Aktivitas kitinase, peroksidase dan anticendawan In vitro dari ekstrak protein tanaman trichosanthes (cucurbitaceae)

(1)

AKTIVITAS KITINASE, PEROKSIDASE DAN

ANTICENDAWAN IN VITRO DARI EKSTRAK PROTEIN

TANAMAN TRICHOSANTHES (CUCURBITACEAE)

DEWI SUKMA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

SURAT PERNYATAAN

MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul :

AKTIVITAS KITINASE, PEROKSIDASE DAN ANTICENDAWAN IN

VITRO DARI EKSTRAK PROTEIN TANAMAN TRICHOSANTHES (CUCURBITACEAE)

adalah benar-benar karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, bukan hasil jiplakan atau tiruan serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

Bogor, Juli 2008

Dewi Sukma


(3)

ABSTRACT

DEWI SUKMA. Chitinase, Peroxidase and In Vitro Antifungal Activities of Protein Extract of Trichosanthes (Cucurbitaceae). Supervised by : ROEDHY

POERWANTO as the chairman, SUDARSONO, NURUL KHUMAIDA, I MADE ARTIKA and SURYO WIYONO as the member of advisory commitee.

Trichosanthes is a genus of Cucurbitaceae. Some species of this genus were reported containing bioactive protein such as Ribosome Inactivating Protein and chitinase. Studies on peroxidase were not much reported on these plants. The research was carried out to : 1) study morphology, growth, development, pest and disease of 3 Trichosanthes species 2) analyze chitinase and peroxidase activities from T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina, 3) analyzed the effect of salicylic acid (SA) and etefon (ETF) on the chitinase and peroxidase activities, 4) evaluate in vitro antifungal activity of crude protein extract of Trichosanthes.

The first part of the research showed the differences of morphological characters and growth habit of T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata and T. quinquangulata. T. cucumerina live as annual while the two others species lived as perennial plants. T. cucumerina var. anguina had more problem of pest and disease than T. tricuspidata and T. quinquangulata.

The second part of the research described the biochemical characters for

chitinase and peroxidase activities from some tissues of T. tricuspidata and T. cucumerina var. anguina. T. tricuspidata had the highest chitinase activity in

crude protein extract of in vitro shoots, calli and plant roots and peroxidase activity in plant roots grown in field. T. cucumerina var. anguina had the highest chitinase and peroxidase activities in crude protein extract of plant roots grown in field and calli. Roots of T. cucumerina var. anguina showed the highest chitinase activity in seedling, young and mature plants follow by stem and leaves.

The fourth part of the research showed that chitinase and peroxidase activities of calli crude protein extract of T. tricuspidata could be increased by SA. Adversely, ETF decreased the peroxidase activity of calli crude protein exract of T. tricuspidata. In T. cucumerina var. anguina, SA could not increase the chitinase activity but increase the peroxidase activity in crude protein exract of calli and plant roots grown in field.

The fifth part of the research showed that in spore germination assay, the crude protein from in vitro shoots of T. tricuspidata could inhibited the spore germination of Fusarium sp. from T. cucumerina var. anguina, Fusarium oxysporum from shallot, Puccinia arachidis from peanut and Pseudoperonospora cubensis from cucumber. The protein could not inhibit spore germination of

Curvularia eragrostidis. The leaves and roots crude protein extract of T. tricuspidata and the leaves, stem and roots protein extract from T. cucumerina

var. anguina inhibited the hypha growth of Helmithosporium tursicum in radial growth inhibition assay. Crude root protein extract of T. tricuspidata showed greater inhibition on hypa growth than leaves. In T. cucumerina var. anguina, crude protein extract from stem resulted greater inhibition on hypha growth of Helminthosporium tursicum than crude protein extract from root or leaves.


(4)

RINGKASAN

DEWI SUKMA. Aktivitas Kitinase, Peroksidase dan Anticendawan In Vitro dari Ekstrak Protein Tanaman Trichosanthes (Cucurbitaceae). Komisi Pembimbing : ROEDHY POERWANTO (Ketua), SUDARSONO, NURUL KHUMAIDA, I MADE ARTIKA, SURYO WIYONO (Anggota).

Trichosanthes merupakan salah satu genus dari famili Cucurbitaceae. Beberapa spesies dari genus ini menghasilkan protein bioaktif seperti Ribosome Inactivating Protein dan kitinase. Studi tentang peroksidase belum banyak di laporkan pada tanaman ini. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mempelajari morfologi, pertumbuhan, perkembangan, hama dan penyakit dari 3 spesies Trichosanthes, 2) menganalisis aktivitas enzim kitinase dan peroksidase dalam ekstrak kasar protein dari jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina, 3) menganalisis pengaruh perlakuan senyawa induser salicylic acid (SA) dan etefon (ETF) terhadap aktivitas enzim kitinase dan peroksidase dalam ekstrak kasar protein dalam jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina serta 4) mengevaluasi aktivitas anticendawan secara in vitro dari ekstrak kasar protein dari jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina.

Bagian pertama dari hasil penelitian menunjukkan perbedaan morfologi dari T.cucumerina var. anguina, T. tricuspidata, dan T. quinquangulata. Perbedaan lain juga terlihat pada kebiasaan hidup (annual/perenial) dan gejala kerusakan karena serangan hama dan penyakit. T. cucumerina var. anguina menghadapi lebih banyak masalah hama dan penyakit dibanding T. tricuspidata dan T. quinquangulata.

Bagian kedua dari penelitian menunjukkan karakter biokimia berupa aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari beberapa jaringan tanaman Trichosanthes. Ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata, kalus dan akar tanaman dari lapang memiliki aktivitas kitinase lebih tinggi dibanding daun. Aktivitas peroksidase paling tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein akar tanaman dari lapang. Pada T. cucumerina var. anguina aktivitas kitinase dan peroksidase paling tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman dari lapang dan kalus in vitro. Uji aktivitas kitinase dan peroksidase juga dilakukan pada ekstrak kasar protein dari akar, batang dan daun tanaman T. cucumerina var. anguina dari lapang yang berumur 3 Minggu Setelah Berkecambah (MSB), tanaman berumur 1 bulan setelah penanaman (1 BST) dan tanaman berumur 2 bulan setelah penanaman di polibag (2 BST). Hasil pengujian menunjukkan bahwa aktivitas kitinase dan peroksidase pada T. cucumerina var. anguina paling tinggi pada ekstrak kasar protein akar, diikuti oleh batang dan daun dan cenderung meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Akar juga menunjukkan aktivitas kitinase dan peroksidase yang tinggi pada bibit, tanaman muda dan tanaman dewasa.

Pada bagian ketiga dari penelitian ditemukan bahwa pada tanaman T. tricuspidata di lapang SA tidak meningkatkan aktivitas kitinase namun dapat


(5)

dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro. Sementara perlakuan ETF dapat meningkatkan aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein kalus T. tricuspidata namun menekan aktivitas peroksidase. Pada T. cucumerina var. anguina, SA tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada tanaman di lapang maupun pada kalus in vitro. Sebaliknya SA dapat meningkatkan aktivitas peroksidase pada akar tanaman T. cucumerina var. anguina di lapangan dan juga pada kalus in vitro.

Pada bagian ke empat dari penelitian ditemukan bahwa pada pengujian aktivitas anticendawan dengan uji perkecambahan spora, ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata dapat menghambat perkecambahan spora beberapa cendawan patogen tanaman yaitu Fusarium sp. dari tanaman T. cucumerina, Fusarium oxysporum dari bawang merah, Puccinia arachidis dari kacang tanah dan Pseudoperonospora cubensis dari ketimun. Namun protein tersebut tidak dapat menghambat perkecambahan spora Curvularia eragrostidis dari anggrek Dendrobium. Pada uji penghambatan pertumbuhan hifa, esktrak kasar protein dari daun dan akar tanaman T. tricuspidata menunjukkan penghambatan terhadap pertumbuhan hifa cendawan Helminthosporium turcicum.. Ekstrak protein dari akar menunjukkan efek penghambatan yang lebih

besar terhadap pertumbuhan hifa cendawan dibanding protein daun. Pada T. cucumerina var. anguina, ekstrak protein dari batang menunjukkan

penghambatan yang lebih besar terhadap pertumbuhan hifa cendawan Helminthosporium turcicum dibanding ekstrak protein dari akar atau daun.


(6)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

AKTIVITAS KITINASE, PEROKSIDASE DAN

ANTICENDAWAN IN VITRO DARI EKSTRAK PROTEIN

TANAMAN TRICHOSANTHES (CUCURBITACEAE)

DEWI SUKMA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

Judul Disertasi : Aktivitas Kitinase, Peroksidase dan Anticendawan

In Vitro dari Ekstrak Protein Tanaman Trichosanthes (Cucurbitaceae)

Nama : Dewi Sukma

Nomor Pokok : A361030031 Program Studi : Agronomi

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Roedhy Poerwanto, MSc. Ketua

Prof. Dr. Ir. H.Sudarsono, MSc. Dr. Ir. I Made Artika, MApp.Sc.

Anggota Anggota

Dr. Ir. Nurul Khumaida, MS. Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. H. Munif Ghulamahdi, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS


(9)

PRAKATA

Bismillaahirrahmanirrahiim. Puji dan syukur penulis sampaikan ke hadirat ALLAH SWT atas segala karunia dan petunjuk-NYA, sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Salawat dan Salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. pembawa cahaya dan petunjuk bagi kehidupan umat manusia hingga akhir zaman.

Disertasi dengan judul ”Aktivitas Kitinase, Peroksidase dan Anticendawan In Vitro dari Ekstrak Protein Tanaman Trichosanthes (Cucurbitaceae)” disusun berdasarkan percobaan-percobaan yang dilakukan di lapangan, di laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, dan di Laboratorium Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman, IPB.

Disertasi ini dapat diselesaikan atas kerjasama dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penghargaan dan ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada ketua komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Roedhy Poerwanto, MSc., yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi. Ungkapan penghargaan dan terimakasih juga penulis sampaikan kepada anggota komisi pembimbing : Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, MSc., Dr. Ir. Nurul Khumaida, MS., Dr. Ir. I Made Artika, Mapp.Sc., dan Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr., yang telah banyak membimbing, mengarahkan dan memberi masukan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. Terimakasih yang sebesar-besar-besarnya penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Sandra A. Azis, MS dan Dr.Ir. Rugayah yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada sidang terbuka.

Berbagai pihak juga telah banyak berperan sehingga penelitian dan penulisan disertasi dapat diselesaikan. Karena itu ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada :

1. Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS dan biaya penelitian melalui Program Hibah Bersaing, sehingga penulis dapat menyelesaikan Program S3 di Institut Pertanian Bogor dan melakukan penelitian yang menjadi bagian dari disertasi ini.


(10)

2. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB, Kepala Bagian Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura atas ijin dan dukungan yang diberikan sehingga penulis dapat menjalankan penelitian dan menyelesaikan penulisan disertasi ini dengan baik.

3. Staf Pengajar Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana, IPB yang telah memberikan ilmu selama penulis mengambil kuliah untuk program S3 di IPB.

4. Dr. Ir. Widodo, MSc. Yang telah mengijinkan penulis melaksanakan pengujian aktivitas anticendawan di Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman IPB.

5. Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. dan Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MSc. yang telah menguji penulis pada ujian Prakualifikasi Program Doktor.

