Gambar 1. Kerangka Disertasi LANDASAN BERPIKIR
Keberagaman spesies Trichosanthes
T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata
T. quinquangulata
BAB III.
Studi Morfologi dan Evaluasi Hama dan
Penyakit Tanaman di Lapangan
Perbedaan morfologi dan keragaan ketahanan terhadap
hama dan penyakit di lapangan
PROSES LUARAN
Diketahui karakter morfologi dan spesies yang rentan T. cucumerina dan dan tahan
T. tricuspidataterhadap hama dan penyakit di lapangan
Perbedaan keragaan ketahanan terhadap hama dan
penyakit di lapangan Perbedaan karakter biokimia
yang berhubungan dengan aktivitas KTN PRX
BAB IV V.
Studi Aktivitas KTN PRX dari T. tricuspidata
T. cucumerina var. anguina
Diketahui karakter biokimia aktivitas KTN PRX tinggi yaitu tunas in vitro
T. tricuspidata dan akar T. cucumerina var. anguina
KTN dan PRX merupakan PR-Protein
Biosintesis Kitinase dan Peroksidase oleh Induser PR-
Protein seperti Salycilyc Acid SA dan Etilen ETL
BAB VI. Studi Induksi
Aktivitas KTN dan PRX dari Bagian Tanaman
T. tricuspidata T. cucumerina var. anguina
T.tricuspidata : SA dapat meningkatkan aktivitas KTN dan PRX pada kalus. ETF
meningkatkan KTN menekan PRX. T. cucumerina var. anguina : SA tidak
meningkatkan aktivitas KTN namun meningkatkan aktivitas PRX.
KTN PRX terdapat dalam Ekstrak Kasar Protein
Tanaman Trichosanthes Kemungkinan Ekstrak Kasar
Protein dapat menghambat pertumbuhan cendawan
yang memiliki kitin pada dinding selnya
BAB VII. Uji Aktivitas
Anticendawan dari Ekstrak Kasar Protein Tanaman
Ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata menghambat perkecambahan
spora Fusarium sp. Fusarium oxysporum, Puccinia arachidis Pseudoperonospora
cubensis dan tidak menghambat Curvularia eragrostidis. Ekstrak kasar protein tanaman
dari lapang menghambat pertimbuhan hifa Helminthosporium tursicum
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Trichosanthes
Trichosanthes merupakan genus terbesar dalam famili Cucurbitaceae yang terdiri dari sekitar 100 spesies yang tersebar di daerah tropik dan sub tropik Asia
Timur, Malesia, Australia Tropik dan Fiji Jeffrey, 1990 dalam Rugayah 1999. Trichosanthes untuk pertama kalinya diterangkan oleh Linnaeus dalam Genera
Plantarum tahun 1737 dengan menyampaikan 4 spesies yaitu T. anguina, T. nervifolia, T. cucumerina, T. amara. Untuk pulau Jawa, Blume dalam Rugayah
1999 mengemukakan 13 spesies dari genus Trichosanthes yang terbagi ke dalam 3 genera. Rugayah 1999 mengidentifikasi morfologi dan anatomi 39 spesies
Trichosanthes di Malesia antara lain T. borneesis Kalimantan, T. cucumerina var. anguina Labuan, Jakarta, Bogor, Madiun, Madura, T. globosa Gunung
Bunder, T. montana Situ Gunung, T. ovigera Situ Gunung, Gunung Bunder, Gunung Halimun, T. pubera Cianten, T. quinquangulata Gunung Halimun,
Bengkulu, Irian Jaya, T. tricuspidata Gunung Bunder, Cibodas, Sukabumi, Banten, Gunung Salak, Siberut Sumatera, T. villosa Cianten, Batu Malang, dan
T. wawrae Gunung Halimun. Ciri utama dari spesies-spesies Trichosanthes, sebagaimana tanaman
Cucurbitaceae lainnya, yaitu tumbuh merambat atau memanjat. Bentuk buah bervariasi, ada yang bulat atau bulat lonjong oblong. T. cucumerina var anguina
buahnya berbentuk silinder bulat dengan warna hijau berbelang-belang putih, sehingga di beberapa daerah di pulau Jawa dinamakan dengan paria ular atau
paria belut. T. tricuspidata memiliki daun menjari seperti paria Momordica charantia buah berbentuk oval dan berwarna merah menyala ketika matang.
T. quinquangulata memiliki daun yang lebih lebar bersegi lima, bentuk buah bulat dengan warna merah seperti T. tricuspidata.
