Analisis numerik untuk immunotherapy pada infeksi HIV-1

1

ANALISIS NUMERIK UNTUK IMMUNOTHERAPY
PADA INFEKSI HIV-1

ROSIDAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Numerik untuk
Immunotherapy pada Infeksi HIV-1 adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Febuari 2010

Rosidah
NRP G751080031

3

ABSTRACT

ROSIDAH. Numerical Analysis for Immunotherapy on HIV-1 Infection. Under
direction of AGUS KARTONO and IRZAMAN
Using an mathematical model which describes the interaction of immune
system with the human immunodeficiency virus (HIV), we introduce
immunotherapy with the used cytokine interleukin-2 (IL-2) may boost the immune
respone to fight HIV infection. The typical disease dynamics based on the
phenomenon of interactions between the two populations, that are uninfected
CD4+ T cells and free virus. With comparison model to existing experimental

data, we can better understand what mechanisms of immune-viral dynamics are
necessary to produce the typical disease dynamics. We also consider effects of IL2 treatment on viral growth and CD4+ T cell population dynamics. We show that
the method giving doses, that the use dose level and initial level CD4+ T cells
before treatment are the play an important role in determining the outcome
therapy. Then prediction of the immunotherapy to this model can be increasing of
the level CD4+ T cells and that does not stimulate viral replication.
Keyword : HIV, CD4+ T cells, immunotherapy, mathematical model

4

RINGKASAN

ROSIDAH. Analisis Numerik untuk Immunotherapy pada Infeksi HIV-1.
Dibimbing oleh AGUS KARTONO dan IRZAMAN.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pada dasarnya adalah
kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan
tubuh, yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodevviciency Virus) suatu
Retrovirus yang termasuk dalam famili Lentivirus, virus ini memiliki kemampuan
replikasi balik yang dapat „menyandera‟ sel inang untuk digunakan sebagai
„mesin replikatif‟ dalam memproduksi dirinya sendiri, maupun zat yang

diinginkan oleh virus itu sendiri. Dengan adanya kemampuan yang unik dari virus
ini menyebabkan penyakit ini tidak bisa diobati atau disembuhkan. Ada beberapa
pilihan jenis obat yang dapat memperlambat perkembangan HIV yang dapat
ditawarkan apabila jumlah sel CD4+ telah diketahui secara pasti, antara lain
dengan antiretroviral (ARV) yang terbagi lagi menjadi beberapa golongan yaitu:
NRTI, NNRTI, PI dan FI. Pengobatan HIV dengan menggunakan ARV bertujuan
menekan produksi virus dan penggunaannya bersifat kombinasi karena adanya
resistansi dan mutasi dari virus. Pengobatan lain adalah dengan cara
immunotherapy dengan menggunakan interleukin-2 (IL-2). Tipe pengobatan ini
dapat menaikkan sistem imun yang dapat membantu tubuh melawan terhadap
infeksinya sendiri. Usaha untuk menaikkan respon imun akan cocok untuk
mengurangi muatan virus. Ini membawa harapan baru untuk pengobatan infeksi
HIV, dan tipe pengobatan ini yang akan kami pelajari.
Interleukin-2 (IL-2) adalah sebagian besar dari Sitokinin yang merupakan
protein yang dibuat oleh tubuh. T-sel pembantu, sejenis sel darah putih,
menghasilkan IL-2 ketika mereka sedang dirangsang oleh infeksi. Percobaan
klinik itu memperlihatkan ada korelasi yang tinggi antara konsentrasi IL-2 rendah
dan penurunan jumlah sel T CD4+ dengan progresi penyakit. Ini adalah petunjuk
untuk mengurangi IL-2 pada level yang tidak dapat ditemukan dalam nodus limfa
pada semua tingkatan penyakit. Pasien yang menggunakan IL-2 memiliki

peningkatan besar dalam jumlah CD4+. IL-2 disebut modulasi kekebalan. IL-2
merangsang sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan jumlah sel CD4. Sejak
IL-2 telah memperlihatkan pengembalian beberapa fungsi imun yang menjadi
lemah oleh infeksi HIV. Kami mengembangkan model matematika yang
menggambarkan dinamika progresi penyakit HIV, kemudian kami coba
memasukkan fungsi pengobatan immunotherapy dengan menggunakan IL-2 untuk
melihat interaksi antara populasi virus dan populasi sel T CD4+ pada pasien yang
terinfeksi HIV-1. Kemudian kami mencoba menvalidasi model tersebut dengan
data dari hasil eksperimen yang didapat dari beberapa literatur.
Kami mengembangkan sebuah model progresi penyakit HIV dari individu
yang tidak diobati, kemudian kami menunjukkan model matematika dari
immunotherapy berdasarkan persamaan diferensial biasa (ODE) untuk melihat
dinamika populasi virus dan populasi sel T CD4+ dari penyakit HIV.

5

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model matematika
immunotherapy pada infeksi HIV dan mengembangkan strategi pengobatan dalam
memprediksi hasil immunotherapy pada infeksi HIV.
Penelitian ini menjadi dasar acuan teori biofisika tentang dinamika terapi

imun pada infeksi HIV dan juga diharapkan dapat digunakan pada penyakit yang
memiliki kesamaan dengan mekanisme sistem infeksi virus lainnya seperti
tuberkolosis (TBC) dan sel kanker/tumor.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa komputer
AMD Turion X2 Dual-Core (U405D), 4,0GB of RAM. Software yang digunakan
untuk proses komputasi adalah bahasa pemprogaman Matlab R2008b dari
Mathwork, Inc. Untuk mendukung penelitian ini sumber referensi yang digunakan
selain buku (literature) juga berbagai informasi yang di peroleh dari internet yang
diakses dari Laboratorium. Pembuatan program dengan mengunakan bahasa
pemprograman Matlab R2008b yang diperlukan untuk memudahkan perhitungan
secara numerik, juga memudahkan dalam pembuatan grafik solusi persamaan,
baik ruang fasa maupun laju perubahan populasi pada model immunotherapy
infeksi HIV.
Dari solusi numerik dari model progresi HIV diketahui bahwa dinamika
penyakit HIV dari individu yang tidak diobati terjadi kurang lebih 6 tahun. Hal ini
terlihat dari penurunan jumlah populasi sel T CD4+ sampai ke batas nol dan
peningkatan terus-menerus dari populasi virus ke batas tak terhingga dari nilai
awal “set point” yang ditentukan.
Terapi IL-2 dengan cara suntik subkutan menggunakan dosis rendah r(t) =
0.0001 tidak bisa meningkatkan jumlah sel T CD4+, baik itu pada tahap

asimptomatik maupun tahap simptomatik. Dengan menggunakan dosis sedang
r(t) = 0.003, pada tahap asimptomatik (T(0) = 347 mm3) terjadi peningkatan
jumlah sel T CD4+ selama 6 bulan terapi sebesar 156 mm3, dan jumlah populasi
virus mengalami penurunan sebesar 969.48 ml selama 6 bulan. Tetapi jika
pengobatan dilakukan pada tahap simptomatik (T(0) = 100 mm3), dengan
menggunakan dosis sedang tidak bisa meningkatkan jumlah sel T CD4+. Untuk
terapi dengan menggunakan dosis tinggi r(t) = 0,006 pada tahap asimptomatik
maupun tahap simptomatik terjadi kenaikan jumlah sel T CD4+. Pada tahap
asimptomatik kenaikan terjadi cukup besar yaitu sebesar 509.52 mm3 selama 6
bulan, sedangkan pada tahap asimptomatik kenaikannya yang terjadi tidak cukup
signifikan, selama 6 bulan terapi masih belum melewati batas tahap simptomatik.
Dari data eksperimen terapi menggunakan dosis tinggi bisa menimbulkan efek
toksis atau beracun pada individu tertentu, jadi terapi dengan dosis tinggi hanya
bisa digunakan pada individu tertentu.
Terapi IL-2 dengan cara infus intravena dimana dimulai dengan dosis besar
dan berakhir dengan dosis kecil, pada tahap asimptomatik bisa meningkatkan
jumlah sel T CD4+ sebesar 498.96 mm3 selama 12 bulan. Sedangkan pada tahap
simptomatik terjadi penurunan jumlah sel CD4+ selama 12 bulan.
Pada saat penyakit sudah masuk tahap simptomatik (T(0) = 100 mm3)
pengobatan dengan menggunakan terapi IL-2 pada infeksi HIV-1 baik itu dengan

cara suntik subkutan maupun dengan cara infus intravena, rata-rata tidak bisa
meningkatkan jumlah sel T CD4+. Hal ini menunjukkan bahwa terapi mengalami
kegagalan. Sedangkan pada tahap asimptomatik (T(0) > 200 mm3) rata-rata bisa
meningkatkan jumlah sel T CD4+, baik itu dengan cara suntik subkutan maupun

6

dengan infus intravena. Tetapi dari kedua cara pemberian dosis, cara yang paling
aman digunakan adalah dengan menggunakan suntik subkutan karena efek toksik
yang ditimbulkan lebih bisa ditoleransi dari pada menggunakan cara suntik
subkutan. Dan dosis IL-2 yang paling optimal adalah r(t) = 0.0035, karena dengan
menggunakan dosis ini akan didapatkan hasil yang mendekati hasil data
eksperimen serta tidak bersifat toksis atau beracun. Dengan menggunakan dosis
ini selama 6 bulan jumlah sel T CD4+ mengalami peningkatan sebesar 547.9741
mm3.
Berdasarkan model immunotherapy pada infeksi HIV yang kami sajikan dan
dengan pemahaman berbagai aspek efek terapi, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa dinamika progresi penyakit HIV dapat nilai dari penurunan jumlah sel T
CD4+ dan peningkatan jumlah virus ke nilai yang tak terhingga. Immunotherapy
dengan menggunakan IL-2 dapat meningkatkan jumlah sel T CD4+, tetapi tidak

bisa mengurangi jumlah virus HIV sampai habis, jadi dapat memperlambat
penyakit HIV ke tingkatan oportunistik. Dosis IL-2 yang optimal adalah dosis
yang dapat meningkatkan jumlah sel T CD4+ secara signifikan, tetapi bersifat
tidak toksik/beracun dan tidak meningkatkan replikasi virus. Immunotherapy
dengan IL-2 dapat digabung dengan terapi/pengobatan lainnya untuk menghindari
mutasi dan resistansi dari virus HIV. Cara pemberian dosis, jumlah dosis yang di
berikan dan jumlah sel T CD4+ awal dimulai terapi adalah hal utama yang
menentukan hasil terapi yang optimal.
Kata kunci: HIV, sel T CD4+, immunotherapy, model matematika

7

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

8

ANALISIS NUMERIK UNTUK IMMUNOTHERAPY
PADA INFEKSI HIV-1

ROSIDAH

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biofisika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010


9

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Akhiruddin Maddu. M, Si

10

Judul Tesis
Nama
NRP

: Analisis Numerik untuk Immunotherapy pada Infeksi HIV-1.
: Rosidah
: G751080031

Disetujui
Komisi pembimbing

Dr. Agus Kartono, M.Si
Ketua


Dr. Ir. Irzaman, M.Si
Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi
Biofisika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Agus Kartono, M.Si.

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian: 12 Maret 2010

Tanggal Lulus: 17 Maret 2010

11

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil‟alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas
rahmat, anugrah dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pembuatan karya ilmiah yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2009 dengan judul
“Analisis Numerik untuk Immunotherapy pada Infeksi HIV-1”, sebagai syarat
untuk menyelesaikan Program Magister Sains pada Program Studi Biofisika,
Sekolah Pascasarjana IPB.
Penyusunan penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan karena dukungan
dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Dr. Agus Kartono, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Irzaman, M.Si selaku
pembimbing atas segala bimbingan dan motivasinya yang diberikan kepada
penulis untuk segera menyelesaikan penelitian ini. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bulungan Propinsi
Kalimantan Timur yang telah memberikan beasiswa kepada penulis, pihak-pihak
terkait yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu termasuk teman-teman
sejawat yang telah membantu dalam pembuatan karya ilmiah ini. Ungkapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, suami, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan penulisan karya
selanjutnya. Semoga hasil penulisan ini dapat menjadi wacana yang memberikan
wawasan yang bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Febuari 2010

Rosidah

12

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Muara Muntai pada tanggal 8 April 1981 dari seorang
ayah bernama Hamran AB dan ibu Juwita. Penulis merupakan putri keempat dari
sebelas bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mulawarman, lulus pada tahun 2004.
Pada tahun 2008, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program
Magister Sains Program Studi Biofisika di Institut Pertanian Bogor melalui
Beasiswa Unggulan Daerah Kabupaten Bulungan Propinsi Kalimantan Timur.
Penulis bekerja sebagai guru di SMP Negeri 2 Tanjung Palas sejak tahun
2005 di Kabupaten Bulungan Propinsi Kalimantan Timur.

13

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................

xiv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................

xvi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................
Perumusan Masalah ........................................................................
Tujuan Penelitian ............................................................................
Manfaat Penelitian ..........................................................................
Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................

1
3
3
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Model Progresi HIV-1 ....................................................................
Model Immunotherapy ....................................................................

5
7

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian .........................................................
Peralatan .........................................................................................
Studi Pustaka ..................................................................................
Pembuatan Program ........................................................................
Analisis Output ...............................................................................

9
9
9
9
9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Dinamika Progresi Penyakit HIV-1 ................................................
Validasi Model dengan Data Eksperimen ......................................
Solusi Numerik untuk Immunotherapy ...........................................
Terapi Suntik Subkutan ..................................................................
Prediksi Immunotherapy dosis rendah ..................................
Prediksi Immunotherapy dosis sedang ..................................
Prediksi Immunotherapy dosis tinggi ....................................
Terapi Infus Intravena .....................................................................
Prediksi Immunotherapy gagal ......................................................
Prediksi Immunotherapy optimal ....................................................

10
10
11
11
11
12
13
14
16
18

SIMPULAN .............................................................................................

20

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

21

LAMPIRAN .............................................................................................

22

14

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tipe dinamika dari individu yang terinfeksi HIV dari data
eksperimen. Data ini diambil dari [Pennisi dan Cohen, 1996] ................