6. Dr. Ir. Darda Efendi, MS selaku dosen penguji luar komisi pada sidang ujian tertutup.

7. Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura yang telah banyak memberikan bantuan, kerjasama dan dukungan dalam pelaksanaan tugas penulis sebagai staf pengajar dan juga pengertian selama penulis menyelesaikan disertasi.

8. Bapak/Ibu dan Rekan-Rekan yang selalu memberikan dukungan, semangat dan bantuan bagi penulis selama pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi, yaitu : Prof. Dr. Ir. Sri Setyati Harjadi, Dr. Sandra A. Azis, Dr. Trikoesoemaningtyas, Dr. Darda Efendi, Dr. Winarso D. Widodo, Dr. Adiwirman, Dr. Syarifah Iis Aisyah, Dr. M. Syukur, Dr. Rahmi Yunianti, Dr. Desta Wirnas, Ir. Ketty Suketi, MS., Ir. Supijatno, MS., Ir. Diny Dinarti, MS., Ir. Ani Kurniawati, MS., Evi T. Tondok, SP, MSc., Juang Gema Kartika, SP., dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam tulisan ini.

9. Rekan-rekan di Laboratorium dan pegawai Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB : Mbak Juju, Mbak Iip, Bu Ika, Mbak Pepi, Mbak Emi, Susi, Mas Agus, Bu Jun, Saiful, Pak Kohar, Pak Khaerudin dan berbagai pihak yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini.


(11)

10. Terimakasih yang khusus dan mendalam penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis : Bapak Mukhtar Syarif Dt. Mudo Nan Panjang, Ibu Rasima Ali atas kasih sayang, perjuangan dan doanya dalam membesarkan dan mendidik penulis.

11. Terimakasih kepada Bapak dan Ibu Mertua (Bapak Abdul Samad [alm] dan Ibu Soeparti, yang telah mendidik dan memberikan suami yang baik bagi penulis.

12. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada suami tercinta Ir. Susilan Hidayat serta ananda M. Imam Adi Wicaksana dan M. Fajar Ash Shiddieqy yang telah melengkapi dan memberikan kebahagian bagi kehidupan penulis dan atas segala pengertian, pengorbanan dan kesabarannya selama penulis menyelesaikan studi S3 ini.

13. Rasa terimakasih juga penulis sampaikan kepada kakak-kakak Penulis Deswita dan Holdani, Mas Budi, Mas Damar, Mas Pras, Mas Guntur, Mbak Sri, adek-adek Elda dan Yat, beserta keluarga, mamanda Sofyan Ali Dt. Reno Bijayo nan Panjang, serta kepada Umi Sartini dan Mamanda Ratius, Umi Harnelis dan Pak Etek Unin serta sanak famili lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam tulisan ini.

14. Terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian disertasi Penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.

Semoga bimbingan, bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak akan menjadi amal baik dan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan bagi kehidupan kita bersama. Amin

Bogor, Juli 2008


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat pada tanggal 4 April 1970 dari pasangan Mukhtar Syarif Dt. Mudo nan Panjang dan Ibu Rasima Ali, sebagai anak ketiga dari 5 bersaudara. Pada tahun 1997 penulis menikah dengan Ir. Susilan Hidayat dan dikaruniai dua orang anak Muhammad Imam Adi Wicaksana (10 tahun) dan Muhammad Fajar Ash Shiddieqy (5 tahun).

Pendidikan dasar diselesaikan tahun 1983 di SDN 1 Andalas. Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1986 di SMPN 2 Payakumbuh dan menengah atas di SMAN 3 Payakumbuh pada tahun 1989. Pada tahun 1989 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Pendidikan Sarjana diselesaikan pada tahun 1994 di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Tahun 2001 penulis menyelesaikan Program S2 di Program Studi Agronomi, Sekolah Pasca Sarjana IPB. Sejak tahun 1997 sampai sekarang penulis aktif sebagai Staf Pengajar di Jurusan Budidaya Pertanian (sekarang Departemen Agronomi dan Hortikultura) Fakultas Pertanian IPB.


(13)

DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xx

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Kerangka Berpikir dan Garis Besar Disertasi ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

Trichosanthes ... 10

Cendawan ... 11

Protein Anticendawan... 13

Kitinase.... ... 17

Peroksidase ... 20

Asam Salisilat ... 21

Etilen ... ... 23

BAB III. MORFOLOGI, PERTUMBUHAN, PERKEMBA-NGAN, HAMA DAN PENYAKIT 3 SPESIES TRICHOSANTHES ... 26 Abstrak ... 26

Abstract ... 27

Pendahuluan.... ... 28

Bahan dan Metode. ... 29

Hasil ... ... 30

Pembahasan ... 43

Simpulan ... 44

BAB IV. AKTIVITAS KITINASE DAN PEROKSIDASE DARI EKSTRAK PROTEIN ASAL KALUS, TUNAS IN VITRO, DAUN DAN AKAR TANAMAN T. tricuspidata Lour. ... 46 Abstrak ... 46


(14)

Abstract ... 47

Pendahuluan.... ... 48

Bahan dan Metode. ... 49

Hasil ... ... 52

Pembahasan ... 58

Simpulan ... 60

BAB V. AKTIVITAS KITINASE DAN PEROKSIDASE DARI BERBAGAI JARINGAN DAN TINGKAT PERKEM-BANGAN TANAMAN T. cucumerina var. anguina .... 61 Abstrak ... 61

Abstract ... 62

Pendahuluan.... ... 63

Bahan dan Metode. ... 64

Hasil ... 66

Pembahasan ... 76

Simpulan ... 79

BAB VI. INDUKSI AKTIVITAS KITINASE DAN PEROKSI-DASE PADA 2 SPESIES TRICHOSANTHES ... 81 Abstrak ... 81

Abstract ... 82

Pendahuluan.... ... 83

Bahan dan Metode. ... 84

Hasil ... ... 89

Pembahasan ... 106

Simpulan ... 112

BAB VII. AKTIVITAS ANTICENDAWAN IN VITRO DARI EKSTRAK KASAR PROTEIN TANAMAN TRICHOSANTHES ... 114 Abstrak ... 114

Abstract ... 115


(15)

Bahan dan Metode. ... 118

Hasil ... 122

Pembahasan ... 135

Simpulan ... 138

BAB VIII. PEMBAHASAN UMUM... 139

BAB IX. SIMPULAN UMUM DAN SARAN ... 145

Simpulan Umum ... 145

Saran ... 147

BAB X. DAFTAR PUSTAKA ... 148


(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1 Rataan ukuran buah dan benih T. cucumerina var.

anguina, T. tricuspidata dan T. quinquangulata ...

32

2. Ringkasan karakter morfologi buah T. cucumerina var. anguina, T. quinquangulata, T. tricuspidata ………..

32

3. Pertumbuhan tanaman Trichosanthes hingga 3 minggu setelah tanam di lapang………..

39

4. Keberhasilan menginduksi pembentukan kalus dalam berbagai media MS dengan penambahan berbagai konsentrasi NAA dan BA ...

53

5. Rataan bobot kalus pada 4 MST dari berbagai komposisi media MS dengan penambahan berbagai konsentrasi NAA dan BA ………..

53

6. Nilai total protein terlarut dan kadar protein pada ekstrak kasar protein dari berbagai jaringan tanaman T. tricuspidata ...

55

7. Aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein dari berbagai jaringan tanaman T. tricuspidata ...

56

8. Aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein dari berbagai jaringan tanaman T. tricuspidata ...

57

9. Rataan bobot kalus T. cucumerina var. anguina pada 4 MST dari berbagai komposisi media MS dengan penambahan berbagai konsentrasi NAA dan BA ...

66

10. Rataan total protein terlarut dan kadar protein dari kalus in vitro, daun dan akar tanaman dari lapang tanaman T. cucumerina var. anguina ………...

68

11. Rataan aktivitas kitinase per mg protein dan per gram bobot segar berbagai jaringan tanaman T. cucumerina var. anguina ...

69

12. Rataan aktivitas peroksidase per mg protein dan per gram bobot segar berbagai jaringan tanaman T. cucumerina var. anguina ...


(17)

No Judul Halaman 13. Rataan total protein terlarut dan kadar protein jaringan

pada daun, akar dan batang tanaman T. cucumerina var. anguina dari berbagai umur………

72

14. Rataan aktivitas kitinase pada ekstrak protein daun, akar dan batang tanaman T. cucumerina var. anguina dari berbagai umur………..

73

15. Rataan aktivitas enzim peroksidase dari ekstrak kasar protein total dari akar, batang dan daun tanaman T. cucu-merina var. anguina pada berbagai umur tanaman ……….

75

16. Rataan total protein terlarut dan kadar protein jaringan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricus-pidata yang diberi perlakuan SA...

89

17. Rataan total protein terlarut dan kadar protein jaringan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA...

90

18. Rataan total protein terlarut dan kadar protein jaringan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricus-pidata pada 2 dan 9 HSP SA ………...

90

19. Rataan aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA...

91

20. Rataan aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA pada 2 dan 9 HSP...

92

21. Rataan total protein terlarut (TPT) pada ekstrak kasar protein dari tanaman T. cucumerina yang diberi perlakuan SA...

93

22. Rataan kadar protein jaringan (KPJ) pada ekstrak kasar protein dari tanaman T. cucumerina yang diberi perlakuan SA...

94

23. Rataan aktivitas kitinase per mg protein pada ekstrak kasar protein dari tanaman T. cucumerina yang diberi perlakuan SA...

95

24. Rataan aktivitas kitinase per g BS jaringan tanaman T. cucumerina var. anguina yang diberi perlakuan SA...


(18)

No Judul Halaman 25. Rataan aktivitas kitinase per g BS jaringan pada pengaruh

interaksi antara waktu dan jenis jaringan T. cucumerina var. anguina yang diberi perlakuan SA...

97

26. Rataan aktivitas peroksidase per mg protein pada ekstrak kasar protein dari tanaman T. cucumerina var. anguina yang diberi perlakuan SA...

98

27. Rataan aktivitas peroksidase per g BS jaringan tanaman dari T. cucumerina var. anguina yang diberi perlakuan SA...

99

28. Rataan TPT dan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA 0.00 dan 0.05 mM ...

100

29. Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein tunas in vitro T. tricuspidata dengan SA 0.00 dan 0.025 mM...

100

30. Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA...

101

30. Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro T. cucumerina yang diberi perlakuan SA...

102

31. Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro T. tricuspidata yang diberi perlakuan etefon ...

104

32. Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro T. tricuspidata yang diberi perlakuan ETF...

105

33. Presentase perkecambahan spora dan pertumbuhan tabung kecambah pada uji perkecambahan spora Fusarium asal T. cucumerina var. anguina dengan protein asal tunas in vitro T. tricuspidata...

122

34. Presentase perkecambahan spora dan skor panjang tabung kecambah pada uji perkecambahan spora cendawan dengan protein asal tunas in vitro T. tricuspidata...


(19)

No Judul Halaman 35. Hasil pengujian kualitatif aktivitas ekstrak kasar protein

dari T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina terhadap pertumbuhan hifa cendawan Helminthosporium turcicum...


(20)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1. Kerangka Disertasi ... 8

2. Skema dinding sel cendawan struktur kimia kitin ... 12

3. Proses dan enzim yang terlibat dalam degradasi senyawa kitin

18

4. Lintasan biosintesis asam salisilat (Metraux 2002) ... 22

5. Pengaruh etilen terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman : (searah jarum jam dari atas) mendorong pematangan buah, penghambatan dalam ekspansi sel, menyebabkan triple response(pembelokan ujung apikal, pembengkokan radial dari hipokotil dan pemendekan akar pada perkecambahan benih, mendorong ketahanan terhadap layu dan nekrosis setelah mengalami infeksi patogen, mendorong pembentukan rambut akar, mempercepat senesen bunga dan mendorong absisi petal (Johnson dan Ecker 1998). ……….

24

6. Bentuk buah : (a). T. cucumerina var. anguina (buni, silindris panjang), (b). T. tricuspidata (buni silindris, oval). (c). T. quin-quangulata (buni silindris, bulat)………

31

7. Bentuk bagian dalam buah dan biji Trichosanthes : (a). isi buah dan (b) biji T. cucumerina var. anguina, (c) isi buah dan (d) biji T. tricuspi-data, (e) isi buah dan (f) biji T. quinquangulata………...

33

8. Bentuk permukaan daun Trichosanthes (a) bagian atas daun dan (b) bagian bawah daun T. cucumerina var. anguina, (c) bagian atas daun dan (d) bagian bawah daun T. tricuspidata, (e) bagian atas daun dan (f) bagian bawah daun T. quinquangulata………...

34

9. Morfologi bunga Trichosanthes (a) bunga jantan pada tandan bunga, (b) bunga jantan dilihat dari arah atas dan (c) bunga betina dari T. cucumerina var. anguina, (d) tandan bunga jantan, (e) bunga dilihat dari arah atas dan (f) satu bunga jantan dari T. tricuspidata………..


(21)

No Judul Halaman

10. Morfologi akar tanaman Trichosanthes sp : (a) akar tanaman Morfologi bibit dan tanaman muda Trichosanthes sp. (a) bibit dan (b) tanaman umur 1 bulan setelah tanam (BST) T. cucu-merina var. anguina, (c) bibit dan tanaman umur 1 BST T. tri-cuspidata, (e) bibit dan (f) tanaman muda 1 BST T. quinqu-angulata ………..

38

11. Hama dan gejala kerusakan tanaman Trichosanthes sp : (a) gejala Liriomyza pada bibit T. cucumerina, (b) Liriomyza pada bibit T. tricuspidata, (c) Liriomyza pada T. quinquangulata; (d) dan (e) ulat yang menyerang daun T. cucumerina var. anguina, (f) Epilachna pada T. cucumerina var. anguina (g) telur hama pada tangkai bunga, (h) larva Epilachna dan gejala serangannya pada daun, (i ) hama serangga (Hemiptera, Coreidae, n = nimpa, m = imago) penghisap cairan buah T. cucumerina var. anguina, (j) gejala keriting pada daun T. quinquangulatan, (k) bekas tusukan hama pada bagian bawah daun T. quinquangulata, dan (l) hama kumbang daun (spot cucumber beetle) yang menghisap cairan daun T. quinquangulata………...

41

12. Gejala penyakit dan patogen yang ditemukan pada Trichosanthes sp. T. cucumerina var. anguina : (a) busuk batang oleh cendawan, (b) cendawan Oidium sp. diatas permukaan daun, (c) gejala embun bulu (Pseudoperonospora cubensis), (d) busuk dari pinggir daun, (e) busuk ujung buah pada T. cucumerina var. anguina, (f) gejala penyakit keriting daun pada T. quinquangulata, (g) spora cendawan Oidium sp. (h) isolat Fusarium sp, dan (i) spora cendawan Fusarium sp. dari T. cucumerina var. anguina………..

42

13. Morfologi bahan tanaman dalam penelitian : kalus in vitro pada media : (a) N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), (b) N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), (c) N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA), (d) N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). (e) tunas in vitro (TIV) dalam media MS + BA 1 mg/l, serta (f) daun tanaman dari lapang (DLP) dan (g) akar tanaman dari lapang (ALP)...

54

14. Representasi jaringan yang dianalisis dalam percobaan 1: (a)eksplan untuk induksi kalus, (b, c, d) kalus pada media N1B1, N3B3 dan N4B4, (e) daun dan (f) akar tanaman dari lapang...


(22)

No Judul Halaman

15. Representasi bahan tanaman yang dianalisis dalam percobaan 2 : (a) bibit umur 3 MSB, (b) akar bibit, (c) daun tanaman umur 1 BST, (d) akar tanaman umur 1 BST, (e) daun dan buah tanaman umur 2 BST, (f) akar tanaman umur 2 BST...

71

16. Representasi bahan tanaman T. tricuspidata yang digunakan pada percobaan : (a). Tanaman dilapang umur 9 BST, (b). akar primer, (c). akar sekunder, (d). tunas in vitro (e). kalus in vitro

87

17. Representasi bahan tanaman T. cucumerina var. anguina yang digunakan dalam percobaan : (a) tajuk tanaman dan (b) akar tanaman berumur 2 MST, serta (c) kalus in vitro………

86

18. Penghambatan perkecambahan spora cendawan Fusarium sp. oleh protein asal tunas in vitro pada 24 jam setelah perlakuan : (a) isolat Fusarium sp. sumber spora, (b) spora awal sebelum perlakuan (c) K1 (kontrol bufer, tumbuh), (d) K2 (kontrol benlate, tidak tumbuh), (e) P1 [(protein 0.77 mg/ml), (f) P2 [(protein 0.031 mg/l), (g) P3 [(protein 0.015 mg/ml), dan (d) P4 [(protein 0.0077 mg/ml)……….

123

19. Penghambatan perkecambahan spora cendawan Fusarium oxysporum asal bawang merah oleh protein asal tunas in vitro pada 24 jam setelah perlakuan : (a) dan (b) K0 (kontrol bufer, tumbuh), (c) E0 (protein asal tunas in vitro), (d) E1 (protein asal tunas yang diberi perlakuan etefon 0.7 mM)………

124

20. Perkecambahan spora (a-f) cendawan (Puccinia arachidis) asal kacang tanah pada 24 jam setelah dikecambahkan dalam kontrol larutan bufer fosfat 50 mM pH 6, (g-i) kontrol benlate 1 mg/ml), (j-l) E0 (protein asal tunas in vitro), (m-o) E1 (protein asal tunas yang diberi perlakuan etefon 0.7 mM)…….

126

21. Peronospora cubensis pada ketimun : a. Gejala bercak pada daun, b. Bercak sumber spora untuk pengujian, c. Spora diujung sporangiofor di atas permukaan daun dilihat dengan mikroskop stereo, d. Bentuk spora cendawan……….

127

22. Penghambatan perkecambahan spora cendawan

Pseudoperonopora cubensis asal ketimun oleh protein asal tunas in vitro pada 24 jam setelah perlakuan : (a) K0 (kontrol bufer, tumbuh), (b) K1 (kontrol benlate 1 mg/ml), (c) E0 (protein asal tunas in Vitro), (d) E1 (protein asal tunas yang diberi perlakuan etefon 0.7 mM)……….


(23)

23. Cendawan Curvularia eragrostidis : (a) gejala serangan pada bunga anggrek Dendrobium, (b) kultur cendawan berumur 12 HST, (c). bentuk spora cendawan………

129

24. Perkecambahan spora cendawan Curvularia eragrostidis tanaman anggrek pada berbagai pada 24 jam setelah perlakuan : (a) K0 (kontrol bufer, tumbuh), (b) K1 (kontrol benlate 1 mg/ml), (c) E0 (protein asal tunas in Vitro), (d) E1 (protein asal tunas yang diberi perlakuan etefon 0.7 mM)………

130

25. Morfologi cendawan Helminthosporium turcicum yang diberi perlakuan ekstrak kasar protein akar dan daun T. tricuspidata pada 5 hari setelah perlakuan protein : (a) kontrol tampak atas , (b) kontrol tampak bawah, (c) Protein akar tampak atas, (d) protein akar tampak bawah, (e) protein daun tampak atas, (f) protein daun tampak bawah……….

133

26. Morfologi cendawan Helminthosporium turcicum yang diberi Perlakuan ekstrak protein akar, batang dan daun T. cucumerina 5 HSP : (a) kontrol tampak atas , (b) kontrol tampak bawah, (c) Protein akar tampak atas, (d) protein akar tampak bawah, (e) protein batang tampak atas, (f) protein batang tampak bawah, (g) protein daun tampak atas, (h) protein daun tampak bawah


(24)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan berbagai plasmanutfah tanaman yang belum banyak diteliti secara ilmiah manfaatnya. Salah satunya adalah genus Trichosanthes dari famili Cucurbitaceae. Backer dan Van Den Brink (1963) melaporkan 8 spesies Trichosanthes yang terdapat di Pulau Jawa yaitu

T. coriacea, T. cucumerina, T. anguina, T. globosa, T. ovigera,, T. villosa,

T. trifoliata dan T. bracteata. Rugayah (1999) menambahkan identifikasi morfologi, anatomi dan isozim dari 39 spesies (termasuk 2 varietas)yang terdapat di Malesia. Daerah Malesia tersebut meliputi Malesia bagian barat (Malay Peninsula, Sumatera, Borneo, Palawan dan Jawa), Malesia Tengah (Filipina, Sulawesi, Moluccas, Kepulauan Sunda Kecil), dan Malesia bagian Timur (Irian). Sebagian besar spesies Trichosanthes dimanfaatkan sebagai bahan obat kecuali

T. cucumerina var anguina atau dikenal dengan nama lokal paria belut, buah mudanya dapat dimakan sebagai sayuran.

Berbagai spesies dari famili Cucurbitaceae dilaporkan menghasilkan protein bioaktif yang disebut Ribosome Inactivating Protein (RIPs). RIPs merupakan protein yang dapat merusak ribosom dengan aktivitas N-glicosidase

melalui depurinasi rRNA sehingga menghambat proses sintesis protein (Barbieri

et al. 1993). RIP dari tanaman dapat menghambat sintesis protein pada mamalia, bakteri, cendawan dan tanaman dalam kondisi in vitro dan in vivo (Iglesias et al.

1993).

RIPs yang dijumpai pada jaringan tanaman Cucurbitaceae antara lain

momordin pada paria (Momordica charantia) (Dong et al. 1994), luffin pada blestru (Luffa cyllindrica L.) (di Toppi et al.1996), trichosanthin pada T. kirilowii

var. japonicum Kitam.(Savary dan Flores 1994), karasurin dari Trichosanthes kirilowii var. japonica (Kondo et al. 2002), trichoanguina pada T. anguina (Chow


(25)

berfungsi sebagai salah satu mekanisme defensif bagi tanaman disebabkan RIP memiliki aktivitas anticendawan, antibakteri bahkan antivirus (Roberts dan Seletrennikof, 1986). Overekspresi RIPs yang berasal dari biji barley pada tanaman tembakau meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cendawan (Logeman et al. 1992).

Protein lain yang berhubungan dengan respon ketahanan tanaman terhadap patogen adalah kitinase dan peroksidase. Kitinase dapat mendegradasi senyawa kitin yang merupakan komponen utama penyusun dinding sel cendawan. Sebagian besar cendawan filamentus mengandung senyawa kitin pada dinding sel hifanya. Kitinase berfungsi menghidrolisis ikatan β-1,4-glycoside pada biopolymer N-acetylglucosamine dalam senyawa kitin (Kasprzewska 2003). Kitinase juga termasuk dalam famili protein yang berhubungan dengan proses patogenesis pada tanaman (pathogenesis related (PR) protein)yaitu termasuk ke dalam PR-3, 4, 8 dan 11 (Lagrimini et al. 1997). Karasuda et al. (2003) melaporkan bahwa kitinase asal tanaman yam (Dioscorea opposita Thunb) dapat menghambat perkembangan penyakit embun tepung pada buah dan daun strawberi. Dengan demikian kitinase mempunyai potensi yang strategis untuk pengembangan metode pengendalian patogen cendawan pada tanaman. Sekuen asam amino dari enzim kitinase klas III dari Trichosanthes kirilowii telah dipublikasikan oleh Savary dan Flores (1997).

