Struktur, Strategi, Dan Resiliensi Nafkah Rumahtangga Nelayan Di Pesisir Selatan Jawa.

STRUKTUR, STRATEGI, DAN RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA
NELAYAN DI PESISIR SELATAN JAWA

DESI PURNAMASARI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur, Strategi, dan
Resiliensi Nafkah Rumahtangga Nelayan di Pesisir Selatan Jawa adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Desi Purnamasari
I34110021

iii

ABSTRAK
DESI PURNAMASARI. Struktur, Strategi, dan Resiliensi Nafkah Rumahtangga
Nelayan di Pesisir Selatan Jawa. di bawah bimbingan ARYA HADI
DHARMAWAN.
Penelitian ini dilakukan di dua desa yaitu Desa Muara Binuangeun
Kabupaten Lebak dan Desa Cikiruh Wetan Kabupaten Pandeglang. Tujuan
penelitian adalah untuk melihat struktur nafkah on-fishing economy, off-fishing
economy, dan non-fishing economy yang dibangun oleh rumahtangga nelayan
serta strategi nafkah yang dilakukan untuk melewati masa krisis. Penelitian ini
juga menganalisis pengaruh pemanfaatan lima modal nafkah terhadap resiliensi

rumahtangga nelayan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan
penggunaan instrumen berupa kuisioner dan kualitatif melalui wawancara
mendalam. Hasil penelitian memaparkan bahwa pemanfaatan modal nafkah
mempengaruhi resiliensi rumahtangga nelayan. Kedua desa penelitian berada
dalam satu wilayah sehingga sumber daya alam yang ada dimanfaatkan secara
bersama-sama. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang berpengaruh di
Desa Muara Binuangeun adalah modal manusia dan modal fisik. Faktor yang
berpengaruh di Desa Cikiruh Wetan adalah modal manusia, modal fisik, dan
modal alam.
Kata kunci : modal nafkah, strategi nafkah, struktur nafkah, resiliensi nafkah

ABSTRACT
DESI PURNAMASARI. Livelihood Structure, Strategy, and Resilience of
Fishermen Households in South Coastal of Java. Supervised by ARYA HADI
DHARMAWAN
This study is conducted in two places that are Village of Muara
Binuangeun, Lebak and Village of Cikiruh Wetan, Pandeglang. The purpose of
this study is to see the income structure of fishermen households that consists of
on-fishing economy, off-fishing economy, and non-fishing economy and to
determine how livelihood strategies have been undertaken by them for passing a

critical period. This study analyzes the effect of using five livelihood assets to
build resilience of the livelihood of fishermen households. This study used
quantitative method by using questionnaires as tools of data collection and
indepth interviews as approach used for qualitative method. The result of this
study indicates that livelihood assets affect livelihood resilience of livelihood of
fishermen households. Both villages are at one region, so natural resources has
been used together. The results showed that the factors that influence livelihood
resilience in the Village of Muara Binuangeun is human capital and physical
capital. Factors that influence livelihood resilience of the fishermen households in
the Village of Cikiruh Wetan is human capital, physical capital, and natural
capital
Keywords: livelihood assets, livelihood strategies, income structure, livelihood
resilience

iv

STRUKTUR, STRATEGI, DAN RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA
NELAYAN DI PESISIR SELATAN JAWA

DESI PURNAMASARI


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kumunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

v

vi

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME karena berkat
rahmatnya penyusunan skripsi yang berjudul “Struktur, Strategi, dan Resiliensi
Nafkah Rumahtangga Nelayan di Pesisir Selatan Jawa” dapat selesai sesuai

waktu yang telah ditentukan. Karya tulis ini memberikan gambaran mengenai
kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di pesisir selatan Jawa. Selain itu,
karya tulis ini memberikan gambaran mengenai pemanfaatan livelihood assets
serta strategi nafkah yang diduga memiliki pengaruh terhadap resiliensi nelayan.
Tulisan ini juga memaparkan gejala-gajala kerentanan yang dihadapi nelayan
sehingga harus melakukan berbagai strategi adaptasi untuk bertahan hidup setelah
mendapatkan tekanan eksternal baik sosial, ekologi, dan ekonomi.
Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orangtua penulis Bapak Nurhedi dan Ibu Epon yang selalu memberikan
dukungan baik moriil maupun materiil yang tiada henti
2. Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr selaku dosen pembimbing yang selalu
memberikan bimbingan, arahan, serta semangat dalam bentuk apapun
sehingga kami selalu terpacu untuk melakukan yang terbaik.
3. Saudara-saudara penulis Eman, Eka, Indry, Yola, Jujun, Jessica, Rizky, Raffa,
yang selalu memberikan doanya
4. Maria Ulfah, Futri, Pingkan Citra, dan Sophia sebagai sahabat yang selalu
mendukung dan memberikan pencerahan
5. Sahabat dadakan yang selalu memberikan suntikan semangat dalam bentuk
apapun
6. Putri Ginting, Apriyani, Nafiah, Tomi, Radha, Zahra teman satu bimbingan

yang selalu memberikan arahan dan pencerahan, serta
7. Keluarga besar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat angkatan 48.

Bogor, Juni 2015

Desi Purnamasari
I34110021

vii

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Konsep Nafkah
Konsep Nelayan

Konsep Ekonomi Nelayan
Konsep Kemiskinan Nelayan
Konsep Strategi Nafkah
Konsep Resiliensi
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
PROFIL MASYARAKAT DESA
Desa Muara Binuangeun
Kondisi Fisik
Kondisi Sosial
Kondisi Ekonomi
Kondisi Ekologi
Desa Cikiruh Wetan
Kondisi Fisik
Kondisi Sosial

Kondisi Ekonomi
Kondisi Ekologi
Gambaran Umum Responden di Dua Desa
Ikhtisar
STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA NELAYAN
Struktur Nafkah Rumahtangga Nelayan di Desa Muara Binuangeun
Struktur Nafkah Rumahtangga Nelayan di Desa Cikiruh Wetan
Struktur Nafkah di Dua Desa Nelayan
Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Nelayan Dua
Desa
Posisi Rumahtangga Nelayan Dua Desa terhadap Garis Kemiskinan
Ikhtisar
BASIS MODAL NAFKAH RUMAHTANGGA NELAYAN DI DUA
DESA
Pemanfaatan Modal Nafkah Rumahtangga Nelayan di Desa Muara
Binuangeun
Pemanfaatan Modal Nafkah Rumahtangga Nelayan di Desa Cikiruh

1
2

3
3
5
7
7
8
8
10
11
13
13
17
17
18

19
20
20
21
21

22
22
23
23
24
25
27
29
31
33
36

37

viii

Wetan
Analisis Pemanfaatan Modal Nafkah di Dua Desa
Ikhtisar
STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA NELAYAN DI DUA DESA

Metode Penghitungan Strategi Nafkah
Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan Desa Muara Binuangeun
Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan Desa Cikiruh Wetan
Ikhtisar
RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA NELAYAN
Resiliensi Nafkah dan Metode Penghitungannya
Resiliensi Nafkah Rumahtangga Nelayan Desa Muara Binuangeun
Resiliensi Nafkah Rumahtangga Nelayan Desa Cikiruh Wetan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

43
47
54
57
57
60
64
67
67
69
75
76
77
79
105

ix

DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.