Spesies yang sudah dibudidayakan adalah T. cucumerina var. anguina. Buah muda paria ular dimanfaatkan untuk sayuran. Setiap 100 g buah muda
11 T. cucumerina var. anguina mengandung air 94 g, protein 0.6 g, lemak 0.3 g,
karbohidrat 4 g, serat 0.8 g, Ca 26 mg, Fe 0.3 mg, P 20 mg, vitamin A 235 IU, vitamin B1 0.02 mg, B2 0.03 mg, niacin 0.3 mg dan vitamin C 12 mg.
T. cucumerina var. anguina juga menghasilkan glukosida elaterin, minyak biji dan pucinic acid Gildemacher et al. dalam Siemonsma dan Piluek, 1994.
Cendawan
Cendawan merupakan protista eukariotik, heterotrofik yang dapat hidup sebagai saprofit maupun parasit Hadioetomo et al. 1986. Selitrennikof 2001
menyatakan bahwa cendawan merupakan kelompok yang sangat besar karena terdapat lebih dari 250.000 spesies cendawan di dunia. Cendawan saprofit hidup
dari bahan-bahan organik yang sudah mati sebaliknya parasit hidup pada makhluk hidup dan mengambil nutrisi dari inangnya. Cendawan yang bersifat parasit
disebut juga sebagai patogen yang dapat menimbulkan gejala penyakit pada hewan, tumbuhan ataupun manusia yang menjadi inangnya.
Cendawan dikelompokkan ke dalam 4 kelas yaitu Phycomycetes, Ascomycetes, Basidiomycetes dan Deuteromycetes fungi imperfecti.
Pengelompokan tersebut terutama didasarkan pada tipe miselium, bentuk spora aseksual, spora seksual dan habitat alamiahnya. Phycomycetes sering disebut
sebagai cendawan tingkat rendah yang tidak memiliki sekat aseptat pada hifanya, sementara 3 kelas lainnya memiliki hifa yang bersekat septat.
Phycomycetes menghasilkan spora aseksual berupa sporangiospora atau kadang- kadang konidia, sementara 3 kelas lainnya menghasilkan konidia. Spora seksual
pada Phycomycetes berupa zigospora atau oospora. Pada Ascomycetes spora seksualnya berupa ascospora dan pada Basidiomycetes berupa basidiospora,
sementara pada Deuteromycetes belum diketahui bentuk spora seksualnya. Spora merupakan propagul untuk pembiakan dan penyebaran cendawan.
Spora bervariasi dalam bentuk, warna dan ukurannya, ada yang berupa satu sel uniseluler atau terdiri dari beberapa sel multiseluler. Spora pada cendawan
tertentu kadang-kadang memiliki tekstur permukaan yang tidak rata ada ornamen
12 khusus seperti uredospora dari cendawan karat Melampsora epita dari pohon
Wilow. Sebagian besar spora memiliki dinding sel yang kaku, lebih tebal dibanding dinding sel pada hifa, karena terdiri dari beberapa lapis sel. Dinding sel
tersebut ada yang mengandung pigmen seperti melanin dan juga mengandung lemak. Kadar air pada spora relatif rendah dan spora juga menyimpan nutrisi
cadangan berupa lemak, glikogen dan trehalosa http:www. fungionline.
org.uk2spores1spore_char.html .
Gambar 2. a. Skema dinding sel cendawan Selitrennikof, 2001 b. Struktur kimia kitin
http:www.ocean.udel.eduhorseshoecrab Researchchitin
. html
a
b
13 Spora yang viabel biasanya akan segera berkecambah jika berada pada
kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkecambahannya. Proses perkecambahan diawali oleh proses hidrasi, pembengkakan sel setelah proses hidrasi, peningkatan
metabolisme, lalu pertumbuhan satu atau lebih tabung kecambah. Perkecambahan spora memerlukan air atau kelembaban yang relatif tinggi serta nutrisi. Untuk
berkecambah, spora membutuhkan suplai nutrisi dari lingkungannya atau dengan menggunakan cadangan nutrisi yang ada di dalam sel spora tersebut.
