Pola Konsumsi Pangan, Status Gizi Dan Pengetahuan Reproduksi Remaja Putri

(1)

ANITA RAHMIWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pola Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Pengetahuan Reproduksi Remaja Putri adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2007

Anita Rahmiwati NRP A551050051


(3)

Reproduksi Remaja Putri. Dibimbing oleh BUDI SETIAWAN dan LILIK KUSTIYAH.

Kualitas reproduksi akan terwujud bila didukung kesiapan reproduksi yang baik. Kesiapan reproduksi pada remaja dipengaruhi oleh kesiapan fisik yang digambarkan melalui status gizi dan kesehatan remaja serta kesiapan mental berupa persepsi remaja terhadap kesehatan reproduksi. Persepsi terhadap kesehatan reproduksi yang baik akan sangat mendukung kesiapan reproduksi remaja guna menurunkan angka kematian ibu dan kejadian berat bayi lahir rendah. Dalam penelitian ini dipelajari pola konsumsi pangan, status gizi dan pengetahuan reproduksi remaja putri. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposif (purposive sampling). Contoh penelitian adalah siswi di SMAN 1 dan Pondok Pesantren Daarun Nadhah Thawalib di Kecamatan Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Pemilihan Sekolah Menengah Atas dengan pertimbangan sekolah tersebut merupakan sekolah favorit di Kecamatan Bangkinang dan sebagian besar lulusannya cenderung memilih melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan pemilihan Pondok Pesantren berdasarkan pertimbangan setelah lulus sekolah mereka diharapkan segera mandiri (bekerja atau menikah). Waktu pengambilan data dimulai pada bulan Februari sampai Maret 2007.

Pengambilan contoh penelitian dilakukan secara acak (random sampling). Jumlah contoh adalah 60 siswi, dengan rincian 30 siswi berasal dari SMA Negeri I Bangkinang dan 30 siswi berasal dari Pondok Pesantren Daarun Nadhah Thawalib Bangkinang. Data penelitian yang dikumpulkan berupa data sekunder dan data primer. Data sekunder meliputi keadaan umum sekolah dan daftar nama siswa. Data primer yang dikumpulkan meliputi sosial ekonomi keluarga dan contoh, pendapatan keluarga, pengetahuan gizi, frekuensi pangan, perilaku konsumsi, recall konsumsi pangan, status gizi (berat badan, tinggi badan, dan kadar hemoglobin), status fisiologis, tingkat kelelahan, pengetahuan dan persepsi terhadap kesehatan reproduksi. Untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan uji korelasi Pearson. Uji beda t digunakan untuk menganalisis perbedaan berbagai variabel kuantitatif di SMA dengan Pondok Pesantren. Lama pendidikan bapak dan ibu contoh di SMA lebih tinggi dibandingkan dengan contoh di Pesantren, sedangkan untuk tingkat ekonomi (pendapatan keluarga perkapita dan uang saku) tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) antara contoh di SMA dan di Pesantren. Pola konsumsi contoh di Pesantren cenderung lebih baik dibandingkan dengan contoh di SMA. Namun secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) antara contoh di SMA dan di Pesantren. Pengetahuan gizi contoh di pesantren cenderung lebih baik dibandingkan dengan contoh di SMA namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) pengetahuan gizi contoh di SMA dan Pesantren. Indeks Massa Tubuh (IMT) contoh secara umum termasuk normal (73.3 % di SMA dan 80 % di Pesantren). Tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) IMT contoh di SMA dan Pesantren. Prevalensi anemia tinggi (100 % di SMA dan 73.3 % di


(4)

contoh di Pesantren namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) pengetahuan reproduksi contoh di SMA dan di Pesantren. Pengetahuan reproduksi memiliki hubungan positif dan nyata dengan lama pendidikan bapak (P<0.01) dan pendapatan perkapita (P<0.05). Persepsi terhadap kesehatan reproduksi contoh di SMA cenderung lebih baik dibandingkan dengan contoh di pesantren namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) antara persepsi contoh di SMA dan di Pesantren. Terdapat hubungan yang nyata antara IMT dengan persepsi (P<0.05). Remaja putri di Pesantren memiliki kesiapan reproduksi yang lebih baik dibandingkan dengan remaja putri di SMA.


(5)

ANITA RAHMIWATI. Food Consumption Pattern, Nutritional Status and Reproduction Knowledge of Adolescent Girls. Under direction of BUDI SETIAWAN and LILIK KUSTIYAH.

The study was aimed to compare the food consumption pattern, nutritional status and reproduction knowledge of adolescent girls at senior high school and pesantren. Subjects of this study were 60 students of senior high school and pesantren, Bangkinang, Riau.The study employed a cross sectional design. The result showed that the parents education of subject at senior high school was higher than parents education of subject at pesantren. There was not significantly different in economy level (family’s income per capita and pocket money)between subject at senior high school and pesantren (p>0.05). Food consumption pattern and nutritional knowledge of subject at pesantren was better than subject at senior high school however there were not significantly different between subject at senior high school and pesantren (p>0.05).Body Mass Indeks (BMI) in generally was normal(73.3 % at senior high school and 80 % at pesantren) and prevalence of anemia was high, with over 70 % anemic ( 100 % at senior high school and 73.3 % at pesantren ). There were significantly different between iron status of subject at senior high school and pesantren (p<0.05). Reproduction knowledge of subject at senior high school was better than subject at pesantren. Reproduction knowledge was positive significant effect on education of father (P<0.01) and family’s income per capita (P<0.05). Measurement of perception on reproduction health showed that almost of all adolescent girls were not ready on mental due to reproduction health. BMI was significant effect on perception on reproduction health (P<0.05). Adolescent girls at pesantren were more ready in reproduction than adolescent girls at senior high school.

keywords : Food consumption pattern, nutritional status, reproduction knowledge, adolescent girls


(6)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

(8)

ANITA

RAHMIWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(9)

Reproduksi Remaja Putri Nama : Anita Rahmiwati

NIM : A551050051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Gizi Dekan Sekolah Pascasarjana Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

vii

Halaman

DAFTAR TABEL ...

ix

DAFTAR GAMBAR ...

xi

DAFTAR LAMPIRAN...

xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ...

1

Tujuan Penelitian ...

3

Kegunaan Penelitian ...

3

TINJAUAN PUSTAKA ...

4

Karakteristik Remaja...

4

Pengetahuan Gizi ...

5

Konsumsi Pangan Remaja...

6

Penilaian Konsumsi Pangan Remaja...

8

Status Gizi ...

9

Status Gizi Antropometri ...

9

Status Gizi Biokimia ...

10

Pengetahuan dan Persepsi terhadap Kesehatan Reproduksi ...

15

Pengetahuan Reproduksi...

15

Persepsi terhadap Kesehatan Reproduksi... 15

Kesehatan Reproduksi...

16

Kesiapan Reproduksi ...

17

Kerangka Pemikiran...

18

METODE ... 20

Desain, Tempat dan Waktu ...

20

Cara Pengambilan Contoh...

20

Jenis dan Cara Pengumpulan Data...

20

Karakteristik Sosial Ekonomi ...

21

Pola Konsumsi ...

22

Pengetahuan Gizi ...

22

Konsumi Energi dan Zat Gizi ...

22


(11)

viii

Kesiapan Reproduksi ...

24

Analisis Data ...

24

Definisi Operasional ...

24

HASIL DAN PEMBAHASAN...

26

Keadaan Umum Sekolah...

26

Sekolah Menengah Atas...

26

Pondok Pesantren ...

27

Karakteristik Contoh ...

28

Sosial Ekonomi Keluarga dan Contoh ...

29

Besar Keluarga ...

29

Pendidikan Orangtua...

29

Pekerjaan Orangtua ...

31

Pendapatan Keluarga...

31

Uang Saku Contoh ...

32

Pola Konsumsi ...

33

Konsumsi Energi dan Zat Gizi...

41

Pengetahuan Gizi ...

43

Status Gizi ...

44

Indeks Massa Tubuh ...

44

Status Besi...

44

Tingkat Kelelahan ...

45

Pengetahuan Reproduksi...

47

Persepsi terhadap Kesehatan Reproduksi...

48

Status Fisiologis ...

49

Kesiapan Reproduksi ...

51

KESIMPULAN DAN SARAN...

52

Kesimpulan ... 52

Saran... 53


(12)

ix

1.

Angka kecukupan energi dan zat gizi rata-rata yang dianjurkan

(per orang per hari)...

7

2.

Kategori pengetahuan gizi menurut skor pengetahuan gizi ...

22

3.

Klasifikasi status gizi remaja menurut indeks massa tubuh (IMT)...

23

4.

Jumlah fasilitas fisik yang dimiliki sekolah ...

27

5.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan usia ...

28

6.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan besar keluarga ....

29

7.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan pendidikan

orangtua...

30

8.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan pekerjaan

orangtua...

31

9.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan uang saku...

33

10.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jawaban soal perilaku

konsumsi ...

40

11.

Konsumsi energi dan zat gizi contoh pada hari sekolah ...

41

12.

Konsumsi energi dan zat gizi contoh pada hari libur...

41

13.

Sebaran tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh (%) ...

42

14.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan pengetahuan gizi

43

15.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan tingkat kelelahan

46

16.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan pengetahuan

reproduksi...

48

17.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan persepsi

terhadap kesehatan reproduksi ...

50

18.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan usia pertama kali

menstruasi ...

50


(13)

x

1.

Penyebab langsung dan tidak langsung anemia gizi besi remaja

putri ...

12

2.

Kerangka pemikiran pola konsumsi, status gizi dan pengetahuan

reproduksi remaja putri ...

19

3.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis pangan

sumber karbohidrat yang banyak dikonsumsi...

33

4.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis pangan

sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi ...

34

5.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis pangan

sumber potein nabati yang banyak dikonsumsi ...

35

6.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis sayuran

yang banyak dikonsumsi ...

35

7.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis buah

yang banyak dikonsumsi ...

36

8.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis minuman

yang banyak dikonsumsi ...

37

9.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis suplemen

yang banyak dikonsumsi ...

38

10.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis

snack

yang banyak dikonsumsi ...

38

11.

Persentase sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut IMT ...

44

12.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut status besi ...

45

13.

Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan kesiapan reproduksi

51


(14)

xi

1.

Kuesioner pengumpulan data...

61

2.

Hasil uji beda t karakteristik sosial ekonomi keluarga dan contoh,

pengetahuan gizi dan pengetahuan reproduksi ...

73

3.

Frekuensi dan jenis pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi

contoh...

74

4.

Frekuensi dan jenis pangan sumber protein hewani yang dikonsumsi

contoh...

75

5.

Frekuensi dan jenis pangan sumber protein nabati yang dikonsumsi

contoh...

77

6.

Frekuensi dan jenis sayuran yang dikonsumsi contoh ...