Peroksidase merupakan enzim yang terlibat dalam respon tanaman terhadap patogen dan termasuk ke dalam PR-9 (Lagrimini et al. 1997). Oku (1994) menyatakan bahwa peroksidase berperan dalam proses oksidasi dan polimerisasi prekursor untuk biosintesis lignin sementara lignin sendiri berfungsi sebagai barier fisik yang dapat menghambat infeksi patogen pada tanaman. Peroksidase juga menunjukkan penghambatan terhadap pertumbuhan cendawan dalam pengujian in vitro (Saikia et al. 2006). Aktivitas peroksidase yang tinggi pada tanaman terkait dengan ketahanan tanaman yang lebih tinggi terhadap patogen seperti yang pernah dilaporkan pada kacang tanah (Pujihartati et al.2006b).

Peroksidase banyak digunakan dalam industri dan aplikasi analitik, antara lain sebagai reagen dalam diagnosis klinik dan enzim immunoassay (Agostini et al. 2002). Peroksidase juga dapat digunakan untuk perlakuan limbah air yang


(26)

mengandung fenol dan amina aromatik (Klibanov et al. dan Wu et al. dalam Agostini et al. 2002), dalam proses biobleaching, dalam proses degradasi lignin, produksi bahan kimia dan bahan bakar dari pulp kayu, produksi alkaloid dimerik, dan dalam oksidasi dan biotransformasi senyawa organik (Ryan et al. dalam Agostini et al. 2002). Peroksidase sudah diproduksi secara komersial dari tanaman

horseradish (Armoracia sp.) (Krell et al. dalam Agostini et al. 2002) dan belum pernah diproduksi dari tanaman Trichosanthes. Melihat luasnya potensi pemanfaatan peroksidase, maka perlu diteliti potensi tanaman lain termasuk

Trichosanthes dalam menghasilkan peroksidase.

Protein atau enzim-enzim yang ada dalam tanaman dihasilkan dari proses biosintesis sebagai hasil langsung dari ekspresi gen penyandi protein atau enzim yang bersangkutan. Ekspresi suatu gen yang menyandi protein/enzim terjadi melalui serangkaian proses yang dimulai dari transkripsi untuk menghasilkan

mesenger RNA dan translasi untuk menghasilkan protein. Ekspresi gen yang sifatnya konstitutif berarti proses transkripsi dan translasi terjadi di semua tahapan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sedangkan ekspresi yang sifatnya

regulated berarti transkripsi dan translasi hanya terjadi pada jaringan tertentu, pada waktu tertentu, atau pada tingkat perkembangan tanaman tertentu.

Sebagian besar protein atau enzim yang berkaitan dengan respon ketahanan tanaman terhadap patogen, biosintesisnya terinduksi atau meningkat ketika tanaman terinfeksi patogen. Sejumlah senyawa tertentu seperti asam salisilat (SA), metil jasmonat (MJ), dan etephon (ETF) atau etilen (ETL) juga diketahui dapat meningkatkan ekspresi gen atau biosintesis dari protein atau enzim yang terkait dengan respon tanaman terhadap patogen. Senyawa-senyawa tersebut meningkat pada peristiwa Local Acquired Resistance (LAR) pada tanaman (Dang et al. 2001) dan Systemic Acquired Resistance (SAR) (Sticher et al. 1997). Asam salisilat merupakan regulator penting dalam induksi ketahanan tanaman terhadap patogen. Penyemprotan senyawa-senyawa tersebut secara eksogen dapat meningkatkan ekspresi gen-gen ketahanan pada tanaman Hal tersebut juga diperkuat dengan kenyataan bahwa tanaman mutan untuk biosintesis asam salisilat mengalami penurunan ketahanan terhadap penyakit (Sticher et al.


(27)

Eksplorasi enzim kitinase dan peroksidase dari berbagai spesies tanaman

Trichosanthes ada di Indonesia belum banyak di lakukan. Identifikasi jenis spesies dan bagian tanaman yang menghasilkan enzim tersebut dalam jumlah yang besar dapat menjadi dasar untuk eksplorasi gen penyandi kitinase dan peroksidase maupun untuk produksi peroksidase secara komersial. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap aktivitas kitinase dan peroksidase pada jaringan tanaman Trichosanthes masih perlu dipelajari sehingga dapat meningkatkan biosintesis ataupun aktivitas kedua enzim tersebut.

Tujuan Penelitian:

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui performan di lapangan (morfologi, pertumbuhan, perkembangan, hama dan penyakit) 3 spesies Trichosanthes (T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata dan T. quinquangulata).

2. Menganalisis aktivitas enzim kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina

dari lapangan dan kultur in vitro.

3. Menganalisis pengaruh perlakuan senyawa induser asam salisilat (SA) dan etefon (ETF) terhadap aktivitas enzim kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina.

4. Menguji aktivitas anticendawan dari ekstrak kasar protein tanaman

T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina.

Kerangka Berpikir dan Garis Besar Disertasi

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasikan sebelumnya, genus Trichosanthes berpotensi sebagai sumber protein bioaktif. Penelitian yang paling banyak dilakukan adalah spesies yang ada di China yaitu T. kirilowii.


(28)

T. kirilowii ini sudah lama digunakan sebagai bahan obat ataupun sebagai sumber protein bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, cendawan, virus, bersifat antikanker dan anti-HIV.

Sementara itu, di Indonesia tidak ditemukan spesies T. kirilowii. Akan tetapi, di Indonesia telah dikarakterisasi sekitar 39 spesies yang tumbuh di beberapa daerah seperti Jawa, Sumatera, Borneo dan Irian. Khusus di daerah Bogor, ditemukan spesies T. tricuspidata dan T. quinquangulata. Spesies yang dibudidayakan untuk dimanfaatkan sebagai sayuran T. cucumerina var. anguina,

ditemukan dibeberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Spesies-spesies yang ada di Indonesia kemungkinan besar juga mengandung potensi sebagai sumber protein bioaktif seperti yang terdapat pada T. kirilowii. Karena itu penelitian-penelitian untuk menggali potensi protein bioaktif dari tanaman

Trichosanthes sp. yang ada di Indonesia perlu dilakukan.

Sebelum analisa pada level biokimia dan molekuler dalam studi protein bioaktif dari tanaman, maka terlebih dahulu perlu dikenali morfologi dan keragaan tanaman di lapangan. Dalam hal ini, diduga bahwa tanaman-tanaman yang memiliki potensi sebagai sumber protein bioaktif akan memiliki karakter-karakter yang diduga berhubungan dengan sifat ketahanan tanaman terhadap patogen. Untuk itu dalam Bab III dari disertasi dipelajari performan di lapangan (morfologi, pertumbuhan dan perkembangan) dari 3 spesies Trichosanthes yaitu

T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata, dan T. quinquangulata. Hasil penelitian pada Bab III menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keragaan dari ketiga spesies yang diteliti. T. cucumerina var. anguina mengalami serangan hama

dan penyakit yang cukup banyak, diikuti oleh T. quinquangulata dan

T. tricuspidata. Berdasarkan keragaan ketiga spesies di lapangan terhadap

kejadian hama dan penyakit, maka diduga T. cucumerina var. anguina dan

T. tricuspidata memiliki sifat yang kontras, dimana T. cucumerina var. anguina

diduga rentan terhadap hama dan penyakit dan T. tricuspidata diduga sebagai spesies yang tahan terhadap hama dan penyakit.

Berdasarkan hasil penelitian pada Bab III seperti tersebut di atas, selanjutnya pada Bab IV diteliti 1 spesies yaitu T. tricuspidata dan pada Bab V diteliti spesies T. cucumerina var. anguina. Analisis dilakukan secara terpisah


(29)

pada masing-masing spesies untuk mengetahui karakter biokimia berupa aktivitas kitinase dan peroksidase dari masing-masing spesies. Analisis aktivitas kitinase dan peroksidase bertujuan untuk mengetahui apakah berbagai bagian tanaman, tingkat organisasi sel yang berbeda, maupun tingkat perkembangan tanaman menghasilkan aktivitas kitinase dan peroksidase yang sama besarnya atau berbeda. Analisis dilakukan pada bagian tanaman seperti akar, batang dan daun dan juga dari bahan yang dikulturkan secara in vitro seperti tunas dan kalus. Berdasarkan hasil penelitian pada Bab IV ditemukan bahwa beberapa bagian tanaman T. tricuspidata menghasilkan aktivitas kitinase yang berbeda, dimana aktivitas kitinase yang tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein dari tunas in vitro diikuti kalus dari media N4B4 (MS yang diberi NAA dan BA masing-masing 4 μM), dan akar tanaman dari lapangan. Sedangkan aktivitas peroksidase yang paling tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman di lapangan diikuti oleh tunas in vitro dan kalus dari media N4B4. Pada hasil penelitian Bab V dari T. cucumerina var. anguina, ditemukan bahwa aktivitas kitinase dan peroksidase yang paling tinggi adalah pada ekstrak kasar protein asal akar tanaman dari lapangan diikuti oleh kalus dari media N4B4.

Kitinase dan peroksidase termasuk ke dalam PR-protein yang biosintesisnya pada tanaman meningkat ketika terjadi serangan patogen (seperti cendawan, bakteri atau virus) maupun kondisi yang menyerupai adanya serangan patogen. Salah satu kondisi yang menyerupai terjadinya serangan patogen adalah peningkatan senyawa asam salisilat (SA) atau etilen (ETL). Kondisi tersebut dapat ditiru dengan memberikan senyawa SA atau ETL secara eksogen pada tanaman. Pada Bab IV dan V telah ditemukan bagian tanaman yang menunjukkan aktivitas kitinase dan peroksidase tinggi, karena itu pada Bab VI dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah perlakuan senyawa induser SA dan ETL (diberikan dalam bentuk etefon [ETF]) dapat meningkatkan aktivitas kitinase dan peroksidase dari ekstrak kasar protein tanaman. Pada T. tricuspidata, perlakuan senyawa induser SA diberikan pada akar tanaman di lapangan dan juga pada tunas dan kalus in vitro dan perlakuan senyawa ETF diberikan pada kalus in vitro. Sementara itu pada T. cucumerina var. anguina perlakuan senyawa SA diberikan pada akar tanaman di lapangan dan pada kalus in vitro. Hasil penelitian pada Bab VI


(30)

tersebut menunjukkan bahwa aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein tanaman

T. tricuspidata dapat ditingkatkan dengan perlakuan SA atau ETF pada kalus in vitro dan aktivitas peroksidase dapat ditingkatkan dengan perlakuan SA pada akar tanaman di lapangdan kalus in vitro. Sedangkan pada T. cucumerina var. anguina

perlakuan SA baik pada akar tanaman di lapangan maupun pada kalus in vitro

tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase namun dapat meningkatkan aktivitas peroksidase dari ekstrak kasar protein.

