BAGAIMANA PANDANGAN AGAMA TERHADAP PEMUNGUTAN PAJAK

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pentingnya pajak bagi bangsa Indonesia sangat terasa manfaatnya, dengan predikat bagsa
indosesia adalah negara berkembang. Negara berkembang , senantiasa melakukan
pembangunan di segala bidang sebagai wujud dari pemenuhan kewajibannya terhadap rakyat
Indonesia yaitu melindungi rakyat dengan segala kepentingannya, menyediakan sarana dan
prasarana yang diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan pemerintah, memberikan
pelayanan kepada rakyat, menegakan hukum, serta memelihara ketertiban dan keamanan
negara.
Dalam rangka pemenuhan kewajiban tersebut, negara melakukan upaya untuk
mengoptimalkan pemasukan pendapatan dari pajak. Di Indonesia penerimaan pajak lebih
banyak daripada penerimaan dari sektor migas dan penerimaan non pajak. Tetapi
permasalahan dari negara Indonesia ini adalah kesadaran dalam membayar pajak. Berbagai
usaha yang di lakukan oleh jendral pajak dalam memotivasi rakyat Indonesia untuk
membayar pajak mulai dari munculnya iklan dan slogan-slogan agar wajib pajak
melaksanakan kewajiban membayar pajak.
Dalam pandangan agama banyak kaidah-kaidah yang mengerakkan untuk melakukan
pemungutan pajak pada rakyatnya. Dari sini informasi yang dipaparkan bermanfaat karena
akan menambah pemahaman wajib pajak mengenai kewajibannya terhadap agama sekaligus
juga terhadap agamanya.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan agama terhadap pemungutan pajak ?
2. Bagaimana pandangan agama Kristen, Buddha, Hindu, dan Islam terhadap pemungutan
pajak?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pandangan agama terhadapa pajak
2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan dari masing-masing agama terhadap
pemungutan pajak dan pembuktian kaidah-kaidah dari masing-masing agama.

BAB II
PEMBAHASAN
A. BAGAIMANA PANDANGAN AGAMA TERHADAP PEMUNGUTAN PAJAK ?
“setiap agama mendorong umatnya untuk membayar pajak sebagai salah satu wujud
pemenuhan kebutuhan bersama dan sikap peduli terhadap sesama. Bahkan dalam pandangan
beberapa ahli agama yang melakukan penolakan terhadap pemungutan pajak sekalipun, pada
dasarnya mereka tidak menolak tujuan negara untuk mensejahterahkan warga negara. Tetapi
lebih kepada kekhawatiran bahwa negara melalui pajak akan memperlakukan uamat secara tak
adil.”
Pajak sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal merupakan instrumen utama dalam
pendapatan negara. Dalam sistem ekonomi negara, pajak digunakan untuk pembangunan serta

kesejahteraan rakyatnya. Sama dengan halnya negara, agama menjalankan fungsi redistributif.
Jika negara punya sistem pajak untuk mendistribusikan sumber daya ekonomi yang dikuasi oleh
warganya, agama pun menerapkan mekanisme yang kurang lebih sama berkaitan dengan
umatnya . Islam mengenal namanya sistem zakat, sedangkan dalam agama Kristen dikenal
dengan nama persembahan perpuluhan, adapun umat hindu menjalankan dana punia. Namun
permasalahan yang muncul saat ini jika dalam setiap agama sudah ada kewajiban untuk
mengeluarkan sebagian hartanya bagi yang berhak apakah tidak tumpang tindih jika selain
sebagai umat juga mempunyai kewajiban sebagai warga negara dengan membayar pajak?
Basis pijakan dan karakter fungsi redistributive negara dan agama memiliki perbedaan yang
jelas. Agama menjalankan fungsi redistributive dengan pijakan teologis (ajaran agama).
Sedangkan pajak dilandasakan pada asas kesejahteraan masyarakat.
1.

