Aktivitas Anticendawan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica) Dan Larutan Kumur Komersial Terhadap Candida Albicans Secara In Vitro

AKTIVITAS ANTICENDAWAN EKSTRAK ETANOL
KAYU SIWAK (Salvadora persica) DAN
LARUTAN KUMUR KOMERSIAL TERHADAP
Candida albicans SECARA IN VITRO

HADI PUTRA RIHANSYAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi Aktivitas Anticendawan
Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica) dan Larutan Kumur Komersial
terhadap Candida albicans secara in vitro adalah karya saya dengan arahan dari
Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruam tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.


Bogor, Januari 2011
Hadi Putra Rihansyah
NRP B04062277

ABSTRACT

RIHANSYAH. In vitro Antifungal Activity of Siwak (Salvadora persica)
Ethanol Extract and Commercial Mouthwash to Candida albicans. Under
direction of EKO S. PRIBADI and HUDA S. DARUSMAN.
The aim of this study were to investigate the antifungal activity and the
effect of siwak ethanol extract in comparison with commercial mouthwash on
inhibition of C. albicans growth during in vitro condition. Mouthwash #1 is
containing alcohol, Mouthwash #2 is containing fluoride, and Mouthwash #3 is
containing povidone iodine. Siwak extracts showed the different results to control
significantly, but the effects were not depending on their concentration. The
concentration of siwak extract showed no effect on C. albicans growth. The
antifungal effect of siwak extract was less than other commercial mouthwash for
all extract concentrations.
Keywords : Salvadora persica, antifungal, commercial mouthwash


ABSTRAK

RIHANSYAH. Aktivitas Anticendawan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora
persica) dan Larutan Kumur Komersial terhadap Candida albicans secara in vitro.
Dibimbing oleh EKO S. PRIBADI dan HUDA S. DARUSMAN.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas anticendawan dan
pengaruh ekstrak etanol kayu siwak dibandingkan dengan obat kumur komersial
terhadap penghambatan pertumbuhan C. albicans dalam kondisi in vitro. Larutan
kumur #1 mengandung alkohol, larutan kumur #2 mengandung fluorida, dan
larutan kumur #3 mengandung povidon iodium. Ekstrak etanol kayu siwak
menunjukkan hasil yang berbeda nyata, tetapi perbedaan kadar tidak
menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Kadar ekstrak etanol kayu siwak yang
diuji tidak menunjukkan pengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan C.
albicans. Efek anticendawan dari ekstrak etanol kayu siwak lebih rendah dari
larutan kumur komersial lainnya untuk semua kadar.
Kata kunci: Saladora persica, anticendawan, larutan kumur komersial.

© Hak Cipta milik IPB, tahun2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

AKTIVITAS ANTICENDAWAN EKSTRAK ETANOL
KAYU SIWAK (Salvadora persica) DAN
LARUTAN KUMUR KOMERSIAL TERHADAP
Candida albicans SECARA IN VITRO

HADI PUTRA RIHANSYAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah, rahmat
dan hidayah-Nya yang diberikan, sehingga penyusunan dan penulisan skripsi
dengan judul Aktivitas Anticendawan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora
persica) dan Larutan Kumur komersial terhadap Candida albicans Secara In
Vitro dapat diselesaikan.
Skripsi ini disusun dengan melakukan penelitian yang didasari rasa
keingintahuan dan ingin membuktikan kemampuan kayu siwak sebagai
anticendawan.
Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis tidak dapat melupakan
jasa-jasa dari seluruh pihak yang telah membantu. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
Kedua Orang tua tercinta Andri Karsa dan Cut Nadira Hanum atas segala
dukungan, nasihat dan kasih sayang.

- Dr. drh. Eko S. Pribadi, MS. dan drh. Huda S. Darusman, M.Si sebagai dosen
pembimbing yang memberikan bantuan dan pengarahan dalam penulisan
skripsi ini hingga selesai.
- Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini M.Sc selaku pembimbing akademik.
- Staf laboran (pak Agus, pak Ismet, pak Atin, pak Aria, mba Selin, mas Ivan)
- Orang-orang terdekat (Igit, Iral, Adi, Achie, Cipo, Abhe, Mamato, Galuh,
Ipin Iir, Bowo, Uut, Pakde, Mbambit, Soni, Bahtiar, Aguy) terima kasih atas
bantuan, motivasi dan semangatnya.
- Teman-teman “Aesculapius” 43, terima kasih atas pelajaran dan kehangatan
persaudaraannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu penulis menerima dengan senang hati kritik dan saran yang bersifat
membangun. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang
membutuhkannya.
Bogor, Januari 2011

Hadi Putra Rihansyah

RIWAYAT HIDUP


Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 8 Juli 1988 dari
ayah Andri Karsa dan ibunda Cut Nadira Hanum. Penulis merupakan anak
tunggal.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan TK Amaliah pada tahun 1994
dan SD Amaliah pada tahun 1997 kemudian pindah ke SDI Al Azhar 13
Rawamangun Jakarta dari tahun 1998 sampai 2000. Setelah itu penulis
menyelesaikan pendidikan pada SLTPI 12 Rawamangun Jakarta pada tahun 2003.
Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan pada SMU Negeri 1 Bogor
dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai
mahasiswa Kedokteran Hewan IPB melalui seleksi mahasiswa Mayor-Minor.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif pada berbagai kepanitiaan dan
organisasi di dalam kampus. Penulis juga aktif dalam Himpunan Organisasi
Ruminansia mulai dari tahun 2007 hingga 2010. Penulis juga pernah menjabat
sebagai ketua Pengabdian Masyarakat 3 FKH IPB dan sebagai delegasi IPB dalam
Pengabdian Masyarakat Nasional Unair 2010.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ........................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

v

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................

vi

PENDAHULUAN ........................................................................................
Latar Belakang ......................................................................................
Perumusan Masalah ..............................................................................
Tujuan Penelitian ..................................................................................
Manfaat Penelitian ................................................................................
Hipotesis ...............................................................................................

1

1
3
4
4
4

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5
Klasifikasi Tanaman Siwak ................................................................... 5
Karakteristik S. persica dan Habitatnya ................................................. 5
Kandungan Bahan Bioaktif S.persica .................................................... 7
Aktivitas Farmakologik S. Persica ........................................................ 7
Klasifikasi Khamir C. albicans ............................................................. 8
Morfologi dan Morfogenesis C. albicans .............................................. 8
Penyakit yang Disebabkan oleh C. albicans .......................................... 10
Senyawa Anticendawan yang Berasal dari Tumbuhan ........................... 10
METODE PENELITIAN ............................................................................
Waktu dan Tempat Penelitian ...............................................................
Bahan Penelitian ...................................................................................
Rancangan Penelitian ............................................................................
Analisis Statistika .................................................................................


14
14
14
14
18

HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 20
Identifikasi C. albicans ......................................................................... 20
Pengujian Aktivitas Anticendawan ........................................................ 21
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 26
LAMPIRAN ................................................................................................. 32

DAFTAR TABEL

Halaman
1
2


Penyakit yang disebabkan oleh C. albicans pada berbagai spesies ................
Logaritma jumlah C. albicans terhadap perlakuan beberapa
kandungan larutan siwak dan kumur komersial ............................................

10
21

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1

Kawanan unta yang sedang memakan daun S. persica ........................

5

2

Bentuk batang, daun, bunga dan buah S. persica ................................


6

3

Morfogenesis C. albicans ...................................................................

9

4

Khlamidospora C. albicans ..........................................................................

10

5

Kayu S. persica sebelum diekstraksi ............................................................

14

6

Grafik pertumbuhan linier normal C. albicans ....................................

17

7

(a) Cendawan C. albicans yang membentuk tabung kecambah
(b) Tabung sebelah kiri adalah kontrol dan tabung sebelah kanan
adalah sukrosa, kekeruhan menunjukkan adanya pertumbuhan
koloni cendawan ..........................................................................................

8

20

Interaksi antara pengaruh kadar bahan uji dan bahan uji
terhadap logaritma pertumbuhan jumlah C. albicans ..........................

22

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1
2

Gambar koloni cendawan pada SDA dari semua sampel .......................
Hasil analis statistika menggunakan perangkat lunak SAS ....................

33
35

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Status kesehatan mulut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan masyarakat dan genetik. Bagi negara
berkembang faktor yang paling berpengaruh adalah perilaku (Effendi 1990).
Faktor lain yang mempengaruhi kesehatan mulut menurut Finlayson et al. (2010)
adalah faktor psikososial berupa tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah
serta status sebagai ras minoritas dalam suatu negara. Tetapi tidak ditemukan
bahwa ras sebagai faktor pemicu status kesehatan mulut yang buruk.
Selain bakteri, cendawan sebagai salah satu mikroorganisme yang sering
dijumpai pada rongga mulut sangat memiliki peran penting dalam kesehatan
mulut. Cendawan telah diketahui bisa menyebabkan infeksi membran mukosa
rongga mulut. Lebih parah lagi, apabila cendawan melakukan penetrasi terhadap
inang yang mengalami luluh imun, akan menyebabkan infeksi cendawan invasif
(Cannon et al. 2009). Oleh karena itu, peran anticendawan sangat penting dalam
menanggulangi infeksi cendawan ini.
Fenomena ketahanan cendawan terhadap obat anticendawan semakin
meningkat akibat penggunaan obat anticendawan buatan. Hal ini disebabkan oleh
sedikitnya kelompok obat anticendawan yang membuat pilihan dokter dalam
mengobati pasien sangat terbatas. Tidak seperti obat antibakteri yang memiliki
lebih banyak pilihan karena beragamnya kelompok antibakteri yang ada. Sebagai
contoh, penggunaan kelompok azola untuk mengobati infeksi cendawan. Obat ini
sering digunakan karena penggunaannya yang mudah dan memiliki sedikit efek
samping. Namun, hal ini telah memicu terjadinya ketahanan cendawan terhadap
kelompok azola, yang terutama disebabkan oleh mekanisme modifikasi dari
pompa efluks pada membran plasma (Cannon et al. 2009).
Solusi untuk menghadapi fenomena ketahanan cendawan terhadap obat
anticendawan

adalah

melakukan

penelitian

untuk

menghasilkan

obat

anticendawan yang baru. Salah satu sumber untuk menjadi objek penelitian obat
anticendawan baru adalah tumbuhan. Tumbuhan sangat kaya akan metabolit
bioaktif sekunder yang sangat beragam, seperti tanin, terpenoid, saponin, alkaloid,

2

flavonoid dan senyawa lainnya yang telah dilaporkan mempunyai aktivitas
anticendawan (Arif et al. 2009). Salah satu tumbuhan yang memiliki kemampuan
sebagaimana dijelaskan di atas adalah siwak (Salvadora persica).
Pemakaian kayu siwak dalam menjaga kebersihan mulut telah dikenal
manusia sejak berabad-abad lalu, terutama oleh bangsa Arab yang hingga kini
masih menggunakannya sebagai alat kebersihan mulut selain sikat gigi dan pasta
gigi. Faktor sosial dan agama diduga menjadi pendorong utama penggunaan kayu
siwak, terutama bagi masyarakat muslim. Suatu studi yang membandingkan
pengobatan periodontal (jaringan ikat penyanggan akar gigi) yang dilakukan
terhadap pengguna siwak dengan bukan pengguna siwak menunjukkan bahwa
masyarakat pengguna siwak memiliki tingkat pengobatan periodontal yang lebih
rendah dibandingkan masyarakat bukan pengguna siwak (Al-Lafi dan Ababneh
1995), artinya kesehatan mulut dan gigi pengguna siwak lebih baik dibanding
dengan yang bukan pengguna siwak. Siwak juga terbukti secara ilmiah dapat
mencegah pembusukan gigi walaupun tanpa disertai tindakan pembersihan gigi
lain (Al-Bayati dan Sulaiman 2008)
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian untuk mengetahui manfaat
kayu siwak untuk menjaga kesehatan mulut, diantaranya adalah sebagai agen
antibakteri (Lewis dan Elvin-Lewis 1977; Abo Al-Samh dan Al-Bagieh 1996; AlLafi dan Ababneh 1995; Almas et al. 1997) dan anticendawan (Al-Bagieh et al.
1994). Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa ekstrak etanol kayu
siwak dapat disejajarkan dengan larutan kumur komersial yang mengandung
triklosan atau klorheksidin glukonat pada kandungan yang sangat tinggi (AlBayati dan Sulaiman 2008). Bahkan World Health Organization (WHO) telah
merekomendasikan dan mempromosikan penggunaan kayu siwak sebagai bahan
untuk menjaga kesehatan mulut (WHO 1987). Obat kumur yang mengandung
ekstrak kayu siwak terbukti dapat mencegah terjadinya perdarahan gusi dan
menurunkan resiko karies gigi akibat bakteri kariogenik (Khalessi et al. 2004).
Penggunaan kayu siwak sebagai pembersih mulut juga sangat sesuai dengan
prinsip Primary Health Care Approach (PHCA), yakni pencegahan, partisipasi
komunitas dan pengguanaan teknologi tepat guna (Almas dan Al-Bagieh 1999).

3

Menurut survei yang dilakukan Ndungu et al. (1990) tentang kemanjuran
kayu siwak dibandingkan sikat gigi modern, memperlihatkan bahwa keefektifan
kayu siwak setara dengan sikat gigi dalam menghambat plak gigi pada pasien
dengan plak gigi yang moderat. Gazi et al. (1990) melaporkan bahwa apabila
kayu siwak digunakan sebanyak lima kali dalam satu hari dapat menjadi alternatif
dalam mengurangi plak.
Candida albicans adalah khamir yang komensal (normal) terdapat pada
mukosa mulut, saluran pencernaan dan vagina. Namun, khamir ini bisa menjadi
masalah bila fase pertumbuhannya berubah dari fase khamir ke fase kapang ketika
berada di membran mukosa inang. Kejadian ini biasa disebut kandidiasis. Banyak
faktor yang bisa menyebabkan C. albicans menjadi mikroba patogen, yaitu suhu
yang optimal (37 oC), adanya serum, pH lingkungan yang tinggi dan sumber
karbon yang memadai (Berman dan Sudbery 2002). C. albicans bisa
menyebabkan infeksi serius terhadap mukosa mulut dan bisa menyebar dengan
mudah apabila pasien dalam kondisi yang tidak sehat. Kandidiasis orofaring yang
parah banyak dijumpai pada hampir seluruh pasien AIDS, transplantasi organ dan
terapi antiradang golongan steroid (Klein et al. 1984) dan juga menyebabkan
gastrointestinal kandidiasis yang parah pada pasien kanker yang sedang menjalani
kemoterapi atau terapi immunosupresan dosis tinggi (Pappas et al. 2004).

Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan:
(1) Apakah ekstrak etanol kayu siwak memiliki sifat anticendawan
terhadap C. albicans yang diperoleh dari mulut?
(2) Apakah efektifitas ekstrak etanol kayu siwak setara dengan larutan
kumur komersial yang beredar di Indonesia?

4

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat anticendawan ekstrak
etanol kayu siwak terhadap C. albicans yang diperoleh dari mulut dan efektifitas
ekstrak etanol kayu siwak dengan larutan kumur komersial yang beredar di
Indonesia.

Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan muncul suatu keyakinan bahwa
ekstrak etanol kayu siwak bisa digunakan sebagai anticendawan terhadap C.
albicans yang terdapat di dalam mulut dan sebagai alternatif larutan kumur yang
sudah ada di Indonesia.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
Pertama,
H0

: Ekstrak etanol kayu siwak memiliki sifat anticendawan terhadap
pertumbuhan C. albicans.

H1

: Ekstrak etanol kayu siwak tidak memiliki sifat anticendawan terhadap
pertumbuhan C. albicans.

Kedua,
H0

: Efektifitas anticendawan ekstrak etanol kayu siwak setara dengan larutan
kumur komersial terhadap pertumbuhan C. albicans.

H1

: Efektifitas anticendawan ekstrak etanol kayu siwak tidak setara dengan
larutan kumur komersial terhadap pertumbuhan C. albicans.

5

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Tanaman Siwak
Klasifikasi tanaman Salvadora persica di dalam Tjitrosoepomo (1998)
adalah
Divisio

: Embryophyta

Sub Divisio

: Spermatophyta

Class

: Dicotyledons

Sub Class

: Eudicotiledons

Ordo

: Brassicales

Family

: Salvadoraceae

Genus

: Salvadora

Spesies

: S. persica Linn

Karakteristik S. persica dan Habitatnya
Menurut Sher et al. (2010), S. persica adalah tumbuhan halofit yang
selalu berdaun hijau yang bisa hidup dilingkungan yang ekstrim, mulai dari
lingkungan yang sangat kering sampai dengan lingkungan yang berkadar garam
tanah yang sangat tinggi. Tumbuhan ini berupa semak belukar seperti ditunjukkan
Gambar 1 dengan tinggi maksimum tujuh meter.

Gambar 1

Kawanan unta yang sedang memakan daun S. persica.
Sumber: et al. (2010).

6

Dalam Sher et al. (2010) dijelaskan bahwa batang utama S. persica
diselimuti oleh cabang-cabang yang sangat lebat. Pertumbuhan tanaman ini
menuju ke segala arah, sampai cabang-cabangnya menyentuh tanah. Daunnya
berbentuk oblongelliptik (seperti telur) sampai bulat dengan ukuran 3x7 cm,
berwarna hijau gelap, agak tebal, bagian apeksnya meruncing sampai membulat,
mengecil tajam, bagian basis umumnya menyempit, terdapat batas daun yang
jelas, petiol (tulang daun) memiliki panjang sampai 10 mm, dan tersusun
berlawanan berpasangan. Bunga berwarna kehijauan sampai kekuningan, sangat
kecil, mudah lepas dari batang dan terdapat mulai dari bagian aksial sampai ujung
panikel (batang dengan cabang bunga yang banyak) sepanjang 10 cm. Buah
berbentuk bola, berdaging, memiliki diameter 5-10 mm, berwarna merah muda
sampai ungu dan semi transparan ketika sudah matang. Gambar 2 menunjukkan
bentuk batang, daun, bunga dan buah bisa S. persica.

Gambar 2

Bentuk batang, daun, bunga dan buah S. persica.
Sumber: Wikipedia (2010).

Persebaran S. persica kebanyakan terdapat di gurun, lapangan luas, tepi
sungai dan padang rumput. S. persica bisa bertahan pada lingkungan yang sangat
kering (curah hujan kurang dari 200 mm) dan sangat tahan terhadap garam dan
bisa ditemukan di daerah pantai. Rentang ketinggian daerah pertumbuhan
beragam mulai dari 0-1800 meter di atas permukaan laut (mdpl). S. persica juga
bisa tumbuh di tanah liat, tanah hitam dan pasir (Sher et al. 2010).

7

Kandungan Bahan Bioaktif S. persica
S. persica mengandung glikosida, sterol, terpenoid, flavonoid, tanin,
alkaloid, natrium klorida, kalium klorida, sulfat, nitrat, tiosianat, salvadorin,
saponin, tanin, vitamin C, silika, resin, sianogenik atau lignan glikosida, oleat,
linoleat, asam stearat, benzil-isotiosianat, trimetilamina, -sitosterol, asam manisik, kandungan mineral yang tinggi 27,6%, sulfur, fluorida yang berlimpah,
garam yang mengandung klorin (Al-Sadhan dan Almas 1999; Darout et al. 2000;
Ahmed et al. 2008; Al-Bayati dan Sulaiman 2008).

Aktivitas Farmakologik S. persica
S. persica memiliki kemampuan sebagai antibakteri, anticendawan,
antiplasmodium, antiplak, antiperiopati, antikaries, antiradang, diuretika, antimag,
antihelmin, pembersih gigi, antirematik, mengobati batuk dan asma, laksatifa,
memperbaiki mukosa lambung yang rusak, meningkatkan kadar kolesterol yang
rendah dalam plasma (Alali dan Al-Lafi 2002; Al-Sabawi et al. 2007; Al-Bayati
dan Sulaiman 2008).
Shibl et al. (1985) telah melakukan penelitian tentang efek antimikroba
ekstrak kayu siwak secara in vitro dengan menggunakan beberapa pelarut
ekstraksi, yaitu eter petroleum, kloroform dan metanol terhadap bakteri Gram
negatif dan positif serta cendawan. Hasil yang diperoleh menunjukkan semua
jenis ekstraksi tidak berpengaruh. Namun, minyak volatil dari batang dan daun
menunjukkan hasil yang meyakinkan sebagai antimikroba terhadap semua
mikroba yang diuji.
Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Saadabi (2006) yang melaporkan
bahwa ekstraksi yang menggunakan pelarut kloroform dan air menunjukkan
aktivitas penghambatan yang moderat dan ekstrak metanol menunjukkan
penghambatan yang kuat. Selain itu, Al-Bayati dan Sulaiman (2008) juga
melaporkan bahwa ekstraksi yang menggunakan pelarut air dan metanol
mempunyai aktivitas anticendawan yang sama. Hal tersebut mungkin disebabkan
oleh perbedaan galur Candida sp, area isolasi, dan perbedaan metode pengujian.
Ekstrak etanol kayu siwak pada kadar 200 mg/ml menunjukkan efek
anticendawan terhadap C. albicans dan pada kadar 100 mg/ml menunjukkan efek

8

yang lebih rendah. Sedangkan, kadar 50 mg/ml sama sekali tidak memiliki efek
anticendawan terhadap C. albicans (Abo Al-Samh dan Al-Bagieh 1996).