Potensi kandungan protein bioaktif dari tanaman dapat dievaluasi dari analisa aktivitas enzim seperti enzim kitinase dan peroksidase yang dilakukan pada Bab IV, V dan VI ataupun dengan cara menguji langsung aktivitas protein terhadap patogen tanaman misalnya cendawan. Cendawan merupakan patogen penyebab penyakit yang banyak menyerang tanaman, hewan maupun manusia. Pengendalian patogen cendawan pada tanaman dengan fungisida menimbulkan masalah-masalah baru seperti munculnya resistensi cendawan terhadap fungidisida, munculnya ras-ras patogen baru dan juga masalah keseimbangan ekosistem dan masalah kesehatan pada manusia karena adanya residu pestisida pada produk pangan, buah dan sayuran.

Pencarian sumber-sumber ketahanan dari plasmanutfah tanaman

Cucurbitaceae, termasuk Trichosanthes sp. merupakan alternatif untuk mengurangi masalah-masalah yang ditimbulkan karena penggunaan fungisida. Sifat ketahanan yang kemungkinan dimiliki oleh spesies-spesies dalam genus

Trichosanthes berpotensi untuk dipindahkan ke spesies lainnya dalam famili

Cucurbiatceae melalui pendekatan persilangan konvensional maupun bioteknologi dengan transformasi genetik tanaman.

Dengan landasan pemikiran seperti tersebut di atas maka dilakukan penelitian pada Bab VII yaitu pengujian bioaktivitas ekstrak kasar protein dari jaringan tanaman Trichosanthes terhadap cendawan. Pengujian dilakukan pada 5 cendawan patogen tanaman dari kelas yang berbeda. Ekstrak protein tanaman yang diuji adalah yang ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata (yang dari penelitian pada Bab IV menghasilkan aktivitas kitinase cukup tinggi) untuk pengujian penghambatan perkecambahan spora dan ekstrak kasar protein dari bagian tanaman dari lapang untuk penghambatan pertumbuhan hifa. Hasil


(31)

pengujian tersebut menunjukkan bahwa ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata menghambat perkecambahan spora 4 jenis cendawan patogen tanaman. Sementara dari uji penghambatan pertumbuhan hifa, ekstrak kasar protein tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina secara kualitatif terlihat menghambat pertumbuhan koloni hifa cendawan Helminthosporium tursicum.

Secara garis besarnya kerangka penelitian yang dilakukan seperti terlihat pada Gambar 1.


(32)

LANDASAN BERPIKIR

Keberagaman spesies

Trichosanthes

(T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata T. quinquangulata

BAB III. Studi Morfologi dan Evaluasi Hama dan

Penyakit Tanaman di Lapangan Perbedaan morfologi dan

keragaan ketahanan terhadap hama dan penyakit di

lapangan

PROSES LUARAN

Diketahui karakter morfologi dan spesies yang rentan (T. cucumerina dan dan tahan

(T. tricuspidata)terhadap hama dan penyakit di lapangan

Perbedaan keragaan ketahanan terhadap hama dan

penyakit di lapangan

Perbedaan karakter biokimia yang berhubungan dengan

aktivitas KTN & PRX

BAB IV & V.

Studi Aktivitas KTN & PRX dari T. tricuspidata

& T. cucumerina var.

anguina

Diketahui karakter biokimia aktivitas KTN & PRX tinggi yaitu tunas in vitro

(T. tricuspidata) dan akar (T. cucumerina var. anguina)

KTN dan PRX merupakan PR-Protein

Biosintesis Kitinase dan Peroksidase oleh Induser

PR-Protein seperti Salycilyc Acid (SA) dan Etilen (ETL)

BAB VI. Studi Induksi Aktivitas KTN dan PRX dari

Bagian Tanaman

T. tricuspidata & T. cucumerina var. anguina

T.tricuspidata : SA dapat meningkatkan aktivitas KTN dan PRX pada kalus. ETF meningkatkan KTN menekan PRX.

T. cucumerina var. anguina : SA tidak meningkatkan aktivitas KTN namun meningkatkan aktivitas PRX.

KTN & PRX terdapat dalam Ekstrak Kasar Protein Tanaman Trichosanthes

Kemungkinan Ekstrak Kasar Protein dapat menghambat

pertumbuhan cendawan yang memiliki kitin pada

dinding selnya

BAB VII. Uji Aktivitas Anticendawan dari Ekstrak

Kasar Protein Tanaman

Ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata menghambat perkecambahan spora Fusarium sp. Fusarium oxysporum, Puccinia arachidis & Pseudoperonospora cubensis dan tidak menghambat Curvularia eragrostidis. Ekstrak kasar protein tanaman


(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Trichosanthes

Trichosanthes merupakan genus terbesar dalam famili Cucurbitaceae yang terdiri dari sekitar 100 spesies yang tersebar di daerah tropik dan sub tropik Asia Timur, Malesia, Australia Tropik dan Fiji (Jeffrey, 1990 dalam Rugayah 1999).

Trichosanthes untuk pertama kalinya diterangkan oleh Linnaeus dalam Genera Plantarum tahun 1737 dengan menyampaikan 4 spesies yaitu T. anguina, T. nervifolia, T. cucumerina, T. amara. Untuk pulau Jawa, Blume dalam Rugayah (1999) mengemukakan 13 spesies dari genus Trichosanthes yang terbagi ke dalam 3 genera. Rugayah (1999) mengidentifikasi morfologi dan anatomi 39 spesies

Trichosanthes di Malesia antara lain T. borneesis (Kalimantan), T. cucumerina

var. anguina (Labuan, Jakarta, Bogor, Madiun, Madura), T. globosa (Gunung Bunder), T. montana (Situ Gunung), T. ovigera (Situ Gunung, Gunung Bunder, Gunung Halimun), T. pubera (Cianten), T. quinquangulata (Gunung Halimun, Bengkulu, Irian Jaya), T. tricuspidata (Gunung Bunder, Cibodas, Sukabumi, Banten, Gunung Salak, Siberut Sumatera), T. villosa (Cianten, Batu Malang), dan

T. wawrae (Gunung Halimun).

Ciri utama dari spesies-spesies Trichosanthes, sebagaimana tanaman

Cucurbitaceae lainnya, yaitu tumbuh merambat atau memanjat. Bentuk buah bervariasi, ada yang bulat atau bulat lonjong (oblong). T. cucumerina var anguina

buahnya berbentuk silinder bulat dengan warna hijau berbelang-belang putih, sehingga di beberapa daerah di pulau Jawa dinamakan dengan paria ular atau paria belut. T. tricuspidata memiliki daun menjari seperti paria (Momordica charantia) buah berbentuk oval dan berwarna merah menyala ketika matang.

T. quinquangulata memiliki daun yang lebih lebar bersegi lima, bentuk buah bulat dengan warna merah seperti T. tricuspidata.

Spesies yang sudah dibudidayakan adalah T. cucumerina var. anguina. Buah


(34)

T. cucumerina var. anguina mengandung air 94 g, protein 0.6 g, lemak 0.3 g, karbohidrat 4 g, serat 0.8 g, Ca 26 mg, Fe 0.3 mg, P 20 mg, vitamin A 235 IU,

vitamin B1 0.02 mg, B2 0.03 mg, niacin 0.3 mg dan vitamin C 12 mg).

T. cucumerina var. anguina juga menghasilkan glukosida elaterin, minyak biji dan pucinic acid (Gildemacher et al. dalam Siemonsma dan Piluek, 1994).

Cendawan

Cendawan merupakan protista eukariotik, heterotrofik yang dapat hidup sebagai saprofit maupun parasit (Hadioetomo et al. 1986). Selitrennikof (2001) menyatakan bahwa cendawan merupakan kelompok yang sangat besar karena terdapat lebih dari 250.000 spesies cendawan di dunia. Cendawan saprofit hidup dari bahan-bahan organik yang sudah mati sebaliknya parasit hidup pada makhluk hidup dan mengambil nutrisi dari inangnya. Cendawan yang bersifat parasit disebut juga sebagai patogen yang dapat menimbulkan gejala penyakit pada hewan, tumbuhan ataupun manusia yang menjadi inangnya.

Cendawan dikelompokkan ke dalam 4 kelas yaitu Phycomycetes, Ascomycetes, Basidiomycetes dan Deuteromycetes (fungi imperfecti). Pengelompokan tersebut terutama didasarkan pada tipe miselium, bentuk spora aseksual, spora seksual dan habitat alamiahnya. Phycomycetes sering disebut sebagai cendawan tingkat rendah yang tidak memiliki sekat (aseptat) pada hifanya, sementara 3 kelas lainnya memiliki hifa yang bersekat (septat). Phycomycetes menghasilkan spora aseksual berupa sporangiospora atau kadang-kadang konidia, sementara 3 kelas lainnya menghasilkan konidia. Spora seksual pada Phycomycetes berupa zigospora atau oospora. Pada Ascomycetes spora seksualnya berupa ascospora dan pada Basidiomycetes berupa basidiospora, sementara pada Deuteromycetes belum diketahui bentuk spora seksualnya.

Spora merupakan propagul untuk pembiakan dan penyebaran cendawan. Spora bervariasi dalam bentuk, warna dan ukurannya, ada yang berupa satu sel (uniseluler) atau terdiri dari beberapa sel (multiseluler). Spora pada cendawan tertentu kadang-kadang memiliki tekstur permukaan yang tidak rata (ada ornamen


(35)

khusus) seperti uredospora dari cendawan karat (Melampsora epita) dari pohon Wilow. Sebagian besar spora memiliki dinding sel yang kaku, lebih tebal dibanding dinding sel pada hifa, karena terdiri dari beberapa lapis sel. Dinding sel tersebut ada yang mengandung pigmen seperti melanin dan juga mengandung lemak. Kadar air pada spora relatif rendah dan spora juga menyimpan nutrisi cadangan berupa lemak, glikogen dan trehalosa (http://www. fungionline. org.uk/2spores/1spore_char.html).

Gambar 2. a. Skema dinding sel cendawan (Selitrennikof, 2001)

b. Struktur kimia kitin http://www.ocean.udel.edu/horseshoecrab/ Research/chitin.html)

a


(36)

Spora yang viabel biasanya akan segera berkecambah jika berada pada kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkecambahannya. Proses perkecambahan diawali oleh proses hidrasi, pembengkakan sel setelah proses hidrasi, peningkatan metabolisme, lalu pertumbuhan satu atau lebih tabung kecambah. Perkecambahan spora memerlukan air atau kelembaban yang relatif tinggi serta nutrisi. Untuk berkecambah, spora membutuhkan suplai nutrisi dari lingkungannya atau dengan menggunakan cadangan nutrisi yang ada di dalam sel spora tersebut.

Dinding sel cendawan disusun oleh senyawa β-glukan, kitin, lipid dan peptida (Selitrennikof 2001). β-glukan merupakan polimer dari sub unit glucan yang membentuk ikatan β-1,3/1,6-glucan, sedangkan kitin terbentuk dari ikatan 1,4-glicosidic dari sub unit 2-acetamido-2-deoxy-β-D-glucan (N-acetylgluco-saminide (GlcNac)) (Gooday, 1994, Ubhayasekera, 2005). Senyawa kitin ditemukan oleh Henry Braconnot tahun 1811 dan dinamakan sebagai “kitin” oleh A. Odier tahun 1823. Chitosan (hasil deasetilasi senyawa kitin) ditemukan oleh C. Rouget tahun 1859.