Dinding sel cendawan disusun oleh senyawa β-glukan, kitin, lipid dan
peptida Selitrennikof 2001. β-glukan merupakan polimer dari sub unit glucan
yang membentuk ikatan β-1,31,6-glucan, sedangkan kitin terbentuk dari ikatan
1,4-glicosidic dari sub unit 2-acetamido-2-deoxy- β-D-glucan N-acetylgluco-
saminide GlcNac Gooday, 1994, Ubhayasekera, 2005. Senyawa kitin ditemukan oleh Henry Braconnot tahun 1811 dan dinamakan sebagai “kitin” oleh
A. Odier tahun 1823. Chitosan hasil deasetilasi senyawa kitin ditemukan oleh C. Rouget tahun 1859.
Protein Anticendawan
Selitrennikof 2001 menyatakan ada beberapa kelompok senyawa anticendawan antara lain PR-Protein, defensin, cyclophilin like-protein,
glycinehistidin rich protein, RIPs, LTPs, killer proteinskiller toxin dan protease inhibitor. PR-protein merupakan protein yang terinduksi sintesisnya ketika terjadi
proses patogenesis atau serangan patogen pada tanaman Ubhayasekera, 2005. Sejumlah PR-protein juga dapat terinduksi sintesisnya oleh berbagai faktor antara
lain stress kekeringan, salinitas, pelukaan, logam berat, oleh perlakuan elisitor endogen maupun eksogen; dan oleh perlakuan zat pengatur tumbuh tanaman
Karprezewska, 2003. PR-protein dikelompokkan ke dalam 5 kelas protein yaitu PR-1, PR-2, PR-3,
PR-4 dan PR-5. PR-1 protein terakumulasi pada tingkat yang tinggi setelah terjadinya infeksi patogen pada tanaman. PR-1 protein bersifat anticendawan
yang diekspresikan pada tanaman transgenik dan juga pada uji aktivitas anticendawan secara in vitro dari ekstrak PR-1 protein Tahiri-Alaoui et al. 1993;
14 Niderman et al. 1995. PR-1 telah ditemukan terekspresi antara lain pada padi,
gandum, jagung, tembakau, Arabidopsis thaliana, dan barley Agrawal et al. 2000; Bryngelsson et al. 1994; Molina et al. 1999; Muradov et al. 1993; Rauscher
et al.1999. PR-1 protein memiliki aktivitas anticendawan pada konsentrasi rendah terhadap sejumlah Uromyces fabae, Phytophthora infestans, and Erysiphe
graminis Niderman et al. 1995. PR-2 Protein
β-glucanase memiliki aktivitas β-endoglucanase yang mampu menghidrolisis ikatan 1,3
β-glucan yang ada pada dinding sel cendawan, terutama pada ujung hifa cendawan sehingga menyebabkan ujung hifa menjadi
lemah, lisis dan mati. PR-2 protein dikelompokkan ke dalam 3 kelas berdasarkan runutan residu asam aminonya Agrawal et al. 2000; Cote et al. 1991; Leah et al.
1991. Glukanase Klas I merupakan protein yang bersifat basic yang ditemukan pada vakuola tanaman dengan berat molekul sekitar 33 kDa. Sedangkan glukanase
kelas II dan III merupakan protein yang bersifat acidic dan ditemukan ekstraseluler dengan berat molekul sekitar 36 kDa, serta aktif pada konsentrasi
sekitar 50 µgml. PR-2 protein menghambat cendawan Rhizoctonia solani yang menyerang tanaman dan Candida albicans serta Aspergillus fumigatus yang
menginfeksi manusia. Aktivitas anticendawan PR-2 diketahui berdasarkan hasil uji in vitro dan hasil uji overekspresi overekspresi pada tanaman transgenik Jach
et al. 1995. PR-3 proteins chitinase memiliki berat molekul antara 26-43 kDa Nielsen
et al. 1997. Kitinase dikelompokkan menjadi 5-6 klas Fukamizo et al. 2003. Kitinase Klas I memiliki domain N terminal yang kaya residu sistein. Kitinase
klas II memiliki sekuen yang sama dengan klas I tetapi tidak memiliki domain N- terminal yang kaya residu sistein. Kitinase klas III tidak memiliki kesamaan
runutan asam amino dengan klas lainnya dan mempunyai berat molekul 28-30 kDa. Kitinase klas IV menyerupai kitinase klas I tetapi mempunyai ukuran yang
lebih kecil karena delesi. Kitinase klas V menunjukkan kesamaan sekuen dengan eksokitinase bakteri dan memiliki berat molekul 41-43 kDa.
