Pengaruh Penambahan Beberapa Aditif terhadap Kualitas Silase Daun Rami (Boehmeria nivea, L. GAUD)

PENGARUH PENAMBAHAN BEBERAPA ADITIF
TERHADAP KUALITAS SILASE DAUN RAMI
(Boehmeria nivea, L. GAUD)

SKRIPSI
AFSITIN JOAN TATRA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010

RINGKASAN
AFSITIN JOAN TATRA. D24052932. 2010. Pengaruh Penambahan Beberapa
Aditif terhadap Kualitas Silase Daun Rami (Boehmeria nivea, L. GAUD).
Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Despal, S.Pt., M.Sc.
Pembimbing Anggota : Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.
Tingginya permintaan akan daging membuat industri peternakan semakin
meningkat sehingga dibutuhkan pakan dalam jumlah yang tinggi pula terutama

sumber serat untuk ternak ruminansia. Sumber serat di Indonesia umumnya diperoleh
dari rumput dan limbah partanian. Pada musim hujan produksi rumput tinggi
sehingga pakan untuk ternak akan tersedia tetapi pakan musim kemarau produksi
hijauan akan menurun yang mengakibatkan pakan untuk ternak berkurang. Daun
rami dapat digunakan sebagai alternatif pakan terutama pada musim kemarau. Hasil
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa daun rami mengandung semua nutrien
utama yang diperlukan oleh ternak (Duarte, 1997), daun rami juga merupakan
sumber protein daun terbaik untuk ternak (Pirie, 2005). Kandungan protein daun
rami sekitar 20% dengan kandungan serat kasar sekitar 16%. Tiap tahunnya tanaman
rami menghasilkan limbah hijauan berupa daun dan pucuk sekitar 300 ton bahan
segar/ha (FAO, 2005). Daun rami dapat diperoleh dari sisa pemanenan batang yang
dilakukan secara periodik dengan interval 25 – 40 hari. Oleh karena itu perlu
dilakukan teknik pengawetan yang tepat agar daun rami dapat digunakan sebagai
pakan harian.
Pengawetan dapat dilakukan secara kering (hay) dan basah (silase).
Pengawetan kering tidak dilakukan karena adanya kendala, yakni pemanenan daun
rami yang dilakukan pada musim hujan. Oleh karena itu perlu pengkajian terhadap
pengawetan basah (silase) daun rami. Pemanfaatan silase sering dilakukan di daerah
temperate, namun di daerah tropis penerapan teknik ini jarang dilakukan. Hal ini
dikarenakan umumnya kadar air hijauan di daerah tropis tinggi serta ketersediaan

karbohidrat mudah larut air dan bakteri asam laktat rendah sehingga silase yang
dihasilkan berkualitas rendah. Oleh karena itu, perlu penambahan aditif yang kaya
akan karbohidrat mudah larut air agar silase yang dihasilkan berkualitas baik. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui penambahan zat aditif yang dapat
meningkatkan kualitas silase rami dan kecernaan silase daun rami oleh ruminansia
secara in vitro. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun rami yang
berasal dari Koperasi Pondok Pesantren (Koppontren) Darussalam Garut, tepung
jagung berasal dari pabrik pakan Indofeed, Bogor serta onggok, pollard, gaplek dan
dedak berasal dari Pak Arnold, Cikereteg, Sukabumi. Peubah yang diamati dalam
penelitian ini antara lain karakter fisik (warna, bau, tekstur, dan jamur), karakteristik
fermentasi silase yang meliputi Bahan kering (BK), pH (Naumann dan Bassler,
1997), Water Soluble Carbohydrate (WSC) (Metode Fenol), perombakan protein
(Mikrodifusi Conway); fermetabilitas in vitro silase yang meliputi volatile fatty acid
(VFA) dan anomia (NH3) (General Laboratory Procedure, 1966) dan laju produksi
gas serta estimasi kecernaan bahan organik silase (Menke et al., 1979), Kecernaan
bahan kering (KCBK) dan Kecernaan bahan organik (KCBO) (Tilley and Terry,

1967). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
dan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Lima tipe water soluble
carbohydrate (WSC) yang digunakan antara lain onggok, tepung jagung, pollard,

gaplek dan dedak dengan waktu inkubasi 42 hari. Data yang diperoleh akan
dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) diikuti dengan uji Duncan untuk melihat
perbedaan antar perlakuan.
Perbedaan penggunaan aditif mempengaruhi kualitas silase. Karakter fisik
menunjukkan bahwa silase dengan penambahan onggok dan jagung memiliki warna
hijau kehitaman sedangkan silase dengan penambahan pollard, gaplek dan dedak
memiliki warna coklat. Tidak terjadi penggumpalan di kelima jenis silase tersebut.
Pada silase silase dengan penambahan gaplek dan dedak terdapat jamur berwarna
putih dan jamur berwarna merah hanya pada silase dengan penambahan dedak.
Kehilangan bahan kering (DM loss) kelima silase masih dalam batas normal karena
kurang dari 10%. Silase dengan penambahan gaplek memiliki pH yang rendah (4,06)
dari pada keempat silase yang lainnya tetapi silase dengan penambahan onggok,
jagung dan pollard memiliki pH yang berada dalam kisaran silase berkualitas baik
(4,74), (4,78), (4,51) sedangkan silase dengan penambahan dedak memiliki pH yang
tinggi (4,95) dan berada dalam kisaran silase berkualitas rendah. Silase daun rami
dikategorikan sebagai bahan pakan yang fermentabel dan dapat dicerna oleh ternak
ruminan yakni dilihat dari nilai NH3 > 7,09 mM, VFA > 138,93 mM dan kecernaan
bahan organik yang berkisar 45,291-71,143%.
Kata-kata kunci : aditif, daun rami, karakteristik fermentasi, ruminan, silase


ABSTRACT
The Effect of Several Additives to Ramie Leaves
(Bohmeria nivea, L. GAUD) Silage Quality
Tatra, A. J., Despal, and I. G. Permana
A research to study the influence of additives on ramie leaves silage qualities
for ruminant have been studied in vitro using completely designs. Five types of water
soluble carbohydrate (WSC) and dry matter sources as additives (RO = cassava, RJ =
corn meal, RP = pollard, RG = cassava chip flour, and RD = rice bran) have been
investigated. The fermentability of organic matter to VFA and NH3 were measured
according to General Laboratory Procedure (1966), while the rate organic matter
fermentation was measured follow the procedure of Menke et al., (1979). Value of
pH and protein degradability were measured follow procedure of Naumann dan
Bassler (1997) and Microdifusi Conway. The variable of this research consist of
physical characteristic and fermentation parameters, fermentability and digestibility
of the silages by ruminant have been determined in vitro. In generally, physical
characteristic of ramie leaf silage are green black, lactic acid odor and softer texture.
Ramie leaf silage with addition cassava chip flour (RG) have low pH (4.06). pH
parameters showed that RG acidified the silages faster than the RP, RJ, RO and RD.
The silages were categorized as fermentable and high digestible feeds for ruminants
(NH3 > 7.09 mM, VFA > 138.93 mM) and organic matter digestibility (OMD) after