Tabel 4.

Tabel 5.

Tabel 6.

Tabel 7.

Tabel 8.
Tabel 9.

Tabel 10.

Tabel 11.
Tabel 12.

Tabel 13.

Tabel 14.

Definisi operasional
Metode pengumpulan data
Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan Desa Muara
Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan berdasarkan
keikutsertaan dalam kelompok tahun 2014-2015
Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan Desa Muara
Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan berdasarkan tingkat
modal sosial tahun 2014-2015
Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan Desa Muara
Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan berdasarkan banyaknya
keterampilan yang dimiliki tahun 2014-2015
Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan Desa Muara
Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan berdasarkan tingkat
kepemilikan modal fisik tahun 2014-2015
Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan Desa Muara
Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan berdasarkan tingkat
modal finansial tahun 2014-2015
Hasil uji regresi variabel modal nafkah terhadap resiliensi
nafkah rumahtangga nelayan Desa Muara Binuangeun
Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan berdasarkan
alokasi tenaga kerja dan resiliensi nafkah Desa Muara
Binuangeun tahun 2014-2015
Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan berdasarkan
kepemilikan aset non produksi dan resiliensi nafkah Desa
Muara Binuangeun tahun 2014-2015
Hasil uji regresi variabel modal nafkah terhadap resiliensi
nafkah rumahtangga nelayan Desa Cikiruh Wetan
Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan berdasarkan
tingkat keterampilan dan resiliensi nafkah Desa Cikiruh Wetan
tahun 2014-2015
Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan berdasarkan
kepemilikan asset non produksi dan resiliensi nafkah Desa
Cikiruh Wetan tahun 2014-2015
Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan berdasarkan
tingkat kemampuan akses wilayah tangkapan dan resiliensi
nafkah Desa Cikiruh Wetan tahun 2014-2015

13
17

49

50

51

52

53
67

68

69
70

70

71

72

x

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar 10.

Gambar 11.
Gambar 12.
Gambar 13.
Gambar 14.

Kerangka diversifikasi mata pencaharian pedesaan
Kerangka pemikiran
Ilustrasi sistem bagi upah di dua desa
Struktur nafkah rumahtangga nelayan Desa Muara
Binuangeun dalam Rupiah tahun 2014-2015
Struktur nafkah rumahtangga nelayan Desa Cikiruh Wetan
dalam Rupiah tahun 2014-2015
Komposisi pendapatan rumahtangga nelayan di dua desa
berdasarkan lapisan sektor tahun 2014-2015
Struktur pendapatan dan pengeluaran rumahtangga nelayan
Desa Muara Binuangeun tahun 2014-2015
Struktur pendapatan dan pengeluaran rumahtangga nelayan
Desa Cikiruh Wetan tahun 2014-2015
Posisi rumahtangga nelayan terhadap garis kemiskinan World
Bank pertahun 2014-2015
Pemanfaatan modal nafkah berdasarkan lapisan ekonomi
rumahtangga nelayan Desa Muara Binuangeun tahun 20142015
Pemanfaatan modal nafkah berdasarkan lapisan ekonomi
rumahtangga nelayan Desa Cikiruh Wetan tahun 2014-2015
Basis modal nafkah rumahtangga nelayan di dua desa,
Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang
Jumlah strategi nafkah yang dilakukan anggota rumatangga
nelayan Desa Muara Binuangeun tahun 2014-2015
Jumlah strategi nafkah yang dilakukan anggota rumahtangga
nelayan Desa Cikiruh Wetan tahun 2014-2015

6
12
24
25
28
29
31
33
34

37
43
47
57
61

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Lampiran 6.
Lampiran 7.
Lampiran 8.

Peta lokasi
Jadwal kegiatan penelitian
Hasil uji statistik
Catatan tematik
Kuesioner
Panduan wawancara mendalam
Kerangka sampling
Dokumentasi penelitian

81
82
82
83
87
97
98
103

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan terbesar dengan garis pantai sepanjang 81 000
km, dilihat dari faktanya Indonesia memiliki sumberdaya yang sangat melimpah.
Melimpahnya sumberdaya termasuk kelautan ini dijadikan sebagai tumpuan hidup
bagi nelayan. Nelayan lokal melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan alat-alat penangkapan ikan yang sederhana dan sebagian nelayan
yang besar akan menggunakan alat-alat penangkapan yang lebih modern. Hasil
dari FAO, yang dikutip oleh Apridar et al. (2011), dari 16 wilayah perairan laut
dunia, sumberdaya perikanan di peraiaran laut Indonesia dinyatakan telah
mencapai puncak pemanfaatannya. Oleh karena itu, produksi perikanan tangkap
ke depan tidak dapat ditingkatkan seperti tahun sebelumnya. Menurut Nikijuluw
(2002) dalam Apridar et al. (2011) Indonesia perlu melakukan upaya pemanfaatan
sumber daya ikan secara lebih hati-hati, sehingga ikan yang masih ada dapat
menjadi modal bagi perbaikan (recovery) ketersediaan ikan, dan dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan nelayan secara berkelanjutan. Nelayan yang
sudah terkungkung dalam kemiskinan tidak dapat memberikan pendidikan yang
layak kepada anak-anak mereka sehingga terpaksa anaknya ikut dengan orangtua
untuk menjadi nelayan. Keadaan ini kemudian menyebabkan sebuah siklus
kemiskinan. Selain itu, kondisi ini juga menjadikan jumlah nelayan di Indonesia
menjadi tambah banyak.
Kemiskinan menurut BPS merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari
sisi pengeluaran (BPS, 2014). Berdasarkan data BPS (2014) jumlah penduduk
miskin di Indonesia adalah 28.280 jiwa atau sekitar 11,25% dari penduduk
Indonesia. Kemiskinan ini seharusnya tidak lagi dialami oleh warga Indonesia
mengingat kekayaannya yang membentang dari barat hingga ke timur.
Ellis (2000) menjelaskan lima modal antara lain modal manusia, modal
alam, modal fisik, modal sosial, dan modal finansial. Modal manusia adalah
kemampuan manusia dalam sistem mata pencaharian yang berkaitan dengan
pendidikan, keahlian, dan kesehatan. Modal alam berkaitan dengan sumber daya
alam dan kondisi ekologi. Modal fisik berkaitan dengan kepemilikan aset fisik
oleh masyarakat, aset ini antara lain bangunan, irigasi kanal, peralatan, mesin, dan
lainnya yang berbentuk fisik. Modal sosial berkaitan dengan jaringan,
kepercayaan, dan norma. Sedangkan modal finansial adalah aset yang
berhubungan dengan keuangan yaitu ketersediaan uang yang tersimpan dalam
sebuah rumahtangga. Ellis (2000) juga menjelaskan mengenai struktur nafkah.
Struktur nafkah yang dijabarkan berhubungan dengan sumber pendapatan.
Sumber pendapatan tersebut adalah on farm, off farm, dan non farm.
Propinsi Banten merupakan salah propinsi yang memiliki jumlah nelayan
yang cukup besar. Banyaknya nelayan ini didukung dengan ketersediaan lembaga
tempat pelelangan ikan (TPI) sebagai tempat transaksi jual beli hasil tangkapan.
Pada tahun 2012 jumlah ikan yang dijual di TPI sebanyak 4624 ton. Jumlah ini
mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang mencapai 7710 ton.
Rumahtangga yang bekerja di bidang perikanan tangkap di Provinsi Banten
mencapai sekitar 5851 rumahtangga. Jumlah ini merupakan jumlah yang cukup

2

besar. Banyaknya rumahtangga yang bekerja di sektor perikanan tangkap ini
memberikan pengaruh terhadap sedikitnya jumlah ikan yang diperoleh oleh
masing-masing individu. Desa Muara Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan
merupakan dua desa perbatasan yang berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten
Lebak dan Kabupaten Pandeglang. Kedua desa ini dipisahkan oleh sebuah muara
yang juga menjadi batas antara dua kabupaten tersebut. Desa ini merupakan desa
yang berada di tepi laut Indonesia sehingga sebagian besar masyarakat
meggantungkan hidupnya pada sumber daya laut.
Sudah secara turun temurun mereka melakukan kegiatan melaut untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun dalam sistem mata pencaharian tidak
hanya bergantung pada modal alam dan modal fisik melainkan bergantung pada
lima modal. Sehingga di kedua desa tersebut juga masih terdapat faktor lain yang
akan memengaruhi sistem mata pencaharian nelayan. Kepemilikan lima modal
pada masyarakat nelayan berpengaruh terhadap strategi nafkah yang mereka
lakukan untuk bertahan hidup atau meningkatkan pendapatan. Menurut Satria
(2001) terdapat tiga strategi yang biasa dilakukan nelayan yaitu pola nafkah
ganda, mendorong ke arah laut lepas, serta diversifikasi alat tangkap.
Masyarakat nelayan memanfaatkan sumber daya alam yang bersifat
terbuka (open acces) sehingga setiap orang boleh memanfaatkannya. Hal ini yang
akan berpengaruh pada hasil tangkapan. Hasil tangkapan yang tidak menentu serta
ketergantungan terhadap musim membuat nelayan harus melakukan berbagai
strategi nafkah. Konsep strategi nafkah berkaitan dengan konsep resiliensi.
Resiliensi sosial dijelaskan oleh Adger (2007) dalam Cote (2012) sebagai
kemampuan kelompok untuk mengatasi tekanan eksternal sebagai akibat dari
perubahan sosial, politik, dan lingkungan.
Rumusan Masalah
Kelautan merupakan sumberdaya alam yang terbuka sehingga setiap
individu dapat memanfaatkan dan mengelola sumberdaya tersebut. Hal ini akan
berdampak pada sistem livelihood yang dimiliki oleh masyarakat yang
memanfaatkannya terlebih lagi apabila dalam pemanfaatan sumberdaya ini
diwarnai dengan konflik. Sumberdaya laut dimanfaatkan oleh nelayan tradisional
demi kelangsungan hidup mereka meskipun hanya dengan menggunakan
peralatan yang sederhana. Bagi nelayan tradisional, adanya nelayan luar yang
datang dengan peralatan yang teknologinya lebih canggih membuat mereka
mendapatkan hasil tangkapan yang jauh lebih banyak dari nelayan tradisional.
Menurut Mubyarto et al. (1984) pertumbuhan yang cepat dari jumlah nelayan
memberikan dampak negatif terhadap produktivitas nelayan termasuk
menurunnya volume ikan yang ditangkap. Selain itu, Mubyarto et al. (1984) juga
menjelaskan dampak dari adanya motorisasi yang dilakukan oleh nelayan dengan
kapal-kapal besar modern bermesin dengan alat yang berdaya tangkap besar.
Masyarakat nelayan yang hidup memanfaatkan sumberdaya laut sangat
bergantung pada kondisi wilayah tangkapan. Akses terhadap wilayah tangkapan
mudah atau sulitnya juga memengaruhi pada pendapatan rumahtangga. Selain itu,
modal sosial yang juga dibina antar masyarakat nelayan baik dengan nelayan
besar atau nelayan kecil juga berpengaruh terhadap kehidupan nelayan. Dalam
kehidupannya, tidak jarang nelayan mengalami masa krisis. Masa krisis ini dapat

3

dialami karena ketergantungan pada musim, tercemarnya wilayah tangkapan, atau
semakin banyaknya saingan dengan peralatan modern. Hal ini membuat hasil
tangkapan yang diperoleh nelayan akan berkurang sehingga berdampak langsung
pada pendapatan nelayan. Ketika nelayan mengalami masa krisis seperti ini, lima
modal akan berperan dalam kehidupan nelayan sebagai cara untuk kembali ke
keadaan normal. Kemampuan nelayan untuk kembali ke keadaan normal setelah
mengalami tekanan ini disebut sebagai resiliensi. Pada masyarakat nelayan di dua
desa yang diteliti, handak diketahui pengaruh kepemilikan lima modal terhadap
resiliensi nafkah yang dijalankan nelayan untuk keluar dari keadaan krisis yang
dialami. Pada penelitian ini terdapat tiga pertanyaan berikut:
1. Bagaimanakah struktur nafkah yang terdapat pada rumahtangga nelayan di
dua desa?
2. Jenis strategi nafkah apa yang digunakan oleh rumahtangga nelayan di kedua
desa?
3. Bagaimanakah kepemilikan livelihood asset berpengaruh terhadap resiliensi
nafkah rumahtangga nelayan di dua desa?
Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Menganalisis struktur nafkah yang terdapat pada rumahtangga nelayan di dua
desa.
2. Menganalisis strategi nafkah yang digunakan rumahtanngga nelayan di dua
desa
3. Menganalisis pengaruh kepemilikkan livelihood asset terhadap resiliensi
nafkah rumahtangga nelayan
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut :
1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran agar
tercipta penelitian yang lebih baik lagi. Selain itu penelitian ini juga dapat
menjadi acuan untuk penelitian yang terkait
2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
kondisi sistem mata pencaharian. Sehingga mereka dapat melakukan hal yang
lebih baik untuk memerbaiki sistem nafkahnya.
3. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat memberikan data dan informasi
mengenai kehidupan nelayan sehingga dapat membuat kebijakan yang sesuai
serta dapat memberikan bantuan yang sesuai kebutuhan nelayan khususnya di
Desa Muara Binuangeun Kabupaten Lebak dan Desa Cikiruh Wetan
Kabupaten Pandeglang.

