Pendahuluan 4. Tindak Pidana Pelayaran Dalam Rancangan KUHP final 20 Juni ok

R-KUHP berjalan lebih maju dengan mengatur bidang lain, mengingat selain pelayaran, pemanfaatan laut dan kemaritiman memiliki cakupan sektor yang lebih luas diantaranya kegiatan perikanan. Kebijakan hukum terkait pemanfaatan sumber daya laut dan perairan telah mengalami berbagai perkembangan peraturan perundang- undangan. Perkembangan tersebut dapat ditandai dengan berlakunya berbagai undang-undang yang mengatur kelautan serta ratifikasi berbagai ketentuan terkait dengan kemaritiman. Ditambah lagi berbagai komitmen Pemerintah Indonesia dalam hukum internasional yang bersifat soft law. 10 Berbagai undang-undang dan konvensi yang telah diratifikasi tersebut yaitu: 1. UU No. 16 Tahun 1964 Tentang Bagi Hasil Perikanan 2. UU No. 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen Indonesia 3. UU No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 4. UU No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea UNCLOSKonvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut 5. UU No. 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan Ikan Dan Tumbuhan 6. UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia 7. UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagaimana telah diubah UU NO. 45 TAHUN 2009 8. UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana 9. UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang 10. UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah UU No. 1 Tahun 2014 11. UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran 12. UU No. 21 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Agreement For The Implementation Of The Provisions Of The United Nations Convention On The Law Of The Sea Of 10 December 1982 Relating To The Conservation And Management Of Straddling Fish Stocks And Highly Migratory Fish Stocks 13. UU No. 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan 14. UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam 10 Beberapa komitmen Pemerintah Indonesia terkait dengan hukum internasional yang bersifat lunak khususnya dalam sektor perikanan seperti: Tata laksana perikanan bertanggung jawab 1995, International Plan Of Action To Prevent, Deter And Eliminate IUU Fishing Tahun 2001, Regional Plan Of Action To Prevent, Deter And Eliminate IUU Fishing Tahun 2007, National Plan Of Action To Prevent, Deter, And Eliminate IUU Fishing yang diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 50MEN2012 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Dan Penanggulangan Illegal, Unreported, And Unregulated Fishing Tahun 2012-2016, terakhir adanya komitmen dalam Pedoman Sukarela Perlindungan Perikanan Skala Kecil Tahun 2014. Arah perubahan R-KUHP seharusnya sejalan dengan upaya memperbaiki pengaturan mengenai tindak pidana terkait kelautan dan kemaritiman. Terlebih dalam era pemerintahan hari ini, muncul semangat untuk membangkitkan kejayaan kemartiman Bangsa Indonesia melalui upaya menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Kejahatan- kejahatan terkait dengan pemanfaatan laut dan sumber daya dikandungnya semakin berkembang dimana diperlukan upaya yang lebih maju. Salah satu sumber daya laut yang penting adalah perikanan yang harus tetap terjaga kelestariannya mengingat berbagai sumber daya lain seperti kehutanan dan pertambangan telah dieksploitasi. Kejahatan terkait perikanan akan terkait erat dengan kejahatan Illegal, unregulated dan unreported fishing yang menimbulkan kerugian hingga mencapai 100 triliun. 11 Banyak sebab yang menunjukkan masih terjadinya kejahatan IUU Fishing. Terdapat 12 modus pelanggaran perikanan dan 9 modus pelanggaran terkait perikanan lainnya Tabel 1.2. 