5 weeks ensiling time were around 71.14%.
Keywords: additives, fermentation characteristic, ruminant, ramie, silage

PENGARUH PENAMBAHAN BEBERAPA ADITIF
TERHADAP KUALITAS SILASE DAUN RAMI
(Boehmeria nivea, L. GAUD)

AFSITIN JOAN TATRA
D24052932

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010


Judul
Nama
NIM

: Pengaruh Penambahan Beberapa Aditif terhadap Kualitas Silase Daun
Rami (Boehmeria nivea, L. GAUD)
: Afsitin Joan Tatra
: D24052932

Menyetujui
Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota

(Dr. Despal, S.Pt., M.Sc., Agr.)
NIP. 19701217 199601 2 001

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.,Agr)
NIP. 19670506 199103 1 001


Mengetahui
Ketua Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Fakultas Peternakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.,Agr)
NIP. 19670506 199103 1 001

Tanggal Ujian: 18 Mei 2010

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Maret 1987 di Kabungka, Sulawesi
Tenggara. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak
Wakijo dan Ibu Sumiana.
Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1993 di Sekolah Dasar
Negeri 4 Pasarwajo dan diselesaikan pada tahun 1999. Pendidikan lanjutan tingkat
pertama dimulai pada tahun 1999 dan diselesaikan pada tahun 2002 di Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Pasarwajo. Penulis melanjutkan pendidikan di

Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pasarwajo pada tahun 2002 dan diselesaikan pada
tahun 2003.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur
Undangan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (USMI) dan diterima di Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2006. Selama di
IPB, penulis menjadi pengurus Dewan Kerja Mushola (DKM) FAMM Al-An’amm
pada divisi keputrian pada tahun 2006/2007 dan pada tahun 2007/2008 menjadi
Bendahara Umum. Selain itu penulis pernah melakukan magang laboratorium di
Laboratorium Agostrologi Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada tahun
2006/2007. Penulis juga pernah menjadi petugas pelatihan pembuatan silase di
KPSBU Lembang tahun 2009.

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan hadirat Allah SWT, atas rahmat,
kasih sayang dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Pengaruh Penambahan Aditif terhadap Kualitas Silase Rami (Boehmaria
nivea, L. GAUD)”. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
penulis pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Laboratorium Nutrisi Ternak
Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.

Skripsi ini memuat informasi tentang karakter fisik, karakteristik fermentasi
silase, fermentabilitas silase dan kecernaan silase daun rami dengan penambahan
onggok, tepung jagung, pollard, gaplek, dan dedak secara in vitro dengan lama
ensilase 42 hari.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Mei 2010

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN …………………………………………………………
ABSTRACT …………………………………………………………..
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………
LEMBAR PENGESAHAN ………………….......................................
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………
KATA PENGANTAR …………………………………………………
DAFTAR ISI …………………………………………………………
DAFTAR TABEL …………………………………………………......

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………
PENDAHULUAN ……………………………………………………

i
iii
iv
v
vi
vi
viii
x
xi
xii
1

Latar Belakang ………………………………………………...
Tujuan …………………………………………………………

1

2

TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….

3

Tanaman Rami (Boehmeria nive, L. GAUD) …………………
Potensi Produksi dan Kandungan Nutrisi Daun Rami ….
Pemanfaatan Daun Rami sebagai Pakan Ternak ……….
Silase …………………………………………………………..
Zat Aditif Silase ………………………………………..
Tepung Jagung …………………………………………………
Gaplek ........................................................................................
Pollard .......................................................................................
Onggok ..........................………………………………………..
Dedak .........................................................................................
Kualitas Silase …………………………………………
Konsentrasi VFA ………………………………………………
Amonia …………………………………………………………
Teknik Percobaan in vitro Gas Tes …………………………….

3
4
4
5
6
7
8
9
10
11
11
12
13
13

MATERI DAN METODE ……………………………………………..

16

Tempat dan Waktu …………………………………………….
Materi ………………………………………………………….
Metode …………………………………………………………
Teknik Pembuatan Silase ………………………………
Kualitas Silase ………………………………………….
Kecernaan dan Fermentabilitas Silase …………………
Rancangan Percobaan …………………………………………
Prosedur Analisa ………………………………………………
Pengukuran BK Silase …………………………………
Pengukuran pH ………………………………………...
Pengukuran WSC (Water Soluble Carbohydrate) ………
Pengukuran NH3 Silase ………………………………...
Perhitungan Nilai Fleigh ………………………………

16
16
16
16
16
17
17
18
18
19
19
19
19

Pengukuran NH3 Rumen ………………………………
Pengukuran VFA ………………………………………
Laju Degradasi Bahan Organik Silase ………………….
Pengukuran KCBK dan KCBO …………………………

20
20
21
22

HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………..

24

Kandungan Nutrien Daun Rami dan Zat Aditif ………………..
Perubahan Karakteristik Fermentasi selama Ensilase ………….
Penurunan pH …………………………………………...
Kadar Bahan Kering ……………………………………
Kadar Water Soluble Carbohydrate (WSC) ……………
Karakteristik Sifat Fisik Silase …………………………………
Karakteristik Fermentasi Silase ……………………………….
Fermentabilitas Silase dalam Rumen …………………………..
Kecernaan dan Metabolisme Energi ……………………………
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik…………….
Estimasi Kecernaan bahan organik dan
Metabolisme Energi …………………………………….

24
24
24
25
26
26
27
31
33
33
34

KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………

36

Kesimpulan …………………………………………………….
Saran …………………………………………………………..

36
36

UCAPAN TERIMAKASIH ……………………………………………

37

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….

38

LAMPIRAN …………………………………………………………….

45

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1.

Kandungan Nutrien dan Antinutrisi Daun Rami…………………

4

2.

Pembagian Aditif Beserta Fungsinya ……………………………

7

3.

Kandungan Nutrien Tepung Jagung ……………………………..

8

4.

Kandungan Nutrien Tepung Gaplek …………………………….

10

5.

Kandungan Nutrien Pollard ……………………………………..

10

6.

Kandungan Nutrien Onggok ……………...................................

11

7.

Kandungan Nutrien Dedak ………………………………………

12

8.

Kriteria Penilaian Silase …………………………………………

13

9.

Kandungan Nutrien Rami dan Zat Aditif ……………………….

25

10. Penurunan pH Silase selama 4 Minggu ………………………..

26

11. Kadar Bahan Kering (%) Silase selama 4 Minggu ……………..

26

12. Kadar WSC (%) selama 4 Minggu …………………………….

27

13. Karakteristik Sifat Fisik Silase Rami …………………………..

27

14. BK, Kehilangan BK dan WSC Silase berbagai Aditif …………

29

15. pH, %N-NH3 dan NF Silase berbagai Aditif …………………..

30

16. VFA Total dan NH3 pada Silases berbagai Aditif ……………...

32

17. Laju Produksi Gas ………………………………………………

33

18. Rataan KCBK dan KCBO pada Silase berbagai Aditif ………..

33

DAFTAR GAMBAR
Nomor
1. Tanaman Rami

Halaman
………………………………………………….

3

2. Nilai Fleigh Silase berbagai Aditif

.……………………………

30

3. Produksi Gas Silase berbagai Aditif

..…………………………..

32

4. Kecernaan Bahan Organik dan Metabolisme Energi ……………..

34

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Hasil Sidik Ragam Bahan Kering ...................................................

43

2. Hasil Sidik Ragam Kehilangan Bahan Kering…………………….

44

3. Hasil Sidik Ragam Water Soluble Carbohydrate …………………

45

4. Hasil Sidik Ragam pH …………………………………………..

46

5. Hasil Sidik Ragam Nilai Fleigh ………………………………….

47

6. Hasil Sidik Ragam VFA ………………………………………...

48

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak ruminansia membutuhkan pakan sumber serat yang berasal dari
hijauan seperti rumput dan leguminosa untuk fungsi normal pencernaannya. Hijauan
tersebut semakin sulit diperoleh peternak karena semakin sempitnya lahan. Pada
musim kemarau selain masalah ketersediaan hijauan, kualitas dan kandungan nutrien
hijauan umumnya juga lebih rendah. Penggunaan pakan alternatif yang dapat
digunakan pada musim kemarau yang memiliki kualitas dan kandungan nutrien yang
tinggi dibutuhkan untuk mendukung ketahanan pakan.
Daun rami merupakan hasil sampingan dari tanaman rami yang batangnya
digunakan sebagai bahan baku tekstil. Daun rami mempunyai potensi sebagai pakan
ternak karena kandungan nutriennya yang sangat baik. Kandungan protein kasar
daun rami mencapai 21%, lemak kasar 4%, serat kasar 20%, bahan ekstrak nitrogen
46% dan mineral Ca 6% (Duarte., et al, 1997). Kandungan protein kasar daun rami
yang terdapat di Indonesia lebih rendah yaitu 16,35% (Despal dan Permana., 2008)
Hingga saat ini penggunaan daun rami sebagai pakan ternak masih
mengalami kendala. Panen tanaman rami umumnya dilakukan pada musin hujan,
dimana pada saat hijauan seperti rumput dan legum relatif mudah tersedia, hal ini
menyebabkan peternak lebih memilih menggunakan rumput dan legum. Agar daun
rami dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pakan pada musim kemarau maka
pengawetan daun rami perlu dilakukan.
Pengawetan hijauan yang umumnya dilakukan yaitu pengawetan kering (hay)
dan pengawetan basah (silase). Pengawetan kering dapat dilakukan di Indonesia
karena intensitas sinar matahari sangat tinggi, karena musim panen tanaman rami
yang terjadi pada musin hujan sehingga pengeringan kurang efisien karena intensitas
sinar matahari pada musim hujan yang sedikit dan intervensi hujan dapat
menyebabkan hijauan berjamur.
Alternatif lain pengawetan yang dapat digunakan adalah pengawetan basah
berupa silase. Pembuatan silase pada daun rami secara langsung memiliki masalah
dengan tingginya kadar air. Kadar air daun rami lebih dari 80%, sedangkan kadar air
ideal untuk pembuatan silase berkisar 60 – 70%. Selain itu, rendahnya kadar gula
terlarut (WSC = water soluble carbohydrate) menyebabkan bakteri asam laktat tidak

mendapat substrat yang cukup untuk membuat suasana asam pada proses ensilasi.
Oleh karena itu diperlukan penambahan zat-zat yang dapat menyerap air daun rami
sekaligus meningkatkan ketersediaan WSC. Bahan bahan tersebut misalnya onggok,
jagung, pollar, gaplek, dan dedak.
Penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang kontradiktif dimana jagung
yang memiliki kandungan WSC tinggi dan menghasilkan asam laktat yang tinggi
namun tidak mampu menurunkan pH silase dan menghasilkan silase berkualitas
buruk. Hal tersebut diduga karena daya serap air jagung yang rendah karena
sempitnya luas permukaan serapan.
Upaya untuk memperluas bidang serapan dilakukan dengan menggiling
jagung lebih halus dan penggunaannya sebagai aditif silase perlu diuji kembali
dibandingkan dengan bahan-bahan lainnya.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan berbagai
aditif (onggok, jagung, pollard, gaplek dan dedak) terhadap karakteristik fermentasi
silase, fermentabilitas dan kecernaan pakan pada ternak ruminansia yang diuji secara
in vitro.

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Rami (Boehmeria nivea, L. GAUD)
Tanaman rami (Boehmeria nivea L. GAUD ) merupakan tanaman yang
berasal dari Cina dan dapat menghasilkan serat dari kulit kayunya (Li Tsongdao,
1992). Tanaman rami (Gambar 1) di Jawa Barat dikenal dengan nama haramay,
sedangkan di Minangkabau dikenal dengan nama romin. Tanaman ini sepintas terlihat

seperti tanaman murbei dan merupakan tanaman tahunan berbentuk rumpun,
memiliki bentuk daun seperti hati dengan tekstur berbulu halus, batang yang
mengkilap dan ramping dengan tinggi tanaman antara 2 - 3 m, diameter batang
antara 1,2 - 2 cm bergantung pada kondisi pertumbuhan. Tanaman ini tumbuh pada
ketinggian 0 - 1500 m dpl dengan curah hujan rata-rata 1200 – 2200 mm/tahun.
Sistem perakaran (dimorfis) yang dimiliki rami memiliki dua fungsi yakni sebagai
akar reproduksi (rhizom) yang menjalar di bawah permukaan tanah dan akar umbi
sebagai penyimpan cadangan makanan. Terdapat mata tunas pada bagian rhizoma
yang dapat digunakan sebagai perbanyakan tanaman rami (Dhomiri, 2002).

