244
pengampunan pajak justru sangat relevan dengan era keterbukaan informasi.
4. DESAIN PENGAMPUNAN PAJAK
Desain pengampunan pajak juga mempertimbangkan konteks situasi pajak di Indonesia serta dalam rangka menemukan relevansi dengan apa yang menjadi
justifikasinya. Bagian ini menjelaskan tinjauan kritis atas kerangka hukum yang ada dalam program pengampunan pajak.
4.1. Acuan Hukum
Pertama, dari sisi kerangka hukum. Prinsip demokrasi juga mensyaratkan bahwa pengenaan pajak harus berdasarkan undang-undang dan bukan
administrative regulation. Terlebih jika hal tersebut mengatur mengenai subjek,
objek, tarif dan basis pajak, serta cara atau prosedur administrasi pelunasan kewajiban pajaknya. Dengan demikian, sifat memaksa yang terdapat dalam
pajak idealnya diatur melalui suatu undang-undang. Walaupun bersifat ‘memaksa’, kekuasaan untuk mengenakan pajak dibatasi melalui penerapan
prinsip-prinsip yang diperkenalkan oleh Adam Smith yaitu:i
equality dikenakan sesuai kemampuan membayar atau
ability to pay , ii prinsip
certainty harus mempunyai kepastian hukum, iii
convenience dikenakan
pada saat yang tidak menyulitkan, dan iv economy
biaya pemungutan dan kepatuhan seminimal mungkin. Sifat ‘memaksa’ tersebut tunduk pada
keempat elemen tersebut dan tercermin dalam Pasal 2 ayat 1 UU Pengampunan Pajak.
4.2. Sasaran
Pada dasarnya, hak untuk mengikuti program pengampunan pajak
diberikan kepada seluruh wajib pajak yang tidak patuh
, yakni yang selama ini belum atau belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban pajak.Dalam UU
Pengampunan pajak, kriteria ketidakpatuhan ini adalah wajib pajak yang belum atau belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban pajak terkait: i PPh; dan ii
PPN atau PPN dan PPNBM.
Dengan kata lain, UU Pengampunan Pajak tidak
hanya memberikan kesempatan sekelompok atau segelintir wajib pajak saja, atau memberikanperlakuan khusus bagi kelompok tertentu apalagi bersifat
diskriminatif. Tetapi, UU Pengampunan Pajak ditujukan kepada seluruh
wajib pajak yang tidak patuh
.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
245
Wajib pajak dikatakan
tidak patuh
apabila tidak mengisi dan menyampaikan SPT secara
benar
,
lengkap
, dan
jelas
, termasuk ketika
tidak melaporkan hartanya
dalam SPT. Pertanyaannya, apakah wajib pajak yang tidak melaporkan hartanya dalam SPT PPh yang ikut pengampunan pajak serta
merta dapat dikatakan pengemplang pajak? Jawabannya jelas belum tentu. Karena, bisa jadi harta yang tidak dilaporkan tersebut memang berasal dari
penghasilan yang sudah dikenakan pajak atau berasal dari penghasilan yang bukan objek pajak.
4.3. Pengungkapan Harta
Dalam UU Pengampunan Pajak, diatur bahwa untuk mendapatkan pengampunan atas kewajiban pajak yaitu: i PPh; dan ii PPN atau PPN dan
PPNBM yang belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pajak yang berlaku, mekanismenya dilakukan melalui
pengungkapan harta yang belum atau belum sepenuhnya dilaporkan di SPT PPh tahun 2015
. Uang tebusan yang dibayar untuk mendapatkan pengampunan dihitung dengan basis
pengungkapan harta tersebut. Jadi, terdapat perbedaan antara ‘
pengertian
’ pengampunan pajak untuk menghapuskan pajak terutang atas kewajiban dua
jenis pajak, dan ‘
basis
’ penghitungan uang tebusan yang didasarkan atas harta untuk mendapatkan fasilitas penghapusan pajak terutang atas dua jenis
kewajiban jenis pajak tersebut. Dengan demikian, program pengampunan pajak pada dasarnya
tidak menciptakan jenis objek pajak baru
. Harta yang belum atau belum sepenuhnya dilaporkan dalam SPT PPh 2015
digunakan sebagai
basis
untuk mendapatkan pengampunan pajak. Alasannya, karena harta yang belum atau belum sepenuhnya dilaporkan di
SPT PPh 2015 tersebut
merepresentasikan
kewajiban perpajakan yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh wajib pajak sampai dengan
tahun pajak 2015.