PENDEKATAN TEORITIS
Konsep Nafkah
Nafkah adalah mata pencaharian yang terdiri dari berbagai aset (alam, fisik,
manusia, finansial, dan modal sosial) aktivitas, dan akses kepada (suatu yang
dimediasi oleh lembaga dan hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan
hidup yang diperoleh oleh individu atau rumah tangga (Ellis, 2000). Total
penghasilan yang diperoleh oleh seseorang mencerminkan ada beberapa sumber
daya yang diperlukan untuk mendapatkan penghasilan tersebut. Menurut Ellis
(2000) terdapat tiga sumber nafkah atau disebut juga struktur nafkah yaitu farm
income, off farm income, dan non farm income.
Farm income mengacu pada pendapatan yang dihasilkan dari pertanian
yang diperoleh petani dari hasil garapan pada lahan milik sendiri, atau pada lahan
yang telah disewa sebelumya. Pada penelitian ini, on farm pada masyarakat petani
dimodifikasi menjadi on-fishing economy yaitu pendapatan yang diperoleh dari
perikanan tangkap secara langsung menggunakan perahu dan alat tangkap milik
sendiri. Off farm income yaitu mengacu pada pendapatan sektor pertanian yang
diperoleh sebagai upah setelah petani bekerja di lahan orang lain. Selain di
bidang bercocok tanam, sistem bagi upah juga dapat diperoleh dari kegiatan
peternakan. Kegiatan peternakan ini biasanya membagi anakan ternak secara
langsung terhadap mereka yang mengurusnya. Pada masyarakat nelayan, sistem
bagi upah juga kerap dilakukan. Sistem pembagian upah dilakuan antara pemilik
kapal dengan anak buah kapal (ABK), pendapatan ini dimodifikasi menjadi offfishing economy, selain bagi upah kegiatan industri pengolahan hasil laut juga
termasuk ke dalam off-fishing economy. Pembagian upah dilakukan setiap hari
selepas menjual ikan hasil tangkapan yang diperoleh. Sedangkan non farm
income adalah pendapatan yang diperoleh oleh keluarga petani dari luar sektor
pertanian. Sektor ini dapat berupa industri atau jasa. Sedangkan pada masyarakat
nelayan, dimodifikasi menjadi non-fishing economy yaitu pendapatan yang
diperoleh nelayan selain dari hasi perikanan tangkap.
Penelitian yang dilakukan Iqbal (2004) di dua desa yaitu Desa Paciran dan
Desa Brondong memberikan gambaran mengenai sumber nafkah. Kedua desa ini
terletak di dekat pantai sehingga pekerjaan utama mereka adalah nelayan. Meski
terdapat sedikit perbedaan ekologi di antara kedua desa, namun mereka samasama menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut yang ada. Menurut Iqbal
(2004), laut merupakan sumber daya dengan sifat akses terbuka sehingga pada
prakteknya banyak yang memanfaatkan sumber daya tersebut. Akses terbuka ini
membuat jumlah nelayan semakin banyak sehingga hasil tangkapan menjadi
turun. Hal inilah yang kemudian berpengaruh terhadap kondisi ekonomi nelayan.
Menurut Ellis (2000) definisi diversifikasi mata pencaharian pedesaan
adalah proses ketika rumahtangga pedesaan membangun sebuah portofolio yang
semakin beragam dengan kegiatan dan aset dalam rangka untuk bertahan hidup
dan untuk meningkatkan standar hidup mereka. Berikut adalah kerangka
diversifikasi mata pencaharian di pedesaan.

6

Asset
Modal Alam
Modal fisik
Modal Manusia
Modal Sosial
Modal finansial

Institusi
(tanah tenurial, asset
umum, pasar nyata, dll)
Hubungan sosial

Aktivitas
(terlihat)

Akses

(desa, etnis, gender dll)
Organisasi
(agen pemerintah,
kelompok komunitas,
LSM, dll)

(dimediasi oleh)

Gambar 1 Kerangka diversifikasi mata pencaharian pedesaan (Sumber : Ellis,
2000)
Berdasarkan penjelasan Ellis (2000), kelima modal tersebut secara rinci adalah:
1. Modal alam (natural capital) adalah aset yang terdiri dari tanah, air, dan
sumber daya biologis yang digunakan oleh manusia secara umum untuk
bertahan hidup. Modal alam harus dikontrol secara baik oleh manusia agar
dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
2. Modal fisik (physical capital) adalah aset yang dibentuk oleh proses
produksi ekonomi seperti bangunan, kanal irigasi, jalan, peralatan, mesin,
dan aset fisik lainnya. Bagian dari aset fisik yang sangat berpengaruh
terhadap diversifikasi mata pecaharian petani adalah infrastruktur seperti
jalan, aliran listrik, dan ketersediaan air. Modal fisik pada masyarakat
nelayan dapat dilihat dari kepemilikan perahu dan kepemilikan alat
tangkap.
3. Modal manusia (human capital), aset ini lebih sering dikatakan sebagai
aset utama dalam pekerjaan individu. Aset ini terdiri dari pendidikan,
kesehatan, dan kemampuan (Carney, 1998 dalam Ellis, 2000). Modal
manusia akan meningkat seiring dengan penambahan pendidikan dan
pelatihan. Menurut Moser (1998) dalam Ellis (2000) komposisi modal
manusia dapat berubah secara konstan karena alasan demografi seperti
kelahiran, kematian, pernikahan, migrasi, serta usia anak yang semakin
bertambah.
4. Modal finansial (human capital) adalah aset yang lebih menekankan pada
ketersediaan uang yang dimiliki seseorang atau rumah tangga. Menurut
Swift (1989) dalam Ellis (2000) modal finansial juga dapat dilihat dari
emas, perhiasan, cadangan makanan, serta keuntungan antara biaya
produksi dan pendapatan.
5. Modal sosial (social capital) yaitu aset yang berhubungan dengan sistem
sosial yang ada. Modal sosial berkaitan dengan jaringan sosial yang
dimiliki seseorang di dalam komunitasnya. Contoh jaringan sosial yang

7

tercipta pada masyarakat adalah hubungan dengan patron, dengan
kepala/ketua di desa, serta hubungan dengan pihak-pihak yang berpolitik.
Konsep Nelayan
Berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 1 dan 7
menjelaskan bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan, dan nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang
menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT).
Menurut Ellis (2000) aktivitas kenelayan memiliki spesifikasi gender yang sangat
tinggi. Dalam banyak kasus, hanya laki-laki yang terlibat dalam aktivitas
penangkapan ikan. Meskipun didalamnya ada keterlibatan perempuan di
perikanan sekitar pantai dan karang, serta dalam proses pengolahan dan penjualan.
Terdapat beberapa golongan nelayan yang dijelaskan oleh Haryono (2005)
yang dikutip oleh Apridar et al. (2011) yaitu :
1. Nelayan juragan/nelayan pemilik yakni mereka yang memiliki alat
tangkap berupa perahu beserta jaringnya.
2. Buruh nelayan yakni mereka yang mengoperasikan alat tangkap yang
bukan miliknya sendiri, yang kerap disebut sebagai pandega/bandega.
3. Nelayan perorangan yakni mereka memiliki alat tangkap sendiri dan
mengoperasikannya tanpa orang lain. Kategori ini mendominasi
jumlahnya di Desa Randuputih, Kabupaten Probolinggo.
Dalam penelitian ini, pelapisan nelayan bukan dilakukan berdasarkan
kepemilikan perahu. Akan tetapi pelapisan dilakukan berdasarkan lapisan
ekonomi. Hal ini karena nelayan di kedua desa penelitian tidak hanya bergantung
pada perikanan tangkap. Terdapat nelayan yang memperoleh sumber penghidupan
selain dari kegiatan melaut.
Konsep Ekonomi Nelayan
Menurut Imron (2003) yang dikutip oleh Mulyadi (2007) nelayan adalah
kelompok masyarakat yang kehidupannya bergantung pada hasil laut secara
langsung. Hasil laut tersebut diperoleh dengan melakukan penangkapan ataupun
dengan melakukan budidaya. Selanjutnya Mubyarto menambahkan penggolongan
nelayan menurut kepemilikan alat tangkap. Pengolongan tersebut dibedakan
menjadi tiga. Pertama, nelayan buruh yaitu nelayan yang bekerja dengan alat
tangkap milik orang lain. Kedua, nelayan juragan yaitu nelayan yang memiliki
alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Ketiga, nelayan perorangan yaitu
nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dalam pengoperasiannya tidak
melibatkan orang lain.
Menurut Imron (2003) yang dikutip Mulyadi (2007) kemiskinan adalah
suatu konsep yang cair, serba tidak pasti dan bersifat multi dimensional. Disebut
cair karena kemiskinan bisa bermakna subjektif, tetapi sekaligus juga bermakna
objektif. Secara ojektif bisa saja masyarakat tidak dapat dikatakan miskin karena
pendapatannya sudah berada di atas batas garis kemiskinan, yang oleh sementara
ahli diukur menurut standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras
dan gizi. Akan tetapi, apa yang tampak secara objektif tidak miskin itu, bisa saja

8

dirasakan sebagai kemiskinan oleh pelakunya karena adanya perasaan tidak
mampu memenuhi kebutuhan ekonominya, atau bahkan dengan membandingkan
dengan kondisi yang dialami oleh orang lain, yang pendapatannya lebih tinggi
darinya. Penelitian yang dilakukan oleh Mugni (2006) menunjukan hasil bahwa di
Kabupaten Indramayu terdapat golongan nelayan yang sangat miskin. Golongan
tersebut diberi istilah lokal sebagai nelayan bidak. Nelayan bidak adalah nelayan
yang tidak memiliki peralatan melaut sama sekali. Mereka ikut dengan nelayan
lain untuk melaut. Nelayan bidak tersebut akan memperoleh penghasilan apabila
dalam satu kali melaut mereka mendapatkan hasil tangkapan. Namun, sistem bagi
hasil yang digunakan memiliki ketimpangan yang sangat tinggi antara nelayan
bidak dengan juragannya. Selain itu, kemiskinan yang dialami oleh nelayan bidak
diperparah dengan tidak adanya upah bagi mereka apabila dalam satu hari melaut
tidak mendapatkan hasil tangkapan. Hal inilah yang mendorong nelayan kecil di
Indramayu untuk melakukan berbagai strategi untuk bertahan hidup.
Konsep Kemiskinan Nelayan
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, BPS mendefinisikan kemiskinan
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Berikut terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kemisikinan nelayan.
1. Fluktuasi musim tangkapan, sumberdaya manusia yang rendah, eksploitasi
pemodal, ketimpangan dalam sistem bagi hasil, motorisasi, pencemaran
lingkungan, kebiasaan nelayan (Mugni, 2006)
2. Rendahnya akses rumahtangga terhadap sumber-sumber nafkah diperparah
dengan biaya hidup yang terus meningkat, rendahnya hasil tangkapan yang
diperoleh, banyaknya nelayan modern yang didukung oleh pemodal besar
besar, modal alam tinggi tapi modal fisik dan modal finansial tidak ada,
modernisasi, keterbatasan terhadap modal, tidak dapat akses terhadap
modal fisik, kerusakan lingkungan laut (Widodo, 2009).
Masalah lain yang dialami nelayan adalah masalah kerentanan. Kerentanan
yang biasa dialami oleh nelayan bermacam-macam antara lain:
1. Musim paceklik sebagai pemicu sensitivitas (Iqbal, 2004)
2. Perubahan iklim akibat global warming yang juga dipicu oleh penggunaan
perahu nelayan (Badjeck et al. ,2010)
3. Perubahan lingkungan yang terjadi akibat adanya angin topan yang sudah
menjadi musiman, penelitian ini dilakukan di Anguilla (Forster et al. ,
2014)
4. Kerusakan peralatan kerja, upah rendah yang diberikan oleh patron, serta
eksploitasi (Schulte et al. , 2014)
Konsep Strategi Nafkah
Berikut adalah beberapa bentuk strategi nafkah yang digunakan oleh
keluarga petani dalam mengahadapi masalah perekonomian yang tidak
mendukung (Scoones, 1998):
1. Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian

9

2. Diversifikasi mata pencaharian, yaitu dengan melakukan pekerjaan lain
selain pertanian. Selain itu, juga termasuk didalamnya optimalisasi tenaga
kerja. Optimalisasi ini dapat diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja
keluarga untuk ikut mencari nafkah.
3. Migrasi, dapat dilakukan apabila petani sudah tidak ingin bekerja di tempat
asalnya. Hal ini juga dapat dilakukan apabila petani memiliki relasi dengan
orang lain yang sudah bermigrasi sebelumnya.
Selain itu, jenis strategi nafkah juga dijelaskan oleh Carner (1984) yaitu
sebagai berikut, (Widodo, 2009):
1. Melakukan beragam pekerjaan meskipun dengan upah rendah
2. Memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam
pemberian rasa aman dan perlindungan
3. Melakukan migrasi ke daerah lain biasanya desa-kota sebagai pilihan
terakhir jika tidak terdapat lagi sumber nafkah di desa.
Menurut Dharmawan (2001) dalam Lestari (2005), terdapat dua macam
strategi yang dikembangkan oleh keluarga peasant yaitu saat kehidupan berjalan
normal dan strategi yang dikembangkan saat kehidupan sedang krisis. Sedangkan
menurut Satria (2001), strategi mata pencaharian yang biasa dilakukan oleh
masyarakat nelayan yang pertama yaitu dengan mengembangkan strategi nafkah
ganda. Kedua, mendorong ke arah laut lepas, dan yang ketiga mengembangkan
diversifikasi alat tangkap untuk mengantisipasi variasi musim. Pada penelitian ini,
strategi nafkah yang digunakan sebagai acuan (confirmation) adalah strategi
nafkah yang dijelaskan oleh Satria (2001) karena langsung berkaitan dengan
nelayan.
Menurut Mulyadi (2007) adaptasi merupakan tingkah laku strategis dalam
upaya memaksimalkan kesempatan hidup. Menurutnya, pada masyarakat nelayan
pola adaptasinya menyesuaikan dengan ekosistem lingkungan fisik laut dan
lingkungan sosial di sekitarnya. Kondisi lingkungan laut yang sarat dengan resiko
dan sering tidak menentu membuat nelayan cenderung mengembangkan pola-pola
adaptasi yang berbeda dan seringkali tidak dipahami oleh masyarakat di luar
komunitasnya. Dalam banyak hal masyarakat nelayan mempunyai komunitas
tersendiri yang diakibatkan oleh pola-pola sosialnya yang terasing dengan polapola sosial masyarakat daratan. Masyarakat nelayan dalam menghadapi kondisi
ketidakpastian dan resiko yang besar dalam pekerjaannya, mereka kemudian
membuat pola hubungan dengan orang lain dalam bentuk hubungan patronase.
Hubungan patron client yang dilakukan nelayan juga digambarkan dalam
penelitian Schultte et al. (2014). Penelitian yang dilakukan di Zanzibar ini
menjelaskan bahwa hubungan patronase sangat berpengaruh pada sistem
kehidupan masyarakat pesisir. Selain itu, hubungan patronase ini juga digunakan
sebagai sistem manajemen ekonomi oleh nelayan di lokasi penelitian. Beberapa
penelitian lain juga menjelaskan bahwa hubungan patronase merupakan ikatan
yang memberikan peluang bagi nelayan untuk melaksanakan kegiatan utamanya.
Nelayan yang memiliki patron akan memperoleh pinjaman perahu dan alat
tangkap sehingga mereka dapat pergi melaut untuk menangkap ikan.