Gambar 1. Tanaman Rami
Taksonomi daun rami menurut Peterson (2002) adalah sebagai berikut :
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
:
Magnoliosida
Subkelas
: Hammamelidae
Ordo
:
Ulesric
Familia
:
Uricacea
Genus
:
Boehmeria
Spesies
: Boehmeria nivea

Potensi Produksi dan Kandungan Nutrisi Daun Rami
Produksi serat mentah dari tanaman rami tiap hektarnya cukup tinggi.
Produksi serat mentah tanaman rami di daerah Wonosobo yang mencapai 1 ton/ha
(Dhomiri, 2002). Selain pemanfaatan batang sebagai bahan baku pembuatan tekstil
tanaman ini menghasilkan limbah hijauan berupa daun dan pucuk. Daun dan pucuk
ini dapat digunakan sebagai makanan ternak (FAO, 2005). Menurut FAO (2005)
tanaman rami dapat menghasilkan hijauan hingga 300 ton bahan segar/ha/tahun atau
setara dengan 42 ton bahan kering (BK).
Luas lahan di Indonesia yang ditanami rami ± 665 ha yang menyebar
dibeberapa daerah di Indonesia yaitu: Wonosobo 100 ha, OKU 105 ha, Lahat 20 ha,
Pagar Alam 20 ha, Muara Enim 20 ha, Musi Rawas 20 ha, Rejang Lebong 20 ha,
Way Kanan 20 ha, Lampung Utara 20 ha, Lampung Barat 20 ha, Tanggamus 20 ha,
Toba Samosir 20 ha dan Garut 260 ha (Batlibang Dephan,2004; Disperindag Jabar,
2008). Kandungan nutrisi dan anti nutrisi daun rami diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Nutrisi dan Antinutrisi Daun Rami (dalam % BK)
Komponen

Protein kasar (%BK)
Lemak kasar
Serat kasar
Bahan ekstrak tanpa N
Bahan kering
Ca
P
Oksalat
Phytat (mg/%)
Nitrat (mg/%)

Kandungan (%)
Despal dan Permana
Duarte et al.
(2008)
(1997)
16,35
21
6,36
4
13,61
20
44,18
46
16,15
9
5,74
0,16
1
16
480

Hasil proksimat
(2009)
16,69
11,14
-

Sumber : Despal dan Permana (2008), Duarte et al. (1997); Laboratorium NTP (2009)

Pemanfaatan Daun Rami sebagai Pakan Ternak
Penggunaan daun rami sebagai pakan ternak sudah banyak diteliti. Pada
ternak domba, Despal (2007) melaporkan bahwa daun rami dapat digunakan hingga
50% dalam ransum yang disertai dengan suplemen Cu, P dan MHA dan mampu
memberikan pertumbuhan positif. Hal ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya
kadar protein, daya degradasi dan kecernaan pakan (Sudibyo et al., 2005).

Namun demikian pada ternak monogastrik penggunaan daun rami lebih dari
20% dalam ransum tikus dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian.
Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan serat kasar (SK) dan senyawa fenolik
dalam tanaman rami (Duarte et al., 1997). Namun pada ternak ruminan, penggunaan
daun rami pada level yang lebih tinggi telah dilaporkan tidak menyebabkan
gangguan pertumbuhan. Mendes et al. (1980) menyatakan bahwa penggantian 25%
lucerne dengan daun rami dalam ransum kelinci tidak menyebabkan gangguan
pertumbuhan sedangkan Tuti (2009) melaporkan bahwa daun rami dapat digunakan
hingga 30%. Taraf lebih tinggi (50%) juga telah di cobakan oleh De Toledo et al
(2008). Bahkan penggunaan daun rami sebagai pakan serat tunggal dalam ransum
kelinci dilaporkan tidak menyebabkan gangguan metabolisme dan pertumbuhan
(Ferreira et al., 2007).
Silase
Silase adalah produk yang dihasilkan melalui proses fermentasi dari bahan
yang memiliki kadar air tinggi. Prosesnya disebut ensilage dan tempat untuk
membuat silase disebut silo (McDonald, 2002). Pembuatan silase tidak tergantung
musim jika dibandingkan dengan pembuatan hay. Pembuatan silase bertujuan untuk
mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk dimanfaatkan dimasa
mendatang (McDonald et al., 2002).
Keberhasilan pembuatan silase berarti memaksimalkan nutrien yang dapat
diawetkan. Silase yang baik diperoleh dengan menekan berbagai aktivitas enzim
yang

berada

dalam

tanaman

yang

tidak

dikehendaki

serta

mendorong

berkembangnya bakteri penghasil asam laktat (Sapienza dan Bolsen, 1993).
Adapun ciri-ciri tanaman yang ideal yang cocok untuk diawetkan sebagai
silase antara lain: (1) mengandung cukup substrat untuk proses fermentasi dalam
bentuk

karbohidrat

terlarut

dalam

air,

(2)

mempunyai

kapasitas

untuk

mempertahankan perubahan pH yang rendah, (3) kandungan bahan kering dalam
bahan segar minimal 20%, (4) mempunyai struktur fisik yang baik sehingga
memudahkan dalam proses pemadatan dalam silo (McDonald et al., 1982).
Proses silase secara garis besar terbagi atas 4 fase yaitu: (1) fase aerob, (2)
fase fermentasi, (3) fase stabil dan (4) fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak
(Moran, 2005).

1). Fase aerob, fase ini berlangsung dalam 2 proses yaitu proses respirasi dan
proses proteolisis. Kedua proses ini terjadi akibat adanya aktivitas enzim
yang berada dalam tanaman tersebut sehingga menghasilkan pH sekitar 6
-6,5. Dampak negatif dari fase ini dapat dihindarkan dengan cara menutup
silo sampai rapat sesegera mungkin.
2). Fase fermentasi, fase ini berlangsung selama 1 minggu sampai 1 bulan
dan dicapai ketika terjadi kondisi anaerob yang mengakibatkan
tumbuhnya

mikroba

anaerob

yakni

bakteri

asam

laktat,

Enterobacteriaceae, Clostridia, ragi dan kapang.
3). Fase stabil, fase ini berlangsung setelah proses fermentasi tercapai dan
ditandai dengan stabilnya pH silase.
4). Fase pengeluaran pakan ternak dilakukan setelah silase melewati masa
simpan yang cukup dan diberikan kepada ternak. Fase ini disebut fase
aerobik.
Proses fermentasi silase yang kurang baik dapat menyebabkan mikroba
perusak seperti Clostridia berkembang. Ciri-ciri fermentasi berjalan kurang baik
yakni tingginya kadar asam butirat, pH, kadar amonia dan amin, sedangkan ciri-ciri
proses fermentasi yang sempurna yakni pH turun dengan cepat, tidak adanya bakteri
Clostridia, kadar amonia rendah (Elferink et al., 2000). Disamping itu proses
fermentasi juga dapat meningkatkan temperatur silase. Kenaikan temperatur tidak
akan terjadi jika kondisi silo tertutup rapat dan masih anaerob. Umumnya temperatur
dalam pembuatan silase tidak boleh lebih dari 50°C, karena pertumbuhan optimum
untuk bakteri asam laktat sekitar 35°C (Susetyo et al, 1969). Temperatur yang baik
untuk pembuatan silase berkisar 25 - 50°C, jika dibawah 25°C akan menyebabkan
tumbuhnya bakteri pembusuk (Arnon, 1972).
Zat Aditif Silase
Fungsi bahan pengawet (starter/aditif) adalah meningkatkan ketersediaan zat
nutrisi, meningkatkan nilai nutrisi silase dan meningkatkan palatabilitas. Selain itu
juga berfungsi untuk mempercepat tercapainya kondisi asam, memacu terbentuknya
asam laktat dan asetat, mendapatkan karbohidrat mudah terfermentasikan sebagai
sumber energi bagi bakteri yang berperan dalam fermentasi, menghambat
pertumbuhan beberapa jenis bakteri lain dan jamur yang tidak dikehendaki,

mengurangi oksigen yang ada baik secara langsung maupun tidak langsung,
mengurangi produksi air dan menyerap beberapa asam yang tidak diinginkan
(Gunawan et al, 1988).
Bahan pengawet silase dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu stimulan
fermentasi seperti inokulun bakteri dan enzim, inhibitor fermentasi seperti asam
propionat, asam format, asam sulfat dan substrat seperti molases, urea dan amonia
(Suparjo, 2005). Menurut McDonald et al (2002) zat aditif yang dapat ditambahakan
dalam silase terdiri atas 2 klasifikasi yaitu stimulan fermentasi seperti sumber gula,
inokulan, dan ezim yang dapat mendorong pertumbuhan bakteri asam laktat dan
inhibitor fermentasi seperti asam dan formalin yang dapat menghambat sebagian atau
seluruh pertumbuhan mikroba. Pada Tabel 2 diperlihatkan berbagai jenis aditif dan
fungsinya.
Tabel 2. Pembagian Aditif Beserta Fungsinya
Kategori aditif
Stimulan fermentasi

Fungsi
Mengurangi stabilitas aerobik

Penghambat
kerusakan aerobik

Meningkatkan stabilitas
Aerobic

Penghambat
Fermentasi

-

Sumber nutrient

-

Absorben*

Penyerap air

Contoh
Bakteri asam laktat
(BAL)
Gula
Molasses
Enzim
Asam propionate
Asam benzoate
Asam sorbet
Asam format
Asam laktat
NaCl
Garam sulfit
Garam nitrit
Urea
Amonia
Mineral
Jerami
Bagas tebu kering

Sumber : McDonald et al. (1991), * Nishino et al. (2007).

Tepung Jagung
Jagung merupakan bahan makanan sumber energi yang sangat populer. Hal
ini dikemukakan oleh Agostini (1987) yang menyatakan bahwa jagung meliputi 60%
dari total biji-bijian yang digunakan dunia sebagai makanan ternak. Jagung sangat
palatabel (disukai ternak) dan kandungan energinya tinggi. Namun, disamping

kelebihan ini jagung mempunyai kelemahan yakni rendah akan protein dan asam
amino terutama lisin, triptofan dan metionin serta rendah akan mineral dan vitamin
selain vitamin A (Cunha, 1977 ; Ensminger et al., 1991).
Kelemahan lain dari jagung adalah dari energi yang dikandung jagung yakni
dapat memberikan efek negatif jika penggunaannya berlebihan pada fase akhir
pertumbuhan (Parakkasi, 1986). Kandungan nutrient tepung jagung dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan Nutrien Tepung Jagung
Zat Makanan
Kadar Air (%)
Abu (%)
Protein kasar (%)
Lemak (%)
Serat kasar (%)
WSC

Hasil Proksimat

SNI

13,52
1,68
10,88
3,41

Max 10
Max 1,5
-

Suryahadi et al
(2005)
10
2,01
8,78
4,92
3,12
-

Sumber : Laboratorium NTP (2009); SNI 01-3727-1995

Jagung adalah sumber dari NFC (Non Fiber Carbohydrate) dan dapat
digunakan sebagai bahan tambahan hijauan dalam proses ensiling serta mempercepat
penurunan pH selama fermentasi (Sibanda et al., 1997). Disamping itu jagung dapat
menyediakan karbohidrat mudah fermentasi. Ukuran partikel tepung jagung yang
baik dapat mengurangi kebocoran massa silase dan fermentasi anaerobik. Selain itu
perlakuan panas pada jagung dapat meningkatkan ketersediaan karbohidrat (Theurer
et al., 1999; DePeters et al., 2003) sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan
bakteri asam laktat selama fermentasi.
Gaplek
Tepung gaplek (cassava chip flour) adalah salah satu hasil pengolahan umbi
ubi kayu yang dibuat dengan mengupas, mengiris dan mengeringkan ubi kayu.
Pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari (penjemuran) atau pengeringan
buatan (Ciptadi dan Nasution, 1978). Menurut Flach dan Rumawas (1996) gaplek
merupakan salah satu metode penyimpanan umbi ubi kayu dalam bentuk potonganpotongan kering dengan ukuran potongan yang direkomendasikan berkisar 1 cm3.
Ukuran 1 cm3 direkomendasikan dengan tujuan untuk mempercepat proses

pengeringan. Gaplek yang tidak cepat kering akan berwarna biru dengan rasa yang
pahit (Hardy, 1995).
Kualitas gaplek ditentukan oleh kandungan air, warna, adanya kotoran serta
cendawan. Kandungan air yang tinggi merupakan media yang baik untuk tumbuhnya
cendawan jenis Aspergillus, Rhizopus atau Penicillium (Makfoeld, 1982). Gaplek
dengan kandungan air 14-15 % tahan disimpan selama 3-6 bulan.
Tepung gaplek banyak mengandung pati yang merupakan bahan pembentuk
zat perekat akibat adanya proses pemanasan dan tekanan, sehingga penggunaannya
sangat membantu dalam proses pembuatan pellet agar menjadi lebih padat, keras dan
tidak mudah pecah (Rasidi, 1997). Pati yang terkandung didalamnya juga dapat
digunakan untuk memproduksi asam laktat oleh bakteri proses fermentasi seperti
ensilase. Selain itu pati telah mengalami proses sakarisasi menjadi gula sebelum
fermentasi. Bakteri lactobacillus plantarum, lactobacillus bichmania, lactobacillus
mesenterioides, lactobacillus delbruici dapat menggunakan pati tersebut untuk
menghasilkan asam laktat (Balagopalan, 1994).
Menurut Wirakartakusumah dan Siregar (1991) bahwa kandungan pati
tepung gaplek berkisar antara 74,48 - 78,24%. Makfoeld (1982) menyatakan bahwa
kandungan karbohidrat tepung gaplek sangat tinggi (81,3%) sehingga dapat
berfungsi sebagai sumber energi dalam campuran pakan. Kandungan nutrient tepung
gaplek dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Nutrien Tepung Gaplek
Zat Makanan
Kadar Air (%)
Abu (%)
Protein kasar (%)
Lemak (%)
Serat kasar (%)
WSC

Hasil proksimat
17,58
5,93
1,52
0,7
3,5
5,04

Makfoeld (1982)
14,5
18
1,5
0,7
3,5
-

SNI (1996)
Max 11-13
Min 1,2
Max 3
-

Sumber : Makfoeld (1982); Laboratorium NTP (2009); SNI 01-2997-1996

Pollard
Pollard merupakan hasil sampingan penggilingan gandum yang mengandung
kulit ari gandum yang halus. Pollard yang dihasilkan dari penggilingan gandum
berkisar 25 - 26% dari bahan baku (Sofyan, 2000). Pollard merupakan pakan yang
populer karena mempunyai kualitas dan palatabilitas yang tinggi sehingga baik

diberikan pada ternak yang baru atau setelah lahir dan ternak dara. Menurut Phang
(2001) Pollard dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan serat dalam pakan.
Dari segi kandungan nutrien pollard adalah bahan pakan sumber energi dengan
kandungan serat dan protein yang cukup tinggi, pollard kaya akan phospor (P),
ferrum (Fe) tetapi miskin akan kalsium (Ca). Pollard mengandung 1,29% P, tetapi
hanya mengandung 0,13% Ca. Bagian terbesar dari P ada dalam bentuk phitin
phospor. Pollard tidak mengandung vitamin A atau vitamin lainnya, tetapi kaya akan
niacin dan thiamin (Sofyan, 2000). Kandungan nutrient pollard dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Kandungan Nutrien Pollard
Zat Makanan
Kadar Air (%)
Abu (%)
Protein (%)
Lemak kasar (%)
Serat kasar (%)
WSC

Hasil Proksimat (2009)
13,74
5,16
15,53
12,53

Phang (2001)
15,6
4,1
7,5
-

Sumber : Laboratorium NTP (2009); Phang (2001)

Pollard dapat memicu pertumbuhan akibat modifikasi mikroflora saluran
pencernaan (Amrullah, 2003). Penggunaan pollard dalam jumlah banyak dapat
menghambat pertumbuhan dan menyebabkan kotoran lebih basah serta menaikkan
biaya angkut. Pollard mengandung kadar air maksimal 13%, protein maksimal
14.5%, abu maksimal 5.5%, pati maksimal 30% dan lemak kasar maksimal 4.3%.
Karena pollard memiliki kandungan pati yang tinggi artinya pollard memiliki water
soluble carbohydrate yang tinggi pula (Slominski et al., 2004) yang bisa memacu
pertumbuhan bakteri asam laktat selama fermentasi berlangsung sehingga akan
menghasilkan silase yang baik.
Onggok
Onggok atau cassava merupakan sisa pembuatan tepung tapioca. Onggok
merupakan sumber karbohidrat yang mudah terfermentasi (Montong et al., 1981).
Zat pati yang terdapat dalam onggok menjadi sumber nutrisi bagi pertumbuhan
mikrobia rumen. Hasil degradasi zat pati tersebut dipakai untuk sumber energi bagi
perkembangan mikrobia rumen (Anggorodi, 1994). Kandunga nutrien onggok
diperlihatkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan Nutrien Onggok
Zat Makanan
Kadar Air (%)
Abu (%)
Protein (%)
Lemak kasar (%)
Serat kasar (%)
WSC

Farada
(2002)
15,23
0,65
0,76
0,8
3,79
-

Rizal
(2008)
2,65
1,09
17,81
-

Hasil Proksimat
(2009)
17,15
19,18
2,02
3,10

Sumber : Farada (2002); Rizal (2008); Laboratorium NTP (2009)

Dedak
Dedak padi merupakan sisa penumbukan atau penggilingan padi. Kualitas
dedak padi dipengaruhi oleh banyaknya kulit gabah yang tercampur di dalamnya.
Dedak padi mengandung serat kasar antara 11-19 % (Parakkasi, 1986). Dedak padi
dapat diberikan pada ternak ruminansia hingga taraf 60% dari pakan konsentrat.
Kandungan nutrisi dedak padi diperlihatkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Kandungan Nutrien Dedak Padi
Zat Makanan
Kadar Air (%)
Abu (%)
Protein (%)
Lemak kasar (%)
Serat kasar (%)
WSC

Hasil Proksimat
(2009)
14,33
11,6
11,22
5,43

Hartadi et al
(1993)

SNI (mutu 1)

11,7
15,6
14,1
11,6
-

Max 12
Max 11
Min 12
Max 15
Max 11
-

Sumber: Laboratorium NTP (2009); Hartadi et al (1993); SNI 01-3178-1996/Rev.92

Kualitas Silase
Keberhasilan pembuatan silase tergantung pada tiga faktor utama seperti:
populasi bakteri asam laktat, sifat-sifat fisik dan kimiawi bahan hijauan yang
digunakan dan keadaan lingkungan. Sedangkan kualitas silase yang dihasilkan akan
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: hijauan yang digunakan, zat aditif dan kadar air di
dalam hijauan tersebut. Kadar air yang tinggi mendorong pertumbuhan jamur dan
menghasilkan asam butirat, sedangkan kadar air yang rendah menyebabkan suhu di
dalam silo lebih tinggi sehingga mempunyai resiko yang tinggi terhadap terjadinya
kebakaran (Pioner Development Foundation, 1991). Keberadaan dan keadaan BAL
alami yang cukup baik dalam proses ensilase atau penambahan aditif silase berupa

BAL atau bahan yang mengandung sumber gula dan bahan kering yang sesuai dapat
menghasilkan silase berkualitas baik (McDonald et al., 1991). Proses pelayuan dan
penambahan bahan lain yang mengandung gula juga dapat menghasilkan silase
berkualitas baik. Hal ini terutama perlu dilakukan pada hijauan tropis yang memiliki
karbohidrat terlarut air dalam jumlah sedikit (Titterton dan Pareeba, 1999).
Menurut Ohmomo et al. (2002) silase yang berkualitas baik memiliki
kandungan bahan kering berkisar antara 35 - 40%, dan cukup mengandung gula
(lebih dari 2% bahan segar). Selain itu, silase yang dibuat juga harus kedap udara dan
suhu penyimpanan yang sesuai untuk pertumbuhan

bakteri asam laktat

homofermentatif (McDonald et al., 1991). Kriteria silase yang baik menurut Deptan
(1980) dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kriteria Penilaian Silase
Kriteria
Jamur
Bau
pH
Kadar N-NH3 (%)

Baik Sekali
Tidak ada
Asam
3,2 – 4,5
< 10%

Baik
Sedikit
Asam
4,2 – 4,5
10 – 15%

Sedang
Lebih banyak
Kurang asam
4,5 – 4,8
< 20%

Buruk
Banyak
Busuk
> 4,8
> 20%

Sumber : Deptan (1980).

Konsentrasi VFA
VFA (Volatile Fatty Acid) atau asam lemak terbang merupakan sumber energi
utama bagi ruminansia dan merupakan hasil akhir dari fermentasi gula (Arora, 1995),
selain energi buat ternak ruminansia VFA juga merupakan hasil akhir dari fermentasi
bahan organik oleh mikroorganisme pada proses ensilase. Banyaknya VFA yang ada
di dalam rumen dapat menggambarkan aktivitas mikroba (Church, 1971) sedangkan
banyaknya VFA pada silase menggambarkan indikator perombakan bahan organik
(Orskov dan Ryle, 1990). Proporsi VFA juga dapat menggambarkan perkembangan
mikroba selama ensilase. Proporsi asetat yang tinggi menunjukkan dominasi bakteri
asam asetat sedangkan proporsi butirat yang tinggi menunjukkan dominasi bakteri
Clostridia tyrobutyricum dalam silase (Elferink dan Driehuis, 2000).
VFA pada ternak ruminasia merupakan produk akhir dari fermentasi
karbohidrat dan sumber energi utama (Parakkasi, 1999). Menurut McDonald et al
(2002) pakan yang masuk kedalam rumen difermentasi untuk menghasilkan produk
utama berupa VFA, sel-sel mikroba, serta gas metan dan CO2. Dalam rumen

karbohidrat pakan mengalami tiga tahap pencernaan enzim-enzim yang dihasilkan
mikroba rumen. Tahap pertam karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi
monosakarida seperti glukosa, fruktosa dan pentosa. Hasil pencernaan tahap pertama
tersebut masuk ke dalam jalur glikolisis Embden_Meyerhoff untuk mengalami
pencernaan tahan kedua yang menghasilkan piruvat. Piruvat selanjutnya akan diubah
menjadi VFA yang umumnya terdiri atas asetat, butirat dan propionat (Arora, 1995).
Konsentrasi VFA tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonal,
et al., 2002). Menurut Sutardi (1979) konsentrasi VFA yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan optimal mikroba rumen adalah 80-160 mM.
Amonia
Protein yang masuk kedalam rumen akan mengalami proteolisis oleh enzimenzim protease menjadi peptida, kemudian dihidrolisis menjadi asam amino dan
secara cepat akan dideaminasi menjadi amonia. Asam amino dan amonia akan
digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba. Proporsi
protein yang didegradasi dalam rumen pada umumnya sekitar 70-80% dan untuk
protein yang sulit dicerna sekitar 30-40%. Kandungan protein ransum yang tinggi
dan proteinnya mudah didegradasi akan menghasilkan konsentrasi NH3 didalam
rumen (McDonald et al., 2002).
Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya
produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan. Produksi amonia
juga dipengaruhi oleh sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein
tersebut didegradasi (Wohlt et al., 1976). Jika kekurangan makanan dan jika
degradasi protein terhambat maka konsentrasi amonia dalam rumen rendah (lebih
rendah dari 50 mg/l atau 3,57 mM) dan pertumbuhan organisme rumen akan
terhambat (McDonald et al., 2002). Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat
daripada sintesis protein mikroba maka amonia akan terakumulasi dan melebihi
konsentrasi optimumnya. Amonia optimum dalam rumen berkisar antara 85-300
mg/l atau 6-21 mM (McDonald et al., 2002).
Amonia selain sebagai indikator kecernaan pada ruminansia juga merupakan
salah satu indikator kerusakan pada silase. Hal ini dikarenakan amonia dapat
meningkatkan pH silase dan dapat mencerminkan kerusakan protein bahan
(Woolford, 1984). Amonia ini terbentuk melalui proses deaminasi asam-asam amino

oleh bakteri asam laktat dan asam butirat, serta dapat dihasilkan dari metabolisme
protein, peptida, asam amino, amida, urea, nitrat dan senyawa lainnya (Allen dan
Sidhu, 1974).
Teknik Percobaan in vitro Gas Tes
Teknik percobaan in vitro adalah sebuah metode yang biasa dilakukan di
laboratorium dalam menentukan kecernaan bahan kering suatu bahan pakan
(Reksohadiprojo, 1988). Teknik ini sering digunakan karena mudah dengan hasil
yang cepat serta dapat meminimalkan dalam penggunaan pakan (Chenost dan
Reineger, 1989).
Gas Tes adalah sebuah metode uji alternatif untuk mengukur kecernaan pada
hewan ruminansia dengan hasil relatif lebih cepat serta tidak memerlukan hewan
percobaan. Prinsip dasar dari metode Gas Tes merupakan pengembangan dari in
vitro. Metode ini menyempurnakan sistem kerja dari metode in vitro sebelumnya
yakni dengan mengukur volume gas yang dihasilkan sebagai parameter untuk
menilai kecernaan (Menke et al., 1979). Hubungan antara kecernaan in vivo dan
produksi gas (CO2 dan CH4) secara in vitro pada saat pakan diinkubasi dengan
menggunakan cairan rumen selama 24 jam dapat digunakan untuk memperkirakan
kecernaan bahan organik dan energi metabolis yang terkandung dalam pakan.
Metode ini didasarkan pada kuantitas substrat yang terdegradasi atau protein mikroba
yang dihasilkan baik dengan menggunakan penanda internal maupun eksternal.
Pakan yang diinkubasi menggunakan campuran cairan rumen dan buffer secara in
vitro serta karbohidrat yang difermentasi untuk menghasilkan asam lemak rantai
pendek (VFA) dan gas. Gas yang dihasilkan dari metode pengukuran gas tes berupa
gas langsung yang dihasilkan dari proses fermentasi dan gas yang dihasilkan secara
tidak langsung dari buffer VFA (Menke dan Close, 1986).
Pengukuran gas akan menghasilkan data yang berguna pada proses
pencernaan baik pakan yang dapat larut maupun pakan yang tidak dapat larut.
Metode ini menggunakan syringe yang mengutamakan produk fermentasi. Metode
gas in vitro ini lebih efisien dibandingkan dengan metode in sacco dalam
mengevaluasi efek dari faktor tannin atau zat anti nutrisi lainnya (Menke et al.,
1979).

Produksi gas yang dihasilkan selama fermentasi dapat digunakan sebagai
hasil pengukuran tidak langsung dari substrat yang terdegradasi (Menke dan
Steingass, 1989). Getachew et al., (1998) menyatakan bahwa gas yang diproduksi
secara langsung merupakan bentuk dari hasil fermentasi (CO2 dan CH4) dan gas yang
diproduksi secara tidak langsung berasal dari buffer VFA (CO2 dilepaskan melalui
buffer bikarbonat). Hasil utama dari produksi gas sebagian besar berasal dari
fermentasi karbohidrat, sebagian kecil dari fermentasi protein dan metabolisme
lemak (Kamalak et al., 2000).

MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Juli 2009 di Laboratorium
Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Materi
Alat yang digunakan meliputi kantong plastik putih, blender, pH meter,
termometer, spektrofotometer, cawan Conway, timbangan, tabung fementor, tabung
reaksi, gelas ukur, pipet, buret, alat destilasi, ruang asam, syringe gast test,
waterbath, alat destilasi uap dan oven.
Bahan yang digunakan adalah daun rami yang berasal dari sisa pemanenan
batang rami dari Koperasi Pondok Pesantren (Koppotren) Darussalam, Garut, Jawa
Barat. Zat aditif terdiri dari onggok, jagung, pollard, gaplek, dedak berasal dari
Cikereteg, Sukabumi. cairan rumen sapi, aquadest, larutan fenol 5%, H2SO4, larutan
glukosa standar, vaselin, Na2CO3 jenuh, asam borat berindikator, H2SO4 0.005 N,
larutan buffer McDougal, larutan pepsin (HCl) 0,2%, HCl 15%, NaOH 0,5 N HgCl2
jenuh, buffer gas test, larutan makro, larutan mikro dan lainnya.
Metode
1.

