Pengaturan Pidana Dalam UU Pelayaran dan UU Perikanan

III. Pengaturan Pidana Kelautan dan Kemaritiman dalam RKUHP

Dalam Buku I, Pasal 4 mengenai asas wilayah atau teritorial menjelaskan mengenai keberlakuan ketentuan pidana menyangkut wilayah Indonesia, dalam kapal Indonesia, dan akibat yang dialami atau terjadi di wilayah indonesia atau dalam kapal indonesia. Selain itu, terdapat penjelasan mengenai mengenai awak kapal, definisi kapal dan kapal Indonesia, nakhoda, dan penumpang. 51 Dari buku I RKUHP tersebut, Tidak ditemukan penjelasan mengenai wilayah laut Indonesia yang berbeda dengan KUHP yang merujuk kepada TZMKO. Seharusnya RKUHP merujuk kepada berbagai peraturan- peraturaan terkait dengan kelautan untuk menentukan wilayah laut Indonesia. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, telah ditegaskan dalam UU Kelautan, wilayah laut Indonesia yang terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Persoalan penegakan hukum di dalam wilayah kedaulatan dan wilayah berdaulat memiliki perbedaan. Konsekuensinya adalah penegakan hukum terkait perikanan di wilayah perairan teritorial dengan wilayah yurisdiksi. Dalam buku II hanya terdapat, bagian khusus mengenai Tindak Pidana Pelayaran diatur dalam Bab XXXIV yang terbagi dalam delapan bagian dengan 35 ketentuan pasal. 52 Selain itu, terdapat 8 pasal lain yang terkait dengan kegiatan kemaritiman yaitu Pasal 371, Pasal 372, Pasal 375, Pasal 376, Pasal 565, Pasal 566, Pasal 567, Pasal 662. Secara keseluruhan terdapat 12 tindak pidana terkait dengan kegiatan kelautan dan kemaritiman dalam RKUHP. Tabel 3.1 Tindak Pidana Terkait Kegiatan Kemaritiman dalam RKUHP No. Norma Pasal RKUHP 1. Tindak Pidana terkait Rambu Pelayaran Pasal 371 dan PAsal 372 2. Tindak Pidana Perusakan Kapal Pasal 375 dan 376 3. Perdagangan Orang di Kapal Pasal 565 4. Pengangkutan Orang untuk Diperdagangkan dengan Menggunakan Kapal Pasal 567 5. Penghancuran dan Perusakan Bangunan Pasal 662 6. Perompakan dan Perampasan Kapal Pasal 707-713 51 Pasal 168, Pasal 182, Pasal 183, PAsal 196 dan Pasal 202 RKUHP 52 Rancangan KUHP Final, 5 Juni 2015 sumber: http:reformasikuhp.orgr-kuhp. Diakses pada 20 MEi 2016. Bab XXXIV mengenai Tindak Pidana Pelayaran Pasal 707-Pasal 741. 7. Pemalsuan Surat Keterangan Kapal dan Laporan Palsu Pasal 714-717 8. Pembangkangan dan Pemberontakan di Kapal Pasal 718-721 9. Tindak Pidana Nakhoda Kapal Pasal 722-731 10. Perusakan Barang Muatan dan Keperluan Kapal Pasal 732 11. Menjalankan Profesi sebagai Awak Kapal Pasal 733-734 12. Penandatanganan Konosemen dan Tiket Perjalanan Pasal 735-736 Tindak pidana yang diatur dalam RKUHP sangat terbatas dalam sektor pelayaran semata. Sementara tidak ada satupun pengaturan RKUHP yang terkait dengan bidang sektor dalam perikanan. Dalam sektor perikanan memiliki kekhususan dimana adanya tindak pidana administratif terhadap pelaku perikanan diluar nelayan kecil. Subjek yang diatur dalam RKUHP terkait dengan tindak pidana kelautan dan kemaritiman meliputi setiap orang, nakhoda, awak kapal dan penumpang kapal Indonesia Tabel 3.2. Hanya empat subyek yang diatur dalam RKUHP dimana tidak termasuk ketentuan sektoral yang khusus. Misalnya pemilik kapal, pelaku usaha skala kecil nelayan kecil dan pembudidaya kecil, kapal berbendera asing, termasuk dalam hal ini pajabat yang memiliki kewenangan menerbikan perizinan. Secara khusus dalam UU Perikanan terhadap pelaku skala kecil diberikan pembedaan pemidanaan yang diperingan.Termasuk dalam UU Pelayaran subyek lain seperti petugas pandu yang tidak diatur, padahal dalam UU Pelayaran mengatur mengenai petugas pandu sementara dlam UU Perikanan. Tabel 3.2 Subyek Hukum Pelaku Tindak Pidana dalam RKUHP No. Subyek Hukum Pasal 1. Setiap Orang Pasal 371-372, 375-376, 375-376, Pasal 565- 567, Pasal 567, 662, Pasal 707-712, 715- 716, 719, 721, 732-737, 2. Nakhoda Pasal 713-714 ayat 1, 717, 722-724 ayat 1, 725-731 dam 738 3. Awak Kapal 714 ayat 2, Pasal 718 ayat 1 huruf b, Pasal 718 ayat 2 4. Penumpang kapal Indonesia Pasal 718 ayat 1 huruf a, Pasal 718 ayat 2, 724 ayat 2