12 Tabel 1.2 Modus Pelanggaran Perikanan dan Pelanggaran Terkait Perikanan Lainnya Modus Pelanggara Perikanan Modus Pelanggaran Terkait Perikanan Lainnya 1. Pemalsuan dokumen pendaftaran kapal; 2. Bendera kapal dan registrasi ganda; 3. Menangkap ikan tanpa izindokumen pelayaran; 4. Modifikasi kapal secara ilegal; 5. Menggunakan nakhoda dan ABK asing; 6. Tidak mengaktifkan pemantauan kapal; 7. Transit yang ilegal; 8. Pemalsuan data logbook; 9. Pelanggaran jalur penangkapan ikan; 10. Penggunaan alat tangkap terlarang; 11. Tidak memilikibermitra dengan UPI; 12. Tidak mendaratkan ikan di pelabuhan yang ditetapkan dalam izin. 1. Transaksi BBM ilegal; 2. Tindak pidana terkait imigrasi; 3. Tindak pidana kepabeanan; 4. Tindak pidana pencucian uang; 5. Tindak pidana pajak; 6. Korupsi; 7. Pelanggaran serius HAM perbudakan, perbudakan anak dan perdagangan orang; 8. Transaksi narkoba; 9. Tindak pidana ketenagakerjaan. 11 Tidak ada data pasti menyangkut angka kerugian negara dalam beberapa pemberitaan muncul angka hingga mencapai Rp. 300 Triliun. 12 Mas Achmad Santosa , Alam pun Butuh Hukum Keadilan , Asas Prima Pustaka, Jakarta, Cetakan Pertama. 2016. Makalah ini bermaksud mengangkat dua pokok permasalahan. Pertama, bagaimana perkembangan pengaturan tindak pidana dalam undang- undang sektoral yang terkait kelautan dan kemaritiman, yaitu dalam UU Kelautan, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pelayaran dan perikanan. Permasalahan pertama ini akan dijawab dengan menganalisis ketentuan-ketentuan pidana dalam undang-undang terkait kelautan dan kemaritiman. Kedua bagaimana ketentuan tidak pidana terkait kelautan dan kemaritiman dalam RKUHP. Kedua, akan mengulas berbagai pengaturan ketentuan pidana dalam RKUHP dan membandingkan dengan ketentuan yang telah ada dalam undang- undang sektoral kelautan dan kemaritiman. Sehingga akan menghasilkan kelemahan RKUHP dan khususnya perkembangan pemidanaan dalam UU Sektoral.

II. Perkembangan Hukum Pidana Sektor Kelautan dan

Kemaritiman bagian ini, akan membahas mengenai ketentuan tindak pidana yang telah diatur dalam berbagai undang-undang sektoral kelautan dan kemaritiman diluar KUHP dalam pengaturan kewilayahan UU Kelautan dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Secara khusus, penulis akan menitikberatkan pada aspek mengenai pengaturan kegiatan dalam UU Pelayaran dan UU Perikanan.

a. Pengaturan Pidana Dalam UU Kelautan, dan UU Wilayah Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil Secara umum, mengenai pengelolaan kelautan telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang disahkan pada 17 Oktober 2014,. 13 UU No. 32 Tahun 2014 mengatur mengenai penyelenggaraan kelautan Indonesia yang meliputi: a. wilayah Laut; b. Pembangunan Kelautan; c. Pengelolaan Kelautan; d. pengembangan Kelautan; e. pengelolaan ruang Laut dan pelindungan lingkungan Laut; f. pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di Laut; dan g. tata kelola dan kelembagaan. 14 Terkait dengan wilayah laut, UU No. 32 Tahun 2014 menegaskan mengenai wilayah laut Indonesia yang terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi termasuk juga laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. 15 Wilayah perairan yang menjadi dimana Indonesia memiliki kedaulatan penuh, yaitu pada perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial. 16 Wilayah yurisdiksi Indonesia meliputi Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan Landas Kontinen. 17 Pembagian zona-zona tersebut berkonsekuensi 13 Indonesia. Undang-Undang Tentang Kelautan. UU No. 32 Tahun 2014. LN No. 294 Tahun 2014 TLN 5603. 14 Ibid, Pasal 4. 15 Ibid, Pasal 6 ayat 1. 16 Ibid, Pasal 7 ayat 1. 17 Ibid, Pasal 7 ayat 3. terhadap hak penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran hukum di dalam zona-zona maritim tersebut. Hanya terdapat satu ketentuan pidana dalam UU No. 32 Tahun 2014, yaitu dalam Pasal 49 yang mengatur tindak pidana administratif terkait Izin lokasi. 18 Mengenai Izin lokasi meliputi izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian perairan Laut yang mencakup permukaan Laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar Laut pada batas keluasan tertentu. 19 Ketentuan terkait dengan Izin lokasi yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang yaitu UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014. 20 UU No. 27 Tahun 2007 merupakan ketentuan khusus yang mengatur mengenai penataan ruang dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 21 UU No. 27 Tahun 2007 memiliki keterkaitan erat dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penyusunan Norma dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang- undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 22 Perencanaan strategis berupa Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berupa RSWP-3-K setara dengan perencanaan Tata Ruang Wilayah Provinsi atau KabupatenKota yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007. 23 Perencanaan Zonasi Wilayah 18 Pasal 49 berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap yang tidak memiliki izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam tahun dan pidana denda paling banyak Rp.20.000.000.000,00 dua puluh miliar rupiah. 19 Ibid Penjelasan Pasal 47 ayat 1. 20 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU No. 27 Tahun 2007. LN No. 84 Tahun 2007 TLN No. 4739. 21 Berdasarkan Pasal 6 ayat 5 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dapat dikatakan UU No. 27 Tahun 2007 dan UU 32 Tahun 2014 merupakan hukum yang khusus mengatur mengenai pengelolaan wilayah ruang pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal 6 ayat UU No. 2 Tahu 200 . Ya g berbu yi: Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang- u da g terse diri. Lih: Indonesia, Undang- undang Penataan Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, Lembaran Negara No. 68 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara No. 4725. 22 Penjelasan Bagian Umum angka 1 pragraf kedua UU No. 26 Tahun 2007. Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 23 Penjelasan Pasal 9 ayat 2, ayat 4 dan ayat 5 UUNo. 27 Tahun 2007 menjelaskan 3 hal bahwa: a RSWP-3-K Provinsi dan KabupatenKota merupakan bagian dari Tata Ruang Wilayah Provinsi atau KabupatenKota sesuai dengan Pasal 5 ayat 4 dan ayat 5 UU No. 26 Tahun 2007; b Jangka waktu berlakunya RSWP-3-K Provinsi dan KabupatenKota sesuai dengan jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah KabupatenKota sesuai dengan Pasal 23 ayat 3, dan Pasal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tingkat provinsi berupa setara dengan perncanaan pemetaan rencana tata ruang wilayah dalam UU No. 26 Tahun 2007. 24 Perencanaan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tingkat kabupatenkota setara dengan kerincian pemetaan rencana tata ruang wilayah tingkat kabupatenkota dalam UU No. 26 Tahun 2007. 25 Ruang lingkup UU No. 27 Tahun 2007 meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 dua belas mil laut diukur dari garis pantai. 26 UU No. 27 Tahun 2007 mewajibkan kepada Pemerintah Daerah untuk menyusun Perencanaan PWP3K. 27 Pokok pengaturan utama dalam UU No. 27 Tahun 2007 adalah terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 28 Secara khusus pemerintah daerah baik provinsi dan kabupatenkota dimandatkan untuk menyusun Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 29 Sebelum diubah UU No. 1 Tahun 2014, pokok pengaturan pemanfaatan sumber daya dalam UU No. 27 Tahun 2007 adalah HP-3 yang kemudian diubah menjadi skema perizinan dalam izin lokasi dan izin pengelolaan. 30 Untuk mendapatkan izin pengelolaan sebagai izin final, diperlukan 26 ayat 4 UU No. 26 Tahun 2007; c RSWP-3-K Provinsi dan RSWP-3-K KabupatenKota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi sesuai dengan Pasal 23 ayat 3 dan Pasal 26 ayat 7 UU No. 26 Tahun 2007. 24 Penjelasan Pasal 10 UU No. 27 Tahun 2007 huruf a yang menjelaskan bahwa skala peta RZWP-3-K Provinsi disesuaikan dengan tingkat ketelitian peta rencana tata ruang wilayah provinsi, sesuai dengan Pasal 14 ayat 7 UU No. 26 Tahun 2007. Kawasan pemanfaatan umum setara dengan kawasan budidaya dan kawasan konservasi setara dengan kawasan lindung sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007. 25 Penjelasan Pasal 11 ayat 1 UU No. 27 Tahun 2007: Pemerincian perencanaan pada tiap-tiap zona, dan tingkat ketelitian skala peta perencanaan disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah kabupatenkota sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 5. ayat 6, dan ayat 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 26 Ibid, Pasal 2. 27 Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terdiri dari: a Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil RSWP3K; b Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil RZWP3K; c Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil RPWP3K; d Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil RAPWP3K. Lih: Ibid, Pasal 7 ayat 3. 28 Ibid Pasal 5. 29 Pasal 7 ayat 5 UU PWP3K, Ibid. 30 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3PUU-VIII2010 Indonesia. Undang- Undang Tentang perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU No. 1 Tahun 2014. Pasal 16 dan Pasal 17. adanya syarat memiliki izin lokasi. 31 Dasar menerbitkan izin lokasi adalah berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 32 Terkait dengan aturan perizinan tersebut, diatur adanya tindak pidana administratif dalam Pasal 75 dan Pasal 75A. Namun tidak ditemukan satu rumusan mengenai tindak pidana terhadap kegiatan pemanfaatan ruang laut yang tidak berdasarkan atas rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ataupun rencana strategis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Baru sedikit daerah yang memiliki pengaturan mengenai pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil baik dalam Peraturan Daerah tentang RSWP-3-K dan RZWP-3-K. Minimnya pengaturan mengenai penataan ruang pesisir ini dapat menimbulkan konflik pemanfaatan dapat membahayakan dan merugikan pemanfaatan yang telah ada existing. Untuk itu seharusnya ada ketentuan larangan menerbitkan izin pemanfaatan ruang apabila belum ada pengaturan mengenai pemanfaatan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil. Prinsip regulatori sistem yang dianut dalam UU No. 26 tahun 2007 memandatkan bahwa setiap pemanfaatan ruang dan sumber daya wajib didasarkan atas ketentuan peraturan perencanaan ruang. Sehingga terdapat berbagai ketentuan larangan menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang melanggar perencanaan ruang. Perumusan tindak pidana dalam UU No. 27 Tahun 2007 dan UU No. 1 Tahun 2014 memiliki perbedaan mendasar dengan UU No. 26 Tahun 2007. Jika dalam UU No. 26 Tahun 2007 terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan perencanaan ruang RTRW dapat dikenakan sanksi pidana. 33 Namun dalam UU No. 27 Tahun 2007 tidak ditemukan adanya ketentuan jika ditemukan adanya pemanfaatan ruang pesisir yang tidak sesuai dengan RSWP-3K dan RZWP-3-K. Selain tindak pidana administratif dalam Pasal 75 dan Pasal 75A, UU No. 27 Tahun 2007 juga mengatur 12 dua belas kejahatan dalam pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Larangan tersebut diancam pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000,00 dua miliar rupiah dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah Lihat tabel 2.2. 34 Selain itu UU No. 27 Tahun 2007 juga mengatur mengenai kelalaian tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi dan kewajiban reklamasi. 35 31 Ibid, Pasal 16 ayat 2. 32 Ibid, Pasal 17 ayat 1. 33 Lihat Pasal Pasal 69, Pasal 70, Pasal 72, dan Pasal 73 UU No. 26 Tahun 2007. 34 Pasal 35 jo. Pasal 73 UU No. 27 Tahun 2007. 35 Pasal 74 setiap Orang yang karena kelalaiannya: a. tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 1; danatau b. tidak