Klasifikasi Khamir C. albicans
Klasifikasi C. albicans di dalam Yarrow dan Meyer (1987) adalah
Kingdom

: Fungi

Phylum

: Ascomycota

Subphylum

: Saccharomycotina

Class

: Saccharomycetes

Order

: Saccharomycetales

Family

: Saccharomycetaceae

Genus

: Candida

Species

: C. albicans

Morfologi dan Morfogenesis C. albicans
C. albicans adalah khamir diploid dan tidak ditemukan bentuk
teleomorfnya (fase seksual) (Kavanagh 2005). C. albicans berukuran 4-10 µ m
(Calderone 2002). Habitat alami C. albicans adalah di daerah mukokutaneus dan
alat kelamin baik pada manusia maupun hewan (Quinn 1994). Morfologinya
dicirikan dengan bentuk dimorfik (memiliki dua bentuk yang berbeda pada satu
individu) yang merupakan salah satu parameter dalam mendiagnosa infeksi yang
diakibatkan oleh khamir ini. Bentuk khamir C. albicans bersifat komensal pada
inang, sedangkan bentuk kapangnya ditemukan pada saat terjadi infeksi.
Blastospora (sel khamir) berbentuk bulat sampai oval dan selnya terpisah
satu sama lain. Selain blastospora, C. albicans juga bisa membentuk hifa sejati
dan pseudohifa. Hifa sejati adalah sel yang panjang dan berkutub dengan sisi yang
pararel tanpa ada batas yang jelas. Pseudohifa adalah sel khamir berbentuk
elipsoida yang tetap menempel satu sama lain dan dibatasi oleh septa. Gambar 3
menunjukkan bentuk blastospora, hifa sejati dan pseudohifa. Perbedaan antara
hifa sejati dan pseudohifa adalah hifa sejati terbentuk dari blastospora dan cabang
dari hifa sejati.Adapun pseudohifa terbentuk dari blastospora atau pertunasan dari
hifa dimana sel baru tersebut tetap menempel pada sel induknya dan tetap

9

memanjang (Calderone 2002). Bentuk psudohifa dan hifa menjadi penciri untuk
mengidentifikasi Candida sp. dan juga berguna untuk diagnosis kandidiasis
(Heitman 2006).

Blastospora

Pseudohifa

Hifa sejati

Gambar 3

Morfogenesis C. albicans.
Sumber: Berman dan Sudbery (2002).

Perubahan bentuk C. albicans dari khamir ke kapang bisa terjadi karena
pengaruh berbagai macam faktor lingkungan, antara lain perubahan dari
komposisi media, penambahan serum, tumbuh pada kondisi kadar CO2 yang
tinggi atau semi anaerobik, pH dan suhu. Suhu dan pH yang optimal bagi
blatospora C. albicans berubah menjadi hifa adalah 35 oC dan 6,5-7,0. Jika suhu
lingkungan lebih rendah dari 35 oC dan pH cenderung asam, maka C. albicans
hanya akan membentuk blastospora baru (Calderone 2002). Menurut penelitian
Berman dan Sudbery (2002) C. albicans yang cacat dalam kemampuannya
berkecambah lebih tidak virulen, sedangkan bentuk hifa yang besar sulit dibunuh
oleh sel fagosit dibandingkan blastospora.
Heitman (2006) juga menyatakan bahwa C. albicans bisa membentuk
khlamidospora. Khlamidospora adalah bentuk pertahanan yang dibentuk pada
kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, contoh khlamidospora seperti
ditunjukkan Gambar 4. Khlamidospora memiliki diameter 8-12 µm (Calderone
2002).

10

Khlamidospora
Pseudohifa

Blastospora

Gambar 4

Khlamidospora C. albicans.
Sumber: Quinn (1994).

Penyakit yang Disebabkan oleh C. albicans
Menurut Quinn (1994), C. albicans bisa menyebabkan beberapa penyakit
pada manusia dan hewan seperti terpapar pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Penyakit yang disebabkan oleh C. albicans pada berbagai spesies.
Inang
Penyakit
Ayam, kalkun, merpati, dan burung Murai di mulut, oesofagus, dan
lainnya
tembolok, bisa sangat mematikan pada
burung
Anak kuda
Ulserasi pada abdomen
Kuda jantan dan betina dewasa
Infeksi alat kelamin
Anak sapi
Kandidiasis pneumonia, enterika dan
sistemik
Sapi betina
Mastitis dari derajat ringan sampai
sedang
Anak kucing dan anak anjing
Mikotik stomatitis
Anak kucing
Enteritis
Anjing betina
Infeksi saluran kelamin
Anjing jantan
Infeksi sistemik pada otot, tulang, kulit
Kucing
Piotoraks
Primata dan mamalia air
Kandidiasis mukokutaneus
Manusia
 Stomatitis mikotik pada bayi
 Infeksi kuku
 Infeksi saluran kelamin, kulit,
paru-paru dan oragan lainnya
Senyawa Anticendawan yang Berasal dari Tumbuhan
Tumbuhan telah menjadi sumber senyawa bioaktif yang sangat beragam,
baik dalam bentuk bahan mentah maupun senyawa yang sudah dimurnikan untuk
mengobati berbagai penyakit. Beberapa senyawa bioaktif yang telah dikenali
terpapar di bawah ini

11

Fenol
Lokasi dan beberapa gugus hidroksil pada fenol berhubungan dengan
kemampuan tumbuhan menghasilkan zat toksik terhadap mikroorganisme,
termasuk penghambatan enzim oleh senyawa teroksidasi yang berasal dari gugus
sulfhidril atau interaksi nonspesifik dengan protein. Senyawa yang termasuk ke
dalam kelompok ini adalah tanin dan asam salisilat (Schultes 1978).

Flavonoid
Flavon adalah struktur fenolik yang mengandung satu gugus karbon dan
tambahan gugus 3-hidroksil yang membentuk flavonol. Diantara senyawa
flavonoida

yang

telah dilaporkan

memiliki

efek

anticendawan adalah

amentoflavon (Lewis dan Elvin-Lewis 1995); eumatenoid-3, eupomatenoid-5
(Schultes 1978); conocarpan (Ferreira et al. 2006); orientin (Dharmaratne et al.
2005); 2-hydroxy maackiain (Jung et al. 2006). Turunan flavonoida seperti
scandenone, tiliroside, quercetin-3,7-O-α-L-dirhamnoside dan kaempferol-3,7-Oα-L-dirhamnoside juga dilaporkan memiliki aktivitas anticendawan terhadap C.
albicans dan pada kadar 1,0 µg/ml sama potensialnya dengan ketokonazol
(Ozçelik et al. 2006).

