278
diperkirakan akan banyak pada bulan Desember, dan juga kemudian gelombang ketiga yang akan diperkirakan akan banyak juga pada bulan
Maret. Kemudian database perpajakan juga bertambah wajib pajak sampai 15.000. Dan lebih dari pada itu memunculkan optimisme dan kemudian ada
perasaan pratisipasi bagi masyarakat. Dan saya merasakan ada
tone yang
positif terhadap kegiatan atau upaya melakukan sosialisasi tax amnesty
ini dengan partisipasi yang luar biasa, walaupun pada awalnya ada pesimisme di
sana. Tetapi ternyata hingga saat ini target Rp165 triliun, kalau tidak salah, paling tidak sudah tercapai Rp100 triliun dan bukan mustahil kemudian target
akan terlampaui.
Dari ketiga pendekatan, kebijakan ini mungkin bisa dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip tertentu dalam konstitusi, tetapi manfaat
yang diperoleh jauh lebih besar sehingga kemudian bisa mengalahkan potensi itu. Dan kemudian kita bisa mengatakannya sebagai sebuah kebijakan yang
sama sekali
legal constitutional yang akhirnya saya ingin mengatakan tidak
bertentangan dengan konstitusi.
8. Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., LL.M.
Ada tiga hal yang akan saya sampaikan dikaitkan dengan kapasitas dan keahlian saya, yakni;
Pertama,
perihal konsep pajak dan relasi antara negara dan warga negara.
Kedua , memandang kebijakan pengampunan pajak dalam
kerangka kebijakan publik. Ketiga
, perlindungan alas tindakan pelaksanaan kebijakan negara dalam hal pengampunan pajak.
Pajak dalam Relasi Negara dan Warga Negara
Teori hukum ketatanegaraan yang paling kuat menganalisis antara relasi negara dengan warga negara dari terbentuknya negara adalah model kontrak
sosial yang dicetuskan oleh J.J Rosseau dengan pandangan yang mirip dengan pandangan Thomas. Hobbes dan
John
Locke, yang meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka, namun pada hakikatnya mereka
memiliki pandangan yang sama bahwa sumber kewenangan yang dimiliki oleh negara dalam pemerintahan dan mengatur warga negara adalah kontrak sosial
yang ada. Kontrak sosial yang dimiliki akan berimplikasi
pada
kewenangan yang dimiliki oleh negara untuk mengatur
apa
saja yang akan digunakan untuk mengatur kehidupan warga negara sepanjang penggunaan kewenangan
tersebut tidak mencerminkan tindakan sewenang-wenang. Artinya, negara
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
279
memiliki kewenangan dalam mengambil dan memungut pajak selama tindakannya tersebut tidaklah merupakan tindakan sewenang-wenang.
Tindakan sewenang-wenang, pada dasarnya, dapat dilihat atau dikonstruksikan dari ada tidaknya produk hukum yang mendasari pungutan
pajak tersebut. Dan tidak tanggung-tanggung, karena pajak merupakan hal yang sangat penting bagi negara, maka pengaturan dasarnya selalu
dicantumkan di dalam konstitusi. UUD China 1982 misalnya dimasukkan dalam Chapter Two tentang the Fundamental Rights and Duties of Citizen,
yang berbunyi it
is the duty of citizen of the Peoples Republik of China to pay taxes in accordance with the law
Article 56. Hal yang sama diatur di dalam UUD Swedia 1974 yang dimasukkan dalam Basic Principle of The
Constitution yang berbunyi, The Parliament Riksdag is the foremost
representative of the people, the Parliament enacts law, determine taxes and decide how public funds shall be used
Article 4.
Prinsip yang kurang lebih sama di Indonesia yang dengan jelas dimasukkan di dalam setiap UUD. Misalnya; UUD 45 pra amandemen yang
berbunyi segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
Pasal
23
Ayat2; UUD
RIS yang berbunyi, tidak diperkenankan memungut
padjak untuk kegunaan kas federal, ketjuali dengan kuasa undang-undang
federal Pasal
171; UUDS 1950 yang berbunyi, Tidak diperkenankan
memungut padjak bea dan tjukai untuk kegunaan kas negara, ketjuali dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang Pasal 117
dan UUD 1945 pasca amandemen yang mengatur bahwa
pajak dan pungutan bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang Pasal 23A.
Karena itu, dari perspektif konstitusi, setidaknya ada beberapa hal yang dapat dibaca; Pertama,
negara
memiliki kewenangan untuk menarik pajak dan pungutan yang bersifat memaksa lainnya.