78

7.

Frekuensi dan jenis buah yang dikonsumsi contoh...

80

8.

Frekuensi dan jenis minuman yang dikonsumsi contoh ...

82

9.

Frekuensi dan jenis suplemen yang dikonsumsi contoh ...

83

10.

Frekuensi dan jenis

snack

yang dikonsumsi contoh ...

84

11.

Hasil uji beda t status gizi, persepsi dan kesiapan reproduksi ...

86

12.

Hasil uji korelasi Pearson status gizi dengan konsumsi energi dan

zat gizi, kadar Hb dengan tingkat kelelahan ...

87


(15)

Latar Belakang

Indonesia sehat tahun 2010 merupakan salah satu agenda pembangunan nasional di bidang kesehatan dalam rangka mewujudkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang dicirikan sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan mandiri. Upaya pencapaian sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas ini lebih difokuskan untuk membentuk manusia yang mampu hidup lebih lama, menikmati hidup sehat, mempunyai kesempatan meningkatkan ilmu pengetahuan dan hidup sejahtera (Moeloek 1999).

Anemia gizi akibat kekurangan zat besi merupakan masalah gizi dengan prevalensi terbesar di dunia. Menurut Soekirman (2000), saat ini diperkirakan kurang lebih 2,1 milyar orang di dunia menderita anemia gizi besi termasuk pada tingkat berat. Meskipun anemia disebabkan oleh berbagai faktor, namun lebih dari 50% kasus anemia yang tersebar di seluruh dunia secara langsung disebabkan oleh kurangnya masukan (intake) zat besi (INACG 2004).

Anemia gizi dapat terjadi pada berbagai kelompok umur. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) 1995 dalam Moeloek (1999) menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada balita sebesar 50.9%, anak usia sekolah sebesar 47.3 persen, ibu hamil sebesar 50.9 persen dan pada remaja (10-14 tahun) sebesar 51.5 persen dimana prevalensi pada remaja putera 45.8 persen dan remaja putri 57.1 persen. Dari semua kelompok umur tersebut, kejadian anemia pada remaja merupakan kelompok dengan prevalensi terbesar, karena pada masa remaja ini terjadi peningkatan kebutuhan zat besi akibat pertumbuhan dan adanya menstruasi pada remaja putri (Depkes 1998).

Beberapa penelitian pada remaja menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen menderita anemia. Prevalensi anemia pada santri remaja di Leuwiliang Kabupaten Bogor (Permaesih et al. 1998) dan remaja SLTA di Jakarta Timur (Wirawan 1995) adalah yaitu sebesar 44.4 persen. Bahkan hasil penelitian Hayatinur (2001) menunjukkan bahwa prevalensi anemia remaja SMU di Kuningan Jawa Barat lebih tinggi yaitu 61.02 persen.


(16)

Selama ini masalah kesehatan remaja kurang mendapat perhatian serius, karena remaja secara umum tidak mudah terserang penyakit daripada anak-anak dan orangtua. Keadaan status gizi remaja pada umumnya dipengaruhi oleh pola konsumsi makan yang berakibat pada rendahnya tingkat konsumsi zat gizi. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan makanan atau membatasi sendiri makanannya, karena faktor ingin langsing (Karyadi 1995).

Menurut Hurlock (1991) hanya sedikit remaja yang merasa puas dengan tubuhnya. Sedangkan ukuran tubuh, usia, dan status kesehatan wanita merupakan faktor penting yang mempengaruhi status bayi yang akan dilahirkannya (Senderowitz 1995). Oleh karenanya kesempurnaan dan kematangan fisik khususnya pada remaja putri merupakan salah satu penentu kesiapan remaja menghadapi masa reproduksi.

Kecenderungan untuk menikah pada usia muda, baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan menyebabkan persiapan pernikahan sebagai tugas perkembangan yang paling penting dalam masa-masa remaja. Khususnya bagi remaja putri yang nantinya menjadi seorang ibu, mengandung, melahirkan dan mengasuh anak. Kurangnya persiapan mental dan fisik ini menjadi masalah serius yang tidak hanya berdampak pada dirinya akan tetapi juga pada generasi yang dihasilkannya. Suatu penelitian menunjukkan bahwa kehamilan di masa remaja berpotensi melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (Kusharto & Florencio 1994).

Kesiapan mental remaja diantaranya terlihat dari persepsi remaja tentang reproduksi. Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi adalah pengetahuan reproduksi. Penelitian menunjukkan hanya sebagian kecil remaja di Indonesia memiliki pengetahuan reproduksi yang baik dan mendapat informasi tentang reproduksi dari sumber yang kompeten (Media 1995).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai pola konsumsi pangan, status gizi dan pengetahuan reproduksi remaja putri.


(17)

Tujuan

Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pola konsumsi pangan, status gizi dan pengetahuan reproduksi remaja putri SMA dan Pondok Pesantren di Kecamatan Bangkinang, Kabupaten Kampar, Riau.

Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan karakteristik remaja putri SMA dan Pondok Pesantren dalam hal :

1. Sosial ekonomi remaja putri dan keluarga 2. Pola konsumsi dan tingkat konsumsi 3. Pengetahuan gizi

4. Status gizi secara antropometri (IMT) dan biokimia (kadar Hb) 5. Tingkat kelelahan

6. Pengetahuan dan persepsi terhadap kesehatan reproduksi

7. Menganalisis kaitan sosial ekonomi, pola konsumsi, pengetahuan gizi, status gizi, pengetahuan dan persepsi terhadap kesehatan reproduksi

Kegunaan

Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi tentang kesiapan remaja putri menjadi calon ibu berkualitas yang menjalankan fungsi reproduksi, serta menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan, pendidik, dan orangtua untuk menentukan langkah tepat guna, peningkatan informasi dan kesadaran kesehatan reproduksi pada remaja sebagai upaya meningkatkan kualitas reproduksi (pregnancy outcome).


(18)

Karakteristik Remaja

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu berumur antara 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukkan ke masa peralihan sampai tercapainya masa dewasa, maka sulit menentukan batas umurnya secara pasti. Masa remaja seperti banyak anggapan merupakan saat-saat yang tersulit dalam kehidupannya sebelum ia memasuki dunia kedewasaannya (Gunarsa & Gunarsa 1995). Remaja merupakan kelompok manusia yang berada diantara usia kanak-anak dan dewasa (Jones 1997). Pada umumnya mereka masih belajar di sekolah menengah atau perguruan tinggi. Bila mereka bekerja, mereka melakukan pekerjaan sambilan dan belum mempunyai pekerjaan tetap (Monks et al. 1992).

Menurut Sarwono (1997), berdasarkan tahap perkembangannya masa remaja dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap remaja awal (14-17 tahun untuk laki-laki dan 13-17 tahun untuk wanita) dan tahap remaja akhir (19-21 tahun untuk laki-laki dan wanita). Ciri-ciri tahap remaja awal yaitu terjadi perubahan fisik dan kejiwaan yang pesat. Perubahan kejiwaan menyebabkan perubahan sikap terhadap diri sendiri maupun orang lain sedangkan pertumbuhan fisik pada tahap ini terjadi sangat pesat dibandingkan tahap akhir, masa peningkatan emosi, masa tidak stabil (cepat bosan, sulit berkonsentrasi dan lain-lain), merasa banyak masalah. Ciri-ciri tahap remaja akhir yaitu lebih stabil dalam emosi, minat, konsentrasi dan cara berpikir, bertambah realistis, bertambah kemampuan untuk memecahkan masalah, tidak terganggu lagi dengan perhatian orang tua yang kurang, dan pertumbuhan fisik pada tahap ini lambat.

Hurlock (1991) menyatakan selama masa remaja terjadi perubahan eksternal dan internal tubuh. Perubahan ekternal tubuh meliputi perubahan dalam tinggi badan, berat badan, proporsi tubuh, organ seks, dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder seperti payudara, suara, rambut dan sebagainya. Sedangkan perubahan internal tubuh yang terjadi pada masa remaja meliputi perkembangan sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem endokrin, dan jaringan tubuh terutama otot. Menurut Husaini (1989) pada anak laki-laki


(19)

pertumbuhan otot lebih menonjol sedangkan pada perempuan deposit lemak yang lebih banyak.

Menurut O’Dea (1996), masa pubertas remaja mengalami pertumbuhan yang pesat dalam hal tinggi badan, berat badan, lemak tubuh dan otot serta penyempurnan berbagai sistem organ. Menurut Husaini (1989) pada laki-laki pertumbuhan otot lebih menonjol sedangkan pada perempuan deposit lemak lebih banyak.

Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada remaja menyebabkan mereka memberi perhatian yang besar terhadap penampilan dirinya. Remaja mengharapkan gambaran tubuh yang ideal (body image), sehingga penyimpangan atau cacat anggota tubuh sangat merisaukan perasaannya terutama pada remaja putri (Monks et al. 1992). Salah satu upaya remaja untuk mencapai body image tersebut adalah menurunkan berat badan dengan mengubah kebiasaan makan. Perubahan kebiasaan makan yang tidak tepat memungkinkan terjadinya anorexia nervosa dan bulimia sebagai masalah kesehatan remaja (Heald et al.1998).

Menurut Sediaoetama (1991) remaja berada pada tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Pada masa ini, pemenuhan kebutuhan gizi sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini dapat dilakukan oleh orang lain (penyedia makanan di rumah) ataupun dirinya sendiri. Selanjutnya bila terjadi defisiensi zat gizi, akan dapat terlihat pada keadaan fisik, status kesehatan dan status gizi.

Pengetahuan Gizi

Kesehatan tubuh belum terjamin hanya dengan konsumsi makanan yang berkualitas baik. Tanpa mengetahui jumlah dan jenis bahan makanan yang baik dikonsumsi untuk kesehatan mustahil kesehatan tubuh dapat terjaga dengan baik. Untuk mengatasi hal itu dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan gizi. Pengetahuan gizi yang kurang akan menimbulkan anggapan bahwa makanan sehat adalah makanan mahal serta timbulnya kepercayaan dan kebiasaan yang merugikan (Martoatmojo 1978). Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah. Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal. Selain itu juga dapat diperoleh dengan melihat dan mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi, seperti


(20)

membaca surat kabar dan majalah, mendengar siaran radio dan menyaksikan siaran televisi ataupun melalui penyuluhan kesehatan gizi (Suhardjo 1989).

Konsumsi Pangan

Menilai status gizi seseorang dapat melalui pola konsumsi yang ada. Pola konsumsi seseorang tidak lepas dari kebiasaan makan yang dilakukannya. Kebiasan makan seringkali merupakan suatu pola yang berulang atau bagian dari rangkaian panjang kebiasaan hidup secara keseluruhan yang dapat diukur dengan pola konsumsi pangan. Kebiasaan makan adalah cara-cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih dan memakan makanannya sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh psikologis, fisiologis, serta budaya dan sosial (Harper et al. 1986).

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan tujuan tertentu. Sedangkan perilaku konsumsi pangan (food consumption behavior) dapat dirumuskan sebagai cara-cara atau tindakan yang dilakukan oleh individu, keluarga atau masyarakat di dalam pemilihan makanannya yang dilandasi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan tersebut (Susanto 1997). Dalam aspek gizi tujuan mengkonsumsi pangan adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989).

Selanjutnya pola konsumsi pangan adalah jenis frekuensi beragam pangan yang biasa dikonsumsi, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989). Sedangkan tingkat konsumsi adalah perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui (Muhilal & Hardinsyah 2004).

Kecukupan zat-zat gizi bagi remaja putri yang dianjurkan menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) ditunjukkan dalam Tabel 1.


(21)

Tabel 1 Angka kecukupan energi dan zat gizi rata-rata yang dianjurkan (per orang per hari)

Umur (th) BB (kg) TB (cm) Energi (kkal) Protein (g) Vit. C (mg) Besi (mg)

10-12 th 38 145 2050 50 50 20

13-15 th 49 152 2350 57 65 26

16-18 th 50 155 2200 55 75 26

Sumber : WNPG 2004

Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989) berpendapat bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu: 1) karakter individu seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi dan kesehatan; 2) karakter makanan/pangan seperti rasa, rupa, tekstur, harga, tipe makanan, bentuk dan kombinasi makan; 3) karakter lingkungan seperti musim, pekerjaan, mobilitas dan tingkat sosial masyarakat. Selain beberapa faktor tersebut, Tarwotjo & Suyuti (1979) juga berpendapat bahwa konsumsi makanan dipengaruhi oleh status kesehatan.

Cukup dan tidaknya konsumsi makanan ditentukan dengan menganalisis kandungan zat gizinya, kemudian dibandingkan dengan standar yang dianjurkan untuk mencapai suatu tingkat gizi dan kesehatan yang optimal. Standar yang dimaksud adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan (Suhardjo 1989).

Keperluan utama tubuh ialah energi yang apabila tidak terpenuhi, maka kemungkinan besar keperluan tubuh akan protein tidak dapat terpenuhi, karena sebagian dari protein yang ada dalam diet akan dipergunakan untuk memperoleh energi. Apabila keperluan akan energi sudah dapat tercukupi dengan makanan sehari-hari yang seimbang, maka persoalan tentang cukupnya protein, lemak, vitamin dan mineral tidak akan merupakan suatu persoalan lagi. Secara otomatis keperluan akan zat-zat gizi tadi akan dipenuhi dari makanan sehari-hari yang seimbang (Lie 1979).

Survei yang dilakukan Hurlock (1991) menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan snack. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya manis, pastry serta permen, sedangkan golongan sayur-sayuran dan buah-buahan yang mengandung banyak Vitamin C tidak populer atau jarang dikonsumsi, sehingga dalam diet mereka rendah akan vitamin C, serat dan lain-lain. Disamping itu hasil survey juga menunjukkan bahwa remaja suka


(22)

minum-minuman ringan (soft drink), teh dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan dengan minum susu.

Penilaian Konsumsi Pangan

Gibson (2005) mengklasifikasikan metode survei konsumsi pangan individu ke dalam dua kelompok besar yaitu secara kuantitatif yang terdiri dari recall (mengingat) dan record ( pencatatan). Kelompok yang kedua (kualitatif) meliputi riwayat makan dan frekuensi makan.

Metode recall 24 jam, merupakan metode mengingat kembali jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada masa lalu. Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan informasi yang tepat tentang asupan makanan selama 24 jam yang lalu, atau yang dapat dijadikan patokan setiap hari. Informasi seperti ini dapat digunakan untuk menggambarkan rata-rata asupan makanan pada kelompok, jika kebiasaan makan individu merupakan gambaran kebutuhan yang sebenarnya selama 24 jam (Gibson 2005).

Apabila pengukuran recall hanya dilakukan satu kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu (Gibson 2005). Oleh karena itu, recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang asupan harian individu (Sanjur 1982). Frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini umumnya tidak digunakan untuk memperoleh data kuantitatif pangan ataupun intik konsumsi zat gizi (Gibson 2005). Dengan metode ini kita dapat menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (misalnya : sumber lemak, sumber protein, dsb) selama kurun waktu tertentu ysng spesifik (misalnya : per hari, minggu, bulan, tahun). Kuesioner mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan.


(23)

Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik (Gibson 2005).

Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada masa remaja kebutuhan akan zat gizi mencapai maksimum. Kebutuhan zat gizi yang tinggi ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang cepat. Jika kebutuhan zat gizi tersebut tidak terpenuhi maka akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tubuh (Williams 1980).

Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung melalui pengukuran antropometri dan penilaian biokimia. Indikator yang digunakan tergantung pada waktu, biaya, tenaga dan tingkat ketelitian penelitian yang diharapkan serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya (Riyadi 2003).

Status Gizi Antropometri

Salah satu indikator yang digunakan dalam pengukuran antropometri adalah indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur. Menurut Riyadi (2003), indikator IMT menurut umur merupakan indikator terbaik untuk remaja. Indikator ini sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas dan juga sejalan dengan indikator yang sudah direkomendasikan untuk orang dewasa serta data referensi yang bermutu tinggi tentang indikator ini sudah tersedia.

Penentuan batasan berat badan normal pada orang dewasa berdasarkan nilai indeks massa tubuh dihitung menurut rumus berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter. Batasan nilai IMT normal bagi wanita adalah 18,7-23,8, atau sekitar 20,8 (Atmarita & Veronica 1992). Depkes mengkategorikan nilai IMT menjadi lima, yaitu kurus sekali (IMT<17,0), kurus (IMT 17,0-18,4), normal (IMT 18,5-25,0), gemuk (IMT 25,1-27,0) dan gemuk sekali (IMT >27,0). Becker et al. (1999) menyatakan bahwa nilai IMT <20


(24)

dikategorikan underweight, nilai IMT 20 sampai 25 dikategorikan normal, nilai IMT 25 sampai 30 dikategorikan overweight, dan >30 dikategorikan obese.

Status Gizi Biokimia

Penilaian status gizi secara laboratorium atau biokimia digunakan untuk mendeteksi tahap defesiensi subklinis dan untuk mengkonfirmasi diagnosa klinis. Melalui cara ini dapat ditentukan status gizi secara obyektif, yakni bebas dari emosi dan faktor subyektif lainnya (Gibson 2005).

Defisiensi zat gizi dalam tubuh biasanya berlangsung secara bertahap. Untuk mengetahui seberapa berat defisiensi zat gizi tersebut, maka dapat dilakukan dengan uji biokimia dalam cairan dan jaringan tubuh tertentu. Untuk menganalisis zat besi dalam darah dapat didekati dengan pengukuran kadar hemoglobin (Gibson 2005). Berdasarkan kadar Hb, maka individu dapat dikelompokkan menjadi anemia dan normal.

Anemia merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah tidak mampu membawa oksigen yang diperlukan dalam pembentukan energi. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal, yaitu kurang dari 12 g/dl (INACG 2004) dan berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin (Soekirman 2000). Remaja putri dikategorikan anemia apabila kadar Hb kurang dari 12 g/dl (WHO 1982).

Hemoglobin (Hb) merupakan substansi di dalam eritrosit (sel darah merah) yang mengandung protein globin dan komponen nonprotein dalam pigmen merah heme yang mengandung zat besi dan merupakan 33 persen dari volume sel dan terlibat dalam transport oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2) (Tortora &

Anagnostakos 1990).

Hb mengandung protein (globin) yang terdiri dari empat rantai polipeptida dan empat komponen nonprotein dalam pigmen merah (heme), masing-masing polipeptida tersebut mengandung zat besi (Fe+2). Masing-masing zat besi dalam Hb dapat berikatan dengan molekul oksigen pada saat eritrosit melewati paru-paru. Pada tahap ini oksigen diangkut ke jaringan lain dalam tubuh. Di dalam jaringan tersebut reaksi zat besi-oksigen berbalik, sehingga oksigen dibebaskan untuk berdifusi ke dalam sel. Pada perjalanan sebaliknya, globin berkombinasi dengan karbondioksida. Kompleks ini diangkut ke paru dan di dalam


(25)

paru-paru karbondioksida dibebaskan dan kemudian dikeluarkan dari tubuh (Tortora & Anagnostakos 1990). Penggunaan Hb sebagai indeks status zat besi memiliki beberapa keterbatasan (Gibson 2005), yaitu ketergantungan terhadap usia, jenis kelamin, dan ras, serta faktor lainnya.

Sebagian besar penyebab anemia di Indonesia adalah kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin, sehingga disebut anemia kekurangan besi. Menurut Latham (1979), penyebab terjadinya anemia gizi adalah tidak cukupnya zat-zat gizi terutama yang diserap dalam makanan sehari-hari guna pembentukan sel darah merah maka terjadi keseimbangan negatif antara pemasukan dan pengeluaran zat besi dalam tubuh. Selain itu zat-zat penyerta yang meningkatkan daya serap, seperti protein dan vitamin C juga tidak cukup.

CDC (1998) menyatakan bahwa anemia gizi dapat disebabkan oleh defisiensi zat gizi, infeksi dan pendarahan. Pendapat lain (Husaini 1989) menyatakan bahwa ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadi anemia, yaitu kehilangan darah karena pendarahan, kerusakan sel darah merah dan produksi darah merah tidak cukup. Pada Gambar 1 diuraikan penyebab langsung maupun tidak langsung dari anemia gizi besi.

Kekurangan hemoglobin dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang ditransportasi ke sel tubuh maupun otak, sehingga menimbulkan gejala-gejala letih, lesu, cepat lelah. Hal ini berakibat pada menurunnya kebugaran dan prestasi pada atlit, pada anak sekolah dapat menurunkan prestasi belajar dan dapat menurunkan produktivitas kerja pada pekerja yang berdampak pada rendahnya tingkat pendapatan (Soekirman 2000). Selain itu, kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan/hambatan pada pertumbuhan baik sel tubuh maupun sel otak sehingga pada ibu hamil dapat mengalami keguguran, lahir sebelum waktunya, berat badan lahir rendah (BBLR), pendarahan sebelum dan pada waktu melahirkan serta pada anemia berat dapat menimbulkan kematian ibu dan bayi. Pada anak dan remaja yang menderita anemia dapat mengalami gangguan pertumbuhan yang optimal dan menjadi kurang cerdas. Penderita kekurangan zat besi akan turun daya tahan tubuhnya, akibatnya mudah terkena penyakit infeksi (Depkes RI 1996).


(26)

Penyebab tidak langsung Penyebab langsung Status besi Ketersediaan zat besi dalam

makanan rendah

Praktek pemberian makanan kurang baik

Sosial ekonomi rendah Komposisi makanan kurang beragam

Terdapat zat-zat yang menghambat absorpsi Pertumbuhan fisik

Kehamilan dan menyusui

Pendarahan Parasit, infeksi

Pelayanan kesehatan rendah

Gambar 1 Penyebab langsung dan tidak langsung anemia gizi besi remaja putri (Husaini 1989).

Menurut Pollit (1985) dalam Almatsier (1989) menyatakan bahwa defisiensi besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian (atensi), kecerdasan (IQ), dan prestasi belajar di sekolah. Dengan diberikan besi, maka nilai kognitif tersebut naik secara nyata. Penelitian terhadap anak balita dan anak sekolah didapatkan hasil bahwa anak yang menderita anemia gizi besi mengalami gangguan intelektual, seperti kemampuan verbal, kemampuan mengingat, berkonsentrasi, berpikir analog dan sistematis serta prestasi belajar yang rendah.

Sebelum zat besi diabsorpsi, zat besi ferri harus dirubah bentuk menjadi zat besi ferro melalui proses reduksi. Dalam proses perubahan ini harus ada asam,

Absorpsi zat besi rendah

Kebutuhan naik Jumlah zat besi dalam

makanan kurang

Kehilangan darah

Keadaan kurang besi


(27)

baik HCl yang secara normal terdapat di dalam lambung atau adanya vitamin C yang berasal dari beberapa jenis buah-buhan dan sayuran, atau daging, atau ikan (Husaini 1989).

Wirakusumah (1999) menyatakan bahwa zat besi dalam makanan dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan. Bentuk zat besi yang terdapat dalam makanan juga mempengaruhi penyerapan zat besi oleh tubuh. Ada dua macam bentuk zat besi dalam makanan, yaitu: (a) zat besi heme yaitu zat besi yang berasal dari hewan seperti daging, ikan dan ayam. Penyerapannya tidak tergantung pada jenis kandungan makanan lain dan lebih mudah diabsorpsi. Walaupun kandungan zat besi heme dalam makanan hanya antara 5-10 persen, tetapi penyerapannya mencapai 25 persen; dan (b) zat besi non heme yang terdapat pada pangan nabati, seperti sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Derajat absorpsi zat besi non heme termasuk rendah (hanya 5%) dan sangat tergantung pada jenis makanan lain atau menu yang bervariasi. Penyerapan zat besi non heme dipengaruhi oleh faktor-faktor penghambat maupun pendorong, sedangkan zat besi heme tidak. Vitamin C dan daging adalah faktor utama yang mendorong penyerapan zat besi non heme. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan sampai empat kali lipat, selain itu protein hewani juga ikut mempermudah absorpsi zat besi.

Ada juga faktor-faktor yang menghambat penyerapan zat besi. Faktor-faktor tersebut adalah keadaan basa pada lambung karena adanya fitat yang terdapat dalam kacang-kacangan, biji-bijian dan kedelai, oksalat yang terdapat dalam sayuran dan fosfat yang membentuk senyawa tidak mudah larut dalam air sehingga sulit diabsorpsi (Wirakusumah 1999). Seseorang yang banyak makan nasi tetapi kurang makan sayur-sayuran serta buah-buahan dan lauk-pauk, akan dapat menjadi anemia walaupun zat besi yang dikomsumsi dari makanan sehari-hari cukup banyak (Husaini 1989). Hal tersebut kemungkinan karena tidak ada zat yang dapat membantu penyerapan. Tanin yang terdapat dalam teh dan kopi, beberapa jenis serat makanan juga menghambat absorpsi zat besi (Wirakusumah 1999). Tanin yang terdapat dalam teh dan kopi dapat menurunkan absorpsi zat besi sampai 40 persen untuk kopi dan 85 persen untuk teh. Minum teh satu jam


(28)

setelah makan dapat menurunkan absorpsi hingga 85 persen. Hal ini disebabkan karena terdapat polyphenol seperti tanin pada teh (Gutrie 1989).

Status besi seseorang dapat dilihat dengan cara mengukur kadar feritin, jenuh transferin, eritrosit porfirin bebas. Pada umumnya untuk mengetahui apakah seseorang menderita anemia karena defisiensi besi, metode yang paling sering digunakan adalah dengan mengukur kadar hemoglobin. Standar yang ditetapkan oleh WHO (1982) untuk melihat seseorang menderita anemia adalah apabila kadar hemoglobin darah kurang dari 12 g/dl untuk wanita dewasa, kurang dari 11 g/dl pada balita dan wanita hamil, dan kurang dari 13 g/dl untuk pria dewasa.

Sampel darah yang akan dianalisis lebih akurat apabila diambil dari darah vena dibandingkan sampel darah yang diambil dari darah tepi seperti jari tangan dan kaki maupun telinga. Konsentrasi hemoglobin yang berasal dari sampel darah yang diambil pagi hari cenderung lebih tinggi dibandingkan sampel yang diambil sore hari (Gibson 2005). Metode pengukuran yang direkomendasikan adalah dengan metode cyanmethemoglobin ICSH (1987) diacu dalam Gibson (2005). Kelemahan penentuan hemoglobin dengan cara ini adalah memerlukan spektrofotometer yang harga dan biaya pemeliharaannya mahal dan membawa spektrofotometer ke lapangan dapat menyebabkan kerusakan. Selain itu, pemakaian pereaksi yang membahayakan kesehatan karena mengandung sianida dan banyaknya perlengkapan yang harus dibawa bila bekerja di lapangan. Untuk itu bila cara ini tidak memungkinkan dilakukan, maka cara Sahli merupakan alternatif yang dapat digunakan (Muhilal & Saidin 1980).

Cara lain yang sudah banyak dilakukan di berbagai laboratorium di Indonesia adalah cara Sahli. Banyak darah yang dibutuhkan sama dengan Cyanmethemoglobin yaitu 0.02 ml setelah diencerkan dengan 0.1 N HCl pada tabung sahli. Pengenceran dilakukan sampai warna sama dengan standar warna gelas disampingnya, kemudian kadar hemoglobin dapat langsung dibaca. Menurut Supariasa et al. (2001) untuk pemeriksaan di daerah yang belum mempunyai peralatan canggih atau pemeriksaan di lapangan, metode Sahli ini masih memadai dan bila pemeriksanya telah terlatih hasilnya dapat diandalkan.


(29)

Pengetahuan dan Persepsi terhadap Kesehatan Reproduksi Pengetahuan Reproduksi

Menurut Media (1995) pengetahuan reproduksi meliputi kemampuan untuk mengetahui segala aspek yang mendukung proses reproduksi, seperti usia subur wanita, kehamilan, usia nikah yang dianjurkan dan jenis alat kontrasepsi. Affandi (1995) menyatakan pengetahuan reproduksi harus mencakup pemahaman terhadap tiga komponen pendukung kesehatan reproduksi yaitu kemampuan, keberhasilan dan keamanan reproduksi.

Persepsi terhadap Kesehatan Reproduksi

Istilah persepsi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemaknaan dari hasil pengamatan individu mengenai suatu objek (Yusuf 1991). Persepsi terhadap kesehatan reproduksi merupakan pandangan atau pemahaman remaja terhadap segala aspek yang mendukung reproduksi sehat. Menurut Affandi (1995) kesehatan reproduksi mencakup tiga komponen, yaitu kemampuan (ability), keberhasilan (success), dan keamanan (safety).

Persepsi remaja ini dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor struktural, faktor fungsional dan faktor kultural. Faktor struktural bersifat fisiologis, berkaitan dengan fungsi organ-organ persepsi seperti penglihatan, pendengaran, penciuman dan lain-lain. Faktor fungsional merupakan faktor yang dipengaruhi oleh ingatan, kebutuhan, kebiasaan, dan pengalaman yang diperoleh dari interaksi personal dan sosial. Sedangkan faktor kultural merupakan hal yang mempengaruhi individu dikaitkan dengan adat istiadat, norma, dan agama (Schiffman 1982). Muhadjir (1992) menyatakan persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari domain kognitif berupa ekspresi pendapat yang lebih tepat atau kurang tepat. Menurut Cshlosberg dalam Muhadjir (1992) pengukuran persepsi dapat disajikan dalam dua dimensi senang-tidak senang dan menerima-menolak. Selanjutnya Noeng dalam Muhadjir (1992) menyederhanakan pengukuran persepsi dalam bentuk skala penilaian setuju dan tidak setuju.


(30)

Kesehatan Reproduksi

Reproduksi adalah merupakan proses perkembangbiakan dari suatu mahluk hidup untuk menghasilkan organisme lain yang sama jenisnya (Penghulu 1993). Reproduksi dimaksudkan sebagai peristiwa atau proses yang berkaitan dengan fungsi kembang biak atau meneruskan keturunan (Media 1995). Proses reproduksi manusia bermula dari pertemuan sperma pria dengan sel telur wanita melalui hubungan seksual kemudian berlanjut dengan kehamilan, dan berakhir pada persalinan (Chalik 1998).

Kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat yang mencakup keadaan fisik, mental, sosial, serta spiritual dan tidak adanya kecacatan yang terkait dengan sistem fungsi reproduksi dan prosesnya (Martodipuro 2000). Kesehatan reproduksi mengharapkan dapat tercapainya kepuasan dalam kehidupan seksual yang aman dan adanya kemampuan untuk berkembang biak dengan kebebasan untuk memutuskan sendiri sejak kapan dan berapa banyak.

Penelitian yang dilakukan di Jakarta dan Yogyakarta menunjukkan proporsi remaja yang telah melakukan hubungan seksual 6.6 persen (Bandi 1992). Dari hasil penelitian terhadap 633 pelajar SLTA di Bali menunjukkan 27 persen siswa dan 18 persen siswi mengaku pernah melakukan hubungan seksual (Media 1995).

Hubungan seksual yang dilakukan remaja sebelum menikah menyebabkan kehamilan dini atau kehamilan yang tidak diinginkan, yang beberapa diantaranya berakhir dengan aborsi dan terjangkitnya penyakit menular seksual termasuk diantaranya infeksi HIV (Friedman 1993). Pada tahun 1995 di Thailand masalah penyakit menular seksual atau PMS pada remaja usia 15-24 tahun sebanyak 33 persen dari semua kasus PMS yang ada dan kehamilan di usia belasan tahun mencapai 14.7 persen dari total jumlah kehamilan (Sarwanto 2002).

Kesiapan Reproduksi

Kesiapan reproduksi berhubungan dengan tugas remaja nantinya sebagai calon ibu yang memilki tanggung jawab besar dalam kehidupan keluarga.Mereka akan terlibat dalam proses pernikahan, dengan konsekuensi untuk hamil, melahirkan, merawat, mengasuh serta mendidik anak (Martodipuro 2000).


