus has been determined as an endangered subspecies by IUCN.
Determination of conservation status of C. b. bancanus is certainly based on C. b.
bancanus depopulation and its habitat loss. This research aimed to identify habitat
of mentilin, to identify distribution and population of mentilin, and to identify
conservation problems of mentilin. The research was conducted from December
2015 to May 2016 in four villages (i.e. Zed, Kemuja, Paya Benua, and Petaling) in
Bangka Regency.
Result of the research showed that mentilin habitat generally was at abandoned
rubber (Hevea brasiliensis) agroforests aged over 10 years. Vegetation species used
as sleeping vegetation by mentilin was seruk (Schima wallichii), mengkirai (Trema
orientalis), bua bulu (Ficus annulata), and bua tupai (F. aurata). The habitat was
dominated by Lepidoptera and Orthoptera insects as mentilin potential foods. The
highest distribution of mentilin was obtained in mentilin habitat in Petaling Village
and the lowest distribution of mentilin was obtained in mentilin habitat in Zed
Village. The distribution of mentilin was affected by distance of mentilin habitat
to settlement and shrub. The population density of mentilin was 2.22-17.78

individuals/km2. The population estimate of mentilin in the village of Zed, Kemuja,
Paya Benua, and Petaling was 90 individuals, 296 individuals, 348 individuals and
1,078 individuals. Illegal hunting and trade, and conversion of forests into largescale oil palm plantations and settlements became major problems for habitat and
population of mentilin in research locations.
Key”words:””Bangka Regency, Cephalopachus bancanus bancanus, habitat,
Key”words:””population

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

HABITAT DAN POPULASI MENTILIN
(Cephalopachus bancanus bancanus) DI KABUPATEN BANGKA,
PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG


RANDI SYAFUTRA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Multidisiplin Mayor Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. (Ris.) Dr. Ir. M. Bismark, MS

Judul

:

Nama
NRP

Program Studi

:
:
:

Habitat dan Populasi Mentilin (Cephalopachus bancanus
bancanus) di Kabupaten Bangka
Randi Syafutra
P053140011
Primatologi

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, MS
Ketua

Dr. Ir. Entang Iskandar, MSi
Anggota


Diketahui,
Ketua Program Multidisiplin Mayor
Primatologi

Dekan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 31 Agustus 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas bantuan, berkat dan

rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul “Habitat dan
Populasi Mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus) di Kabupaten Bangka”.
Penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Hadi
Sukadi Alikodra, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan kepada Dr. Ir. Entang
Iskandar, MSi sebagai anggota komisi pembimbing atas segala arahan, pengertian
dan dukungan sejak perencanaan awal penelitian sampai tesis dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Prof. (Ris.) Dr. Ir. M. Bismark,
MS sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan tambahan wawasan
pengetahuan penulis.
Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. drh. Dondin
Sajuthi, MST, PhD sebagai Ketua Program Studi Primatologi IPB dan kepada Prof.
Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer atas bimbingan dan nasehat-nasehat yang diberikan
kepada penulis selama studi. Penghargaan dan terima kasih turut penulis sampaikan
kepada Dr.rer.nat. Indra Yustian, SSi, MSi dan Dr. Eddy Nurtjahya, MSc atas
bantuan yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian. Terima kasih
disampaikan kepada mahasiswa/i Primatologi atas segala dukungan yang telah
diberikan, serta kepada Nurjayanti, SPt dan Mulyana atas bantuannya kepada
penulis selama studi.
Penulis turut menyampaikan terima kasih kepada KA Firdaus, SE sebagai
Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL) Kabupaten Bangka

atas ijin untuk melakukan penelitian di Kabupaten Bangka, serta kepada Kepala
Desa Zed, Kemuja, Paya Benua, dan Petaling atas ijin untuk melakukan penelitian
di hutan desanya. Selain itu, penulis sampaikan rasa terima kasih kepada orangorang yang terlibat langsung membantu penulis selama penelitian, terutama kepada
Langka Sani, SH sebagai Ketua NGO Animal Lovers Bangka Island (ALOBI) dan

kepada Zahrial Effendi, SSi, MSi sebagai Founder NGO Flora Fauna Bangka (F2B)
atas bantuan yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian.
Ungkapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibu dan Ayah
penulis, Sumarti dan Mulkan atas pengertian, dukungan, dan motivasi yang tiada
henti-hentinya kepada penulis, serta kepada adik-adik penulis, Rian Pebriansyah
dan Rio Santri Kurniawan atas dukungan yang diberikan kepada penulis. Tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih kepada Dita Amelia, SPd.I atas pengertian, dukungan,
dan motivasi telah dicurahkan kepada penulis. Ucapan terima kasih turut
disampaikan kepada seluruh rekan, kerabat yang telah membantu penulis baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Terima kasih kepada DIKTI yang telah memberikan Beasiswa Fresh Graduate
(FG) untuk studi penulis. Serta terima kasih kepada the Rufford Foundation yang
telah memberikan Small Grants for Nature Conservation untuk penelitian penulis.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi dunia pendidikan, penelitian dan
masyarakat secara umum, serta bagi Kabupaten Bangka dan Provinsi Kepulauan

Bangka Belitung pada khususnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bogor, ?? September 2016
Randi Syafutra
NRP. P053140011

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. ii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................... iii
PENDAHULUAN ...................................................................................................1
1””Latar Belakang....................................................................................................1
1””Identifikasi Masalah ...........................................................................................2
1””Tujuan Penelitian................................................................................................2
1””Manfaat Penelitian..............................................................................................3
1””Kerangka Pemikiran ...........................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................5
2””Taksonomi ..........................................................................................................5