Saponin
Dalam Arif et al. (2009) Saponin adalah metabolit sekunder yang terdapat
pada berbagai macam spesies tumbuhan. Saponin disimpan dalam sel tumbuhan
sebagai prekursor inaktif, tetapi dengan segera bisa diubah menjadi antibiotika
yang aktif secara biologik oleh enzim sebagai bentuk reaksi terhadap serangan
patogen. Saponin adalah senyawa terglikosilasi yang tersebar pada kingdom
tumbuhan dan dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni triterpenoid, steroid, dan
steroidal glikoalkaloida. Mekanisme saponin sebagai anticendawan dilakukan
dengan cara mengganggu kekompakan membran dari sel cendawan. Spirostanol
(steroidal saponin) yang diisolasi dari akar Smilax medica bersama dengan 3-o-βD-glucopyranoside (Cowan 1999); disporoside A (Sautour et al. 2005); dua
senyawa steroidal saponin yang diisolasi dari Smilax aspera subspesies
mauritanica, memperlihatkan aktivitas melawan C. albicans, C. galbrata dan C.

12

tropicalis (Belhouchet et al. 2008). Delapan saponin dari Tribulus terrestris
dilaporkan terdapat dua senyawa yang menunjukkan aktivitas yang bagus
melawan galur Candida yang tahan terhadap flukonazola (Zhang et al. 2005).
Tiga spirostanol saponin tersusun dari sansevierin A, sansevistatin 1, sansevistatin
2 dan tiga steroidal saponin yang diisolasi dari Sansevieria ehrenbergii sangat
khusus memperlihatkan aktivitas melawan C. albicans dan Cryptococcus
neoformans (Du et al. 2003).

Alkaloid
Dalam Arif et al. (2009) Alkaloida adalah senyawa heterosiklik nitrogen.
Contoh senyawa alkaloida yang pertama kali digunakan dalam dunia medis adalah
morfin yang diisolasi dari Papaver somniferum. Baru-baru ini Alkaloida yang
diisolasi dari Datura metel yaitu 2-(3,4-dimetil-2,5-dihidro-1H-pirrol-2-yl)-1metiletilpentanoat menunjukkan secara in vitro efektif terhadap genus Aspergillus
dan Candida (Dabur et al. 2005). 6,8-didec-(1Z)-enyl-5,7-dimethyl-2,3-dihydro1H-indolizinum dari Aniba panurensis menunjukkan aktivitas terhadap galur C.
albicans yang tahan terhadap anticendawan (Klausmeyer et al. 2004). Bromo-8-nheksilberberin, turunan dari berberin, dilaporkan menjadi 32 kali lebih aktif
melawan C. albicans dibanding dengan berberin (Iwasa et al. 1998). Senyawa
Alkaloida lain yang juga menunjukkan aktivitas terhadap C. albicans adalah
Cinnamodial dan cinnamosmolide dari Pleodendron costaricense (Treyvaud et al.
2006), 3-Metoksisampangin dari Cleistopholis patens (Liu et al. 1990).

Terpenoid dan minyak asiri
Dalam Arif et al. (2009) minyak asiri adalah metabolit sekunder yang
diperkaya pada senyawa yang berdasarkan pada struktur isoprena. Terpena secara
umum memiliki formula kimia C10H16, kemudian menjadi diterpena, triterpena,
tetraerpena (C20,C30,C40). Begitu juga dengan hemiterpena (C5). Mekanisme
anticendawan dari terpena belum sepenuhnya dimengerti. Ada pendapat bahwa
aktivitas anticendawan disebabkan oleh terganggunya membran dinding sel oleh
kandungan lipofiliknya. Hal ini dikarenakan penambahan zat hidrofilik berupa
kaurene diterpenioda dengan gugus metil, mengurangi aktivitas antcendawan

13

terpena secara drastis. Beberapa senyawa terpena dan terpenoida telah dilaporkan
mempunyai aktivitas anticendawan (Kumbhar dan Dewang 2001).
Pada tahun 1977 telah dilaporkan bahwa 60% dari turunan minyak asiri
mampu menghambat pertumbuhan cendawan dan 30% menghambat pertumbuhan
bakteri (Chaurasia dan Vyas 1977). Beberapa contoh minyak esensial yang telah
dilaporkan memiliki aktivitas anticendawan terhadap C. albicans adalah 8,17epoxylabd-12-ene-15,16-dial (Haraguchi et al. 1996), sesquiterpena lakton dari
tanaman Ajania fruticulosa (Meng et al. 2001).

14

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November–Juli 2010. Penelitian
dilaksanakan di laboratorium Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Kimia Kayu Departemen
Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan Laboratorium Biokimia
Departemen Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB

Bahan Penelitian
Media dan reagen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kaldu/agar
Sabauraud Dextrose (SD B/A), albumin telur bebek, air suling sucihama, etanol
96%, kayu siwak dan larutan kumur komersial.

Rancangan Penelitian
Ekstrak etanol kayu siwak
Pembuatan ekstrak etanol kayu siwak mengikuti metode Abdelrahman et
al. (2002) yang dimodifikasi. Kayu siwak diperoleh dari Saudi Arabia. Kayu
siwak yang diperoleh dipotong-potong menjadi bagian yang kecil dan
dihancurkan untuk mendapatkan bubuk kayu siwak. Ekstraksi kayu siwak
menggunakan pelarut etanol 96%. Gambar 5 menunjukkan bentuk kayu siwak
sebeluk dipotong-potong.

Gambar 5

Kayu S. persica sebelum diekstraksi.
Sumber: Zaenab et al. (2004).

15

Proses ekstraksi dilakukan dengan cara mencampurkan 50 g bubuk kayu
siwak dengan 250 ml larutan pengekstrak dalam botol kering berpenutup yang
sudah suci hama. Botol disimpan selama sembilan hari pada suhu kamar (25-27
o

C). Selama penyimpanan botol digoyang-goyang menggunakan penggoyang

(shaker) dengan kecepatan 400 rotasi per menit. Larutan akan diganti setiap 24
jam dan supernatan yang ada disimpan dalam botol terpisah pada suhu 40-60 oC.
Volume masing-masing ekstraksi dikurangi dengan cara dilakukan penguapan
menggunakan evaporator pada suhu 35-38

o

C dan pelarut yang tertinggal

dibiarkan menguap oleh pengeringan selama 2-4 hari pada suhu kamar (25-27 oC).
Hasil ekstrak kasar yang diperoleh adalah kurang lebih 5 ml. Larutan terakhir ini
disimpan di tempat kering pada suhu 4 oC hingga digunakan saat pengujian.
Ketika akan digunakan untuk pengujian, ekstrak kasar ditambah 0,5%
Tween 80 untuk dijadikan larutan siap pakai dengan kandungan 300 mg/ml.
Larutan ini disentrifugasi 15800 g selama 20 menit pada suhu 10 oC. Supernatan
disucihamakan menggunakan kertas penyaring yang berukuran pori 0,2 µm.

Larutan kumur komersial
Tiga larutan kumur komersial yang digunakan pada penelitian ini
diperoleh dari toko swalayan. Setelah dicatat secara rinci informasi yang tertera
pada label kemasan, label dilepaskan dan larutan kumur tersebut diberi identitas
baru yaitu, Larutan kumur komersial I, II dan III. Larutan kumur komersial yang
akan diperiksa diencerkan secara serial dari pengenceran 1:10, 1:20 sampai
1:2560 (v/v) menggunakan media kaldu SD. Kontrol negatif yang digunakan
adalah media kaldu SD yang sudah ditambahkan C. albicans tanpa disertai
penambahan bahan uji.

