ANALISIS WEWENANG BADAN NARKOTIKA NASIONAL DITINJAU DARI PENEGAKAN HUKUM PIDANA

(1)

ABSTRAK

ANALISIS WEWENANG BADAN NARKOTIKA NASIONAL DITINJAU DARI PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Oleh

RENDI SAPUTRA

Narkotika terdiri dari zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama. Permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan wewenang BNN ditinjau dari penegakan hukum pidana dan faktor-faktor yang menghambat BNN dalam melaksaaan wewenang ditinjau dari penegakan hukum pidana.

Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Responden penelitian adalah petugas Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung 2 orang dan Dosen Fakultas Hukum 1 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif, yaitu cara berfikir yang didasarkan pada berbagai hal yang bersifat khusus dan kemudian ditarik suatu kesimpulan umum.

Pelaksanaan wewenang BNN dalam penegakan hukum pidana terkait dengan tindak pidana narkotika adalah mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum; memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait dan meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri (Pasal 80). Faktor penghambat BNN dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika adalah faktor kelemahan sistem hukum sehingga banyak sekali pelanggar yang menggunakan narkotika jenis baru sehingga lolos dari jerat hukum, faktor budaya tentang narkotika sudah menjadi simbol modern saat ini, faktor masyarakat pada masa sekarang terjadi pemerosotan fungsi lembaga


(2)

Rendi Saputra

kontrol sosial yang mengakibatkan seorang berperilaku menyimpang, faktor sarana dan prasarana pendukung kurang mendukung tentang narkotika karena terbatasnya alat penyadap sehingga menyulitkan penyidikan, faktor penegak hukum tentang narkotika dalam tahap pertama masih memiliki banyak kekurangan seperti minimnya kapasitas dan kemampuan polisi terkait pemahaman kasus narkotika.

Penulis memberikan saran perlunya peningkatan kinerja mutu penyidikan yang dilakukan BNN dalam memberantas tindak pidana narkotika, sebab BNN merupakan lembaga khusus yang menangani permasalahan narkotika dengan berbagai wewenangnya BNN sebaiknya menjadi lembaga independen dalam segala pelaksanaan wewenangnya terkait penegakan hukum tindak pidana narkotika.


(3)

ANALISIS WEWENANG BADAN NARKOTIKA NASIONAL DITINJAU DARI PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Oleh Rendi Saputra

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

ANALISIS WEWENANG BADAN NARKOTIKA NASIONAL DITINJAU DARI PENEGAKAN HUKUM PIDANA

(Skripsi)

RENDI SAPUTRA

UNIVERSITAS LAMPUNG

FAKULTAS HUKUM


(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Menggala Kabupaten Tulang Bawang pada tanggal 15 September 1991, sebagai anak kedua dari lima bersaudara buah hati dari pasangan Bapak Hi. RiswandanIbuHj. Masnin.

Penulis mengawali jenjang pendidikan pada tahun 1997 di Taman Kanak-kanak Ai,Syah Kec. Kota Gajah Kab. Lampung Tengah dan diselesikan pada tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 2 Kota Gajah Kab. Lampung Tengah yang diselesaikan pada tanggal 2004. Pada tahun 2004 penulis masuk ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Kota gajah Kab. Lampung Tengah diselesaikan pada tahun 2007, setelah itu melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kota Gajah kab. Lampung Tengah dan lulus pada tahun 2010.

Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum melalaui jalur Mandiri dan untuk mematangkan ilmu hukum yang di peroleh penulis mengkonsentrasikan pada bagian Hukum Pidana.


(8)

MOTO

Sabar dalam mengatasi kesulitan dan bertindak bijaksana dalam mengatasi adalah suatu

yang utama.

Hidup tidak menghadiahkan barang sesuatupun kepada manusia tanpa berkerja keras.

Setiap perkerjaan dapat diselesaikan dengan mudah bila dikerjakan tanpa keenggana.


(9)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillah, Puji Syukur Allah SWT Dzat yang tiada bandingnya yang menjadikan

Segala sesuatu yang sulit ini menjadi mudah. Dengan segala kerendahan hati

Kupersembahkan karya sederhanaku ini kepada:

Bapak dan Ibuku yang telah berkerja keras tanpa mengenal lelah Demi mensukseskan perjuanganku hingga aku mampu

Mempersembahkan “Gelar Keserjanaan” ini.

Kakakku dan Adik-adiku tersayang yang selalu memotivasi diri ku untuk menjadi orang berguna serta telah membuatku menjadi lebih

dewasa, tegar dan lebih bijaksana dalam menjalani hidup, Almamaterku dan Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(10)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Semesta Alam Allah SWT dan shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SWT berserta sahabatnya. Alhamdulilah atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “ Analisis Wewenang Badan

Narkotika Nasional ditinjau dari Penegakan Hukum Pidana “.

Adapun maksud penulis skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan skripsi ini, namun penulis menyadari masih terdapat kekurangan baik dari segi substansi maupun penulisannya. Oleh karena itu, berbagai saran, koreksi, dan kritik yang membagun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Penulis juga menyadari ini bukanlah hasil jerih payah sendiri akan tetapi juga berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materil sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu didalam kesempatan


(11)

ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung atas ketersediaannya untuk membantu, mengarahkan, dan memberi masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

3. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., selaku pembimbing I (satu) sebagai Pembimbing Akademik yang telah meluangkan waktu dan fikirnya dan memberikan semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku pembimbing II (dua) yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

5. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H, selaku pembahas I (satu) yang telah meberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

6. Bapak A. Irzal hardiansyah, S.H., M.H, selaku pembahas II (dua) yang telah meberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen berserta seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pembelajaran berharga bagi penulis serta memberikan kemudahan dan bantuannya selama ini.


(12)

8. Kedua orangtuaku tersayang (Ayahanda Hi. Riswan dan Ibunda Hj. Masnin) yang tidak lelah memberikan materil, kasih sayang dalam membesarkan, mendidik, dan mendoakanku dalam setiap sujudnya dengan ketulusan dan keikhlasan demi menantikan keberhasilanku, dan kakakku berserta adik-adikku (Risa Eka Sepreni, Maulidi Saputra, Putri Handayani, Rizky Andi Saputra) yang selalu memberikan dukungan, do’a, dn motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Sungguh besar rasa sayang dan cintaku pada kalian, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT.