Protein Anticendawan

Selitrennikof (2001) menyatakan ada beberapa kelompok senyawa anticendawan antara lain PR-Protein, defensin, cyclophilin like-protein, glycine/histidin rich protein, RIPs, LTPs, killer proteins/killer toxin dan protease inhibitor. PR-protein merupakan protein yang terinduksi sintesisnya ketika terjadi proses patogenesis atau serangan patogen pada tanaman (Ubhayasekera, 2005). Sejumlah PR-protein juga dapat terinduksi sintesisnya oleh berbagai faktor antara lain stress kekeringan, salinitas, pelukaan, logam berat, oleh perlakuan elisitor endogen maupun eksogen; dan oleh perlakuan zat pengatur tumbuh tanaman (Karprezewska, 2003).

PR-protein dikelompokkan ke dalam 5 kelas protein yaitu PR-1, PR-2, PR-3, PR-4 dan PR-5. PR-1 protein terakumulasi pada tingkat yang tinggi setelah terjadinya infeksi patogen pada tanaman. PR-1 protein bersifat anticendawan yang diekspresikan pada tanaman transgenik dan juga pada uji aktivitas


(37)

Niderman et al. 1995). PR-1 telah ditemukan terekspresi antara lain pada padi, gandum, jagung, tembakau, Arabidopsis thaliana, dan barley (Agrawal et al.

2000; Bryngelsson et al. 1994; Molina et al. 1999; Muradov et al. 1993; Rauscher

et al.1999). PR-1 protein memiliki aktivitas anticendawan pada konsentrasi rendah terhadap sejumlah Uromyces fabae, Phytophthora infestans, and Erysiphe graminis (Niderman et al. 1995).

PR-2 Protein (β-glucanase) memiliki aktivitas β-endoglucanase yang mampu menghidrolisis ikatan 1,3 β-glucan yang ada pada dinding sel cendawan, terutama pada ujung hifa cendawan sehingga menyebabkan ujung hifa menjadi lemah, lisis dan mati. PR-2 protein dikelompokkan ke dalam 3 kelas berdasarkan runutan residu asam aminonya (Agrawal et al. 2000; Cote et al. 1991; Leah et al.

1991). Glukanase Klas I merupakan protein yang bersifat basic yang ditemukan pada vakuola tanaman dengan berat molekul sekitar 33 kDa. Sedangkan glukanase kelas II dan III merupakan protein yang bersifat acidic dan ditemukan ekstraseluler dengan berat molekul sekitar 36 kDa, serta aktif pada konsentrasi sekitar 50 µg/ml. PR-2 protein menghambat cendawan Rhizoctonia solani yang menyerang tanaman dan Candida albicans serta Aspergillus fumigatus yang menginfeksi manusia. Aktivitas anticendawan PR-2 diketahui berdasarkan hasil uji in vitro dan hasil uji overekspresi overekspresi pada tanaman transgenik (Jach

et al. 1995).

PR-3 proteins (chitinase) memiliki berat molekul antara 26-43 kDa (Nielsen

et al. 1997). Kitinase dikelompokkan menjadi 5-6 klas (Fukamizo et al. 2003). Kitinase Klas I memiliki domain N terminal yang kaya residu sistein. Kitinase klas II memiliki sekuen yang sama dengan klas I tetapi tidak memiliki domain N-terminal yang kaya residu sistein. Kitinase klas III tidak memiliki kesamaan runutan asam amino dengan klas lainnya dan mempunyai berat molekul 28-30 kDa. Kitinase klas IV menyerupai kitinase klas I tetapi mempunyai ukuran yang lebih kecil karena delesi. Kitinase klas V menunjukkan kesamaan sekuen dengan eksokitinase bakteri dan memiliki berat molekul 41-43 kDa.

Kitinase sudah diisolasi dari bakteri, cendawan, dan tanaman (tembakau, timun, kacang-kacangan dan biji-bijian) (Selitrennikof 2001). Kitinase mempunyai aktivitas anticendawan terhadap Trichoderma reesei, Alternaria


(38)

solani, Alternaria radicina, Fusarium oxysporum, Rhizoctonia. solani, Guignardia bidwellii, Botrytis cinerea, and Coprinus comatus. Cara kerja kitinase dalam menghambat pertumbuhan cendawan adalah dengan mendegradasi polimer kitin sehingga melemahkan dinding sel cendawan. Kitinase dan glukanase dapat bekerja secara sinergis untuk menghambat pertumbuhan cendawan berdasarkan hasil uji secara in vitro dan uji overekspresi dalam tanaman transgenik ( Jach et al. 1995).

PR-4 (chitin-binding) protein merupakan protein yang mengikat kitin, memiliki berat molekul 13-14.5 kDa, dan terdiri atas 2 klas (Friedrich et al. 1991; Hejgaard et al. 1992; Ponstein et al. 1994; Van Damme et al. 1999). PR-4 protein klas 1 menyerupai hevein dan termasuk ke dalam superfamili chitin-binding lectin. Sedangkan PR-4 protein klas II tidak memiliki domain chitin-binding. PR-4 protein telah berhasil diisolasi dari tanaman kentang, tembakau, barley dan tomat. Mekanisme penghambatan pertumbuhan cendawan oleh PR-4 protein diduga dihasilkan dari proses ikatan PR-4 protein terhadap senyawa β-chitin melalui mekanisme yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan, sehingga mengakibatkan terganggunya polaritas sel dan terhambatnya pertumbuhan cendawan (Bormann et al. 1999). Sementara mekanisme penghambatan pertumbuhan cendawan oleh PR-4 protein klas II belum sepenuhnya dapat dijelaskan.

PR-5 protein tidak termasuk enzim tetapi merupakan protein yang bersifat anticendawan dengan merusak membran fungi. PR-5 protein telah berhasil diisolasi dari jagung dan disebut sebagai zeamatin serta dari tembakau dan disebut sebagai osmotin. Osmotin mempunyai bobot molekul 24 kD, terakumulasi dalam vakuola selama adaptasi sel tembakau (Nicotiana tabacum

var. Wisconsin 38) terhadap cekaman osmotik (Singh. et al, dalam Cheong et al, 1997). PR-5 protein juga telah berhasil dimurnikan dan dikarakterisasi dari daun labu (pumpkin). PR-5 protein dari labu tersebut mempunyai bobot molekul 28 kD dan dapat menghambat pertumbuhan hifa Fusarium oxysporum dan Neurospora crassa dalam uji in vitro. (Cheong et al. 1997).

RIPs (Ribosome Inactivating Proteins) merupakan senyawa RNA N-glikosidase yang melepaskan purin dari rRNA sehingga menahan atau


(39)

menghambat sintesis protein karena rusaknya ribosom (Barbieri et al. 1993; Ferreras et al. 1995; Langer et al. 1996; Pu et al. 1996; Taylor et al. 1990). RIPs dari tanaman dapat menghambat sintesis protein pada mamalia, bakteri, cendawan dalam kondisi in vitro dan in vivo. Tanaman penghasil RIP melindungi ribosomnya sendiri dari kerusakan oleh RIPs yang dihasilkannya dengan menempatkan RIPs dalam vakuola atau terintegrasi dalam dinding sel (Kataoka et al. 1991).

RIPs dikelompokkan menjadi 3 tipe. RIP tipe 1 merupakan N-glicosidase rantai tunggal dengan bobot molekul antara 11-30 kDa. RIP tipe 2 memiliki rantai ganda yaitu N-glycosidase (rantai A) dan rantai B (cell-binding lectin) dengan bobot molekul hingga 60 kDa (Zhang et al. dalam Selitrennikof, 2001). RIP tipe 2 ada yang toksik seperti ricin and nontoksik seperti ebulin 1 dan nigrin b. RIP tipe 3 memiliki 4 rantai yang disusun membentuk dua dimmer dari 2 tipe RIP. RIP telah diisolasi dari berbagai jenis tanaman antara lain Mirabilis expansa, Pisum sativum, Momordica charantia, Ricinus communis, Viscum album, dan Tricosanthes kirilowii (Selitrennikof, 2001).

RIP berpotensi digunakan dalam bidang pertanian sebagai antivirus, antibakteri dan anticendawan untuk proteksi tanaman (Vivanco et al. 1997). Logeman (1993) melaporkan aktivitas anticendawan in vitro dari RIP asal biji barley dan peningkatan ketahanan terhadap patogen cendawan pada tanaman tembakau transgenik yang mengekspresikan RIP biji barley (Logeman et al., 1992).

Banyak peneliti yang telah melaporkan tentang hasil pengujian aktivitas antimikroba dari protein bioaktif atau peptida antimikroba secara in vitro. Beberapa metoda yang digunakan untuk pengujian aktivitas anticendawan dari peptida antimikroba secara in vitro adalah dengan radial growth inhibiton assay

(Schlumbaum et al. 1986), germinated spores antifungal bioassays, microplate antifungal bioassays, dan spore germination assays (Rajasekaran 2001). Pada

radial growth inhibition assay aktivitas penghambatan pertumbuhan cendawan dilihat berdasarkan penghambatan pertumbuhan hifa cendawan. Potongan cendawan ditempatkan ditengah media PDA pada petridish dan senyawa yang akan diuji diteteskan ke potongan kertas saring pada beberapa tempat di sekitar


(40)

cendawan. Germinated spore antifungal bioassays menggunakan konidia yang sudah dikecambahkan. Daya penghambatan senyawa bioaktif dilihat berdasarkan jumlah pembentukan koloni cendawan setelah konidia yang berkecambah diinkubasi dengan senyawa bioaktif.

Microplate antifungal bioassay dilakukan dengan menggunakan miselia cendawan yang diblender. Konsentrasi fragmen miselia dihitung dengan haemacytometer. Pengujian aktivitas protein dilakukan dengan menginkubasi miselia dengan protein bioaktif dalam sumur-sumur pada plat mikro. Spore germination assay dilakukan dengan melihat pengaruh senyawa bioaktif terhadap perkecambahan konidia cendawan. Morfologi tabung perkecambahan dilihat secara mikroskopik.

Kitinase

Kitinase (E.C. 3.2.1.14) merupakan poly(1,4-(N-acetyl-β-D-glucosamini de)-glycanohydrolase. Kitinase terdistribusi luas di berbagai organisme yang memiliki kapasitas kitinolitik di alam meliputi tanaman, mikroorganisme bakteri dan cendawan, artropoda, dan beberapa hewan tingkat tinggi seperti amfibi, ikan dan mamalia (Ubhayasekera, 2005). Kitinase termasuk famili 18 dan 19 dari

glycoside hydrolase (GH).

Kitinase bekerja memotong secara acak ikatan glikosida dari GlcNac untuk menghasilkan oligosakarida terlarut, terutama kitobiosa yang selanjutnya akan dihidrolisis oleh β-N-acetylglucosaminidase menjadi GlcNac (Orikoshi et al.

2005). Enzim yang terlibat dan produk yang dihasilkan dari degradasi polimer kitin dapat dilihat pada Gambar 3.

Kitinase pada tanaman tergolong sebagai endokitinase, yang merupakan protein dengan berat molekul 25 – 40 kDa, isoeletric point (3-10), dan yang mengalami modifikasi pasca translasi seperti glikosilasi dan prolil-hidroksilasi (Sticher et al. 1992; Colinge et al. 1993; Nielsen et al. 1994). pH 4-9 merupakan rentang pH optimum untuk aktivitas kitinase (Khan, 2002). Beberapa kitinase


(41)

seperti kitinase klas III dari yam memiliki pH optimum yang berbeda tergantung pada substratnya (Tsukamoto et al. 1984).

Gambar 3. Proses dan enzim yang terlibat dalam degradasi senyawa kitin (Sumber : Ubhayasekera, 2005)

Kitinase pada cendawan misalnya kitinase klas 5 yang dikode oleh gen

ChiB dari Aspergilus nidulan (Yamazaki et al. 2006). ChiB yang diekspresikan di

E. coli menunjukkan aktivitas hidrolisis kitin. Delesi pada ChiB tidak mempengaruhi perkecambahan dan pertumbuhan hifa tapi menurunkan aktivitas kitinase intraseluler dan ekstraseluler. Ekspresi ChiB meningkat ketika cendawan mengalami starvasi karbon (suatu kondisi yang menginduksi autolisis hifa),


(42)

sehingga ChiB diduga kuat berperan penting dalam autolisis cendawan

A. nidulans.

Berdasarkan review oleh Kasprezewska (2003) yang dirangkum dari berbagai penelitian tentang kitinase, ditemukan bahwa pada tanaman sehat, beberapa bentuk kitinase yang diakumulasikan vakuola dan apoplastik disintesis secara konstitutif. Kitinase Klas I diekspresikan secara konstitutif dan terakumulasi dalam jumlah banyak pada bunga dan akar beberapa tanaman. Kitinase Klas III diekspresikan secara konstitutif pada jaringan vaskular, hidatoda dan sel penjaga Cucumis sativus dan Arabidopsis thaliana. Ekspresi konstitutif meningkat dengan bertambahnya umur tanaman dan aktivitas kitinolitik lebih tinggi pada daun tua dibandingkan daun muda. Pada Cucumis sativus, ekspresi gen penyandi kitinase Klas III meningkat secara gradual selama pertumbuhan tanaman dan akumulasi transkrip gen menurun dari bagian jaringan tanaman yang tua ke bagian tanaman yang muda. Tanaman Arabidopsis thaliana menunjukkan ekspresi gen penyandi kitinase (gen chi) yang tinggi akibat perlakuan etilen. Pola ekspresi kitinase ada yang diregulasi mengikuti perkembangan tanaman (developmentally) dan diregulasi spesifik jaringan atau organ (tissue or organ-specific regulation).

Stimulasi atau induksi ekspresi gen kitinase karena adanya serangan patogen sering ditemukan (Collinge et al. 1993; Bishop et al. 2000), dengan karakter ekspresi sistemik atau lokal (de A Gerhardt et al. 1997; Meier et al.

1993). Pada Arabidopsis thaliana, infeksi dengan patogen yang imkompatibel menyebabkan akumulasi cepat dari mRNA kitinase Klas IV (Gerhardt et al.

1997). Pada Cucumis sativus, induksi sistemik dari Kitinase Klas III berkorelasi dengan Systemic Acquired Resistance (SAR). Induksi yang sama terjadi ketika tanaman diperlakukan dengan salicylic acid (Lawton et al. 1994).

Induksi kitinase pada kondisi in vitro menunjukkan hasil yang sangat kompleks. Pada kultur in vitro Nicotiana sp., adanya auksin dan sitokinin menekan ekspresi gen kitinase Klas I. Pada kalus dan suspensi sel Cucurbita sp., gen kitinase diekspresikan dalam media dengan atau tanpa penambahan 2,4D (Arie et al. 2000). Perlakuan etilen eksogenus meningkatkan aktivitas kitinase pada kultur kalus Dioscorea japonica (Buttner et al. 1997). Faktor lain yang juga


(43)

dapat meningkatkan aktivitas kitinase adalah cekaman kekeringan, suhu rendah dan salinitas yang tinggi (Fumikazo et al. 2003).

Peroksidase

Peroksidase (PRX) merupakan enzim yang berfungsi mereduksi senyawa peroksida (H2O2) sehingga dihasilkan air dan produk yang teroksidasi. Peroksida (H2O2) merupakan produk akhir yang umumnya terbentuk dari

metabolisme oksidatif pada tanaman dan merupakan oksidan yang kuat serta bersifat toksik terhadap sel tanaman jika terakumulasi dalam jumlah besar. Untuk mencegah hal tersebut, sel-sel eukariotik mengisolir enzim penghasil senyawa peroksida dalam organel bermembran yang disebut peroksisom. Dalam peroksisom tersebut juga terdapat enzim peroksidase yang berfungsi untuk mereduksi H2O2 menjadi air, sehingga menjadi tidak berbahaya. Dalam proses

reduksi tersebut digunakan donor elektron dari amina aromatik, fenol, enediol (seperti ascorbic acid). Zat pewarna (dye) seperti o-dianisidine dapat digunakan sebagai donor elektron, karena sesudah reaksi zat tersebut akan menjadi berwarna (http://employes. oneonta.edu/helsert1/enzyme.html).

H

2

O

2

+ Colorless

Dye

(reduced)peroxidase

> H

2

O

+ Colored

Dye

(oxidized)

Beberapa isoform baru peroksidase dapat diinduksi produksinya ketika terjadi interaksi inang dan patogen (Svalheim dan Robertson, 1990; Kerby dan Somerville 1989 dalam Harrison et al. 1995). Peroksidase (EC 1.11.1.7 donor:hydrogen peroxide oxidoreductase) berperan dalam lignifikasi dinding sel (Walter 1992, Lopez-Serrano et al. 2004), cross lingking komponen dinding sel (Bradley 1992), penyembuhan luka (Sherf et al. 1993) dan oksidasi auksin (Grambow dan Langenbeck-Schwich 1983). Induksi ekspresi isoform peroksidase oleh patogen juga berasosiasi dengan respon Systemic Acquired Resistance (Ye et al. 1990; Irving dan Kuc, 1990).


(44)

Peroksidase termasuk dalam famili PR-9 dan telah berhasil dikarakterisasi dari sejumlah tanaman tingkat tinggi antara lain tembakau (Lagrimini et al. 1987), kentang (Espelie et al. 1986), barley (Kristensen et al. 1999), ovul kapas (Mellon, 1991), xylem poplar (Christensen et al. 1998), selada (Bestwick, et al. 1998), dan biji radish (Kim dan Lee, 2005). Keterlibatan peroksidase dalam tahapan polimerisasi lignin diduga secara langsung berkaitan dengan meningkatnya ketahanan fisik tanaman terhadap infeksi patogen maupun kerusakan fisik (Chitoor et al. 1999).

Asam Salisilat

Asam salisilat (SA) merupakan senyawa yang umum terdapat dalam jaringan tanaman dan dikenal sebagai regulator berbagai proses fisiologis yang berkaitan dengan termogenesis atau dalam respon tanaman terhadap patogen. Asam salisilat disintesis dari lintasan shikimat-phenilpropanoid (Sticher et al.

1997). Asam salisilat disintesis dari fenilalanin melalui dua jalur setelah diubah terlebih dahulu menjadi asam sinamat. Asam sinamat kemudian bisa diubah menjadi benzyl glucosa atau o-coumaric acid sebelum diubah menjadi asam salisilat. Lintasan biosintesis asam salisilat seperti terlihat pada Gambar 4.

Kaitan asam salisilat dengan reaksi ketahanan tanaman terhadap patogen sudah banyak dilaporkan. Pada Arabidopsis thaliana, asam salisilat dihasilkan secara lokal maupun sistemik setelah infeksi patogen dan mendorong terbentuknya Salicylic acid-dependent (SAR) (Summermatter et al. 1995). Tanaman mutan yang tidak dapat mengakumulasi asam salisilat setelah infeksi patogen terlihat lebih rentan terhadap cendawan maupun bakteri dan tidak dapat menginduksi biosintesis Pathogenesis-Related Protein-1 (PR1), sebagai marker untuk SAR yang terinduksi oleh asam salisilat (Nawrath dan Metraux, 1999; Dewdney et al. 2000; Dong, 2001).

Perlakuan SA eksogen pada berbagai spesies tanaman dapat menginduksi PR protein pada lokasi perlakuan dan juga pada bagian tanaman lainnya menunjukkan bahwa SA berperan sebagai signal untuk SAR, suatu bentuk


(45)

ketahanan tanaman yang terinduksi untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap infeksi dan serangan patogen berikutnya (Ward, et al. 1991; Delaney et al. 1994; Kessman et al. 1994; Pieterse et al. 1998; Redman et al. 1999; Audenaert et al. 2002; Ferrari et al. 2003).

Induksi biosintesis protein yang berhubungan dengan ketahanan pada tomat yang dikode oleh Intracelllular Pathogenesis-Related Gene yang dinamakan TSI-1 (Tomato Stress Induced-1) dapat terjadi dengan perlakuan asam salisilat secara eksogen. Ekspresi maksimal dari TSI-1 diperoleh pada perlakuan SA 10 mM pada 48 jam setelah perlakuan (Vidya et al. 1999).


(46)

Etilen

Etilen (ETL) merupakan hormon tanaman yang memiliki rumus kimia yang paling sederhana dalam bentuk gas alkana (CH2=CH2). Menurut Johnson

dan Ecker (1998), etilen mempunyai peranan yang besar dalam perubahan morfologi tanaman sepanjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti terlihat pada Gambar 5.

Pada fase perkecambahan etilen menyebabkan triple responses berupa penghambatan pemanjangan sel, pembengkokan batang (epikotil) dan menekan pertumbuhan apikal (Goeschl et al. dalam Johnson dan Ecker 1998). Ketika tanaman dewasa, etilen mempengaruhi determinasi seks dan mendorong pematangan buah (Abeles et al. 1992). Etilen juga melindungi tanaman dari tekanan lingkungan seperti memperkuat batang terhadap terpaan angin, membantu tanaman yang tergenang air untuk bertahan hidup dan mendorong ketahanan tanaman terhadap patogen (Dolan, 1997). Peranan penting etilen lainnya adalah dalam senesen bunga dan daun tanaman (Bleecker dan Patterson 1997).

Biosintesis etilen dalam tanaman pertama kali ditemukan pada akhir tahun 1970-an oleh Shang Fa Yang dan koleganya dari University of California, sehingga siklus dalam biosintesis etilen dikenal sebagai siklus Yang (Srivastava, 2002). Secara ringkas lintasan biosintesis diawali dari perubahan metionin menjadi S-adenosil-L-metionin (Adomet atau SAM). SAM kemudian dapat melalui dua jalur yaitu diubah menjadi 1-Aminocyclopropan-1-carboxylic acid (ACC) dan diubah selanjutnya menjadi etilen (C2H4) atau diubah menjadi

Metiltioadenosin (MTA) yang selanjutnya diubah menjadi metiltioribosa dan berikutnya kembali menjadi metionin.

Disamping lintasan biosintesis yang umum seperti tersebut di atas, etilen pada tanaman tingkat tinggi dapat dihasilkan dari oksidasi berbagai jenis molekul organik khususnya asam lemak rantai panjang yang tidak terproteksi. Beberapa enzim seperti lipoxigenase dan peroksidase dapat secara nonspesifik mengkatalisis oksidasi dan menghasilkan sejumlah etilen.


(1)

Sticher L, Mauch-Mani B, Metraux, J.P (1997). Systemic acquired resistance. Annu. Rev. Phytopathol. 35: 235-270

Stintzi A, Heitz T, Prasad V, Wiedemann-Merdinoglu, Kauffman, S., Geoffroy, P., Legrand, M., Fritig, B. 1993. Plant’pathogenesis-related proteins and their role in defense against pathogens. Biochimie 75(8): 687-706

Stoner MR, Humprey CA, Coutts DJ, Remi Shih NJ, McDonald KA, Jackman AP. 1997. Kinetics of growth and ribosome in activating protein production from Trichosanthes kirilowii plant cell cultures in 5-L bioreactor. Biotechnol.Prog 13:799-804

Sukma D, Sudiatso S, Harran S, Sudarsono. 2003. Pengaruh jumlah eksplan, umur kultur dan kasein hydrolisate terhadap biomassa dan total protein kultur akar rambut paria belut (Trichosanthes cucumerina var. anguina L. Haines). Hayati Vol. 10 (2):48-54.

Sukma D, Artika IM, Tondok ET. 2006. Eksplorasi Protein Antimikroba dari Trichosanthes sp. Melalui Sistem Kultur Akar Normal dan Akar Transgenik In Vitro. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XIV. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Summermatter KL, Sticher L, Metraux JP. 1995. Systemic responses in

Arabidopsis thaliana infected and challenge with Pseudomonas syringae pv syringae. Plant Physiol. 108, 1379-1385.

Syukur, M. 2007. Analisis Genetik dan Studi Pewarisan Sifat Ketahanan Cabai (Capsicum annum L.) terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tahiri-Aloui A, Dumas-Gaudot E, Gianinazzi S. 1993. Immunocytochemical localization of pathogenesis-related PR-1 proteins in tobacco root tissues infected in vitro by the black root rot fungus Chalara elegans. Physol. Mol. Plant Pathol. 42:69-82.

Taylor BE, Irvin JD. 1990. Depurination of plant ribosomes by pokeweed antiviral protein. FEBS Lett. 273:144–146.

Tsukamoto T, Koga D, Ide A, Ishibashi T, Horino-Matsushige M, Yagshita K, Imoto T. (1984) Purification and some properties of chitinases from yam, Dioscorea posita THUMB. Agric. Biol. Chem. 48: 931-939

Tyson H, Juy PY. 1967. Peroxidase activity in Linum usitatissimum L. Annals Bot. 31:489-495.


(2)

162 Ubhayasekera W. 2005. Structural Studies of Cellulose and Chitin Active

Enzyme. Doctoral Thesis. Swedish of Agricultural Science. Uppsala. 53p.

Van Buuren M, Neuhauss JM, Shinshi H, Ryals J, Meins F. 1992. The structure and regulation of homeologous tobacco endochitinases genes of Nicotiana sylvestris and N. tomentosiformis origin. Mol. Gen. Genet. 232:460-469.

Van Damme EJ, Charels D, Roy S, Tierens K, Barre A, Martins JC, Rouge P, Van Leuven F, Does M, Peumans W.J. 1999. A gene encoding a hevein-like protein from elderberry fruits is homologous to PR-4 and class V chitinase genes. Plant Physiol. 119:1547–1556.

Van Loon LC, Pierpoint WS, Boller T, Conejero V. 1994. Recommendations for naming plant pathogenesis-realted proteins. Plant Mol. Biol. Rep. 12:245-264.

Van Loon LC, van Strien EA. 1999. The families of pathogenesis related proteins, their activities, and comparative analysis of PR-1 type proteins. Physiol.Mol.Plant Pathol. 55:85-97.

Van Loon LC. Occurence and properties of plant pathogenesis-related proteins. In: Datta SK, Muthukrishnan S, editors. Pathogenesis related proteins in plants. Boca Raton, FL: CRC Press; 1999. p. 1–19.

Vidya CSS, Manoharsan M, Sita GL. 1999. Cloning and characterization of salicylic acid-induced, intracellular pathogenesis related gene from tomato (Lycopersicon esculentum). J. of Biosci... 24(3): 287-93

Vivanco JM, Flores HE. 2000. Biosynthesis of ribosome inactivating protein from callus and cell suspension cultures of Mirabilis expansa (Ruiz & Pavon). Plant Cell Reports 19:1033-1039

Ward ER, Uknes SJ, Williams SC, Dincher SS, Wiederhold DL, Alexander DC, Ahl-Goy P, Me´traux JP, Ryals JA. 1991. Coordinate gene activity in response to agents that induce systemic acquired resistance. Plant Cell 3:1085–94.

Hou WC, Chen YC, Lien YH. 1998. Chitinase activity of sweet potato (Ipomea batatas).[L] Lam. Var. Tainong 57. Bot. Bull.Acad. Sin. 39:93-97.

Wu Chun-Ta., Bradford KJ. 2003. Class I chitinase and β-1,3-glucanase are differentially regulated by wounding, methyl jasmonate, ethylene and gibberellin in tomato seeds and leaves. Plant Physiol 133:263-273.

Yang X, Xiao Y, Wang X, Pei Y. 2007. Expression of a Novel Small Antimicrobial Protein from the Seeds of Motherwort (Leonurus


(3)

japonicus) Confers Disease Resistance in Tobacco. Appl Environ Microbiol. 73(3): 939–946.

Yang S, Hoffman N. 1984. Ethylene biosynthesis and its regulation in higher plants. Annu. Rev. Plant Physiol. 35:155–89.

Yamazaki H, Yamazaki D, Takaya N, Takagi M, Ohta A, Horiuchi H. 2007. A chitinase gene, chi B, involved in the autolytic process of Aspergillus nidulans. Curr. Genet. 2: 89-98.

Ying-Zhang L, Xiao-Hua Z, Hai-Lin T, Jian-Wei-Z, Jing-Ming Yang. 2003. Increase of β-1,3-glicanase and chitinase activities in cottong callus cells treated by salicylic acid and toxin of Verticillium dahliae. Acta Bot. Sin. 45(7):802-808.

Yuan H, Ming X, Wang L, Hu P, An C, Che Z.. 2002. Expression of a gene encoding trichosanthin in transgenic rice plants enhances resistance to fungus blast disease. Plant Cell Report 20 (10).

Zhang GP, Shi YL, Wang WP, Liu WY. 1999. Cation channel formed at lipid bilayer by Cinnamomin, a new type II ribosome-inactivating protein. Toxicon 37:1313–1322.

Zhao, Kai-Jun,. Chye, Mee-Len. 1999. Methyl jasmonate induces expression of a novel Brassica juncea chitinase in two chitin-binding domains. Plant Mol. Biol. 40 (6):1009-1018.

Zheng SS, Yuan HY, Wang LJ, An CC, Chen ZL. 2001. The tissue culture of medicinal plant Trichosanthes kirilowii and its protein analysis. Sheng Wu Gong Cheng Xue Bao 17 (4):420-422


(4)

164 GLOSSARY

Benzyladenine (BA) : salah satu jenis hormone atau zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan tanaman

Elisitor : komponen dinding sel cendawan ataupun senyawa kimia alami atau sintetik yang dapat menginduksi biosintesis protein atau metabolit sekunder tertentu pada tanaman.

Etefon (2-chloroethyl phosphoric acid) disingkat dengan ETF : merupakan senyawa kimia berbentuk padat yang disimpan pada pH acidic dan akan terdekomposisi pada pH fisiologi untuk melepaskan etilen tanpa efek gangguan dari perubahan pH yang terjadi bersamaan dengan penggunaan etefon.

Etilen:hormon atau zat pengatur tumbuh dengan rumus kimia CH2=CH2

berbentuk gas yang banyak berperan dalam proses berbagai proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti mendorong pematangan buah, penghambatan dalam ekspansi sel, menyebabkan triple response(pembelokan ujung apikal, pembengkokan radial dari hipokotil dan pemendekan akar pada perkecambahan benih, mendorong ketahanan terhadap layu dan nekrosis setelah mengalami infeksi patogen, mendorong pembentukan rambut akar, mempercepat senesen bunga dan mendorong absisi petal

In Vitro : kondisi pertumbuhan dalam ruang gelas kaca tertutup atau dalam botol tertutup dengan media buatan yang aseptic..

Kalus : kumpulan massa sel hidup dan belum terdiferensiasi membentuk organ-organ tanaman seperti daun, akar, batang ataupun embrio.

Kitinase (KTN) : enzim yang dapat mendegradasi polimer kitin pada dinding sel makhluk hidup yang memiliki kitin seperti cendawan dan artropoda.


(5)

Naphthalene Acetic Acid (NAA):salah satu jenis auksin yang umum digunakan dalam kultur jaringan tanaman yang berperan dalam pembesaran sel, pembentukan akar, kalus maupun proses embriogenesis somatic.

Peroksidase (PRX) : enzim yang umum terdapat dalam tanaman berperan dalam biosintesis lignin, cross-lingking antar komponen-komponen penyusun dinding sel dan hidrolisis senyawa peroksida.

Tunas in vitro : tunas yang dihasilkan dalam proses kultur jaringan tanaman dalam media buatan dalam botol kultur yang aseptik.


(6)

iii ABSTRACT

DEWI SUKMA. Chitinase, Peroxidase and In Vitro Antifungal Activities of Protein Extract of Trichosanthes (Cucurbitaceae). Supervised by : ROEDHY

POERWANTO as the chairman, SUDARSONO, NURUL KHUMAIDA, I MADE ARTIKA and SURYO WIYONO as the member of advisory commitee.

Trichosanthes is a genus of Cucurbitaceae. Some species of this genus were reported containing bioactive protein such as Ribosome Inactivating Protein and chitinase. Studies on peroxidase were not much reported on these plants. The research was carried out to : 1) study morphology, growth, development, pest and disease of 3 Trichosanthes species 2) analyze chitinase and peroxidase activities from T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina, 3) analyzed the effect of salicylic acid (SA) and etefon (ETF) on the chitinase and peroxidase activities, 4) evaluate in vitro antifungal activity of crude protein extract of Trichosanthes.

The first part of the research showed the differences of morphological characters and growth habit of T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata and T. quinquangulata. T. cucumerina live as annual while the two others species lived as perennial plants. T. cucumerina var. anguina had more problem of pest and disease than T. tricuspidata and T. quinquangulata.

The second part of the research described the biochemical characters for

chitinase and peroxidase activities from some tissues of T. tricuspidata and T. cucumerina var. anguina. T. tricuspidata had the highest chitinase activity in

crude protein extract of in vitro shoots, calli and plant roots and peroxidase activity in plant roots grown in field. T. cucumerina var. anguina had the highest chitinase and peroxidase activities in crude protein extract of plant roots grown in field and calli. Roots of T. cucumerina var. anguina showed the highest chitinase activity in seedling, young and mature plants follow by stem and leaves.

The fourth part of the research showed that chitinase and peroxidase activities of calli crude protein extract of T. tricuspidata could be increased by SA. Adversely, ETF decreased the peroxidase activity of calli crude protein exract of T. tricuspidata. In T. cucumerina var. anguina, SA could not increase the chitinase activity but increase the peroxidase activity in crude protein exract of calli and plant roots grown in field.

The fifth part of the research showed that in spore germination assay, the crude protein from in vitro shoots of T. tricuspidata could inhibited the spore germination of Fusarium sp. from T. cucumerina var. anguina, Fusarium oxysporum from shallot, Puccinia arachidis from peanut and Pseudoperonospora cubensis from cucumber. The protein could not inhibit spore germination of

Curvularia eragrostidis. The leaves and roots crude protein extract of T. tricuspidata and the leaves, stem and roots protein extract from T. cucumerina

var. anguina inhibited the hypha growth of Helmithosporium tursicum in radial growth inhibition assay. Crude root protein extract of T. tricuspidata showed greater inhibition on hypa growth than leaves. In T. cucumerina var. anguina, crude protein extract from stem resulted greater inhibition on hypha growth of Helminthosporium tursicum than crude protein extract from root or leaves.