2””Morfologi, Morfometri, dan Kelas Umur...........................................................6
2””Lokomosi ..........................................................................................................10
2””Habitat dan Persebaran .....................................................................................10
2””Populasi ............................................................................................................12
2””Perilaku Harian .................................................................................................13
2””Perilaku Makan.................................................................................................13
2””Perilaku Sosial ..................................................................................................14
2””Reproduksi........................................................................................................15
2””Status Konservasi .............................................................................................16
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ......................................................18
3””Dasar Hukum....................................................................................................18
3””Geografis dan Wilayah .....................................................................................18
3””Keadaan Alam ..................................................................................................19
METODOLOGI PENELITIAN.............................................................................21
4””Lokasi dan Waktu.............................................................................................21
4””Bahan dan Alat .................................................................................................21
4””Jenis Data yang dikumpulkan dan Waktu Pelaksanaan....................................22
4””Metode Pengumpulan Data ..............................................................................22
4””Analisis Data.....................................................................................................29
HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................................34
4””Komponen Fisik Habitat Mentilin....................................................................34
4””Komponen Biotik Habitat Mentilin..................................................................36
4””Distribusi dan Populasi Mentilin ......................................................................46
4””Permasalahan Pelestarian Mentilin...................................................................51
4””Solusi Permasalahan Pelestarian Mentilin........................................................55
SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................59
LAMPIRAN...........................................................................................................64
RIWAYAT HIDUP................................................................................................77

i

DAFTAR TABEL
Halaman
1””Morfologi mentilin............................................................................................. 7
2””Ciri pembeda antar genus Tarsiidae .................................................................. 7
3””Morfometri Cephalopachus bancanus............................................................... 9
4””Kelas umur mentilin........................................................................................... 9
5””Spesies tumbuhan sebagai pohon sarang atau tidur tarsius.............................. 11
6””Masyarakat yang diwawancara ........................................................................ 29
7””Hasil identifikasi komponen fisik habitat mentilin (posisi, ketinggian,
7””dan kemiringan habitat mentilin) ..................................................................... 34
8””Hasil identifikasi komponen fisik habitat mentilin (suhu, kelembaban
8””udara, serta jarak habitat mentilin dari pemukiman, semak belukar,
8””dan sungai terdekat) ......................................................................................... 34
9””Deskripsi habitat mentilin ................................................................................ 38
10!INP tertinggi vegetasi habitat mentilin............................................................. 40
11!H’ dan E vegetasi habitat mentilin ................................................................... 41
12!Spesies vegetasi tidur mentilin......................................................................... 44
13!Jumlah ordo, famili, spesies, dan individu serangga, serta
13!keanekaragaman spesies serangga di empat habitat mentilin .......................... 44
14!Distribusi mentilin di empat habitat ................................................................. 46
15!Jarak habitat mentilin terhadap permukiman dan semak belukar terdekat ...... 47
16!Estimasi populasi mentilin ............................................................................... 51
17!Permasalahan pelestarian mentilin ................................................................... 52
18!Solusi permasalahan pelestarian mentilin ........................................................ 56
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1””Skema kerangka pemikiran penelitian ............................................................... 4a
2””Tiga genus Tarsiidae.......................................................................................... 5
3””Sketsa empat subspesies Cephalopachus bancanus .......................................... 8
4””Peta persebaran tarsius ..................................................................................... 12
5””Peta Kabupaten Bangka ................................................................................... 18
6””Transek garis di tiap lokasi penelitian.............................................................. 21
7””Desain transek jalur-garis berpetak.................................................................. 24
8””Desain pemetaan pohon pada transek jalur untuk pembuatan
8””stratifikasi habitat mentilin............................................................................... 25
9””Sketsa stratifikasi atau diagram profil habitat mentilin ................................... 26
10!Desain perangkap cahaya ................................................................................. 27
11!Desain transek garis (line transect).................................................................. 28
12!Jumlah famili, spesies, dan individu vegetasi habitat mentilin ........................ 37
13!Habitat mentilin di Desa Zed, Kemuja, Paya Benua, dan Petaling.................. 39
14!Diagram profil habitat mentilin........................................................................ 42
15!Mentilin yang tidur di pancang bua tupai ........................................................ 43
16!Dominansi ordo serangga di empat habitat mentilin........................................ 45
17!Distribusi mentilin di empat habitat ................................................................. 46
18!Kepadatan populasi mentilin............................................................................ 48
ii

19!Mentilin yang teridentifikasi di Desa Kemuja dan Petaling .............................49
20!Kepadatan populasi mentilin berdasarkan waktu .............................................50
21!Kehilangan tutupan hutan di Pulau Bangka dan Belitung dari tahun
21!2001 sampai 2014 telah lebih dari 70%............................................................53
22!Penambangan timah inkonvensional (TI) yang mengkonversi hutan
22!di sepanjang alur sungai Pedindang, Pulau Bangka .........................................54
23!Pelepasan mentilin hasil perburuan liar dan perdagangan (jual-beli)
23!ke habitatnya .....................................................................................................56
24!Pelaksanaan sosialisasi, pemasangan spanduk, serta pembaerian t-shirt
24!dan pamflet “Save Mentilin” ke masyarakat.....................................................57
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1””Vegetasi habitat mentilin di Desa Zed, Kabupaten Bangka .............................65a
2””Vegetasi habitat mentilin di Desa Kemuja, Kabupaten Bangka.......................66
3””Vegetasi habitat mentilin di Desa Paya Benua, Kabupaten Bangka ................67
4””Vegetasi habitat mentilin di Desa Petaling, Kabupaten Bangka ......................68
5””Jumlah ordo, famili, spesies, dan individu, serta keanekaragaman
5””spesies serangga di empat habitat mentilin.......................................................69
6””Kumpulan serangga ukuran lebih dari 1 cm di empat habitat mentilin
6””dengan metode perangkap cahaya (light trap) .................................................70
7””Kepadatan populasi mentilin saat bulan gelap (new moon) .............................71
8””Kepadatan populasi mentilin saat bulan terang (full moon) .............................72
9””Peta penutupan lahan lokasi penelitian.............................................................73
10!Peta penutupan lahan Kabupaten Bangka.........................................................74
11!Rekomendasi penelitian....................................................................................75

iii

iv

1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tarsius (nama untuk anggota famili Tarsiidae) merupakan satwa primata
nokturnal yang memiliki mata merah besar dan bulat (Amnur 2010). Tarsius
diketahui hidup dan berkembang biak pada berbagai tipe habitat yang berbeda
struktur tegakannya, seperti hutan primer, hutan sekunder, belukar-belukar bambu
yang padat, hutan bakau, kebun dekat hutan, dan semak belukar (Napier dan Napier
1967; Fogden 1974; Niemitz 1979; MacKinnon dan MacKinnon 1980; Wolfheim
1983; Supriatna dan Wahyono 2000; Wright et al. 2003; Macdonald 2006). Selain
itu, tarsius sejatinya merupakan satwa primata pemakan serangga (insektivor). Jenis
serangga yang umumnya dimakan oleh tarsius antara lain belalang, belalang
sembah atau cangcorang dengan berbagai ukuran, kupu-kupu, ngengat, semut, larva
kumbang kelapa, jangkrik, capung, rayap atau anai-anai, kecoa, dan laba-laba
(Whitten et al. 2002; Niemitz 1979; MacKinnon dan MacKinnon 1980; Macdonald
2006). Saat ini famili Tarsiidae memiliki tiga genus, yaitu Cephalopachus (western
tarsier), Carlito (Philippine tarsier), dan Tarsius (eastern tarsier) (Groves dan
Shekelle 2010). Genus Cephalopachus sendiri hanya memiliki satu spesies, yaitu
C. bancanus dengan empat subspesies, yaitu C. b. bancanus, C. b. saltator, C. b.
natunensis, dan C. b. borneanus (Roos et al. 2014). Adapun C. bancanus memiliki
banyak nama lokal, salah satunya dinamakan mentilin oleh masyarakat Pulau
Bangka.
IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural
Resources) telah menetapkan status konservasi C. bancanus sebagai satwa
vulnerable (VU; rentan) (IUCN 2008; Roos et al. 2014). Namun untuk status
konservasi subspesiesnya memiliki tingkatan yang berbeda-beda, seperti C. b.
borneanus sebagai satwa VU, C. b. bancanus dan C. b. saltator sebagai satwa
endangered (EN; genting atau terancam), serta C. b. natunensis sebagai satwa
critically endangered (CR; kritis) (Roos et al. 2014). Selain itu, Pemerintah
Indonesia telah melindungi semua spesies Tarsiidae di Indonesia dengan Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Semua penetapan status tersebut secara pasti didasarkan pada semakin

2
berkurangnya populasi C. bancanus, yang disebabkan oleh semakin berkurangnya
habitat mereka. Semakin berkurangnya habitat C. bancanus tersebut akibat
konversi hutan menjadi lahan tambang timah inkonvensional (TI), perkebunan
kelapa sawit skala besar, dan permukiman, serta illegal logging, kebakaran, dan
banjir. Selain itu, perburuan liar dan perdagangan (jual-beli) satwa primata tersebut
juga membuat satwa tersebut semakin berkurang (IUCN 2008; Yustian et al. 2009).
Data kepadatan populasi C. bancanus sebagai western tarsier masih terbatas
bila dibandingkan dengan eastern tarsier. Kepadatan populasi C. b. borneanus
diketahui kurang dari 80 ekor/km2 di Serawak (Niemitz 1979, 1984) dan sekitar
14-20 ekor/km2 di Sabah (Crompton dan Andau 1986, 1987), sedangkan kepadatan
populasi C. b. saltator di Pulau Belitung diketahui sekitar 19-46 ekor/km2 (Yustian
2007; Yustian et al. 2009). Selain itu, kepadatan populasi C. b. bancanus juga telah
diketahui namun terbatas di daerah Muara Enim, Sumatera Selatan, yaitu sekitar
25 ekor/km2 di kawasan hutan PT. Suryabumi Agrolanggeng dan 8 ekor/km2
di perkebunan karet tradisional rakyat (Sesa et al. 2014). C. bancanus di Pulau
Bangka (C. b. bancanus), serta di Serasan, Kepulauan Natuna Selatan, dan
Kepulauan Subi (C. b. natunensis) diketahui belum pernah dilakukan penelitiannya
sama sekali (dibuktikan dengan tidak ditemukannya publikasi kepadatan populasi
C. bancanus di daerah tersebut). Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut,
maka penelitian “Habitat dan Populasi Mentilin (Cephalopachus bancanus
bancanus) di Kabupaten Bangka” penting untuk dilakukan.
Identifikasi Masalah
1.

Apa dan bagaimana habitat mentilin di Kabupaten Bangka?

2.

Bagaimana populasi mentilin di Kabupaten Bangka?

3.

Apa dan bagaimana permasalahan pelestarian mentilin di Kabupaten Bangka?
Tujuan Penelitian

1.

Mengidentifikasi habitat mentilin di Kabupaten Bangka;

2.

Mengidentifikasi distribusi dan populasi mentilin di Kabupaten Bangka; dan

3.

Mengidentifikasi permasalahan pelestarian mentilin di Kabupaten Bangka.

3
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data awal kondisi habitat dan
populasi mentilin di Kabupaten Bangka. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat
dijadikan dasar bagi Pemerintah Kabupaten Bangka dan Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung dalam menentukan strategi konservasi mentilin yang efektif dan
efisien di Kabupaten Bangka dan di kawasan sekitarnya.

4
Kerangka Pemikiran
Hutan Pulau Bangka sebagai habitat mentilin
(Cephalopachus bancanus bancanus)
Tidak ada data habitat dan
populasi mentilin di Pulau
Bangka

Tekanan terhadap habitat:
-“Konversi hutan menjadi
-“lahan tambang timah
-“inkonvensional (TI)
-“Konversi hutan menjadi
-“perkebunan kelapa sawit
-“skala besar
-“Konversi hutan menjadi
-“permukiman
-“Illegal logging
-“Kebakaran
-“Banjir

Tekanan terhadap populasi:
-“Perburuan liar
-“Perdagangan (jual-beli)

Penurunan habitat dan
populasi mentilin

Identifikasi habitat mentilin:
-“Komponan fisik habitat
-“Komponen biotik habitat

Identifikasi distribusi dan
populasi mentilin

Identifikasi permasalahan
pelestarian mentilin
Pelestarian populasi
mentilin
Gambar”1””Skema kerangka pemikiran penelitian

5
TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi
Famili Tarsiidae saat ini telah memiliki tiga genus (Gambar 2), yaitu
Cephalopachus (western tarsier), Carlito (Philippine tarsier), dan Tarsius (eastern
tarsier) (Groves dan Shekelle 2010). Genus Cephalopachus sendiri hanya memiliki
satu spesies, yaitu C. bancanus dengan empat subspesies, yaitu C. b. bancanus,
C. b. saltator, C. b. natunensis, dan C. b. borneanus (Roos et al. 2014). Adapun
C. bancanus memiliki banyak nama lokal, salah satunya dinamakan mentilin oleh
masyarakat Pulau Bangka.

Gambar”2””Tiga genus Tarsiidae (Shekelle 2008)

6
Klasifikasi mentilin (C. b. bancanus) berdasarkan Groves dan Shekelle (2010)
dan IUCN (2008) sebagai berikut.
Kerajaan

:

Animalia (Linnaeus 1758)

Filum

:

Chordata (Haeckel 1874)

Kelas

:

Mammalia (Linnaeus 1758)

Ordo

:

Primates (Linnaeus 1758)

Subordo

:

Haplorhini (Pocock 1918)

Famili

:

Tarsiidae (Gray 1825)

Genus

:

Cephalopachus (Swainson 1835)

Spesies

:

C. bancanus (Horsfield 1821)

Subspesies

:

C. b. bancanus (Horsfield 1821)

Nama lokal

:

Mentilin (Pulau Bangka), kera buku (Pulau Bangka, Bengkulu),

Nama lokal

:

singapuar (Bengkulu), krabuku (Lampung)
Morfologi, Morfometri, dan Kelas Umur

Tarsius (nama untuk anggota famili Tarsiidae) merupakan satwa primata
nokturnal yang memiliki mata merah besar dan bulat (Amnur 2010). Tarsius juga
merupakan satwa primata pencengkeram dan pelompat vertical (Amnur 2010)
dengan lompatan panjang beruntun yang cepat (Niemitz 1984). Adapun western
tarsier diketahui dapat melompat lebih dari 5 m (hampir 40 kali dari panjang
kepala-tubuhnya) (Macdonald 2006). Tarsius bersifat nokturnal sehingga jarang
terlihat di tempat terbuka, dengan ukuran badan relatif kecil dibanding ukuran
matanya yang besar dan senantiasa menatap (Macdonald 2006). Kepala tarsius
bundar dengan moncong tereduksi tanpa struktur pelindung, leher pendek, dan
telinga tipis bermembran tanpa rambut (Nowak 1999a, 1999b). Bola mata tarsius
hampir tidak dapat digerakkan ke kiri dan ke kanan sehingga kemampuan visualnya
dibantu dengan kemampuan memutar kepala 180º di setiap arah tanpa memutarkan
tubuh (memungkinkan tarsius untuk memutar kepala mereka hampir 360º) (Napier
dan Napier 1985; Ankel-Simons 2007). Adapun ciri morfologi mentilin
berdasarkan taksonominya dapat dilihat di Tabel 1.

7
Tabel’1’’Morfologi mentilin
Klasifikasi

Ciri

Kerajaan
Filum
Kelas
Ordo

Animalia
Chordata
Mammalia
Primata

Subordo

Haplorhini

Famili

Tarsiidae

Genus
Spesies
Subspesies

Cephalopachus
C. bancanus
C. b. bancanus

Hewan
Bertulang belakang
Menyusui, memiliki rambut hampir di seluruh tubuh
Mata binokuler dan streoskopis; kapasitas otak yang relatif besar;
berkuku dan mampu menggenggam
Tarsius dimasukan ke dalam Haplorhini, dikarenakan tidak
memiliki tapetum lucidum dan memiliki fovea atau fovea
centralis; tidak memiliki rhinarium telanjang (berhidung kering
atau dry-nosed primate); tidak memiliki dental comb atau tooth
comb; serta plasenta hemochorial. Namun tarsius juga memiliki
ciri Strepsirrhini, yaitu nokturnal; mata besar; telinga dapat
digerakkan; mempunyai toilet claw atau grooming claw pada jari
kaki kedua dan ketiga; serta mandibula tersusun atas dua tulang
Tarsius memiliki proporsi tulang tarsal yang lebih panjang
dibandingkan pada tulang tarsal primata lain, serta memiliki tibia
dan fibula yang menyatu; kepala bundar dengan moncong
tereduksi tanpa struktur pelindung, leher pendek, dan telinga tipis
bermembran tanpa rambut; kepala dapat memutar hampir 180º
di setiap arah tanpa memutarkan tubuh (sehingga memungkinkan
tarsius untuk memutar kepala mereka hampir 360º); serta ukuran
badan relatif kecil dibanding ukuran matanya yang besar dan
senantiasa menatap
(Lihat Tabel 2)
(Lihat Gambar 3)

Sumber:”(Hill 1955; Napier dan Napier 1985; Fleagle 1988; Nowak 1999a, 1999b; Fridman dan Nadler 2002; Hartwig 2002;
Sumber:”Cooke 2004; Roots 2006; Macdonald 2006; Ankel-Simons 2007; Hammond 2011; Roberts 2011; Norris dan Carr
Sumber:”2013; Gebo 2014).

Tabel”2””Ciri pembeda antar genus Tarsiidae
Ciri pembeda

Cephalopachus

Carlito

Tarsius

Perkembangan gigi
(dentition)
Mata
Kaki dan tangan
Jambul ekor (tail tuft)

Terbesar

Sedang

Terkecil

Terbesar
Terbesar
Hirsute pertengahan:
menyerupai tangkai
panah berbulu
(feathered arrow
shaft)
Kulit dermal dengan
kerutan papiler
(papillary ridge)
3 pasang

Sedang
Sedang
Hirsute paling sedikit:
hampir telanjang
(nearly naked)

Terkecil
Terkecil
Hirsute terbanyak:
menyerupai sikat
tabung reaksi (test
tube brush)

Kulit dermal

2 pasang

Permukaan
bergesekan (friction
surface)
3 pasang

80

80

46

Bantalan dudukan ekor
(tail sitting pad)
Kelenjar susu
(mammae)
Kromosom (2n)

8
Tabel”2””(Lanjutan)
Ciri pembeda

Cephalopachus

Carlito

Tarsius

Sosioekologi

Sosial paling sedikit:
tidak ada grup sosial
di alam liar; tidak
mentolerir grup sosial
di penangkaran
Vokal paling sedikit:
tidak ada saluran (no
duct)
Brunei, Indonesia,
Malaysia: bagian
perbatasan dari
Sundaland pada saat
zaman es, termasuk
Kalimantan,
Sumatera, Bangka,
Belitung, Kepulauan
Karimata, Kepulauan
Natuna Selatan, dan
lain-lainnya

Pertengahan: tidak
ada grup sosial di
alam liar; mentolerir
grup sosial
di penangkaran
Pertengahan: tidak
ada saluran (no duct)

Sosial terbesar: grup
sosial

Filipina: Mindanao
pada saat zaman es

Indonesia: Sulawesi
pada saat zaman es,
ditambah kepulauan
yang terpisah,
termasuk Kepulauan
Sangihe, Kepulauan
Togian, Peleng, dan
Pulau Selayar

Vokalisasi

Distribusi

Vokal terbesar: duet

Sumber: (Groves dan Shekelle 2010).

Gambar’3’’Sketsa empat subspesies Cephalopachus bancanus (Roos et al. 2014)

9
Selain morfologi, morfometri mentilin dapat dilihat di Tabel 3.
Tabel”3””Morfometri Cephalopachus bancanus
No. Ukuran

Jenis kelamin

Rata-rata

Standar deviasi
(SD)

01. Berat
Tubuh
(weight)

02. Panjang Kepala (head)
03. (length) Tengkorak (skull)
04.
Badan (body)
05.
Kepala-badan (head-body)
06.
Ekor (tail)
07.
Area kulit sensitif kaudal
(caudal sensitive skin area)
08.
Jambul ekor (tuft)
09.
Sehelai rambut jambul ekor
(single hair of the tuft)
10.
Telinga (ear)
11.
Lengan atas (upper arm)
12.
Lengan bawah (forearm)
13.
Jari ke-3 (3rd finger)
14.
Paha (thigh)
15.
Lower leg
16.
Hindfoot
17.
Pad at 1st toe
18.
4rd toe


128,0 g
♀ (tidak bunting) 117,0 g
♀ (bunting)
>”145 g /
±”150 g
♂♀
042,1 mm
♂♀
037,8 mm
♂♀
087,4 mm
♂♀
129,0 mm
♂♀
217,0 mm
♂♀
092,0 mm

06,2 g
10,0 g
-

♂♀
♂♀

064,0 mm
±”7,0 mm

13,0 mm
-

♂♀
♂♀
♂♀
♂♀
♂♀
♂♀
♂♀
♂♀
♂♀

029,5 mm
037,1 mm
040,9 mm
031,5 mm
067,0 mm
068,3 mm
069,5 mm
008,9 mm
027,0 mm

01,7 mm
02,6 mm
02,0 mm
02,0 mm
03,8 mm
02,7 mm
03,0 mm
01,0 mm
01,7 mm

01,5 mm
01,0 mm
09,7 mm
16,0 mm
14,0 mm
46,0 mm

Sumber: (Niemitz 1984).

Adapun pembagian kelas umur mentilin dapat dilihat di Tabel 4.
Tabel”4””Kelas umur mentilin
Kelas umur

Definisi

Neonate

Infant yang terlihat baru dilahirkan oleh induk betina beberapa hari
yang lalu
Individu belum disapih dan masih bergantung pada induk betina
sehingga masih dibawa induknya, atau diparkir untuk sementara
Individu belum matang, baik secara fisik dan seksual, serta masih
bersama induk betina walau sudah dapat bergerak sendiri
Individu belum matang sempurna baik secara fisik dan seksual, namun
secara jelas sudah dapat dibedakan dari anak yang masih bergantung
pada induknya
Individu sudah matang baik secara fisik dan seksual, serta gigi
permanen sudah komplit
Individu menunjukkan tanda-tanda penuaan

Infant
Juvenile
Pra-dewasa (sub-adult)

Dewasa (adult)
Senile

Sumber: (Setchell dan Curtis 2003; Amnur 2010).

10
Lokomosi
Lokomosi C. bancanus berupa vertical clinging dan leaping (> 65%), climbing
(27,6%), walking (3,2%), serta hopping (2,3%). Selain itu, C. bancanus dapat
meloncat tanpa suara lebih dari 1.000 kali per malam (Niemitz 1984; Crompton dan
Andau 1986; Rowe 1996), dengan jarak lompatan dari pohon ke pohon sekitar
2-5,6 m atau 45 kali panjang kepala-badan mereka (Niemitz 1979; Rowe 1996).
Habitat dan Persebaran
Tarsius diketahui hidup dan berkembang biak pada berbagai tipe habitat yang
berbeda struktur tegakannya, seperti hutan primer, hutan sekunder, tepi perkebunan,
dan di sepanjang pesisir pantai dengan semak belukar (Fogden 1974; Niemitz 1979;
MacKinnon dan MacKinnon 1980; Wolfheim 1983; Macdonald 2006). Tarsius
diketahui juga mendiami belukar-belukar bambu yang padat dan kadangkala
ditemukan di kebun dekat hutan (Napier dan Napier 1967; Supriatna dan Wahyono
2000). Selain itu, tarsius juga pernah ditemukan di hutan bakau dan semak belukar
(Wright et al. 2003). Meskipun tarsius dapat hidup dan berkembang biak pada
berbagai tipe habitat yang berbeda struktur tegakannya, namun Yasuma dan
Alikodra (1990) menyatakan habitat yang paling disukai tarsius adalah hutan hujan
tropis dengan sumber air melimpah yang dapat mendukung ketersediaan makanan,
serta hutan sekunder dengan pohon-pohon yang berukuran kecil dan sedang.
Adapun western tarsier (C. bancanus) pada umumnya lebih memilih muncul di tepi
hutan sekunder dengan pohon muda yang berlimpah dan vegetasi sekunder lainnya
(Wolfheim 1983).
Tarsius diketahui dapat hidup pada ketinggian yang bervariasi tergantung
spesiesnya, mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 2200 m dpl (Supriatna dan
Wahyono 2000). Adapun western tarsier (C. bancanus) sering digambarkan
sebagai spesies dataran rendah yang umum ditemukan di bawah ketinggian 100 m
dpl (IUCN 2008). Namun Gorog dan Sinaga (2008) melaporkan telah menemukan
C. bancanus di ketinggian di atas 1.200 m dpl di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit
Raya, Kalimantan Barat. Laporan Gorog dan Sinaga (2008) ini setidaknya akan
mematahkan persepsi bahwa western tarsier merupakan spesies tarsius dataran
rendah.