10

Konsep Resiliensi
Adger (2007) dalam Cote (2012), menjelaskan mengenai konsep resiliensi
sosial. Menurutnya, resiliensi sosial adalah kemampuan kelompok atau komunitas
untuk menghadapi tekanan eksternal dan guncangan sebagai hasil dari tindakan
politik, sosial, dan lingkungan. Berdasarkan definisi ini, resiliensi sosial lebih
kepada konsep deskriptif mengenai umpan balik individu terhadap perubahan
yang terjadi sementara dalam sistem sosial-ekologi (Cote, 2012). Menurut Low et
al. (2003) dalam Cote (2012) pemikiran mengenai resiliensi dan sistem sosialekologi, pengenalan pandangan dikotomi alam dan sosial adalah problematika
yang telah memberikan jalan untuk fokus pada umpan balik peralatan simetris dari
ekosistem dan masyarakat. Hal ini yang menggambarkan hubungan teoritikal
dalam penggunaan konsep resiliensi ekologi, seperti efek permulaan yang
mengacu pada struktur dan fungsi karakteristik ekosistem, berdasarkan perspektif
ilmu sosial (Tompkins and Adger, 2004) dalam Cote (2012). Menurut Cote (2012)
manusia adalah komponen yang membentuk sebuah ekologi sehingga manusia
dengan alam tidak dapat dipisahkan. Hubungan inilah yang kemudian dapat
berpengaruh terhadap resiliensi. Menurut Baird dan Gray (2014) resiliensi dapat
dikatakan sebagai pengembangan rumahtangga dan ketahanan kecil untuk tekanan
jangka pendek yang dilakukan oleh rumahtangga atau masyarakat untuk
menghadapi tekanan yang lebih besar dalam jangka panjang. Sedangkan Adger
(2000) dalam Speranza et al. (2014) menjelaskan bahwa resiliensi merujuk pada
stabilitas mata pencaharian sebagai satu aspek resiliensi sosial. Tetapi pada
prakteknya dan penilaian (pembebanan) pada resiliensi terdiri dari beberapa aspek
mata pencaharian. Speranza et al. (2014) menjelaskan bahwa resiliensi nafkah
mengacu pada kapasitas mata pencaharian untuk meredam tekanan dan gangguan
serta meningkatkan fungsi. Terdapat tiga indikator yang dijelaskan oleh Carpenter
et al (2001) dalam Speranza et al. (2014). Pertama, kapasitas penyangga yang
didalamnya terdapat kepemilikan aset dan akses terhadap aset (modal sosial,
modal alam, modal manusia, modal fisik, dan modal finansial). Kedua yaitu
organisasi diri, terdiri dari institusi, koperasi dan jaringan, struktur jaringan,
kesempatan untuk mengorganisasi diri, dan kepercayaan terhadap kepemilikan
sumber daya. Ketiga yaitu kapasitas untuk belajar terdiri dari pengetahuan untuk
tantangan dan kesempatan, berbagai visi kolektif, komitmen untuk belajar,
kapabilitas indentifikasi pengetahuan, kapabilitas berbagi pengetahuan,
kapabiilitas mentransfer pengetahuan, dan memanfaatkan mekanisme umpan
balik.
Dalam konsep resiliensi, terdapat tiga langkah yang dapat dilakukan untuk
melihat dinamika resiliensi (Bagchi et al,.1998; de Haan and Zoomers, 2005;
Sallu et al.,2010; Ulrich et al.,2012) dalam Speranza et al. (2014).
1. Melakukan analisis sejarah livelihood
2. Mengidentifikasi dan mengarakteristikkan livelihood yang mungkin sebagai
jalan untuk menghadapi guncangan dan tekanan
3. Menganalisis jalur pemulihan dan implikasinya untuk menjaga atau
meningkatkan ketahanan livelihood
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, konsep resiliensi dapat dikatakan
tidak hanya diakibatkan karena perubahan ekologi tetapi juga karena tindakan
sosial yang terjadi pada masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Forster et al.

11

(2014) menjelaskan bahwa masyarakat pesisir memiliki resiliensi dalam
menghadapi perubahan ekologi. Perubahan tersebut adalah akibat dari terjadinya
bencana angin topan sehingga mengubah struktur dan strategi nelayan dalam
melaut. Hal ini dapat dilihat dari perubahan strategi nelayan yang awalnya
membiarkan perahu berada dekat laut, namun setelah terjadinya badai mereka
meletakan perahu berada jauh dari laut. Keinginan mereka untuk kembali menjadi
nelayan adalah anggapan bahwa nelayan merupakan sebuah identitas diri dan
kebanggaan. Selain itu, penelitian Mugni (2006) menyebutkan bahwa resiliensi
yang berkaitan dengan sosial adalah hubungan patron klien. Hubungan patron
klien seringkali membuat nelayan merasa memeroleh sistem bagi hasil yang
kurang adil. Mereka sudah melakukan kegiatan melaut namun hanya diberi upah
yang sangat minim.
Kerangka Pemikiran
Sumber daya kelautan memberikan banyak penghidupan khususnya bagi
nelayan. Hal ini yang membuat nelayan sangat bergantung pada sumber daya
tersebut. Sifat sumber daya alam yang terbuka (open acces) membuat semua
orang dapat memanfaatkannya. Sehingga semakin banyak penggunanya maka
pendapatan akan hasil tangkapan akan semakin sedikit. Selain itu, ketersediaan
ikan yang musiman membuat hasil tangkapan menjadi sangat tidak menentu.
Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap penghasilan nelayan. Penghasilan
nelayan yang terkadang sangat sedikit membuat nelayan terpaksa harus
melakukan berbagai strategi untuk bertahan hidup. Strategi yang dilakukan ini
dapat menggambarkan resiliensi nelayan dalam livelihood system mereka.
Resiliensi ini dipengaruhi kepemilikan aset yang ada pada nelayan yaitu terdiri
dari lima modal yang dijelaskan Ellis (2000).
Struktur nafkah nelayan terdiri dari tiga sektor yaitu on-fishing economy,
off-fishing economy, dan non-fishing economy. Sektor on-fishing economy adalah
pendapatan dari hasil perikanan tangkap, sektor off-fishing economy adalah hasil
bagi upah dari perikanan tangkap dan berbagai jenis industri sekunder dan
budidaya, sementara non-fishing economy adalah pendapatan dari luar perikanan
tangkap. Perikanan tangkap memiliki dua musim yaitu musim panen ketika ikan
di lautan melimpah serta musim paceklik yaitu ketika kelimpahan ikan sangat
sedikit. Ketika nelayan melalui masa sulit maka mereka harus melakukan berbagai
strategi.
Strategi nafkah yang dilakukan nelayan dapat bermacam-macam. Menurut
Satria (2001) terdapat tiga strategi yang biasa dilakukan nelayan yaitu pola nafkah
ganda, mendorong ke arah laut lepas, serta diversifikasi alat tangkap. Strategi
nafkah ganda dapat dilakukan dengan cara menambah anggota rumahtangga yang
bekerja atau juga menambah jenis pekerjaan. Hal ini dilakukan untuk bertahan
hidup dalam keadaan krisis. Jenis strategi nafkah ganda yang dilakuan berkaitan
dengan jumlah alokasi tenaga kerja. Ketika nelayan melakukan kegiatan nonfishing economy maka alokasi tenaga kerja akan meningkat.
Terdapat beberapa variabel yang diduga memiliki pengaruh terhadap
resiliensi nafkah. Variabel-variabel tersebut merupakan bagian dari lima modal
nafkah yaitu modal alam, modal manusia, modal fisik, modal sosial, dan modal
finansial. Nelayan melakukan berbagai strategi untuk mencapai sebuah

12

keseimbangan. Strategi nafkah merupakan syarat yang harus dilakukan oleh
nelayan untuk mencapai resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan pulih
seseorang atau rumahtangga dari gangguan baik eksternal maupun internal.
Resiliensi dilihat dari dua indikator yaitu banyaknya pilihan nafkah serta
kecepatan recovery.

Struktur Nafkah
Pendapatan on-fishing economy
Pendapatan off-fishing economy
Pendapatan non-fishing economy

Strategi Nafkah (Satria, 2001)
Strategi nafkah ganda
Mendorong ke arah laut lepas
Diversifikasi alat tangkap

Livelihood Assets (Ellis, 2000)
Modal Alam (X1)
Akses ke arah laut lepas (X1.1)

Modal Manusia (X2)
Tingkat alokasi tenaga kerja (X2.1)
Tingkat pendidikan (X2.2)
Banyaknya keahlian yang dimiliki anggota
keluarga (X2.3)

Modal Fisik (X3)
Tingkat Kepemilikkan Asset Produksi (X3.1)
Tingkat kepemilikkan asset non produksi (X3.2)

Modal Sosial (X4)
Tingkat partisipasi terhadap lembaga formal dan
non formal(X4.1)

Modal Finansial (X5)
Tingkat pendapatan on-fishing economy (X5.1)
Tingkat pendaptan off-fishing economy (X5.2)
Tingkat pendapatan non-fishing economy (X5.3)
Tingkat Saving Capacity (X5.4)
Tingkat Pengeluaran (X5.5)

TINGKAT RESILIENSI (Y)
Waktu Recovery saat krisis (Y1.1)
Banyaknya pilihan sumber nafkah (Y1.2)

Gambar 2 Kerangka Pemikiran
Keterangan :
: dianalisis secara deskriptif
: berhubungan
: berpengaruh

13

Hipotesis Penelitian
Pada penelitian ini, diduga bahwa pemanfaatan livelihood aset, memiliki
pengaruh terhadap tingkat resiliensi nafkah rumah tangga nelayan dengan formula
sebagai berikut:
Yn = f (Xn).
Y1.1 + Y1.2 = f (X1.1, X2.1, X2.2, X2.3, X3.1, X3.2, X4.1, X5.1, X5.2, X5.3, X5.4, X5.5)
Rincian sebagai berikut :
1. Diduga tingkat pemanfaatan modal alam berpengaruh terhadap tingkat
resiliensi rumahtangga nelayan, Yn = f (X1.1)
2. Diduga tingkat pemanfaatan modal manusia berpengaruh terhadap tingkat
resiliensi rumahtangga nelayan, Yn = f (X2.1, X2.2, X2.3)
3. Diduga tingkat pemanfaatan modal fisik berpengaruh terhadap tingkat
resiliensi rumahtangga nelayan, Yn = f (X3.1, X3.2)
4. Diduga pemanfaatan modal sosial berpengaruh terhadap tingkat resiliensi
rumahtangga nelayan, Yn = f (X4.1)
5. Diduga pemanfaatan modal finansial berpengaruh terhadap tingkat resiliensi
rumahtangga nelayan, Yn = f (X5.1, X5.2, X5.3, X5.4, X5.5)
Definisi Operasional
Tabel 1 Definisi Operasional
No
Variabel
X1 = Modal Alam
1
X1.1 = Akses ke
arah laut lepas

X2 = Modal Manusia
4
X2.1 = Tingkat
alokasi tenaga
kerja

5

X2.2 = Tingkat
Pendidikan

Definisi Operasional

Indikator

kemudahan nelayan untuk
a. tinggi: nelayan mampu
melakukan kegiatan melaut
akses ke arah laut lepas
ke arah laut yang lebih
dengan mudah (skor 17-20)
luas dengan
b. sedang: nelayan kurang
mempertimbangkan
mampu akses ke arah laut
manajemen usaha,
lepas (14-16)
organisasi produksi,
c. rendah: nelayan tidak
perbekalan, ketahanan fisik,
mampu akses ke arah laut
pemahaman perilaku ikan,
lepas (10-13)
pengoperasian kapal, dan
pengoperasian jaring
jumlah individu dalam
suatu rumahtangga berusia
15-64 tahun yang ikut
mencari nafkah guna
memenuhi kebutuhan hidup
keluarga

Lama pendidikan yang
ditempuh oleh anggota

a. Tinggi: apabila terdapat
lebih dari dua anggota
keluarga usia produktif
yang bekerja
b. Sedang: apabila terdapat
dua anggota keluarga usia
produktif yang bekerja
c. Rendah: apabila hanya satu
dari anggota keluarga usia
produktif yang bekerja
a. Tinggi: apabila lulus SMA
b. Sedang: apabila lulus SMP

14

rumahtangga nelayan

c. Rendah: apabila lulus SD
atau tidak lulus SD
6
X2.3 =
jumlah kemampuan untuk
a. Tinggi: apabila terdapat
Banyaknya
mengerjakan suatu
lebih dari dua keterampilan
keterampilan
pekerjaan dengan mudah
selain pekerjaan utama yang
yang dimiliki
dan tepat yang terdapat
dimiliki anggota keluarga
anggota
dalam diri anggota keluarga b. Sedang: apabila terdapat
keluarga
dua keterampilan selain
pekerjaan utama yang
dimiliki anggota keluarga
c. Rendah: apabila hanya satu
keterampilan selain
pekerjaan utama yang
dimiliki anggota keluarga
Modal manusia (X2) dikatakan tinggi apabila ketiga aspek diatas menunjukan skor yang
tinggi
X3.1 = Modal Fisik
7
X3.1 = Tingkat
status nelayan terhadap
a. Tinggi: skor 13-14
kepemilikan aset kepmilikan perahu dan aat
b. Sedang: skor 10-12
produksi
tangkap yang biasa
c. Rendah: skor 7-9
digunakan untuk kegiatan
melaut. Status ini dapat
memiliki atau tidak
memiliki
10 X3.2= Tingkat
banyaknya aset atau harta
Desa Muara Bnuangeun
kepemilikan aset yang dimiliki nelayan. Aset a. Tinggi: jika kepemilikan
non produksi
ini seperti emas, rumah,
harta ≥ Rp11 321 000
ternak, barang elektronik,
b. sedang: jika kepemilikan
alat transportasi, dan alat
harta Rp 2 803 000 < x
komunikasi
Rp11 321 000
c. Rendah: jika kepemilikan
harta ≤ Rp2 803 000
Desa Cikiruh Wetan
a. Tinggi: jika kepemilikan
harta ≥ Rp7 715 000
b. sedang: jika kepemilikan
harta = Rp1 846 000 < x
Rp7 715 000
c. Rendah: jika kepemilikan
harta ≤ Rp7 715 000
X4 = Modal Sosial
11 X4.1 = Tingkat
kemampuan dan
a. Tinggi: Rumahtangga
partisipasi
kesempatan nelayan untuk
nelayan berpartisipasi dalam
terhadap
berturut serta dan
2 atau lebih kelompok
lembaga formal memeroleh manfaat dalam
formal atau non formal
dan non formal
sebuah organisasi formal
b. sedang: Rumahtangga
dan non formal di desanya.
nelayan berpartisipasi dalam
Organisasi ini dapat berupa
1 kelompok formal atau non
koperasi, kelompok
formal
nelayan, kelompok kredit,
c. rendah: Nelayan tidak
kelompok masyarakat, dan
berpartisipasi dan tidak
semua jenis kelompok
mendapatkan manfaat

15

sosial
X5 = Modal Finansial
13 X5.1 = Tingkat
pendapatan onfishing economy

jumlah uang yang diterima
rumahtangga nelayan
sebagai hasil dari penjualan
hasil tangkapan yang
diperoleh dari kegiatan
melaut dengan
menggunakan perahu milik
sendiri dikurangi biaya
bahan bakar dan bekal

14

X5.2 = Tingkat
pendapatan offfishing economy

jumlah uang yang diterima
rumahtangga nelayan dari
perikanan tangkap melalui
sistem bagi upah, serta
pendapatan yang diperoleh
dari kegiatan industri
pengolahan hasil laut

15

X5.3 = Tingkat
pendapatan nonfishing economy

jumlah uang yang diterima
oleh nelayan dari hasil
kegitan produktif di luar
sektor perikanan dikurangi
biaya produksi yang
digunakan. Sumber nafkah
di luar perikanan dapat
berupa pendapatan warung,
penjualan makanan,
penjualan pulsa, upah
bengkel, dan upah dari
buruh cuci

16

X5.4 = Tingkat
Saving Capacity

jumlah uang yang mampu
dikumpulkan, dilindungi,

Desa Muara Binuangeun
a. Tinggi: jika pendapatan ≥
Rp18 224 000
b. Sedang: jika pendapatan
Rp2 378 000 < x < Rp18
224 000
c. Rendah: jika pendapatan ≤
Rp2 378 000
Desa Cikiruh Wetan
a. Tinggi: jika pendapatan ≥
Rp20 825 000
b. Sedang: jika pendapatan
Rp4 135 000 < x < Rp20
825 000
c. Rendah: jika pendapatan ≤
Rp4 135 000
Desa Muara Binuangeun
a. Tinggi: jika pendapatan ≥
Rp11 901 000
b. Sedang: jika pendapatan
Rp5 743 000 < x < Rp11
901 000
c. Rendah: jika pendapatan ≤
Rp5 743 000
Desa Cikiruh Wetan
a. Tinggi: jika pendapatan ≥
Rp13 554 000
b. Sedang: jika pendapatan
Rp4 539 000 < x < Rp13
554 000
c. Rendah: jika pendapatan ≤
Rp4 539 000
Desa Muara Binuangeun
a. Tinggi: jika pendapatan ≥
Rp5 861 000
b. Sedang: jika pendapatan
Rp479 000 < x < Rp5 861
000
c. Rendah: jika pendapatan ≤
Rp479 000
Desa Cikiruh Wetan
a. Tinggi: jika pendapatan ≥
Rp3 671 000
b. Sedang: jika pendapatan
Rp33 000 < x < Rp3 671
000
c. Rendah: jika pendapatan ≤
Rp33 000
Desa Muara Binuangeun
a. Tinggi: jika tabungan ≥

16

dan dilestarikan, untuk
Rp8 033 000
pemulihan dan
b. Sedang: jika tabungan Rp1
pembangunan kembali mata
249 000 < x < Rp8 033 000
pencaharian
c. Rendah: jika tabungan ≤
Rp1 249 000
Desa Cikiruh Wetan
a. Tinggi: jika tabungan ≥
Rp6 559 000
b. Sedang: jika tabungan
Rp512 000 < x < Rp6 559
000
c. Rendah: jika tabungan ≤
Rp512 000
17

X5.5 = Tingkat
pengeluaran

jumlah uang yang
dikeluarkan rumahtangga
nelayan dalam satu tahun
untuk pemenuhan
kebutuhan pangan dan non
pangan seluruh anggota
rumahtangga

Y1 = Tingkat Resiliensi
18 Y1.1 = Tingkat
lamanya satuan waktu
waktu recovery
dalam bulan yang
saat krisis
dibutuhkan keluarga
nelayan untuk kembali
normal setelah
mendapatkan gangguan
eksternal
19 Y1.2 =
ketersediaan sumber nafkah
Banyaknya
yang dipilih oleh nelayan
pilihan sumber
pada saat terjadi krisis
nafkah nelayan
untuk kembali ke keadaan
normal
Tingkat resiliensi dilihat dari kedua variabel diatas, dengan
cara menjumlahkan total setiap kategori dan kemudian
dibagi dua. Tingkat resiliensi digolongkan menjadi dua
yaitu rendah dan tinggi

Desa Muara Binuangeun
a. Tinggi: jika pengeluaran ≤
Rp24 284 000
b. Sedang: jika pengeluaran
Rp13 713 000 < x < Rp24
284 000
c. Rendah: jika pengeluaran
≥ Rp24 284 000
Desa Cikiruh Wetan
a. Tinggi: jika pengeluaran ≤
Rp27 504 000
b. Sedang: jika pengeluaran
Rp15 559 000 < x < Rp27
504 000
c. Rendah: jika pengeluaran ≥
Rp15 559 000
a. Cepat : 0-1 bulan
b. Sedang : 2-3 bulan
c. Lambat : > 3 bulan

a. Tinggi: pilihan nafkah ≥ 5
b. Sedang: Pilihan nafkah 3-4
c. Rendah: pilihan nafkah 1-2
Rendah : skor ≤ 3
Tinggi : skor ≥ 4

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dua desa yaitu Desa Muara Binuangeun,
Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak dan Desa Cikiruh Wetan, Kecamatan
Cikeusik, Kabupaten Pandeglang. Kedua desa ini menjadi desa perbatasan antara
Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang. Desa ini terpisah oleh sebuah
muara yang juga menjadi batas kabupaten. Penelitian dilakukan mulai dari
Desember 2014 hingga Mei 2015 mulai dari penyusunan proposal hingga pada
tahap akhir penyelesaian analisis. Penelitian dilakukan secara berurutan perdesa
dengan didahului De