Kitinase sudah diisolasi dari bakteri, cendawan, dan tanaman tembakau, timun, kacang-kacangan dan biji-bijian Selitrennikof 2001. Kitinase
mempunyai aktivitas anticendawan terhadap Trichoderma reesei, Alternaria
15 solani, Alternaria radicina, Fusarium oxysporum, Rhizoctonia. solani,
Guignardia bidwellii, Botrytis cinerea, and Coprinus comatus. Cara kerja kitinase dalam menghambat pertumbuhan cendawan adalah dengan mendegradasi
polimer kitin sehingga melemahkan dinding sel cendawan. Kitinase dan glukanase dapat bekerja secara sinergis untuk menghambat pertumbuhan cendawan
berdasarkan hasil uji secara in vitro dan uji overekspresi dalam tanaman transgenik Jach et al. 1995.
PR-4 chitin-binding protein merupakan protein yang mengikat kitin, memiliki berat molekul 13-14.5 kDa, dan terdiri atas 2 klas Friedrich et al. 1991;
Hejgaard et al. 1992; Ponstein et al. 1994; Van Damme et al. 1999. PR-4 protein klas 1 menyerupai hevein dan termasuk ke dalam superfamili chitin-binding
lectin. Sedangkan PR-4 protein klas II tidak memiliki domain chitin-binding. PR- 4 protein telah berhasil diisolasi dari tanaman kentang, tembakau, barley dan
tomat. Mekanisme penghambatan pertumbuhan cendawan oleh PR-4 protein diduga dihasilkan dari proses ikatan PR-4 protein terhadap senyawa
β-chitin melalui mekanisme yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan, sehingga
mengakibatkan terganggunya polaritas sel dan terhambatnya pertumbuhan cendawan Bormann et al. 1999. Sementara mekanisme penghambatan
pertumbuhan cendawan oleh PR-4 protein klas II belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
PR-5 protein tidak termasuk enzim tetapi merupakan protein yang bersifat anticendawan dengan merusak membran fungi. PR-5 protein telah
berhasil diisolasi dari jagung dan disebut sebagai zeamatin serta dari tembakau dan disebut sebagai osmotin. Osmotin mempunyai bobot molekul 24 kD,
terakumulasi dalam vakuola selama adaptasi sel tembakau Nicotiana tabacum var. Wisconsin 38 terhadap cekaman osmotik Singh. et al, dalam Cheong et al,
1997. PR-5 protein juga telah berhasil dimurnikan dan dikarakterisasi dari daun labu pumpkin. PR-5 protein dari labu tersebut mempunyai bobot molekul 28 kD
dan dapat menghambat pertumbuhan hifa Fusarium oxysporum dan Neurospora crassa dalam uji in vitro. Cheong et al. 1997.
RIPs Ribosome Inactivating Proteins merupakan senyawa RNA N-glikosidase yang melepaskan purin dari rRNA sehingga menahan atau
16 menghambat sintesis protein karena rusaknya ribosom Barbieri et al. 1993;
Ferreras et al. 1995; Langer et al. 1996; Pu et al. 1996; Taylor et al. 1990. RIPs dari tanaman dapat menghambat sintesis protein pada mamalia, bakteri, cendawan
dalam kondisi in vitro dan in vivo. Tanaman penghasil RIP melindungi ribosomnya sendiri dari kerusakan oleh RIPs yang dihasilkannya dengan
menempatkan RIPs dalam vakuola atau terintegrasi dalam dinding sel Kataoka et al. 1991.
RIPs dikelompokkan menjadi 3 tipe. RIP tipe 1 merupakan N- glicosidase rantai tunggal dengan bobot molekul antara 11-30 kDa. RIP tipe 2
memiliki rantai ganda yaitu N-glycosidase rantai A dan rantai B cell-binding lectin dengan bobot molekul hingga 60 kDa Zhang et al. dalam Selitrennikof,
2001. RIP tipe 2 ada yang toksik seperti ricin and nontoksik seperti ebulin 1 dan nigrin b. RIP tipe 3 memiliki 4 rantai yang disusun membentuk dua dimmer dari 2
tipe RIP. RIP telah diisolasi dari berbagai jenis tanaman antara lain Mirabilis expansa, Pisum sativum, Momordica charantia, Ricinus communis, Viscum
album, dan Tricosanthes kirilowii Selitrennikof, 2001. RIP berpotensi digunakan dalam bidang pertanian sebagai antivirus,
antibakteri dan anticendawan untuk proteksi tanaman Vivanco et al. 1997. Logeman 1993 melaporkan aktivitas anticendawan in vitro dari RIP asal biji
barley dan peningkatan ketahanan terhadap patogen cendawan pada tanaman tembakau transgenik yang mengekspresikan RIP biji barley Logeman et al.,
1992. Banyak peneliti yang telah melaporkan tentang hasil pengujian aktivitas
antimikroba dari protein bioaktif atau peptida antimikroba secara in vitro. Beberapa metoda yang digunakan untuk pengujian aktivitas anticendawan dari
peptida antimikroba secara in vitro adalah dengan radial growth inhibiton assay Schlumbaum et al. 1986, germinated spores antifungal bioassays, microplate
antifungal bioassays, dan spore germination assays Rajasekaran 2001. Pada radial growth inhibition assay aktivitas penghambatan pertumbuhan cendawan
dilihat berdasarkan penghambatan pertumbuhan hifa cendawan. Potongan cendawan ditempatkan ditengah media PDA pada petridish dan senyawa yang
akan diuji diteteskan ke potongan kertas saring pada beberapa tempat di sekitar
17 cendawan. Germinated spore antifungal bioassays menggunakan konidia yang
sudah dikecambahkan. Daya penghambatan senyawa bioaktif dilihat berdasarkan jumlah pembentukan koloni cendawan setelah konidia yang berkecambah
diinkubasi dengan senyawa bioaktif. Microplate antifungal bioassay dilakukan dengan menggunakan miselia
cendawan yang diblender. Konsentrasi fragmen miselia dihitung dengan haemacytometer. Pengujian aktivitas protein dilakukan dengan menginkubasi
miselia dengan protein bioaktif dalam sumur-sumur pada plat mikro. Spore germination assay dilakukan dengan melihat pengaruh senyawa bioaktif terhadap
perkecambahan konidia cendawan. Morfologi tabung perkecambahan dilihat secara mikroskopik.
Kitinase
Kitinase E.C. 3.2.1.14 merupakan poly1,4-N-acetyl- β-D-glucosamini
de-glycanohydrolase. Kitinase terdistribusi luas di berbagai organisme yang memiliki kapasitas kitinolitik di alam meliputi tanaman, mikroorganisme bakteri
dan cendawan, artropoda, dan beberapa hewan tingkat tinggi seperti amfibi, ikan dan mamalia Ubhayasekera, 2005. Kitinase termasuk famili 18 dan 19 dari
glycoside hydrolase GH. Kitinase bekerja memotong secara acak ikatan glikosida dari GlcNac
untuk menghasilkan oligosakarida terlarut, terutama kitobiosa yang selanjutnya akan dihidrolisis oleh
β-N-acetylglucosaminidase menjadi GlcNac Orikoshi et al. 2005. Enzim yang terlibat dan produk yang dihasilkan dari degradasi polimer
kitin dapat dilihat pada Gambar 3. Kitinase pada tanaman tergolong sebagai endokitinase, yang merupakan
protein dengan berat molekul 25 – 40 kDa, isoeletric point 3-10, dan yang mengalami modifikasi pasca translasi seperti glikosilasi dan prolil-hidroksilasi
Sticher et al. 1992; Colinge et al. 1993; Nielsen et al. 1994. pH 4-9 merupakan rentang pH optimum untuk aktivitas kitinase Khan, 2002. Beberapa kitinase
18 seperti kitinase klas III dari yam memiliki pH optimum yang berbeda tergantung
pada substratnya Tsukamoto et al. 1984.
Gambar 3. Proses dan enzim yang terlibat dalam degradasi senyawa kitin Sumber : Ubhayasekera, 2005
Kitinase pada cendawan misalnya kitinase klas 5 yang dikode oleh gen ChiB dari Aspergilus nidulan Yamazaki et al. 2006. ChiB yang diekspresikan di
E. coli menunjukkan aktivitas hidrolisis kitin. Delesi pada ChiB tidak mempengaruhi perkecambahan dan pertumbuhan hifa tapi menurunkan aktivitas
kitinase intraseluler dan ekstraseluler. Ekspresi ChiB meningkat ketika cendawan mengalami starvasi karbon suatu kondisi yang menginduksi autolisis hifa,
19 sehingga ChiB diduga kuat berperan penting dalam autolisis cendawan
A. nidulans. Berdasarkan review oleh Kasprezewska 2003 yang dirangkum dari
berbagai penelitian tentang kitinase, ditemukan bahwa pada tanaman sehat, beberapa bentuk kitinase yang diakumulasikan vakuola dan apoplastik disintesis
secara konstitutif. Kitinase Klas I diekspresikan secara konstitutif dan terakumulasi dalam jumlah banyak pada bunga dan akar beberapa tanaman.