Teknik Pembuatan Silase
Silase dibuat dengan cara mencampur 1 kg daun rami yang telah dipotong ± 2

cm dengan penambahan 20% zat aditif yang terdiri dari onggok, jagung, pollard,
gaplek dan dedak (w/w FS), kemudian dimasukan kedalam kantong plastik putih dan
udara dibuang dengan bantuan pompa vacum. Kantong kemudian ditutup. Lapisan
kantong dibuat 2 – 3 untuk mencegah kebocoran. Kantong selanjutnya dimasukkan
pada drum plastik untuk mencegah penetrasi cahaya dan binatang pengerat. Inkubasi
dilakukan pada suhu ruang selama 5 minggu.
2.

Kualitas Silase
Silase diamati setiap minggunya dengan membuka satu plastik dari masing-

masing perlakuan dan diukur perubahan pH, WSC, dan perubahan bahan kering.

Setelah 5 minggu dilakukan pengamatan yaitu:
a. Karakteristik sifat fisik silase yang meliputi warna, aroma, tekstur dan
keberadaan jamur.
b. Karakteristik fermentasi silase yang meliputi Bahan kering, pH (Nauman dan
Bassler, 1997), kehilangan bahan kering, Water soluble Carbohydrate (WSC)
(Metode Dubois), dan Perombakan protein (mikrodifusi Conway) dan Nilai
Fleigh (NF).
3.

Kecernaan dan Fermentabilitas Silase

Kecernaan dan fermentabilitas silase diukur secara in Vitro dengan peubah
yang diamati adalah:
a. Fermentabilitas yaitu Produksi VFA total (Steam distillation), Konsentrasi
NH3 (mikrodifusi Conway) dan Produksi gas (Menke et al., 1979).
b. Kecernaan yaitu Kecernaan bahan kering (KCBK) dan Kecernaan bahan
organik (KCBO) (Tilley and Terry, 1963) dan Estimasi Kecernaan bahan
organik dan Metabolisme energi (Menke et al., 1979).
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor
dengan 5 taraf dengan 3 kali ulangan untuk fermentasi silase, dengan:
Onngok =
Daun rami (1 kg) + onggok (20% w/w)
Jagung
=
Daun rami (1 kg) + tepung jagung(20% w/w)
Pollard =
Daun rami (1 kg) + pollard (20% w/w)
Gaplek =
Daun rami (1 kg) + gaplek (20% w/w)
Dedak
=
Daun rami (1 kg) + dedak (20% w/w)
Model analisa sidik ragam yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = μ + τi + εij
Keterangan:
Yij

= hasil pengamatan pengaruh jenis aditif ulangan ke-j

μ

= Rataan umum

τi

= Pengaruh jenis aditif ke-i

Εij

= pengaruh acak pada jenis aditif ke-I ulangan ke-j

Fermentabilitas dan kecernaan in vitro menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan cairan rumen sebagai kelompok. Model matematik untuk
RAK adalah:

Yij = μ + τi + βj + εij
Keterangan:
Yij

= hasil pengamatan jenis aditif ke-i dan kelompok ke-j

μ

= rataan umum

τi

= pengaruh jenis aditif ke-i

βj

= pengaruh kelompok ke-j

Εij

= pengaruh acak pada jenis aditif ke-i, dan kelompok ke-j.

Perbedaan nilai tengah perlakuan dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA)
diikuti dengan uji Duncan untuk perbedaan antar perlakuan dengan menggunakan
SPSS versi 13.
Prosedur Analisa
Pengukuran BK Silase
Silase yang telah melalui proses ensilasi selama 5 minggu dikeluarkan dari
plastik dan ditimbang sebagai berat awal, kemudian dikeringkan menggunakan oven
dengan suhu 60o C selama 3-7 hari kemudian ditimbang sebagai berat kering oven
60o C. Setelah dikeringkan pada suhu 60o C, sampel digiling sampai halus. Kemudian
sampel di timbang kedalam cawan porselen sebanyak 2-3 gram dan dimasukkan
kedalam oven 105o C sampai berat konstan. Setelah kering silase ditimbang sebagai
berat akhir dan dihitung menggunakan rumus:
% BK 

dxb
x 100%
cxa

Keterangan
a

: Berat daun rami segar + zat aditif

b

: Berat silase rami oven 60o C

c

: Berat sampel sebelum oven 105o C

d

: Berat sampel setelah oven 105o C

Pengukuran pH
Silase yang baru dibuka ditimbang sebanyak 10 gram dan dicampur dengan
100 ml aquadest dengan cara diblender pada kecepatan sedang selama 30 detik. pH
cairan silase diukur menggunakan Pocket pH meter yang telah dikalibrasi.
Pembacaan pH dilakukan setelah screen stabil atau setelah 30 detik.

Pengukuran WSC (Water Soluble Carbohydrat) (Metode Fenol)
Silase sebanyak dua gram yang ditambahkan aquadest yang telah dipanaskan
sebanyak 20 ml, kemudian digerus menggunakan mortal selama ± 10 menit. Setelah
itu disaring untuk memisahkan cairan dan padatan sampel. Sampel yang berbentuk
cairan dipipet sebanyak 2 ml dan dimasukan kedalam tabung reaksi 10 ml, kemudian
tambahkan 0,5 ml larutan fenol homogenkan dengan menggunakan vortex. Larutan
asam sulfat ditambahkan dengan cepat sebanyak 2,5 ml dan divortex, biarkan larutan
sampai dingin dan ukur absorbannya menggunakan spektrofotmeter pada 490 nm.

Pengukuran NH3 silase
1 ml sampel yang sama dengan sampel pengukuran pH ditempatkan pada
salah satu ujung jalur cawan Conway yang telah diolesi vaselin kemudian 1 ml
larutan Na2CO3 ditempatkan pada sisi yang bersebelahan dengan sampel. Asam borat
berindikator sebanyak 1 ml ditempatkan didalam cawan kecil yang ada dibagian
tengah cawan Conway kemudian tutup rapat cawan Conway. Supernatan dan larutan
Na2CO3 dicampur hingga rata dengan cara cawan Conway dimiringkan. Diamkan
selama 24 jam pada suhu kamar dan setelah 24 jam asam borat berindikator dititrasi
menggunakan H2SO4 sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah.
Kemudian kadar NH3 dihitung dengan rumus:

ml H SO × N H SO × 1000
2 4
2 4
N NH (m