B. Budidaya Konvensional
Ada beberapa tahapan yang dilakukan para petani dalam malakukan budi daya padi sawah diantaranya yaitu: persemaian, pengolahan lahan, penanaman,
pemupukan, penyiangan, pengendalian dan pemberantasan hama dan penyakit. . 1. Persemaian
Persemaian dilakukan 25 hari sebelum masa tanam, persemaian dilakukan pada lahan yang sama atau berdekatan dengan petakan sawah yang akan ditanami
Benih yang hendak disemai sebelumnya harus direndam terlebih dahulu secara sempurna sekitar 2 x 24 jam, dalam ember atau wadah lainnya. Bedengan
persemaian dibuat seluas 100 m²20 kg.Benih yang sudah direndam selama 2 x 24 jam dan sudah berkecambah ditebar dipersemaian secara hati-hati dan merata.
Pemupukan lahan persemaian dilakukan kira-kira pada umur satu minggu benih setelah ditanam tabur. Kebutuhan pupuk yang digunakan yaitu, 2,5 Kg Urea, 2,5
Kg SP36 dan 1 Kg KCl Anonimus, 2003. 2. Pengolahan Tanah
Pengolahan bertujuan untuk mengubah sifat fisik tanah agar lapisan yang semula keras menjadi datar dan melumpur. Dengan begitu gulma akan mati dan
membusuk menjadi humus, aerasi tanah menjadi lebih baik, lapisan bawah tanah menjadi jenuh air sehingga dapat menghemat air. Pada pengolahan tanah sawah
ini, dilakukan juga perbaikan dan pengaturan pematang sawah serta selokan. Pematang galengan sawah diupayakan agar tetap baik untuk mempermudah
pengaturan irigasi sehingga tidak boros air dan mempermudah perawatan tanaman.
Universitas Sumatera Utara
3. Pelaksanaan Tanam Setelah persiapan lahan selesai maka bibit pun siap ditanam. Bibit
biasanya dipindah saat umur 20–25 hari. Ciri bibit yang siap dipindah ialah berdaun 5-6 helai, tinggi 22-25 cm, batang bawah besar dan keras, bebas dari
hama dan penyakit sehingga pertumbuhannya seragam. Bibit ditanam dengan cara dipindah dari bedengan persemaian ke petakan
sawah, dengan cara bibit dicabut dari bedengan persemaian dengan menjaga agar bagian akarnya terbawa semua dan tidak rusak. Setelah itu bibit dikumpulkan
dalam ikatan-ikatan lalu ditaruh disawah dengan sebagian akar terbenam ke air. Bibit ditanam dengan posisi tegak dan dalam satu lubang ditanam 2-3 bibit,
dengan kedalaman tanam cukup 2 cm, karena jika kurang dari 2 cm bibit akan gampang hanyut. Jarak tanam padi biasanya 20 x 20 cm Anonimus, 2008.
4. Pemupukan Tanah yang dibudidayakan cenderung kekurangan unsur hara bagi
tanaman, oleh karena itu diperlukan penambahan unsur hara yang berasal dari pupuk organik maupun pupuk anorganik. Dosis pupuk tanaman padi sawah sangat
dipengaruhi oleh jenis dan tingkat kesuburan tanah, sejarah pemupukan yang diberikan dan jenis padi yang ditanam Anonimus, 2008.
Pada teknik konvensional ini pemberian pupuk organik jerami diberikan sesuai taraf perlakuan empat minggu sebelum tanam. Penggunaan dosis pupuk
untuk padi sawah untuk lahan satu hektar adalah Urea 200 kg, SP-36 200 kg, dan KCl 100 kg. Pemupukan SP-36 dan KCl diberikan satu kali yaitu satu hari
sebelum tanam. Pemupukan Urea dilakukan dua kali yaitu pemupukan pertama
Universitas Sumatera Utara
pada saat tanaman berumur 12 hari dengan dosis pupuk dua 23 dari kebutuhan pupuk keseluruhan, sedangkan sisa pupuk diberikan pada tahap kedua yaitu kira-
kira pada 40 HST hari setelah tanam. 5. Penyulaman
Penyulaman dilakukan apabila tanaman yang mati atau terserang OPT dengan menggunakan varietas dan umur yang sama tanaman cadangan.
6. Pengairan Pemberian air dilakukan dengan penggenangan secara terus-menerus
setinggi 5 cm dari permukaan tanah sampai pada masa berbulir padi. 7. Pemeliharaan
Tanaman dipelihara dari gangguan hama dan gulma. Pestisida yang digunakan yaitu urine kambing yang dicampur dengan air dengan perbandingan
1 : 4. Penyemprotan dilakukan dua kali seminggu pada sore hari. Volume semprot per tanaman ditentukan dengan cara kalibrasi
Universitas Sumatera Utara
Cara Pengambilan sampel gas CO2 di lapangan
Pengambilan sampel gas dilakukan pada waktu umur tanaman 40 HST dengan menggunakan sungkup, sungkup diletakkan pada plot percobaan dimana
posisi sungkup berada diatas permukaan tanah dengan kondisi bawah sungkup rapat dengan permukaan tanah yang bertujuan agar udara dari luar tidak masuk ke
dalam sungkup, dan apabila kondisi lahan tergenang air maka posisi bawah sungkup diletakkan di bawah permukaan air atau tepat diletakkan di permukaan
tanah. Setelah posisi sungkup sudah tepat, hidupkan fan atau kipas yang terdapat
di dalam sungkup yang bertujuan untuk menghomogenkan udara atau suhu di dalam sungkup dan biarkan selama 10 menit. Setelah itu sampel gas di ambil
dengan menggunakan jarum suntik yang berukuran 10ml yang telah dipersiapkan sebanyak yang di perlukan dan di beri label nama dalam tiap waktu atau
perlakuan, hal ini bertujuan agar tidak terjadinya kesalahan dalam penentuan sampel gas.
Cara pengambilan sampel dengan jarum suntik dilakukan di bagian atas sungkup, bagian atas sungkup terbuat dari gabus yang memiliki ketebalan 2cm.
Gabus berfungsi agar pada saat jarum disuntikkan dan di cabut menembus atas sungkup atau bagian gabus, udara yang berada di luar tidak masuk kedalam
sungkup. Untuk menghindari kebocoran, segera setelah pengambilan sampel gas jarum suntik ditutup dengan sumbat karet kemudian dibungkus dengan kertas
alumanium foil yang berfungsi untuk mengurangi panas radiasi matahari selama pengambilan contoh gas, dan diletakkan pada wadah tertutup atau wadah yang
Universitas Sumatera Utara
tidak terpengaruh oleh udara luar. Kemudian sampel gas dianalisis di laboratorium dengan menggunakan alat gas kromatografi yang dilengkapi dengan electron
capture detector ECD.
Parameter yang Diamati
1. Fluks emisi CO
2
mgm
3
jam pada umur 40 HST dengan metode GC-MS gas chromatography – mass spectra.
2.Fluks emisi CO
2
mgm
3
jam pada umur 60 HST dengan metode GC-MS gas chromatography – mass spectra.
3. Pengukuran kadar air tanah pada umur 40 HST dengan metode pengovenan. 4. Pengukuran kadar air pada tanah umur 60 HST dengan metode pengovenan.
Universitas Sumatera Utara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Laju Emisi Karbondioksida CO
2
akibat Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami pada Fase Vegetatif Umur 40 dan 60 HST Tanamam Padi Sawah
Data laju emisi karbondioksida CO
2
pada umur 40 dan 60 HST akibat pengaruh teknik budidaya dan pemberian jerami disajikan pada Tabel Lampiran
5,1 dan 6,1 sedangkan sidik ragam emisi CO
2
umur 40 dan 60 HST dicantumkan
pada Tabel Lampiran 5,2 dan 6,2. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik budidaya dan pemberian jerami sangat berpengaruh nyata
meningkatkan laju emisi gas Karbondioksida CO
2
pada setiap pengambilan sampel yaitu pada umur 40 dan 60 HST.
Tabel 1. Rataan laju emisi CO
2
mgm
3
jam akibat pengaruh teknik budidaya dan pemberian jerami pada umur 40 dan 60 HST
Perlakuan Laju Emisi pada Umur
40 HST 60 HST
Pemberian Jerami J Konvensional B1
J 272,00 dD
283,11eE J
1
751,56aA 885,78aA
J
2
616,89bB 824,44bB
Perlakuan Jerami J SRI B2
J 187,11eE
230,22fF J
1
384,89cC 601,78cC
J
2
358,22cC 524,44dD
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti tidak berbeda pada taraf uji 5 dan 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada umur 40 HST laju emisi karbondioksida tertinggi terdapat pada teknik budidaya konvensional yaitu sebesar 751,56
Universitas Sumatera Utara
mgm
3
jam yang berbeda sangat nyata dengan teknik budidaya SRI. Pada umur 60 HST laju emisi Karbondioksida CO
2
tertinggi terdapat pada teknik budidaya konvensional yaitu sebesar 885,78 mgm
3
jam yang sangat berbeda nyata dengan teknik budidaya SRI, dari Tabel 1 terlihat laju emisi Karbondioksida CO
2
antara teknik budidaya SRI dan kovensional sangat berbeda nyata.
Dari Gambar berikut dapat di lihat Interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap laju emisi Karbondioksida CO
2
pada umur 40 HST.
Gambar 1. Histogram interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap laju emisi CO
2
pada umur 40 HST Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa pada umur 40 HST laju
karbondioksida tertinggi terdapat pada teknik budidaya Konvensional dengan hasil emisi tertingi terdapat pada perlakuan J1 yaitu 751,56 mgm
3
jam dan yang kedua pada perlakuan J2 yaitu 616,89 mgm
3
jam dan yang terendah terdapat pada perlakuan J0 yaitu 272.00 mgm
3
jam. Hal ini berbeda nyata dengan teknik
Universitas Sumatera Utara
budidaya SRI yang jauh lebih rendah yaitu tertinggi terdapat pada perlakuan J1 sebesar 384,89 mgm
3
jam dan kedua pada perlakuan J2 sebesar 358,22 mgm
3
jam dan terendah pada perlakuan J0 sebesar 187,11 mgm
3
jam. Dari gambar juga dapat dilihat bahwa pemberian jerami sangat
berpengaruh nyata meningkatkan laju emisi Karbondioksida CO
2
. Laju Karbondioksida CO
2
tanpa diberikan jerami J0 sangat berbeda nyata dengan yang diberi jerami segar J1 dan kompos jerami J2.
Dari gambar berikut dapat di lihat interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap laju emisi Karbondioksida CO
2
pada umur 60 HST.
Gambar 2. Histogram interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap laju lmisi CO
2
pada umur 60 HST Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa pada umur 60 HST laju karbondioksida
tertinggi terdapat pada teknik budidaya Konvensional dengan hasil emisi tertinggi terdapat pada perlakuan J1 yaitu 885,78 mgm
3
jam dan yang tertinggi kedua pada perlakuan J2 yaitu 824,44 mgm
3
jam dan yang terendah terdapat pada perlakuan
Universitas Sumatera Utara
J0 yaitu 283,11 mgm
3
jam. Hal ini berbeda nyata dengan teknik budidaya SRI yang jauh lebih rendah yaitu tertinggi terdapat pada perlakuan J1 sebesar 601,78
mgm
3
jam dan kedua pada perlakuan J2 sebesar 524,44 mgm
3
jam dan terendah pada perlakuan J0 sebesar 230,22 mgm
3
jam.
Gambar 3. Grafik laju emisi CO
2
pada umur 40 dan 60 HST
Universitas Sumatera Utara
Pengaruh Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami terhadap Kadar Air Tanah pada Umur 40 dan 60 HST.
Data pengaruh teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap kadar air tanah pada umur 40 dan 60 HST disajikan pada Tabel lampiran 7,1 dan 8,1 dan
hasil sidik ragam disajikan pada Tabel lampiran 7.2 dan 8.2 yang mana diperoleh bahwa teknik budidaya sangat berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah
dan pemberian jerami berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah, sedangkan pada interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami tidak
berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah.
Tabel 2. Pengaruh teknik budidaya terhadap kadar air tanah pada umur 40 dan 60
HST. Perlakuan
KA 40 HTS
60 HTS
Teknik Budidaya
B1 Konvensional 29,58aA
32,41aA B2 SRI
23,77bB 22,56bB
Perlakuan Jerami
J0 kontrol 27,28 a
27,67 a J1 jerami segar 4 tonha
26,01 a 27,08 a
J2 kompos jerami 4 tonha 26,73 b
27,70 a Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5 menurut DMRT. Dari Tabel 2 dapat dilihat kadar air tanah tertingi terdapat pada teknik
budidaya konvensional pada 60 HST yaitu sebesar 32,41 , dan tertinggi kedua pada 40 HST yaitu sebesar 29,58 , hal ini berbeda nyata dengan teknik budidaya
SRI yang mana tertinggi pada umur 40 HST yaitu sebesar 23,77 dan yang tertinggi kedua pada umur 60 HST yaitu 22,56 , Sedangkan pada pemberian
Universitas Sumatera Utara
jerami kompos J2 berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah pada umur 40 HST.
Data pengaruh teknik budidaya terhadap kadar air tanah dan dari hasil sidik ragam pada Lampiran diperoleh bahwa teknik budidaya sangat berpengaruh
nyata meningkatkan kadar air tanah pada umur 40 dan 60 HST dan pemberian jerami berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah pada umur 40 HST,
Sedangkan pada interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami tidak berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah.
Dari tabel 2 dapat dilihat kadar air tanah tertingi terdapat pada teknik budidaya konvensional yaitu 32.41 dan yang terendah pada teknik budidaya SRI
yaitu 22.56 , sedangkan pada interaksi teknik budidaya dan pemberian jerami tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah.
Gambar 4. Histogram teknik budidaya terhadap kadar air tanah pada umur 40 dan 60 HST
Universitas Sumatera Utara
Dari Gambar diatas dapat dilihat bahwa teknik budidaya sangat berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah dimana nilai tertinggi terdapat
pada teknik budidaya konvensional di umur 60 HST yaitu sebesar 32,408 mgm
3
jam sedangkan yang terendah pada teknik budidaya SRI di umur 60 HST yaitu sebesar 22,563 mgm
3
jam. Hal ini disebabkan karena kadar air dipengaruhi oleh tinggi penggenangan, dimana penggenangan pada teknik budidaya
konvensional lebih tinggi dari penggenangan di teknik budidaya SRI.
Gambar 5. Histogram pengaruh pemberian jerami terhadap kadar air tanah pada umur 40 HST
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa pemberian jerami pada umur 40 HST berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah, yang mana jerami kompos
memiliki nilai kadar air sebesar 26,73 lebih tinggi dari kadar air di jerami segar yaitu sebesar 26,01 . Hal ini disebabkan karena bidang permukaan pada
Universitas Sumatera Utara
kompos jerami yang telah terdekomposisi lebih luas dari bidang permukaan jerami segar yang belum terdekomposisi, sehingga kompos jerami akan lebih kuat
dalam mengikat air dibanding dengan jerami segar.
Pembahasan
Pengaruh Teknik Budidaya terhadap Laju Emisi Karbondioksida CO
2
pada Tanaman Padi Sawah
Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik budidaya sangat berpengaruh nyata terhadap emisi gas CO
2
pada setiap pengambilan sampel, yaitu pada umur 40 HST dan 60 HST dimana emisi dari antara ke 2
teknik budidaya sangat berbeda nyata. Adapun teknik budidaya Konvensional merupakan teknik budidaya dengan penggenangan setinggi 5 cm dan jumlah
anakan sebanyak 5-7, sedangkan teknik budidaya SRI tinggi penggenangan hanya 2 cm dengan 1-2 anakan.
Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik budidaya konvensional memiliki nilai tertinggi dalam penyumbang emisi CO
2
di udara bila dibandingkan dengan teknik budidaya SRI. Hal ini disebabkan karena system
pengelolaan konvensional memiliki pola pemberian air yang berbeda dengan teknik budidaya SRI, yaitu dengan system penggenangan secara terus menerus
setinggi 5 cm sedangkan budidaya Sri hanya 2 cm. Hal ini sesuai dengan literatur Hadi 2001 yang menyatakan bahwa proses penggenangan merupakan salah satu
faktor dalam menghasilkan gas CO
2
.
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil sidik ragam juga menunjukkan bahwa emisi gas CO
2
tertinggi terdapat pada teknik budidaya Konvensional umur 60 HST yaitu sebesar 885,78
mgm
3
jam, sedangkan yang terkecil terdapat pada teknik budidaya SRI umur 40 HST yaitu 187,11 mgm
3
jam. Hal ini sesuai dengan literatur Setyanto 2004 yang menyatakan bahwa jumlah anakan yang semakin bertambah serta
penggenangaan yang terus menerus akan semakin meningkatkan emisi CO
2
, sejalan dengan dekomposisi bahan organik yang telah berlanjut.
Pengaruh Pemberian Jerami terhadap Laju Emisi Karbondioksida CO
2
pada Tanaman Padi Sawah
Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian jerami sangat berpengaruh nyata terhadap emisi gas CO
2
, dimana pada proses perombakan jerami terdapat bakteri yang dapat menghasilkan gas CO
2,
sehingga semakin banyak terdapat bakteri tersebut maka semakin besar pula potensi gas CO
2
yang akan dihasilkan.
Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa pemberian jerami segar akan lebih besar menghasilkan gas CO
2
dibandingkan dengan kompos jerami. Hal ini sesuai dengan literatur Nuraini 2009, yang menyatakan bahwa peningkatan
emisi juga dipengaruhi oleh proses perombakan atau dekomposi bahan organik ditempat itu sendiri. Dalam hal ini perombakan yang terjadi pada jerami segar
lebih besar dari pada kompos jerami. Dari hasil sidik ragam juga dapat dilihat bahwa emisi CO
2
terbesar terdapat pada jerami segar umur 60 HST yaitu sebesar 885,78 mgm
3
jam pada dan terkecil pada umur 40 HST yaitu sebesar 751,56 mgm
3
jam pada konvensional, sedangkan kompos jerami terbesar terdapat pada umur 60 HST
Universitas Sumatera Utara
yaitu sebesar 824,44 mgm
3
jam dan terkecil pada umur 40 HST yaitu 616,89 mgm
3
jam yang juga sama-sama terdapat pada budidaya konvensional. Hal ini disebabkan karena proses dekomposisi jerami pada umur 60 HST sudah lebih
berlanjut daripada umur 40 HST, sejalan dengan kebutuhan air yang lebih banyak pada umur 60 HST daripada umur 40 HST.
Pengaruh Interaksi Antara Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami Terhadap Laju Emisi Karbondioksida CO
2
pada Tanaman Padi Sawah
Dari data sidik ragam dapat diperoleh bahwa interaksi antara teknik budidaya dengan pemberian jerami sangat berpengaruh nyata terhadap Laju emisi
gas CO
2.
Hal ini sesuai dengan literatur Hadi 2001 yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi laju emisi dilahan sawah antara lain
penggenangan, proses dekomposisi bahan organik dan banyaknya bakteri yang dapat menghasilkan gas CO
2
antara lain bakteri saccharomyces cereviseae
. Dari hasil sidik ragam interaksi antara teknik budidaya dengan pemberian
jerami dapat diperoleh bahwa emisi CO
2
terbesar terdapat pada interaksi antara konvensional dengan jerami segar, ini terjadi karena hal tersebut merupakan
perpaduan antara penggenangan dengan perombakan jerami yang masih sangat aktif, sedangkan emisi CO
2
yang terkecil terdapat pada interaksi antara teknik budidaya SRI dengan pemberian kompos jerami.
Dari hasil sidik ragam juga dapat diperoleh bahwa emisi CO
2
terbesar akibat interaksi teknik budidaya konvensional dengan pemberian jerami segar
adalah terdapat pada umur 60 HST yaitu 885,78 mgm
3
jam hal ini disebabkan karena selain dari penggenangan dan dekomposisi yang aktif juga pada umur
tersebut dekomposisi sudah sedang berlanjut. Sedangkan emisi gas CO
2
terkecil
Universitas Sumatera Utara
akibat interaksi antara teknik budidaya SRI dengan kompos jerami adalah pada umur 40 HST yaitu sebesar 358,22 mgm
3
jam, hal ini disebabkan karena pada budidaya sri penggenangan yang terputus-putus dan dekomposisi kompos jerami
sudah hampir sempurna.
Pengaruh Teknik Budidaya terhadap Kadar Air Tanah pada Tanaman Padi Sawah
Dari data sidik ragam dapat dilihat bahwa pengaruh teknik budidaya sangat nyata terhadap kadar air tanah, hal ini sesuai dengan literatur Sutanto
1998 yang menyatakan bahwa penggenangan berbanding lurus dengan kadar air, dimana semakin tinggi penggenangan maka akan semakin besar pula kadar air
tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kadar air tanah di konvensional lebih tinggi daripada SRI, karena penggenangan di konvensional lebih tinggi
yakni 5 cm sedangkan di SRI hanya 2 cm. Dari data sidik ragam juga dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi terdapat
pada terknik budidaya konvensional umur 60 HST yaitu sebesar 32,41 dan nilai kadar air yang terkecil terdapat pada teknik budidaya SRI umur 60 HST . Hal ini
terjadi karena pada umur 60 HST di konvensional membutuhkan air yang cukup banyak dalam masa pertumbuhan bulir, sedangkan pada SRI tinggi penggenangan
relatif sedikit yakni 2 cm.
Pengaruh Pemberian Jerami Segar dan Kompos Jermi terhadap Kadar Air Tanah
Pemberian kompos jerami berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah. Hal ini sesuai dengan literatur Sutanto 1998, yang menyatakan bahwa bahan organik
Universitas Sumatera Utara
juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kadar air tanah selain anasir iklim, fraksi lempung tanah dan topografi.
Dari hasil sidik ragam juga dapat diperoleh bahwa kadar air tertinggi terdapat pada pemberian kompos jerami yaitu sebesar 24,05 sedangkan jerami
segar sebesar 21,94 . Hal itu terjadi karena bidang permukaan kompos jerami yang hampir terdekomposisi sempurna lebih luas dibandingkan dengan bidang
permukaan jerami segar. Pengaruh interaksi antara Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami
terhadap Kadar Air Tanah
Dalam hal ini interaksi antara teknik budidaya dengan pemberian jerami tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah. Hal ini terjadi karena
penggenangan merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi kadar air tanah berbeda dengan jerami yang hanya merupakan faktor minoritas dari kadar
air tanah sehingga interaksi nya sama sekali tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah.
Universitas Sumatera Utara
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Perlakuan teknik budidaya berpengaruh sangat nyata meningkatkan laju emisi
CO
2
pada umur 40 dan 60 HST serta berpengaruh sangat nyata meningkatkan kadar air tanah pada umur 40 dan 60 HST.
2. Perlakuan jerami berpengaruh sangat nyata meningkatkan laju emisi CO
2
pada umur 40 dan 60 HST serta berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah pada umur 40 HST
3. Interaksi antara perlakuan teknik budidaya dan pemberian jerami berpengaruh
sangat nyata meningkatkan laju emisi CO
2
pada umur 40 dan 60 HST tetapi tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan kadar air tanah.
4. Laju emisi CO
2
yang tertinggi adalah pada interaksi antara teknik budidaya konvensional dan pemberian jerami segar pada umur 60 HST yaitu sebesar
885,78 mgm
3
jam, sedangkan laju emisi CO
2
yang terendah adalah pada interaksi antara teknik budidaya SRI dan tanpa pemberian jerami pada 40 HST
yaitu 187,11 mgm
3
jam. 5. Nilai kadar air tertinggi terdapat pada Teknik Budidaya Konvensional pada
umur 60 HST yaitu sebesar 32,41 mgm
3
jam, sedangkan yang terendah pada teknik budidaya SRI yaitu 22,56 mgm
3
jam pada umur 60 HST
Universitas Sumatera Utara
Saran
Untuk menekan laju emisi karbondioksida CO
2
disarankan untuk para petani menerapkan teknik budidaya SRI selain untuk menekan laju emisi
karbondioksida teknik ini juga dapat menghemat penggunaan air.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Andoko, A., 2002. Budidaya Padi Secara Organik. Penebar Swadaya, Jakarta. Anonimous. 2003. Program Pertanian Ekologis. http:www.pplh.or.idselo
pertanian.php. [12 November 2010]. Armansyah, Sutoyo, N. Rozen dan R. Angraini. 2009. Pengaruh Periode
Pengenangan Air terhadap Pembentukan Jumlah Anakan Tanaman Padi Oryza sativa dengan Metode SRI the System of Rice
Intensification . Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang
Babu, Y. Jagadeesh, C. Li, S. Frtolking, D.R Nayak and T.K Adhya. 2006. Field validation of DNDC model for methane and nitrous oxside emissions
from rice based production systems of India. Nutrient Cycling in Agroecosystems 74:157- 174.
Hadi, Abdul. 2001. Makalah pada seminar on-Air Bioteknologi untuk Indonesia Abad 21. -14 Februari 2001. Sinergy Forum – PPI TokyoInstitute of
technology. Husin, Y .A. 1994. Metane flux from Indonesia wetland rice: The effects of water
management and rice variety [dissertasion]. Bogor: Post Graduet Program, Bogor Agricultural University.
Inubushi, K et al. 2001. effect of aquatic weeds on methane emission from submerged paddy sol. Am.J. Bot.88:975-979.
Lestari, Yulin. 2006. the Potentialof microbes in minimizing the risk of global warming. Final report of International Symposium.
Li, Changseng, J. Qiu, S. Frolking, X. Xiao, W . sallas and R. Sass. 2002. Reduced methane emissions from large-scale chenges in water
manegement of china’ rice paddies during 1980-2000. Murdiyarso D. dan Y.A. Husin. 1994. Modelling and meausuring soil organic
matter dynamics and greenhouse gas emissions after forest conversion. Report of Workshop training course. Bogor.
ASB_Indonesia report 1.
Setyanto, Prihasto. 2004. Mitigasi gas metan dari lahan sawah, Tanah Sawah dan Teknologi Pengololaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan agroklimat, Bogor. Suprihati. 2007. Populasi mikroba dan fluks metana CH4 serta nitrous oksida
N2O pada Tanah Padi Sawah: Pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Wihardjaka, A. 2001 . Emisi gas metan di tanah sawah irigasi dengan pemberian beberapa bahan organik. Agrivita 231:43-51.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1. Bagan Percobaan
J J
1
J
2
J
1
J J
2
J
1
J
2
J
1
J
2
J
1
J
J
2
J J
J J
2
J
1
Keterangan :
Tiap plot memiliki ukuran : 2 x 2 m Jarak antar plot : 30 cm
Jarak petak utama : 1 m Panjang dan lebar 1 petak utama : 6,6 m
6,6 m
6,6 m 6,6 m
1 m
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. Denah Tanaman
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
2 m 30 cm
30 cm
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3. Deskripsi Padi Sawah Varietas Pandanwangi
Asal : Populasi varietas lokal Pandanwangi Cianjur
Nomor Aksesi koleksi : Balipta 1644
Metode Seleksi : Galur murni
Golongan : Berbulu
Umur tanaman : 155 hari
Bentuk tanaman : Kompak
Tinggi tanaman : 168 cm
Anakan produktif : 15 – 18 batang
Warna kaki : Hijau
Warna batang : Hijau
Warna telingan daun : Tidak berwarna
Warna lidah daun : Tidak berwarna
Warna helai daun : Hujau
Muka daun : Kasar
Posisi daun : Tegak
Daun bendera : Tegak
Bentuk gabah : Bulat
Warna gabah : Kuning mas
Kerontokan : Tahan
Kerebahan : Kurang tahan
Tekstur nasi : Pulen
Bobot 1000 butir : 29,7 gram
Kadar amilosa : 24,96
Potensi hasil : 7,4 ton GKGHa
Rata-rata hasil : 5,7 ton GKGHa
Ketahanan terhadap hama : Rentan terhadap hama wereng coklat biotipe 2 dan 3, rentan terhadap penyakit hawar daun bakteri strain 4,
rentan terhadap penyakit tungro. Keterangan
: Baik ditanam di Kabupaten Cianjur Dikutip dari :
http:209.85.175.132search?q=cache:6LkIGxj9t4wJ:dokumen.deptan.go.iddoc BDDD2.nsf828b6c655a82612e4725666100335d9e910d90475b4512f7c72571c3
00266a313FOpenDocument+deskripsi+padi+pandan+wangihl=idct=clnkc d=1gl=idclient=firefox-a.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. Hasil Analisis Awal Tanah, Jerami Segar dan Kompos Jerami No.