9. Kekasihku (Istikhorotun Hasanah) yang telah memotivasi, berkorban untuk membantu menulis, dan semangat yang tidak henti-hentinya diucapkan kepada penulis agar mendapatkan gelar kesarjanaan.

10. Teman-teman seperjuanganku di Fakultas Hukum Universitas Lampung (Hety Ratna Novitasari, M. Ruhly, Pundawa Abrosin, Triana Rahmadani, Meutia Kumala sari, Ni Putu Yudiastuti, selly, Alfian Bayhaki, Dico Primantara, Lukman Hakim, Johan Aziz, Gusti Anggi Merdeka P, Friangga Aditama, Inez Taufik, Idha Mutiara Sari, Doddy Irwansyah, bulan indriani, M. Ibnu Farhan, Rahmat Hidayat, Erick Barsellona, Selvi Yuliyanti, Terry Abdulrahman) yang selalu bersama dalam suka dan duka dan selalu memberikan nasihat, semangat, do’a serta bantuan secara moril maupun materil.

11. Sahabat-sahabatku yang tidak bisaku sebutkan satu persatu, kebersamaan dengan kalian membuat penulis kaya akan pengalaman yang tidak mungkin bisa dilupakan dan diulang. Persahabatan tak terpisah oleh jarak dan waktu.


(13)

12. Dan pihak-pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

13. Almamater tercinta.

Semoga Allah SWTmenerima dan membalas semua kebaikan yang kita perbuat. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembacanya. Amin....

Banda Lampung, April 2014


(14)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 12

II TINJAUAN PUSTAKA A.Pengertian Wewenang ... 14

B. Badan Narkotika Nasional dan Badan Narkotika Provinsi ... 15

C.Pengertian Penegakan Hukum Pidana ... 17

D.Pengertian Narkotika... 28

III METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ... 30

B. Sumber dan Jenis Data ... 31

C.Penentuan Narasumber... 32

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 32

E. Analisis Data ... 34

IV HASIL PENELITIAN DAN PEBAHASAN A. Karateristik Responden ... 35

B. Pelaksanaan Wewenang Badan Narkotika Nasional ditinjau dari Penegakan Hukum Pidana... 36

C. Faktor-Faktor yang Menghambat Badan Narkotika Nasional dalam Melaksaaan Wewenang ditinjau dari Penegakan Hukum Pidana... 47


(15)

V PENUTUP

A. Simpulan... ... 54 B. Saran... 56


(16)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Modal pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah kualitas sumber daya manusia. Untuk itu dibutuhkan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika dan obat-obatan jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat-obat-obatan untuk kesehatan, juga digunakan untuk percobaan dan penelitian yang diselenggarakan pemerintah dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan dan mendapat ijin dari Menteri Kesehatan.

Narkotika terdiri dari zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.1 Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, LN Nomor 143 Tahun 2009, TLN


(17)

2

Dunia medis mengenal menganggap narkotika sangat diperlukan karena keampuhannya menghilangkan rasa nyeri. Di samping itu sudah ratusan tahun orang menggunakannya sebagai obat mencret dan obat batuk.2 Namun penyalahgunaan Narkotika diluar indikasi medis tanpa petunjuk atau resep dokter dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, baik fisik, mental maupun gangguan sosial yang bersifat kompleks yang memerlukan terapi dan rehabilitasi bagi penggunanya. 3

Penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika dan obat berbahaya mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, baik dari sudut medis, maupun psikososial (ekonomi, politik, sosial, budaya, kriminalitas, kerusuhan masal, dan lain sebagainya).4 Penggunaan Narkotika hanya diperuntukkan bagi kepentingan pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, namun kemudian banyak disalahgunakan. Menurut Romli Atmasasmita, pemakaian Narkotika secara terus menerus dan tidak terawasi akan menjerumuskan pemakainya ke dalam kehidupan yang bersifat kontra produktif, antara lain : malas belajar atau tidak dapat bekerja, destruktif, akhlak semakin runtuh, bersifat asosial, dan melakukan kejahatan-kejahatan untuk memenuhi ketagihannya atas narkotika.5

2. Andi Hamzah & RM. Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Jakarta, Sinar

Grafika, 1994, hlm. 5.

3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Narkotika, di dalam sub c

undang-undang tersebut tercantum bahwa perbuatan penyimpangan, peredaran dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia yang sedang membangun

4. Mardani. Penyalahgunaan Narkoba, Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana

Nasional, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 3.

5. Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana


(18)

3

Penyalahgunaan Narkotika telah dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda, yang pada umumnya saat itu dilakukan oleh orang yang telah berusia lanjut. Pada era globalisasi ini masyarakat semakin berkembang, dimana perkembangan itu selalu diikuti proses penyesuaian diri yang kadang-kadang proses tersebut terjadi secara tidak seimbang. Dengan kata lain, pelanggaran terhadap norma-norma tersebut semakin sering terjadi dan kejahatan semakin bertambah, baik jenis maupun bentuk polanya semakin kompleks. Perkembangan masyarakat itu disebabkan karena ilmu pengetahuan dan pola pikir masyarakat yang semakin maju. Seiring dengan itu pecandu yang kebanyakan usia lanjut kemudian bergeser ke kalangan remaja dan anak-anak.

Peraturan perundang-undangan ini hadir dimana hukum berfungsi sebagai pengendalian social (social control), memaksa warga masyarakat untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang yang mengatur mengenai narkoba sebagai hukum yang wajib ditaati, karena dibentuk atas kerjasama antara wakil-wakil rakyat dengan pemerintah. Ini artinya telah ada kesepakatan antara rakyat dengan pemerintah tentang peraturan narkoba, yang sama-sama harus ditaati oleh semuanya. Adapun tujuannya, agar hukum dapat diberlakukan dengan lancar sesuai dengan tujuan yang diharapkan.6 Seiring kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih, maka undang-undang ini dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang.


(19)

4

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang diundangkan pada tanggal 12 Oktober 2009 sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan memindahkan Lampiran mengenai Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menjadi Narkotika Golongan I. Selain itu, dilampirkan pula mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Berdasarkan substansial, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan undang-undang terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi dan kewenangan Badan Narkotika Nasional yang sangat besar.

Badan Narkotika Nasional (BNN) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2002, tanggal 22 Maret 2002 atas pertimbangan bahwa narkotika, psikotropika, prekusor, dan zat adiktif lainnya sebenarnya sangat bermanfaat dan diperlukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan namun dapat merugikan kesehatan apabila disalahgunakan. Maka dalam rangka menjamin keterpaduan penyusunan kebijakan dan pelaksanaan di bidang ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekusor, dan zat adiktif lainnya perlu koordinasi yang erat antara instansi pemerintah.

Badan Koordinasi Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999 tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan


(20)

5

perkembangan keadaan. Sehubungan dengan pertimbangan di atas dan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, maka Presiden Megawati memutuskan untuk membentuk BNN.

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, organisasi BNN diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang BNN, Badan Narkotika Propinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNP) mempunyai tugas membantu gubernur dalam mengkoordinasikan perangkat daerah dan instansi pemerintah di provinsi dalam penyusunan kebijakan dan pelaksaan operasional BNN dibidang ketersedian, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN), dan membentuk kebijakan operasional BNN yang terdiri atas unsur perangkat sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing. Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Badan Narkotika Nasional dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, Badan Narkotika Nasional berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Penegakan hukum dalam kasus narkotika selain melibatkan polisi dan juga melibatkan BNN dalam hal ini, BBN berperan sebagai mengrehabilitasi orang yang terpengaruh dengan narkotika. Sebelumnya tahap penyelidikan dan penyidikan hanya dilakukan oleh penyidik polisi semenjak adanya BNN penyidikan dalam kasus narkotika dilakukan oleh penyidik BNN. Hal tersebut yang melatarbelakangin penulis untuk mengkaji lebih lanjut dalam skripsi yang


(21)

6

berjudul “Analisis wewenang Badan Narkotika Nasional ditinjau dari penegakan hukum pidana”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah pelaksanaan wewenang BNN ditinjau dari penegakan hukum pidana?

b. Apakah faktor-faktor yang menghambat BNN dalam melaksanaan wewenang ditinjau dari penegakan hukum pidana?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan dengan analisis wewenang Badan Narkotika Nasional ditinjau dari penegakan hukum pidana. Ruang lingkup waktu 2013-2014 dan Ruang lingkup lokasi penelitian pada Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui pelaksanaan wewenang BNN ditinjau dari penegakan hukum pidana.


(22)

7

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat BNN dalam melaksanaan wewenang ditinjau dari penegakan hukum pidana.

2. Kegunaan penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan hukum, khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan wewenang BBN ditinjau dari penegakan hukum pidana.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan khusunya bagi mahasiswa Jurusan Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dan diharapkan dapat menjadi informasi umumnya bagi masyarakat maupun bagi lembaga penegakan hukum mengenai pelaksanaan wewenang BBN ditinjau dari penegakan hukum pidana.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual.

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. 7

7. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986


(23)

8

Kerangka teori juga menggunakan acuan dalam penelitian dengan maksud agar lebih jelas untuk membahas pokok permasalahan dengan mendasarkan pada suatu teori. Relevansi sebagai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai penegakan hukum pidana.

Menurut kajian literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah”(the rule and the ruled).

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”, sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.

Berdasarkan ketentuan hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu: a) hukum;


(24)

9

b) kewenangan (wewenang); c) keadilan; d) kejujuran; e) kebijakbestarian; dan f) kebajikan.

Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar Negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu Negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau Negara.

Pada masalah penegakan hukum pemikiran harus kepada apakah berlaku atau tidaknya tersebut di masyarakat. Pada masalah ini pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diarahkan kepada bagaimana menerapan sebuah peraturan yang membawa dampat positif bagi upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam proses peradilan pidana, maka terdapat tahap-tahap pemberlakuannya sebagai berikut :

a. Tahap Formulasi ialah tahap penegakan hukum “in abstrakc” oleh pembuat undang-undang, tahap ini dapat pula tahap kebijakan legislative.

b. Tahap Aplikasi ialah tahap penegakan hukum oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan, tahap ini dapat disebut kebijakan yudikatif.

c. Tahap Eksekusi ialah tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana, tahap ini disebut tahap kebijakan eksekutif atau administrasi.


(25)

10

Ketiga tahap ini usaha atau proses rasional yang sengaja digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dan merupakan suatu ketentuan dan merupakan suatu keterpaduan yang harus tercapai secara selaras seimbang.8

Teori hukum membedakan tiga macam keberlakuan hukum, yakni sebagai berikut:

a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis. b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis. c. Kaidah hukum berlaku secara filosofis.

Untuk dapat menerapkan suatu kaidah hukum, maka kaidah hukum harus memenuhi ketiga unsur tersebut diatas. Hal ini disebabkan karena9 :

a. Bila suatu kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinn besar kaidah hukum yang mati.

b. Bila hanya berlaku sosiologis, maka kaidah hukum tersebut menjadi aturan pemaksa.

c. Bila hanya berlaku secara filosofis, maka kaidah hukum tersebut hanya merupakan hukum yang di cita-citakan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan poin-poin tugas dan wewenang penyidikan antara BNN dan Polri hampir sama. Bedanya, BNN hanya menyidik kejahatan narkotika dan prekursor narkotika. Sementara itu, Polri menyidik semua jenis kejahatan termasuk narkotika dan prekursor narkotika. Untuk melakukan tugas dan wewenang ini,

8. Barda Nawawi dan Muladi, Bunga Rampal Kebijakan Hukum Pidana. hlm 29.


(26)

11

Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) membentuk direktorat khusus yang menangani narkotika dan prekursor narkotika. Dengan demikian kedua lembaga ini memiliki wewenang yang sama dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Menurut Soejono Soekanto, penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, terhadap faktor yang mempengaruhi yaitu:10

1. Faktor hukum sendiri.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor saran atau fasilitas mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau mengambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah itu.11 Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pokok-pokok pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis akan memberikan konsep yang bertujuan untuk menjelaskan berbagai istilah digunakan dalam penulisan ini. Adapun istilah-istilah yang digunakan:

a. Penegakan hukum adalah kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau

10. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta:Rajawali,

hlm. 4-5.


(27)

12

penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution).12 b. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.13

c. Badan Narkotika Nasional adalah lembaga pemerintah nonkementrian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden yang dibentuk dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.14

d. Wewenang Adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.15

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memahami skripsi ini secara keseluruhan, maka sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

12. http://pustakakaryaifa.blogspot.com/2013/05/penegakan-hukum.html diakses 11 Desember

2013, pukul 23.13 WIB

13. Undang-Undang tentang Narkotika, UU No.35 Tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009, TLN

No.5062, Pasal 1 butir 1.

14. Ibid, Pasal 64 Ayat (1) dan Ayat (2).

15. http://albymoon.blogspot.com/2009/12/wewenang-delegasi-dan-desentralisasi.html, di akses


(28)

13

Bab ini merupakan pendahuuan yang memuat latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta menguraikan tentang sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengertian wewenang, pengertian narkotika, Badan Narkotika Nasional dan Badan Narkotika Provinsi, Tugas Badan Narkotika Nasional, dan pengertian .penegakan hukum pidana, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, tahap-tahap penegakan hukum pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta tahap akhir berupa analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini pembahasan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini, akan dijelaskan wewenang BNN ditinjau dari penegakan hukum pidana, dan apakah faktor-faktor yang menghambat BNN dalam melaksanakan wewenang ditinjau dari penegakan hukum pidana.

V. PENUTUP


(29)

14

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Wewenang

Wewenang Adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Wewenang merupakan hasil delegasi atau pelimpahan wewenang dari atasan ke bawahan dalam suatu organisasi. Dua pandangan yang saling berlawanan tentang sumber wewenang, yaitu: 1

1. Teori formal (classical view) Wewenang merupakan anugrah, ada karena seseorang diberi atau dilimpahi hal tersebut. Beranggapan bahwa wewenang berasal dari tingkat masyarakat yang tinggi. Jadi pandangan ini menelusuri sumber tertinggi dari wewenang ke atas sampai sumber terakhir, dimana untuk organisasi perusahaan adalah pemilik atau pemegang saham.

2. Teori penerimaan (acceptance theory of authority) Wewenang timbul hanya jika dapat diterima oleh kelompok atau individu kepada siapa wewenang tersebut dijalankan. Pandangan ini menyatakan kunci dasar wewenang oleh yang dipengaruhi (influencee) bukan yang mempengaruhi (influencer). Jadi, wewenang tergantung pada penerima (receiver), yang memutuskan untuk

1. http://albymoon.blogspot.com/2009/12/wewenang-delegasi-dan-desentralisasi.html, di akses 11


(30)

15

menerima atau menolak. Ada dua pandangan yang menjelaskan wewenang formal (resmi):

1. Pandangan klasik (classical view)

Wewenang datang dari tingkat paling atas, kemudian secara bertahap diturunkan ke tingkat yang lebih bawah

2. Pandangan penerimaan (acceptance view)

Sudut pandang wewenang adalah penerima perintah, bukannya pemberi perintah. Pandangan ini dimulai dengan pengamatan bahwa tidak semua perintah dipatuhi oleh penerima perintah. Penerima perintah akan menentukan apakah akan menerima perintah atau tidak

B. Badan Narkotika Nasional dan Badan Narkitika Provinsi

1. Pengertian Badan Narkotika Nasional

Menurut Pasal 64 Ayat (1) Undang Narkotika dinyatakan bahwa Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN. Ayat (2) menyatakan bahwa BNN sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkududukan di bawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden.


(31)

16

2. Pengertian Badan Narkotika Provinsi

Menurut Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang Narkotika meyatakan bahwa BNN berkedudukan di ibukota negara dengan kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Ayat (2) menyatakan bahwa BNN mempunyai perwakilan di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selanjutnya menurut Pasal 66 BNN provinsi dan BNN Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 Ayat (3) merupakan instansi vertikal.

3. Tugas Badan Narkotika Nasional

Menurut Pasal 70 Undan-Undang Narkotika, BNN mempunyai tugas sebagai berikut:

a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;

e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;

i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.


(32)

17

4. Wewenang Badan Narkotika Nasional

Menurut Pasal 71 Undang-Undang Narkotika, dalam Pelaksanakan tugas pemberantasan penyalagunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Selanjutnya menurut Pasal 72 :

(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.

(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.

Berdasarkan kewenangan uraian diatas, maka kewenangan penyidikan berada pada undang-undang yang lebih baru yaitu tentang peran penyidikan BNN dalam pemberantasan tindak pidana narkotika yang sebelumnya kewenangan penyidikan ada didalam kewenangan kepolisian.

C. Pengertian Penegakan Hukum Pidana

Pengertian penegakan hukum pidana dapat juga diartikan penyelenggaraan hukum oleh petugas penegak hukum dan oleh setiap orang yang mempunyai kepentingan sesuai dengan kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku. Bila dikaitkan penegakan hukum dengan wewenang Badan Narkotika Nasional , maka saat ini harusnya hukum harus bisa ditegakkan.


(33)

18

Kebijakan atau upaya penangulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejateraan masyarakat (social welfare). Bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata perkerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematika-dogmatik. Dengan penegasan tersebut masalah kebijakan pidana termasuk salah satu bidang yang seyogyangya menjadi pusat perhatian kriminologi, terlebih memang pidana sebagai salah satu bentuk reaksi atau respon terhadap kejahatan. Menurut Marc Ancel bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari 2:

1. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya 2. Suatu prosedur hukum pidana

3. Suatu mekenisme pelaksaaan pidana

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum pidana. Suatu usaha untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosial-politik, sosio-filosofis dan sosio-kuntural masyarakat indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum. Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi pidana apa yang sebaliknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tidak kriminal, perlu kriteria umum sebagai berikut :

2. Nawawi Arief, Barda. 2005. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum


(34)

19

1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan

2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai 3. Apakah akan menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau

nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya

4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa, sehingga berbahaya bagi seluruh masyarakat.

Bertolak dari pendekatan kebijakan itu Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang disebut masalah kriminalisasi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut 3:

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil spiritual berdasarkan pancasila.

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbutan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian.

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip, biaya, dan hasil (cost and benefit principle).

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).


(35)

20

Dalam penegakan hukum pidana bahwa pendekatan humanistik menuntut pula diperhatikannya ide “individualisasi pidana “ dalam kebijakan hukum pidana. Ide individualisasi pidana ini antara lain mengandung beberapa karakteristik sebagai berikut :

1. Pertanggung jawaban pidana bersifat pribadi atau perorangan (azas personal). 2. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culbalitas “ tiada

pidana tanpa kesalahan”).

3. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku dan fleksibitas bagi hakim dalam memilih sangsi pidana “ sejenis maupun berat ringannya sanksi” dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana ( perbutan atau penyesuaian ) dalam pelaksanaannya.

Menurut Soerjono Soekanto mengadatakan penegakan hukum adalah : kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan menilai yang menetap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (sebagai “sosial

enginering”) memelihara dan mempertahankan (sebagai “sosial control”) kedamaian

pergaulan hidup.4

Bedasarkan uraian diatas, maka penegakan hukum pidana merupakan suatu sistem yang menyangkut penyerasian antara lain nilai dan kaidah serta perilaku nyata manusia, kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patoka bagi prilaku

4. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta:Rajawali, hlm.


(36)

21

atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya. Prilaku atau sikap itu bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan perdamaian.

Didalam menganalisa masalah hukum, persoalan tidak terlepas dari properasinya tiga komponen sistem hukum (legal system) yang dikatakan oleh Lawrence M. Friedman terdiri dari komponen “struktur , suptansi, dan kultur”.5

Komponen struktur adalah bagian-bagian yang bergerak dalam mekanisme misalnya pengadilan. Komponen suptansi merupakan hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum dan meliputi pula kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis. Sedangkan komponen kultur adalah nilai dan sikap yang mengikat sistem hukum itu secara bersamaan dan menghasilkan suatu bentuk penyelenggaraan hukum dalam budaya masyarakat secara keseluruhan.

Komponen kultur memegang peraturan yang sangat penting dalam penegakan hukum. Adakalahnya tingkat penegakan hukum pada suatu masyarakat sangat tinggi, karena didukung oleh kultur masyarakat, misalnya melalui partisipasi masyarakat yang sangat tinggi pula dalam usaha melakukan pencegahan kejahatan, melaporkan dan membuat pengaduan atas terjadinya kejahatan dilingkungannya dan berkerja sama dengan aparat penegak hukum dalam usaha penangulangan kejahatan, meskipun komponen stuktur dan suptansinya tidak begitu baik dan bahkan masyarakat tidak menginginkan prosedur formal itu diterapkan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari penyelesaian masalah-masalah hukum yang terjadi di masyarakat, tidak seluruhnya diselesaikan melalui prosedur berdasarkan ketentuan hukum positif yang berlaku.


(37)

22

Penyelesaian kasus banyak pertimbangan-pertimbangan untuk menyelesaikannya tanpa diajukan kepengadilan, hal ini menandakan bahwa yang diinginkan masyarakat sebenarnya bukan pada penegakan hukum akan tetapi pada nilai-nilai ketentraman dan kedamaian masyarakat, menurut pandangan masyarakat jalur penyelesaian melalui hukum/pengadilan tidak akan memecahkan masalah, seringkali memperluas pertentangan dan rasa tidak senang antara warga masyarakat berperkara dan demikian juga biasanya kasus yang diadukan kadang-kadang tidak mempunyai dasar hukum untuk diselesaikan secara hukum.

Hal tersebut kiranya sejalan dengan pandangan yang penyatakan penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi (kebijakan) yang membuat keputusan hukum tidak secara ketat diatur dalam undang-undang melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan antar hukum dan etika. Oleh karena itu pertimbangan secara nyata hanya dapat diterapkan selektif dan masalah penanggulangan kejahatan.

Menyangkut masalah diskresi, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa diskresi merupakan pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah yang dihadapi, dengan berpengang pada peraturan. Walaupun ada diskresi yang memungkinkan tanpa berpegang pada peraturan, karena belum ada peraturannya. Dalam menerapkan diskresi harus mempertimbangkan beberapa faktor yang menyangkut masalah :6

1. Apabila penegakan hukum bertindak, apakah akan ada pihak-pihak lain yang akan mengalami gangguan;

2. Adakah yang dirugikan atau tidak;

6. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta:Rajawali,


(38)

23

3. Kalau dilakukan penindakan tertentu, apakah akan menghasilkan situasi yang lebih baik daripada sebelumnya;

4. Apabila penegak hukum terpaksa melanggar perintah atasan untuk memperbaiki keadaan dan akibatnya bagaimana;

5. Begaimana menghadapi gangguan keamanan di perairan dalam keadaan tidak bertugas;

6. Bagaimana menindak pihak bersalah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan atasan atau rekan kerja;

7. Apakah yang diharapkan dari penegakan hukum.

Persoalan penggunaan diskresi dialami polisi dalam melaksanakan tugasnya di Amerika Serikat. Hukum dan ketertiban memiliki posisi yang bertentangan, karena didalam hukum terkandung pembatasan tata kerja untuk mencapai ketertiban.

1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak henti-hentinya dibicarakan. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi penegakan, melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku didalam masyarakat, sehingga dalam kontek yang lebih luas penegakan hukum merupakan merlangsungnya perwujudan konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan. Didalam proses tersebut hukum tidaklah mandiri, artinya ada faktor-faktor lain yang erat dalam proses penegakan hukum tersebut yang harus ikut serta yaitu masyarakat itu sendiri dan penegak hukumnya. Dalam hal ini, hukum tidak lebih hanya ide-ide atau konsep-konsep yang mencerminkan didalamnya.

Mewujudkan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang dituangkan dalam bentuk perundang-undangan dengan maksud dengan mencapai tujuan tertentu. Namun demikian tidak berarti pula peraturan-peraturan hukum yang berlaku di


(39)

24

artikan telah lengkap dan sepurna, melaikan suatu kerangka yang masih memerlukan penyempurnaan. Untuk merealisasikan tujuan hukum tersebut, sangat ditentukan tingkat propesionalisme aparat penegak hukum yang meliputi kemampuan dan keterampilan baik dalam menjabarkan peraturan-peraturan maupun didalam penerapannya.

Menurut Soejono Soekanto yang mengatakan bahwa penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, terdapat faktor yang memperngaruhinya yaitu : 7

1. Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Apabila kelima faktor tersebut dijadikan barometer didalam penegakan hukum pidana untuk melihat faktor penghambat dan pendorong dalam pelaksanaan tugasnya, faktor akan dijabarkan sebagai berikut :

a. Faktor Hukum

Pratek penyelenggaraan penegakan hukum dilapangan, sering terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal itu di karenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum

7. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta:Rajawali, hlm.


(40)

25

merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif oleh karena itu suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup “law enforcement” saja, akan tetapi juga “peace maintance”’ karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian tidak berarti setiap permasalahn sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang mengatur seluruh lingkah laku manusia yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan perturan dengan fasilitas yang mendukungnya.

Sebagaiamana diketahui bahwa hukum mempunyai unsur-unsur antara lain sebagai hukum perundang-undangan, hukum teratat, hukum yurusprudensi, hukum adat, dan hukum ilmuan atau doktrin. Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis artinya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizoltal antara perundang-undangan yang satu dan yang lainnya, bahasa yang dipergunakan harus jelas, sederhana dan tepat karena isinya merupakan pesan pada warga masyarakat yang terkena perundang-undangan itu.


(41)

26

b. Kepribadian atau Mentalitas Penegak Hukum

Salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum pidana adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J.E Sahetapy yang mengatakan bahwa, dalam kerangka penegakan hukum pidana dan implementasi penegakan hukum pidana bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan.

c. Fasilitas Pendukung

Fasilatas pendukung mencangkup perangkat lunak dan keras, salah satu perangkat lunak adalah pendidikan, pendidikan yang diterima oleh polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang peraktis konpensional sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan dalam tugasnya, antara lain pengetahuan tentang kejahatan, komputer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenangnya kepada jaksa, hal ini karena secara tehknis-yuridis polisi belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan begitu banyak.


(42)

27

d. Taraf Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Masyarakat

Setiap warga masyarakat atau kelompok pasti mempunyai kesadaran hukum, masalah yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yakni kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau rendah. Sebagaimana di ketahui kedasaran hukum sebenarnya merupakan suatu proses yang mencangkup pengetahuan hukum, sikap hukum dan prilaku hukum.

e. Faktor Budaya dan Masyarakat

Secara analisis konsepsional terhadap pembagian jenis kebudayaan, apabila dilihat dari perkembangannya dan ruang lingkupnya di Indonesia, adanya super-culture, culture, suculture dan counter-culture. Variasi kebudayaan yang demikian banyaknya, dapat menimbulkan persepsi-persepsi tertantu terhadap penegakan hukum, variasi-variasi kebudayaan sanga sulit untuk diseragamkan, oleh karena itu penegakan hukum harus disesuaikan dengan kondisi setempat, misalnya penegakan di Pontianak akan berbeda dengan di Jakarta.

Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan, oleh karena itu merupakan hal pokok dalam penegakan hukum, serta merupakan ukuran melihat efektifitas dalam penegakan hukum. Dari kelima faktor tersebut faktor penegakan hukum menempat titil sentral. Hal ini disebabkan oleh karena undang-undang dibuat oleh karena undang-undang dibuat oleh penegak hukum, penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum, demikian juga penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat luas.


(43)

28

2. Tahap-Tahap Penegak Hukum Pidana

a. Tahap Formulasi, yaitu penegakan hukum pidana inabstrac oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaa dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini juga disebut tahap kebijakan legeslatif. b. Taham Aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan

hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Aparat penegak hukum harus memegang teguh pada nilai-nilai keadilan didaya guna. Tahap ini disebut sebagai tahap kebijakan yudikatif.

c. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksaan) hukum pidana secara kongkrit oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam pemutusan pengadilan, dalam melaksanakan pidana dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan serta daya guna.


(44)

29

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan jalinan mata rantai aktifitas yang tidak terputus bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

D.Pengertian Narkotika

Pengertian narkotika menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah:

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini”.

Pengertian narkotika secara umum adalah sejenis zat yang dimasukkan ke dalam tubuh untuk sementara akan membawa pengaruh yang berupa, menyenangkan merangsang dan menimbulkan khayalan atau kenikmatan.8

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan Pasal 6 Ayat 1 :

1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan


(45)

30

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.


(46)

31

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pembahasan terhadap masalah penelitian ini, penulis menggunakan dua macam pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris:1

a) Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori, dan konsep-konsep yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara melihat dan mempelajari kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan, yang erat hubungannya dengan penulisan penelitian ini.

b) Pendekatan yuridis empiris adalah dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktik dan mengenai pelaksanaannya. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara mempelajari kenyataan yang terjadi pada praktek lapangan, dimana pendekatan ini dilakukan dengan wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang dianggap mengetahui dan ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas dan diperoleh atau didapatkan dilokasi penelitian


(47)

32

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam penulisan skripsi ini diperoleh dari dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.2 secara langsung dari hasil penelitian lapangan, baik melalui pengamatan dan wawancara dengan para responden, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan masalah penulisan skripsi ini.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan menelusuri literatur-literatur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Pada umunya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera.3 Data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari:

a) Bahan hukum primer, antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

2) Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. b) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian dan pendapat para pakar hukum.

2. Amirudin, S.H.,M.Hum, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2004, hlm. 30.


(48)

33

c) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang mencakup bahan memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, biografi, karya-karya ilmiah, bahan seminar, sumber dari internet, hasil-hasil penelitian para sarjana berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah seseorang yang memberikan informasi yang diinginkan dan dapat memberikan tanggapan terhadap informasi yang diberikan.4 Pada penelitian ini penentuan Narasumber hanya dibatasi pada:

1. Penyidik BNN Provinsi Lampung : 2 orang 2. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung: 1 orang

Jumlah 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

Penyusunan skripsi ini sesuai dengan jenis dan sumber data sebagaimana ditentukan diatas mempergunakan dua macam prosedur, dalam rangka mengumpulkan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Prosedur Pengumpuan Data

a Studi Kepustakaan


(49)

34

Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data yang bersumber dari dokumentasi yang berhubungan dengan masalah yang sedang dibahas, yang berhubungan dengan informan yang dikehendaki oleh peneliti. Data atau informasi yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder. pengumpulan data sekunder adalah terlebih menerima sumber pustaka, buku-buku, peraturan perundang-undangan dan lain-lain yang berkaitan dengan permasalahan.

b Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan dengan cara obserpasi dan wawancara untuk pengumpulan dan memperoleh data primer. Studi lapangan diakukan dengan cara mengadakan wawancara dengan responden, wawancara dilakukan secara mendalam dengan sistem jawaban terbuka untuk mendapatkan jawaban yang utuh.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul dengan baik yang diperoleh dari studi kepustakaan dan studi lapangan kemudian diolah dengan cara sebagai berikut :

a Editing data, yaitu data yang didapatkan dari penelitian diperiksa dan diteiti kembali untuk mengetahui apakah data yang didapat itu sudah sesuai dengan pokok bahasan penelitian ini. Sehingga dapat terhindar dari adanya kesalahan data.

b Interpretasi data, menghubungkan data-data yang diperoleh sehingga menghasilkan suatu uraian yang kemudian dapat ditarik kesimpulan.


(50)

35

c Sistematisasi data, yaitu proses penyusunan dan penempatan sesuai dengan pokok permasalahan secara sistematis sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Setelah data sudah terkumpul data yang diperoleh dari penelitian selanjutnya adalah dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan data dan fakta yang dihasikan atau dengan kata lain yaitu dengan menguraikan data dengan kalimat-kalimat yang tersusun secara terperinci, sistematis dan analisis, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan dari penelitian dilapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi dan pengetahuan umum. Setelah data dianalisis maka kesimpulan terakhir dilakukan dengan metode induktif yaitu berfikir berdasarkan fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan yang bersifat khusus.


(51)

55

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti paparkan pada pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Pelaksanaan wewenang BNN dalam penegakan hukum pidana terkait dengan tindak pidana narkotika adalah : mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum, memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait, untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa, untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri, meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait, menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi


(52)

56

perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka, dan meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri (Pasal 80).

2. Faktor penghambat BNN dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika adalah : Faktor kelemahan sistem hukum adalah sitem hukum yang lemah memungkinkan akan menghambat penegakan hukum, karena sistem hukum yang menjadi acuan tidak bisa menjangkau permasalahan yang ada, Faktor budaya adalah kemerosotan nilai budaya menyebabkan orang dengan mudah menganggap remeh bahaya narkotika, narkotika dianggap sebagai hal yang lumrah dan simbol modern sehingga hal ini yang menjadikan BNN sulit menyelesaikan permasalahan narkotika, Faktor masyarakat adalah seseorang menjadi jahat atau baik dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya. Melemah atau terputusnya ikatan sosialnya dengan masyarakat, manakala di masyarakat itu telah terjadi pemerosotan fungsi lembaga kontrol sosial, Faktor sarana dan prasarana pendukung adalah sarana dan prasarana dalam menyelesaikan permasalahan kasus narkotika masih sangat terbatas seperti pengadaan alat penyadap untuk bisa menangkap barang bukti dari pelaku sehingga akan menyulitkan penyidikan kasus narkotika, Faktor penegak hukum adalah polisi yang dalam hal ini adalah penagak hukum dalam tahap pertama masih memiliki banyak kekurangan seperti minimnya kapasitas dan kemapuan polisi terkait dengan pemahaman kasus narkotika.


(53)

57

B. Saran

Perlunya peningkatan kinerja BNN dalam memberantas tindak pidana narkotika, sebab BNN merupakan lembaga khusus yang menangani permasalahan narkotika dengan berbagai wewenangnya BNN sebaiknya menjadi lembaga independen dalam segala pelaksanaan wewenangnya terkait penegakan hukum tindak pidana narkotika dan Berbagai hambatan yang ada dalam penegakan hukum terkait dengan tindak pidana narkotika sebaiknya menjadi suatu permasalahan yang memerlukan perngkajian solusi yang menjadi tantangan BNN untuk kedepannya supaya bisa menjalankan tugasnya lebih baik lagi.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin.2011. http://www.masbied.com/2011/09/02/definisi-pemahaman-menurut-para-ahli/ . diposting pada 11 Januari 2014 pukul 21.00

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rieneka cipta

Asadi, Muhammad. 2011. Karakter Orang Berdasarkan Etnisnya. Jogjakarta: Najah

Azwar, Saifuddin. 2009. Sikap Manusia Teori dan Pengukuranya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alpabeta Hananto, Ari. 2009. Modul IPS Terpadu. Bandung: CV Setiaji

Harunar. 2013. http://harunarcom.blogspot.com/2013/01/hubungan-sosial-dalam-kehidupan.html. diposting pada 11 Januari 2014 pukul 21.00

Ikhar. 2012. http://ikharagazza.blogspot.com/2012/12/pengertian-etnis-ras-negara-budaya-dan.html. diposting pada 11 Januari 2014 pukul 21.00

Jauhari, Imam. 2012. Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka pelajar

Koentjaraningrat. 2004. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Renika Cipta Kurnia, Anwar.2010. Ilmu Pengetahuan Sosial Terpadu. Jakarta: Yudistira Maulana, Arief. 2012. Cara Menyusun Skripsi. Jakarta: Agogos

Muin, Idianto. 2006. Sosiologi SMA. Jakarta: Erlangga

Setiadi, Elly. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup


(55)