Kedua,
untuk menghilangkan kesan sewenang-wenang, maka
pengaturannya
haruslah diatur di dalam produk wakil rakyat yakni dalam bentuk UU. Ketiga, Iogika pajak adalah untuk
melakukan pembiayaan atas keperluan negara.
Akan tetapi, pajak
juga
merupakan Pajak seringkali menjadi problem besar dan menjadi penyebab gerakan revolusi besar atau perlawanan besar.
Dalam Federalist Paper misalnya, James Medison menuliskan bahwa the
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
280
apportionment of taxes on various description of property in an act which seems to require the most exact impartiality.
Seperti
yang
kita pahami, American Revolution 1775-1783 terjadi karena salah satu penyebab utamanya adalah tingginya pengenanaan pajak
oleh British Parliament. Menariknya,
pengampunan
pajak
adalah
logika
yang
berlawanan dari
pengenan
pajak yang
tinggi ini. Karena pada hakikatnya pengampunan pajak adalah bagian tindakan
,
negara untuk
menghapus
pajak dalam
kaitan dengan pembayar pajak yang terutang yang tidak dikenakan sanksi administratif maupun pidana, sepanjang melakukan
pengungkapan harta dan pembayaran atas denda yang ditentukan nilainya. Artinya, ini merupakan tindakan yang bagian dari kebijakan publik yang dibuat
oleh negara melalui pembentuk Undang-Undang dengan tujuan tidak sekedarnya hanya pengampunan atas pembayar pajak, tetapi juga harus
dilihat sebagai sumbangsih pada keuangan dan perekonimian negara secara lebih luas. Jika memahami
tax amnesty maupun
tax cuts dalam kerangka
seperti yang disampaikan pemohon bahwa merupakan bentuk diskriminasi dengan memosisikan wajib pajak yang taat dengan yang tidak taat berbeda,
maka tentu saja memberikan kesimpulan yang tidak pas.
Pertama,
kerangka kebijakan perpajakan tidak bisa dipandang secara sendiri, tetapi selalu dikaitkan dengan stimulus perekonomian. Misalnya saja kebijakan
perpajakan dalam bentuk tax cuts
di Amerika, setidaknya berlaku tiga kali yang sangat massif di tahun 1920 an masa Presiden Warren Hardings dan Calvin
Coolidge, tahun 1960 masa Presiden John F. Kennedy dan 1980an masa Presiden Ronald Reagan dan terbukti, dalam ketiga masa tersebut
kesemuanya berhasil melakukan stimulasi ekonomi Gina
Misiroglu,
2003 218-219.
Kedua,
tarif rendah pengampunan pajak hanya untuk saat pertama pengungkapan pajak, akan tetapi selanjutnya akan melakukan pembayaran
dengan deklarasi yang lebih benar dan karenanya akan mempengaruhi jumlah pendapatan negara karena harta yang sudah diungkapkan tersebut akan
masuk pada masa pajak tahun berikutnya. Aturan
yang jelas mengatakan
berlaku bagi siapa saja berarti siapa. pun diperbolehkan mengakses pembayaran pengampunan ini, dan implikasinya adalah secara sadar para
peserta pengampunan pajak ini akan mengikutkan dirinya pada pembayaran
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
281
pajak yang lebih benar berdasarkan jumlah harta yang disampaikan pada tahun-tahun berikutnya. Dengan kata lain, diskriminasi yang dituduhkan tidak
terjadi karena kemudian terjadi pembayaran pajak secara benar.
Hal tersebut senada cara berfikir Mahkamah Konstitusi Jerman pada salah satu putusannya di tahun 1990 yang dituliskan oleh Danny Darussalam
2016 yang mengutip Jacques Malherbe yang menuliskan bahwa MK Jerman membangun konstitusionalitas kebijakan serupa tax amnesty adalah bukan
diskriminasi pembayar pajak taat dan tidak, akan tetapi merupakan jembatan bagi pembayar pajak yang tidak jujur agar kembali ke kepatuhan hukum untuk
melakukan pembayaran pajak secara lebih benar dan memiliki implikasi pada peningkatan penerimaan negara
Penyusunan Kebijakan Pubiik
Pada konsepsi hukum kebijakan publik dalam ranah hukum dapat dianalisis ke dalam beberapa segi.
Pertama ,
pengambil kebijakan haruslah punya kewenangan untuk mengambil kebijakan tersebut. Hal inilah yang
dikenal dengan asas hukum bahwa tanpa wewenang maka tidaklah suatu tindakan dapat dijalankan. Artinya, pengambil kebijakan haruslah memiliki
kewenangan untuk meangambil kebijakan tersebut.
Dalam negara hukum, maka hulu dan hilir dari kebijakan tersebut harusnya memiliki dasar hukum. Maksudnya adalah ketika kebijakan tersebut
diambil harus ada dasar kewenangan dari pengambil kebijakan dan tatkala kebijakan tersebut dikeluarkan juga haruslah dalam bentuk produk hukurn.
Seperti yang dipahami secara hukum; produk hukum ada tiga;
beschikking ketetapan;
regaling peraturan dan
vonis putusan konkrit. Artinya, suatu
kebijakan hanya dapat diambil jika ada dasar secara bentuk hukum tersebut, dan juga ketika diambil haruslan menggunakan bentuk produk hukum tersebut.
Kedua , sumber kewenangan pengambil kebijakan. Sumber lahirnya
kewenangan secara teoritik maupun peraturan perundang-undangan menyebutkan ada tiga; atribusi, delegasi dan mandat. Pada dasarnya atribusi
adalah melekat pada jabatan kewenangannya, selain diatur secara langsung oleh konstitusi danatau Undang-Undang. Sedangkan delegasi dan mandat
diperoleh melalui pelimpahan administratif yang kemudian dibedakan dari jenis pertanggungjawabannya.
Dalam delegasi
merupakah pelimpahan
kewenangan pemerintah dari suatu organ pemerintah ke organ pemerintah
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
282
lainnya. Sedangkan pada mandat, pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya, akan tetapi tidak mengalihkan
tanggung jawab. Hal ini bukan hanya ciri teoritik tetapi juga dapat dilihat pada Pasal 11-14 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Ketiga , konformitas hukum pengambilan kebijakan. Pada dasarnya, kebijakan
hukum dapat dianggap benar secara hukum tatkala diambil dengan proses hukum yang benar berdasarkan kewenangan yang dimiliki. jika hal tersebut
diambil dalam bentuk regaling aturan maka harus diambil dalam sebuah proses penyusunan peraturan yang sudah benar dan tepat sebagaimana
diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, serta asas umum pemerintahan yang baik
Dalam tiga kerangka tersebut, maka UU Pengampunan Pajak dapat dilihat dalam kerangka kebijakan publik secara lebih luas. Bahwa UU
Pengampunan Pajak merupakan
salah satu model
dari
open legal
-
policy yang dimiliki oleh pemilik kewenangan pengambilan kebijakan perpajakan
dalam rangka mengisi kebijakan perpajakan. Sepanjang, kebijakan tersebut sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan pengambilan kebijakan
dilakukan secara besar berdasarkan kewenangan yang dimiliki.
Open legal policy adalah kebijakan hukum yang diambil oleh pembentuk
peraturan perundang-undangan untuk menerjemahkan makna visi negara yang tercantum di dalam UUD 1945. Dalam beberapa Putusan MK, telah
diperkenalkan model
open legal policy ini setidaknya dalam dua hal; Pertama,
tatkala
UUD
hanya mengatur hal pemberian mandat kepada pembentuk UU untuk mengatur ke hal yang lebih khusus. Kedua, tatkala UUD tidak mengatur
pendelegasian pengaturannya.
Dalam konsepsi open legal policy
yang menjadi ukuran adalah tujuan utama yang lebih besar ingin dicapai dalam pengaturan tersebut. Sehingga,
jika pun dikenakan pembatasan, maka pembatasan konsepsi open legal policy
akan menempatkan negara dalam mengambil tindakan dapat mengambil langkah yang diperlukan sepanjang tetap menjaminkan penghormatan hak dan
kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban dalam suatu
masyarakat demokratis.
Putusan MK Nomor 86PUU-X2012
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
283
Dengan sudut pandang open legal policy,
maka tujuan lebih besar yang ingin dicapai mempertimbangkan cara berfikir
lesser evil, atau dengan memilih
mudharat yang terkecil yang mungkin didapatkan dengan kebijakan yang dikeluarkan. Karenanya, dengan konteks tujuan yang lebih besar yang ingin
dicapai dalam melaksanakan UU Pengampunan Pajak, maka dapat dipandang sebagai cara pandang
open legal policy negara dalam pengurusan dan
pengelolaan pajak demi keperluan negara dapat dilakukan sepanjang tidak melanggar batasan-batasan tertentu.
Perlindungan Hukum Pengambilan Pelaksanaan Kebijakan
Hal lainnya adalah perlindungan hukum bagi pelaksana kebijakan pengampunan pajak. Dalam kaitan dengan pihak-pihak dari suatu kebijakan,
setidaknya ada lima fungsi hukum menurut Sjahran Basah;
Pertama,
direktif sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk hal yang hendak
dicapai dalam kehidupan bernegara;
Kedua,
integratif sebagai sarana pemersatu bangsa;
Ketiga
, stabilitatif yakni sebagai pemelihara dan penjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
Keempat,
perfektif, sebagai sarana untuk menyempurnakan tindakan administrasi negara maupun sikap warga negara dan
kehidupan bermasyarakat, Kelima, korektif terhadap administrasi negara dalam
mendapatkan keadilan. Dalam fungsi yang kompleks inilah, maka peraturan tersebut tidak bisa
dan mustahil ditentukan hanya dalam satu Undang-Undang secara mendetail. Akan tetapi, ketentuan dan penegakan hal tersebut akan berada pada
berbagai Undang-Undang, bahkan juga dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksana lainnya, termasuk hingga keputusan-keputusan yang bersifat teknis
dalam rangka menjaga tujuan fungsi hukum secara administratif tersebut.
Hal yang harus diingat, dalam pelaksanaan kebijakan ini maka tidak hanya sekedar mengikat pada pihak-pihak yang terkena dampak dari suatu
aturan, akan tetapi juga mengikat pihak yang mengeluarkan aturan. Makanya, kontrol secara administratif itu bisa terhadap pihak yang diberi darnpak dalam
bentuk sanksi, akan tetapi juga pada pihak yang membuat kebijakan beserta produknya dalam bentuk uji materi. Karenanya, tindakan hukum yang pas
harus dilihat berdasarkan pada beban kesalahan yang seharusnya dikoreksi pada wilayah mana. Tinggal dapat dilihat dan dibedakan secara mendetail,
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
284
sanksi apa yang akan dijatuhkan pada saat adanya pelanggaran dalam melaksanakan suatu kebijakan tersebut. Tanggung jawab yang diukur
berdasar pada derajat kesalahan.
Pasal 22 UU Pengampunan Pajak mengatur bahwa Menteri, Wakil
Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat,
dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut balk secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Konsep ini
pada dasarnya diberikan kepada pelaksana kebijakan yang diperintahkan di dalam UU sebagai pelaksana dari suatu ketentuan perundangundangan.
Hal ini dapat dilihat secara dua hal.
Pertama
, Pasal 22 itu lama sekall tidak melakukan perlindungan menyeluruh, akan tetapi memberikan
perlindungan terbatas terhadap pengambilan pelaksanaan kebijakan hukum
yang
kompleks tersebut sepanjang ketika diambil tidak berdasar pada itikad buruk dan secara melawan perundang-undangan. Artinya tidak ada imunitas
absolut.
Kedua, dapat dipahami
bahwa
perlindungan
ini dalam kaitan dengan melaksanakan UU. Maka jika dalam kaitan melaksanakan UU, sudah
selayaknya pelaksana yang bersifat hanya sebagai pengeksekusi dari kebijakan yang diperintahkan oleh negara dilindungi dari kemungkinan
dipersalahkan dari kesalahan yang diperintahkan negara.
Kesimpulan
Pada hakikatnya, dalam hal yang telah diterangkan di atas, dapat dikatakan bahwa;
Pertama,
UU Pengampunan Pajak adalah bagian dari cita- cita besar negara dalam melakukan perbaikan sistem perpajakan dan
menguatkan pendanaan bagi keperluan negara sebagai cita-cita yang besar untuk membuat para pembayar pajak menjadi lebih taat.
Kedua,
UU Pengampunan Pajak adalah merupakan bagian dari
open legal policy pembentuk UU dalam hal membuat kebijakan publik yang berkaitan dengan
perpajakan.
Ketiga
, perlindungan hukum yang diberikan terhadap pelaksana UU Pengampunan Pajak adalah hal yang bersifat tidak absolut, karena hanya
dilindungi jika sudah melaksanakan dengan itikad yang baik dan benar secara peraturan perundang-undangan. Pada saat yang sama perlindungan yang
7
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
285
diperlukan sebagai pelaksana kebijakan agak dapat melaksanakan kebijakan negara yang telah dituangkan dalam UU Pengampunan Pajak.
9. Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum.