Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV
HEPATITIS VIRAL PADA INFEKSI HIV
MELATI SILVANI NASUTION
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
I. Pendahuluan........................................................................................ 1 II Epidemiologi........................................................................................ 1 III Hepatitis B dan HIV ........................................................................... 2
1. Epidemiologi....................................................................................... 2 2. Patogenesis.......................................................................................... 3 3. Riwayat Alami Koeinfeksi HIV dan HBV ......................................... 3 4. Skrining HBV pada Pasien HIV ......................................................... 4 5. Kapan diberikan Terapi Hepatitis B Kronik pada HIV....................... 6 6. Obat Antiviral hepatitis B Kronik pada pasien HIV ........................... 7 7. Pilihan Terapi Hepatitis B kronik pada pasien HIV ………………... 9 IV. Hepatitis C dan HIV ........................................................................... 11 1. Epidemiologi....................................................................................... 11 2. Perjalanan Klinis dan Patogenesis ...................................................... 12 3. Komplikasi lain dari Koeinfeksi HIV dan HCV ................................. 13 4. Progresifitas HCV dengan Koinfeksi.................................................. 14 5. Skrining HCV pada Pasien HIV ......................................................... 15 6. Penatalaksanaan HCV pada Infeksi .................................................... 16 V. Kesimpulan.......................................................................................... 19 VI. Daftar Pustaka .................................................................................... 21
Universitas Sumatera Utara
HEPATITIS VIRAL PADA INFEKSI HIV
Melati Silvanni Nst, Endang S, Saut Marpaung, Fransciscus Ginting, Tambar Kembaren, Armon Rahimi, Yosia Ginting
Divisi Penyakit Tropik & Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK USU
PENDAHULUAN
Infeksi Virus Hepatitis B (HBV) dan Virus Hepatitis C (HVC) sering terjadi pada pasien-pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) oleh karena jalur transmisi virusnya. Penyakit hati yang disebabkan oleh infeksi HBV kronik dan HCV menjadi penyebab kematian utama yang berhubungan dengan penyakit hati, yang ternyata berbanding terbalik dengan jumlah CD4. Juga terdapat peningkatan terhadap kejadian kanker hati dan efek hepatotoksik yang berhubungan dengan obat antiretroviral pada pasien-pasien dengan koinfeksi HBV dan HCV. Ditemukannya pengobatan-pengobatan terbaru untuk infeksi HBV dan HCV telah meningkatkan kesempatan untuk mengatasi infeksi ini dan berpotensi dalam mencegah komplikasi penyakit hati.1,2
EPIDEMIOLOGI
Infeksi hepatitis B kronik (HBV) dijumpai pada 10% individu dengan infeksi HIV di seluruh dunia dengan persentase berbeda-beda berdasarkan wilayah geografisnya. Infeksi hepatitis C kronik (HCV) dijumpai pada 25% individu dengan infeksi HIV, dengan angka yang lebih tinggi pada pengguna narkoba jarum suntik dan individu yang terinfeksi melalui darah yang terkontaminasi atau produk darah.
Prevalensi koinfeksi HBV atau HCV bervariasi tergantung pada faktor risiko pasien untuk menderita HIV. HCV lebih efektif menular melalui paparan langsung dari darah yang terkontaminasi atau dari produk darah. Angka rata-rata transmisi secara vertikal dan perinatal rendah, meskipun meningkat pada kejadian koinfeksinya.3 Transmisi HCV secara seksual tidak efisien dan risiko sebenarnya yang berhubungan dengan berbagai jenis aktivitas seksual masih belum diketahui, meskipun terdapat peningkatan kemungkinan bahwa infeksi akut HCV berhubungan dengan perilaku seksual yang tidak aman pada laki-laki homoseksual.4 Di Amerika Serikat, HIV dan koinfeksi HCV lebih sering terjadi pada pasien-pasien yang memiliki penyakit hemofilia atau pengguna obat-obatan intravena. Diantara pasien-pasien tersebut, angka rata-rata kejadian koinfeksi mencapai 70-95% dibandingkan dengan 1-12% pada laki-laki homoseksual.3
Universitas Sumatera Utara
Di Amerika Serikat dan Eropa barat, HBV biasanya sering terjadi pada dewasa muda atau usia tua yang beraktivitas seksual bebas. Walaupun terdapat angka bersihan spontan HBV yang tinggi pada usia dewasa yang imunokompeten, infeksi kronik terjadi pada 20% orang dewasa dengan infeksi HIV setelah terpapar HBV.5 Prevalensi secara umum infeksi HBV kronik diantara orang-orang dengan infeksi HIV positif pada Amerika Serikat dan Eropa barat kurang dari 10% dan angka tertinggi terjadi pada laki-laki homoseksual dan pada pengguna narkoba jarum suntik. Pada wilayah dimana transmisi HBV secara vertikal dan perinatal sering terjadi, seperti di Asia dan Afrika, infeksi kronik HBV terjadi lebih dari 90% pada bayi baru lahir yang terpapar HBV. Sehingga, prevalensi infeksi HBV diantara orang yang terinfeksi HIV bervariasi, dari 5-10% di Amerika Serikat sampai 20-30% di Asia dan Afrika.3
HEPATITIS B DAN HIV 1. EPIDEMIOLOGI
Diantara hampir 35 juta orang saat ini yang hidup dengan HIV, terdapat sekitar 3 juta yang mengalami infeksi HBV yang kronik. Prevalensi koinfeksi HIV dengan HBV bervariasi secara geografis, kemungkinan besar oleh karena adanya perbedaan pada rute transmisi yang predominan. Studi-studi yang memfokuskan terhadap perjalanan penyakit hepatitis B pada HIV menunjukkan peningkatan risiko perburukan penyakit hati dan kematian pada individu dengan koinfeksi.5 Pada daerah dengan endemisitas HBV yang rendah, seperti Amerika Serikat, Australia dan Eropa, HBV dan HIV biasanya terjadi pada dewasa melalui hubungan seksual atau transmisi perkutaneus. Di daerah ini, prevalensi koinfeksi HBV sekitar 5%-7% pada pasien dengan infeksi HIV namun beragam pada rute transmisinya. Prevalensi yang paling tinggi adalah pada laki-laki homoseksual dan paling rendah pada heteroseksual. Pada negara-negara dengan endemis HBV yang tinggi, rute transmisi paling sering dari perinatal atau pada masa kanak-kanak awal, sehingga infeksi HBV mendahului infeksi HIV beberapa tahun kemudian. Pada daerah ini, prevalensi koinfeksi HBV-HIV sekitar 10%-20%.1,2,5
Gambar 1. Prevalensi HBV berdasarkan geografis dan rute infeksinya1
Strain HBV dapat digolongkan menjadi 8 genotipe, dari A sampai H berdasarkan urutan minimum yang berbeda berkisar 8% dari seluruh genom. Penelitian dari beberapa
Universitas Sumatera Utara
negara memberi petunjuk bahwa genotipe HBV berpengaruh terhadap perjalanan penyakit hati dan responnya terhadap obat-obat antiviral. Namun demikian masih belum jelas, apakah hasil penelitian tersebut dapat digeneralisir untuk semua pengidap HBV di seluruh belahan dunia. Genotipe HBV memiliki distribusi yang berbeda secara geografis, dimana genotipe A dominan di Eropa Utara, Amerika Selatan dan Utara dan beberapa wilayah di Afrika. Genotipe B dan C biasanya ditemukan di Asia Timur dan baru-baru ini dikaitkan dengan risiko peningkatan kejadian kanker hati. Genotipe D sering terdapat di Mediterania, genotipe E di Afrika, genotipe F di Amerika Tengah dan Selatan, genotipe G di Prancis dan Amerika Serikat dan genotipe H di Amerika Utara. Di Indonesia terdapat 4 genotipe HBV yaitu genotipe A, B, C, dan D. Distribusi geografis genotipe HBV haruslah dilihat sebagai fenomena dinamik yang disebabkan oleh peningkatan migrasi populasi. Namun, informasi mengenai genotipe HBV pada infeksi HIV sangat jarang dan memerlukan studi yang lebih lanjut.6
2. PATOGENESIS
Sepertinya berlawanan bahwa penyakit hati oleh karena infeksi HBV yang diperantarai imun terjadi eksaserbasi karena status imunodefisiensi yang disebabkan oleh HIV. Terdapat beberapa alasan yang mungkin atas hubungan yang berlawanan ini. Pada pasien dengan infeksi HIV, progresivitas penyakit hati yang cepat disebabkan karena efek sitopatik viral daripada respon imun, yang mana disebut dengan hepatitis kolestatik. Sehingga, masuk akal jika varian HBV, yang biasa terjadi pada infeksi HIV, dapat berperan dalam peningkatan penyakit hati pada infeksi HIV.
Ada juga hipotesis yang mengatakan bahwa modulasi HIV terhadap respon imun spesifik HBV dapat mengubah lingkungan sitokin hepar yang kemudian berefek pada penyakit hati. Namun, hipotesis ini masih belum diteliti lebih lanjut.
Yang terakhir, dikatakan bahwa HBV mempengaruhi replikasi HIV, hal ini dimungkinkan karena protein X berinteraksi dengan NK-kB atau kB-like cellular transcriptional factors. Proses tersebut berdampak pada limfosit untuk membentuk komplek dan mengikat HIV, mendorong ke arah upregulation replikasi HIV. HIV-HBV sering terdapat bersamaan pada limfosit. Pol-encoded protein HBV menekan produksi interferon yang memungkinkan replikasi HIV. Penderita HBV kronis terdapat peningkatan kadar TNFα, maka melalui jalur sitokin dapat mendorong upregulate HIV melalui induksi NF-kB sehingga replikasi HIV meningkat.9
3. RIWAYAT ALAMI KOINFEKSI HIV DAN HBV a. Dampak HIV pada viral load, penularan dan sifat kronis
Orang tertular hepatitis B pada masa dewasa membutuhkan kekebalan yang kuat untuk memulihkan infeksi akut dan mencegah perkembangan infeksi kronis; hal ini dapat dicapai pada orang tanpa infeksi HIV (>90%). Namun, orang dewasa dengan HIV yang terinfeksi HBV memiliki pemulihan yang lebih rendah, mungkin terkait dengan tingkat
Universitas Sumatera Utara
kekebalan pada saat tertular HBV. Orang dengan koinfeksi HBV-HIV yang belum diobati memiliki angka HbsAg/HbeAg positif dan HBV DNA yang lebih tinggi, namun nilai transaminase dan nekroinflamasi dari histologi yang lebih rendah daripada pada monoinfeksi HBV.
b. Dampak HIV pada perkembangan penyakit hati HBV
HIV berkaitan dengan efek imunosupresannya memiliki dampak terhadap perjalanan penyakit infeksi HBV.8 Studi-studi epidemiologi menunjukkan bahwa : 1. Kadar HBV DNA dan angka reaktivasi lebih tinggi pada pasien-pasien yang terinfeksi
HIV daripada dengan HBV sendiri; risiko reaktivasi mungkin berhubungan dengan rendahnya jumlah CD4. 2. Kemunculan kembali HbsAg dan viremia HBV telah didokumentasikan pada pasienpasien HIV dengan koinfeksi HBV yang memiliki marker serologis konsisten dengan infeksi HBV yang telah sembuh. 3. Pasien-pasien yang terinfeksi HIV memiliki angka bersihan HbeAg spontan yang rendah. Predisposisi pasien-pasien terinfeksi HIV untuk mengalami infeksi kronik setelah terpapar infeksi HBV telah ditunjukkan dalam studi mengenai vaksin hepatitis B pada pasienpasien seronegatif dan seropositif HIV yang sebelumnya belum terinfeksi HBV. Infeksi kronik HBV terjadi pada 21% pasien dengan terinfeksi HIV dibandingkan dengan 7% kontrol pasien dengan HBV saja. Perbedaan ini tidak dapat dijelaskan oleh karena makin seringnya infeksi HBV akut pada pasien-pasien yang terinfeksi HIV.10
4. SKRINING HBV PADA PASIEN HIV
Beberapa studi menunjukkan bahwa salah satu alasan utama pengobatan HBV yang tidak adekuat pada pasien HIV adalah kurangnya pengetahuan terhadap status HBV kronik. Memberitahukan informasi bagaimana transmisinya, investigasi pemeriksaan serologis HBV seperti HBV Surface Antigen (HbsAg), Antibodi terhadap HbsAg (anti-HBs) dan antibodi anti-core (anti-HBc), haruslah dilakukan pada pasien-pasien dengan infeksi HIV.
Tabel 1. Interpretasi hasil pemeriksaan serologi untuk infeksi HBV 10
Universitas Sumatera Utara
Bila HbsAg terdeteksi, keberadaan replikasi HBV secara aktif harus dinilai melalui tes kuantitatif untuk HBV DNA (viral load). Tingkat HBV DNA berhubungan dengan risiko penularan, penyakit hati lanjutan dan peradangan hati yang flare. HBV DNA dapat dihitung dengan tes non amplifikasi atau tes amplifikasi. Interval pemeriksaan haruslah secara ideal tidak lebih dari 12 bulan jika tidak dalam terapi anti HBV dan 6 bulan jika dalam terapi anti HBV.
Penting juga menentukan status antigen e HBV (HbeAg) karena tingkat DNA yang bermakna secara klinis tidak tentu dan tergantung pada status HbeAg. Saat ini dianjurkan pada pasien HbeAg (+), viral load >105 copy/ml bermakna secara klinis, sementara pada pasien HbeAg (-), viral load >104 copy/ml dianggap bermakna. Tes amplifikasi seperti PCR lebih dipilih dalam penilaian replikasi, terutama pada infeksi HbeAg(-), karena tes non amplifikasi hanya mempunyai sensitivitas 105 copy/ml. Orang dengan tingkat HBV DNA yang sangat tinggi sebaiknya dinilai lebih lanjut dan dipertimbangkan untuk terapi antiviral
Bila ada bukti biokimia adanya peradangan hati (didefinisi sebagai tingkat ALT diatas batas atas nilai normal), biopsi hati umumnya dianjurkan untuk menentukan grade dan stadium penyakit. Pada pasien-pasien HIV-HBV dengan sirosis hepatis, interval waktu yang lebih cepat lebih adekuat, dan pemeriksaan alfa feto protein dan USG abdomen harus dilakukan dalam interval 6 bulan.2,5,10
Gambar 2. Algoritme penyelidikan untuk menilai HBV pada orang koinfeksi HIV 6
Universitas Sumatera Utara
5. KAPAN DIBERIKAN TERAPI HEPATITIS B KRONIK PADA PASIEN HIV
Keputusan untuk memberikan terapi hepatitis B kronik pada pasien HIV dengan koinfeksi HBV haruslah berdasarkan pertimbangan yang hati-hati terhadap faktor prognostik perkembangan penyakit hatinya, berat penyakit hati yang sekarang, respon tubuh terhadap obat anti HBV, risiko terhadap efek samping obat dan kebutuhan akan terapi antiretroviral untuk HIVnya. Pasien HIV dengan koinfeksi HBV dengan replikasi HBV aktif dan peningkatan aminotransferase haruslah berhati-hati untuk mendapatkan terapi anti HBV, karena dapat memperberat kerusakan hati. Pada infeksi HIV, hepatitis B kronik cepat berkembang menjadi sirosis dan respon terhadap terapi anti HBV dapat berkurang karena progresivitas imunodefisiensinya. Tujuan pengobatan HBV adalah sama dengan terhadap individu dengan atau tanpa koinfeksi HIV; serokonversi HbeAg pada pasien-pasien dengan HbeAg (+), normal ALT, perbaikan pada pemeriksaan histologi hatinya, supresi HBV DNA serum yang menetap, mengurangi kejadian dekompensasi hepatik pada pasien-pasien dengan sirosis yang lanjut dan mengurangi risiko terjadinya kanker hati.2,5,6
Keuntungan dari menghentikan replikasi HBV telah dimengerti; dengan menunjukkan adanya hubungan langsung antara kadar HBV DNA serum dengan risiko kejadian sirosis dan kanker hati, tanpa melihat status HbeAg dan/atau peningkatan enzim hati. Guideline HBV terbaru merekomendasikan untuk memulai terapi anti HBV pada individu dengan HbeAg (+) jika HBV DNA serum >2 x 104 IU/ml. Sebaliknya, pada pasien dengan HbeAg (-), nilai HBV DNA serum yang harus diberikan terapi adalah 2 x 103 IU/ml.11
Pada pasien HIV dengan infeksi HBV kronik, pengobatan haruslah lebih dipikirkan daripada pada pasien tanpa infeksi HIV. Gambar 3 menunjukkan algoritma pengobatan anti HBV pada pasien HIV, yang dibagi berdasarkan tiga parameter yaitu HBV DNA serum, ALT dan tingkatan fibrosis hati.2 Jika kadar viremia lebih dari 2000 IU/ml dan/atau ALT meningkat, kerusakan hati yang berat mungkin terjadi, sehingga pengobatan anti HBV haruslah dianjurkan. Dengan kata lain, fibrosis hati yang berat atau sirosis secara sporadis dapat dilihat pada pasien dengan HBV DNA serum yang rendah dan/atau ALT yang normal ; dan berdasarkan hal ini pasien-pasien tersebut juga dapat memperoleh keuntungan dari terapi antiviral.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Penatalaksanaan Hepatitis B kronis pada koinfeksi HIV-HBV. Kapan waktunya diterapi2
6. OBAT ANTIVIRAL HEPATITIS B KRONIK PADA PASIEN HIV
Tujuh jenis obat telah disetujui sejauh ini sebagai terapi hepatitis B kronik dan yang lain, Emtricitabine kombinasi dengan Tenefovir masih dalam penelitian.2,5,11,12
1. Interferon α-2b Merupakan obat pertama yang disetujui untuk mengobati hepatitis B kronik. Interferon
alpha standard (IFNα) telah diganti oleh pegylated IFNα pada beberapa keadaan. IFNα (atau pegylated IFNα) efektif terhadap pasien hepatitis B kronik dengan peningkatan ALT, HBV DNA serum yang rendah dan genotipe HBV A dan B. Obat ini kontraindikasi terhadap pasien-pasien dengan sirosis dekompensata, karena dapat mengeksaserbasi kejadian dekompensata. Enzim hati yang meningkat selama terapi IFNα sering terjadi pada pasien-pasien HIV dibandingkan HIV yang negatif karena alasan yang belum jelas. Efikasi IFNα lebih rendah pada pasien HIV dengan HBV tanpa melihat kadar CD4 yang mungkin sebagian besar disebabkan oleh karena kelainan yang diperantarai imun. Rekomendasi durasi terapi adalah selama 12 bulan. 2. Pegylated interferon α-2a
Bentuk pegylated dari IFNα memiliki waktu paruh yang lebih lama dan potensi yang lebih tingi dari pada IFNα standar. Pada individu dengan monoinfeksi HBV, pegylated IFNα lebih efektif daripada IFNα standar. Pada pasien-pasien dengan HbeAg (+), hampir sepertiga pasien menunjukkan HbeAg (-) dan ALT yang normal selama 12 bulan terapi. Trial-trial membandingkan pegylated IFNα dan lamivudine menunjukkan serokonversi HbeAg, supresi HBV DNA serum dan normalisasi ALT lebih tinggi pada pegylated IFNα daripada lamivudine, namun yang menarik tidak ada keuntungan jika kedua obat tersebut dikombinasikan.
Pada koinfeksi HBV/HIV, terapi berdasarkan IFN berhubungan dengan rendahnya angka keberhasilan terapi dan peningkatan toksisitas. Sehingga, obat ini hanya boleh diresepkan pada pasien-pasien sirosis non dekompensata yang tidak memerlukan terapi antiviral dan memiliki kemungkinan respon yang baik terhadap IFNα, seperti pada
Universitas Sumatera Utara
HbeAg(+), peningkatan ALT dan HBV DNA serum yang rendah. Pengobatan biasanya membutuhkan waktu 12 bulan. Gambar 4 menunjukkan obat antiviral yang cocok untuk mengobati hepatitis B kronik pada pasien-pasien HIV berdasarkan kebutuhan akan antiretroviral dan status HbeAg2
Gambar 4. Penatalaksanaan hepatitis B kronik pada koinfeksi HIV-HBV. Obat mana yang digunakan2
Jika pertanda respon terhadap IFNα atau pegylated IFNα tidak tercapai setelah 12 bulan terapi, pengobatan diganti dengan analog nukleosida haruslah dipikirkan. Memberikan obat-obat jenis ini biasanya lebih ditoleransi, terapi biasanya diberikan dalam jangka waktu yang tidak dapat ditetapkan
Kombinasi pegylated IFNα dan analog nukleosida oral telah dibandingkan dengan pemberian lamivudine dan adefovir pada individu dengan monoinfeksi HBV. Tidak ada keuntungan yang signifikan dalam hal potensi antiviral yang lebih besar dibandingkan dengan monoterapi pegylated IFNα. 3. Lamivudine (3TC)
Lamivudine adalah analog nukleosida yang menekan replikasi HIV dan HBV dengan menghambat pekerjaan enzim reverse trancriptase virus, meskipun dosis untuk mensupresi HBV (100 mg/hari) lebih rendah dibandingkan dosis yang dibutuhkan dalam mensupresi HIV (300 mg/hari). Efektivitas 3TC dalam pengobatan hepatitis B kronik sudah cukup diketahui, menghasilkan penurunan yang signifikan terhadap kadar HBV DNA serum dan kadar ALT, perbaikan pada histologi hati dan peningkatan hilangnya HbeAg. Namun, masalah utama dengan pemberian jangka lama 3TC adalah pilihan resistensi viral, dimana sering terjadi karena rebound pada HBV DNA serum dan enzim hati meningkat drastis. Untuk mengobati koinfeksi HBV-HIV dosis 3TC yang direkomendasikan adalah 300 mg/hari dan obat ini harus selalu diberikan dengan sedikitnya dua obat anti HIV lainnya, kalau tidak akan terjadi mutasi resistensi HIV.
Diberikan secara oral, tolerabilitas yang baik dan hanya satu tablet per hari, 3TC telah banyak digunakan sebagai obat anti HBV, termasuk pada pasien dengan koinfeksi HIV,
Universitas Sumatera Utara
banyak yang telah menerima terapi 3TC jangka lama. Mutasi resistensi HBV dapat dikenali lebih dari 90% pada pasien-pasien dengan HIV yang telah menerima terapi antiretroviral termasuk 3TC selama lebih dari 4 tahun. 4. Adefovir (ADV)
Adefovir merupakan analog nukleotida pertama yang disetujui sebagai terapi infeksi HBV. Obat ini juga dapat menghambat HIV pada dosis yang lebih besar daripada yang diberikan pada infeksi HBV, namun dapat meningkatkan risiko nefrotoksisitas. Pada dosis 10 mg/hari, ADV mensupresi replikasi HBV. ADV jiuga menghambat replikasi HBV yang resisten terhadap 3TC.
Pada individu dengan koinfeksi HIV-HBV, pemberian ADV dilakukan pada 35 pasien dalam terapi antiretroviral termasuk 3TC. Setelah 144 minggu pemberian ADV, penurunan kadar HBV DNA serum terlihat pada 45% subjek, dimana lebih sedikit dari 56% pada subjek dengan monoinfeksi HBV. 5. Entecavir (ETV)
Entecavir adalah analog guanosin yang menghambat replikasi HBV dengan tiga tahapan (priming, reverse transcriptase dan positive strand synthesis). ETV ternyata lebih poten dalam mensupresi HBV DNA serum dibandingkan 3TC dan ADV dan dapat diberikan pada orang yang belum membutuhkan terapi ARV. 6. Telbivudine (LdT)
Telbivudine adalah L-analog timidin tanpa efek melawan HIV. LdT memiliki efikasi antiviral yang lebih besar dibandingkan 3TC maupun ADV pada pasien hepatitis B kronik. 7. Emtricitabine (FTC)
Seperti 3TC, FTC merupakan analog sitosin dengan efek antiviral melawan HBV dan HIV. FTC memiliki waktu paruh yang lebih lama dibandingkan 3TC dan sama-sama cepat mengurangi HBV DNA serum pada dosis 200 mg/hari. Supresi replikasi HBV terjadi lebih dari 48 minggu terapi pada lebih dari separuh pasien. Belum ada data pemberian monoterapi FTC pada koinfeksi HBV-HIV. 8. Tenofovir (TDF)
Tenofovir adalah analog nukleotida adenosin, sudah dipakai sebagai terapi infeksi HIV. TDF juga menunjukkan efek yang poten melawan HBV pada pasien dengan atau tanpa resistensi 3TC.
7. PILIHAN TERAPI HEPATITIS B KRONIK PADA PASIEN HIV
Jika infeksi HBV membutuhkan terapi namun infeksi HIV tidak perlu yang biasanya berdasarkan peningkatan jumlah CD4 (>350 sel/mm3), pilihan terapi untuk HBV haruslah termasuk obat yang tidak memiliki efek melawan HIV, seperti pegylated IFNα, ADV atau LdT.2 Pemberian pegylated IFNα selama 12 bulan dapat dianjurkan pada pasien-pasien dengan kadar CD4 yang tinggi dan HbeAg (+), peningkatan ALT, HBV DNA serum yang rendah dan fibrosis hati yang minimal, terutama jika terinfeksi HBV genotipe A. Hampir sepertiga dari
Universitas Sumatera Utara
pasien-pasien tersebut dapat menunjukkan supresi HBV DNA serum yang bertahan sampai penghentian terapi, keuntungan yang mungkin tidak dapat tercapai dengan terapi yang lainnya. Kelemahan pegylated IFNα adalah tolerabilitasnya yang rendah dan efikasi yang rendah pada HIV.11
Pada pasien-pasien lainnya dengan koinfeksi HBV-HIV yang tidak memerlukan terapi antiretroviral, obat nukleosida jangka lama merupakan satu-satunya pilihan. Sampai saat ini, baik ADV atau LdT merupakan alternatif yang baik, meskipun memberikan risiko obat yang resisten, strategi “early add-on” harus dipikirkan pada pasien yang tidak mencapai HBV DNA serum yang tidak terdeteksi pada 24 minggu terapi.2 Menambah jenis obat daripada menggantinya harus disarankan, karena terdapat bukti untuk efek protektif melawan resistensi dan kurangnya efek sinergistik dan additif obat antiviral jika diberikan dengan kombinasi.
Gambar 5. Pendekatan terapi pada HBV. Kombinasi terapi dari awal atau “early add-on therapy” 2
Pilihan terapi untuk pasien dengan infeksi HBV dan HIV yang harus diterapi keduanya, dibagi untuk pasien yang baru mendapatkan terapi dan yang sudah pernah mendapatkan terapi. Untuk pasien yang baru mendapatkan terapi disarankan kombinasi pemberian TDF ditambah FTC (atau 3TC).2 Penggunaan dua obat anti HBV penting untuk pasien dengan sirosis sangatlah penting. Interval dosis TDF harus dimodifikasi pada pasien dengan klirens kreatinin 60% yang diidentifikasi merupaka genotipe 1.14 Genotipe 1 mempunyai kecepatan replikasi yang lebih besar daripada genotipe lainnya sehingga prognosisnya lebih buruk. Genotipe 1 dan 4 memerlukan terapi yang lebih lama. Genotipe 2 dan 3 diketahui memiliki respon yang lebih baik dengan terapi interferon.13,15,17
Berlawanan dengan individu dengan HIV (-), infeksi akut HCV dapat menunjukkan bersihan viral yang spontan pada 30% kasus selama 12 minggu awal setelah paparan awal, pasien-pasien HIV (+) mengalami kronisitas lebih dari 80% kasus.13 Sehingga, intervensi terapi awal pada pasien hepatitis C diindikasikan pada individu dengan HIV (+), meskipun terapi jangan diberikan dahulu sebelum 12 minggu dari paparan, dalam rangka menghapus bersihan spontan HCV. Terlalu lama ditunda, haruslah diperhatikan karena akan menurunkan respon terapi. Pengobatan hepatitis C akut pada HIV (+) jarang sembuh dibandingkan dengan HIV (-) (60% vs 80%).
Universitas Sumatera Utara
2. PERJALANAN KLINIS DAN PATOGENESIS
Perjalanan klinis koinfeksi hepatitis C ditentukan oleh imunosupresi yang berkaitan dengan HIV. Progresivitas imunosupresi meningkatkan kejadian hepatitis C. Periode laten sampai kejadian gagal hati atau kanker hati diperkirakan terjadi 10-20 tahun, dimana terjadi pada 30-40 tahun pada monoinfeksi HCV.16,17
Kemajuan terapi terhadap infeksi HIV telah meningkatkan kemungkinan pasien mengalami kejadian gagal hati. Hubungan dengan penurunan angka kematian dengan infeksi HIV telah menyebabkan peningkatan relatif terhadap angka mortalitas yang berhubungan dengan hepatitis. Pada beberapa sentra, gagal hati merupakan penyebab kematian tersering pada pasien dengan infeksi hati. Dampak buruk hepatitis C pada infeksi HIV dapat diatasi dengan pengobatan infeksi HIV dengan HAART. Tambahan, perkembangan gagal hati dapat diperlama dengan memperbaiki fungsi imun dengan terapi HAART.16
Disisi lain, infeksi hepatitis C dapat memperburuk kemungkinan hepatotoksisitas terhadap beberapa regimen HAART. Hampir 10% pasien harus menghentikan HAART karena hepatotoksisitas yang berat. Risiko ini berhubungan terutama dengan obat-obat golongan nukleotida. 16
Pada beberapa pasien koinfeksi, peningkatan sementara transaminase terlihat setelah pemberian HAART, hal ini kemungkinan disebabkan karena peningkatan aktivitas inflamasi hepatitis C akibat peningkatan status imunnya.17
Penyakit hati yang berkaitan dengan HCV termasuk fibrosis, sirosis dan gagal hati meningkat pada individu dengan infeksi HIV. Progresivitas menjadi sirosis tiga kali lebih tinggi pada pasien-pasien koinfeksi daripada monoinfeksi dan hampir 33% menjadi sirosis kurang dari 20 tahun. Metaanalisis dari 17 studi menemukan 21% kejadian sirosis dari 3567 individu dengan koinfeksi setelah 20 tahun dan 49% setelah 30 tahun.
Steatosis hepar, komplikasi yang sering pada monoinfeksi HCV dan koinfeksi HIV-HCV (40%-75%), berhubungan dengan progresivitas fibrosis. Steatosis hepar berhubungan dengan peningkatan indeks massa tubuh, diabetes, peningkatan kadar ALT, HCV genotipe 3, nekroinflamasi dan fibrosis.
Mekanisme untuk menjelaskan peningkatan penyakit hati pada pasien-pasien koinfeksi tidak begitu jelas, namun mungkin berhubungan dengan efek langsung viral dan reaksi imunologis seperti aktivasi imun, apoptosis dan hilangnya respon sel T spesifik HCV.17,18 Aktivasi imun oleh perubahan sitokin karena HIV (seperti IL-4, IL-5, IL-13, TGF-β) yang meningkatkan inflamasi dan fibrosis hati. Koinfeksi meningkatkan apoptosis hepatosit melalui jalur Fas/FasL yang dapat memperberat penyakit hati. Akumulasi sel sitotoksik CD8 di dalam hati yang meningkatkan mediator-mediator inflamasi pada koinfeksi dibandingkan dengan pasien-pasien monoinfeksi HCV juga dapat menyebabkan peningkatan kerusakan jaringan pada pasien-pasien koinfeksi. Bukti terbaru menunjukkan sel CD8 spesifik HIV berakumulasi di hati pada koinfeksi dan memproduksi TNF-α, dimana berhubungan dengan fibrosis hati.18
Universitas Sumatera Utara
Replikasi HIV terdapat pada hepatosit dan Hepatic Stellate Cells (HSC). Infeksi HIV yang mengaktifkan HSC menyebabkan pengeluaran kolagen dan sekresi sitokin-sitokin proinflamasi. Sebagai tambahan dari infeksi, protein HIV merangsang hepatosit untuk berapoptosis dan mengeluarkan kemokin dan sitokin inflamasi yang menyebabkan fibrosis.18
Resistensi insulin juga terjadi pada HCV kronik, dan memberat pada steatosis hati dan progresivitas penyakit hati. Mekanisme resistensi insulin pada penyakit hati diantara pasienpasien dengan infeksi HCV tidak diketahui, namun hiperinsulinemia dan hiperglikemia menstimulasi HSC, menyebabkan peningkatan growth factor jaringan ikat dan akumulasi dari matriks ekstraseluler.16
Gambar 7. Patogenesis koinfeksi HIV-HCV 15
3. KOMPLIKASI LAIN DARI KOINFEKSI HIV-HCV16
a. Gangguan Imun dan Hematologis Sebuah studi retrospektif besar menemukan bahwa pada pasien-pasien koinfeksi HCV
memiliki kadar C-Reactive Protein (CRP) yang lebih rendah dibandingkan pasien-pasien monoinfeksi HIV, menunjukkan bahwa HCV menurunkan kemampuan hati untuk mensekresikan CRP. Trombositopenia yang berhubungan dengan HIV merupakan masalah yang penting pada era HAART dan hal ini berhubungan dengan sirosis juga infeksi HCV tanpa penyakit hati yang berat.
Universitas Sumatera Utara
b. Penyakit Ginjal Koinfeksi HCV berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit ginjal yang
berhubungan dengan HIV, termasuk proteinuria dan gagal ginjal akut, dibandingkan pada monoinfeksi HIV. Koinfeksi HCV juga berhubungan dengan angka kejadian gagal ginjal kronik yang lebih tinggi dimana prevalensi HCV meningkat dengan perburukan laju filtrasi glomerulus. c. Penyakit Kardiovaskular
Koinfeksi HCV berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit serebrovaskular dan akan meningkatkan risiko infark miokard akut diantara pasien-pasien infeksi HIV. Pasienpasien infeksi HIV memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular karena HAART dan inflamasi kronik yang berhubungan dengan HIV dapat menyebabkan disfungsi endotel. d. Status Neurologis
HIV dan HCV sama-sama bereplikasi di otak dan cairan serebrospinal dan berhubungan dengan sindroma neurokognitif dan neuropati perifer. Pada pasien-pasien koinfeksi menunjukkan gangguan motor-kognitif yang signifikan dibandingkan dengan pasien-pasien monoinfeksi HIV dan peningkatan kejadian gangguan kognitif global, terutama dalam belajar dan memori
4. PROGRESIVITAS PENYAKIT HCV DENGAN KOINFEKSI HIV
Pada pasien-pasien dengan infeksi kronik HCV, infeksi bersamaan dengan HIV berhubungan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi dengan kejadian gagal hati.16,18 Pasien-pasien dengan infeksi HIV memiliki angka bersihan viral spontan yang lebih rendah selama infeksi akut, dimana mungkin disebabkan oleh gangguan respon limpoproliperatif terhadap antigen HCV. Pasien-pasien dengan hepatitis C dengan penyakit HIV cepat berkembang menjadi sirosis daripada pasien hepatitis C saja. Faktor risiko berhubungan dengan tingginya progresitivitas fibrosis termasuk konsumsi alkohol, umur, jumlah CD4 350 sel/ml. Akan tetapi, bila CD4 < 350 sel/ml, maka pasien diberikan terapi ARV saja terlebih dahulu sampai CD4 > 350 sel/ml. Setelah itu, baru diberikan antiviral bersama dengan ARV. Pegylated IFN dan ribavirin dapat digunakan untuk kasus koinfeksi seperti ini selama 48 minggu dengan dosis sama dengan yang direkomendasikan untuk infeksi HCV saja.15
Pegylated IFN dengan dosis 180 µg secara subkutan per minggu ditambah dengan ribavirin dengan dosis 1000 mg untuk BB≤75 kg dan 1200 mg untuk BB > 75 kg merupakan terapi HCV standar pada pasien-pasien monoinfeksi maupun koinfeksi. Walaupun konsensus merekomendasikan 48 minggu pemberian terapi HCV pada pasien-pasien koinfeksi,19 studi terbaru yang meneliti respon terapi, dengan lamanya terapi berdasarkan respon virologis pada pemberian terapi di minggu ke 4, 12 dan 24. Hasilnya mengejutkan, dimana 55% mencapai
Universitas Sumatera Utara
SVR. Diantara pasien yang gagal dengan terapi awal, terapi kembali dengan pegylated IFN ditambah ribavirin selama 12 bulan mencapai SVR pada sepertiganya.20
Gambar 9. Durasi optimal yang dianjurkan untuk terapi HCV pada pasien koinfeksi HIV-HCV 11
Prediktor terbaik keberhasilan terapi adalah respon kinetik virologis, termasuk Rapid Viral Response (RVR), yaitu viral load HCV dibawah kadar terdeteksi 4 minggu setelah pemberian terapi awal, Early Viral Response (EVR), yaitu tidak terdeteksinya viral load atau turun 2 log dari nilai awal 12 minggu setelah pemberian terapi awal, dan Sustain Viral Response (SVR), yaitu tidak terdeteksinya HCV selama 24 minggu terapi komplit. Jika HCV RNA yang tidak terdeteksi pada minggu ke empat merupakan prediktor terbaik SVR pada pasien-pasien koinfeksi, kadar awal HCV RNA serum merupakan prediktor independen SVR pada pasien HCV genotipe 1.13,15,16
Hasil dari beberapa penelitian mengenai dampak jumlah CD4 terhadap respon kinetik virologis berbeda-beda. Pada satu studi besar mengenai pegylated IFN ditambah dengan Ribavirin pada pasien-pasien koinfeksi yang mengikutsertakan beberapa pasien dengan jumlah CD4 350 sel/ml. Jika 350 sel/ml.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
1. Koziel MJ, Peters MG. Viral Hepatitis in HIV Infection. New England Journal of Medicine 2007 ; 356 :1445-1454
2. Soriano V, Vispo E, et al. Viral Hepatitis and HIV co-infection. Antiviral Research 2010 ; 85 : 303-315
3. Alter MJ. Epidemiology of viral hepatitis and HIV co-infection. Journal of Hepatology 2006 ; 44 : suppl : S6-S9
4. Gotz HM, Van Doornum G, et al. A cluster of acute hepatitis C virus infection among men who have sex with men. AIDS 2005 ; 19 : 969-74
5. Soriano V, Puoti M, et al. Care of HIV patients with chronic hepatitis B : Updated recommendation from the HIV-HBV International Panel. AIDS 2008 ; 22 : 1399-1440
6. Budihusodo U. Patogenesis dan Diagnosis Hepatitis B Kronik. Dalam : Pendekatan Terkini Hepatitis B dan C dalam Praktik Klinis Sehari-hari, editor Sulaiman AS, Sulaiman BS, Sulaiman HA, Ed 1, Sagung Seto 2010
7. Rehermann B, Nascimbeni M. Immunology of hepatitis B virus and hepatitis C virus infection. Nature Review of Immunology 2005 ; 5 : 215
8. McGovern BH. The epidemiology, natural history and prevention of hepatitis B : implications of HIV coinfection. Antiviral therapy 2007 ; 12 : suppl : H3
9. Nasronudin. Penatalaksanaan Koinfeksi Penderita HIV. Dalam : HIV dan AIDS Pendekatan biologi molekuler, klinis, dan sosial, editor Barakbah J, Soewandojo E, Suharto, Hadi U, Astuti WD, Airlangga
10. Hadler SC, Judson FN, et al. Outcome of hepatitis B virus infection in homosexual men and its relation to prior human immunodeficiency virus infection. Journal Of Infection Disease 1991 ; 163 : 454University Press 2007
11. Wasmuth JC, Rockstroh J. HIV and HBV/HCV Coinfections. In HIV Medicine 2007, editors Hoffmann C, Rockstroh JK, Kamps BS, 15th edition, Flying Publisher 2007
12. Lok A, McMahon B. Chronic hepatitis B. AASLD Practice Guidelines. Hepatology 2007 ; 41 : 275-279
13. Waspodo AS. Penatalaksanaan terkini hepatitis B. Dalam : Pendekatan Terkini Hepatitis B dan C dalam Praktik Klinis Sehari-hari, editor Sulaiman AS, Sulaiman BS, Sulaiman HA, Ed 1, Sagung Seto 2010
14. Thomas D, Astemborski J, et al. The natural history of hepatitis C virus infection : host, viral and environmental factors. JAMA 2000 ; 284 : 450-456
15. Hasan I, Laho IM. Penatalaksanaan terkini hepatitis C. Dalam : Pendekatan Terkini Hepatitis B dan C dalam Praktik Klinis Sehari-hari, editor Sulaiman AS, Sulaiman BS, Sulaiman HA, Ed 1, Sagung Seto 2010
16. Operskalski EA, Kovacs A. HIV/HCV co-infection : Pathogenesis, clinical complications, treatment and new therapeutic technologies. Curr HIV/AIDS Rep 2011 ; 8 : 12-22
Universitas Sumatera Utara
17. Singal, AK, Anad BS. Management of hepatitis c virus infection in HIV/HCV co-infected patients : clinical review. World J Gastroenterol 2009 ; 15 : 3713-3724
18. Rotman Y, Liang TJ. Coinfection with hepatitis c virus and human immunodeficiency virus : virological, immunological and clinical outcomes. Journal of Virology 2009 ; 83 : 7366-74
19. Soriano V, Puoti M, et al. Care of patients coinfected with HIV and hepatitis C virus : 2007 updated recommendation from the HCV-HIV International panel. AIDS 2007 ; 21 : 107389
20. Van den Eynde E, et al. Response-guided therapy for chronic hepatitis c virus infection in patients coinfected with HIV. Clinical Infection Disease 2009 ; 48 : 1152-1159
Universitas Sumatera Utara
MELATI SILVANI NASUTION
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
I. Pendahuluan........................................................................................ 1 II Epidemiologi........................................................................................ 1 III Hepatitis B dan HIV ........................................................................... 2
1. Epidemiologi....................................................................................... 2 2. Patogenesis.......................................................................................... 3 3. Riwayat Alami Koeinfeksi HIV dan HBV ......................................... 3 4. Skrining HBV pada Pasien HIV ......................................................... 4 5. Kapan diberikan Terapi Hepatitis B Kronik pada HIV....................... 6 6. Obat Antiviral hepatitis B Kronik pada pasien HIV ........................... 7 7. Pilihan Terapi Hepatitis B kronik pada pasien HIV ………………... 9 IV. Hepatitis C dan HIV ........................................................................... 11 1. Epidemiologi....................................................................................... 11 2. Perjalanan Klinis dan Patogenesis ...................................................... 12 3. Komplikasi lain dari Koeinfeksi HIV dan HCV ................................. 13 4. Progresifitas HCV dengan Koinfeksi.................................................. 14 5. Skrining HCV pada Pasien HIV ......................................................... 15 6. Penatalaksanaan HCV pada Infeksi .................................................... 16 V. Kesimpulan.......................................................................................... 19 VI. Daftar Pustaka .................................................................................... 21
Universitas Sumatera Utara
HEPATITIS VIRAL PADA INFEKSI HIV
Melati Silvanni Nst, Endang S, Saut Marpaung, Fransciscus Ginting, Tambar Kembaren, Armon Rahimi, Yosia Ginting
Divisi Penyakit Tropik & Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK USU
PENDAHULUAN
Infeksi Virus Hepatitis B (HBV) dan Virus Hepatitis C (HVC) sering terjadi pada pasien-pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) oleh karena jalur transmisi virusnya. Penyakit hati yang disebabkan oleh infeksi HBV kronik dan HCV menjadi penyebab kematian utama yang berhubungan dengan penyakit hati, yang ternyata berbanding terbalik dengan jumlah CD4. Juga terdapat peningkatan terhadap kejadian kanker hati dan efek hepatotoksik yang berhubungan dengan obat antiretroviral pada pasien-pasien dengan koinfeksi HBV dan HCV. Ditemukannya pengobatan-pengobatan terbaru untuk infeksi HBV dan HCV telah meningkatkan kesempatan untuk mengatasi infeksi ini dan berpotensi dalam mencegah komplikasi penyakit hati.1,2
EPIDEMIOLOGI
Infeksi hepatitis B kronik (HBV) dijumpai pada 10% individu dengan infeksi HIV di seluruh dunia dengan persentase berbeda-beda berdasarkan wilayah geografisnya. Infeksi hepatitis C kronik (HCV) dijumpai pada 25% individu dengan infeksi HIV, dengan angka yang lebih tinggi pada pengguna narkoba jarum suntik dan individu yang terinfeksi melalui darah yang terkontaminasi atau produk darah.
Prevalensi koinfeksi HBV atau HCV bervariasi tergantung pada faktor risiko pasien untuk menderita HIV. HCV lebih efektif menular melalui paparan langsung dari darah yang terkontaminasi atau dari produk darah. Angka rata-rata transmisi secara vertikal dan perinatal rendah, meskipun meningkat pada kejadian koinfeksinya.3 Transmisi HCV secara seksual tidak efisien dan risiko sebenarnya yang berhubungan dengan berbagai jenis aktivitas seksual masih belum diketahui, meskipun terdapat peningkatan kemungkinan bahwa infeksi akut HCV berhubungan dengan perilaku seksual yang tidak aman pada laki-laki homoseksual.4 Di Amerika Serikat, HIV dan koinfeksi HCV lebih sering terjadi pada pasien-pasien yang memiliki penyakit hemofilia atau pengguna obat-obatan intravena. Diantara pasien-pasien tersebut, angka rata-rata kejadian koinfeksi mencapai 70-95% dibandingkan dengan 1-12% pada laki-laki homoseksual.3
Universitas Sumatera Utara
Di Amerika Serikat dan Eropa barat, HBV biasanya sering terjadi pada dewasa muda atau usia tua yang beraktivitas seksual bebas. Walaupun terdapat angka bersihan spontan HBV yang tinggi pada usia dewasa yang imunokompeten, infeksi kronik terjadi pada 20% orang dewasa dengan infeksi HIV setelah terpapar HBV.5 Prevalensi secara umum infeksi HBV kronik diantara orang-orang dengan infeksi HIV positif pada Amerika Serikat dan Eropa barat kurang dari 10% dan angka tertinggi terjadi pada laki-laki homoseksual dan pada pengguna narkoba jarum suntik. Pada wilayah dimana transmisi HBV secara vertikal dan perinatal sering terjadi, seperti di Asia dan Afrika, infeksi kronik HBV terjadi lebih dari 90% pada bayi baru lahir yang terpapar HBV. Sehingga, prevalensi infeksi HBV diantara orang yang terinfeksi HIV bervariasi, dari 5-10% di Amerika Serikat sampai 20-30% di Asia dan Afrika.3
HEPATITIS B DAN HIV 1. EPIDEMIOLOGI
Diantara hampir 35 juta orang saat ini yang hidup dengan HIV, terdapat sekitar 3 juta yang mengalami infeksi HBV yang kronik. Prevalensi koinfeksi HIV dengan HBV bervariasi secara geografis, kemungkinan besar oleh karena adanya perbedaan pada rute transmisi yang predominan. Studi-studi yang memfokuskan terhadap perjalanan penyakit hepatitis B pada HIV menunjukkan peningkatan risiko perburukan penyakit hati dan kematian pada individu dengan koinfeksi.5 Pada daerah dengan endemisitas HBV yang rendah, seperti Amerika Serikat, Australia dan Eropa, HBV dan HIV biasanya terjadi pada dewasa melalui hubungan seksual atau transmisi perkutaneus. Di daerah ini, prevalensi koinfeksi HBV sekitar 5%-7% pada pasien dengan infeksi HIV namun beragam pada rute transmisinya. Prevalensi yang paling tinggi adalah pada laki-laki homoseksual dan paling rendah pada heteroseksual. Pada negara-negara dengan endemis HBV yang tinggi, rute transmisi paling sering dari perinatal atau pada masa kanak-kanak awal, sehingga infeksi HBV mendahului infeksi HIV beberapa tahun kemudian. Pada daerah ini, prevalensi koinfeksi HBV-HIV sekitar 10%-20%.1,2,5
Gambar 1. Prevalensi HBV berdasarkan geografis dan rute infeksinya1
Strain HBV dapat digolongkan menjadi 8 genotipe, dari A sampai H berdasarkan urutan minimum yang berbeda berkisar 8% dari seluruh genom. Penelitian dari beberapa
Universitas Sumatera Utara
negara memberi petunjuk bahwa genotipe HBV berpengaruh terhadap perjalanan penyakit hati dan responnya terhadap obat-obat antiviral. Namun demikian masih belum jelas, apakah hasil penelitian tersebut dapat digeneralisir untuk semua pengidap HBV di seluruh belahan dunia. Genotipe HBV memiliki distribusi yang berbeda secara geografis, dimana genotipe A dominan di Eropa Utara, Amerika Selatan dan Utara dan beberapa wilayah di Afrika. Genotipe B dan C biasanya ditemukan di Asia Timur dan baru-baru ini dikaitkan dengan risiko peningkatan kejadian kanker hati. Genotipe D sering terdapat di Mediterania, genotipe E di Afrika, genotipe F di Amerika Tengah dan Selatan, genotipe G di Prancis dan Amerika Serikat dan genotipe H di Amerika Utara. Di Indonesia terdapat 4 genotipe HBV yaitu genotipe A, B, C, dan D. Distribusi geografis genotipe HBV haruslah dilihat sebagai fenomena dinamik yang disebabkan oleh peningkatan migrasi populasi. Namun, informasi mengenai genotipe HBV pada infeksi HIV sangat jarang dan memerlukan studi yang lebih lanjut.6
2. PATOGENESIS
Sepertinya berlawanan bahwa penyakit hati oleh karena infeksi HBV yang diperantarai imun terjadi eksaserbasi karena status imunodefisiensi yang disebabkan oleh HIV. Terdapat beberapa alasan yang mungkin atas hubungan yang berlawanan ini. Pada pasien dengan infeksi HIV, progresivitas penyakit hati yang cepat disebabkan karena efek sitopatik viral daripada respon imun, yang mana disebut dengan hepatitis kolestatik. Sehingga, masuk akal jika varian HBV, yang biasa terjadi pada infeksi HIV, dapat berperan dalam peningkatan penyakit hati pada infeksi HIV.
Ada juga hipotesis yang mengatakan bahwa modulasi HIV terhadap respon imun spesifik HBV dapat mengubah lingkungan sitokin hepar yang kemudian berefek pada penyakit hati. Namun, hipotesis ini masih belum diteliti lebih lanjut.
Yang terakhir, dikatakan bahwa HBV mempengaruhi replikasi HIV, hal ini dimungkinkan karena protein X berinteraksi dengan NK-kB atau kB-like cellular transcriptional factors. Proses tersebut berdampak pada limfosit untuk membentuk komplek dan mengikat HIV, mendorong ke arah upregulation replikasi HIV. HIV-HBV sering terdapat bersamaan pada limfosit. Pol-encoded protein HBV menekan produksi interferon yang memungkinkan replikasi HIV. Penderita HBV kronis terdapat peningkatan kadar TNFα, maka melalui jalur sitokin dapat mendorong upregulate HIV melalui induksi NF-kB sehingga replikasi HIV meningkat.9
3. RIWAYAT ALAMI KOINFEKSI HIV DAN HBV a. Dampak HIV pada viral load, penularan dan sifat kronis
Orang tertular hepatitis B pada masa dewasa membutuhkan kekebalan yang kuat untuk memulihkan infeksi akut dan mencegah perkembangan infeksi kronis; hal ini dapat dicapai pada orang tanpa infeksi HIV (>90%). Namun, orang dewasa dengan HIV yang terinfeksi HBV memiliki pemulihan yang lebih rendah, mungkin terkait dengan tingkat
Universitas Sumatera Utara
kekebalan pada saat tertular HBV. Orang dengan koinfeksi HBV-HIV yang belum diobati memiliki angka HbsAg/HbeAg positif dan HBV DNA yang lebih tinggi, namun nilai transaminase dan nekroinflamasi dari histologi yang lebih rendah daripada pada monoinfeksi HBV.
b. Dampak HIV pada perkembangan penyakit hati HBV
HIV berkaitan dengan efek imunosupresannya memiliki dampak terhadap perjalanan penyakit infeksi HBV.8 Studi-studi epidemiologi menunjukkan bahwa : 1. Kadar HBV DNA dan angka reaktivasi lebih tinggi pada pasien-pasien yang terinfeksi
HIV daripada dengan HBV sendiri; risiko reaktivasi mungkin berhubungan dengan rendahnya jumlah CD4. 2. Kemunculan kembali HbsAg dan viremia HBV telah didokumentasikan pada pasienpasien HIV dengan koinfeksi HBV yang memiliki marker serologis konsisten dengan infeksi HBV yang telah sembuh. 3. Pasien-pasien yang terinfeksi HIV memiliki angka bersihan HbeAg spontan yang rendah. Predisposisi pasien-pasien terinfeksi HIV untuk mengalami infeksi kronik setelah terpapar infeksi HBV telah ditunjukkan dalam studi mengenai vaksin hepatitis B pada pasienpasien seronegatif dan seropositif HIV yang sebelumnya belum terinfeksi HBV. Infeksi kronik HBV terjadi pada 21% pasien dengan terinfeksi HIV dibandingkan dengan 7% kontrol pasien dengan HBV saja. Perbedaan ini tidak dapat dijelaskan oleh karena makin seringnya infeksi HBV akut pada pasien-pasien yang terinfeksi HIV.10
4. SKRINING HBV PADA PASIEN HIV
Beberapa studi menunjukkan bahwa salah satu alasan utama pengobatan HBV yang tidak adekuat pada pasien HIV adalah kurangnya pengetahuan terhadap status HBV kronik. Memberitahukan informasi bagaimana transmisinya, investigasi pemeriksaan serologis HBV seperti HBV Surface Antigen (HbsAg), Antibodi terhadap HbsAg (anti-HBs) dan antibodi anti-core (anti-HBc), haruslah dilakukan pada pasien-pasien dengan infeksi HIV.
Tabel 1. Interpretasi hasil pemeriksaan serologi untuk infeksi HBV 10
Universitas Sumatera Utara
Bila HbsAg terdeteksi, keberadaan replikasi HBV secara aktif harus dinilai melalui tes kuantitatif untuk HBV DNA (viral load). Tingkat HBV DNA berhubungan dengan risiko penularan, penyakit hati lanjutan dan peradangan hati yang flare. HBV DNA dapat dihitung dengan tes non amplifikasi atau tes amplifikasi. Interval pemeriksaan haruslah secara ideal tidak lebih dari 12 bulan jika tidak dalam terapi anti HBV dan 6 bulan jika dalam terapi anti HBV.
Penting juga menentukan status antigen e HBV (HbeAg) karena tingkat DNA yang bermakna secara klinis tidak tentu dan tergantung pada status HbeAg. Saat ini dianjurkan pada pasien HbeAg (+), viral load >105 copy/ml bermakna secara klinis, sementara pada pasien HbeAg (-), viral load >104 copy/ml dianggap bermakna. Tes amplifikasi seperti PCR lebih dipilih dalam penilaian replikasi, terutama pada infeksi HbeAg(-), karena tes non amplifikasi hanya mempunyai sensitivitas 105 copy/ml. Orang dengan tingkat HBV DNA yang sangat tinggi sebaiknya dinilai lebih lanjut dan dipertimbangkan untuk terapi antiviral
Bila ada bukti biokimia adanya peradangan hati (didefinisi sebagai tingkat ALT diatas batas atas nilai normal), biopsi hati umumnya dianjurkan untuk menentukan grade dan stadium penyakit. Pada pasien-pasien HIV-HBV dengan sirosis hepatis, interval waktu yang lebih cepat lebih adekuat, dan pemeriksaan alfa feto protein dan USG abdomen harus dilakukan dalam interval 6 bulan.2,5,10
Gambar 2. Algoritme penyelidikan untuk menilai HBV pada orang koinfeksi HIV 6
Universitas Sumatera Utara
5. KAPAN DIBERIKAN TERAPI HEPATITIS B KRONIK PADA PASIEN HIV
Keputusan untuk memberikan terapi hepatitis B kronik pada pasien HIV dengan koinfeksi HBV haruslah berdasarkan pertimbangan yang hati-hati terhadap faktor prognostik perkembangan penyakit hatinya, berat penyakit hati yang sekarang, respon tubuh terhadap obat anti HBV, risiko terhadap efek samping obat dan kebutuhan akan terapi antiretroviral untuk HIVnya. Pasien HIV dengan koinfeksi HBV dengan replikasi HBV aktif dan peningkatan aminotransferase haruslah berhati-hati untuk mendapatkan terapi anti HBV, karena dapat memperberat kerusakan hati. Pada infeksi HIV, hepatitis B kronik cepat berkembang menjadi sirosis dan respon terhadap terapi anti HBV dapat berkurang karena progresivitas imunodefisiensinya. Tujuan pengobatan HBV adalah sama dengan terhadap individu dengan atau tanpa koinfeksi HIV; serokonversi HbeAg pada pasien-pasien dengan HbeAg (+), normal ALT, perbaikan pada pemeriksaan histologi hatinya, supresi HBV DNA serum yang menetap, mengurangi kejadian dekompensasi hepatik pada pasien-pasien dengan sirosis yang lanjut dan mengurangi risiko terjadinya kanker hati.2,5,6
Keuntungan dari menghentikan replikasi HBV telah dimengerti; dengan menunjukkan adanya hubungan langsung antara kadar HBV DNA serum dengan risiko kejadian sirosis dan kanker hati, tanpa melihat status HbeAg dan/atau peningkatan enzim hati. Guideline HBV terbaru merekomendasikan untuk memulai terapi anti HBV pada individu dengan HbeAg (+) jika HBV DNA serum >2 x 104 IU/ml. Sebaliknya, pada pasien dengan HbeAg (-), nilai HBV DNA serum yang harus diberikan terapi adalah 2 x 103 IU/ml.11
Pada pasien HIV dengan infeksi HBV kronik, pengobatan haruslah lebih dipikirkan daripada pada pasien tanpa infeksi HIV. Gambar 3 menunjukkan algoritma pengobatan anti HBV pada pasien HIV, yang dibagi berdasarkan tiga parameter yaitu HBV DNA serum, ALT dan tingkatan fibrosis hati.2 Jika kadar viremia lebih dari 2000 IU/ml dan/atau ALT meningkat, kerusakan hati yang berat mungkin terjadi, sehingga pengobatan anti HBV haruslah dianjurkan. Dengan kata lain, fibrosis hati yang berat atau sirosis secara sporadis dapat dilihat pada pasien dengan HBV DNA serum yang rendah dan/atau ALT yang normal ; dan berdasarkan hal ini pasien-pasien tersebut juga dapat memperoleh keuntungan dari terapi antiviral.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Penatalaksanaan Hepatitis B kronis pada koinfeksi HIV-HBV. Kapan waktunya diterapi2
6. OBAT ANTIVIRAL HEPATITIS B KRONIK PADA PASIEN HIV
Tujuh jenis obat telah disetujui sejauh ini sebagai terapi hepatitis B kronik dan yang lain, Emtricitabine kombinasi dengan Tenefovir masih dalam penelitian.2,5,11,12
1. Interferon α-2b Merupakan obat pertama yang disetujui untuk mengobati hepatitis B kronik. Interferon
alpha standard (IFNα) telah diganti oleh pegylated IFNα pada beberapa keadaan. IFNα (atau pegylated IFNα) efektif terhadap pasien hepatitis B kronik dengan peningkatan ALT, HBV DNA serum yang rendah dan genotipe HBV A dan B. Obat ini kontraindikasi terhadap pasien-pasien dengan sirosis dekompensata, karena dapat mengeksaserbasi kejadian dekompensata. Enzim hati yang meningkat selama terapi IFNα sering terjadi pada pasien-pasien HIV dibandingkan HIV yang negatif karena alasan yang belum jelas. Efikasi IFNα lebih rendah pada pasien HIV dengan HBV tanpa melihat kadar CD4 yang mungkin sebagian besar disebabkan oleh karena kelainan yang diperantarai imun. Rekomendasi durasi terapi adalah selama 12 bulan. 2. Pegylated interferon α-2a
Bentuk pegylated dari IFNα memiliki waktu paruh yang lebih lama dan potensi yang lebih tingi dari pada IFNα standar. Pada individu dengan monoinfeksi HBV, pegylated IFNα lebih efektif daripada IFNα standar. Pada pasien-pasien dengan HbeAg (+), hampir sepertiga pasien menunjukkan HbeAg (-) dan ALT yang normal selama 12 bulan terapi. Trial-trial membandingkan pegylated IFNα dan lamivudine menunjukkan serokonversi HbeAg, supresi HBV DNA serum dan normalisasi ALT lebih tinggi pada pegylated IFNα daripada lamivudine, namun yang menarik tidak ada keuntungan jika kedua obat tersebut dikombinasikan.
Pada koinfeksi HBV/HIV, terapi berdasarkan IFN berhubungan dengan rendahnya angka keberhasilan terapi dan peningkatan toksisitas. Sehingga, obat ini hanya boleh diresepkan pada pasien-pasien sirosis non dekompensata yang tidak memerlukan terapi antiviral dan memiliki kemungkinan respon yang baik terhadap IFNα, seperti pada
Universitas Sumatera Utara
HbeAg(+), peningkatan ALT dan HBV DNA serum yang rendah. Pengobatan biasanya membutuhkan waktu 12 bulan. Gambar 4 menunjukkan obat antiviral yang cocok untuk mengobati hepatitis B kronik pada pasien-pasien HIV berdasarkan kebutuhan akan antiretroviral dan status HbeAg2
Gambar 4. Penatalaksanaan hepatitis B kronik pada koinfeksi HIV-HBV. Obat mana yang digunakan2
Jika pertanda respon terhadap IFNα atau pegylated IFNα tidak tercapai setelah 12 bulan terapi, pengobatan diganti dengan analog nukleosida haruslah dipikirkan. Memberikan obat-obat jenis ini biasanya lebih ditoleransi, terapi biasanya diberikan dalam jangka waktu yang tidak dapat ditetapkan
Kombinasi pegylated IFNα dan analog nukleosida oral telah dibandingkan dengan pemberian lamivudine dan adefovir pada individu dengan monoinfeksi HBV. Tidak ada keuntungan yang signifikan dalam hal potensi antiviral yang lebih besar dibandingkan dengan monoterapi pegylated IFNα. 3. Lamivudine (3TC)
Lamivudine adalah analog nukleosida yang menekan replikasi HIV dan HBV dengan menghambat pekerjaan enzim reverse trancriptase virus, meskipun dosis untuk mensupresi HBV (100 mg/hari) lebih rendah dibandingkan dosis yang dibutuhkan dalam mensupresi HIV (300 mg/hari). Efektivitas 3TC dalam pengobatan hepatitis B kronik sudah cukup diketahui, menghasilkan penurunan yang signifikan terhadap kadar HBV DNA serum dan kadar ALT, perbaikan pada histologi hati dan peningkatan hilangnya HbeAg. Namun, masalah utama dengan pemberian jangka lama 3TC adalah pilihan resistensi viral, dimana sering terjadi karena rebound pada HBV DNA serum dan enzim hati meningkat drastis. Untuk mengobati koinfeksi HBV-HIV dosis 3TC yang direkomendasikan adalah 300 mg/hari dan obat ini harus selalu diberikan dengan sedikitnya dua obat anti HIV lainnya, kalau tidak akan terjadi mutasi resistensi HIV.
Diberikan secara oral, tolerabilitas yang baik dan hanya satu tablet per hari, 3TC telah banyak digunakan sebagai obat anti HBV, termasuk pada pasien dengan koinfeksi HIV,
Universitas Sumatera Utara
banyak yang telah menerima terapi 3TC jangka lama. Mutasi resistensi HBV dapat dikenali lebih dari 90% pada pasien-pasien dengan HIV yang telah menerima terapi antiretroviral termasuk 3TC selama lebih dari 4 tahun. 4. Adefovir (ADV)
Adefovir merupakan analog nukleotida pertama yang disetujui sebagai terapi infeksi HBV. Obat ini juga dapat menghambat HIV pada dosis yang lebih besar daripada yang diberikan pada infeksi HBV, namun dapat meningkatkan risiko nefrotoksisitas. Pada dosis 10 mg/hari, ADV mensupresi replikasi HBV. ADV jiuga menghambat replikasi HBV yang resisten terhadap 3TC.
Pada individu dengan koinfeksi HIV-HBV, pemberian ADV dilakukan pada 35 pasien dalam terapi antiretroviral termasuk 3TC. Setelah 144 minggu pemberian ADV, penurunan kadar HBV DNA serum terlihat pada 45% subjek, dimana lebih sedikit dari 56% pada subjek dengan monoinfeksi HBV. 5. Entecavir (ETV)
Entecavir adalah analog guanosin yang menghambat replikasi HBV dengan tiga tahapan (priming, reverse transcriptase dan positive strand synthesis). ETV ternyata lebih poten dalam mensupresi HBV DNA serum dibandingkan 3TC dan ADV dan dapat diberikan pada orang yang belum membutuhkan terapi ARV. 6. Telbivudine (LdT)
Telbivudine adalah L-analog timidin tanpa efek melawan HIV. LdT memiliki efikasi antiviral yang lebih besar dibandingkan 3TC maupun ADV pada pasien hepatitis B kronik. 7. Emtricitabine (FTC)
Seperti 3TC, FTC merupakan analog sitosin dengan efek antiviral melawan HBV dan HIV. FTC memiliki waktu paruh yang lebih lama dibandingkan 3TC dan sama-sama cepat mengurangi HBV DNA serum pada dosis 200 mg/hari. Supresi replikasi HBV terjadi lebih dari 48 minggu terapi pada lebih dari separuh pasien. Belum ada data pemberian monoterapi FTC pada koinfeksi HBV-HIV. 8. Tenofovir (TDF)
Tenofovir adalah analog nukleotida adenosin, sudah dipakai sebagai terapi infeksi HIV. TDF juga menunjukkan efek yang poten melawan HBV pada pasien dengan atau tanpa resistensi 3TC.
7. PILIHAN TERAPI HEPATITIS B KRONIK PADA PASIEN HIV
Jika infeksi HBV membutuhkan terapi namun infeksi HIV tidak perlu yang biasanya berdasarkan peningkatan jumlah CD4 (>350 sel/mm3), pilihan terapi untuk HBV haruslah termasuk obat yang tidak memiliki efek melawan HIV, seperti pegylated IFNα, ADV atau LdT.2 Pemberian pegylated IFNα selama 12 bulan dapat dianjurkan pada pasien-pasien dengan kadar CD4 yang tinggi dan HbeAg (+), peningkatan ALT, HBV DNA serum yang rendah dan fibrosis hati yang minimal, terutama jika terinfeksi HBV genotipe A. Hampir sepertiga dari
Universitas Sumatera Utara
pasien-pasien tersebut dapat menunjukkan supresi HBV DNA serum yang bertahan sampai penghentian terapi, keuntungan yang mungkin tidak dapat tercapai dengan terapi yang lainnya. Kelemahan pegylated IFNα adalah tolerabilitasnya yang rendah dan efikasi yang rendah pada HIV.11
Pada pasien-pasien lainnya dengan koinfeksi HBV-HIV yang tidak memerlukan terapi antiretroviral, obat nukleosida jangka lama merupakan satu-satunya pilihan. Sampai saat ini, baik ADV atau LdT merupakan alternatif yang baik, meskipun memberikan risiko obat yang resisten, strategi “early add-on” harus dipikirkan pada pasien yang tidak mencapai HBV DNA serum yang tidak terdeteksi pada 24 minggu terapi.2 Menambah jenis obat daripada menggantinya harus disarankan, karena terdapat bukti untuk efek protektif melawan resistensi dan kurangnya efek sinergistik dan additif obat antiviral jika diberikan dengan kombinasi.
Gambar 5. Pendekatan terapi pada HBV. Kombinasi terapi dari awal atau “early add-on therapy” 2
Pilihan terapi untuk pasien dengan infeksi HBV dan HIV yang harus diterapi keduanya, dibagi untuk pasien yang baru mendapatkan terapi dan yang sudah pernah mendapatkan terapi. Untuk pasien yang baru mendapatkan terapi disarankan kombinasi pemberian TDF ditambah FTC (atau 3TC).2 Penggunaan dua obat anti HBV penting untuk pasien dengan sirosis sangatlah penting. Interval dosis TDF harus dimodifikasi pada pasien dengan klirens kreatinin 60% yang diidentifikasi merupaka genotipe 1.14 Genotipe 1 mempunyai kecepatan replikasi yang lebih besar daripada genotipe lainnya sehingga prognosisnya lebih buruk. Genotipe 1 dan 4 memerlukan terapi yang lebih lama. Genotipe 2 dan 3 diketahui memiliki respon yang lebih baik dengan terapi interferon.13,15,17
Berlawanan dengan individu dengan HIV (-), infeksi akut HCV dapat menunjukkan bersihan viral yang spontan pada 30% kasus selama 12 minggu awal setelah paparan awal, pasien-pasien HIV (+) mengalami kronisitas lebih dari 80% kasus.13 Sehingga, intervensi terapi awal pada pasien hepatitis C diindikasikan pada individu dengan HIV (+), meskipun terapi jangan diberikan dahulu sebelum 12 minggu dari paparan, dalam rangka menghapus bersihan spontan HCV. Terlalu lama ditunda, haruslah diperhatikan karena akan menurunkan respon terapi. Pengobatan hepatitis C akut pada HIV (+) jarang sembuh dibandingkan dengan HIV (-) (60% vs 80%).
Universitas Sumatera Utara
2. PERJALANAN KLINIS DAN PATOGENESIS
Perjalanan klinis koinfeksi hepatitis C ditentukan oleh imunosupresi yang berkaitan dengan HIV. Progresivitas imunosupresi meningkatkan kejadian hepatitis C. Periode laten sampai kejadian gagal hati atau kanker hati diperkirakan terjadi 10-20 tahun, dimana terjadi pada 30-40 tahun pada monoinfeksi HCV.16,17
Kemajuan terapi terhadap infeksi HIV telah meningkatkan kemungkinan pasien mengalami kejadian gagal hati. Hubungan dengan penurunan angka kematian dengan infeksi HIV telah menyebabkan peningkatan relatif terhadap angka mortalitas yang berhubungan dengan hepatitis. Pada beberapa sentra, gagal hati merupakan penyebab kematian tersering pada pasien dengan infeksi hati. Dampak buruk hepatitis C pada infeksi HIV dapat diatasi dengan pengobatan infeksi HIV dengan HAART. Tambahan, perkembangan gagal hati dapat diperlama dengan memperbaiki fungsi imun dengan terapi HAART.16
Disisi lain, infeksi hepatitis C dapat memperburuk kemungkinan hepatotoksisitas terhadap beberapa regimen HAART. Hampir 10% pasien harus menghentikan HAART karena hepatotoksisitas yang berat. Risiko ini berhubungan terutama dengan obat-obat golongan nukleotida. 16
Pada beberapa pasien koinfeksi, peningkatan sementara transaminase terlihat setelah pemberian HAART, hal ini kemungkinan disebabkan karena peningkatan aktivitas inflamasi hepatitis C akibat peningkatan status imunnya.17
Penyakit hati yang berkaitan dengan HCV termasuk fibrosis, sirosis dan gagal hati meningkat pada individu dengan infeksi HIV. Progresivitas menjadi sirosis tiga kali lebih tinggi pada pasien-pasien koinfeksi daripada monoinfeksi dan hampir 33% menjadi sirosis kurang dari 20 tahun. Metaanalisis dari 17 studi menemukan 21% kejadian sirosis dari 3567 individu dengan koinfeksi setelah 20 tahun dan 49% setelah 30 tahun.
Steatosis hepar, komplikasi yang sering pada monoinfeksi HCV dan koinfeksi HIV-HCV (40%-75%), berhubungan dengan progresivitas fibrosis. Steatosis hepar berhubungan dengan peningkatan indeks massa tubuh, diabetes, peningkatan kadar ALT, HCV genotipe 3, nekroinflamasi dan fibrosis.
Mekanisme untuk menjelaskan peningkatan penyakit hati pada pasien-pasien koinfeksi tidak begitu jelas, namun mungkin berhubungan dengan efek langsung viral dan reaksi imunologis seperti aktivasi imun, apoptosis dan hilangnya respon sel T spesifik HCV.17,18 Aktivasi imun oleh perubahan sitokin karena HIV (seperti IL-4, IL-5, IL-13, TGF-β) yang meningkatkan inflamasi dan fibrosis hati. Koinfeksi meningkatkan apoptosis hepatosit melalui jalur Fas/FasL yang dapat memperberat penyakit hati. Akumulasi sel sitotoksik CD8 di dalam hati yang meningkatkan mediator-mediator inflamasi pada koinfeksi dibandingkan dengan pasien-pasien monoinfeksi HCV juga dapat menyebabkan peningkatan kerusakan jaringan pada pasien-pasien koinfeksi. Bukti terbaru menunjukkan sel CD8 spesifik HIV berakumulasi di hati pada koinfeksi dan memproduksi TNF-α, dimana berhubungan dengan fibrosis hati.18
Universitas Sumatera Utara
Replikasi HIV terdapat pada hepatosit dan Hepatic Stellate Cells (HSC). Infeksi HIV yang mengaktifkan HSC menyebabkan pengeluaran kolagen dan sekresi sitokin-sitokin proinflamasi. Sebagai tambahan dari infeksi, protein HIV merangsang hepatosit untuk berapoptosis dan mengeluarkan kemokin dan sitokin inflamasi yang menyebabkan fibrosis.18
Resistensi insulin juga terjadi pada HCV kronik, dan memberat pada steatosis hati dan progresivitas penyakit hati. Mekanisme resistensi insulin pada penyakit hati diantara pasienpasien dengan infeksi HCV tidak diketahui, namun hiperinsulinemia dan hiperglikemia menstimulasi HSC, menyebabkan peningkatan growth factor jaringan ikat dan akumulasi dari matriks ekstraseluler.16
Gambar 7. Patogenesis koinfeksi HIV-HCV 15
3. KOMPLIKASI LAIN DARI KOINFEKSI HIV-HCV16
a. Gangguan Imun dan Hematologis Sebuah studi retrospektif besar menemukan bahwa pada pasien-pasien koinfeksi HCV
memiliki kadar C-Reactive Protein (CRP) yang lebih rendah dibandingkan pasien-pasien monoinfeksi HIV, menunjukkan bahwa HCV menurunkan kemampuan hati untuk mensekresikan CRP. Trombositopenia yang berhubungan dengan HIV merupakan masalah yang penting pada era HAART dan hal ini berhubungan dengan sirosis juga infeksi HCV tanpa penyakit hati yang berat.
Universitas Sumatera Utara
b. Penyakit Ginjal Koinfeksi HCV berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit ginjal yang
berhubungan dengan HIV, termasuk proteinuria dan gagal ginjal akut, dibandingkan pada monoinfeksi HIV. Koinfeksi HCV juga berhubungan dengan angka kejadian gagal ginjal kronik yang lebih tinggi dimana prevalensi HCV meningkat dengan perburukan laju filtrasi glomerulus. c. Penyakit Kardiovaskular
Koinfeksi HCV berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit serebrovaskular dan akan meningkatkan risiko infark miokard akut diantara pasien-pasien infeksi HIV. Pasienpasien infeksi HIV memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular karena HAART dan inflamasi kronik yang berhubungan dengan HIV dapat menyebabkan disfungsi endotel. d. Status Neurologis
HIV dan HCV sama-sama bereplikasi di otak dan cairan serebrospinal dan berhubungan dengan sindroma neurokognitif dan neuropati perifer. Pada pasien-pasien koinfeksi menunjukkan gangguan motor-kognitif yang signifikan dibandingkan dengan pasien-pasien monoinfeksi HIV dan peningkatan kejadian gangguan kognitif global, terutama dalam belajar dan memori
4. PROGRESIVITAS PENYAKIT HCV DENGAN KOINFEKSI HIV
Pada pasien-pasien dengan infeksi kronik HCV, infeksi bersamaan dengan HIV berhubungan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi dengan kejadian gagal hati.16,18 Pasien-pasien dengan infeksi HIV memiliki angka bersihan viral spontan yang lebih rendah selama infeksi akut, dimana mungkin disebabkan oleh gangguan respon limpoproliperatif terhadap antigen HCV. Pasien-pasien dengan hepatitis C dengan penyakit HIV cepat berkembang menjadi sirosis daripada pasien hepatitis C saja. Faktor risiko berhubungan dengan tingginya progresitivitas fibrosis termasuk konsumsi alkohol, umur, jumlah CD4 350 sel/ml. Akan tetapi, bila CD4 < 350 sel/ml, maka pasien diberikan terapi ARV saja terlebih dahulu sampai CD4 > 350 sel/ml. Setelah itu, baru diberikan antiviral bersama dengan ARV. Pegylated IFN dan ribavirin dapat digunakan untuk kasus koinfeksi seperti ini selama 48 minggu dengan dosis sama dengan yang direkomendasikan untuk infeksi HCV saja.15
Pegylated IFN dengan dosis 180 µg secara subkutan per minggu ditambah dengan ribavirin dengan dosis 1000 mg untuk BB≤75 kg dan 1200 mg untuk BB > 75 kg merupakan terapi HCV standar pada pasien-pasien monoinfeksi maupun koinfeksi. Walaupun konsensus merekomendasikan 48 minggu pemberian terapi HCV pada pasien-pasien koinfeksi,19 studi terbaru yang meneliti respon terapi, dengan lamanya terapi berdasarkan respon virologis pada pemberian terapi di minggu ke 4, 12 dan 24. Hasilnya mengejutkan, dimana 55% mencapai
Universitas Sumatera Utara
SVR. Diantara pasien yang gagal dengan terapi awal, terapi kembali dengan pegylated IFN ditambah ribavirin selama 12 bulan mencapai SVR pada sepertiganya.20
Gambar 9. Durasi optimal yang dianjurkan untuk terapi HCV pada pasien koinfeksi HIV-HCV 11
Prediktor terbaik keberhasilan terapi adalah respon kinetik virologis, termasuk Rapid Viral Response (RVR), yaitu viral load HCV dibawah kadar terdeteksi 4 minggu setelah pemberian terapi awal, Early Viral Response (EVR), yaitu tidak terdeteksinya viral load atau turun 2 log dari nilai awal 12 minggu setelah pemberian terapi awal, dan Sustain Viral Response (SVR), yaitu tidak terdeteksinya HCV selama 24 minggu terapi komplit. Jika HCV RNA yang tidak terdeteksi pada minggu ke empat merupakan prediktor terbaik SVR pada pasien-pasien koinfeksi, kadar awal HCV RNA serum merupakan prediktor independen SVR pada pasien HCV genotipe 1.13,15,16
Hasil dari beberapa penelitian mengenai dampak jumlah CD4 terhadap respon kinetik virologis berbeda-beda. Pada satu studi besar mengenai pegylated IFN ditambah dengan Ribavirin pada pasien-pasien koinfeksi yang mengikutsertakan beberapa pasien dengan jumlah CD4 350 sel/ml. Jika 350 sel/ml.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
1. Koziel MJ, Peters MG. Viral Hepatitis in HIV Infection. New England Journal of Medicine 2007 ; 356 :1445-1454
2. Soriano V, Vispo E, et al. Viral Hepatitis and HIV co-infection. Antiviral Research 2010 ; 85 : 303-315
3. Alter MJ. Epidemiology of viral hepatitis and HIV co-infection. Journal of Hepatology 2006 ; 44 : suppl : S6-S9
4. Gotz HM, Van Doornum G, et al. A cluster of acute hepatitis C virus infection among men who have sex with men. AIDS 2005 ; 19 : 969-74
5. Soriano V, Puoti M, et al. Care of HIV patients with chronic hepatitis B : Updated recommendation from the HIV-HBV International Panel. AIDS 2008 ; 22 : 1399-1440
6. Budihusodo U. Patogenesis dan Diagnosis Hepatitis B Kronik. Dalam : Pendekatan Terkini Hepatitis B dan C dalam Praktik Klinis Sehari-hari, editor Sulaiman AS, Sulaiman BS, Sulaiman HA, Ed 1, Sagung Seto 2010
7. Rehermann B, Nascimbeni M. Immunology of hepatitis B virus and hepatitis C virus infection. Nature Review of Immunology 2005 ; 5 : 215
8. McGovern BH. The epidemiology, natural history and prevention of hepatitis B : implications of HIV coinfection. Antiviral therapy 2007 ; 12 : suppl : H3
9. Nasronudin. Penatalaksanaan Koinfeksi Penderita HIV. Dalam : HIV dan AIDS Pendekatan biologi molekuler, klinis, dan sosial, editor Barakbah J, Soewandojo E, Suharto, Hadi U, Astuti WD, Airlangga
10. Hadler SC, Judson FN, et al. Outcome of hepatitis B virus infection in homosexual men and its relation to prior human immunodeficiency virus infection. Journal Of Infection Disease 1991 ; 163 : 454University Press 2007
11. Wasmuth JC, Rockstroh J. HIV and HBV/HCV Coinfections. In HIV Medicine 2007, editors Hoffmann C, Rockstroh JK, Kamps BS, 15th edition, Flying Publisher 2007
12. Lok A, McMahon B. Chronic hepatitis B. AASLD Practice Guidelines. Hepatology 2007 ; 41 : 275-279
13. Waspodo AS. Penatalaksanaan terkini hepatitis B. Dalam : Pendekatan Terkini Hepatitis B dan C dalam Praktik Klinis Sehari-hari, editor Sulaiman AS, Sulaiman BS, Sulaiman HA, Ed 1, Sagung Seto 2010
14. Thomas D, Astemborski J, et al. The natural history of hepatitis C virus infection : host, viral and environmental factors. JAMA 2000 ; 284 : 450-456
15. Hasan I, Laho IM. Penatalaksanaan terkini hepatitis C. Dalam : Pendekatan Terkini Hepatitis B dan C dalam Praktik Klinis Sehari-hari, editor Sulaiman AS, Sulaiman BS, Sulaiman HA, Ed 1, Sagung Seto 2010
16. Operskalski EA, Kovacs A. HIV/HCV co-infection : Pathogenesis, clinical complications, treatment and new therapeutic technologies. Curr HIV/AIDS Rep 2011 ; 8 : 12-22
Universitas Sumatera Utara
17. Singal, AK, Anad BS. Management of hepatitis c virus infection in HIV/HCV co-infected patients : clinical review. World J Gastroenterol 2009 ; 15 : 3713-3724
18. Rotman Y, Liang TJ. Coinfection with hepatitis c virus and human immunodeficiency virus : virological, immunological and clinical outcomes. Journal of Virology 2009 ; 83 : 7366-74
19. Soriano V, Puoti M, et al. Care of patients coinfected with HIV and hepatitis C virus : 2007 updated recommendation from the HCV-HIV International panel. AIDS 2007 ; 21 : 107389
20. Van den Eynde E, et al. Response-guided therapy for chronic hepatitis c virus infection in patients coinfected with HIV. Clinical Infection Disease 2009 ; 48 : 1152-1159
Universitas Sumatera Utara