Pengaruh Jenis Silo Terhadap Kualitas Silase Daun Rami (Boehmeria nivea, L. Gaud) Beraditif

ABSTRACT
The Effect of Type of Silo to The Additive Ramie Leaf
(Boehmeria nivea, L . Gaud) Silage Quality
Dipa Argadyasto, Despal and Ibnu Katsir Amrullah
Ramie leaves are byproduct of Ramie plantation. The plant is grown to
produce fiber, raw material for textile industries. Annually, per ha of ramie plantation
could produce up to 300 tons forage fresh material or equivalent with 42 tons of dry
matter (DM). Currently, the leaves are under utilized. An attempt to increase ramie
leaves utilization through fresh forage preservation technique (ensilage) have been
done in two different type of silo. Silo portable (plastic bag for small capacity) and
trench silo (for a larger scale) were compare of their impact on physical (odor,
texture, moisture, color and spoilage), fermentative (pH, DM, VFA, DM degradation,
CP, NH3, CP degradation, WSC and fleigh number) and utilities (fermentation and
digestion) characteristics of silage produced. In general, silo portable (plastic bag)
produced better physical characteristics of ramie silage in compare to trench.
However, the different were not significantly shown by silage fermentative and
utilities characteristics. In trench silo, up to 58% of the silage was spoiled, while in
plastic bag there were no spoilage existed. Although extensive degradation (> 50%)
of DM were occurred during ensilage in both silo, but only insignificant degradation
(< 3%) of CP were found. The silage produced was categorized as quite good (NF
52% – 53%) silages. Ruminant utilities characteristics of both silages showed that the

silages were highly fermentable in rumen with moderately digested (56% and 63%)
in digestion tracts.
Keywords: Additive, plastic bag, ramie leaves, silo, trench

ii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak ruminansia secara fisiologis membutuhkan pakan sumber serat yang
berasal dari hijauan seperti rumput dan leguminosa agar fungsi normal pencernaanya
dapat berlangsung. Kendala yang belakangan ini dihadapi dalam penyediaan pakan
hijauan adalah keterbatasan lahan tanam hijauan. Selain itu pada musim kemarau
sering selain masalah keterbatasan hijauan, kuantitas dan kualitas nutrien yang
terdapat pada hijauan umumnya lebih rendah. Dibutuhkan sumber hijauan alternatif
yang dapat dimanfaatkan pada musim kemarau untuk memenuhi kebutuhan pakan
ternak ruminansia yang memiliki kualitas dan kandungan nutrien yang tinggi.
Daun rami merupakan hasil sampingan dari tanaman rami yang batangnya
digunakan sebagai bahan baku industri kapas dan tekstil. Daun rami memiliki potensi
sebagai pakan ternak karena kandungan nutriennya yang cukup baik. Kandungan
protein kasar daun rami mencapai 21%, lemak kasar 4%, serat kasar 20%, bahan

ekstrak tanpa nitrogen 46% dan mineral Ca 5,74% (Duarte., et al., 1997). Kandungan
protein kasar daun rami yang terdapat di Indonesia lebih rendah yaitu 16,35%
(Despal et al., 2007). Hingga saat ini pemanfaatan daun rami sebagai pakan ternak
ruminansia belum terlalu optimal. Pemanenan daun rami umumnya dilakukan pada
musim hujan, dimana pada saat itu produksi hijauan dan leguminosa cukup tinggi,
sehingga peternak lebih memilih mengoptimalkan penggunaan hijauan dan
leguminosa sebagai pakan ternaknya. Daun rami saat setelah dipanen akan cepat
mengalami pembusukan sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai pakan. Untuk
dapat memanfaatkan daun rami sebagai pakan alternatif pada musim kemarau perlu
adanya metode pengawetan hijauan.
Pengawetan hijauan yang umum dilakukan adalah pengawetan kering (hay)
dan pengawetan basah (silase). Pengawetan kering dapat dilakukan di Indonesia
karena intensitas sinar matahari yang tinggi. Namun pemanenan rami biasanya
dilakukan pada musim penghujan dimana intensitas sinar matahari berkurang dan
intervensi hujan yang dapat memicu timbulnya jamur.
Metode pengawetan lain yang dapat digunakan adalah pengawetan basah
berupa silase. Dalam membuat silase dibutuhkan kadar air ideal yaitu berkisar pada
60-70%. Kadar air daun rami berkisar pada 80%. Selain kadar air yang terlalu tinggi,

1


kadar gula terlarut (WSC = water soluble carbohydrate) daun rami sangat rendah,
menyebabkan bakteri asam laktat tidak mendapat substrat yang cukup untuk
membuat suasana asam dalam proses ensilasi. Oleh karena itu diperlukan
penambahan zat-zat yang dapat menyerap air daun rami serta meningkatkan kadar
WSC untuk mengoptimalkan pertumbuhan bakteri asam laktat.
Pada penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa gaplek, jagung, dan
pollard dapat digunakan sebagai aditif dalam pembuatan silase rami. Semua silase
yang dihasilkan tergolong pakan yang mudah difermentasi dalam rumen dan
memiliki kecernaan yang tinggi pada ternak (Tatra, 2009).
Tanaman rami dapat menghasilkan produk sampingan berupa hijauan hingga
300 ton bahan segar/ha/tahun (FAO) atau setara dengan 42 ton bahan kering (BK).
Jumlah produksi hijauan yang cukup tinggi per luasan lahan, perlu silo yang cukup
untuk dapat mengawetkan daun rami tersebut menjadi silase. Silo yang umum
dikenal dalam pembuatan silase antara lain trench silo, tower silo, dan portable silo.
Masing-masing silo memiliki bentuk yang berbeda dan dapat disesuaikan dengan
kondisi lahan untuk membuat silo. Upaya untuk mengoptimalkan pengawetan daun
rami ini dapat dilakukan melalui berbagai silo dengan memaksimalkan kapasitas
tampungnya. Salah satu silo yang sering digunakan adalah trench silo. Bentuk trench
dinilai lebih ekonomis dalam pembuatan, selain itu dengan kondisi lantai silo miring