(31)

Untuk dapat memulai kehidupan keluarga dengan baik, diperlukan kesiapan fisik dan mental, diantaranya kesiapan dalam hal reproduksi. Kesiapan fisik remaja diukur dari status gizi remaja. Sedangkan kesiapan mental remaja terhadap reproduksi diukur dari pengetahuan reproduksi serta persepsi remaja mengenai kesehatan reproduksi.


(32)

KERANGKA PEMIKIRAN

Masa remaja ditandai dengan pesatnya perkembangan dan pertumbuhan fisik serta perubahan mental atau psikologis sehingga merupakan masa-masa rawan bagi pemenuhan zat-zat gizi. Pertumbuhan normal dan status kesehatan yang optimal sebagai upaya pencegahan penyakit sangat bergantung pada tercukupinya intik zat-zat gizi (Alexander 1994).

Konsumsi pangan yang kurang baik pada remaja memungkinkan mereka mengalami malnutrisi. Malnutrisi remaja dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor budaya yang berperan dalam keluarga. Obesitas pada remaja timbul akibat konsumsi pangan yang berlebihan dan kurangnya aktivitas remaja. Masalah gizi lain yang sering dialami remaja terutama remaja puteri adalah anemia gizi besi. Dari data SKRT 1995 menunjukkan bahwa prevalensi anemia remaja puteri di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 57.1 persen.

Berkaitan dengan remaja putri yang nantinya menjadi seorang ibu, faktor social ekonomi, ukuran tubuh yang merefleksikan status gizi, dan pola konsumsi memberikan pengaruh terhadap status bayi yang akan dilahirkannya (Kusharto & Florencio 1994). Kesiapan fisik remaja diukur dari status gizi remaja. Sedangkan kesiapan mental remaja terhadap reproduksi diukur dari pengetahuan reproduksi serta persepsi remaja mengenai kesehatan reproduksi.

Persepsi remaja ini dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor struktural, faktor fungsional dan faktor kultural. Faktor struktural bersifat fisiologis, berkaitan dengan fungsi organ-organ persepsi seperti penglihatan, pendengaran, penciuman dan lain-lain. Faktor fungsional merupakan faktor yang dipengaruhi oleh ingatan, kebutuhan, kebiasaan, dan pengalaman yang diperoleh dari interaksi personal dan sosial. Sedangkan faktor kultural merupakan hal yang mempengaruhi individu dikaitkan dengan adat istiadat, norma, dan agama (Schiffman 1982). Persepsi terhadap kesehatan reproduksi diarahkan untuk tercapainya ketiga aspek kesehatan reproduksi yang mencakup tiga komponen, yaitu kemampuan (ability), keberhasilan (success), dan keamanan (safety) (Affandi 1995).


(33)

Keterangan: variabel yang diteliti variabel yang tidak diteliti

Gambar 2 Kerangka pemikiran pola konsumsi pangan, status gizi dan pengetahuan reproduksi remaja putri

Kesiapan Reproduksi

STATUS GIZI IMT Kadar Hb

POLA KONSUMSI

PANGAN

o Frekuensi o Jenis

Keadaan Kesehatan

Pengetahuan Gizi

Karakteristik Remaja

o Umur

o Jenis Kelamin o Uang saku

o Pendidikan orangtua o Pekerjaan orangtua o Besar Keluarga

Ling. Keluarga & Sosial

o Peer group o Media massa

Persepsi terhadap Kesehatan Reproduksi

PENGETAHUAN REPRODUKSI


(34)

Desain, Tempat dan Waktu

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, dengan contoh siswi di SMA Negeri 1 Bangkinang dan Pondok Pesantren Daarun Nadhah Thawalib Bangkinang. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposif (purposive sampling). Pemilihan Sekolah Menengah Atas dengan pertimbangan sekolah tersebut merupakan sekolah favorit di Kecamatan Bangkinang dan sebagian besar lulusannya cenderung memilih melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan pemilihan Pondok Pesantren berdasarkan pertimbangan setelah lulus sekolah mereka diharapkan segera mandiri (bekerja atau menikah). Waktu penelitian dimulai pada bulan Februari sampai Maret 2007.

Cara Pengambilan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah remaja putri SMA Negeri I Bangkinang dan Pondok Pesantren Daarun Nadhah Thawalib Bangkinang. Pada SMA Negeri I Bangkinang contoh yang diambil adalah pelajar kelas dua dan pada Pondok Pesantren Daarun Nadhah Thawalib kelas enam yang setingkat dengan kelas dua SMA. Pengambilan contoh penelitian dilakukan secara acak (random sampling). Jumlah contoh adalah 60 siswi, dengan rincian 30 siswi berasal dari SMA Negeri I Bangkinang dan 30 siswi berasal dari Pondok Pesantren Daarun Nadhah Thawalib Bangkinang.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data penelitian yang dikumpulkan berupa data sekunder dan data primer. Data sekunder meliputi keadaan umum sekolah dan daftar nama siswa. Data primer yang dikumpulkan meliputi sosial ekonomi keluarga dan contoh, pendapatan keluarga, pengetahuan gizi, frekuensi pangan, perilaku konsumsi,


(35)

hemoglobin), status fisiologis, tingkat kelelahan, pengetahuan dan persepsi terhadap kesehatan reproduksi.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik pengisian kuesioner oleh peneliti dengan metode wawancara, sementara untuk berat badan dan tinggi badan siswa diperoleh dengan pengukuran langsung, alat yang dipergunakan untuk mengukur berat badan adalah timbangan injak dengan ketelitian 0.5 kg, sedang tinggi badan menggunakan alat ukur microtois dengan ketelitian 0.1 cm.

Kadar hemoglobin diperoleh dari pengambilan darah oleh tenaga profesional laboratorium klinik dan analisis biokimia darah Rumah Sakit Umum Daerah Bangkinang dengan metode Sahli. Penelitian yang dilakukan oleh Muhilal dan Saidin (1980) menunjukkan bahwa faktor konversi antara cara Sahli dengan

Cyanmethemoglobin yaitu 1.1 dan hasil Uji t-test for paired sample perbedaan cara Sahli dengan Cyanmethemoglobin pada taraf lima persen diperoleh hasil yang tidak nyata. Menurut Supariasa et al. (2001) untuk pemeriksaan di daerah yang belum mempunyai peralatan canggih atau pemeriksaan di lapangan, metode Sahli ini masih memadai dan bila pemeriksanya telah terlatih hasilnya dapat diandalkan.

Karakteristik Sosial Ekonomi

Karakteristik sosial ekonomi yang diukur meliputi pendidikan orangtua, pendapatan per kapita keluarga, besar keluarga dan uang jajan contoh.

Pendidikan orangtua contoh diukur berdasarkan lama sekolah dalam tahun, kemudian dikelompokkan dengan kategori pendidikan dasar (0-6 tahun), pendidikan menengah (7-12 tahun) dan pendidikan tinggi (>12 tahun).

Pendapatan per kapita keluarga diperoleh dari total pendapatan keluarga per bulan dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan per kapita menurut Bank Dunia dalam Sanim (2006) dikategorikan menjadi dua, yaitu miskin ( < 60 dolar AS/ kap/ bulan ) dan tidak miskin (≥ 60 dolar AS/ kap/ bulan) jika disetarakan dengan rupiah (1 dolar AS setara dengan Rp 9300) maka termasuk kategori miskin (< Rp 558000 / kap/ bulan) dan tidak miskin (≥ Rp 558 000 / kap/ bulan).

Besar keluarga diukur dari jumlah anggota keluarga. Kriteria besar keluarga menurut BPS (2001) dibedakan atas keluarga kecil jika jumlah anggota


(36)

kurang dari atau sama dengan 4 orang, sedang jika jumlah anggota 5 sampai 7 orang, serta besar jika jumlah anggota lebih dari 7 orang.

Data uang saku contoh diukur dari rata-rata uang jajan yang diterima per bulan. Uang saku dikelompokkan dengan kriteria rendah (X < x-1SD), sedang (x-1SD < X < x+(x-1SD), dan tinggi (X > x+(x-1SD). X adalah uang saku, x adalah rata-rata uang saku dan SD adalah standar deviasi uang saku.

Pola Konsumsi

Pola konsumsi diperoleh dari jawaban contoh atas pertanyaan mengenai frekuensi dan jenis makanan yang dikonsumsi dalam sebulan, dan pertanyaan mengenai perilaku konsumsi remaja yang meliputi frekuensi makan, komposisi makanan empat sehat, produk pelangsing dan makanan pantangan (Lampiran 1).

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi dinilai dengan skor, yang dihitung dari jawaban contoh atas 18 pertanyaan mengenai jenis, fungsi dan sumber zat gizi; kebutuhan dan status gizi; dan masalah gizi remaja (Lampiran 1). Hasil penilaian akan memperoleh skor tertinggi 18 dan skor terendah 0. Pengetahuan gizi dikategorikan menjadi tiga, yaitu pengetahuan gizi baik, sedang, dan kurang (Khomsan 2000).

Tabel 2 Kategori pengetahuan gizi menurut skor pengetahuan gizi Skor Pengetahuan Gizi Pengetahuan Gizi < 60%

60 - 80% > 80%

Kurang Sedang Baik Sumber: Khomsan (2000)

Konsumsi Energi dan Zat Gizi

Data konsumsi energi dan zat gizi diperoleh dari pencatatan recall 2x24 jam yaitu pada hari libur dan hari sekolah yang meliputi jumlah dan jenis pangan yang kemudian dikonversikan ke dalam kandungan energi dan zat gizi dengan menggunakan Food Proccesor dan Microsoft Excel.

Tingkat Kelelahan

Data tingkat kelelahan diperoleh dari jawaban contoh atas pertanyaan tingkat kelelahan dengan rating scale 1-10 (Lampiran 1). Tingkat kelelahan dikategorikan menjadi dua (Kanani & Poojara 2000) yaitu :


(37)

o Lelah : 1-4

o Sangat Lelah : 5-10

Status Gizi

Status gizi remaja dinilai dengan rumus indeks massa tubuh (IMT), yaitu dengan cara menghitung data dari berat dan tinggi badan dengan rumus IMT sebagai berikut (WHO 1995):

Klasifikasi status gizi remaja yang dihitung dari IMT tersebut dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu kurus, normal, dan gemuk yang ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi status gizi remaja menurut indeks massa tubuh (IMT)

IMT Status Gizi

< 18,5 18,5 - 25,0 > 25,0

Kurus Normal Gemuk Sumber: Depkes (1996)

Status besi (kadar hemoglobin) ditentukan dengan membandingkan hasil pemeriksaan kadar Hb contoh dengan kadar Hb rujukan untuk anemia yaitu kurang dari 12 g/dl (WHO 1982).