Pajak sebagai kewajiban kepada kaisar dalam Pandangan Agama Kristen

Pajak menurut pandangan Agama Kristen merupakan suatu kewajiban yang harus dibayar
kepada pemerintah berdasarkan peraturan atau undang-undang, oleh pribadi atau kelompok

karena sudah merupakan ketetapan yang telah diperintahkan oleh Allah sendiri sejak Zaman
Musa. Ketetapan tersebut tertuang dalam Roma 13 ayat 1-3 :

“Tiap-tiap otrang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah,
yang tidak berasal dari Allah; pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Apabila
itu barangsiapa melawan pemerintah, Ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang
melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya. Sebab jika seorang berbuat baik, ia
tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa
rasa takut terhadap pemerintah Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian
padanya.”
Membayar pajak adalah salah satu bentuk kepatuhan rakyat epada negara atau pemerintah,
dimana menurut umat Kristen kepatuahan kepada negara adalah mutlak, rakyat suatu negara
harus taat dan patuh kepada negaranya, dan tiap-tiap negara atau pemerintah mempunyai hak
untuk memberi perintah.
2. Padangan Agama Buddha terhadapa Pajak
Kewajiaban membayar pajak di dalam agama Buddha termasuk kedalam Veyyavaca (Berbhakti
kepada nusa, bangsa dan agama). Berbhakti kepada nusa dan bangsa, dalam hal ini adalah turut
melindungi, membela, mempertahankan dan memperjuangkan kemakmuran demi nusa dan
bangsa. Salah satu wujud nyata dari kontribusi kemakmuran demi nusa dan bangsa adalah
dengan membayar pajak yang sejujurnya. Di dalam kitab suci Anguttara Nikaya III: 45, sang
Buddha menyabdakan :
“Dengan harta kekayaan yang telah dikumpulkan dengan bersemangat, dengan cara yang sah
dan tanpa kekerasan, seseorang dapat membuat dirinya bahagia, orang tuannya, istri dan anak

anaknya, pelayan, bawahannya dan orang-orang lain juga bahagaia dapat mempertahankan
kekayaan memberikan hadiah kepada sanak keluarga, tamu-tamu, arwah para leluhur dan para
dewa. Membayar pajak dan memberikan persembahan kepada orang suci, untuk mengumpukan
pahala…”
3. Pandangan Agama Hindu terhadap kewajiban Membayar Pajak

Pajak merupakan kewajiaban yang harus dibayar oleh warga negara yang kesemuanya telah
diatur dalam Undang-Undang Perpajakan. Agama hindu mengajarkan bahwa setiap umat
berkewajiaban untuk mensejahterahkan umat yang lain, dan pajak merupakan salah satu wujud
yang bisa diberikan oleh manusia untuk mensejahterahkan manusia lain. Agama hindu dalam
membayar pajak menjadi suatu kewajiban sebagai bentuk penghormatan dan pengorbanan
terhadap bangsa dan negara serta sebagai upaya untuk mensejahterahkan umat lain. Seperti
dalam Sloka dari Atharva Veda XII.1.45 yang berbunyi :
“Berkerjalah untuk tanah air dan bangsamu dengan berbagai cara. Hormatilah cita-cita
bangsamu. Ibu pertiwi sebagai sumber, mengalirkan sungai kemakmuran dengan ratusan
cabang. Hormatilah tanah airmu seperti kamu memuja Tuhan. Dari jaman abadi Ibu pertiwi
memberikan kehidupan kepadamu semua, karena itu engkau berhutang kepada-Nya.”
4. Padangan Agama Islam Terhadap Pemungutan Pajak
Samakah pajak dengan zakat?
Perdebatan pro dan kontra terhadap pemungutan sistem pajak sebenarnya bukanlah hal yang

baru. Banyak yang membahas mengenai bagaimana hukum haram atau halalnya pajak dipungut
dalam prespektif islam. Banyak yang memuat kutipan hadis hingga pendapat para ulama dari
berbagai masa atau zaman dari paling yang ekstrim menentang hingga menghalalkan
pemungutan pajak dengan kondisi dan syarat tertentu. Dr. Umer Chapra berpendapat bahwa
pendapat para ulama atau pemikir islam yang menentang dipungutnya pajak lebih banyak
dibandingkan yang sebaliknya. Oleh beliau pemikiran-pemikiran seperti ini dianggap sebagai
pemikiran yang aneh untuk diterapkan pada zaman atau situasi seperti ini.

Dasar diharamkannya pajak oleh sebagian ulama berawal dari pemikiran bahwa pajak berbeda
dengan zakat. Perbedaan yang sangat jelas antar zakat dan pajak diantarannya :
1. Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi
orang yang mempunyai kelebihan harta yang telah sampai nisabnya, sedangkan pajak tidak
ada kekuatan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasa di suatu tempat.

2. Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal ini lantaran zakat berfungsi untuk mensucikan
baik harta atau diri pelakunya. Sedangkan pajak pada zaman Rasulullah SAW berlaku pada
orang-orang kafir yang tinggal di kekuasaan kaum muslimin.
3. Rasulullah SAW menghapuskan skema penarikan persepuluh dari harta manusai yang biasa
ditarik oleh kaum jahiliyah yang kita kenal saat ini sebagai retribusi atau pajak. Sedangkan
zakat tidak dapat diperlakukan sama dengan pajak karena zakat termasuk bagian dari harta

yang wajib ditarik oleh imam sebagai pemimpin dan dikembalikan kepada orang yang
berhak.
4. Zakat adalah suatu bentuk syari'at yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan pajak
merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal usulnya biasa dipungut oleh para raja
Arab atau non Arab, dan di antara kebiasaan mereka adalah menarik sepersepuluh dari
barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasaannya.

Mengapa Pajak Diharamkan dalam islam ?

Pengharaman pemungutan pajak salah satunya diperkuat oleh hadist (HR Ahmad dan Abu
Dawud). "Dari abu Khair Radhiyallahu'anhu beliau berkata, Maslamah bin Makhlad (guberner
Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu'anhu,
maka ia berkata :"sesunguhnya para penarik/pemungut pajak (diazab) di neraka."

Imam Abu Ja'far Ath Thawawi Rahimahumullah, berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus
kewajibanya oleh Rasulullah SAW atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh
kaum jahilliyah. Kemudian beliau melanjutkan,"....... hal ini sangat berbeda dengan kewajiban
zakat."

Jika pandangan dan kepercayaan yang mengharamkan pajak dipungut terhadap kaum muslimin

tersebut dianut oleh sebagian besar muslim di negara-negara yang masih menerapkan sistem
perpajakan dalam mengumpulkan pendapatan negara guna membiayai pengeluaran sektor

publik. Tentu bagi mereka hal tersebut bukan pelanggaran etika atau moral untuk menghindari
keharaman dalam membayar pajak meskipun mereka juga termasuk orang-orang yang
menikmati pelayanan sektor publik yang dibiyai dari pajak yang tidak dipatuhi oleh mereka.
Manakah yang lebih etis, tidak membayar pajak (karena dicap sebagai praktik yang diharamkan)
namun secara "gratis" memanfaatkan fasilitas layanan publik dibandingkan dengan sikap yang
konsekuen membayar pajak karena menyadari telah memanfaatkan fasilitas layanan publik untuk
mencapai kesejahteraan?

Dasar Pajak Diperbolehkan dalam Islam.
Dalam fiqih islam telah ditegaskan bahwa pemerintah memiliki kekuasaan untuk memaksa
warga negara membayar pajak bila jumlah zakat tidak mencukupi untuk menjalankan
semua kegiatan pemerintah. Hal ini disebabkan karena pada prinsipnya dana zakat
dipergunakan untuk kesejahteraan kaum miskin padahal negara memerlukan sumber-sumber
dana yang lain agar dapat melakukan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilitas secata efektif. Hal
ini dibela oleh para fuqaha berdasarkan hadist Rasulullah SAW:
" Pada hartamu ada kewajiban yang lain selain zakat"
Argumen ini juga juga diperkokoh dengan kaidah ushul (prinsip) yang menyatakan bahwa,

“suatu pengorbanan yang lebih kecil dapat direlakan untuk menghindari pengorbanan yang lebih
besar.” Dan bahwa “sesuatu yang apabila suatu kewajiban tidak dapat dilakukan tanpanya, maka
sesuatu itu hukumnya wajib.”
Adapun tentang kaidah ushul tersebut, Dr Umer Chapra memberikan pembahasan lebih rinci
terkait dengan komitmen kepada nilai-nilai islam dan Maqashid (tujuan-tujuan syariat), dengan
ilustrasi dan relavan. Beliau mengatakan komitmen kepada nilai-nilai dan maqashid harus
dilakukan serentak pada empat perkara. Maqashid akan membantu terutama membatu terutama
mereduksi kesimpangsiuran keputusan pengeluaran pemerintah dengan memberikan kriteria
untuk membangun prioritas. Maqashid akan dapat diperkokoh dengan sandaran kepada enam
prinsip di bawah ini yang diambil dari kaidah ushul yang telah dikembangkan selama berabad-

abad oleh para fuqaha untuk menyediakan sebuah basis rasional dan konsisten bagi perundangundangan islam.
1. Kriteria pokok semua alokasi pengeluaran harus diperuntuhkan bagi kesejahteraan rakyat
(pasal 58)
2. Penghapusan kesulitan dan bahaya harus didahulukan dari pada penyediaankenyamanan
(pasal 17,18,19,20,30,31,dan 32)
3. Kepentingan mayoritas yang lebh besar harus didahulukan daripada kepentingan
minoritas yang lebih sempit (pasal 28)
4. Suatu pengorbanan atau kerugian privat dapat ditimpahkan untuk menyelamatkan korban
atau kerugian public, dan suatu pengorbanan atau kerugian yang lebih besar dapat

dihindari dengan merelakan suatu pengorbanan atau kerugian yang lebih kecil (pasal
26,27, dan 28)
5. Siapa saja yang menerima manfaat harus membayar ongkos (pasal 87 dan 88)
6. Sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak dapat dipenuhi, maka sesuatu itu wajib
hukumannya.

Dalam islam dikenal tiga sistem pajak yaitu :
1. Jizyah atau pajak kepala yang dikenankan kepada kafir zimmi, yaitu non islam yang
hidup di negara/pemerintahan islam dengan mematuhi peraturan perundang-undangan
pemerintah islam untuk melindungi jiwa, keselamatan, kemerdekaan dan hak-hak asasi
mereka. Dalam menghadapi negara non islam terdapat tiga pilihan yang ditawarkan islam
yaitu (1)masuk islam, (2) membayar jizyah atau (3) diperangi. Bagi yang masuk islam
mereka aman, tidak diperangi dan tidak ada kewajiban membayar jizyah. Bagi yang
tidak mau masuk islam ada dua pilihan yaiu membayar jizyah atau diperangi.
2. Kharaj, yaitu pajak bumi. Ini berlaku bagi tanah yang diperoleh kaum muslimin lewat
peperangan yang kemudian dikembaikan dan digarap oleh para pemiliknya. Sebagai
imbalannya maka pemiliknya mengeluarkan pajak bumi kepada pemerintah islam.
3. `Usyur, yaitu pajak perdagangan, atau bea cukai (pajak impor dan ekspor). Mengingat
bahwa kebutuhan biaya pembangunan dalam arti luas sangat besar termasuk jalanya roda


pemerintahan , maka dibutuhkan dana yang cukup besar yang tidak dapat ditopang oleh
zakat semata, islam membenarkan pemungutan pajak.
Pajak hukumnya mubah atau boleh (dapat dibenarkan oleh islam), sebab kita sepakat
bahwa tidak diragukan lagi adanya manfaat besar yang dapat diraih lewat pajak tersebut.
Pemungutan pajak diperbolehkan dalam islam seperti yang dikatakan oleh Monzer Kahf
(seorang ahli ekonom muslim), harus terlebih dahulu memperhatikan beberapa hal
penting diantaranya bahwa :
1. Pajak yang dikeluarkan harus sesuai dengan kemampuan baik kekayaan maupun
sumber penghasilan wajib pajak.
2. Orang yang miskin harus dibebaskan dari membayar pajak.
3. Pajak dapat dilaksanakan jika telah disetujui oleh wakil rakyat.
4. Pengeluaran anggaran pajak harus dikeluarkan dengan ketentuan syaria`ah.
Dari pendapat Monzer Kahf tersebut dapat disimpukan bahwa pajak dapat dikenakan
di bawah sistem islam, selam pendapatan dari pajak tersebut diperlukan untuk
pengembangan dan pertahanan negara dan kesejahteraan sosial.
Pajak yang diakui dalam sejarah fiqih islam dan sistem yang dibenarkan harus
memenuhi beberapa syarat yaitu :
1. Apabila penerimaan tersebut betul-betul dibutuhkan dan mendesak, semetara
tidak ditemukan adanya sumber lain. Pajak boleh dipungut apabila negara
memang benar-benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh.

2. Pemungutan pajak yang adil
Harus dicatat, pembebanan itu harus adil dan tidak memberatkan . Jangan sampai
menimbulkan keluhan dari masyarakat. Keadilan dalam pemungutan pajak
didasarkan kepada pertimbangan ekonomi, sosial, dan kebutuhan yang diperlukan
rakyat dan pembangunan. Distribusi hasil pajak juga harus adil, jangan tercemar
unsur KKN.
3. Pajak dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat
dan hawa nafsu.

4. Persetujuan para ahli/cedekiawan yang berahlak.

BAB III
PENUTUP
A.kesimpulan
Wajib pajak perlu menyadari bahwa dengan membayar pajak tidak berarti melakukan
pemihakan kepada negara atau siapapun. Masyarakat hanya memenuhi kewajiaban agar
negaranya mampu menjalankan fungsinya secara efektif. Masyarakat juga harus menyadari
bahawa mayoritas dana dari pajak yang mereka bayar secara langsung atau tidak langsung
dipergunakan untuk pelayanan-pelayanan yang diperoleh dari negara, seperti perlindungan
pertahanan, keamanan dan ketertiban, pembangunan jalan-jalan, pelabuhan, bandara, pasokan air
bersih, kebersihan jalan raya,sistem drainase, kesehatan dan pendidikan.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan harus melakukan upaya-upaya untuk menutupi
ongkos-ongkos secara langsung dari pengguna barang dan jasa publik tersebut berdasarkan
prinsip balas busi, tetapi kesulitan-kesulitan administrative dan pertimbangan-pertimbangan
pemerataan tidak memungkinkan hal ini. Karena itu, sebagaian dari ongkos pelayanan
pemerintah harus ditutup dan perolehan pajak berdasarkan prinsip kemampuan untuk membayar.
Dalam konsep ini prinsip persamaan (keadilan) horizontal dan vertical memiliki konsekuensi
agar yang sama harus diperlakukan secara sama dan yang tidak sama harus diperlakukan secara
tidak sama.
Melihat pentingnya fungsi pajak sebagai pendanaan dalam rangka pembiayaan
public/kesejahteraan masyarakat umum, maka sebaga umat yang taat dan patuh terhadap ajaran
agamanya dan disamping juga sebagai warga negara yang patuh terhadap hukum yang beralku
maka pelaksanaan kewajiban membayar pajak telah menjadi suatu keharusan dalam rangka
pencapaian kesejahteraan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Widi Widodo,dkk. , Moralitas, Budaya, Dan Kepatuhan Pajak,2010,bandung

PANDANGAN AGAMA TERHADAP PEMUNGUTAN
PAJAK
DOSEN PEMBIMBING :
Dr.H.Ahmad djalaluddin,Lc,M.A

Disusun oleh :
Oryza ayu devyana

(13520116)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
JUNI 2014