Sugiono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Sunarto, 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Rineka Cipta

Suryani. 2011. Analisis Pemahaman Dan Sikap Mahasiswa Fkip Program Studi PPKN Tentag Isi Undang-Undang informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomer 11 Tahun 2008. Unila

Universitas Lampung. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandar Lampung Wardiyatmoko. 2009. Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SMP Kelas VIII. Bandung:

Erlangga

Widiyanto, Bambang. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat. Jakarta: Salemba Humaika

Wikipedia. 2012. Http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_suku_bangsa_di_Indonesia Diposting pada 11 Januari 2014 pukul 21.00

Wulasari, Dewi. 2009. SosiologiKonsep dan Teori”. Bandung: PT Refika Aditama

Zulfikar.2013.http://nandangzulfikar9d.blogspot.com/p/pengertian-siswa.html, diposting pada 11 Januari 2014 pukul 20.00 WIB


(1)

c Sistematisasi data, yaitu proses penyusunan dan penempatan sesuai dengan pokok permasalahan secara sistematis sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Setelah data sudah terkumpul data yang diperoleh dari penelitian selanjutnya adalah dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan data dan fakta yang dihasikan atau dengan kata lain yaitu dengan menguraikan data dengan kalimat-kalimat yang tersusun secara terperinci, sistematis dan analisis, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan dari penelitian dilapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi dan pengetahuan umum. Setelah data dianalisis maka kesimpulan terakhir dilakukan dengan metode induktif yaitu berfikir berdasarkan fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan yang bersifat khusus.


(2)

55

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti paparkan pada pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Pelaksanaan wewenang BNN dalam penegakan hukum pidana terkait dengan tindak pidana narkotika adalah : mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum, memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait, untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa, untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri, meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait, menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi


(3)

perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka, dan meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri (Pasal 80).

2. Faktor penghambat BNN dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika adalah : Faktor kelemahan sistem hukum adalah sitem hukum yang lemah memungkinkan akan menghambat penegakan hukum, karena sistem hukum yang menjadi acuan tidak bisa menjangkau permasalahan yang ada, Faktor budaya adalah kemerosotan nilai budaya menyebabkan orang dengan mudah menganggap remeh bahaya narkotika, narkotika dianggap sebagai hal yang lumrah dan simbol modern sehingga hal ini yang menjadikan BNN sulit menyelesaikan permasalahan narkotika, Faktor masyarakat adalah seseorang menjadi jahat atau baik dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya. Melemah atau terputusnya ikatan sosialnya dengan masyarakat, manakala di masyarakat itu telah terjadi pemerosotan fungsi lembaga kontrol sosial, Faktor sarana dan prasarana pendukung adalah sarana dan prasarana dalam menyelesaikan permasalahan kasus narkotika masih sangat terbatas seperti pengadaan alat penyadap untuk bisa menangkap barang bukti dari pelaku sehingga akan menyulitkan penyidikan kasus narkotika, Faktor penegak hukum adalah polisi yang dalam hal ini adalah penagak hukum dalam tahap pertama masih memiliki banyak kekurangan seperti minimnya kapasitas dan kemapuan polisi terkait dengan pemahaman kasus narkotika.


(4)

57

B. Saran

Perlunya peningkatan kinerja BNN dalam memberantas tindak pidana narkotika, sebab BNN merupakan lembaga khusus yang menangani permasalahan narkotika dengan berbagai wewenangnya BNN sebaiknya menjadi lembaga independen dalam segala pelaksanaan wewenangnya terkait penegakan hukum tindak pidana narkotika dan Berbagai hambatan yang ada dalam penegakan hukum terkait dengan tindak pidana narkotika sebaiknya menjadi suatu permasalahan yang memerlukan perngkajian solusi yang menjadi tantangan BNN untuk kedepannya supaya bisa menjalankan tugasnya lebih baik lagi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin.2011. http://www.masbied.com/2011/09/02/definisi-pemahaman-menurut-para-ahli/ . diposting pada 11 Januari 2014 pukul 21.00

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rieneka cipta

Asadi, Muhammad. 2011. Karakter Orang Berdasarkan Etnisnya. Jogjakarta: Najah

Azwar, Saifuddin. 2009. Sikap Manusia Teori dan Pengukuranya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alpabeta Hananto, Ari. 2009. Modul IPS Terpadu. Bandung: CV Setiaji

Harunar. 2013. http://harunarcom.blogspot.com/2013/01/hubungan-sosial-dalam-kehidupan.html. diposting pada 11 Januari 2014 pukul 21.00

Ikhar. 2012. http://ikharagazza.blogspot.com/2012/12/pengertian-etnis-ras-negara-budaya-dan.html. diposting pada 11 Januari 2014 pukul 21.00

Jauhari, Imam. 2012. Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka pelajar

Koentjaraningrat. 2004. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Renika Cipta Kurnia, Anwar.2010. Ilmu Pengetahuan Sosial Terpadu. Jakarta: Yudistira Maulana, Arief. 2012. Cara Menyusun Skripsi. Jakarta: Agogos

Muin, Idianto. 2006. Sosiologi SMA. Jakarta: Erlangga

Setiadi, Elly. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup


(6)

Sugiono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Sunarto, 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Rineka Cipta

Suryani. 2011. Analisis Pemahaman Dan Sikap Mahasiswa Fkip Program Studi PPKN Tentag Isi Undang-Undang informasi Dan Transaksi Elektronik

(UU ITE) Nomer 11 Tahun 2008. Unila

Universitas Lampung. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandar Lampung Wardiyatmoko. 2009. Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SMP Kelas VIII. Bandung:

Erlangga

Widiyanto, Bambang. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat.

Jakarta: Salemba Humaika

Wikipedia. 2012. Http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_suku_bangsa_di_Indonesia

Diposting pada 11 Januari 2014 pukul 21.00

Wulasari, Dewi. 2009. SosiologiKonsep dan Teori”. Bandung: PT Refika Aditama

Zulfikar.2013.http://nandangzulfikar9d.blogspot.com/p/pengertian-siswa.html, diposting pada 11 Januari 2014 pukul 20.00 WIB