Adapun alasan penggunaan harta sebagai basis mekanisme perhitungan untuk mendapatkan pengampunan pajak adalah sebagai berikut:
i Banyak penghasilan terutama dari aktivitas-aktivitas shadow economy
sulit untuk diidentifikasi dan dikalkulasi, sehingga dibutuhkan suatu informasi
lain, yaitu harta, yang mampu mengestimasi approximation
besaran pajak terutang. Pada umumnya, akumulasi dari penghasilan, baik yang
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
246
dilaporkan maupun tidak, akan diinvestasikan dalam bentuk harta. Harta tersebut dapat saja berupa aset tidak bergerak, logam mulia, dana
deposito, hingga misalkan surat berharga dan asuransi. Oleh karena itu, sebagian dari harta yang dimiliki oleh wajib pajak pada dasarnya dapat
menjadi suatu prediksi tentang kondisi riil dari aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh wajib pajak. Dengan kata lain, informasi atas harta yang
belum atau belum sepenuhnya diungkap tersebut dapat dipergunakan dalam
memetakan perilaku kepatuhan wajib pajak
. ii Alasan kesederhanaan.Upaya melacak harta pada hakikatnya akan jauh
lebih mudah jika dibandingkan dengan upaya melacak transaksi penghasilan. Pengungkapan harta sebagai prasyarat pengampunan juga
turut mempertimbangkan
administrative cost pada saat periode pasca
pengampunan pajak, di mana meningkatkan kepatuhan akan lebih efisien karena adanya informasi atas harta wajib pajak sebagai alat verifikasi.
iii Dalam konteks sistem self assessment
dengan besaran shadow
economy yang tinggi, seperti di Indonesia, maka upaya
matching antara
harta dengan pembayaran pajak menjadi sangat penting. Matching
antara nilai pajak yang selama ini dibayarkan dengan jumlah kekayaan akan
membuat pemeriksaan pajak semakin mudah. Pada berikutnya, gap
antara pembayaran pajak dan jumlah harta dapat menjadi indikasi adanya penghasilan yang selama ini tidak tercatat atau tidak dilaporkan.
Selain itu, pengungkapan harta tersebut akan sangat bermanfaat bagi penegakan hukum pajak dan upaya memonitor naik turunnya kekayaan
wajib pajak di masa mendatang.
Terkait dengan kewajiban untuk mengungkapkan harta, pengampunan pajak seharusnya ‘tidak dibaca’ sebagai penghilangan unsur paksaan, karena
melalui pengampunan pajak justru pemerintah
memaksa
wajib pajak yang selama ini tidak patuh agar menjadi patuh. Lebih lanjut lagi, sifat ‘memaksa’
dari pajak juga dapat dilihat dari
upaya memaksa pengungkapan harta
yang belum atau belum sepenuhnya dilaporkan bagi wajib pajak yang ingin
mendapatkan pengampunan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 5 dan 6 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Jadi, elemen paksaan
yang ada dalam sistem pajak sejatinya
tidak hilang
.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
247
4.4. Fasilitas yang Diberikan
Desain program pengampunan pajak paling tidak memberikanempatfasilitas yang berkaitan dengan kewajiban PPh, dan PPN atau PPnBM, yaitu:
i penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana di
bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun
Pajak Terakhir 2015;
ii Penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan
Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;
iii Tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas kewajiban
perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan
iv Penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dalam hal wajib pajak
sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atas kewajiban
perpajakan, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang sebelumnya telah ditangguhkan.
Dari fitur-fitur tersebut terlihat bahwa pengampunan pajak kali ini
diberikan secara penuh
fully fledge . Terdapat dua alasan pemberian fasilitas-fasilitas
tersebut. Pertama, untuk memastikan bahwa program ini
menarik dan dapat mendorong partisipasi yang luas
. Dengan demikian, dapat dimanfaatkan oleh seluruh wajib pajak yang berada pada kelompok 2, 3, dan 4 sesuai
piramida kepatuhan. Kedua, pemberian fasilitas tersebut telah m
empertimbangkan aspek proporsionalitas
dalam hukum pajak, yaitu pemilihan cara yang tepat untuk mencapai tujuannya. Tujuan dari program
pengampunan pajak ini adalah sesuatu yang lebih luas dan strategis yang meliputi upaya repatriasi, peningkatan basis pajak, serta penerimaan.
Mencapai ketiga tujuan sekaligus merupakan hal yang sulit dan membutuhkan suatu desain pengampunan pajak yang cakupannya juga luas. Selain itu,
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
248
aspek proporsionalitas juga terlihat dari keseimbangan antara reward
fasilitas- fasilitas dengan
punishment sanksi bagi pihak yang tidak memanfaatkan
namun tidak patuh, maupun pihak yang memanfaatkan namun tidak jujur.
4.5. Tidak Mengampuni atau Melegalisasi Tindak Pidana Lainnya
Dalam program pengampunan pajak,
hanya tindak pidana perpajakan saja
yang diampuni. Artinya, pengampunan pajak tidak akan menggugurkan, mengurangi, atau menghapuskan tindak pidana lain. Dengan demikian,
peluang untuk penegakan hukum di bidang tindak pidana lainnya masih terbuka. Akan tetapi, dalam upaya penegakan tersebut dasar penyelidikan,
penyidikan, danatau penuntutan pidana informasi yang dipergunakan haruslah berasal dari
sumber lain
dan bukan yang terkandung dalam Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak.
Lebih lanjut lagi, penting untuk dicatat bahwa Undang-Undang Perpajakan di Indonesia
tidak memperhatikan asal dari penghasilan
yang dikenakan pajak. Oleh karena itu, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
bersumber dari aktivitas ilegal sekalipun seharusnya dapat dikenakan pajak. Selain itu, otoritas pajak juga hanya berwenang memungut pajak dan tidak
memiliki otoritas untuk melegalisasi aktivitas ekonomi tersebut. Pemungutan pajak atas aktivitas yang melanggar hukum tidak serta merta berarti
melegalkannya.
4.6. Jaminan Kerahasiaan Informasi
Pasal 20 UU Pengampunan Pajak memberikan jaminan bahwa data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan Harta dan lampirannya yang
diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan sebagai
dasar penyelidikan, penyidikan, danatau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.
Adapun Pasal 21 ayat 3 UU Pengampunan Pajak menyatakan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, termasuk pihak lain
yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, danatau memberitahukan data dan
informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh wajib pajak kepada pihak lain.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
249
Pasal 20 dan Pasal 21 ayat 3 di atas sejalan dengan masalah pengaturan kerahasiaan
confidentiality informasi wajib pajak merupakan salah satu
elemen utama
hak-hak wajib pajak yang mendasar
. Artinya, undang-undang maupun ketentuan administrasi pajak harus mengatur bahwa informasi yang
diberikan wajib pajak terkait kewajiban perpajakannya tidak boleh diungkapkan kepada publik kecuali dengan seijin wajib pajak yang bersangkutan. Hak wajib
pajak atas privasi maupun atas kerahasiaan mengharuskan otoritas pajak untuk tidak akan menggunakan atau membocorkan informasi pribadi atau
keuangan wajib pajak, menjaga kerahasiaan setiap informasi yang diperoleh, diterima, atau didapat, serta hanya mengizinkan petugas yang telah disahkan
oleh hukum untuk menjalankan pemeriksaan data pribadi atau data keuangan wajib pajak. Jika terdapat perlakuan yang adil dan penghormatan atas hak-
haknya, wajib pajak cenderung bersedia
lebih patuh
terhadap kewajiban perpajakannya.
Sekali lagi perlu dipahami bahwa UU Pengampunan Pajak hanya dimaksudkan untuk mengampuni kewajiban pajak dan pidana pajak dan
tidak dimaksudkan untuk mengampuni pidana lainnya
. Apabila aparat penegak hukumpihak lain
memiliki sumber data sendiri
atas harta yang dilaporkan oleh wajib pajak dalam Surat Pernyataan maka atas harta yang dilaporkan
dalam Surat Pernyataan dapat dijadikan sebagai objek sita, perampasan, objek sengketa perdata dan sebagainya.
5. Prospek Keberhasilan Pengampunan Pajak