dapat menghindarkan terjadinya genangan air pada saat musim hujan (Siregar, 1996).
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini antara lain, membandingkan kualitas silase daun
rami beraditif jagung halus yang menggunakan silo trench dan silo portabel terhadap
karakter fisik, karakter fermentatif dan utilitas pada ternak ruminansia secara in vitro.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Daun Rami dan Pemanfaatannya
Taksonomi Tanaman Rami
Rami adalah tanaman tahunan berumpun yang menghasilkan serat dari kulit
kayunya. Tanaman yang diduga berasal dari Cina ini secara botanis dikenal dengan
nama Boehmeria nivea (L.). Sistem perakaran (dimorfis) yang dimiliki rami
memiliki dua fungsi yakni sebagai akar reproduksi (rhizom) yang menjalar di bawah
permukaan tanah dan akar umbi sebagai penyimpan cadangan makanan. Daun rami
berbentuk seperti jantung dengan bagian bergerigi halus. Daun rami banyak
dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan pupuk hijau. Tanaman rami dapat tumbuh
pada berbagai kondisi tanah, namun hanya dapat tumbuh ideal pada ketinggian diatas
700 m dpl (dataran tinggi) dengan rata-rata curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun. Suhu

ideal yang diinginkan rami berkisar 20o-27o C (Budi et al., 2005). Pada kondisi ideal,
tanaman rami dapat dipanen 5-6 kali/tahun (Balai Penelitian Ternak, 2012). Adapun
sistematika botani tanaman rami berasal dari divisi magnoliophyta (Angiospermae),
kelas magnoliosida, dan termasuk bangsa Urticales (tanaman berbunga) dalam
keluarga Urticaceae (Budi, 2005). Tanaman rami satu keluarga dengan tanaman
mamaki (Pipturus albidus) dan aljai (Debregeasia caeneb). Beberapa varietas rami
yang telah dikembangkan di Indonesia antara lain adalah Pujon10, Florida, dan
Lembang. Saat ini rami telah dikembangkan di Malang, Wonosobo, Garut, Sukabumi
dan Bogor meskipun dalam luasan yang terbatas.

Gambar 1. Tanaman Rami

3

Morfologi Daun Rami
Daun rami berbentuk seperti hati, dengan ukuran yang relatif cukup besar
dibandingkan dengan daun tanaman lain yang sejenis dengan panjang daun (lamina)
7,5-20 cm, lebar 5-15 cm, dan cenderung berkerut. Daun berwarna hijau muda
sampai hijau tua, tergantung varietas, umur, perawatan, dan sistem budi daya. Secara
garis besar, ada dua kelompok tanaman rami, yaitu rami putih yang memiliki lapisan

bawah daun berwarna putih keabuan dan mengkilap, serta rami hijau dengan lapisan
bawah daun berwarna hijau dengan ukuran daun yang lebih kecil. Daun rami sedikit
berbulu pendek sehingga terkesan agak kasar, namun relatif lunak dan tidak berkayu
(Balai Penelitian Ternak, 2012).
Pinggir daun bergerigi lancip hingga tumpul berwarna seperti warna
laminanya. Tulang daun berwarna hijau muda sampai hijau tua atau merah muda
hingga merah tua. Tangkai daun (petiole) berwarna hijau muda hingga hijau tua serta
merah muda hingga merah tua. Panjang petiole sekitar 3-12 cm, ada yang lebih
pendek dari panjang daun, tetapi ada yang hampir sama dengan panjang daun,
tergantung dari macam klonnya. Sudut daun (daun-daun bagian atas) berkisar antara
50°-120° (agak tegak sampai terkulai) (Budi et al., 2005).
Potensi Produksi
Budidaya tanaman rami ini merupakan usaha yang menjanjikan. Menurut
FAO (2012) tanaman rami per hektar dapat menghasilkan hijauan hingga 300 ton
bahan segar/tahun atau setara dengan 42 ton bahan kering (BK). Produksi hijauan
rami di Indonesia berasal dari setiap kali pemotongan atau panen. Sebanyak 44%
dari total biomassa yang dihasilkan adalah daun, sehingga setiap tahun dapat
dihasilkan daun segar sebanyak 14ton/ha (Balai Penelitian Ternak, 2012). Dari
tanaman hijau rami sebanyak 66.286 kg diperoleh 26.514 kg (40%) daun hijau dan
dari daun hijau ini diperoleh 1.856 kg (7%) tepung daun kering (Tirtosuprobo, 2011).

Daun rami memiliki potensi yang besar untuk pakan hijauan kaya protein,
baik untuk ternak ruminansia (sapi, domba dan kambing) maupun nonruminansia
(seperti unggas) dan kelinci. Perontokan daun perlu dilakukan dengan hati-hati agar
tidak merusak batang sebagai bahan baku serat. Perontokan akan mengurangi bobot
batang, sehingga dapat menurunkan biaya pengangkutan batang dari kebun ke tempat
pengolahan. Bila satu hektar tanaman rami dapat menghasilkan 14 ton hijauan segar

4

per tahun, dan proporsi daun rami dalam ransum ternak ruminansia sekitar 30-40%,
maka setiap hektar tanaman rami dapat menunjang 2-4 ekor sapi atau 15-25 ekor
domba (Balai Penelitian Ternak, 2012). Tepung daun rami dapat menggantikan
tepung daun alfalfa. Substitusi tepung daun alfalfa dengan tepung daun rami sampai
9% dalam pakan tidak menunjukkan perbedaan pengaruh berdasarkan parameter
angka kematian, pertumbuhan dan bobot ayam (Mehrhof et al., 1950). Sebagai
komponen

ransum unggas, pemanfaatan daun rami belum banyak

dilaporkan.


Namun diyakini, dengan teknik pengolahan yang benar menjadi bentuk tepung
dapat dijadikan komponen ransum, dengan tetap memperhatikan kandungan serat
kasar sebagai pembatas (Mathius dan Sinurat, 2001).
Kandungan Nutrient Daun Rami
Tanaman rami memenuhi semua unsur-unsur utama atau nutrien makro yang
dibutuhkan ternak, antara lain protein kasar 16,35%, lemak kasar 6,36%, serat kasar
13,61% dan abu 20,50% (Despal et al. 2011). Menurut de Toledo et al. (2008)
kandungan protein kasar daun rami berkisar 19% sedangkan alfalfa sebesar 20%.
Daun rami merupakan hasil sampingan dari tanaman rami yang batangnya
digunakan sebagai bahan baku industri kapas dan tekstil. Daun rami memiliki potensi
sebagai pakan ternak karena kandungan nutriennya yang cukup baik. Kandungan
protein kasar daun rami mencapai 21%, lemak kasar 4%, serat kasar 20%, bahan
ekstrak tanpa nitrogen 46% dan mineral Ca 5,74% (Duarte et al., 1997).
Tabel 1. Kandungan nutrien daun rami dengan hijauan tropis lain.
Kompone
n

Kandungan Nutrient (%)
Daun Rami

(Boehmeria
nivea)

Kacang
Hiris
(Cajanus
cajan)

Protein
Kasar
27,58
19,98
Lemak
Kasar
9,7
6,9
Abu
18,02
4,38
Sumber : Veloso et al. (2000)


Glycine
(Neotonia
wightii)

Petai Cina
(Leucaena
leucocephala)

Daun
Singkong
(Manihot
esculenta)

26,01

25,45

37,63


5,08
8,64

9,82
9,82

5,86
6,86

Pada penelitian yang dilakukan oleh Veloso et al. (2000), pada Tabel 1 dapat
dilihat bahwa kadar protein daun rami juga lebih besar dibandingkan dengan legum

5

tropis seperti petai cina, kacang hiris dan Glycine. Kadar abu daun rami lebih besar
dibandingkan daun singkong, petai cina, kacang iris dan glycine.
Pemanfaatan Daun Rami
Daun rami memiliki potensi yang besar untuk pakan, baik untuk ternak
ruminansia (sapi, domba dan kambing) maupun nonruminansia (seperti unggas) dan
kelinci. Perontokan daun perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak batang
sebagai bahan baku serat. Penelitian awal untuk memanfaatkan daun rami sebagai
pakan hijauan telah dilakukan antara lain untuk kelinci, domba, sapi potong, sapi
perah, dan ayam. Ternyata pemberian rami dalam jumlah tertentu dapat
meningkatkan pertambahan bobot hidup, produksi susu maupun telur. Untuk ternak
ruminansia, pemberian daun rami lebih dari 50% total ransum tidak memberi
pengaruh yang negatif. Hal ini berarti daun rami cukup berpotensi sebagai alternatif
bahan pakan hijauan dan dapat merupakan bagian dari ransum. Ditinjau dari
kandungan protein kasarnya, tidak mustahil daun rami dapat dipakai sebagai
substitusi sebagian pakan konsentrat atau bahan pakan lain sumber protein (Balai
Penelitian Ternak, 2012).
Daun rami sebagai produk sampingan dalam pertanian rami berpotensi
sebagai pakan ternak, dalam penelitian de Toledo et al. (2008) rami dapat
menggantikan alfalfa sebanyak 15% dalam pakan kelinci dengan rata-rata
pertambahan bobot badan 26,4 g/hari, dengan rasio konversi pakan 3,30. Bila
substitusi dalam pakan mengandung rami dan alfalfa masing-masing 7,5% dapat
meningkatkan rata-rata pertambahan bobot badan sebesar 28 g/hari, dengan rasio
konversi pakan 3,34. Penelitian Duarte et al. (1997) dengan menggunaan daun rami
sampai 20% dalam pakan tidak menunjukkan perubahan yang berarti pada
pertumbuhan tikus (Rattus norvegicus), substitusi sampai dengan 40% dapat
menyebabkan kematian pada tikus. Substitusi daun rami pada pakan perlu
suplementasi metionin, fosfor dan tembaga.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Veloso et al. (2000) kadar protein kasar
daun rami lebih tinggi dibandingkan dengan petai cina. Uji kecernaan dengan metode
in sacco pada ternak sapi dari ras Zebu jantan dengan fistula, untuk membandingkan
kecernaan potensial dan kecernaan efektif antara rami dengan beberapa hijuan
lainnya seperti ditunjukkan pada Tabel 2.

6

Tabel 2. Kecernaan daun rami dibandingkan dengan hijauan lainnya
Parameter

Petai Cina
(Leucaena
leucocephala)

Kecernaan
81
Potensial (%)
Laju Degradasi
(%/h)
7,2
Sumber : Veloso et al. (2000)

Kacang
Hiris
(Cajanus
cajan)

Glycine
(Neonotonia
wightii)

Rami
(Boehmeria
nivea)

Daun
Singkong
(Manihot
esculenta)

57,76

65,82

86,72

77,62

2,5

18,2

9,9

9,7

Kadar nutrien daun rami lebih besar dibandingkan dengan seluruh bagian
tanaman rami (Tuyen, 2007). Penelitian secara in vivo yang dilakukan oleh Tuyen et
al. (2007) menunjukkan angka kecernaan antara tanaman rami utuh, daun rami segar
dan daun rami yang telah dikeringkan pada ternak kambing seperti digambarkan
pada Tabel 3. Daun rami segar secara umum memiliki kecernaan lebih besar
dibandingkan tanaman rami utuh dan daun rami yang dikeringkan. Daun rami segar
memiliki kecernaan yang tinggi sehingga penggunaannya sebagai pakan ternak
sebaiknya dalam keadaan segar.
Tabel 3. Kecernaan bagian-bagian dari tanaman rami dengan metode in vivo
Bagian Tanaman
Tanaman rami
Daun Rami Segar
Daun Rami Kering

Bahan Kering
55,5
62,5
54,4

Kecernaan (%)
Protein Kasar Bahan Organik
75,9
66,1
80,9
78,5
60,6
63,1

Serat Kasar
44,2
70,4
65,8

Sumber : Tuyen et al. (2007)

Daun rami sebagai limbah pertanian rami sebagai pakan dapat meningkatkan
pertumbuhan pada domba Texel di Wonosobo (Kuntjoro et al., 2009). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa meskipun belum dapat menggantikan fungsi
konsentrat, penambahan limbah rami sebanyak 10%, 20% dan 30% pada pakan dapat
meningkatkan pertumbuhan bobot tubuh domba masing-masing sebesar 186,67
g/hari, 153,34 g/hari dan 103,34 g/hari. Perlakuan pada penelitian ini adalah P1
hanya diberikan hijauan, P1 konsentrat tanpa penambahan rami, P2 90% konsentrat
dengan penambahan 10% hay rami, P3 80% konsentrat dengan penambahan 20%
rami dan P4 70% konsentrat dengan penambahan 30% hay rami. Penambahan daun

7

rami juga meningkatkan statistik vital pada dalam dada domba sebesar 1,20 cm, 0,95
cm dan 0,90 cm; panjang tubuh 0,05 cm, 1,00 cm dan 0,75 cm; dalam dada 1,50 cm,
0,15 cm dan 0,3 cm. Sementara itu penambahan limbah rami pada pakan ternak
hanya dapat meningkatkan penambahan ukuran statistik vital dalam dada pada
pemberian rami 30% sebesar 0,15 cm.
Daun rami juga berpotensi untuk dikonsumsi oleh manusia sebagai sumber
antioksidan selain teh hijau. Daun rami mengandung zat antioksidan polyphenol 149
mg/g, nilai ini lebih tinggi dibandingkan pada teh hijau yang mengandung kadar
polyphenol 10,98 mg/g. Selain kandungan antioksidan polyphenol yang tinggi, daun
rami juga mengandung antioksidan flavonoid 49 mg/g (Lee et al., 2009). Ekstrak
tanaman rami dalam bidang medis juga bermanfaat sebagai hepatoprotektif karena
dapat mengurangi efek kerusakan dan sirosis hati akibat infeksi virus hepatitis B
(Chang et al. 2008).
Teknik Preservasi Hijauan
Dari setiap kali pemotongan atau panen, hampir 44% dari total biomassa
yang dihasilkan adalah daun, sehingga setiap tahun dapat dihasilkan daun segar
sebanyak 14 ton/ha (Balai Penelitian Ternak). Potensi kuantitas daun rami yang
cukup besar ini, perlu adanya teknik pengawetan untuk menjaga kualitas nutrient
daun rami dalam kondisi segar. Kadar nutrient daun rami segar lebih baik
dibandingkan daun rami yang sudah dikeringkan (Tuyen et al. 2007).
Pada penelitian Despal et al. (2011), diketahui bahwa proses ensilasi daun
rami dengan bahan aditif gaplek menghasilkan silase daun rami berkualitas baik.
Ensilasi daun rami dengan bahan aditif berupa pollard, jagung, dedak dan onggok
menghasilakn silase daun rami cukup baik. Penelitian Safarina et al. (2009)
menyatakan bahwa silase daun rami yang diuji secara in vitro menghasilkan
kecernaan bahan organik lebih dari 72%. Angka tersebut mengindikasikan bahwa
silase daun rami merupakan pakan yang fermentabel dan tinggi kecernaannya.
Dengan demikian daun rami berpotensi digunakan sebagai pakan ternak ruminansia.
Teknik preservasi hijauan secara umum dibagi atas dua yaitu silase dan hay.
Silase merupakan teknik preservasi hijauan dengan cara fermentasi hijauan pada
kondisi kadar air yang cukup tinggi. Hay adalah teknik preservasi dengan cara
mengeringkan hijauan (FAO, 2012). Silase didasarkan pada fermentasi alami asam

8

laktat dimana BAL (Bakteri Asam Laktat) memfermentasi gula atau karbohidrat
mudah terlarut menjadi produk utamanya asam laktat secara anaerob. Fermentasi
umumnya berlangsung secara anaerobik di dalam wadah yang disebut silo. Pada
lingkungan seperti ini, fermentasi asam laktat menyebabkan kondisi lingkungan yang
asam (pH sekitar 4) yang akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme
pembusuk sehingga silase dapat disimpan dalam waktu lama tanpa mengalami
pembusukan (McDonald et al. 1995). Jika ensilasi tidak berlangsung dengan benar,
maka banyak produk lain yang akan dihasilkan seperti asam butirat dan silase
berkualitas rendah serta tidak palatable (Moran, 2005).
Proses pembuatan silase, secara garis besar terdiri dari empat fase : (1) fase
aerob, (2) fase fermentasi, (3) fase stabil dan (4) fase pengeluaran untuk diberikan
pada ternak. Setiap fase mempunyai ciri khas, sebaiknya diketahui agar kualitas
hijauan sejak panen, pengisian ke dalam silo, penyimpanan dan periode pemberian
pada ternak dapat terpelihara dengan baik agar tidak terjadi penurunan kualitas
hijauan tersebut. Prinsip pembuatan silase menurut Muck (2011), adalah
pemeliharaan lingkungan aerobik dan fermentasi gula.
Homo-fermentasi lactobacilli memegang peranan aktif pada kualitas silase.
Khususnya Lactobacillus plantarum diketahui sebagai mikroorganisme homofermentatif pada silase dan suatu strain khusus yang berasal dari material tanaman.
Beberapa jenis lactococci juga berperan untuk membuat kondisi asam pada silase
pada tahap awal fermentasi. Kemudian lactobacilli menjadi mikroorganisme yang
dominan untuk menyebabkan suasana asam pada silase. Beberapa hal yang penting
untuk menghasilkan silase berkualitas tinggi adalah kandungan bahan kering sekitar
35 – 40%, cukup mengandung gula (lebih dari 2% BS), rapat dan cepat ditutup
(kedap udara) suhu penyimpanan untuk homofermentatif LAB (McDonald et al.,
1995).
Penyiapan silase berkualitas tinggi tidak mudah, tergantung dari keberadaan
LAB alami. Penambahan aditif silase perlu dilakukan jika LAB rendah. Aditif silase
LAB atau media yang baik untuk pertumbuhan LAB seperti WSC tinggi dan DM
yang sesuai dapat meningkatkan kualitas silase (McDonald et al. 1995).
Menurut Moran (2005), ada 9 tahap pembuatan silase berkualitas yaitu 1)
pemanenan hijauan ketika produksi berlimpah dan kualitas tinggi, 2) kandungan

9

bahan kering hingga 30%, 3) penambahan bahan mudah difermentasi pada saat
membuat silase, 4) pemotongan hijauan 1 – 3 cm sebelum diensilasi, 5) pemadatan
hijauan sebisa mungkin, 6) pemasukan hijauan ke silo secepat mungkin, 7) kedap
udara sesegera mungkin, 8) penjagaan kondisi silo kedap selama proses fermentasi,
dan 9) pengeluaran silase dari penyimpanan minimum 20 cm setiap hari.
Fase ensilasi menurun Moran (2005) terdiri dari fase aerobik, fase fermentasi,
fase stabil dan fase anaerobik. Hijauan di daerah tropis kurang cocok untuk dibuat
silase karena kandungan karbohidrat terlarut airnya yang rendah. Namun, pelayuan
dan penambahan substrat yang fermentable sebelum ensilasi yang akan
menghasilkan silase yang baik dengan menurunkan kapasitas buffer, dan proteolisis
(Titterton dan Pareeba, 2000).
Macam-macam Bentuk Silo
Dengan jumlah produksi hijauan yang cukup tinggi per luasan lahan tanaman
rami, perlu silo yang besar untuk dapat mengawetkan daun rami tersebut menjadi
silase. Jenis silo yang digunakan akan memengaruhi kualitas fisik dan kimia dari
silase (Kizilsimsek et al., 2005). Pada umumnya terdapat berbagai jenis silo yang
dapat digunakan sesuai kebutuhan seperti trench silo, bunker silo, weenie bags dan
plastic wrapped (Perry et al., 2003).
Trench Silo
Silo jenis ini biasanya terdiri atas galian tanah ke arah sisi. Trench silo
memiliki berbagai ukuran tergantung kondisi lahan.Trench silo biasanya dibuat
menyempit pada bagian bawah dengan tujuan efektivitas pemadatan materi silase.
Lantai dan dinding trench biasanya dibuat dari beton kokoh. Secara khas pada trench
silo, lantai dibuat miring dengan tujuan drainase pada proses ensilasi. Bahan silase
yang telah dipadatkan kemudian ditutup dengan plastik lalu diberi pemberat oleh
tanah, ban bekas, papan atau bahan lainnya. Silo jenis ini dapat digunakan untuk
membuat silase dengan kuantitas yang sangat besar dan waktu penyimpanan yang
lebih lama. Silase dapat digunakan dengan pengeluaran silase secara bertahap tanpa
merusak bagian lain dari silase (Perry et al. 2003). Menurut Ensminger (1977) trench
silo merupakan silo yang ekonomis karena biaya pembuatannya yang murah dan

10

konstruksi yang paling mudah dibuat. Berikut adalah gambar trench silo pada
Gambar 2.

Gambar 2. Trench silo
Sumber : http://www.alsconcreteproducts.com/bunkersilo.htm
Bunker Silo
Silo ini biasanya digunakan pada lahan datar dan berkerikil. Bunker silo
digunakan sama seperti trench, perbedaan terdapat pada bagian depan terdapat diatas
tanah dan bagian belakang silo terdapat dibawah tanah. Bunker silo merupakan silo
tipe semi-underground, sebagian terletak agak kedalam lapisan tanah dan sebagian
lainnya muncul kepermukaan tanah.
Weenie Bags
Silo ini merupakan silo bukan permanen, biasanya hanya digunakan satu kali.
Penggunaan weenie bags merupakan alternatif pembuatan silase yang cukup mahal.
Namun, kualitas silase dapat lebih terjaga karena udara yang berada di dalam weenie
bags sangat terbatas. Proses penanganan silase pada weenie bags pun lebih mudah.
Plastic-wrapped Bales
Silo ini hampir sama dengan weenie bags, dimana plastik digunakan untuk
membatasi akses oksigen ke dalam silase selama proses ensilasi. Pada proses ini
mesin pemotong membantu dalam proses pemasukan bahan kedalam plastik. Proses
ini dapat digunakan dengan direct-chopped. Silo ini disimpan diluar ruangan dengan
berbagai kondisi lingkungan dan cuaca. Beban yang cukup berat pada silo ini
sehingga membutuhkan bantuan penggunaan tractor front-end loader. Pada beberapa

11

negara, penyimpanan plastic-wrapped bales ini menjadi sangat penting untuk
menghindari gangguan dari burung yang akan melubangi plastik.
Tower Silo
Conventional Upright. Pada masa-masa sekarang ini, silo jenis ini dikonstruksi dari
beton bertulang. Silo ini berbentuk silinder dan memiliki atap untuk melindungi
kelebihan bahan. Silo ini juga dilengkapi dengan rangkaian pintu ukuran 2 x 1, yang
terletak setiap 4 kaki antar sisi silo. Untuk pengambilan silase ini menggunakan
mesin dan diambil dari bagian atas. Jika silo ini ingin digunakan kembali maka perlu
dikosongkan terlebih dahulu bahan sebelumnya.
Airtight Sealed Silo. Silo ini mirip dengan jenis conventional upright. Silo ini dibuat
dari bahan metal. Ukuran diameter silo ini biasa 18 – 40 kaki dan tinggi 40 – 100
kaki. Hijauan yang dapat dibuat silase efektif pada silo ini dengan bahan kering 25%
- 75%.
Silo tersebut dapat dikelompokkan menjadi silo permanen dan portabel.
Pembuatan silase dapat dilakukan di dalam semacam sumur yang disebut ”Pit Silo”;
lubang di tanah yang bentuknya memanjang yang disebut ”Trench Silo” atau
bangunan yang menjulang diatas tanah yang berbentuk bundar, baik dari beton
maupun plat besi yang disebut ”Tower Silo”. Paling murah adalah trench silo atau pit
silo. Tetapi perlu diperhatikan bahwa tempat pembuatan trench silo atau pit silo
tersebut harus di tanah miring atau tinggi hingga tidak tergenang air waktu hujan,
karena genangan air dalam silo tersebut dapat membawa akibat buruk terhadap silase
yang dibuat. Lubang silo hendaknya jangan kerembesan air untuk menghindari
tergenangnya air di dalam silo dapat dibuatkan lapisan beton dari dinding silo
tersebut, atau dibuat silo yang tidak terlalu dalam (trench silo) dan dibuatkan saluransaluran penyalur air di sekitarnya hingga tidak merembes ke dalam silo (Siregar,
1996).
Trench dan bunker merupakan silo yang dapat digunakan untuk membuat
silase dengan kuantitas yang sangat besar dan waktu penyimpanan yang lebih lama.
Silase dapat digunakan dengan pengeluaran silase secara bertahap tanpa merusak
bagian lain dari silase. Bag silo adalah silo untuk membuat silase dengan kuantitas
yang lebih kecil serta lebih mudah ditangani namun kurang ekonomis (Perry et al.,

12

2003). Produksi daun rami yang tinggi tentunya memerlukan silo dengan kapasitas
yang besar dan ekonomis.
Kualitas silase pada bag silo lebih mudah dikontrol dibandingkan dengan
trench silo. Pada penelitian Kizilsimsek et al. (2005), membandingkan kualitas silase
antara silo skala besar seperti trench dan bunker dengan silo skala kecil seperti bag
silo. Hasil menunjukkan bahwa kualitas fisik silase antara kedua jenis silo tidak
berbeda nyata. Demikian juga pada parameter kimia menunjukkan bahwa silase dari
kedua jenis silo memiliki kualitas yang tidak berbeda. Daun rami dengan produksi
yang tinggi sehingga perlu preservasi dalam kondisi segar untuk dapat
mempertahankan

kualitasnya.

Trench

silo

dapat

menjadi

pilihan

dalam

mempertahankan kualitas daun rami dengan proses ensilasi.
Kualitas Silase
Keberhasilan pembuatan silase tergantung pada tiga faktor utama yaitu
populasi bakteri asam laktat, sifat-sifat fisik dan kimiawi bahan hijauan yang
digunakan dan keadaan lingkungan. Kualitas silase yang dihasilkan dipengaruhi oleh
tiga faktor yaitu: hijauan yang digunakan, zat aditif dan kadar air di dalam hijauan
tersebut. Kadar air yang tinggi mendorong pertumbuhan jamur dan menghasilkan
asam butirat, sedangkan kadar air yang rendah menyebabkan suhu di dalam silo lebih
tinggi sehingga mempunyai resiko yang tinggi terhadap terjadinya kebakaran.
Keberadaan dan keadaan BAL alami yang cukup baik dalam proses ensilasi atau
penambahan aditif silase berupa BAL atau bahan yang mengandung sumber gula dan
bahan kering yang sesuai dapat menghasilkan silase berkualitas baik (McDonald et
al., 1995). Proses pelayuan dan penambahan bahan lain yang mengandung gula juga
dapat menghasilkan silase berkualitas baik. Hal ini terutama perlu dilakukan pada
hijauan tropis yang memiliki karbohidrat terlarut air dalam jumlah sedikit (Titterton
dan Pareeba, 2000). Selain itu, silase yang dibuat juga harus kedap udara dan suhu
penyimpanan yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri asam laktat homofermentatif
(McDonald et al., 1995).
Pada penelitian Despal et al. (2011), parameter yang diamati untuk
mengetahui kualitas daun rami antara lain a) karakteristik fisik silase meliputi
perubahan warna, aroma, tekstur dan keberadaan mikrob pembusuk; b) karakteristik

13

fermentatif silase, yaitu nilai pH, kehilangan BK, perombakan protein, karbohidrat
mudah larut air dan profil asam organik yang dihasilkan dari ensilasi; c) karakteristik
utilitas silase daun rami secara in vitro ditentukan berdasarkan fermentabilitas bahan
organik membentuk volatile fatty acid (VFA), fermentabilitas protein menghasilkan
amonia (NH3), kecernaan BK dan bahan organik (BO).
Karakteristik Fisik
Karakteristik fisik silase meliputi perubahan warna, aroma, tekstur dan
keberadaan mikroba pembusuk. Menurut Saun & Heinrich (2008), warna silase
berkualitas baik adalah berwarna normal seperti kuning kehijauan sampai agak
coklat (Tabel 4). Bila silase berwarna kecoklatan menandakan terjadi reaksi
karamelisasi sehingga bahan kering dalam silase banyak terdegradasi. Parameter
berikutnya yaitu aroma silase. Aroma silase berkualitas baik adalah berbau asam
segar. Secara umum silase yang baik mempunyai ciri-ciri yaitu rasa dan bau asam,
tetapi segar dan enak. Bau asam yang timbul disebabkan oleh pembentukan asamasam organik seperti asam laktat, asetat dan butirat dari degradasi pati pada proses
ensilasi (Siregar, 1996).
Tabel 4. Karakteristik Aroma dan Warna Silase
Aroma
Asam
Alkohol
Sharp sweet
Rancid butter
Karamel/tembakau

Warna
kekuningan
normal
normal
kehijauan
coklat kehitaman

Sebab
asam asetat
ethanol
asam propionat
asam butirat
temperatur yang tinggi

Sumber : Saun & Heinrich (2008).

Tekstur dan kelembaban silase juga menjadi parameter fisik silase. Tekstur
silase yang baik adalah remah dan tidak menggumpal. Kelembaban silase dapat
bervariasi pada bagian-bagian silase yang dibuat pada bunker silo. Keberadaan jamur
(molds) pada silase dapat mengindikasikan bahwa silase terlalu lembab, jamur tidak
akan tumbuh pada kelembaban kurang dari 15% (Saun & Heinrich, 2008).

14

Karakteristik Fermentatif
Karakteristik fermentatif silase, yaitu nilai pH, kehilangan BK, perombakan
protein, karbohidrat mudah larut air dan profil asam organik seperti kadar volatile
fatty acid (VFA) yang dihasilkan dari ensilasi. Nilai pH pada silase berkualitas baik
yaitu berkisar antara 3,8 – 4,8. Kadar air bahan akan berkorelasi negatif terhadap
nilai pH. Kadar air yang terlalu tinggi akan menyebabkan penurunan pH lebih lambat
sehingga terjadi proteolisis oleh bakteri Clostridia (Saun & Heinrich, 2008).
Kehilangan bahan kering dapat terjadi akibat degradasi bahan kering selama
proses ensilasi. Pada fase awal ensilase dalam kondisi masih aerobik dan pH normal,
mikroba pendegradasi masih dapat merombak bahan kering dan nutrien pada bahan.
Perombakan protein merupakan salah satu parameter untuk mengetahui kualitas
silase. Protein yang mengalami proteolisis dapat dilihat melalui banyaknya kadar
amonia (NH3) pada fase awal ensilasi yaitu fase aerobik. Pada fase ini proses
proteolisis terjadi karena pH normal dan keberadaan bakteri Clostridial. Amonia
yang terbentuk akan memengaruhi penurunan pH pada silase sehingga protein dalam
hal ini dapat menimbulkan buffering capacity pada proses ensilasi. Kadar NH3 pada
silase diharapkan kurang dari 8 - 10% (Saun & Heinrich, 2008).
Parameter lainnya antara lain kadar VFA, VFA menggambarkan proses
fermentasi pada ensilasi. Penting untuk memahami bahwa tingkat VFA akan sangat
bervariasi berdasarkan spesies tanaman, bahan kering saat panen, alami dan
menambahkan populasi bakteri, bidang kerugian respirasi, cuaca dan sinar matahari
sebelum panen, dan yang paling penting yang gula isi tanaman setelah mencapai
struktur penyimpanan. Kadar VFA pada silase hijauan basah berkualitas baik yaitu
antara 10 – 14%, sedangkan pada silase bijian yaitu antara 2 – 4% (Saun & Heinrich,
2008).
Parameter lain untuk karakteristik fermentatif yaitu kadar karbohidrat mudah
larut (water soluble carbohydrate). Karbohidrat mudah larut ini akan digunakan
sebagai prekursor bagi mikroba fermentatif untuk menghasilkan asam-asam organik
sehingga

menurunkan

pH

silase.

Penambahan

WSC

dapat

mempercepat

pembentukan asam-asam organik untuk menurunkan pH sehingga menghambat
pertumbuhan mikroba pembusuk. Kadar WSC normal pada silase yaitu 1 – 3%
(Seglar et al., 2003).

15

Karakteristik Utilitas
Karakteristik utilitas silase daun rami secara in vitro ditentukan berdasarkan
fermentabilitas bahan organik membentuk volatile fatty acid (VFA), fermentabilitas
protein menghasilkan amonia (NH3), kecernaan bahan kering (BK) dan bahan
organik (BO). VFA (Volatile Fatty Acid) atau asam lemak terbang merupakan
sumber energi utama bagi ruminansia dan merupakan hasil akhir dari fermentasi
gula, selain energi buat ternak ruminansia VFA juga merupakan hasil akhir dari
fermentasi bahan organik oleh mikroorganisme pada proses ensilase. Menurut
McDonald et al (1995) pakan yang masuk kedalam rumen difermentasi untuk
menghasilkan produk utama berupa VFA, sel-sel mikroba, serta gas metan dan CO2.
Dalam rumen karbohidrat pakan mengalami tiga tahap pencernaan enzim-enzim
yang dihasilkan mikroba rumen. Tahap pertama karbohidrat mengalami hidrolisis
menjadi monosakarida seperti glukosa, fruktosa dan pentosa.
Protein yang masuk kedalam rumen akan mengalami proteolisis oleh enzimenzim protease menjadi peptida, kemudian dihidrolisis menjadi asam amino dan
secara cepat akan dideaminasi menjadi amonia. Asam amino dan amonia akan
digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba. Proporsi
protein yang didegradasi dalam rumen pada umumnya sekitar 70-80% dan untuk
protein yang sulit dicerna sekitar 30-40%. Kandungan protein ransum yang tinggi
dan proteinnya mudah didegradasi akan menghasilkan konsentrasi NH3 yang tinggi
didalam rumen (McDonald et al., 1995).
Produksi amonia (NH3)dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya
produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan. Produksi amonia
juga dipengaruhi oleh sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein
tersebut didegradasi. Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis
protein mikroba maka amonia akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi
optimumnya. Amonia optimum dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21
mM (McDonald, 1995).

16

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak
Kambing Perah, Laboratorium Industri Pakan dan Laboratorium Nutrisi Ternak
Perah Fakultas Peternakan IPB. Penelitian dilakukan mulai september 2010 sampai
dengan Januari 2011.
Materi
Jagung halus digunakan sebagai aditif untuk meningkatkan WSC dan BK
daun rami pada pembuatan silase daun rami. Daun rami didatangkan dari
Koppontren Darussalam Garut. Pembuatan silase menggunakan kantong plastik
berukuran 28 x 50 cm, dan trench berukuran 1 x 1 x 1 m3.
Metode
Pembuatan silase daun rami beraditif
Pembuatan silase rami dilakukan pada 2 jenis silo. Silo plastik menggunakan
2 kg rami ditambah kan 20% jagung halus (98%BK). Silo trench menggunakan 70
kg rami ditambah 20% jagung halus (98%BK). Aditif diupayakan tercampur secara
homogen dengan rami. Pemasukkan daun rami dan aditif secara berselang-seling.
Silo ditutup dan fermentasi dibiarkan berlangsung selama 32 hari pada suhu ruang
secara anaerob.
Parameter yang diukur antara lain: 1) karakter fisik (aroma, warna, texture,
dan spoilage), 2) karakter fermentatif yang meliputi pH, kehilangan bahan kering,
kadar ammonia sebagai gambaran degradasi atau kerusakan protein diukur dengan
teknik micro diffuse Conway dan WSC diukur menggunakan metode Fenol, 3)
karakteristik utilitas meliputi fermentabilitas bahan organik dan protein dalam
rumen, dan kecernaan bahan kering dan bahan organik.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
dengan 2 jenis silo sebagai perlakuan dalam penelitian ini dengan 3 ulangan.
Perlakuan tersebut adalah :

17

T

: Menggunakan trench silo

SP

: Menggunakan silo portabel

Model matematika dari rancangan tersebut adalah sebagai berikut :
Yij = μ + τi + εij
Dimana :
Yij

= hasil pengamatan pengaruh jenis silo ke-i ulangan ke-j

μ

= Rataan umum

τi

=Pengaruh jenis silo ke-i

eij

= pengaruh acak pada jenis silo ke-i ulangan ke-j
Peubah

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah:
a. Karakter sifat fisik silase, dilakukan dengan mendeskripsikan warna, aroma,
tekstur dan keberadaan jamur (spoilage).
b. Karakteristik fermentasi silase, yang meliputi pH, kadar bahan kering (BK),
VFA, kehilangan BK, kadar protein kasar (PK), kadar NH3 silase, kehilangan
PK, Water soluble Carbohydrate (WSC) dengan Metode Fenol, Nilai Fleigh dan
perombakan protein dengan metode micro diffuse Conway diukur dari
konsentrasi NH3 silase dibandingkan dengan total protein bahan.
c. Karakteristik Utilitas Silase pada ternak ruminansia meliputi Fermentabilitas in
vitro, yaitu Produksi VFA total (Steam distillation) dan konsentrasi NH3
(mikrodifusi Conway), dan kecernaan in vitro, yaitu kecernaan bahan kering
(KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) (Tilley and Terry, 1963).
d. Susut bahan kering dan perubahan komposisi kimiawi.
Prosedur
Pengamatan Karakteristik Fisik
Karakteristik fisik dilakukan dengan mendeskripsikan meliputi warna, aroma,
tekstur, keberadaan jamur (spoilage), dan tingkat kerusakan biomassa pada saat
silase dibuka setelah proses ensilasi. Pemberian nilai dilakukan secara kualitatif
sebagai berikut (+) kriteria kurang baik, (+ +) kriteria cukup baik, (+ + +) kriteria
baik dan (+ + + +) kriteria lebih baik.

18

Pengamatan Karakteristik Fermentatif
Pengukuran BK Silase. Silase yang telah melalui proses ensilasi selama 5 minggu
dikeluarkan dari plastik dan ditimbang sebagai berat akhir, kemudian dikeringkan
menggunakan oven dengan suhu 60o C selama 3-7 hari kemudian ditimbang sebagai
berat kering oven 60o C. Setelah dikeringkan pada suhu 60o C, sampel digiling
sampai halus. Sampel tersebut kemudian di timbang kedalam cawan porselen
sebanyak 2-3 gram dan dimasukkan kedalam oven 105o C sampai berat konstan.
Setelah kering silase ditimbang sebagai berat akhir dan dihitung menggunakan
rumus:

% BK 

dxb
x 100%
cxa

Keterangan
a : Berat silase daun rami + zat aditif
b : Berat silase rami beraditif setelah oven 60o C
c : Berat sampel silase beraditif sebelum oven 105o C
d : Berat sampel silase beraditif setelah oven 105o C
Pengukuran pH. Silase yang baru dibuka ditimbang sebanyak 10 gram dan
dicampur dengan 100 ml aquadest dengan cara diblender pada kecepatan sedang
selama 30 detik. pH cairan silase diukur menggunakan pocket pH meter yang telah
dikalibrasi. Pembacaan pH dilakukan setelah screen stabil atau setelah 30 detik.
Pengukuran NH3 silase. Kira-kira 1 ml sampel yang sama dengan sampel
pengukuran pH ditempatkan pada salah satu ujung jalur cawan Conway yang telah
diolesi vaselin kemudian 1 ml larutan Na2CO3 ditempatkan pada sisi yang
bersebelahan dengan sampel. Asam borat berindikator sebanyak 1 ml ditempatkan
didalam cawan kecil yang ada di bagian tengah cawan Conway kemudian tutup rapat
cawan Conway. Supernatan dan larutan Na2CO3 dicampur hingga rata dengan cara
cawan Conway dimiringkan. Diamkan selama 24 jam pada suhu kamar dan setelah
24 jam asam borat berindikator dititrasi menggunakan H2SO4 sampai terjadi
perubahan warna dari biru menjadi merah. Kemudian kadar NH3 dihitung dengan
rumus:

19

N NH 3 (mM) =

ml H 2 SO 4 × N H 2 SO 4 × 1000
gr sampel × BK sampel

Pengukuran VFA. Supernatan yang telah disiapkan menggunakan prosedur yang
sama dengan penggukuran NH3 silase sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung
destilasi, lalu segera ditambahkan dengan 1 mL H2SO4 15 % ditambahkan ke tabung
destilasi yang sudah ada larutan sampel, kemudian ditutup penutup kacanya. Tabung
destilasi dimasukkan ke dalam labu penyulingan yang berisi air mendidih
(dipanaskan terus selama destilasi). Uap air panas akan mendesak campuran
supernatan dan H2SO4 dan akan terkondensasi dalam labu pendingin. Air yang
terbentuk ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi 5 mL NaOH 0,5 N hingga
terbentuk sampel menjadi 300 ml, kemudian ditambahkan dengan indikator PP
(Phenol Phtaline) sebanyak 2 - 3 tetes dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna
titrat berubah dari merah muda menjadi merah muda seulas. Produksi VFA total
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

VFA total (mM) 

a - b  NHCl  1000 5

gr sampel  BK sampel

Keterangan:
a = volume titran blanko (ml)
b = volume titran contoh (ml)

Pengukuran Kehilangan Bahan Kering. Kehilangan bahan kering dihitung dari
selisih berat kering bahan awal dengan berat kering bahan yang telah menjadi silase.
Pengukuran Protein Kasar (PK). Pengukuran Kadar protein silase menggunakan
metode Kjehldal (Kjeldahl, 1883) dan untuk perhitungan protein kasar menggunakan
rumus :
mL HCl x N HCl x 14 x 24 x 100
%N =
Mg sampel
PK (%) = %N x 6,26

20

Pengukuran Kehilangan Protein Kasar. Pengukuran kehilangan PK dihitung
dengan membandingkan antara kehilangan PK yang menjadi ammonia dengan kadar
PK bahan awal.
Pengukuran WSC (Water Soluble Carbohydrat) (Metode Fenol). Silase
sebanyak dua gram yang ditambahkan aquadest yang telah dipanaskan sebanyak 20
ml, kemudian digerus menggunakan mortal selama ± 10 menit. Setelah itu disaring
untuk memisahkan cairan dan padatan sampel. Sampel yang berbentuk cairan dipipet
sebanyak 2 ml dan dimasukan kedalam tabung reaksi 10 ml, kemudian tambahkan
0,5 ml larutan fenol, dihomogenkan dengan menggunakan vortex. Larutan asam
sulfat ditambahkan dengan cepat sebanyak 2,5 ml dan divortex, dibiarkan larutan
sampai dingin dan diukur absorbannya menggunakan spektrofotmeter pada 490 nm.
Perhitungan Nilai Fleigh. Nilai Fleigh merupakan indeks karakteristik fermentasi
silase berdasarkan nilai BK dan pH dari silase (Idikut et al., 2009). Nilai Fleigh (NF)
85 – 100 menyatakan bahwa silase berkualitas baik sekali, 60 – 80 baik, 40 – 60
cukup baik, 20 – 40 sedang dan kurang baik jika NF