IV. Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari pembahasan diatas, RKUHP sangat minim dalam pengaturan mengenai kejahatan yang telah berkembang dalam sektor kelautan dan kemaritiman. Ditemukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. R-KUHP tidak merujuk kepada penjelasan mengenai wilayah lautan Indonesia. Berbeda dengan KUHP yang merujuk kepada TZMKO 1938 dalam menetapkan wilayah laut Indonesia. Padahal telah ada beberapa ketentuan perundang-undangan yang menetapkan wilayah laut Indonesia yang tidak. b. Kejahatan yang diatur hanya terbatas dalam sektor pelayaran namun dengan membandingkan dengan pengaturan kejahatan pidana dalam UU Pelayaran RKUHP sangat minimalis dengan menghilangnya norma pidana yang lebih maju dan menjadi lebih sedikit. Secara khusus subyek pelaku yang tidak mengikuti perkembangan pengaturan dalam hukum pelayaran. c. Tidak ada pengaturan khusus dalam kejahatan perikanan khususnya terkait dengan IUU Fishing, padahal dalam naskah akademik terdapat inventarisir atas Undang-Undang Perikanan yang termasuk menjadi bagian UU Sektoral yang mengatur mengenai tindak pidana perikanan. d. RKUHP juga mengancam perkembangan upaya melawan IUU Fishing yang terjadi di Indonesia. Tindakan khusus dengan penenggelaman danatau pembakaran kapal terhadap kapal asing pelaku illegal fishi g dapat bergerak u dur jika tidak diatur subyek pelaku kapal asi g . Rekomendasi adalah: a. Merujuk kepada wilayah laut Indonesia yang terbagi dalam wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Untuk menegaskan hak kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dalam penegakan hukum pidana termasuk komitmen Indonesia dalam perjanjian internasional. b. Melakukan perbandingan norma permbuatan yang diatur antara RKUHP dengan undang-undang sektor dalam bidang kelautan dan kemaritiman. Hal ini untuk memastikan pekembangan hukum sektoral tidak terabaikan khususnya dengan karakteristik khusus. Misalnya dalam pengaturan terhadap pelaku kejahatan yang berbeda. c. Perlu memastikan ketentuan pidanan khusus yang berkaitan dengan upaya memberantas IUU fishing menjadi norma yang diakui dalam ketentuan RKUHP. Tujuannya untuk memastikan upaya yang telah dilakukan dalam pemberantasan IUU Fishing tidak berjalan mundur. Profil Penulis Ahmad Martin Hadiwinata, SH., MH adalah Kepala Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan diKesatuan Nelayan Tradisional Indonesia KNTI. Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Komite Eksekutif di Institute for Criminal Justice Reform ICJR. Saat ini Aktif dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP