Bab 2 Gambaran Umum Masyarakat Sasaran
Bab 2 Gambaran Umum Masyarakat Sasaran
Melihat problem social tentang pendewasaan usia perkawinan membuat kami sedikit
terangsang untuk mengkaji lebih dalam , lewat berbagai referensi-referensi yang dapat dipercaya
untuk lebih dapat memahami apa itu PUP .
Indonesia sekarang ini sedang menghadapi banyak masalah berkaitan dengan bidang
kependudukan yang dikhawatirkan akan menjadi masalah besar dalam pembangunan apabila
tidak ditangani dengan baik. Permasalahan kependudukan pada dasarnya terkait dengan
kuantitas, kualitas dan mobilitas penduduk. Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga telah mengamanatkan perlunya
pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas penduduk agar mampu
menjadi
sumber
daya
yang
tangguh
bagi
pembangunan
dan
ketahanan
nasional.
Perkiraan jumlah penduduk tahun 2020 sendiri adalah 252 juta orang atau bahkan sangat lebih,
bayangkan saja bagaimana rasanya berada di tanah yang sama dan menghirup udara yang sama
dengan jumlah sebanyak itu. Undang-undang No. 23 tahun 2002 Pasal 1 tentang Perlindungan
Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Maka dari itu, perkawinan pada usia tersebut
haruslah dicegah. Namun, Undang-undang tersebut mengalami disharmonisasi dengan UU
Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa perempuan hanya boleh melangsung
perkawinan jika telah mencapai usia 16 tahun dan usia 19 tahun bagi laki-laki dengan ketentuan
mendapatkan izin dari orang tua. Dengan usia seperti itu, semestinya belum bisa dianggap
dewasa untuk hubungan seksual karena belum memiliki kematangan secara fisik maupun
psikologis. Oleh karena itu, perlu adanya suatu program pembangunan yang berkaitan dengan
kependudukan yakni Program Keluarga Berencana yang bertujuan mengendalikan jumlah
penduduk diantaranya melalui program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).
Salah satu program Generasi Berencana adalah Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP)
yaitu program yang dilakukan dalam upaya meningkatkan usia kawin pertama saat mencapai
usia minimal minimal 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Adapun
tujuannya adalah untuk memberikan pengertian dan kesadaran agar di dalam perencanaan
keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan
berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, social, ekonomi serta menetukan
jumlah dan jarak kehamilan dan hal-hal lain yang tidak diinginkan berkaitan dengan gejalagejala yang akan timbul akibat menikah di usia dini
Permasalahan remaja yang ada saat ini sangat kompleks dan mengkhawatirkan terkhusus
pada beberapa daerah di Indonesia . Berbagai data menunjukkan bahwa penerapan pemenuhan
hak reproduksi bagi remaja belum sepenuhnya mereka dapatkan , antara lain dalam hal
pemberian informasi . Hal ini dapat dilihat dari rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan
reproduksi yaitu tentang masa subur . Remaja baik laki-laki dan perempuan di usia 15-24 tahun
yang mengetahui tentang masa subur mencapai 65% survey demografi dan kesehatan indonesia
(SDKI 2007) sejak 2007 sampai sekarang terdapat kenaikan dibanding hasil SKRRI tahun 20022003 sebesar 29% dan 32%, data diatas menunjukkan bahwa pengetahuan tentang perencanaan
kesehatan reproduksi remaja (KRR) masih sangat rendah karena terbatasnya akses informasi
KRR kepada remaja . Demikian pula halnya dengan pemberian pelayanan kesehatan reproduksi
yang dikhususkan bagi remaja. Untuk mengatasi hal ini digarapkan agar pemerintah pusat
maupun daerah melalui beberapa sektor dan LSM untuk dapat berperan aktif dalam memberikan
informasi dan pendewasaan usia perkawinan serta hak-hak reproduksi bagi remaja
Indonesia,terkhusus bagi para pelajar . Pelayanan kesehatan reproduksi yang ada saat ini lebih di
rancang untuk melayani orang dewasa atau pasangan suami istri . Disisi lain ada indikasi
tingginya perilaku seksual bebas dikalangan remaja yang dapat berakibat terjadinya kehamilan
yang tidak diinginkan dan infeksi menular seksual (IMS).
Adapun penyebab terjadinya perkawinan di bawah usia minimal
dapat dilihat dari
berbagai factor yaitu Faktor Keluarga ,Kurangnya pemahaman keluarga tentang PUP Kebutuhan
remaja yang tidak terpenuhi di rumah, Pengetahuan seks dianggap tabu oleh orang tua, Paksaan
orang tua dan bisa saja Hubungan orang tua dengan anak yang renggang, lain lagi Faktor
Pendidikan/Lingkungan Sekolah/Kampus Banyaknya remaja putus sekolah/kuliah, Iklim
pendidikan yang tidak sesuai dengan keinginan remaja serta Tidak adanya pendidikan seks yang
memadai di sekolah/kampus mengenai bahayanya seks bebas berkaitan dengan moralitas
seseorang kemudian Faktor Masyarakat dengan Tidak adanya nilai social dalam masyarakat
(Individualistik), Tidak adanya penyuluhan tentang PUP pada masyarakat dan Tidak tersedianya
lapangan pekerjaan dalam masyarakat sehingga memicu terjadinya keinginan untuk berkeluarga
meski usia belum cukup cakap untuk hal itu , beda lagi dengan Faktor Media tentang bebasnya
akses informasi-informasi negatif di media cetak dan elektronik yang mudah diakses oleh remaja
kemudian Faktor Teman Sebaya mengenai adanya Pergaulan bebas ,Teman sebaya yang setuju
dengan hubungan seks bebas, serta Pengaruh atau dorongan dari teman sebaya untuk melakukan
hal itu.
Dengan mendapat informasi yang benar mengenai resiko kesehatan reproduksi remaja
(KRR) maka diharapkan remaja khususnya bagi para pelajar untuk semakin berhati-hati dalam
melakukan aktivitas kehidupan reproduksinya. Untuk itu harapan kami dengan bantuan
pemerintah akan dapat menyediakan perangkat peraturan perundang-undangan yang berpihak
kepada remaja serta sosialisasi mengenai Pendewasaan usia perkawinan (PUP) kepada
masyarakat umum, karena reproduksi merupakan bagian integral dari hak asasi manusia maka
semuanya itu wajib untuk dilindungi bagi masyarakat yang hak reproduksinya dilanggar.
Melihat problem social tentang pendewasaan usia perkawinan membuat kami sedikit
terangsang untuk mengkaji lebih dalam , lewat berbagai referensi-referensi yang dapat dipercaya
untuk lebih dapat memahami apa itu PUP .
Indonesia sekarang ini sedang menghadapi banyak masalah berkaitan dengan bidang
kependudukan yang dikhawatirkan akan menjadi masalah besar dalam pembangunan apabila
tidak ditangani dengan baik. Permasalahan kependudukan pada dasarnya terkait dengan
kuantitas, kualitas dan mobilitas penduduk. Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga telah mengamanatkan perlunya
pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas penduduk agar mampu
menjadi
sumber
daya
yang
tangguh
bagi
pembangunan
dan
ketahanan
nasional.
Perkiraan jumlah penduduk tahun 2020 sendiri adalah 252 juta orang atau bahkan sangat lebih,
bayangkan saja bagaimana rasanya berada di tanah yang sama dan menghirup udara yang sama
dengan jumlah sebanyak itu. Undang-undang No. 23 tahun 2002 Pasal 1 tentang Perlindungan
Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Maka dari itu, perkawinan pada usia tersebut
haruslah dicegah. Namun, Undang-undang tersebut mengalami disharmonisasi dengan UU
Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa perempuan hanya boleh melangsung
perkawinan jika telah mencapai usia 16 tahun dan usia 19 tahun bagi laki-laki dengan ketentuan
mendapatkan izin dari orang tua. Dengan usia seperti itu, semestinya belum bisa dianggap
dewasa untuk hubungan seksual karena belum memiliki kematangan secara fisik maupun
psikologis. Oleh karena itu, perlu adanya suatu program pembangunan yang berkaitan dengan
kependudukan yakni Program Keluarga Berencana yang bertujuan mengendalikan jumlah
penduduk diantaranya melalui program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).
Salah satu program Generasi Berencana adalah Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP)
yaitu program yang dilakukan dalam upaya meningkatkan usia kawin pertama saat mencapai
usia minimal minimal 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Adapun
tujuannya adalah untuk memberikan pengertian dan kesadaran agar di dalam perencanaan
keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan
berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, social, ekonomi serta menetukan
jumlah dan jarak kehamilan dan hal-hal lain yang tidak diinginkan berkaitan dengan gejalagejala yang akan timbul akibat menikah di usia dini
Permasalahan remaja yang ada saat ini sangat kompleks dan mengkhawatirkan terkhusus
pada beberapa daerah di Indonesia . Berbagai data menunjukkan bahwa penerapan pemenuhan
hak reproduksi bagi remaja belum sepenuhnya mereka dapatkan , antara lain dalam hal
pemberian informasi . Hal ini dapat dilihat dari rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan
reproduksi yaitu tentang masa subur . Remaja baik laki-laki dan perempuan di usia 15-24 tahun
yang mengetahui tentang masa subur mencapai 65% survey demografi dan kesehatan indonesia
(SDKI 2007) sejak 2007 sampai sekarang terdapat kenaikan dibanding hasil SKRRI tahun 20022003 sebesar 29% dan 32%, data diatas menunjukkan bahwa pengetahuan tentang perencanaan
kesehatan reproduksi remaja (KRR) masih sangat rendah karena terbatasnya akses informasi
KRR kepada remaja . Demikian pula halnya dengan pemberian pelayanan kesehatan reproduksi
yang dikhususkan bagi remaja. Untuk mengatasi hal ini digarapkan agar pemerintah pusat
maupun daerah melalui beberapa sektor dan LSM untuk dapat berperan aktif dalam memberikan
informasi dan pendewasaan usia perkawinan serta hak-hak reproduksi bagi remaja
Indonesia,terkhusus bagi para pelajar . Pelayanan kesehatan reproduksi yang ada saat ini lebih di
rancang untuk melayani orang dewasa atau pasangan suami istri . Disisi lain ada indikasi
tingginya perilaku seksual bebas dikalangan remaja yang dapat berakibat terjadinya kehamilan
yang tidak diinginkan dan infeksi menular seksual (IMS).
Adapun penyebab terjadinya perkawinan di bawah usia minimal
dapat dilihat dari
berbagai factor yaitu Faktor Keluarga ,Kurangnya pemahaman keluarga tentang PUP Kebutuhan
remaja yang tidak terpenuhi di rumah, Pengetahuan seks dianggap tabu oleh orang tua, Paksaan
orang tua dan bisa saja Hubungan orang tua dengan anak yang renggang, lain lagi Faktor
Pendidikan/Lingkungan Sekolah/Kampus Banyaknya remaja putus sekolah/kuliah, Iklim
pendidikan yang tidak sesuai dengan keinginan remaja serta Tidak adanya pendidikan seks yang
memadai di sekolah/kampus mengenai bahayanya seks bebas berkaitan dengan moralitas
seseorang kemudian Faktor Masyarakat dengan Tidak adanya nilai social dalam masyarakat
(Individualistik), Tidak adanya penyuluhan tentang PUP pada masyarakat dan Tidak tersedianya
lapangan pekerjaan dalam masyarakat sehingga memicu terjadinya keinginan untuk berkeluarga
meski usia belum cukup cakap untuk hal itu , beda lagi dengan Faktor Media tentang bebasnya
akses informasi-informasi negatif di media cetak dan elektronik yang mudah diakses oleh remaja
kemudian Faktor Teman Sebaya mengenai adanya Pergaulan bebas ,Teman sebaya yang setuju
dengan hubungan seks bebas, serta Pengaruh atau dorongan dari teman sebaya untuk melakukan
hal itu.
Dengan mendapat informasi yang benar mengenai resiko kesehatan reproduksi remaja
(KRR) maka diharapkan remaja khususnya bagi para pelajar untuk semakin berhati-hati dalam
melakukan aktivitas kehidupan reproduksinya. Untuk itu harapan kami dengan bantuan
pemerintah akan dapat menyediakan perangkat peraturan perundang-undangan yang berpihak
kepada remaja serta sosialisasi mengenai Pendewasaan usia perkawinan (PUP) kepada
masyarakat umum, karena reproduksi merupakan bagian integral dari hak asasi manusia maka
semuanya itu wajib untuk dilindungi bagi masyarakat yang hak reproduksinya dilanggar.