10

2 Progresi penyakit dari individu yang tidak diobati. Simulasi
numerik dari model persamaan 1 – 2 dengan nilai parameter dari
Tabel 1 ......................................................................................................

11

3 Model terapi subkutan dari IL-2 dengan dosis rendah dimana r(t) =
0.0001. Model persamaan (3) dan (4) dibandingkan dengan data
dari [Jacobson, 1996]. (a) untuk sel T CD4+ dan (b) untuk virus ..........

12

4 Model terapi subkutan IL-2 dengan dosis sedang dimana r(t) =
0.003. Model persamaan (3) - (4) dibandingkan dengan data dari
[Jacobson, 1996]. (a) untuk sel T CD4+ dan (b) untuk virus ...................

13

5 Model terapi subkutan IL-2 dengan dosis tinggi dimana r(t) =
0.006. Model persamaan (3) dan (4) dibandingkan dengan data dari
[Jacobson, 1996]. (a) untuk sel T CD4+ dan (b) untuk virus ...................

14

6 Terapi IL-2 dengan cara intravena. Model persamaan (3)–(4)
dibandingkan dengan data dari [Kovacs, 1996]. Terapi diberikan
selama 6 siklus dengan interval dua bulan. Fungsi pengobatan
adalah r (t) = 1 − 2 , dimana c1 dan c2 berbeda untuk 6 siklus,
dimulai dengan dosis besar dan berakhir dengan dosis kecil. Siklus
1: c1 = 0.08, c2 = 0.4 ; siklus 2: c1 = 0.05, c2 = 0.4 ; siklus 3: c1 =
0.04, c2 = 0.4 ; siklus 4: c1 = 0.03, c2 = 0.5 ; siklus 5: c1 = 0.02, c2 =
0.5 ; siklus 6: c1 = 0.02, c2 = 0.5 ..............................................................

15

7 Terapi IL-2 dengan cara intravena. Pengobatan dengan model
persamaan (3)-(4) dimana jumlah sel T CD4+ awal sangat rendah
(tahap simptomatik). Menggunakan dosis yang tidak terlalu
berbeda. siklus 1: c1 = 0.08, c2 = 0.4 ; siklus 2: c1 = 0.08, c2 = 0.4 ;
siklus 3: c1 = 0.08, c2 = 0.4 ; siklus 4: c1 = 0.05, c2 = 0.4 ; siklus 5:
c1 = 0.05, c2 = 0.4 ; siklus 6: c1 = 0.05, c2 = 0.4 .......................................

16

8 Terapi subkutan IL-2 pada pasien HIV dengan jumlah T (0) < 200
mm3, V (0) = 10.000 ml dengan menggunakan dosis IL-2 yang
berbeda. (a) r(t) = 0.0001 (b) r(t) = 0.003 (c) r(t) = 0.0035 dan (d)
r(t) = 0.006 ..............................................................................................

17

9 Terapi IL-2 dengan cara intravena. Pengobatan dengan model
persamaan (3)-(4) dimana jumlah sel CD4+ T awal rendah (tahap
simptomatik). Menggunakan dosis yang sama dengan yang
diberikan pada Gambar 6 ........................................................................

18

15

10 Terapi subkutan IL-2 yang optimal dengan jumlah T (0) < 347
mm3, V (0) = 39000 ml dengan menggunakan dosis IL-2 r(t) =
0.0035 ......................................................................................................

19

16

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Diagram alir penelitian .............................................................................

23

2 Sintak plot grafik dari simulasi Progresi HIV-1 ......................................

24

3 Sintak plot grafik dari simulasi terapi suntik subkutan ............................

25

4 Sintak plot grafik dari simulasi terapi infus intravena .............................

26

17

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pada tahun 1983, sejenis retrovirus yang sekarang disebut human
immmunodefeciency virus (HIV), telah diidentifikasikan sebagai agen penyebab
AIDS. HIV merupakan pathogen paling mematikan yang pernah diketahui.
Terdapat dua galur utama virus itu, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah galur
yang paling luas penyebarannya dan lebih virulen. Kedua galur ini menginfeksi
sel-sel yang mengandung permukaan molekul CD4+. Molekul CD4+ pada sel T
membantu interaksi antara sel T dengan sel penyaji antigen (APC). Sel-sel yang
rentan terhadap pathogenesis HIV adalah sel T CD4+ dan makrofaga. Pada kedua
jenis sel itu, masuknya virus tidak hanya memerlukan CD4+, namun juga molekul
protein kedua yang disebut koreseptor. Koreseptor fusin ditemukan pada sel T
helper, dan CCR5 yang ditemukan pada makrofaga. Keduanya berfungsi sebagai
reseptor untuk berbagai kemokin. Pertama kali, kedua sel itu dikenali sebagai
koreseptor HIV, setelah ditemukan beberapa kemokin menekan infeksi HIV-1
karena berikatan dengan kedua sel itu dan menghambat reseptor kemokin pada
calon sel inang.
Ketika sudah berada di dalam sel, RNA HIV direkam (diduplikat) balik, dan
produk DNA digabungkan ke dalam genom sel inang. Dalam bentuk provirus ini,
genom virus itu mengarahkan produksi partikel virus baru. Oleh karena, retrovirus
yang ada sebagai provirus selama sel yang terinfeksi itu hidup, maka antibodi
akan gagal memberantas dan mengusirnya. Tantangan bagi respon humoral dan
respon yang diperantarai sel adalah perubahan mutasi yang sangat sering terjadi
pada setiap tingkat replikasi virus. Hal ini disebabkan, sebagian besar partikel
HIV yang dihasilkan dalam individu yang terinfeksi akan sedikit berbeda dari
virus yang semula menginfeksi.
Penurunan jumlah virus yang jelas terlihat dalam sebagian tubuh
menggambarkan suatu respon kekebalan awal terhadap HIV. Akan tetapi,
penurunan awal konsentrasi HIV dalam darah adalah menyesatkan. Selama waktu
itu, replikasi HIV terus terjadi dalam sel-sel nodus limfa dan menyebabkan
kerusakan struktur dan fungsional di sel-sel nodus limfa. Pada waktu yang

18

bersamaan, konsentrasi HIV dalam darah akan meningkat. Penyebab peningkatan
ini adalah proses perombakan dan perusakan jaringan limfatik, pembebasan dari
jaringan ini, dan hilangnya CD4 dan sel T helper, sehingga mengakibatkan
ambruknya sistem kekebalan tubuh.
Sekarang ini, obat-obatan yang tampaknya memperlambat replikasi virus
ketika digunakan dalam berbagai kombinasi adalah inhibitor sintesis DNA,
inhibitor diduplikat balik (reserve transcriptase), seperti AZT(Zidovudine) yang
diakui untuk pengobatan infeksi HIV pada tahun 1987, dan ada tiga obat lainnya
DDC, DDI, dan D4T, serta inhibitor protease yang dapat mencegah suatu langkah
kunci dalam sintesis protein HIV. Semua obat yang digunakan hanya bisa
memperpanjang hidup, namun tidak untuk mengobati dan menyembuhkan.
Banyak

perlakuan

kemoterapi

yang

bertujuan

membunuh

atau

menghentikan pathogen, tetapi pengobatan yang mana yang bisa meningkatkan
sistem kekebalan tubuh yang dapat bertindak sebagai pembantu tubuh melawan
terhadap infeksinya sendiri. Pada saat ini, terus berkembang usaha untuk
menaikkan respon kekebalan tubuh yang cocok untuk mengurangi muatan virus
(istilah lain dari obat anti virus). Hal ini

membawa harapan baru untuk

pengobatan infeksi HIV dan ini adalah tipe pengobatan yang akan kami pelajari
pada penelitian ini.
Sitokin adalah protein hormon yang menengahi dua imun (kekebalan tubuh)
alami dan imun spesifik. Sitokin sebagian besar dihasilkan dengan mengaktifkan
sel (limfosit) selama sel kekebalan menengahi. Interleukin-2 (IL-2) adalah
sebagian besar sitokin yang bertanggung jawab untuk mengaktifkan pertumbuhan
dan diferensiasi limfosit. IL-2 banyak menghasilkan sel T CD4+, dan
menghasilkan sedikit sel T CD8+ (cytotoksit sel T, atau CTLs).
Percobaan klinik memperlihatkan ada efek stimulasi-imun dari pengobatan
dengan interleukin-2 (IL-2), meskipun terapi imun ini tidak mendapat izin dari
pemerintah di negara maju. IL-2 dapat meningkatkan aktifitas CTL, untuk tingkat
penyakit yang berbeda. IL-2 dapat meningkatkan pemulihan aktifitas sel
pembunuh alami (NK) yang rusak maupun meningkatkan perbaikan pada
poliklonal ekspansi dari sel T CD4+

dan CD8+.

Percobaan klinik itu

memperlihatkan ada korelasi yang tinggi antara konsentrasi IL-2 rendah dan

19

penurunan jumlah sel T CD4+ dengan progresi penyakit [Abbas. A, 1994]. Ini
adalah petunjuk untuk mengurangi IL-2 pada level yang tidak dapat ditemukan
dalam nodus limfa pada semua tingkatan penyakit.
Sejak IL-2 telah memperlihatkan pengembalian beberapa fungsi imun yang
menjadi lemah oleh infeksi HIV, maka kami ingin mempelajari dan menganalisa
penggunaan sitokin dengan menggunakan model matematika yang sudah ada.
Penelitian ini akan memperkenalkan model matematik yang akan lebih
banyak menggunakan pendekatan deterministik untuk membantu pemahaman
dinamika penyakit. Sistem dinamika persamaan diferensial parsial biasa (ordinary
differential equation (ODE)), yang akan digunakan dalam bentuk proses infeksi
HIV.

Perumusan Masalah
a. Bagaimanakah mekanisme dari sistem imun (kekebalan tubuh) yang
muncul dari dinamika penyakit HIV ?
b. Bagaimanakah menjelaskan dinamika infeksi HIV ?
c. Apakah simulasi dari model yang digunakan dalam penelitian ini
memberikan hasil prediksi yang sesuai dengan kenyataan (eksperimen)?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Menganalisa model matematika dari dinamika penyakit HIV.
2. Mempelajari mekanisme dari sistem imun yang muncul dari dinamika
penyakit HIV.
3. Mempelajari peranan IL-2 pada immunotherapy.
4. Untuk mengetahui dosis IL-2 yang paling optimal dalam immunotherapy
pada penyakit HIV.
5. Untuk

mengetahui

pengaruh

cara

immunotherapy pada penyakit HIV.

pemberian

dosis

IL-2

dalam

20

Manfaat Penelitian
Penelitian ini menjadi dasar acuan teori biofisika tentang dinamika terapi
imun pada infeksi HIV dan bisa digunakan untuk menetapkan atau
mengembangkan strategi pengobatan pada infeksi HIV. Selain itu, mekanisme ini
dapat digunakan pada penyakit yang memiliki kesamaan dengan sistem infeksi
virus lainnya seperti tuberkolosis (TBC) dan sel kanker/tumor.
Ruang lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi pemahaman sistem dinamika
nonliniear, persamaan diferensial biasa (ODE), teori tentang sistem terapi imun
dan tentang mekanisme infeksi HIV.

21

TINJAUAN PUSTAKA

Model Progresi dari HIV
Dalam model progresi dari HIV, kami menyatakan populasi sel T CD4+
yang tidak terinfeksi dalam satuan T(t)/mm3, dan populasi yang bebas virus dalam
satuan V(t)/ml yang berinteraksi di dalam plasma. Dalam [Kirschner, 1996.
Kirschner, 1997a. Kirschner, 1997b] mereka memasukkan sel T CD4+ yang
terinfeksi, tetapi tujuan kami disini untuk mendemonstrasikan dinamika progresi
penyakit HIV dalam plasma, dengan dasar asumsi sederhana yaitu interaksi dari
populasi sel T CD4+ yang tidak terinfeksi dengan virus bebas.

Persamaan

matematika dari model infeksi HIV yang kami gunakan adalah sebagai berikut:
�( )
�( )

dimana

�( )

=
=

1

2 �(



�� ( )

2 +�(

1 +�(

)
)

− �

)

− ��


− ��



,

adalah jumlah populasi sel T CD4+,

(1)
(2)
1

2 �(



)

1 +�(

jumlah/replikasi dari populasi sel T CD4+ yang tidak terinfeksi, − ��

)

kehilangan alami dari sel T CD4+ yang tidak terinfeksi, selain itu − ��

adalah
adalah


merupakan jumlah dari sel T CD4+ yang tidak terinfeksi menjadi terinfeksi oleh
virus. Ini diasumsikan proporsional dengan hasil dari sel T CD4+ yang tidak
terinfeksi dengan virus.
Sedangkan

�( )

adalah jumlah dari populasi virus,

�� ( )

2 +�(

)

adalah jumlah

dari kontribusi virus ke plasma dan dari bagian luar, seperti sistem limfa maupun
virus yang dihasilkan oleh sel yang terinfeksi dalam plasma. Sebagian besar hal
ini diketahui dari sisa virus dalam sistem limfa yang mana terjadi dalam fase
asimptomatik dari penyakit [Cavert W, 1997. Haase A, 1996. Lafeuillade
A,1996]. Model ini memilih hubungan sumber virus dengan batas nilai �.

Persamaan (2) juga terdapat laju kehilangan virus − �



, ini merupakan

penggabungan dari pemindahan virus, yang disebabkan oleh semua komponen
respon imun, maupun virus yang mati. Model ini juga mengasumsikan tingkat
jumlah virus bergantung pada level sel T CD4+, hal ini tidak berhubungan dengan

22

virus yang bebas (terlepas dari proses infeksi itu sendiri), Model ini juga
memperlihatkan kapasitas umum dari sistem imun untuk membuang virus dari
dalam plasma. Kami asumsikan kapasitas itu berkurang selama progresi penyakit,
dan berbanding proporsional dengan level sel T CD4+.
Di dalam Tabel 1, kami memberikan daftar parameter untuk persamaan (1)
dan (2).

Kami memilih konstanta kelajuan dari referensi. Model ini

mengasumsikan penggabungan aspek kunci dari dinamika imun HIV dan
stimulasi progresi penyakit.
Tabel 1. Variabel dan Parameter
Variabel terikat
T
V

Nilai

= Populasi sel CD4+ T yang tidak terinfeksi
= Populasi HIV

1000/mm3
103 /ml

Parameter dan konstanta

Nilai

= sumber/produksi sel CD4+ T
= sumber/produksi sel CD4+ T
= Kelajuan kematian dari populasi sel CD4+ T yang
tidak terinfeksi
k = kelajuan sel CD4+ T menjadi terinfeksi oleh virus
bebas V
g = kelajuan masuknya dari sumber virus ekternal
c = Kelajuan kematian dari virus
b1 = campuran saturation konstan
b2 = campuran saturation konstan
r (t) = fungsi pengobatan interleukin
c1 dan c2 = parameter pengobatan

2,0 mm3 /hari
1,5 mm3 /hari

s1
s2
µ

Pada tahap bebas penyakit � =

1



0,002 /hari
2,5 x 10-4 mm3 /hari
30 mm3/hari
0,007 mm3 /hari
14,0 mm3
1,0 mm3
1

− 2

/ℎ



variabel yang dapat
diubah-ubah

dan V = 0 Kemudian, hal ini diikuti oleh

tingkat bebas penyakit dalam keadaan stabil saat � <

2 �.

Jika ketidaksamaan

merupakan kebalikannya, maka populasi virus akan selalu berkembang dari level
rata-rata yang sangat kecil sampai level yang tidak dapat dihindarkan oleh sel T
CD4+. Ketidaksamaan ini termasuk dalam rangka membasmi penyakit atau
progresi rata-rata pengobatan penyakit, salah satunya harus cukup dapat menekan
semua produksi virus (�), menaikkan jumlah sel T CD4+(T) atau respon imun (c),
atau kombinasinya. Nilai parameter dalam tabel 1 digunakan untuk sistem

23

persaman (1) dan (2) pada tingkat ketidak stabilan V > 0, dan sistem itu mengikuti
perilaku waktu

t yang meningkat, V(t) meningkat secara eksponensial, T(t)

menurun sampai nol, V’(t) meningkat ke � −

V(t)T(t) bertemu pada

1− 2



1− 2



, T(t) bertemu pada nol, dan

, sejak sistem itu tidak bisa stabil pada kesetimbangan

positif dalam yang disebabkan oleh kehadiran virus.

Model Immunotherapy
Sitokin adalah protein hormon yang menengahi dua sel imunitas alami dan
imunitas khusus. Imuntas alami sering dihasilkan oleh makrofaga/monocytes
dalam merespon antigen yang merangsang sel T sebagai bagian dari imun khusus.
Kebanyakan sitokin dalam imun khusus dihasilkan oleh limfosit yang diaktifkan.
Interleukin-2 (IL-2) adalah sitokin utama yang bertanggung jawab untuk
pengaktifan, pertumbuhan dan diferensiasi limfosit. Interleukin-2 (IL-2) banyak
menghasilkan oleh sel T CD4+, sedangkan sel T CD8+ dihasilkan IL-2 dalam
jumlah yang sedikit.
IL-2 dalam konsentrasi tinggi dapat

merangsang pertumbuhan sel

pembunuh alami (NK), dan fungsi dari cytolytic, karena IL-2 menghasilkan
limfokinase yang aktif membunuh sel (LAK). IL-2 juga sebagai pengaktif sel T
dan makrofaga secara bersama-sama, sehingga seluruh tingkat sel T dan
makrofaga dapat meningkat ketika melepaskan sitokin. Dasar pemikiran untuk
menggunakan sitokin dalam pengobatan adalah dilihat dari kemampuannya untuk
meningkatkan penengah/perantara sel imun.
Ada keterangan/bukti bahwa IL-2 juga mempengaruhi produksi HIV. Hasil
efek negatif dari bukti itu menunjukkan bahwa ketika tingkat HIV sudah tinggi,
maka jumlah sel T CD4+ dibawah 200/mm3. Pada pasien asimptomatik, IL-2
tidak mendukung replikasi HIV. Ada juga efek samping lain yang bisa dihasilkan
dalam penghentian pengobatan, yaitu: sindrom kebocoran pembuluh sebagai efek
samping toksik lainnya.
Karena adanya efek pengobatan antivirus dalam kuasi-stabil, maka
penggunaan model lain yang secara langsung dapat melibatkan efek dari

24

pengobatan antivirus pada bagian progresi penyakit [Kirschner, 1997a. Kirschner,
1997b].
Model lain yang memasukkan IL-2 dalam penelitian ini dinyatakan dengan
persamaan:
�( )
�( )

=
=

1



�� ( )

2 +�(

2 �(

1 +�(

)

)
)

− ��

− �



− ��



+

�( ),

(3)
(4)

Persamaan (3) mengasumsikan perbaikan peningkatan dari sistem imun
(kekebalan tubuh), karena IL-2 dapat meningkatkan sel T CD4+ yang berbanding
dengan populasi sel rata-rata

=

1

− 2

/hari, dimana t adalah nol saat

awal dari setiap siklus. Pemilihan persamaan r(t) itu diasumsikan bahwa
kerusakan obat terjadi secara ekponensial, tetapi efeknya tidak secara spontan.
Parameter c1 dan c2 berkurang, karena siklus yang berturut-turut.

25

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu Dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Teori, Departemen Fisika,
Institut Pertanian Bogor di mulai pada bulan Juli 2009 sampai dengan bulan
Febuari 2010. Kegiatan meliputi penelitian pendahuluan, pembuatan program,
analisis output, pengolahan data dan penyusunan laporan.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa komputer
AMD Turion X2 Dual-Core (U405D), 4,00 GB of

RAM. Software yang

digunakan untuk proses komputasi adalah bahasa pemprogaman Matlab R2008b
dari Mathwork, Inc. Untuk mendukung penelitian ini sumber referensi yang
digunakan selain buku (literature) juga berbagai informasi yang di peroleh dari
internet yang diakses dari Laboratorium.
Studi Pustaka
Studi pustaka diperlukan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan
yang telah dicapai dalam bidang yang diteliti.
Pembuatan Program
Pembuatan program dengan bahasa pemrograman Matlab R2008b
diperlukan

untuk

memudahkan

perhitungan

secara

numerik

dan

juga

memudahkan dalam pembuatan grafik solusi persamaan baik ruang fasa maupun
laju perubahan populasi pada model infeksi HIV-1 yang dibuat.
Analisis Output
Analisis output diperlukan untuk menguji apakah output yang didapat sesuai
dengan teori yang ada dalam literatur. Sistematika penelitian secara lengkap dapat
di lihat pada Lampiran 1.

26

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dinamika Progresi Penyakit HIV
Validasi model dengan dengan data eksperimen.
Untuk lebih memahami tipekal dinamika dari progresi penyakit HIV,
dalam individu yang tidak diobati, kami perlihatkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Tipe dinamika dari individu yang terinfeksi HIV dari data eksperimen.
Data ini diambil dari [Pennisi dan Cohen, 1996].
Dalam gambaran ini sel T CD4+ dinyatakan turun secara linier kira-kira dari
1000/mm3 ke 0/mm3 selama 10 tahun. Pada waktu yang sama berangsur-angsur
ada kenaikan dalam jumlah virus selama tahap asimptomatik dari penyakit dan
kemudian meningkat cepat pada beberapa golongan dan berlanjut pada tahap
selanjutnya yaitu AIDS.
Dengan menggunakan sofware Matlab R2008b melalui solusi numerik dari
persamaan (1) dan (2), dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang ada
pada Tabel 1 maka diperoleh grafik dinamika progresi penyakit HIV dari individu
yang tidak diobati pada Gambar 2 dibawah ini

1000

100000

800

10000

600

1000

400

100

200

10

Virus/ml

Sel T CD4+/mm3

27

1

0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10

Waktu (tahun)

Gambar 2. Progresi penyakit dari individu yang tidak diobati. Simulasi numerik
dari model persamaan (1) – (2) dengan nilai parameter dari Tabel 1.
Gambar 2 diatas memperlihatkan grafik hubungan antara populasi sel T CD4+ (T)
dan populasi virus (V) terhadap waktu (t). Dimana pola yang diberikan sama
dengan grafik pada Gambar 1 yang dihasilkan dari data yang diambil dari [Pennisi
dan Cohen, 1996]. Penanda dari progresi penyakit HIV yaitu sel T CD4+
mengalami penurunan secara linier selama 6 tahun dari jumlah 1000 mm3 ke 0
mm3 dan jumlah populasi virus terus meningkat sampai tak terhingga.

Solusi numerik untuk Immunotherapy
Terapi suntik subkutan
Untuk terapi dengan cara suntik subkutan kami menggunakan dosis
interleukin-2 yang berbeda-beda pada jumlah awal sel T CD4+ dan jumlah awal
virus yang sama dalam jangka waktu yang terbatas (selama 360 hari), disini kami
mempelajari prediksi dari model persamaan (3) dan (4) dengan menggunakan
solusi numerik, untuk melihat efek dan dosis yang tepat dari immunotherapy
dengan menggunakan interleukin-2 pada penyakit HIV.

Prediksi Immunotherapy dosis rendah
Melalui solusi numerik dengan menggunkan software Matlab R2008b, yang
dilakukan dengan cara mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang terdapat pada
Tabel 1 ke dalam persamaan (3) dan (4), sehingga diperoleh grafik hubungan
antara populasi sel T CD4+ (T) dan populasi virus (V) terhadap waktu (t)

28

500

16000
Model simulasi
Data ekperimen

Virus/ml

Sel CD4+ /mm3

14000
400
12000

300
10000

200

8000
0

30

60

90

120

150

180

Waktu (hari)

(a)

0

30

60
90
120
Waktu (hari)

150

180

(b)

Gambar 3. Model terapi subkutan dari IL-2 dengan dosis rendah dimana r(t) =
0.0001. Model persamaan (3) dan (4) dibandingkan dengan data dari
[Jacobson, 1996]. (a) untuk sel T CD4+ dan (b) untuk virus.
Gambar 3 di atas menunjukkan perubahan waktu untuk jumlah sel T CD4+ (T) dan
jumlah populasi virus (V). Jika dosis IL-2 yang diberikan terlalu rendah dengan
jumlah sel T CD4+ (T) awal adalah 347 mm3 dan jumlah populasi virus (V) awal
adalah 8547 ml, karena V(0) > 0 dan dengan menghitung nilai � <

2 �,

dimana

T adalah jumlah sel T CD4+ pada akhir terapi, maka sistem dalam keadaan tidak

stabil yang berarti akan terus menurunkan jumlah sel T CD4+ pada level AIDS
dan jumlah virus akan terus meningkat. Dengan dosis IL-2 r(t) = 0.0001 terjadi
kenaikan dalam jumlah virus yang cukup tajam yaitu sebesar 5079 ml selama 6
bulan dengan peningkatan rata-rata tiap bulannya sebesar 846.5 ml. Sedangkan
untuk jumlah sel T CD4+ selama 6 bulan mengalami penurunan sebesar 54 mm3
dengan rata-rata penurunan untuk tiap bulannya adalah 9 mm3 dan akan mencapai
level AIDS (timbulnya infeksi oportunistik) pada saat jumlah jumlah sel TCD4+
< 200 mm3 pada saat t = 501 hari.

Prediksi Immunotherapy dosis sedang
Untuk dosis IL-2 sedang melalui solusi numerik dengan menggunakan
software Matlab R2008b, yang dilakukan dengan cara mensubstitusikan nilai-nilai
parameter ke dalam persamaan (3) dan (4), diperoleh grafik hubungan antara
populasi sel T CD4+ (T) dan populasi virus (V) terhadap waktu (t)

29

Model simulasi

650

22000

Model simulasi
Data eksperimen

18000

550
Virus ( ml)

Sel CD4+ T (mm3)

Data eksperimen

450

350

14000
10000
6000
2000

250
0

30

60
90
120
Waktu (hari)

150

180

(a)

0

30

60
90
120
Waktu(hari)

150

180

(b)

Gambar 4. Model terapi subkutan IL-2 dengan dosis sedang dimana r(t) = 0.003.
Model persamaan (3) - (4) dibandingkan dengan data dari [Jacobson,
1996]. (a) untuk sel T CD4+ dan (b) untuk virus.
Dari gambar 4 di atas menunjukkan perubahan waktu terhadap jumlah sel T CD4+
(T) dan jumlah populasi virus (V). Dengan jumlah sel T CD4+(T) awal dan jumlah
populasi virus (V) awal adalah sama dengan jumlah yang diberikan pada terapi
dosis rendah, karena adanya populasi virus maka sistem dalam keadaan tidak
stabil yang berarti akan terus menurunkan jumlah sel T CD4+ dan jumlah virus
akan terus meningkat. Dengan menggunakan dosis IL-2 r(t) = 0.003 terjadi
kenaikan jumlah sel T CD4+ selama 6 bulan, untuk data eksperimen rata-rata
kenaikan untuk tiap bulannya adalah 33 mm3, sedangkan untuk model simulasi
rata-rata kenaikan tiap bulannya adalah 26 mm3 dan akan mencapai jumlah normal
(jumlah sel T CD4+ < 1000) pada saat t = 530 hari. Sedangkan jumlah populasi
virus mengalami penurunan rata-rata tiap bulannya untuk data eksperimen adalah
132 ml sedangkan untuk model simulasi penurunan tiap bulannya adalah 161.58
ml.

Prediksi Immunotherapy dosis tinggi
Pada dosis IL-2 tinggi melalui solusi numerik dengan menggunakan
software Matlab R2008b, dengan cara mensubstitusikan nilai-nilai parameter ke
dalam persamaan (3) dan (4), diperoleh grafik hubungan antara populasi sel T
CD4+ (T) dan populasi virus (V) terhadap waktu (t) yang dapat dilihat pada
Gambar 5.

30

Gambar 5 di bawah menunjukkan perubahan waktu terhadap jumlah sel T CD4+
(T) dan jumlah populasi virus (V). Jumlah populasi sel T CD4+ (T) awal dan
jumlah populasi virus (V) awal adalah sama dengan yang digunakan pada terapi
dosis rendah, karena (V) > 0 maka sistem dalam keadaan tidak stabil yang berarti
dalam jangka waktu yang lama akan terjadi penurunan jumlah sel T CD4+ dan
jumlah virus akan terus meningkat. Dengan menggunakan dosis IL-2 r(t) = 0.006
terjadi kenaikan jumlah sel T CD4+ yang cukup besar selama 6 bulan dengan ratarata kenaikan untuk tiap bulannya adalah 84.92 ml. Nilai yang cukup besar jika
dibandingkan dengan data eksperimen yang rata-rata perbulannya adalah sebesar
33 ml.
Terapi dengan menggunakan dosis IL-2 yang cukup tinggi memang efektif
meningkatkan jumlah populasi sel T CD4+, tetapi penggunaan IL-2 dengan dosis
tinggi dapat menimbulkan efek samping yang sangat toksik/beracun terhadap
individu tertentu [Jacobson, 1996a].
18000

900

Model simulasi

Model simulasi

Data eksperimen

Data eksperimen

14000
Virus (ml)

Sel CD4+ T (mm3)

750

600

10000

6000

450

2000

300
0

30

60

90
120
Waktu (hari)

(a)

150

180

0

30

60

90
120
Waktu (hari)

150

(b)

Gambar 5. Model terapi subkutan IL-2 dengan dosis tinggi dimana r(t) = 0.006.
Model persamaan (3) dan (4) dibandingkan dengan data dari
[Jacobson, 1996]. (a) untuk sel T CD4+ dan (b) untuk virus.

Terapi infus intravena
Dalam [Kovacs, 1996] 31 pasien yang terinfeksi HIV di terapi IL-2 dengan
cara intravena melalui 6 siklus dengan setiap siklus terdiri atas 5 hari dengan
interval setiap siklus adalah dua bulan. Pasien mempunyai sel T CD4+ dengan
jumlah rata-rata 427/mm3 (dengan rentang 188 sampai 753/mm3) pada awal

180

31

pengobatan. Rata-rata jumlah virus pada awal pengobatan untuk semua pasien
adalah 39 x 103/ml (dengan rentang 9 x 103 – 19.1 x 104/ml). Rata-rata level dosis
per siklus menurun dari 76 juta IU untuk siklus pertama menjadi 39 juta IU untuk
siklus ke 6. Perubahan jumlah sel T CD4+ dan jumlah virus setelah diberi terapi
dilihat selama 12 bulan.
Data dari [Kovacs, 1996] dan simulasi dari persamaan (3) dan (4) diberikan
dalam Gambar 6. Dalam simulasi, parameter pengobatan dipilih dari hubungan
karakteristik pada pasien dalam [Kovacs, 1996] selama terapi imun. Dalam
Gambar 6 memperlihatkan perubahan waktu terhadap jumlah sel T CD4+ selama
diberi terapi. Rata-rata kenaikan jumlah sel T CD4+ untuk tiap bulannya pada
model simulasi adalah 41.58 mm3 dan 40.75 mm3 untuk data eksperimen. Jumlah
sel T CD4+ mencapai jumlah normal pada saat t = 300 hari, tetapi setelah hari ke
330 jumlah sel T CD4+ perlahan-lahan mengalami penurunan lagi. Jumlah virus
tidak berubah banyak selama pengobatan dilihat dalam data [Kovacs, 1996], dan
model memprediksikan muatan virus akan sedikit menurun selama dilakukannya
terapi.
Model simulasi
Data eksperimen

1200

CD4+ T

1000

800

600

400

200
0

30

60

90

120 150 180 210 240 270 300 330 360

Waktu (hari)

Gambar 6. Terapi IL-2 dengan cara intravena. Model persamaan (3)–(4)
dibandingkan dengan data dari [Kovacs, 1996]. Terapi diberikan
selama 6 siklus dengan interval dua bulan. Fungsi pengobatan adalah
r (t) = 1 − 2 , dimana c1 dan c2 berbeda untuk 6 siklus, dimulai
dengan dosis besar dan berakhir dengan dosis kecil. Siklus 1: c1 =
0.08, c2 = 0.4 ; siklus 2: c1 = 0.05, c2 = 0.4 ; siklus 3: c1 = 0.04, c2 =
0.4 ; siklus 4: c1 = 0.03, c2 = 0.5 ; siklus 5: c1 = 0.02, c2 = 0.5 ; siklus
6: c1 = 0.02, c2 = 0.5.
Dalam Gambar 7 kami memberikan simulasi lain dari model persamaan (3)
dan (4) dengan menggunakan nilai parameter yang ada dalam Tabel 1, tetapi
dengan jumlah sel T CD4+ awal adalah 100/mm3. Dalam simulasi ini, ketika

32

pengobatan di mulai terlambat (penyakit HIV sudah dalam tingkat simptomatik),
kami memberikan terapi IL-2 dengan dosis yang tidak berkurang terlalu banyak
(menggunakan dosis besar). Dengan menggunakan dosis yang ada pada Gambar
7, terjadi kenaikan yang cukup signifikan dalam jumlah sel T CD4+ dengan ratarata kenaikan tiap bulannya adalah 50.25 mm3. Jumlah sel T CD4+ melebihi batas
tingkat simptomatik pada saat t = 90 hari.
800

CD4+ T (mm3)

600

400

200

0
0

30

60

90 120 150 180 210 240 270 300 330 360

Waktu (hari)

Gambar 7. Terapi IL-2 dengan cara intravena. Pengobatan dengan model
persamaan (3)-(4) dimana jumlah sel T CD4+ awal sangat rendah
(tahap simptomatik). Menggunakan dosis yang tidak terlalu berbeda.
siklus 1: c1 = 0.08, c2 = 0.4 ; siklus 2: c1 = 0.08, c2 = 0.4 ; siklus 3: c1
= 0.08, c2 = 0.4 ; siklus 4: c1 = 0.05, c2 = 0.4 ; siklus 5: c1 = 0.05, c2 =
0.4 ; siklus 6: c1 = 0.05, c2 = 0.4.

Prediksi Immunotherapy yang gagal
Terapi pada penyakit HIV yang dilakukan dengan cara immunotherapy
menggunakan IL-2 memang dapat meningkatkan jumlah populasi sel T CD4+ dan
replikasi virus dapat ditekan atau bahkan berkurang. Tetapi jika pemberian terapi
sudah pada tahap simptomatik dengan jumlah awal sel T CD4+ < 200 mm3 maka
pemberian terapi dengan IL-2 dengan menggunakan dosis berapa pun tidak akan
meningkatkan jumlah sel T CD4+ [kovacs, 1996] bahkan immunologi mengalami
penurunan selama terapi [Pahwa, 1998], baik itu terapi dengan cara subkutan
maupun dengan cara infus intravena.
Hasil prediksi dengan menggunakan model simulasi dari persamaan (3)–(4)
menghasilkan grafik pada Gambar 8 di bawah ini. Gambar 8(a) memperlihatkan
terapi subkutan dengan menggunakan dosis IL-2 rendah r(t) = 0.0001. Terlihat
dengan menggunakan dosis rendah jumlah sel T CD4+ terus mengalami

33

penurunan sampai hari ke 180. Pada hari ke 180 jumlah sel T CD4+ mencapai

110

104

90

102

Sel CD4+ T

Sel CD4+ T

jumlah yang sangat rendah yaitu 30 mm3.

70

50

30

100

98

0

30

60

90
Waktu (hari)

120

150

96

180

0

30

60

120

150

180

(c)

(a)
200

104

180

96

160

Sel CD4+ T

Sel CD4+ T

100

92

140

88

84

90
Waktu (hari)

120

0

30

60

90
Waktu (hari)

120

150

180

100

0

30

60

90
Waktu (hari)

120

150

(b)
(d)
Gambar 8. Terapi subkutan IL-2 pada pasien HIV dengan jumlah T (0) < 200
mm3, V (0) = 10.000 ml dengan menggunakan dosis IL-2 yang
berbeda. (a) r(t) = 0.0001 (b) r(t) = 0.003 (c) r(t) = 0.0035 dan (d)
r(t) = 0.006.
Gambar 8(b) memperlihatkan terapi subkutan dengan menggunakan dosis
IL-2 sedang r(t) = 0.003. Terlihat dengan menggunakan dosis sedang jumlah sel T
CD4+ dapat bertahan selama 30 hari tanpa mengalami penurunan, tetapi setelah
hari ke 31 jumlah sel T CD4+ terus mengalami penurunan sampai hari ke 180.
Pada hari ke 180 jumlah sel T CD4+ mencapai jumlah 85 mm3. Gambar 8(c)
memperlihatkan terapi subkutan dengan menggunakan dosis IL-2 optimal r(t) =
0.0035. Terlihat dengan menggunakan dosis optimal jumlah sel T CD4+
mengalami peningkatan selama 30 hari, tetapi setelah hari ke 31 jumlah sel T
CD4+ terus mengalami sedikit penurunan sampai hari ke 180. Pada hari ke 180
jumlah sel T CD4+ mencapai jumlah 98 mm3. Melalui terapi subkutan dengan
menggunakan dosis IL-2 tinggi r(t) = 0.006, Gambar 8(d) memang terlihat

180

34

peningkatan jumlah populasi sel T CD4+, tetapi kenaikannya sangat sedikit sekali
bahkan terapi selama 180 hari tidak bisa menaikkan jumlah sel T CD4+ lebih dari
200 mm3. Sedangkan untuk populasi virus mengalami peningkatan.
Dalam Gambar 9 kami memberikan simulasi lain dari model persamaan (3)
dan (4) dengan menggunakan nilai parameter yang ada dalam Tabel 1, tetapi
dengan jumlah sel T CD4+ awal adalah 100/mm3. Dalam simulasi ini, ketika
pengobatan di mulai terlambat (penyakit HIV sudah dalam tingkat simptomatik),
terapi IL-2 secara infus intravena yang diberikan dengan dosis yang sama pada
Gambar 6 tidak akan memberikan hasil yang signifikan. Walaupun jumlah sel T
CD4+ mengalami kenaikan tetapi selama 360 hari diberikan terapi jumlah sel T
CD4+ tidak bisa melebihi batas tahap penyakit oportunistik (>200 mm3).

CD4+ T (mm3)

250

200

150

100
0

30

60

90 120 150 180 210 240 270 300 330 360

Waktu (hari)

Gambar 9. Terapi IL-2 dengan cara intravena. Pengobatan dengan model
persamaan (3)-(4) dimana jumlah sel CD4+ T awal rendah (tahap
simptomatik). Menggunakan dosis yang sama dengan yang diberikan
pada Gambar 6.

Prediksi Immunotherapy optimal
Immunotherapy dengan menggunakan IL-2 pada infeksi HIV memang dapat
meningkatkan jumlah sel T CD4+, baik itu dengan cara suntik subkutan maupun
melalui cara infus intravena.

Tetapi terapi yang optimal bukan hanya bisa

menaikkan jumlah sel T CD4+, tapi juga harus bisa menekan replikasi virus dan
bersifat tidak toksis [Pahwa, 1998]. Dari data [Pahwa, 1998] terapi dengan cara
suntik subkutan lebih aman digunakan dibandingkan dengan cara infus intravena,
karena efek samping yang ditimbulkan bisa lebih ditoleransi dibandingkan cara
infus intravena. Dengan dosis 187.500 IU – 250.000 IU/m2/hari dari

35

[Jacobson,1996] merupakan dosis yang tidak menimbulkan replikasi virus dan
bersifat tidak toksik/beracun.
Melalui solusi numerik dengan menggunakan software Matlab R2008b,
yang dilakukan dengan cara mensubstitusikan nilai-nilai parameter dari tabel 1 ke
dalam persamaan (3) dan (4), kami coba menvariasikan dosis yang digunakan
untuk melihat hasil yang paling mendekati dengan data eksperimen [Jacobson,
1996]. Dari hasil simulasi diperoleh grafik hubungan antara populasi sel T CD4+
(T) dan populasi virus (V) terhadap waktu (t)
600

25000

Model simulasi
Data eksperimen

Model simulasi
Data eksperimen

20000
Virus (ml)

Sel CD4+ T

500
15000
10000

400
5000
0

300
0

30

60
90
120
Waktu (hari)

150

180

(a)

0

30

60
90
120
Waktu (hari)

150

180

(b)

Gambar 10. Terapi subkutan IL-2 yang optimal dengan jumlah T (0) < 347 mm3,
V (0) = 39000 ml dengan menggunakan dosis IL-2 r(t) = 0.0035.
Dengan dosis IL-2 r(t) = 0.0035, populasi sel T CD4+ meningkat cepat, pada t =
180 hari mencapai 547.9741 mm3 dengan rata-rata kenaikan jumlah sel T CD4+
untuk tiap bulannya adalah 33.4956 mm3 dan populasi virus HIV pada t = 30 hari
mengalami kenaikan dan mulai menurun setelah hari ke 30. Dan jika terapi
dilanjutkan maka pada t = 450 hari jumlah populasi sel T CD4+ akan mencapai
jumlah normal dalam darah yaitu sebesar 1000 mm3.

36

KESIMPULAN

Berdasarkan model immunotherapy pada infeksi HIV yang kami sajikan dan
dengan pemahaman berbagai aspek efek terapi, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa:
1. Dari model dapat dilihat dinamika progresi penyakit HIV, nilai dari
penurunan jumlah sel T CD4+ sampai batas nol dan peningkatan jumlah
virus ke nilai yang tak terhingga dalam kurun waktu kurang lebih 6 tahun
dari “set point” yang ditetapkan.
2. Immunotherapy dengan menggunakan interleukin-2 dapat meningkatkan

jumlah sel T CD4+, tetapi tidak bisa mengurangi jumlah virus HIV sampai
nol (habis), jadi hanya dapat memperlambat penyakit HIV ke tingkatan
oportunistik.
3. Dosis interleukin-2 yang