Isolat C. albicans
Penelitian ini menggunakan C. albicans yang berasal dari rongga mulut.
Untuk mendapatkan C. albicans tersebut, lima orang sukarelawan diminta
melakukan kumur-kumur menggunakan air suling suci hama pada jam 06.00 WIB
sebelum menyikat gigi. Kelima sampel air kumur ditampung dalam plastik bening
suci hama yang sudah diberi label ARS, MJD, CAT, ADT dan W. Kelima wadah

16

plastik tersebut disimpan di dalam coolbox. Air kumur dibawa ke Laboratorium
Mikologi FKH IPB untuk dibiakkan pada lima cawan petri berisi media SDA
padat dengan cara menggores dua öse dari masing-masing sampel. Kemudian
diinkubasi pada suhu 37oC di dalam inkubator selama tiga hari. Setiap koloni
yang tumbuh dari masing-masing cawan petri diberi label kemudian diinkubasi
pada suhu 37oC di dalam inkubator selama tiga hari dan kembali ditumbuhkan
sebanyak dua kali. Koloni yang diduga C. albicans diidentifikasi menurut AlDoory (1980). Koloni yang teridentifikasi sebagai koloni C. albicans kembali
dibiakkan pada media SDA padat sebagai isolat murni. Pada penelitian ini C.
albicans yang digunakan pada pengujian disetarakan dengan Mc Farland 1.

Pertumbuhan linier C. albicans
Pertumbuhan linier normal C. albicans adalah gambaran pertumbuhan C.
albicans yang diukur berdasarkan jumlah koloni C. albicans sebenarnya pada
media SDA terhadap nilai absorbansi pada tingkat pengenceran berbeda. Semakin
tinggi nilai absorbansi maka jumlah koloni pada media tumbuh juga semakin
banyak. Sebanyak 1 ml C. albicans yang sudah disetarakan dengan Mc Farland 1
ditambahkan pada tabung reaksi berisi sembilan mililiter media kaldu SD.
Penambahan ini akan membuat pengenceran 1:10 (v/v). Demikian
selanjutnya dilakukan sehingga didapatkan campuran media tumbuh dan
inokulum C. albicans yang akan diperiksa dengan pengenceran 1:10-2 sampai
1:10-6 (v/v). Setiap tabung diambil dua öse kemudian digores pada media SDA
tersendiri untuk melihat pertumbuhan koloni sebenarnya. Absorbansi C. albicans
pada media kaldu SD diukur dengan menggunakan Spektrofotometer UV-VIS
pada panjang gelombang 650 nm dengan dua kali ulangan. Hasil penghitungan
jumlah koloni C. albicans pada cawan petri setiap pengenceran dihitung rataratanya kemudian dijadikan logaritma dengan basis 10. Nilai absorbansi dan nilai
Log jumlah koloni diolah dengan regresi linier untuk mendapatkan persamaan
baku. Gambar 6 menunjukkan grafik pertumbuhan linier normal C. albicans.

17

Gambar 6

Grafik pertumbuhan linier normal C. albicans.

Pada Gambar 6 terlihat persamaan regresi linier y=0,204x+1,2016.
Persamaan tersebut menjadi persamaan baku untuk menghitung jumlah koloni C.
albicans pada larutan yang akan diuji sesuai dengan nilai absorbansinya. Sebelum
melakukan penghitungan jumlah koloni, kadar bahan aktif dari semua bahan uji
harus diketahui terlebih dahulu. Kemudian dilakukan penghitungan persamaan
regresi linier antara kadar bahan aktif dengan nilai absorbansi larutan tersebut.
Nilai x pada persamaan regresi linier yang telah diketahui diganti dengan nilai
kadar bahan aktif. Dengan demikian nilai y akan didapat. Barulah nilai y tersebut
dimasukkan kedalam persamaan baku.

Pengujian aktivitas anticendawan
Metode pengujian aktivitas anticendawan dari ekstrak kayu Siwak
mengikuti Sutter et al. (1979), AbdelRahman et al. (2002), Koselac et al. (2005),
Pires et al. (2007) dan Al-Bayati dan Sulaiman (2008) yang dimodifikasi.
Larutan ekstrak kayu Siwak, larutan kumur komersial dan larutan yang
akan digunakan sebagai kontrol negatif diencerkan dengan cara menambahkan 1
ml larutan yang diperiksa ke dalam 9 ml kaldu SD. Penambahan ini akan
membuat pengenceran 1:10 (v/v). Demikian selanjutnya dilakukan sehingga
didapatkan campuran media tumbuh dan larutan yang akan diperiksa dengan
pengenceran 1:20 sampai 1:2560 (v/v).

18

Sebanyak 10 µ l larutan inokulum C. albicans, dipindahkan masing-masing
ke dalam tabung reaksi seperti yang sudah disiapkan di atas. Seluruh media yang
telah diinokulasi C. albicans diinkubasi pada suhu 37 oC selama 72 jam. Setelah
masa inkubasi dicapai, pertumbuhan koloni diukur dengan menggunakan
Spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 650 nm dengan tiga kali
ulangan.

Analisis Statistika
Data yang dari penelitian ini akan diolah menggunakan analisis sidik
ragam (analisis of varian, ANOVA) Multifaktorial. Dengan metode ini dapat
diuraikan keragaman total menjadi komponen-komponen yang mengukur
berbagai sumber keragaman. Diasumsikan bahwa contoh acak yang dipilih berasal
dari populasi yang normal dengan ragam yang sama, kecuali bila contoh yang
dipilih cukup besar, asumsi tentang distribusi normal tidak diperlukan lagi
(Wibisono, 2005). Dengan menggunakan metode ini akan mudah mengetahui
apakah terdapat perbedaan yang berbeda nyata atau tidak dari beberapa nilai ratarata contoh yang diselidiki, sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan menerima
hipotesis nol atau menerima hipotesis alternatifnya.
Untuk mengetahui suatu hipotesis nol itu valid atau tidak, perlu kita uji
ada tidaknya perbedaan nilai rata-rata dari seluruh contoh.
H0 : μ1 = μ2 = … = μr menyatakan bahwa beberapa nilai rata-rata contoh
memiliki nilai parameter populasi yang sama. Jika pernyataan ini terpenuhi, maka
rata-rata populasi untuk berbagai macam contoh berasal dari satu macam populasi
atau dari populasi yang sama pula.
H1 : μ1 ≠ μ2 ≠ … ≠ μr menyatakan bahwa setidaknya ada nilai rata-rata
contoh yang diperoleh dari populasi tertentu memiliki rata-rata yang berbeda
untuk suatu i≠j. Menurut ini, perbedaan antara beberapa contoh sangat signifikan.
Selanjutnya

adalah

mencari

nilai

ragam

populasi

σ 2.

Untuk

mengetahuinya, perlu dilakukan pendugaan besarnya ragam antar kelompok
(variance between sample, s2/x) serta ragam dalam contoh (variance within
sample, s 2 ). Bila ada sebanyak r kelompok dan tiap-tiap kelompok memiliki µ
ukuran contoh, maka uji statistik distribusi F merupakan rasio :

19

F = ragam antar kelompok/ragam dalam contoh = (n s2/x) / s 2
Bila perbedaan kedua ragam s p1 dan s p2 sangat kecil atau mendekati satu,
kemungkinan hipotesis nol dapat diterima. Sebaliknya bila nilai F terlalu besar,
kecenderungan hipotesis nol akan ditolak sehingga ada kemungkinan μ1 ≠ μ2 ≠
… ≠ μn, yang berarti contoh acak yang dipilih bukan berasal dari populasi yang
sama sehingga kemungkinan besar hipotesis alternatifnya yang diterima.

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi C. albicans
Koloni yang diduga C. albicans hanya tumbuh pada sampel dengan kode
ARS 3. Untuk memastikan bahwa koloni tersebut benar-benar C. albicans, harus
dilakuakn uji tabung kecambah dan uji asimilasi sukrosa. Uji tabung kecambah
dilakukan pada isolat ini dengan cara membiakkannya pada media albumin telur
bebek dan diinkubasi selama tiga jam pada suhu 37 oC.
Di akhir masa inkubasi, cendawan membentuk tabung kecambah seperti
yang terlihat pada Gambar 7(a). Untuk memastikan koloni tersebut memang
koloni C. albicans atau bukan, maka dilakukan uji biokimiawi berupa uji asimilasi
sukrosa. Seperti ditunjukkan Gambar 7(b) hasil positif diperoleh dari uji tersebut
karena terlihat adanya pertumbuhan koloni cendawan. Berarti bisa dipastikan
bahwa koloni yang diuji adalah koloni C. albicans.

(a)
Gambar 7

(b)

(a) Cendawan C. albicans yang membentuk tabung kecambah (tanda panah)
(b) Tabung sebelah kiri adalah kontrol dan tabung sebelah kanan adalah
sukrosa, kekeruhan menunjukkan adanya pertumbuhan koloni cendawan.

21

Pengujian Aktivitas Anticendawan
Hasil pengujian aktivitas anticendawan ekstrak etanol kayu siwak dan
beberapa larutan kumur komersial dalam menghambat pertumbuhan C. albicans
seperti ditunjukkan Tabel 2 dan Gambar 8 di bawah ini. Penghambatan
pertumbuhan C. albicans terbesar dihasilkan oleh larutan kumur komersial I pada
pengenceran 1:10. Demikian juga penghambatan terendah dihasilkan oleh larutan
kumur komersial I pada pengenceran 1:2560. Seperti terlihat pada Tabel 2,
penghambatan jumlah C. albicans oleh ekstrak etanol kayu siwak bila
dibandingkan dengan ketiga larutan kumur komersial sangat rendah. Hal ini
mungkin disebabkan oleh pencemaran pada saat penggilingan kayu siwak,
pemilihan pelarut dan pencemaran kayu siwak pada saat ekstraksi dan pemilihan
metode pengujian anticendawan yang tidak tepat. Pemilihan metode pengujian
yang tidak tepat bisa disebabkan oleh tidak adanya baku mutu dan panduan
fraksinasi bahan bioaktif pada proses ekstraksi kayu siwak (Al-Bayati dan
Sulaiman 2008)

Tabel 2 Logaritma jumlah C. albicans terhadap perlakuan beberapa kandungan larutan
siwak dan kumur komersial.

Pengenceran
bahan uji
Kontrol negatif
1:10
1:20
1:40
1:80
1:160
1:320
1:640
1:1280
1:2560

Populasi khamir yang dipengaruhi bahan uji (CFU/ml)
Siwak
I
II
III
a
a
a
2,062
2,062
2,062
2,062a
b
h
g
0,690 +0,675 -5,504 +0,466 -2,660 +0,790 -4,678h+0,392
0,691b+0,673 -2,044fg+0,411 -1,458ef+0,532 -4,678h+0,231
0,693b+0,667 -0,314d+0,537 -0,857de+0,405 -4,678h+0,151
0,697b+0,655 0,551bc+0,619 -0,556d+0,342 -4,677h+0,112
0,705b+0,632 0,984b+0,664 -0,406d+0,311 -4,674h+0,092
0,720b+0,586 1,200b+0,686 -0,331d+0,296 -4,670h+0,082
0,751b+0,495 1,308b+0,698 -0,293cd+0,288 -4,662h+0,077
0,812b+0,312 1,362b+0,704 -0,275cd+0,284 -4,645h+0,075
0,935b+0,089 1,389b+0,706 -0,265cd+0,282 -4,611h+0,074

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji
5%.

Ekstrak etanol kayu siwak menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan
kontrol. Namun pengenceran kadar ekstrak etanol kayu siwak tidak memberikan
hasil yang berbeda nyata. Hal ini berarti pengenceran konsentrasi ekstrak etanol

22

kayu siwak tidak berpengaruh terhadap penghambatan jumlah C. albicans.
Ekstrak etanol kayu siwak juga menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan
tiga larutan kumur komersial yang telah diuji. Dapat disimpulkan bahan uji yang
paling efektif dalam menghambat pertumbuhan C. albicans pada penelitian ini
adalah larutan kumur komersial III seperti ditunjukkan Gambar 8.

Gambar 8 Interaksi antara pengaruh kadar bahan uji dan bahan uji terhadap
logaritma pertumbuhan jumlah C. albicans.
Menurut penelitian yang dilakukan Abdelrahman et al. (2002), pelarut
yang digunakan dalam ekstraksi memberikan pengaruh dalam menarik bahan aktif
kayu siwak. Oleh karena itu, terdapat perbedaan kandungan kimiawi kayu siwak
antara yang menggunakan pelarut etanol, metanol, kloform, dan sebagainya.
Sedangkan kekuatan aktivitas anticendawannya juga mungkin dipengaruhi oleh
pH hasil ekstraksinya. Sebagai contoh, ekstraksi yang menggunakan pelarut
etanol memiliki pH yang paling rendah dan ekstraksi yang menggunakan air
memiliki pH yang paling tinggi.

23

Pada penelitian ini pelarut yang digunakan dalam ekstraksi adalah etanol.
Menurut Cowan (1999) ekstraksi yang menggunakan pelarut etanol akan menarik
bahan aktif tanin, polifenol, poliasetilen, flavonol, terpenoida, sterol, alkaloida,
dan propolis. Dari bahan aktif tersebut, kayu siwak mengandung tanin, flavonol,
terpenoid, sterol dan alkaloid (Ahmed et al. 2008; Al-Bayati dan Sulaiman 2008;
Al-Sadhan dan Almas 1999)
Tanin termasuk kedalam kelompok fenol polimerik. Tanin terbentuk dari
proses kondensasi turunan flavan yang disalurkan ke jaringan kayu tumbuhan.
Tanin yang dikandung kayu siwak mampu menghambat C. albicans dengan cara
membentuk kompleks irreversible dengan prolin kaya protein untuk menghambat
penempelan C. albicans (Abo Al-Samh dan Al-Bagieh 1996). Tanin juga bisa
merangsang sel fagosit dan menginaktivasi adhesins dan enzim (Cowan 1999).
Hal ini sangat berguna untuk melawan C. albicans karena mekanisme penetrasi C.
albicans pada jaringan inang adalah mengekresikan beragam enzim proteolitik
dan lipolitik, diantaranya lipase, fosfolipase B dan proteinase aspartil tersekresi
(secreted aspartyl proteinase, SAP) (Yordanov et al. 2008).
Flavonol merupakan struktur fenol yang mengandung satu gugus karbonil
ditambah dengan gugus 3-hidroksil. Flavonol akan dihasilkan oleh tumbuhan
ketika adanya infeksi mikroba. Oleh karena itu, pada penelitian-penelitian in vitro
flavonol menunjukkan aktivitas antimikroba yang baik. Menurut Cowan (1999),
mekanisme kerja flvonol adalah menganggu membran dinding sel cendawan,
membentuk kompleks dengan reseptor yang ada di ekstrasel dan membentuk
kompleks dengan protein terlarut.
Alkaloida adalah senyawa nitrogen heterosiklik. Kayu siwak telah
diketahui mengandung senyawa alkaloida berupa salvadorin (Al Bayati dan
Sulaiman 2008). Akan tetapi belum diketahui secara pasti mekanisme kerja
salvadorin untuk melawan infeksi cendawan. Secara umum kelompok alkaloida
memiliki kemampuan interkalasi dengan DNA cendawan (Cowan 1999).
Interkalasi adalah proses pemasukan reversible satu molekul atau lebih ke dalam
dua molekul atau lebih lainnya.
Larutan Kumur komersial I mengandung fluorida. Mekanisme kerja
fluorida adalah menghambat proses glikolisis dan menghalangi pengangkutan

24

glukosa ke dalam sel (Satari 1990). Hal ini terjadi dikarenakan fluorida
mendenaturasi protein dan menginaktifkan enzim pada membran sel sehingga
metabolisme

cendawan terganggu.

Penelitian terkini

mengenai

fluorida

menyatakan bahwa fluorida memiliki aktivitas anticendawan pada kandungan 1020 mg/ml (Ates et al. 2005).
Larutan Kumur komersial II mengandung alkohol. Mekanisme kerja
alkohol adalah mengontrol produksi biofilm oleh mikroba mulut. Biofilm akan
menghasilkan asam, endotoksin dan antigen, yang ketiga zat ini sangat
berpotensial untuk merusak gigi dan jaringan penunjangnya (Segundo et al.
2007). Alkohol bisa digunakan sebagai terapi pelengkap setelah dilakukan
pemindahan biofilm secara mekanis oleh dokter gigi atau digunakan setelah
menyikat gigi. Struktur konfigurasi bipolar alkohol berperan dalam melarutkan
komponen hidrofobik dan hidrofilik pada sel cendawan (Haq 2009). Penggunaan
larutan kumur komersial yang mengandung kadar alkohol tinggi harus dihindari
karena telah terbukti alkohol dapat menyebabkan lesio hiperkeratostosik baik
pada manusia maupun pada hewan laboratorium (Carretero et al. 2004).
Larutan Kumur komersial III mengandung povidon iodium. Povidon
iodium telah diketahui memiliki aktivitas antikandida dan juga memiliki aktivitas
antiperlekatan (Ahariz dan Cortois 2010). Aktivitas antiperlekatan akan mencegah
C. albicans untuk melakukan perlekatan pada permukaan rongga mulut, jika
perlekatan tersebut bisa dicegah, maka C. albicans tidak akan mampu melakukan
penetrasi pada sel epitel rongga mulut. Pada penelitian ini, larutan kumur
komersial III yang mengandung povidon iodium sangat efektif menghambat
pertumbuhan C. abicans.

25

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa ekstrak etanol
kayu siwak memiliki aktivitas anticendawan terhadap C. albicans, akan tetapi
aktivitas anticendawan yang dihasilkan masih lebih rendah bila dibandingkan
dengan larutan kumur komersial.

Saran
Dengan sejumlah kendala yang dihadapi dalam penelitian, maka beberapa
saran diajukan untuk memperbaiki penelitian-penelitian sejenis di masa
mendatang, diantaranya
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang membandingkan ekstrak kayu
siwak dengan berbagai pelarut dengan tujuan untuk mengetahui
aktivitas anticendawan yang paling efektif.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai pemurnian bahan bioaktif yang
terdapat dalam kayu Siwak dengan tujuan untuk mendapatkan
komponen bioaktif yang paling efektif sebagai anticendawan alternatif.
3. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh pensucihamaan kayu
siwak terhadap aktivitas antimikrobanya.

26

DAFTAR PUSTAKA

Abdelrahman HF, Skaug N, Francis GW. 2002. In vitro antimicrobial effects of
crude miswak extracts on oral pathogens. Saudi Dental J 14(1):26-32.
Abo Al-Samh D, Al-Bagieh N. 1996. A study of antibacterial activity of the
miswak extract in vitro. Biomed Lett 53: 225-238.
Ahmed SS, El-Gengaihi SEE, El-Sayed Ibrahim M,

Dokumen yang terkait

EFEK ANTIFUNGAL EKSTRAK ETANOL SIWAK (Salvadora persica) TERHADAP PERTUMBUHAN Candida albicans PADA MEDIA SABOURAUD DEKSTROSE AGAR

1 3 8

PEMANFAATAN EKSTRAK BATANG SIWAK (Salvadora persica) SEBAGAI LARUTAN KUMUR DENGAN PENAMBAHAN Pemanfaatan Ekstrak Batang Siwak (Salvadora persica) sebagai Larutan Kumur dengan Penambahan Ekstrak Jeruk Nipis dan Stroberi.

0 3 19

PEMANFAATAN EKSTRAK BATANG SIWAK (Salvadora persica) SEBAGAI LARUTAN KUMUR DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK JERUK NIPIS Pemanfaatan Ekstrak Batang Siwak (Salvadora persica) sebagai Larutan Kumur dengan Penambahan Ekstrak Jeruk Nipis dan Stroberi.

0 2 15

KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN KADAR KALSIUM LARUTAN KUMUR EKSTRAK SIWAK (Salvadora persica) DENGAN Kualitas Organoleptik dan Kadar Kalsium Larutan Kumur Ekstrak Siwak (Salvadora persica) dengan Penambahan Ekstrak Jeruk Purut dan Stroberi.

0 4 15

KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN KADAR KALSIUM LARUTAN KUMUR EKSTRAK SIWAK (Salvadora persica) DENGAN Kualitas Organoleptik dan Kadar Kalsium Larutan Kumur Ekstrak Siwak (Salvadora persica) dengan Penambahan Ekstrak Jeruk Purut dan Stroberi.

0 2 16

UJI DAYA ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL KAYU SIWAK (Salvadora persica) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora Persica) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Porphyromonas Gingivalis Penyebab Gingivitis In Vitro.

0 1 16

Perbedaan Zona Hambat Ekstrak Kayu Siwak (Salvadora persica) dan Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap pertumbuhan Candida albicans

0 1 12

Perbedaan Zona Hambat Ekstrak Kayu Siwak (Salvadora persica) dan Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap pertumbuhan Candida albicans

0 0 5

Perbedaan Zona Hambat Ekstrak Kayu Siwak (Salvadora persica) dan Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap pertumbuhan Candida albicans

2 2 16

Perbedaan Zona Hambat Ekstrak Kayu Siwak (Salvadora persica) dan Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap pertumbuhan Candida albicans

0 4 4