adanya syarat memiliki izin lokasi.
31
Dasar menerbitkan izin lokasi adalah berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
32
Terkait dengan aturan perizinan tersebut, diatur adanya tindak pidana administratif dalam Pasal 75 dan Pasal 75A. Namun tidak ditemukan
satu rumusan mengenai tindak pidana terhadap kegiatan pemanfaatan ruang laut yang tidak berdasarkan atas rencana zonasi wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil ataupun rencana strategis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Baru sedikit daerah yang memiliki pengaturan mengenai pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil baik dalam Peraturan Daerah
tentang RSWP-3-K dan RZWP-3-K. Minimnya pengaturan mengenai penataan ruang pesisir ini dapat menimbulkan konflik pemanfaatan
dapat membahayakan dan merugikan pemanfaatan yang telah ada existing. Untuk itu seharusnya ada ketentuan larangan menerbitkan
izin pemanfaatan ruang apabila belum ada pengaturan mengenai pemanfaatan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil.
Prinsip regulatori sistem yang dianut dalam UU No. 26 tahun 2007 memandatkan bahwa setiap pemanfaatan ruang dan sumber daya wajib
didasarkan atas ketentuan peraturan perencanaan ruang. Sehingga terdapat berbagai ketentuan larangan menerbitkan izin pemanfaatan
ruang yang melanggar perencanaan ruang. Perumusan tindak pidana dalam UU No. 27 Tahun 2007 dan UU No. 1 Tahun 2014 memiliki
perbedaan mendasar dengan UU No. 26 Tahun 2007. Jika dalam UU No. 26 Tahun 2007 terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
ketentuan perencanaan ruang RTRW dapat dikenakan sanksi pidana.
33
Namun dalam UU No. 27 Tahun 2007 tidak ditemukan adanya ketentuan jika ditemukan adanya pemanfaatan ruang pesisir yang tidak sesuai
dengan RSWP-3K dan RZWP-3-K. Selain tindak pidana administratif dalam Pasal 75 dan Pasal 75A, UU No.
27 Tahun 2007 juga mengatur 12 dua belas kejahatan dalam pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Larangan tersebut diancam pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
2.000.000.000,00 dua miliar rupiah dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah Lihat tabel 2.2.
34
Selain itu UU No. 27 Tahun 2007 juga mengatur mengenai kelalaian tidak
melaksanakan kewajiban rehabilitasi dan kewajiban reklamasi.
35 31
Ibid, Pasal 16 ayat 2.
32
Ibid, Pasal 17 ayat 1.
33
Lihat Pasal Pasal 69, Pasal 70, Pasal 72, dan Pasal 73 UU No. 26 Tahun 2007.
34
Pasal 35 jo. Pasal 73 UU No. 27 Tahun 2007.
35
Pasal 74 setiap Orang yang karena kelalaiannya: a. tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 1; danatau b. tidak
b. Pengaturan Pidana Dalam UU Pelayaran dan UU Perikanan
Dalam pemanfaatan perairan bagi pelayaran, sejak 7 Mei 2008 telah disahkan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang terbagi dalam
dua puluh dua bab.
36
Dalam ketentuan umum dijelaskan bahwa Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di
perairan, kepelabuhanan,
keselamatan dan
keamanan, serta
perlindungan lingkungan maritim.
37
Ruang lingkup UU No. 17 Tahun 2008 mencakup semua kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan,
keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan Indonesia.
38
Selain itu juga berlaku kepada kapal asing yang berada di perairan Indonesia dan kapal berbendera Indonesia
yang berada di luar perairan Indonesia.
39
Terkait dengan tindak pidana, UU No. 17 Tahun 2008 mengatur ketentuan Pidana pada Bab XIX dari mulai pasal 284 hingga pasal 336.
Ketentuan pidana dalam UU No. 17 Tahun 2008 mengatur 53 lima puluh tiga rumusan norma perbuatan dengan empat subjek pelaku
pidana meliputi setiap orang, nakhoda kapal, awak kapal, pejabat dan korporasi. Jenis tindak pidana yang dirumuskan oleh UU No. 17 Tahun
2008 mencakup mulai tindak pidana administratif, tindak pidana formil dan materil termasuk juga mengatur mengenai tindak pidana korporasi.
Ketentuan aturan mengenai UU No. 17 Tahun 2008 mengatur kegiatan lain menyangkut juga khusus dalam kegiatan Perikanan.
40
Ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah mengalami
perkembangan dengan revisi dan tambahan dalam UU No. 45 Tahun 2009 kedua undang-undang tersebut akan disebut UU Perikanan
tindakan hukum terhadap pelaku IUU Fishing. Secara tegas, Pasal 4 UU Perikanan membatasi ruang lingkup berlakunya terhadap subjek dan
objek pengaturannya. Keberlakuan UU Perikanan kepada setiap orang, baik warga negara
Indonesia maupun warga negara asing dan badan hukum Indonesia
melaksanakan kewajiban reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat 2 diancam pidana kurungan paling lama 6 enam bulan atau denda paling banyak
Rp. 300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah.
36
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pelayaran. UU No. 17 Tahun 2008. LN No. 64 Tahun 2008 TLN No. 4849. Terdapat dua puluh dua Bab.
37
Ibid., Pasal 1 angka 1.
38
Ibid Pasal 4 huruf a.
39
Ibid PAsal 4 huruf b dan c.
40
Bagian umum penjelasan pragraf 16 menjelaskan bahwa peraturan perundang- undangan lain yang berkaitan dengan pelayaran termasuk di dalamnya UU No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan serta sepanjang aspek keselamatan dan keamanan pelayaran tunduk pada pengaturan UU Pelayaran.
maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan terhadap setiap
kapal perikanan baik yang berbendera Indonesia maupun kapal berbenderaasing.
41
Wilayah perikanan yang diatur dalam meliputi seluruh wilayah perairan dan lautan Indonesia. Wilayah pengelolaan dan
perikanan baik untuk penangkapan ikan danatau pembudidayaan ikan meliputi: seluruh perairan Indonesia, Zona ekonomi ekslusif Indonesia
serta sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah
Republik Indonesia.
42
Secara tegas dalam Pasal 29 mengatur mengenai pelaku usaha perikanan di Indonesia yang hanya boleh dilakukan oleh warga negara
Indonesia atau badan hukum Indonesia. Pengecualian hanya kepada badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI,
sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang
berlaku.
43
Ketentuan ini dihubungkan dengan kewajiban Indonesia berdasarkan Pasal 62 ayat 2 UNCLOS 1982.
44
Perubahan UU Perikanan diperkuat dengan adanya tindakan khusus berupa pembakaran danatau penenggelaman kapal perikanan yang
berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup oleh penyidik danatau pengawas perikanan.
45
bukti permulaan yang cukup
41
Pasal 4 menjelaskan ruang lingkup berlakunya UU Perikanan. Terdapat 3 konteks bagi kapal perikanan yaitu: a setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal
perikanan berbendera asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; b setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang
melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; dan c setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan,
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam bentuk kerjasama dengan pihak asing.
42
Pasal 5 UU Perikanan.
43
Pasal 29 UU Perikanan.
44
Konsep pengaturan dalam Pasal 29 ayat 2 mendapat kritik dikaitkan dengan ketentuan Pasal 62 ayat 2 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa negara pantai
coastal state harus menetapkan kemampuannya untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati ZEE. Apabila negara pantai tidak memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang dapat diperbolehkan, maka negara pantai melalui perjanjian atau pengaturan lainnya dan sesuai dengan ketentuan,
persyaratan dan peraturan perundang-undangan tersebut pada ayat 4, memberikan kesempatan pada negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang dapat
diperbolehkan yang masih tersisa dengan memperhatikan secara khusus ketentuan pasal 69 dan 70, khususnya yang bertalian dengan negara berkembang. Fakta dan situasi
perikanan menunjukkan terjadi penurunan jumlah produksi perikanan sebagai contoh komoditas skipjack tuna yang menurun pada tahun 1998 sebesar 45.768 menurun dari
tahun 1997 sebesar 49.682. Lihat Ramlan, Konsep Hukum Tata Kelola Perikanan Perlindungan Hukum Industri Perikanan dari Penanaman Modal Asing Indonesia. Sertara
Pres: Malang. 2015. Hal. 219.
45
Pasal 69 ayat 4 UU Perikanan.
diterangkan dalam penjelasan dengan unsur-unsur: kapal perikanan berbendera asing, tidak memiliki SIPI dan SIKPI, serta nyata-nyata
menangkap danatau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
46
Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat edaran Surat Edaran No. 1 Tahun 2015,
menegaskan tidak diperlukan adanya perstujuan ketua Pengadilan Negeri dalam tindakan khusus ini. Terhadap kapal yang terlibat
kejahatan pencurian ikan di laut wajib ada persetujuan Ketua Pengadilan Negeri setempat ataupun tingkat pengadilan yang telah dilimpahkan
perkara.
47
Tindakan ini merupakan terobosan hukum untuk memberikan efek jera kepada pelaku pencuri ikan khususnya kepada pelaku kapal
perikanan berbendera asing. Tindakan khusus penenggelaman kapal tidak dapat dilakukan sewenang-senang tetapi hanya ditujukan kepada
kapal berbendera asing yang melakukan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah Indonesia.
Ketentuan pidana dalam UU Perikanan diatur dalam Bab XV dari mulai Pasal 84 hingga Pasal 103. Berdasarkan inventarisir yang dilakukan
terdapat 20 norma perbuatan tindak pidana yang diatur dalam UU Perikanan. Kejahatan dan Pelanggaran yang diatur masih kurang melihat
modus pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku kejahatan perikanan.
48
Pengaturan mengenai tindak pidana dalam perikanan melihat lebih mendalam dari sisi subjek pelaku yang telah mengakui pelaku yang lebih
luas yaitu orang, nakhoda kapal, pejabat termasuk nelayan skala kecilpembudi daya skala kecil dengan penurunan ancaman pidana.
Terkait subjek orang yang diperluas termasuk korporasi.
49
Pokok penting adalah adanya aspek terkait dengan pelaku kapal berbendera asing yang
dapat dikenakan pidana terhadap pelanggaran kebijakan perikanan nasional.
Selain mengatur ketentuan tindak pidana dalam perikanan, UU Perikanan juga mengatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan
yang khusus berwenang memeriksa, mengadili. dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.
50
46
Penjelasan Pasal 69 ayat 4 UU Perikanan.
47
Mahkamah Agung. Surat Edaran Nomor 01Bua.6HsSPIII2015 tentang Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2015 tentang Barang Bukti Kapal Dalam Perkara Perikanan. Jakarta
Maret 2015.
48
Lihat Mas Achmad Santosa. Alam pun Butuh Hukum Keadilan, Asas Prima Pustakan, Jakarta, Cetakan Pertama. 2016.
49
Pasal 1 angka 14 UU Perikanan.
50
Pasal 71 ayat 3 UU Perikanan.
III. Pengaturan Pidana Kelautan dan Kemaritiman dalam RKUHP
Dalam Buku I, Pasal 4 mengenai asas wilayah atau teritorial menjelaskan mengenai keberlakuan ketentuan pidana menyangkut wilayah
Indonesia, dalam kapal Indonesia, dan akibat yang dialami atau terjadi di wilayah indonesia atau dalam kapal indonesia. Selain itu, terdapat
penjelasan mengenai mengenai awak kapal, definisi kapal dan kapal Indonesia, nakhoda, dan penumpang.
51
Dari buku I RKUHP tersebut, Tidak ditemukan penjelasan mengenai wilayah laut Indonesia yang berbeda dengan KUHP yang merujuk kepada
TZMKO. Seharusnya RKUHP merujuk kepada berbagai peraturan- peraturaan terkait dengan kelautan untuk menentukan wilayah laut
Indonesia. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, telah ditegaskan dalam UU Kelautan, wilayah laut Indonesia yang terdiri atas
wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Persoalan penegakan hukum di dalam wilayah kedaulatan dan wilayah berdaulat memiliki perbedaan.
Konsekuensinya adalah penegakan hukum terkait perikanan di wilayah perairan teritorial dengan wilayah yurisdiksi.
Dalam buku II hanya terdapat, bagian khusus mengenai Tindak Pidana Pelayaran diatur dalam Bab XXXIV yang terbagi dalam delapan bagian
dengan 35 ketentuan pasal.
52
Selain itu, terdapat 8 pasal lain yang terkait dengan kegiatan kemaritiman yaitu Pasal 371, Pasal 372, Pasal
375, Pasal 376, Pasal 565, Pasal 566, Pasal 567, Pasal 662. Secara keseluruhan terdapat 12 tindak pidana terkait dengan kegiatan kelautan
dan kemaritiman dalam RKUHP.
Tabel 3.1
Tindak Pidana Terkait Kegiatan Kemaritiman dalam RKUHP No. Norma
Pasal RKUHP
1. Tindak Pidana terkait Rambu Pelayaran
Pasal 371 dan PAsal 372
2. Tindak Pidana Perusakan Kapal
Pasal 375 dan 376
3. Perdagangan Orang di Kapal
Pasal 565 4.
Pengangkutan Orang untuk Diperdagangkan dengan Menggunakan Kapal
Pasal 567 5.
Penghancuran dan Perusakan Bangunan Pasal 662
6. Perompakan dan Perampasan Kapal
Pasal 707-713
51
Pasal 168, Pasal 182, Pasal 183, PAsal 196 dan Pasal 202 RKUHP
52
Rancangan KUHP Final, 5 Juni 2015 sumber: http:reformasikuhp.orgr-kuhp. Diakses pada 20 MEi 2016. Bab XXXIV mengenai Tindak Pidana Pelayaran Pasal 707-Pasal 741.