Kitinase Klas III diekspresikan secara konstitutif pada jaringan vaskular, hidatoda dan sel penjaga Cucumis sativus dan Arabidopsis thaliana. Ekspresi konstitutif
meningkat dengan bertambahnya umur tanaman dan aktivitas kitinolitik lebih tinggi pada daun tua dibandingkan daun muda. Pada Cucumis sativus, ekspresi
gen penyandi kitinase Klas III meningkat secara gradual selama pertumbuhan tanaman dan akumulasi transkrip gen menurun dari bagian jaringan tanaman yang
tua ke bagian tanaman yang muda. Tanaman Arabidopsis thaliana menunjukkan ekspresi gen penyandi kitinase gen chi yang tinggi akibat perlakuan etilen. Pola
ekspresi kitinase ada yang diregulasi mengikuti perkembangan tanaman developmentally dan diregulasi spesifik jaringan atau organ tissue or organ-
specific regulation. Stimulasi atau induksi ekspresi gen kitinase karena adanya serangan
patogen sering ditemukan Collinge et al. 1993; Bishop et al. 2000, dengan karakter ekspresi sistemik atau lokal de A Gerhardt et al. 1997; Meier et al.
1993. Pada Arabidopsis thaliana, infeksi dengan patogen yang imkompatibel menyebabkan akumulasi cepat dari mRNA kitinase Klas IV Gerhardt et al.
1997. Pada Cucumis sativus, induksi sistemik dari Kitinase Klas III berkorelasi dengan Systemic Acquired Resistance SAR. Induksi yang sama terjadi ketika
tanaman diperlakukan dengan salicylic acid Lawton et al. 1994. Induksi kitinase pada kondisi in vitro menunjukkan hasil yang sangat
kompleks. Pada kultur in vitro Nicotiana sp., adanya auksin dan sitokinin menekan ekspresi gen kitinase Klas I. Pada kalus dan suspensi sel Cucurbita sp.,
gen kitinase diekspresikan dalam media dengan atau tanpa penambahan 2,4D Arie et al. 2000. Perlakuan etilen eksogenus meningkatkan aktivitas kitinase
pada kultur kalus Dioscorea japonica Buttner et al. 1997. Faktor lain yang juga
20 dapat meningkatkan aktivitas kitinase adalah cekaman kekeringan, suhu rendah
dan salinitas yang tinggi Fumikazo et al. 2003.
Peroksidase
Peroksidase PRX merupakan enzim yang berfungsi mereduksi senyawa peroksida H2O2 sehingga dihasilkan air dan produk yang teroksidasi.
Peroksida H
2
O
2
merupakan produk akhir yang umumnya terbentuk dari metabolisme oksidatif pada tanaman dan merupakan oksidan yang kuat serta
bersifat toksik terhadap sel tanaman jika terakumulasi dalam jumlah besar. Untuk mencegah hal tersebut, sel-sel eukariotik mengisolir enzim penghasil senyawa
peroksida dalam organel bermembran yang disebut peroksisom. Dalam peroksisom tersebut juga terdapat enzim peroksidase yang berfungsi untuk
mereduksi H
2
O
2
menjadi air, sehingga menjadi tidak berbahaya. Dalam proses reduksi tersebut digunakan donor elektron dari amina aromatik, fenol, enediol
seperti ascorbic acid. Zat pewarna dye seperti o-dianisidine dapat digunakan sebagai donor elektron, karena sesudah reaksi zat tersebut akan menjadi berwarna
http:employes. oneonta.eduhelsert1enzyme.html .
H
2
O
2
+ Colorless Dye
reduced
peroxidase
H
2
O + Colored Dye
oxidized
Beberapa isoform baru peroksidase dapat diinduksi produksinya ketika terjadi interaksi inang dan patogen Svalheim dan Robertson, 1990; Kerby dan
Somerville 1989 dalam Harrison et al. 1995. Peroksidase EC 1.11.1.7 donor:hydrogen peroxide oxidoreductase berperan dalam lignifikasi dinding sel
Walter 1992, Lopez-Serrano et al. 2004, cross lingking komponen dinding sel Bradley 1992, penyembuhan luka Sherf et al. 1993 dan oksidasi auksin
Grambow dan Langenbeck-Schwich 1983. Induksi ekspresi isoform peroksidase oleh patogen juga berasosiasi dengan respon Systemic Acquired Resistance Ye et
al. 1990; Irving dan Kuc, 1990.
21 Peroksidase termasuk dalam famili PR-9 dan telah berhasil dikarakterisasi
dari sejumlah tanaman tingkat tinggi antara lain tembakau Lagrimini et al. 1987, kentang Espelie et al. 1986, barley Kristensen et al. 1999, ovul kapas Mellon,
1991, xylem poplar Christensen et al. 1998, selada Bestwick, et al. 1998, dan biji radish Kim dan Lee, 2005. Keterlibatan peroksidase dalam tahapan
polimerisasi lignin diduga secara langsung berkaitan dengan meningkatnya ketahanan fisik tanaman terhadap infeksi patogen maupun kerusakan fisik
Chitoor et al. 1999.
Asam Salisilat Asam salisilat SA merupakan senyawa yang umum terdapat dalam
jaringan tanaman dan dikenal sebagai regulator berbagai proses fisiologis yang berkaitan dengan termogenesis atau dalam respon tanaman terhadap patogen.
Asam salisilat disintesis dari lintasan shikimat-phenilpropanoid Sticher et al. 1997. Asam salisilat disintesis dari fenilalanin melalui dua jalur setelah diubah
terlebih dahulu menjadi asam sinamat. Asam sinamat kemudian bisa diubah menjadi benzyl glucosa atau o-coumaric acid sebelum diubah menjadi asam
salisilat. Lintasan biosintesis asam salisilat seperti terlihat pada Gambar 4.
Kaitan asam salisilat dengan reaksi ketahanan tanaman terhadap patogen sudah banyak dilaporkan. Pada Arabidopsis thaliana, asam salisilat dihasilkan
secara lokal maupun sistemik setelah infeksi patogen dan mendorong terbentuknya Salicylic acid-dependent SAR Summermatter et al. 1995.
Tanaman mutan yang tidak dapat mengakumulasi asam salisilat setelah infeksi patogen terlihat lebih rentan terhadap cendawan maupun bakteri dan tidak dapat
menginduksi biosintesis Pathogenesis-Related Protein-1 PR1, sebagai marker untuk SAR yang terinduksi oleh asam salisilat Nawrath dan Metraux, 1999;
Dewdney et al. 2000; Dong, 2001. Perlakuan SA eksogen pada berbagai spesies tanaman dapat menginduksi
PR protein pada lokasi perlakuan dan juga pada bagian tanaman lainnya menunjukkan bahwa SA berperan sebagai signal untuk SAR, suatu bentuk
22 ketahanan tanaman yang terinduksi untuk meningkatkan ketahanan tanaman
terhadap infeksi dan serangan patogen berikutnya Ward, et al. 1991; Delaney et al. 1994; Kessman et al. 1994; Pieterse et al. 1998; Redman et al. 1999;
Audenaert et al. 2002; Ferrari et al. 2003. Induksi biosintesis protein yang berhubungan dengan ketahanan pada
tomat yang dikode oleh Intracelllular Pathogenesis-Related Gene yang dinamakan TSI-1 Tomato Stress Induced-1 dapat terjadi dengan perlakuan asam
salisilat secara eksogen. Ekspresi maksimal dari TSI-1 diperoleh pada perlakuan SA 10 mM pada 48 jam setelah perlakuan Vidya et al. 1999.
Gambar 4. Lintasan biosintesis asam salisilat Metraux, 2002.
23
Etilen Etilen ETL merupakan hormon tanaman yang memiliki rumus kimia
yang paling sederhana dalam bentuk gas alkana CH
2
=CH
2
. Menurut Johnson dan Ecker 1998, etilen mempunyai peranan yang besar dalam perubahan
morfologi tanaman sepanjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti terlihat pada Gambar 5.
Pada fase perkecambahan etilen menyebabkan triple responses berupa penghambatan pemanjangan sel, pembengkokan batang epikotil dan menekan
pertumbuhan apikal Goeschl et al. dalam Johnson dan Ecker 1998. Ketika tanaman dewasa, etilen mempengaruhi determinasi seks dan mendorong
pematangan buah Abeles et al. 1992. Etilen juga melindungi tanaman dari tekanan lingkungan seperti memperkuat batang terhadap terpaan angin, membantu
tanaman yang tergenang air untuk bertahan hidup dan mendorong ketahanan tanaman terhadap patogen Dolan, 1997. Peranan penting etilen lainnya adalah
dalam senesen bunga dan daun tanaman Bleecker dan Patterson 1997. Biosintesis etilen dalam tanaman pertama kali ditemukan pada akhir tahun
1970-an oleh Shang Fa Yang dan koleganya dari University of California, sehingga siklus dalam biosintesis etilen dikenal sebagai siklus Yang Srivastava,
2002. Secara ringkas lintasan biosintesis diawali dari perubahan metionin menjadi S-adenosil-L-metionin Adomet atau SAM. SAM kemudian dapat
melalui dua jalur yaitu diubah menjadi 1-Aminocyclopropan-1-carboxylic acid ACC dan diubah selanjutnya menjadi etilen C
2
H
4
atau diubah menjadi Metiltioadenosin MTA yang selanjutnya diubah menjadi metiltioribosa dan
berikutnya kembali menjadi metionin. Disamping lintasan biosintesis yang umum seperti tersebut di atas, etilen
pada tanaman tingkat tinggi dapat dihasilkan dari oksidasi berbagai jenis molekul organik khususnya asam lemak rantai panjang yang tidak terproteksi. Beberapa
enzim seperti lipoxigenase dan peroksidase dapat secara nonspesifik mengkatalisis oksidasi dan menghasilkan sejumlah etilen.
24 Gambar 5.Pengaruh etilen terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman :
searah jarum jam dari atas mendorong pematangan buah, penghambatan dalam ekspansi sel, menyebabkan triple response
pembelokan ujung apikal, pembengkokan radial dari hipokotil dan pemendekan akar pada perkecambahan benih, mendorong ketahanan
terhadap layu dan nekrosis setelah mengalami infeksi patogen, mendorong pembentukan rambut akar, mempercepat senesen bunga
dan mendorong absisi petal Sumber : Johnson dan Ecker 1998
Etilen disintesis tanaman dalam level yang rendah sepanjang perkembangan tanaman, namun produksinya dapat meningkat secara tajam pada
fase perkembangan tertentu seperti pada saat perkecambahan benih, pematangan buah klimakterik, dan senesen dari tipe bunga tertentu seperti anyelir. Berbagai
25 jenis cekaman seperti suhu dingin, panas, kekeringan, genangan, radiasi,
pelukaan, perlakuan dengan logam berat seperti perak, litium atau ketika terjadi serangan patogen juga dapat menginduksi peningkatan etilen sehingga
menciptakan kondisi ”cekaman etilen”. Perlakuan hormon auksin dan sitokinin juga dapat mendorong produksi etilen. Etilen dapat menginduksi sintesisnya
sendiri atau disebut sebagai ”autoinduction” tapi juga dapat menghambat sintesisnya sendiri dan disebut sebagai ”autoinhibition”.
Etilen dapat dihasilkan dari senyawa sintetis antara lain berupa etefon 2- cloroetil posponic acid dan ethrel. Etefon disimpan dalam pH rendah, namun
dapat terdekomposisi dan melepaskan etilen pada pH fisiologis. Prekurser etilen berupa ACC dapat juga diberikan kepada tanaman dalam media cair dan akan
diambil tanaman dan dilepaskan dalam bentuk etilen tanpa gangguan dari pH saat perlakuannya.
Seperti sudah disebutkan sebelumnya etilen dapat meningkat sintesisnya ketika tanaman diserang patogen. Namun peran etilen dalam respon patogenik
menunjukkan hasil yang bervariasi. Beberapa protein yang berhubungan dengan ketahanan PR-protein membutuhkan signal salicylic acid SA untuk
ekspresinya untuk menghasilkan respon Systemic Acquired Resistance SAR penuh dan tidak membutuhkan signal etilen Lawton et al. 1994, namun beberapa
PR-protein lainnya membutuhkan signal etilen untuk ekspresinya dalam menghasilkan SAR Johnson dan Ecker 1998.
Cabello et al. 1994 melaporkan bahwa perlakuan etefon meningkatkan aktivitas
β-1,3-glucanase dan kitinase pada batang tanaman chickpea Cicer arietinum L.. Hughes dan Dickerson 1991 menemukan bahwa perlakuan IAA
dan etilen dapat menyebabkan peningkatan aktivitas kitinase dan glukanase pada kultivar tanaman Phaseolus vulgaris yang tahan maupun yang rentan terhadap
Colletotrichum lindemutianum.
BAB III MORFOLOGI, PERTUMBUHAN, PERKEMBANGAN, HAMA DAN