11
Tarsius merupakan satwa primata arboreal (hidup di atas pohon) yang sangat
lincah (Nowak 1999a, 1999b). Maka dari itu, pohon menjadi hal yang sangat
penting dan tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan tarsius. Adapun tempat tidur
atau sarang tarsius berupa rongga-rongga di dalam pohon tidur yang terlindung
sinar matahari dan agak gelap atau remang-remang (Widyastuti 1993) yang berada
pada ketinggian 3-15 m dari permukaan tanah (dpt) (Wirdateti dan Dahruddin
2006), sedangkan tempat tidur atau sarang tarsius di rumpun bambu (bagian bawah
bambu yang rapat dan berupa lubang-lubang dalam) berada di ketinggian 2-3 m dpt
(Wirdateti dan Dahruddin 2008), dan di tebing karst di ketinggian 10-20 m dpt
(Amnur 2010). Setidaknya terdapat satu pohon tidur tarsius dalam satu wilayah
teritorinya (Kinnaird 1997). Adapun spesies tumbuhan sebagai pohon tidur tarsius
dapat dilihat di Tabel 5.
Tabel”5””Spesies tumbuhan sebagai pohon tidur tarsius
No. Famili
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.

Anacardiaceae
Annonaceae
Apocynaceae
Arecaceae
Bambusaceae
Malvaceae
Moraceae

Verbenaceae
Fagaceae
Leeaceae

Spesies

Habit
1

Mangifera laurina
Polyalthia rumphii 1
Cananga odorata 1
Kamboja-kambojaan
Alstonia angustifolia 2
Pinang-pinangan (palem)
Arenga pinnata 3
Bambu-bambuan
Bambusa multiflex 1, 5
Gigantochloa kuring 7
Kapas-kapasan
Thespesia lampas 1
Hibiscus tiliaceus 3
Ara-araan
Ficus sp. 2, 4
Ficus altissima 2
Ficus ampelas 2
Ficus septica 2
Ficus variegata 2
Ficus caulocarpa 6
Jati-jatian
Vitex cofassus 2
Pasang-pasangan (termasuk Lithocarpus sp. 4
pasang dan berangan)
Castanopsis acuminatissima 4
Leea angulata 2
Mangga-manggaan
Sirkaya-sirkayaan

Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Pohon
Perdu

Sumber:”(1 Wirdateti dan Dahrudin 2008; 2 Wirdateti dan Dahrudin 2006; 3 Sinaga et al. 2009; 4 Sandego et al. 2014; 5 Qiptiyah
Sumber:”dan Setiawan 2012; 6 Gursky 1998; 7 Sesa et al. 2014).

Wilayah jelajah tarsius bervariasi antara 1,6-4,1 ha atau 0,016-0,041 km2,
dengan rata-rata 2,3 ha atau 0,023 km2 untuk betina dan 3,1 ha atau 0,031 km2 untuk
jantan, serta memiliki batas setiap individu radius 10 m dari tepi wilayah
teritorialnya. Adapun penandaan wilayah teritorial yang dilakukan oleh tarsius

12
umumnya

ditujukan

untuk

mempertahankan

proses

kawin

daripada

mempertahankan sumberdaya (Gursky 2007).
Persebaran tarsius diketahui menyebar luas di Pulau Sumatera, Borneo, Pulau
Sulawesi dan pulau-pulau kecil sekitarnya, serta di Kepulauan Filipina (Gambar 4).
Adapun C. bancanus dibagi menjadi empat subspesies berdasarkan daerah
persebarannya, yaitu Pulau Bangka dan Sumatera bagian tenggara untuk
C. b. bancanus; Pulau Belitung untuk C. b. saltator; Serasan, Kepulauan Natuna
Selatan, dan Kepulauan Subi untuk C. b. natunensis; serta Borneo dan Kepulauan
Karimata untuk C. b. borneanus (Yustian 2007; IUCN 2008).

Gambar’4’’Peta persebaran tarsius (Groves dan Shekelle 2010)
Populasi
Data kepadatan populasi C. bancanus sebagai western tarsier masih terbatas
bila dibandingkan dengan eastern tarsier. Kepadatan populasi C. b. borneanus
diketahui kurang dari 80 ekor/km2 di Serawak (Niemitz 1979, 1984) dan sekitar
14-20 ekor/km2 di Sabah (Crompton dan Andau 1986, 1987), sedangkan kepadatan

13
populasi C. b. saltator di Pulau Belitung diketahui sekitar 19-46 ekor/km2 (Yustian
2007; Yustian et al. 2009). Selain itu, kepadatan populasi C. b. bancanus juga telah
diketahui namun terbatas di daerah Muara Enim, Sumatera Selatan, yaitu sekitar
25 ekor/km2 di kawasan hutan PT. Suryabumi Agrolanggeng dan 8 ekor/km2
di perkebunan karet tradisional rakyat (Sesa et al. 2014). C. bancanus di Pulau
Bangka (C. b. bancanus), serta di Serasan, Kepulauan Natuna Selatan, dan
Kepulauan Subi (C. b. natunensis) diketahui belum pernah dilakukan studi
penelitiannya sama sekali (dibuktikan dengan tidak ditemukannya publikasi
kepadatan populasi C. bancanus di daerah tersebut).
Perilaku Harian
Perilaku harian tarsius disaat aktif lebih banyak digunakan untuk mencari
makan (foraging) (60%), bergerak (travel) (27%) beristirahat (rest) (11%),
grooming (1%), dan perilaku lainnya (1%) (Tremble et al. 1993; Rowe 1996).
Perilaku Makan
Tarsius merupakan satwa primata pemakan serangga (insectivorous) dan juga
pemakan daging (carnivorous). Jenis serangga yang umumnya dimakan oleh tarsius
antara lain belalang, belalang sembah atau cangcorang dengan berbagai ukuran,
kupu-kupu, ngengat, semut, larva kumbang kelapa, jangkrik, capung, rayap atau
anai-anai, kecoa, dan laba-laba. Selain itu, tarsius juga memangsa vertebrata kecil
seperti cicak, kadal, ular cabe, burung-burung kecil, kelelawar, dan beberapa
spesies reptil kecil (Whitten et al. 2002; Niemitz 1979; MacKinnon dan MacKinnon
1980; Macdonald 2006). Adapun tarsius dewasa (baik jantan dan betina) melakukan
pencarian makan (foraging) secara sendiri-sendiri. Namun terkadang tarsius betina
dewasa juga melakukan foraging bersama juvenile. Untuk daya jelajah foraging,
tarsius jantan dewasa dapat menjelajah lebih jauh dibanding dengan betina dewasa
(Crompton dan Andau 1986).
Tarsius memodifikasi lokasi mencari pakan selama musim hujan dan musim
kemarau. Tarsius diketahui memperoleh pakan di empat lokasi yang berbeda, yaitu
di daun 46,3%, udara 34,8%, batang 11,1%, dan di lantai hutan 7,8% (Gursky
2007). Tarsius mengkonsumsi jenis pakan alami dengan kandungan protein tinggi,
yaitu sekitar 17,47-67,53% (kandungan protein belalang 67,53%, jangkrik 57,28%,

14
cicak 64,48%, dan kadal 17,47%) dan 3.654-4.016 kal/g (Wirdateti dan Dahrudin
2006). Kadar protein yang tinggi dari pakan yang dikonsumsi memberikan bau khas
pada tarsius, terutama pada urin (Amnur 2010).
Tarsius mulai mencari mangsa dengan menggerak-gerakkan kedua telinganya
untuk mendeteksi bunyi serangga yang sedang terbang didekatnya, kemudian
memastikan dengan penglihatan (Wharton 1974). Adapun tarsius dapat melihat
mangsanya dalam jarak 6-10 m (Wirdateti dan Dahrudin 2008), dengan lama
mengamati mangsa sekitar 5-10 menit (Wirdateti dan Dahrudin 2006). Setelah
memastikan mangsa, tarsius kemudian menangkap mangsa tersebut dengan cara
melompat dan menyambar dengan tangan, kemudian melompat lagi dengan cara
membalik ke pohon atau tempat semula. Lama tarsius memakan mangsanya atau
berpindah ke pohon lain sekitar 10-25 menit, tergantung dengan spesies mangsanya
(Wirdateti dan Dahrudin 2006). Tarsius terkadang berpegang pada bagian
tumbuhan atau ranting bagian yang terbuka agar dengan mudah menyambar
mangsa yang terbang di depannya (Amnur 2010). Rowe (1996) melaporkan bahwa
tarsius dapat memburu mangsa pada jarak 9 m dan apabila mangsanya berada
di tanah, tarsius akan turun ke tanah mengambilnya dan secepatnya kembali ke
pohon semula.
Tarsius sesekali menggigit dedaunan, tetapi mereka tidak benar-benar
memakannya. Sejumlah kecil jaringan tumbuhan sering ditemukan di dalam
kandungan perutnya yang diduga berasal dari isi perut serangga atau binatang yang
dimakannya. Tarsius memperoleh air untuk minum dari air yang menetes
di dedaunan dan pohon-pohon berlubang, serta dari aliran-aliran air yang terdapat
di wilayah tempat tinggal mereka (Nietmitz 1984).
Perilaku Sosial
Tarsius melakukan aktivitasnya mulai dari sore hari sampai pagi hari. Tarsius
jantan dewasa lebih dahulu bangun atau aktif demi melakukan rutinitas sebagai
pemimpin kelompok, yaitu melakukan pengintaian keluar sarang. Pengintaian
tersebut dilakukan demi menjaga keamanan anggota kelompoknya sebelum
anggota kelompok tersebut keluar dari sarang. Jika dirasakan aman, tarsius jantan
dewasa akan berteriak dengan suara melengking yang khas untuk memberitahu
anggota kelompoknya. Apabila dirasakan ketidakamanan, tarsius jantan dewasa

15
akan masuk kembali ke sarang dan keluar beberapa saat lagi untuk melakukan
pengintaian kembali sampai keadaan dirasakan telah aman. Sebelum berpencar,
anggota kelompok tarsius masih berkumpul beberapa menit lalu kemudian pergi
meninggalkan pohon tidur, atau pergi meninggalkan pohon tidur 10-20 menit
setelah matahari terbenam (Amnur 2010). Tujuh nada panggil diketahui
dikeluarkan oleh tarsius (Niemitz 1979; Rowe 1996) baik sebagai alarm call untuk
memanggil anggota kelompoknya keluar dan kembali ke sarang, territorial call,
fear call, threat call, nada-nada yang dikeluarkan oleh induk maupun anak yang
dalam masa pengasuhan, serta nada-nada yang dikeluarkan oleh jantan dan betina
dewasa yang mencari pasangan. Beberapa nada panggil tersebut memiliki frekuensi
yang sangat tinggi yang berada diluar jangkauan pendengaran manusia (Amnur
2010).
Perilaku sosial tarsius seperti saling menjilat bulu oleh dua individu
(allo-grooming) jarang sekali dilakukan, serta hanya terjadi antara induk dan infant
(Niemitz 1984). Adapun perilaku grooming lebih banyak dilakukan oleh satu
individu sendirian (auto-grooming). Kebiasaan grooming oleh tarsius dilakukan
pada saat sore hari sebelum melakukan aktivitas berburu, saat waktu istirahat
sehabis menangkap mangsa dan saat pagi hari setelah selesai berburu (Amnur
2010). Perilaku lain yang sering ditunjukkan oleh tarsius adalah perilaku pemberian
tanda dengan bau (scent marking). Salah satu scent marking dari tarsius adalah
dengan menggunakan urin mereka yang berbau khas, yang bahkan manusia dengan
sangat mudah dapat mendeteksinya (Niemitz 1979; Rowe 1996). Selain itu, tarsius
diketahui mempunyai kelenjar-kelenjar penanda bau (scent marking glands) yang
mereka gunakan untuk menyimpan bau, yaitu kelenjar ano-genital, kelenjar
epigastric, dan kelenjar circum-oral (Niemitz 1984; Gursky-Doyen 2010). Adapun
perilaku scent marking dari tarsius dapat dimaksudkan sebagai tanda teritorial dan
tanda kawin (Gursky-Doyen 2010).
Reproduksi
Tarsius termasuk golongan hewan poliestrus dikarenakan musim kawinnya
dapat terjadi beberapa waktu dalam setahun (Hill 1955). MacKinnon dan
MacKinnon (1980) menyatakan perkawinan tarsius yang hidup bebas terjadi
di awal dan akhir musim hujan, sedangkan perkawinan tarsius yang berada dalam

16
kurungan terjadi sepanjang tahun (Mitchell dan Erwin 1986). Dewasa kelamin
tarsius dicapai pada umur satu tahun enam bulan sampai dua tahun. Pada umur
tersebut, organ kelamin tarsius jantan sudah berkembang baik terutama scrotum dan
testes. Lama kebuntingan pada tarsius adalah enam bulan, dengan jumlah anak yang
dilahirkan hanya satu individu di setiap kelahiran (Napier dan Napier 1967). Pada
saat menjelang estrus (tahap akhir proestrus), tarsius jantan mulai mengendusendus alat kelamin dan urin betina, bahkan terkadang sampai mengejar-mengejar
betina (Amnur 2010). Periode siklus birahi tarsius sekitar 23-24 hari (Napier dan
Napier 1967; Hill 1955) dengan fase proestrus tiap siklus sekitar 4-7 hari, fase
estrus sekitar 1-3 hari, dan metestrus sekitar 1-2 hari. Pada fase siklus follicular,
terjadi peningkatan sekresi vagina dan tanda-tanda luar berupa pembengkakan alat
kelamin bagian luar atau kadang-kadang collapse atau susut dengan timbulnya fase
luteal. Tarsius betina diketahui memproduksi feromon sebagai isyarat ke jantan,
sedangkan jantan memberi isyarat ke betina dengan panggilan-panggilan
percumbuan yang didengar sebelum kawin, pupil mata yang besar dan ekor yang
dilengkungkan ke atas punggungnya (Gursky 2007; Amnur 2010).
Setelah kelahiran, induk betina akan membawa infant yang dilahirkannya
dengan mulut dan ketika induk betina akan mencari makan, induk betina tersebut
akan memarkir infant pada cabang pohon (Haring et al. 1985). Infant lahir dengan
mata terbuka dan sepenuhnya berbulu, serta dapat melakukan grooming sendiri
(auto-grooming) (Roberts 1994). Infant diketahui juga dapat menggunakan ekornya
pertama kali sebagai pendukung (support) selama resting 7-10 hari (Roberts 1994).
Selain itu, induk betina dan infant mulai terlibat dalam permainan perkelahian (play
fighting) ketika infant berusia 20-25 hari (Roberts 1994).
Status Konservasi
IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural
Resources) telah menetapkan status konservasi C. bancanus sebagai satwa
vulnerable (VU; rentan) (IUCN 2008; Roos et al. 2014). Namun untuk status
konservasi subspesiesnya memiliki tingkatan yang berbeda-beda, seperti C. b.
borneanus sebagai satwa VU, C. b. bancanus dan C. b. saltator sebagai satwa
endangered (EN; genting atau terancam), serta C. b. natunensis sebagai satwa
critically endangered (CR; kritis) (Roos et al. 2014). Selain itu, CITES (the

17
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) telah menetapkan semua spesies Tarsiidae dalam daftar Apendiks II,
sedangkan Pemerintah Indonesia telah melindungi semua spesies Tarsiidae
di Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa. Semua penetapan status tersebut secara pasti
didasarkan pada semakin berkurangnya populasi C. bancanus, yang disebabkan
oleh semakin berkurangnya habitat mereka. Semakin berkurangnya habitat
C. bancanus tersebut akibat konversi hutan menjadi lahan tambang timah
inkonvensional (TI), perkebunan kelapa sawit skala besar, dan permukiman, serta
illegal logging, kebakaran, dan banjir. Selain itu, perburuan liar dan perdagangan
satwa primata tersebut juga membuat satwa tersebut semakin berkurang (IUCN
2008; Yustian et al. 2009).

18
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Dasar Hukum
Pembentukan Kabupaten Bangka ditetapkan berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia No. 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II
dan Kota Praja di Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1959 No. 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1821), dan
merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Penetapan Kota Sungailiat
sebagai Ibukota Kabupaten Bangka didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 12
Tahun 1971. Namun sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 27 Tahun 2000
tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kabupaten Bangka
menjadi salah satu kabupaten dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
(PEMDAKAB BANGKA 2011).
Geografis dan Wilayah
Luas Wilayah dan Batas Administrasi
Kabupaten Bangka (Gambar 5) memiliki luas wilayah ± 3.028,794 km2 atau
3.028.794,693 ha yang terletak di