Pengetahuan Reproduksi

Pengetahuan reproduksi contoh juga ditentukan menurut skor terhadap 10 pertanyaan (Lampiran 1), dengan skor 1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk jawaban salah sehingga diperoleh skor maksimal 10 dan skor minimal 0. Kriteria baik jika skor lebih dari 80% skor maksimal, sedang jika skor antara 60-80% dari skor maksimal dan kurang jika skor 60% dari skor maksimal .

Persepsi terhadap Kesehatan Reproduksi

Persepsi terhadap kesehatan reproduksi dinilai dengan menggunakan skor, yang dihitung dari jawaban contoh atas 25 pertanyaan (Lampiran 1) mengenai aspek kemampuan (ability) yaitu usia reproduksi dan perawatan alat reproduksi, keberhasilan (success) yaitu status gizi dan konsumsi, serta hubungan seksual,

Indeks massa tubuh (IMT) = berat badan (kg)


(38)

keamanan (safety) meliputi alat kontrasepsi, aborsi dan penyakit menular seksual (Lampiran 1). Hasil penilaian persepsi akan memperoleh skor tertinggi 50 dan skor terendah 0. Pengelompokan persepsi terdiri dari kategori baik (total skor ≥ nilai median atau persentil 50) dan kategori kurang baik (total skor < nilai median atau persentil 50).

Status Fisiologis

Status fisiologis pada remaja diukur dari usia pertama kali mendapatkan menstruasi. Usia pertama kali menstruasi dikelompokkan menjadi lebih awal (11 tahun), normal (11-15 tahun), dan lebih lambat (>15 tahun).

Kesiapan Reproduksi

Kesiapan reproduksi dinilai dari skor gabungan antara status gizi (IMT), status besi dan persepsi. Status gizi normal, status besi tidak anemia dan persepsi baik masing-masing diberi skor 2. Sebaliknya status gizi kurus atau gemuk, status besi anemia dan persepsi kurang baik masing-masing diberi skor 1. Sehingga hasil penilaian kesiapan reproduksi memperoleh skor tertinggi 6 dan skor terendah 3. Kesiapan reproduksi dikategorikan baik apabila memperoleh skor 6, kategori sedang apabila memperoleh skor 5, dan kategori kurang apabila skor kurang dari 5.

Analisis Data

Untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan uji korelasi Pearson. Uji beda t digunakan untuk menganalisis perbedaan berbagai variabel kuantitatif di SMA dengan Pondok Pesantren.

Definisi Operasional

Remaja puteri adalah siswi yang duduk di kelas 2 pada Sekolah Menengah Atas dan kelas 6 pada pondok pesantren.

Status gizi remaja adalah keadaan gizi remaja yang diakibatkan konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan yang diukur secara


(39)

Karakteristik sosial ekonomi merupakan keadaan sosial dan ekonomi keluarga dari remaja yang meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, besar keluarga dan uang saku contoh.

Perilaku konsumsi remaja dinilai dari jawaban contoh atas empat pertanyaan mengenai frekuensi makan, komposisi makan makanan empat sehat, produk pelangsing, serta makanan pantangan.

Pola Konsumsi merupakan frekuensi dan jenis makanan yang dikonsumsi selama satu bulan dan perilaku konsumsi remaja yang meliputi frekuensi makanan utama, komposisi makanan empat sehat, produk pelangsing dan makanan pantangan.

Pengetahuan gizi diukur dari kemampuan remaja untuk menjawab pertanyaan mengenai jenis, fungsi dan sumber zat gizi, kebutuhan dan status gizi dan masalah gizi remaja. Skor atas jawaban pengetahuan gizi dikelompokkan dalam pengetahuan gizi rendah, sedang, dan tinggi.

Pengetahuan reproduksi diukur dari kemampuan remaja untuk menjawab pertanyaan tentang alat, proses, dan faktor-faktor yang berpengaruh pada reproduksi. Penilaian terhadap pengetahuan reproduksi dikelompokkan menjadi rendah, sedang, tinggi.

Persepsi terhadap kesehatan reproduksi adalah pandangan atau pemahaman remaja terhadap segala aspek yang mendukung reproduksi sehat.

Status Fisiologis diukur dari usia pertama kali mendapatkan menstruasi. Usia pertama kali menstruasi dikelompokkan menjadi lebih awal (11 tahun), normal (11-15 tahun), dan lebih lambat (>15 tahun).

Kesiapan reproduksi adalah kemampuan fisik dan kesiapan mental remaja dalam hal reproduksi yang diukur dari status gizi (IMT dan kadar Hb) dan persepsi terhadap kesehatan reproduksi. Kesiapan reproduksi contoh dikategorikan menjadi kurang, sedang, baik.


(40)

Keadaan Umum Sekolah

Sekolah Menengah Atas

Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Bangkinang berlokasi di tengah-tengah Kota Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau atau tepatnya di Jalan Jenderal Sudirman No. 65, berdiri di atas areal tanah seluas 16.615 m2.

SMA Negeri 1 Bangkinang dipimpin oleh seorang kepala sekolah dan dibantu oleh empat wakil kepala sekolah yang membidangi kurikulum, kesiswaan, sarana prasarana dan hubungan masyarakat. Memiliki 64 orang staf pengajar (guru) serta 21 orang staf tata usaha.

Seluruh siswa SMA Negeri 1 Bangkinang berjumlah 953 orang, terdiri dari 321 orang laki-laki dan perempuan 632 orang. Jumlah kelas pada tiap jenjang kelas adalah 10 kelas untuk kelas satu, tujuh kelas untuk kelas dua (4 kelas IPA dan 3 kelas IPS), dan sembilan kelas untuk kelas tiga (4 kelas IPA, 4 kelas IPS dan 1 kelas Bahasa).

Sebagai SMA favorit di Bangkinang, SMA tersebut dilengkapi berbagai fasilitas pendukung kegiatan belajar mengajar. Fasilitas tersebut adalah ruang kelas, ruang guru, ruang tata usaha, ruang laboratorium, ruang perpustakaan, masjid, ruang ekstrakurikuler, gudang, kantin dan kamar mandi/WC.

Selain kegiatan belajar mengajar, SMA tersebut juga menyediakan berbagai kegiatan ekstrakurikuler guna mewadahi dan mengembangkan bakat, kreativitas serta minat siswa. Kegiatan ekstrakurikuler tersebut antara lain adalah pramuka, palang merah remaja (PMR), siswa pecinta alam (sispala), dan kerohanian Islam.

Data SMA Negeri 1 Bangkinang menunjukkan bahwa pada penerimaan siswa tahun ajaran 2005/2006 nilai Danun (Daftar Ujian Akhir Nasional) SMP tertinggi yang diterima 26.53 dan terendah 22.93. Dari seluruh siswa yang lulus pada tahun 2006 maka sekitar 30 persen diterima di perguruan tinggi negeri.


(41)

Pondok Pesantren

Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang (PDNTB) terletak di Jalan Letkol M. Syarifuddin Syarif KM.1 Gg. Pesantren, Kota Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Luas areal tanah yang ditempati pondok pesantren ini adalah 10.000 m2.

Tidak jauh berbeda dengan SMA, pondok pesantren juga dipimpin oleh seorang kepala sekolah dengan dibantu 3 orang wakil kepala sekolah. Jumlah staf pengajar (ustadz) pondok pesantren sebanyak 28 orang dan 2 orang staf tata usaha.

Seluruh siswa Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang berjumlah 494 orang, terdiri dari 224 orang laki-laki dan 270 orang perempuan. Setiap jenjang kelas di Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang terdiri dari kelas satu sebanyak empat kelas, kelas dua sebanyak empat kelas (1 kelas IPA dan 3 kelas IPS) serta kelas tiga sebanyak empat kelas (1 kelas IPA dan 3 kelas IPS).

Pada umumnya fasilitas pendukung kegiatan belajar mengajar di pondok pesantren hampir sama dengan SMA. Perbedaannya terutama pada jumlah ruang kelas, ruang laboratorium dan ruang kantin serta kamar mandi/WC di pondok pesantren lebih sedikit dibandingkan dengan SMA (Tabel 4).

Tabel 4 Jumlah fasilitas fisik yang dimiliki sekolah

Fasilitas Fisik SMA Pesantren

Ruang kelas 26 12

Ruang guru 1 1

Ruang tata usaha 1 1

Laboratorium 3 1

Ruang praktek 1 -

Perpustakaan 1 1

Masjid 1 1

Ruang ekstrakurikuler 1 -

Gudang 1 -

Kantin 3 -


(42)

Jumlah ruang kelas di Pesantren lebih sedikit dibandingkan dengan SMA karena jumlah siswa Pesantren lebih sedikit jika dibandingkan dengan siswa SMA. Laboratorium di Pesantren juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan SMA karena jumlah kelas jurusan IPA lebih sedikit jika dibandingkan dengan SMA.

Kegiatan ekstrakurikuler yang menonjol dikembangkan di Pesantren adalah marching band. Nilai Daftar Ujian Akhir Nasional (Danun) Madrasah Tsanawiyah tertinggi yang diterima tahun ajaran 2005/2006 adalah 28.95 sedangkan nilai terendah adalah 17.65. Dari seluruh siswa yang lulus pada tahun 2006 maka sekitar 5 persen diterima di perguruan tinggi negeri.

Karakteristik Contoh

Usia contoh di kedua sekolah berkisar antara 16 sampai 19 tahun, dengan rata-rata 17±0.65 tahun. Pada umumnya (sebagian besar) contoh di SMA dan Pesantren berusia 17 tahun dengan persentase usia contoh di SMA dan di Pesantren berturut-turut 60 persen dan 66.7 persen (Tabel 5).

Tabel 5 Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan usia

SMA Pesantren Jumlah Usia (tahun)

n % n % n %

16 11 36.7 - - 11 18.3

17 18 60.0 20 66.7 38 63.3

18 1 3.3 8 26.7 9 15.0

19 - - 2 6.7 2 3.3

Jumlah 30 100.0 30 100.1 60 99.9

Menurut Ramsey (1957) diacu dalam Hasselt dan Hersen (1987) rentang usia remaja dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 19-21 tahun. Turner dan Helms (1991) mengelompokkan usia remaja antara 13-19 tahun. Monk (1992) melakukan pembagian perkembangan remaja adalah pra remaja (10-12 tahun), remaja awal atau pubertas (12-15 tahun) dan remaja pertengahan usia (15-18 tahun) dan remaja akhir usia ((15-18-21 tahun).


(43)

Sosial Ekonomi Keluarga dan Contoh Besar Keluarga

Besar keluarga contoh di kedua sekolah berkisar antara 3 sampai 10 orang, dengan rata-rata 6.2 ±1.68 orang. Secara keseluruhan rata-rata jumlah anggota keluarga contoh termasuk kategori sedang, dengan persentase di SMA 56.7 persen dan di Pesantren 46.7 persen (Tabel 6 ).

Besar keluarga diukur dari jumlah anggota keluarga dengan kategori keluarga kecil jika jumlah anggota kurang dari atau sama dengan 4 orang, sedang jika jumlah anggota 5 sampai 7 orang, serta besar jika jumlah anggota lebih dari 7 orang. Apabila dibedakan antara SMA dan Pesantren maka tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) besar keluarga contoh di SMA dan Pesantren (Lampiran 2). Tabel 6 Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan besar keluarga

SMA Pesantren Jumlah Besar Keluarga

n % n % n % Kecil (≤4 orang) 9 30.0 3 43. 3 12 20.0 Sedang (5-7 orang) 17 56.7 14 46.7 31 51.7 Besar (>7 orang) 4 13.3 13 10.0 17 28.3

Jumlah 30 100 30 100 60 100

Besar keluarga sangat penting untuk diperhatikan karena terbatasnya bahan makanan yang tersedia, terutama pada keluarga yang berpendapatan rendah. Dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga, maka konsumsi pangan hewani akan berkurang dan makanan pokok diganti dengan yang lebih murah, atau dapat pula berkurang, sehingga asupan zat gizi tiap anggota keluarga akan berkurang pula (Hartog et al. 1995).

Pendidikan Orang Tua

Lama sekolah bapak berkisar antara 6 sampai 18 tahun dengan rata-rata 10.5±3.5 tahun. Pendidikan orangtua contoh diukur berdasarkan lama sekolah dalam tahun, kemudian dikelompokkan dengan kategori pendidikan dasar (0-6 tahun), pendidikan menengah (7-12 tahun) dan pendidikan tinggi (>12 tahun). Berdasarkan pengelompokan tersebut, maka sebagian besar tingkat pendidikan bapak di SMA termasuk kategori pendidikan menengah (70 %) dan di Pesantren


(44)

termasuk kategori pendidikan dasar (46.7%). Apabila dibedakan antara SMA dan Pesantren maka terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) lama pendidikan bapak contoh di SMA dan Pesantren (Lampiran 2).

Lama pendidikan ibu berkisar antara 4 sampai 18 tahun dengan rata-rata 9.9±3.5 tahun. Secara umum, tingkat pendidikan ibu di SMA termasuk kategori pendidikan menengah (63.3%) dan Pesantren termasuk kategori pendidikan dasar (43.3%). Apabila dibedakan antara SMA dan Pesantren maka terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) lama pendidikan ibu contoh di SMA dan Pesantren (Lampiran 2).

Tabel 7 Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan pendidikan orang tua

Pendidikan Orang Tua SMA Pesantren Jumlah n % n % n % Pendidikan Bapak

Dasar (0-6 tahun) 5 16.7 14 46.7 19 31.7 Menengah (7-12 tahun) 21 70.0 5 16.7 26 43.3 Tinggi (>12 tahun) 4 13.3 11 36.7 15 25.0

Jumlah 30 100.0 30 100.1 60 100.0

Pendidikan Ibu

Dasar (0-6 tahun) 6 20.0 13 43.3 19 31.7 Menengah (7-12 tahun) 19 63.3 8 26.7 27 45.0 Tinggi (>12 tahun) 5 16.7 9 30.0 14 23.3

Jumlah 30 100.0 30 100 60 100.0

Leslie (1985) menyatakan bahwa pendidikan ibu akan mempengaruhi pengetahuan mengenai praktek kesehatan dan gizi anak. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dan berkualitas dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah.

Tingginya tingkat pendidikan orang tua dapat berpengaruh pada jenis pekerjaannya, yang kemudian turut mempengaruhi tingkat pendapatan keluarga. Hal ini lebih lanjut akan berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan pangan dalam keluarga. Tingkat pendidikan berhubungan erat dengan pengetahuan, karena semakin tinggi pendidikan maka semakin besar kesempatan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas, demikian pula halnya dengan pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Orang yang berpendidikan tinggi diharapkan memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan yang lebih baik sehingga memungkinkan dimilikinya informasi tentang gizi dan kesehatan yang lebih baik dan


(45)

mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan (Sediaoetama 1991).

Pekerjaan Orang Tua

Jenis pekerjaan bapak contoh di SMA yang paling banyak (40 %) adalah wiraswasta, kemudian diikuti PNS, yaitu sebanyak 26.7 persen. Jenis pekerjaan bapak contoh di Pesantren paling banyak PNS (23.3 %) dan pegawai swasta (20 %). Sedangkan ibu contoh di SMA dan Pesantren sebagian besar sebagai ibu rumah tangga dengan persentase di SMA sebanyak 56.7 persen dan di Pesantren 53.3 persen (Tabel 8).

Tabel 8 Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan pekerjaan orang tua

Pekerjaan Orang Tua SMA Pesantren n % n %

Jumlah n % Pekerjaan Bapak

Wiraswasta 12 40.0 3 10.0 15 25.0

PNS/TNI 8 26.7 7 23.3 15 25.0

Pedagang 1 3.3 4 13.3 5 8.3 Pegawai Swasta 5 16.7 6 20.0 11 18.3 Pensiunan 1 3.3 0 0.0 1 1.7 Petani Lain-lain 1 2 3.3 6.7 4 6 13.3 20.0 5 8 8.3 13.3 Jumlah 30 100.0 30 99.9 60 99.9 Pekerjaan Ibu

1. PNS/TNI 6 20.0 5 16.7 11 18.3

2. Pedagang 0 0.0 5 16.7 5 8.3

3. Pegawai Swasta 2 6.7 0 0.0 2 3.3

4. Pensiunan 0 0.0 0 0.0 0 0.0

5. Lain-lain 5 16.7 4 13.3 9 15.0

6. Ibu Rumah Tangga 17 56.7 16 53.3 33 55.0 Jumlah 30 100.1 30 100.0 60 99.9

Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2003) jenis pekerjaan orang tua merupakan salah satu indikator besarnya penghasilan keluarga. Dengan semakin besarnya penghasilan maka diharapkan konsumsi keluarga menjadi semakin baik dalam hal kualitas dan kuantitas gizinya.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan keluarga yang berimplikasi terhadap kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan anggota keluarga. Pendapatan keluarga per kapita per bulan berkisar antara Rp.125.000 hingga Rp1.000.000 dengan rata-rata sebesar Rp333.344 ±145.707.


(46)

Pendapatan keluarga per kapita contoh seluruhnya termasuk pada kategori miskin, dengan persentase di SMA dan di Pesantren masing-masing 100 persen. Jika dibedakan SMA dan Pesantren maka tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) pendapatan perkapita keluarga contoh di SMA dan Pesantren (Lampiran 2).

Pendapatan keluarga per kapita contoh seluruhnya termasuk kategori miskin kemungkinan disebabkan karena tidak tergali informasi tentang pendapatan dari sumber lain.

Khumaidi (1989) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang menjadi latar belakang tingginya prevalensi anemia gizi di negara berkembang adalah keadaan sosial ekonomi yang rendah yang meliputi pendidikan orang tua dan penghasilan yang rendah serta keadaan kesehatan lingkungan yang buruk.

Pendapatan keluarga akan mempengaruhi daya beli keluarga untuk pangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Menurut Sajogyo (1978) pendapatan berpengaruh terhadap daya beli dan perilaku manusia dalam mengkonsumsi pangan. Dengan demikian pendapatan keluarga merupakan faktor yang menentukan jumlah dan macam pangan yang tersedia dalam keluarga apabila pendapatan cukup, maka jumlah dan macam pangan yang ada di rumah tangga akan tercukupi, sebaliknya pendapatan yang rendah akan menjadi kendala dalam penyediaan pangan keluarga yang akan berakibat buruk terhadap status gizi keluarga. Hal senada memperkuat pendapat ini dikemukakan oleh Hardinsyah dan Suhardjo (1987) yang menyatakan bahwa rendahnya pendapatan merupakan salah satu sebab rendahnya konsumsi pangan serta buruknya status gizi.

Uang Saku Contoh

Uang saku contoh per bulan berkisar antara Rp.80.000 sampai Rp.940.000 dengan rata-rata Rp349.383±166.118. Berdasarkan kriteria uang saku kategori rendah, sedang dan tinggi, diketahui lebih dari separuh contoh di kedua sekolah memiliki uang saku dengan kategori sedang (73.3% di SMA dan 53.3 % di Pesantren). Jika dibedakan antara SMA dan Pesantren maka tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) uang saku contoh di SMA dan Pesantren (Lampiran 2).


(47)

Tabel 9 Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan uang saku

Uang Saku SMA Pesantren Jumlah n % n % n % Rendah

(< Rp. 277129) 8 26.7 14 46.7 22 36.7 Sedang

(Rp. 277129-Rp.1506805) 22 73.3 16 53.3 38 63.3 Tinggi

(>Rp. 1506805) 0 0.0 0 0.0 0.0 0.0 Jumlah 30 100.0 30 100.0 60 100.0

Sebagian besar pengalokasian uang saku contoh digunakan untuk membeli makanan dan selebihnya untuk biaya trasportasi, kost, telepon/voucher handphone

dan untuk membeli kosmetik. Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu. Perolehan uang saku sering menjadi suatu kebiasaan, anak diharapkan untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku yang dimiliki (Napitu 1994).

Pola Konsumsi

Jenis pangan sumber karbohidrat yang banyak dikonsumsi oleh contoh di SMA (Gambar 3) adalah nasi dengan frekuensi 61-90 kali/bulan ( 46.7 %), roti dengan frekuensi 16-30 kali/bulan (30%). Sedangkan di Pesantren (Gambar 3), sebagian besar contoh mengkonsumsi nasi dengan frekuensi 61-90 kali/bulan (80%), mie dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (43.3%), roti dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (13.3%). Jenis pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi oleh contoh di SMA dan Pesantren secara lengkap disajikan pada Lampiran 3.

Gambar 3 Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis pangan sumber karbohidrat yang banyak dikonsumsi

0% 20% 40% 60% 80% 100%

SMA Pesantren

R

espon

den (

%

) nasi (61-90

kali/bln) roti (16-30 kali/bln)

roti (8-15 kali/bln) mie (8-15 kali/bln)


(48)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Desmawita (2002) menunjukkan hal yang sama bahwa berdasarkan frekuensi pangan, maka pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi oleh remaja adalah nasi, mie dan roti.

Jenis pangan sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi oleh contoh di SMA (Gambar 4) adalah ayam dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (43.3 %), telur dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (43.3%) dan ikan dengan frekuensi 16-30 kali/bulan (36.7 %). Sedangkan contoh di Pesantren (Gambar 4), jenis pangan sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi adalah ayam dengan frekuensi 1-7 kali/bulan (53.3 %), telur dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (43.3 %) dan ikan dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (36.7 %). Jenis pangan sumber protein hewani yang dikonsumsi oleh contoh di SMA dan Pesantren secara lengkap disajikan pada Lampiran 4.

Gambar 4 Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis pangan sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi

Defisiensi zat besi dapat disebabkan oleh konsumsi pangan sumber zat besi yang kurang, baik dalam kualitas maupun kuantitas. Bioavalaibilitas zat besi dalam bahan pangan tergantung pada sumber pangan atau bentuk zat besinya. Besi heme, yang terdapat pada daging, unggas dan ikan, lebih mudah diserap dua hingga tiga kali dibandingkan dengan besi non heme pada pangan nabati (Finch & Cook 1984).

Jenis pangan sumber protein nabati yang banyak dikonsumsi contoh di SMA (Gambar 5) adalah tempe dengan frekuensi 8-15 kali/bulan ( 30 %) dan tahu dengan frekuensi 16-30 kali/bulan (26.7 %). Sedangkan di Pesantren (Gambar 5), jenis pangan sumber protein nabati yang banyak dikonsumsi adalah tempe dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (43.3 %) dan tahu dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (36.7 %). Jenis pangan sumber protein nabati yang dikonsumsi oleh contoh di SMA dan Pesantren secara lengkap disajikan pada Lampiran 5.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% SMA Pesantren R es pon den ( % ) ayam (1-7 kali/bln) ayam (8-15 kali/bln) telur (8-15 kali/bln) ikan (8-15 kali/bln) ikan (16-30 kali/bln


(49)

Gambar 5 Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis pangan sumber protein nabati yang banyak dikonsumsi

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Desmawita (2002) menunjukkan hal yang sama bahwa pangan sumber protein nabati yang biasa dikonsumsi remaja adalah tahu dan tempe. Tahu dan tempe banyak dikonsumsi oleh contoh karena selain harganya yang relatif murah, ketersediaan yang memadai dan banyak contoh yang menyukainya.

Jenis sayuran yang banyak dikonsumsi contoh di SMA (Gambar 6) adalah bayam dengan frekuensi 16-30 kali/bulan (30 %) dan kangkung dengan frekuensi 16-30 kali/bulan (20 %) dan kol dengan frekuensi 16-30 kali/bulan (10 %). Sedangkan contoh di Pesantren (Gambar 6), jenis sayuran yang banyak dikonsumsi adalah bayam dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (33.3 %), kangkung dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (26.7 %), kol dengan frekuensi 1-7 kali/bulan (20 %) dan toge dengan frekuensi 1-7 kali/bulan (10 %). Jenis sayuran yang dikonsumsi oleh contoh di Pesantren lebih bervariasi dibandingkan dengan contoh di SMA. Jenis sayuran yang dikonsumsi oleh contoh di SMA dan Pesantren secara lengkap disajikan pada Lampiran 6.

Gambar 6 Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis sayuran yang banyak dikonsumsi

Menurut Soetedjo dan Pudjiharti (1973) kebutuhan sayuran yang diperlukan oleh remaja dalam sehari sekitar 150 g/hari. Meyer (1982)

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% SMA Pesantren R es p o n d en ( % )

bayam (8-15 kali/bln) bayam (16-30 kali/bln) kangkung (8-15 kali/bln) kangkung (16-30 kali/bln) kol (1-7 kali/bln) kol (16-30 kali/bln) toge (1-7 kali/bln)

0% 10% 20% 30% 40% 50% SMA Pesantren R e spond en ( %

) tempe (8-15

kali/bln) tahu (8-15 kali/bln) tahu (16-30 kali/bln)


(50)

mengklasifikasikan sayuran berdasarkan bagian dari tanaman yang biasa dimakan, yaitu sayuran daun, sayuran buah, sayuran biji, atau polong-polongan, sayuran umbi serta sayuran bunga, pucuk dan batang. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar contoh lebih banyak mengkonsumsi sayuran daun.

Jenis buah yang banyak dikonsumsi contoh di SMA (Gambar 7) adalah jeruk dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (33.3 %), pisang dengan frekuensi 16-30 kali (16.7 %) dan apel dengan frekuensi 1-7 kali/bulan (16.7 %). Sedangkan jenis buah yang banyak dikonsumsi contoh di Pesantren (Gambar 7) adalah jeruk dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (50%), duku dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (30 %), pisang dengan frekuensi 16-30 kali /bulan (20 %) dan salak dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (20 %). Jenis buah yang dikonsumsi oleh contoh di Pesantren lebih bervariasi dibandingkan dengan contoh di SMA. Jenis buah yang dikonsumsi oleh contoh di SMA dan Pesantren secara lengkap disajikan pada Lampiran 7.

Gambar 7 Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis buah yang banyak dikonsumsi

Jeruk banyak dikonsumsi oleh contoh karena ketersediaan yang memadai. Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989) berpendapat bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu: 1) karakter individu seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi dan kesehatan; 2) karakter makanan/pangan seperti rasa, rupa, tekstur, harga, tipe makanan, bentuk dan kombinasi makan; 3) karakter lingkungan seperti musim, pekerjaan, mobilitas dan tingkat sosial masyarakat. Selain beberapa faktor tersebut, Tarwotjo (1979) juga berpendapat bahwa konsumsi makanan dipengaruhi oleh status kesehatan.

Buah sangat bermanfaat bagi tubuh, sehingga sangat dianjurkan untuk dikonsumsi setiap hari. Buah merupakan sumber vitamin dan mineral yang

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% SMA Pesantren R e spo nde n ( % ) jeruk (8-15 kali/bln) duku (8-15 kali/bln) pisang (16-30 kali/bln) salak (8-15 kali/bln)


(51)

berfungsi dalam membantu proses metabolisme tubuh. Disamping sumber vitamin dan mineral, buah-buahan merupakan sumber serat yang berperan dalam pencengahan berbagai penyakit yang berhubungan dengan sistem pencernaan (Astawan 1996).

Jenis minuman yang banyak dikonsumsi oleh contoh di SMA (Gambar 8) adalah susu dengan frekuensi 16-30 kali/bulan (30 %), teh dengan frekuensi 16-30 kali/bulan (16.7 %) dan jus buah dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (13.3 %). Sedangkan jenis minuman yang banyak dikonsumsi oleh contoh di pesantren (Gambar 8) adalah susu dengan frekuensi 16-30 kali/bulan (16.7 %) dan 8-15 kali/bulan (16.7 %), teh dengan frekuensi 16-30 kali/bulan (16.7 %). Jenis minuman yang dikonsumsi oleh contoh di SMA dan Pesantren secara lengkap disajikan pada Lampiran 8.

Gambar 8 Sebaran contoh SMA dan Pesantren menurut jenis minuman yang banyak dikonsumsi

Jenis minuman soft drink jarang dikonsumsi oleh contoh di SMA maupun di Pesantren. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian di Bogor bahwa sebagian besar remaja SMA (32.5 %) terbiasa minum minuman ringan satu kali dalam seminggu.

Disler et al. (1975) dalam Thoha (2006) melaporkan bahwa salah satu penghambat penyerapan besi adalah senyawa polifenolik seperti tanin pada teh. Bila teh diminum pada waktu makan maka penyerapan besi akan terganggu oleh terbentuknya ikatan kompleks Fe-tanat yang tidak larut dan sukar diserap.

Jenis suplemen yang banyak dikonsumsi contoh di SMA (Gambar 9) adalah Redoxon dengan frekuensi 16-30 kali/bulan (6.7 %) dan Vitamin B kompleks dengan frekuensi 8-15 kali/bulan (6.7 %) dan Vitamin C dengan frekuensi 1-7 kali/bulan (6.7 %). Sedangkan di Pesantren (Gambar 9) jenis suplemen yang dikonsumsi adalah Scot Emultion dengan frekuensi 1-7

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% SMA Pesantren R e sponden ( %

) susu (8-15

kali/bln) susu (16-30 kali/bln) teh ( 16-30 kali/bln) jus buah (8-15 kali/bln)


(1)

ABSTRACT

ANITA RAHMIWATI. Food Consumption Pattern, Nutritional Status and

Reproduction Knowledge of Adolescent Girls. Under direction of BUDI SETIAWAN and LILIK KUSTIYAH.

The study was aimed to compare the food consumption pattern, nutritional status and reproduction knowledge of adolescent girls at senior high school and pesantren. Subjects of this study were 60 students of senior high school and pesantren, Bangkinang, Riau.The study employed a cross sectional design. The result showed that the parents education of subject at senior high school was higher than parents education of subject at pesantren. There was not significantly different in economy level (family’s income per capita and pocket money)between subject at senior high school and pesantren (p>0.05). Food consumption pattern and nutritional knowledge of subject at pesantren was better than subject at senior high school however there were not significantly different between subject at senior high school and pesantren (p>0.05).Body Mass Indeks (BMI) in generally was normal(73.3 % at senior high school and 80 % at pesantren) and prevalence of anemia was high, with over 70 % anemic ( 100 % at senior high school and 73.3 % at pesantren ). There were significantly different between iron status of subject at senior high school and pesantren (p<0.05). Reproduction knowledge of subject at senior high school was better than subject at pesantren. Reproduction knowledge was positive significant effect on education of father (P<0.01) and family’s income per capita (P<0.05). Measurement of perception on reproduction health showed that almost of all adolescent girls were not ready on mental due to reproduction health. BMI was significant effect on perception on reproduction health (P<0.05). Adolescent girls at pesantren were more ready in reproduction than adolescent girls at senior high school.

keywords : Food consumption pattern, nutritional status, reproduction knowledge, adolescent girls


(2)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(3)

(4)

POLA KONSUMSI PANGAN, STATUS GIZI DAN PENGETAHUAN REPRODUKSI REMAJA PUTRI

ANITA RAHMIWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(5)

Judul Tesis : Pola Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Pengetahuan Reproduksi Remaja Putri

Nama : Anita Rahmiwati

NIM : A551050051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Gizi Dekan Sekolah Pascasarjana Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(6)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Karakteristik Remaja... 4

Pengetahuan Gizi ... 5

Konsumsi Pangan Remaja... 6

Penilaian Konsumsi Pangan Remaja... 8

Status Gizi ... 9

Status Gizi Antropometri ... 9

Status Gizi Biokimia ... 10

Pengetahuan dan Persepsi terhadap Kesehatan Reproduksi ... 15

Pengetahuan Reproduksi... 15

Persepsi terhadap Kesehatan Reproduksi... 15

Kesehatan Reproduksi... 16

Kesiapan Reproduksi ... 17

Kerangka Pemikiran... 18

METODE ... 20

Desain, Tempat dan Waktu ... 20

Cara Pengambilan Contoh... 20

Jenis dan Cara Pengumpulan Data... 20

Karakteristik Sosial Ekonomi ... 21

Pola Konsumsi ... 22

Pengetahuan Gizi ... 22

Konsumi Energi dan Zat Gizi ... 22