Hukum Progresif dalam Krisis Undang Unda

Hukum Progresif dalam Krisis: Undang-Undang Pornografi, Perlindungan ataukah
Objektifikasi Tubuh Perempuan
Rian Adhivira Prabowo1
Satjipto Rahardjo Institute
Abstrak
Meski memiliki dampak yang konon berbahaya, pengaturan perihal Pornografi seperti
pedang bermata dua. Tahun 2008 silam, ketika Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi masih berupa Rancangan Undang-Undang (selanjutnya penulis sebut
dalam singkatan RUU), terjadi dua gelombang demonstrasi yang cukup masif. Kubu yang
mendukung pada umumnya berlatar belakang agama dengan mengedepankan isu seputar
moralitas, sementara pada sisi lain kubu yang menolak Undang-Undang Pornografi
mengangkat isu pluralisme adat kebiasaan dan kriminalisasi tubuh perempuan, dan pada kubu
yang kedua inilah yang menjadi tumpuan eksplorasi dalam tulisan ini, dengan catatan bahwa
kubu yang kala itu menolak diundangkanya RUU Pornografi dan Pornoaksi dan UU
Pornografi juga tidak mendukung persebaran Pornografi. Permasalahan mengenai
objektifikasi tubuh perempuan menjadi isu sentral dalam tulisan ini dikarenakan beberapa
alasan : pertama, definisi mengenai pornografi yang tak memenuhi kaidah lex certa dan
rancu dalam rumusan Undang-Undang Pornografi, pada akhirnya rumusan yang demikian
longgar tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai siapakah yang berhak menafsirkan apa
yang disebut pornografi maupun yang bukan pornografi. Berangkat dari alasan pertama, poin
kedua bahwa perlindungan tubuh perempuan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang

Pornografi memiliki resiko dimana justru perempuanlah yang menjadi obyek dari pengaturan
tubuh pornografi itu sendiri, dengan kata lain, tubuh perempuan diterjemahkan dalam
kerangka moralitas maskulin yang notabene mendominasi tatanan sosial masyarakat.
Untuk menterjemahkan bagaimana peran hukum dan tubuh perempuan, keberpihakan jelas
merupakan hal yang tak dapat dihindari. Tulisan ini akan mengeksplorasi Undang-Undang
Pornografi dalam perspektif Feminist Legal Theory. Pada terminal keberangkatan ini pula,
hukum progresif berada dalam titik uji yang paling rentan dan dalam konteks Pornografi, ia
mengembalikan hukum Progresif dari sisi moral menjadi sisi yang paling manusiawi, yaitu
sebagai upaya politik emansipasi dalam kerangka perlindungan tubuh perempuan.
Kata Kunci : Pornografi, Teori Hukum Feminis, Hukum Progresif

1

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang dan Mahasiswa Magister Ilmu
Hukum UNDIP Semarang. Aktif di Satjipto Rahardjo Institute sebagai perias dan penghibur masyarakat kantor.
Terimakasih pada Setya Indra, Unu Herlambang dan Otniel Perwiro, kritik mereka sedikit banyak membentuk
tulisan ini.

Kodifikasi Tubuh
Seksualitas adalah rezim representasi, ia tidak hanya berbicara melulu perihal bagaimana

penis melakukan penetrasi terhadap vagina, namun, sebagai kebenaran yang meresap
kemana-mana, seksualitas menampilkan dirinya dalam beragam fascade. Meski seksualitas
meresap sebagai representasi atas berbagai hal, namun ia juga dilarang,2 fantasi dan
kenikmatan dihalangi lewat kekuasaan menabukan perayaan atas kebenaran seksualitas
melalui sentuhan. Sikap kita mendua dihadapan seks; pada satu pihak ia harus ditutup-tutupi
namun di sisi lain seks juga dikejar untuk diutarakan secara vulgar dengan kata lain ia dikejar
sebagai suatu yang jorok, namun juga sekaligus menggairahkan (Sindhunata, 2003). Contoh
baru-baru ini mengenai sikap seksualitas yang terus dikejar tersebut dapat dilihat pada
anjuran MUI yang menganjurkan “segregasi” bagi siswi SMP/SMU yang tidak perawan. 3
Dari penampakanya yang beragam tersebut, barangkali tidak ada yang menampilkan
representasi atas kodifikasi tubuh dan tata laku kenikmatan dibandingkan dengan apa yang
dilabelkan sebagai “pornografi”. Pornografi dengan segala kerancuanya sebagaimana
dikatakan oleh Nicola Lacey melampaui ranah perdebatan antara publik dan privat (Lacey,
1993;103)4, Carol Smart mengatakan bahwa permasalahan pornografi adalah pertaruhan
mengenai bagaimana feminisme itu sendiri dapat menjalankan peranya dalam bidang hukum
(Smart, 1989;114).5 Pornografi menjadi permasalahan pelik, mengingat ia bukan hanya
perbincangan mengenai moralitas yang berhubungan dengan nilai-nilai kesusilaan; antara
tubuh yang dilarang dan diperbolehkan, namun juga permasalahan mengenai bagaimana
penilaian atas tubuh itu dilakukan, suatu hal yang berkaitan dengan penghargaan atas tubuh-


2

Freud misalnya, berpendapat bahwa seksualitas adalah pemicu dari lahirnya tatanan moralitas manusia
melalui tabu primordial dan drama psikoanalisa pembunuhan sang-ayah sebagai prasyarat atas kebebasan
(Freud,2003;158) pendapat tersebut setidaknya memberikan gambaran mengenai bagaimana seksualitas
sesungguhnya memiliki poin krusial dalam peradaban.
3
http://regional.kompas.com/read/2013/08/20/1259325/MUI.Tes.Keperawanan.Perlu.Masuk.Undang-undang
diakses tanggal 23 Agustus 2014.
4
Dalam negara hukum dengan corak liberal, permasalahan pornografi menjadi permasalahan yang berkaitan
dengan perdebatan antara publik dan privat, mengenai sejauh mana negara melalui hukum dapat mengatur
tubuh (sebagai hal yang privat) warganegaranya (Lacey, 1993; 371-372). Lacey mendorong perdebatan lebih
jauh lagi karena pada dasarnya feminisme tidak hanya permasalahan teori, namun juga strategi praktis (Lacey,
1993: 7 ) bahwa the personal is political . Maka perdebata
e ge ai publik-privat menjadi tidak relevan
mengingat permasalahan pornografi itu sendiri bagi lacey tidak hanya permasalahan diskriminasi seksual pun
ekonomi, melainkan juga subordinasi sosial tentang bagaimana perempuan direndahkan (Lacey; 1993; 368).
5
Carol Smart membagi dua perdebatan feminis mengenai pornografi; yang pertama adalah yang memandang

pornografi sebagai kekerasan [pornography as violence], yang melihat bahwa pornografi adalah erotisasi dari
dominasi dan diskriminasi yang berasal dari klaim terhadap yang natural (Smart,1989;117). Kedua adalah
Pornografi sebagai representasi [pornography as representation], bahwa permasaahan pornografi pada
dasarnya adalah permasalahan sudut pandang dan bagaimana masyarakat merespon suatu kontain pornografi
menunjukkan bagaimana nilai-nilai mengenai penghargaan mereka terhadap tubuh (Smart,1989;123). Bagi
Donny Danardono sembari mengutip Smart, Pornografi sebagai kekerasan tidak dapat lagi dipertahankan
karena dianggapnya mewarisi seksualitas Victorian yang munafik (Danardono, 2009;125) selain itu, pandangan
kausalitas yang terdapat dalam ide Pornografi sebagai kekerasan juga merupakan sikap reduksionis yang
memandang semua laki-laki menindas/memerkosa semua perempuan yang berarti memberikan identitas
tunggal pada (semua) laki-laki dan (semua) perempuan.

tubuh; yaitu permasalahan mengenai identitas dalam artianya yang luas. 6 Perdebatan antara
feminis menjadi perihal yang tak dapat dihindarkan, bagaimana para feminis dengan beragam
aliran maupun latar belakang memandang pornografi merupakan satu sumbangsih besar
mengenai sisi preskriptif dalam pengaturan pornografi apakah ia dibebaskan, atau
dimasukkan dalam rezim larangan baik berupa pembatasan maupun pelarangan sama sekali.
Karena sikapnya yang mendua tersebut, seksualitas kemudian menjadi perlu untuk diatur,
dalam berbagai bentuk, dari tabu hingga hukum, diatur untuk dikendalikan dan dikontrol
kebenaran tentangnya. Secara etimologi Pornografi terdiri dari dua kata; Porne yang berarti
pelacur [whore] dan Graphos yang berarti tulisan ataupun gambar. Pornografi memiliki arti

yang-seksual yang secara eksplisit terdapat dalam suatu karya, dan berbagai hal dalam
kehidupan yang mencerminkan hal-hal mengenai pelacur (Danardono, 2009;122).
Perlindungan atau Objektifikasi ?
Permasalahan seputar pornografi sebagaimana diulas diatas, tercermin secara gamblang pada
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Rancunya pengertian
pornografi, yang menjadi tulang punggung dari Undang-Undang Pornografi memunculkan
pertanyaan penting; semangat apakah yang terkandung dalam Undang-Undang Pornografi,
apakah ia menjadi pelindung atas pengalaman kebertubuhan perempuan, ataukah ia
merupakan instrumen untuk menjustiflasi tubuh perempuan dengan menjadikanya objek.
Semenjak diundangkan, Undang-Undang Pornografi sesungguhnya berlaku tidak hanya pada
perempuan semata, melainkan juga pada laki-laki. Argumen tersebut pada dasarnya
berangkat dari kebutaan asas kesamaan dimuka hukum [equality before the law] yang di
Indonesia dijamin dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Apa yang dilupakan
adalah bahwa dalam banyak hal, mulai dari pembentukan di gedung dewan hingga penegakan
hukum dijalan sesungguhnya ia tidak berlaku secara buta, hukum berjalan dan hanya dapat
berjalan dengan mengambil sejumlah nilai-nilai, yang pada dirinya tak pernah netral maupun
bebas, hukum, justru bekerja dengan klaim atas kuasa yang saling mengandung kontradiksi
satu dengan yang lain, bahwa hukum bekerja melalui klaim terhadap kebenaran yang
kemudian menjadi dasar legitimasinya (Smart, 1989;4, 162,164).
Pada masa pembentukanya, Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, RUU Pornografi dan

RUU Pornografi dan Pornoaksi telah menyedot perhatian besar. Sikap mendukung dan
menolak pengaturan Pornografi dilandaskan atas dua hal; wacana moralitas agama dan

6

Feminis sendiri memperdebatkan permasalahan identitas ini, para feminis gelombang ketiga menganggap
bahwa feminis sebelumnya telah melakukan kesalahan yaitu perihal bagaimana mereka memandang
mengenai identitas. Seiring dengan kritik terhadap modernitas, feminis gelombang ketiga berpendapat bahwa
penggunaan identitas sesungguhnya merupakan suatu kekerasan; yaitu bagaimana satu kelompok –katakan
saja- para feminis dapat melakukan justifikasi atas kelompok perempuan di belahan dunia lain, yang memiliki
acuan kebenaran yang berbeda. (Danardono, 2006;25-26). Para anti-esensialis berpendapat bahwa
sesungguhnya konsepsi mengenai identitas tidaklah lagi dapat dipertahankan karena pada kenyataanya,
manusia sebagai makhluk yang plural memiliki ragam identitas sesuai dengan habitus tempat ia menghidupi
kehidupan sosialnya (Minow, 1993; 339) maka sesungguhnya identitas dalam artianya yang tunggal dan sempit
sudah tidak dapat lagi dipertahankan.

wacana pluralisme dan objektifikasi tubuh perempuan (Komnas Perempuan,2011;22-50).7
Kedua titik tersebut, sebagaimana telah diulas oleh Smart dan Danardono, sesungguhnya
masih berada dalam satu kerangka berpikir yang sama; yaitu Pornografi sebagai kekerasan.
Meskipun begitu, Argumen ormas keagamaan HTI (Danardono, 2009;133) maupun studi

akademis dari Ahmad Junaidi (Junaidi, 2012;4), juga penelitian dari Kemenkumham
(Kemenkumham, 2010; 138) keliru dengan tidak melihat bagaimana pornografi sebagai
sebuah rezim yang dilarang dapat berjalan. Pandangan reduksionis tersebut tidak
memperhitungkan satu skema identitas plural, juga bagaimana relasi antar habitus dapat
membentuk satu persepsi tentang kebenaran, tentu, yang jadi permasalahan adalah bagaimana
satu set kebenaran tersebut bekerja, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang tidak.
Kelemahan lain adalah bahwa mereka tidak kembali pada acuan normatif yang sesungguhnya
menjadi akar permasalahan. Karena kedua argumen berlandaskan satu kerangka berpikir
yang sama, yaitu pornografi sebagai kekerasan, maka pemaparan dibawah akan meminjam
alur logika yang sama sebagai bentuk kritik. Apabila dirunut dari pendefinisian pornografi,
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi mendefinisikan
pornografi sebagai berikut :
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foro, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan lainya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang
memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.
Ketentuan sosiologis dalam definisi pornografi yang menjadi tumpuan dari seluruh pasal lain
dalam undang-undang tersebut dapat terlihat pada frasa “[...] yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat” mengingat kondisi

masyarakat Indonesia yang plural dengan beragam nilai yang berbeda satu sama lain,
ketentuan tersebut mensyaratkan kepekaan yang luar biasa pada nilai-nilai tempat undangundang tersebut diterapkan sehingga dalam implementasinya tidak bisa dipersamakan satu
sama lain. Rancunya definisi pornografi tersebut tampak kontradiktif pada Pasal 2 yang
menyatakan sebagai berikut :
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan
terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum,
nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Menurut Pasal 2, undang-undang pornografi dilahirkan untuk memberikan jaminan kepastian
hukum, yaitu sisi legalitas, namun disisi lain, ketentuan dari definisi mengenai apa yang
disebut sebagai porno berikut batasan mengenai pornografi dan yang bukan pornografi tak
pernah jelas, hal tersebut diperburuk dengan tidak adanya keterangan lebih lanjut. Dalam
bagian penjelasan, definisi mengenai pornografi dalam pasal 1 angka 1 adalah “cukup jelas”.
7

Menurut catatan Komnas, kubu pendukung kala itu; Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama
Indonesia, Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Aisyiah Muhammadiyah, Muslimat NU, Muslimat HTI,
Wanita Indonesia, KPAI dan ASAI (Komnas Perempuan, 2011;22). Sementara kubu pendukung antara lain;
Fatayat NU, Yayasan Puan Amal Hayati, Rahima, Koalisi Perempuan Indonesia, Solidaritas Perempuan, LBH
APIK, Yayasan Jurnal Perempuan, Konferensi Wali Gereja Indonesia, Persatuan Gereja Indonesia dan ANBTI.
(Komnas Perempuan, 2011;32)


Kontradiksi ini menunujukkan satu hal, bahwa definisi klasik dikotomis yang menganggap
bahwa hukum adalah salah satu dari bentuk “kebiasaan” maupun “yang tertuang dalam
undang-undang” sudah tak dapat lagi mencukupi untuk memahami mekanisme dalam
pengaturan undang-undang pornografi bekerja.
Definisi Pornografi yang bersifat tautologi tersebut mengarah pada pernyataan bahwa pada
satu sisi untuk melakukan kualifikasi delik pornografi yang terjadi –tentu saja- dalam
kehidupan sosial, ia harus tercantum sesuai dengan rumusan Undang-Undang sebagaimana
tertera dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman, namun pada sisi lain Undang-Undang mengembalikan definisi tersebut kepada
yang sosial. Patut diingat bahwa pencarian atas delik pornografi dapat dilangsungkan melalui
“kejelian” hakim sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim wajib menggali nilai
yang hidup di masyarakat dan Doktrin Hukum Pidana mengenai Sifat Melawan Hukum
Materiil dalam Artian yang positif juga memungkinkan pemidanaan sesuai dengan nilai dan
norma setempat. Namun argumentasi tersebut tidak dapat dijadikan acuan yang berguna
dalam studi ini, ia tidak relevan sejauh masih memberi acuan pada tatanan nilai secara
telanjang, alih-alih interpretasi kritis atas nilai tersebut. Namun pada titik inilah saya
mengajukan satu pendapat; bahwa disinilah pornografi mengalami deadlock, jalan buntu
pornografi. Hal ini membawa kita pada satu permasalahan metodologi dalam merumuskan

peraturan mengenai pornografi, yaitu bahwa penentuan mengenai norma maupun nilai yang
digunakan sebagai acuan untuk menentukan batas kesusilaan tidak dapat diterima begitu saja
secara an sich, interpretasi dan keberpihakan, dengan demikian, menjadi dua hal krusial yang
dipertaruhkan.
Maka argumen para kubu penolak RUU maupun UU Pornografi akan objektivikasi tubuh
perempuan menjadi dapat dimengerti. 8 Simone de Beauvoir, feminis sekaligus filsuf dalam
The Second Sex menyatakan bahwa dihadapan tatapan laki-laki, perempuan, entah dalam
masyarakat maternal maupun paternal adalah objek sang patriark, yang membuat perempuan
kehilangan subyektivitasnya. Simone mengatakan :
“When man makes of woman The Other, he may, then expect her to manifest deepseated tendency towards complicity. Thus woman may fail to lay claim to the status of
subject because she lacks definite resources, because she feel the necessary bond that
ties her to man regardless of the reciprocity” (de Beauvoir, 1956; 20)
Disamping kelemahanya yang mengandaikan pemisahan dikotomis antara laki-laki dan
perempuan, argumen Simone –dan tentu saja Gilligan- memberikan satu sumbangsih penting
dengan menunjukkan bahwa nilai-nilai dan struktur merupakan nilai yang disuntikkan oleh
laki-laki kepada perempuan (de Beauvoir, 1956;159). Jadi mengikuti argumen ini, perempuan
selalu berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, perempuan berada di dunia dimana
akumulasi dan sirkulasi nilai maskulin menjadi acuan, perempuan kehilangan diri dan tak
8


Meski bukan tanpa catatan, karena kedua pihak baik penolak maupun pendukung sesungguhnya sama-sama
menolak peredaran pornografi dengan alasan bahwa pornografi memberikan dampak buruk. Argumen ini
sesu gguh ya gagal elihat por ografi sebagai sebuah situs perlawa a terhadap or alitas tubuh ya g
dikonstruksikan.

pernah menjadi diri. 9 Maka menjadi jelas disini, alih-alih melindungi, sebagaimana tertera
dalam Pasal 2, UU Pornografi melalui kerancuan definisi dan segala bentuk adopsi nilainorma-moral secara ansich justru merupakan objektivikasi terhadap perempuan.
Sampai disini saya bersepakat dengan Donny Danardono maupun Carol Smart, yang
mengatakan bahwa pornografi adalah masalah representasi, yaitu bagaimana ia dipandang
sebagai perwakilan atas suatu gambaran terlarang atas satu konten seksualitas tertentu.
Namun saya melihat bahwa kritik Danardono atas sikap Smart tentang “festisisme hukum”
(Smart, 1989;136-137) sebagai satu sikap pesimis (Danardono, 2006;22) adalah tidak
memadai. Danardono yang menyadari rancunya definisi dalam Undang-Undang Pornografi
tidak melihat bahwa hal itu justru membuat kritik festisisme hukum menjadi relevan.
Danardono melihat bahwa upaya Smart untuk “decentring-the-law” adalah upaya untuk
sama sekali meninggalkan hukum, namun sesungguhnya Smart pada awal bukunya telah
memberikan klarifikasi, tujuan ia bukan secara simpel meninggalkan hukum, melainkan
memberikan perlawanan pada hegemoni sistem hukum (Smart, 1989;5). 10 Kelanjutan
argumen ini akan diperjelas diakhir tulisan.
Saya telah utarakan sebelumnya, bahwa studi mengenai pornografi baru akan menemukan
titik kritisnya apabila ia selalu bersikap curiga terhadap nilai yang menjadi sumber dari sisi
preskriptif dalam pembentukan peraturan yang menyangkut tubuh. Pornografi secara
gamblang dapat dikatakan sebagai gambaran tentang pelacur. Definisi tersebut menurut
Dworkin adalah gambaran paling tepat mengenai bagaimana pornografi seharusnya
dipandang; yaitu sebagai gambaran perempuan sebagai pelacur (Dworkin, 1989; 200), satu
pandangan pornografi sebagai kekerasan, namun Dworkin, bersama Mackinnon
sesungguhnya telah beranjak dari definisi tersebut. Sebagaimana dikatakan Smart, Dworkin
bersama Mackinnon memberikan sumbangsih besar ketika menyusun Mineassota Ordinance
(Smart, 1989; 134-135).11 Melalui Human Right Ordinance of the City of Minneapolis, meski
pada akhirnya gagal, Dworkin dan Mackinnon telah melangkah dari perspektif sensor, bahwa
pornografi sebagai kekerasan dari erotisasi relasi seksual, yang menolak pornografi sama
sekali (Mackinnon, 1987; 134-145),12 menuju pemahaman mengenai kesetaraan relasi,
mereka memberikan satu definisi baru mengenai pornografi sebagai berikut;
Pornography is defined as the graphic, sexually explicit subordination of women in
pictures and/or words that also includes women presented dehumanized as sexual
objects, things or commodities; or women presented as sexual objects who experience
9

Bagi Simone, tata rias, perkawinan adalah topeng dan tembok yang menghalangi perempuan untuk
berinteraksi secara langsung dengan realitas. Nilai maskulin dengan demikian mengatur juga dunia mitos
mengenai tubuh perempuan. Misalkan pada mitos virginitas/keperawanan, entah dimana keperawanan
menjadi satu yang sakral (properti) maupun sebagai suatu yang tabu (iblis), keduanya berada dalam
penandaan laki-laki (de Beauvoir, 1956; 172-173).
10
“ art e gataka I am not suggesting we can simply abolish law,but we can resist the move toward more
law and the creeping hege o y of legal order
11
Meski ke udia “ art bersikap waspada terhadap fetisis e huku , yaitu pe a baha terus-menerus
dosis aturan, dimana seolah-olah rezim peraturan akan menyelesaikan masalah begitu saja.
12
Sekaligus merupakan kritik Mackinnon terhadap feminisme liberal dan Amandemem Pertama Konstitusi AS
mengenai kebebasan berbicara. Bagi Mackinnon, uang playboy merupakan penjualan dari tubuh perempuan
yang ironisnya justru dilindungi oleh hukum.

sexual pleasure in being raped; or women presented as sexual objects tied up or cut
up or mutilated or bruised or physically hurt; or women presented in postures or
positions of sexual sub mission, servility, or display; or women’s body parts-including
but not limited to vainas, breasts, buttocks-exhibited such that women are reduced to
those parts; or women presented as whores by nature; or women presented being
penetrated by objects or animals; or women presented in scenarios of degradation,
injury, torture, shown as filthy or inferior, bleeding, bruised, or hurt in a context that
makes these conditions sexual. If men, children or transsexuals are used in any of the
same ways, the material also meets the definition of pornography. (Dworkin,
1989;xxxiii)
Definisi tersebut menarik karena ia menjembatani antara dua aliran besar feminis
sebagaimana disebutkan diatas; sebagai kekerasan atau representasi, juga menjembatani
perdebatan antara ruang publik dan privat. Definisi ini tidak menolak sama sekali sensor,
melainkan mengatur relasi seksual yang “setara”, delik kejahatan baru terpenuhi apabila
dalam tulisan maupun gambar yang bersangkutan memuat konten yang merendahkan
pasangan seksualnya. Selain itu, Andrea mengatakan bahwa definisi yang kongkrit diatas
memungkinkan bagi siapapun yang merasa dirugikan oleh pornograf untuk mengajukan
tuntutan. Tapi definisi tersebut bukan tanpa kritik, memang betul definisi tersebut telah
menjawab permasalahan privat, juga apabila ditaruh dalam konteks delik aduan (semisal
seseorang merasa dirugikan apabila video pribadinya dibocorkan ke publik), namun pada
ranah publik, bagaimana menjawab kejahatan publik mengenai kejahatan atas
moralitas/kesusilaan publik, definisi bahwa pornografi dikatakan menyimpang bila
mengandung muatan ketimpangan seksual tentu akan memperoleh banyak pertentangan di
negara dunia ketiga (seandainya ada wacana untuk mengadopsi draft tersebut).
Hukum Progresif; Khotbah Moralitas atau Harapan Emansipasi?
Aspek kedua dalam tulisan ini adalah menguji status hukum progresif dengan problem
pornografi; bahwa permasalahan mengenai pornografi, sebagaimana telah dijelaskan
menghadapi deadlock, permasalahan yang terdapat dalam dua sisi sekaligus; dari sisi
normatif yaitu lewat pengaturan yang tidak jelas definisinya dan dari sisi sosiologis karena
pada dasarnya definisi dalam UU Pornografi mengembalikan kepada yang-sosial yang
sebagaimana telah dijelaskan juga, mengandung “potensi” mengenai ketimpangan sosial.
Hukum Progresif yang pada dasarnya hanya bisa hidup dalam satu kondisi khusus, yaitu
untuk melampaui kebuntuan normatif maupun kebuntuan prosedural dalam berhukum dengan
mengambil yang lain, melalui penggalian terhadap bidang yang lain (Rahardjo, 2008; 4245).13
Hukum Progresif, dihadapan permasalahan seputar Pornografi-sebagai pelindung maupun
objektifikasi perempuan berada dalam pertaruhan, sebuah pertanyaan yang merupakan kajian
teoritik dalam tulisan ini. Adegium “Hukum untuk manusia” menjadi tolok uji disini; apabila
13

Himbauan Satjipto mengenai tindakan otentik. Karena itu barangkali Satjipto mengatakan bahwa pada
hakikatnya Ilmu Hukum adalah ilmu interdisiplin (Rahardjo, 2006;7), karena meski dalam kebuntuan, hukum
sebagai sebuah sistem tetap memerlukan landasan legitimasi kebenaran terhadap yang lain, selain itu juga
himbauanya tentang keberanian.

memang hukum untuk manusia, maka manusia macam apa yang layak untuk dilindungi
secara hukum. Satu hal yang kerapkali luput dari perhatian para peminat kajian Hukum
Progresif adalah jebakanya untuk masuk terlalu dalam kepada kubangan khotbah moralitas 14
daripada kesadaran akan kebutaan kita untuk melihat bahwa pada dasarnya konsepsi
mengenai manusia tak pernah lepas dari satu konteks historis. 15 Terlebih pada permasalahan
perempuan, yang dalam banyak konteks berada pada marjinalisasi ganda, baik kelas, maupun
seks. Pornografi tidak dapat diselesaikan dengan moralitas, sebagaimana tertera dalam Pasal
1 angka 1 dan Pasal 2 UU Pornografi karena persis dari situlah masalahnya, tak jelas
moralitas apa yang dijadikan acuan meski kecurigaan harus tetap diarahkan pada moralitas
patriarkis sebagaimana dikatakan de Beuvoir.
Apakah problem pornografi ini akhir dari –taruhlah- status teorisasi hukum progresif? Saya
kira jawabanya tidak. Apabila kita memperluas definisi hukum itu sendiri Hukum Progresif
justru menjadi relevan meski dengan catatan bahwa pertama-tama harus dimengerti bahwa
hukum progresif bukan kebenaran, melainkan “sarana” kebenaran, barang tentu antara yang
pertama (kebenaran) berbeda dengan yang kedua (sarana). Hukum, dengan demikian bukan
hanya permasalahan otoritas, namun juga legitimasi, dalam artian atas kepentingan siapakah
hukum tersebut berlaku. Pertanyaan mengenai legitimasi membuat adegium “Hukum untuk
manusia” kehilangan momenya yang sakral yang membuat ia dengan sendirinya benar
(karena adegium itu sendiri merupakan sarana), ia menjadi profan, dan tentu tidak ada yang
salah dengan hal ini. Maka “Hukum untuk manusia” menjadi sama kedudukanya dengan
upaya-upaya rekognisi terhadap hukum (positif), yang berarti sekaligus merupakan
pengakuan hak (Douzinas,2007 ;7). Lebih jauh lagi, “Hukum untuk manusia”, membuat kata
Progresif itu sendiri selalu merupakan pertaruhan atas subyektivitas dalam hal rekognisi tadi.
Maka argumen moral-pun dapat diterima disini, tentu bukan dalam rangka pengkhotbahan,
melainkan sebagai salah satu upaya untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu dalam artianya
yang politis, dan selalu merupakan satu pertaruhan. “Hukum untuk Manusia” memperoleh
kedudukan yang sama dengan gerakan-gerakan yang mengguncang kemapanan hukum, ia
menjadi setara dan sekaligus bersinonim dengan –sebagia contoh- “Tanah untuk Rakyat”,
“Seni untuk Rakyat”,
Apa konsekuensi dari perluasan cara berpikir tersebut? Ketiadaan definisi pornografi
membuat upaya yang tersandar dalam peraturan menjadi buntu, dan untuk mengatasi
kebuntuan tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Smart, satu-satunya jalan adalah melalui
14

Meski sesungguhnya Satjipto beberapa kali menyinggung perihal moralitas.
Sebagai contoh; definisi manusia pada era Nazi melalui kampanye anti-semitisme berujung pada
pembedaan antara mana manusia yang layak hidup dan mana yang tidak, satu hal yang menurut Eichmann
dalam pembelaanya di Jerusalem, dilakukan sesuai dengan kerangka hukum Jerman dibawah kekuasaan
Fuhrer yang berdaulat. Begitupula pada definisi manusia di Indonesia pasca 1965, yang memilah antara
manusia yang boleh hidup, dengan manusia-PKI yang boleh untuk dibunuh, diculik, dan ditato secara sosial
sebagai pesakitan, suatu laku diskriminasi yang juga berlandaskan pada hukum meski banyak juga perbuatan
yang dilakukan tanpa memiliki dasar peraturan yang jelas. Hal yang sama saya kira juga berlaku bagi
kedudukan hukum bagi perempuan, dimana definisi sebagai manusia menentukan manusia mana yang
memiliki hak kewarganegaraan secara penuh maupun yang tidak. Simone de Beauvoir dengan jelas
menyatakan hal ini; baginya baik sejarah maupun fakta ilmiah telah direduksi dalam perspektif patriarkal, yang
menggunakan tolok ukur laki-laki untuk menilai gerak-gerik laku tubuh dan pikiran perempuan (de Beauvoir,
1956;hlm 90-91)
15

perlawanan terhadap bagaimana hukum bekerja, melalui pertanyaan atas landasan asumsi
bagaimana hukum bekerja (Smart, 1989; 165).16 Apabila betul bahwa pornografi merupakan
gambaran dari kekerasan, juga representasi kondisi seksualitas, maka perlawanan subversif
atas pemberian definisi tentang “seks” dan “gender” yang “menyimpang” sebagaimana
terdapat dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a yang mengkategorikan perilaku seksual
lesbian dan homoseksual sebagai menyimpang 17 menjadi perlawanan untuk mengguncang
definisi seks dan gender itu sendiri yang dengan sendirinya merupakan perlawanan terhadap
normalitas (McLaughlin, 2003; 140-141). Lebih jauh lagi, perlawanan subversif dapat
dilakukan justru melalui media pornografi atau batas-batas pornografi itu sendiri, melalui
penampilan seni, fotografi, puisi yang bermain-main dengan definisi baik seks maupun
gender, menuju seks, gender alternatif maupun melampaui batas-batas biologi, juga makna
dari identitas itu sendiri (Butler, 2007;41, 88), dimana gender-seks menjadi rancu dan semata
hanya dapat dilihat sebagai hal yang performatif (Butler, 2007;190).
Akhirnya
Uraian diatas menunjukkan beberapa hal yang saya kira penting; (1) UU Pornografi beserta
masalah pendefinisianya (2) Problem Pornografi vis a vis Hukum Progresif. Problem kedua,
yang merupakan konsekuensi dari deskripsi problem sebelumnya menunjukkan bahwa apa
yang dimaksud dengan Hukum Progresif adalah selalu hukum dalam artianya yang luas,
karena ia tak dapat bekerja dari definisi sempit mengenai hukum (positif) saja, sebagai
konsekuensinya, pergeseran dari yang sakral menuju yang profan tentu tidak dapat dihindari,
meletakkanya sebagai instrumen kebenaran, ia tak benar pada dirinya. Kembali pada problem
pornografi, hasil deskripsi dari kedua bahasan tersebut merujuk pada problem metodologis,
yaitu bahwa pengambilan “nilai” sebagai tambalan atas rancunya definisi pornografi begitu
saja tidaklah menyelesaikan masalah karena apa yang disebut nilai memiliki potensi bahwa
dirinya merupakan hasil luaran dari struktur sosial –maskulin- yang mapan dan memberi
objektivikasi tubuh perempuan. Jalan keluar yang dihadirkan jelas ; melalui redefinisi baik
hukum (sebagaimana dilakukan oleh Dworkin dan Mackinnon), maupun perlawanan
subversif melalui seruan terhadap kemampuan hukum dalam melakukan klaim atas
kebenaran. Pada akhirnya pokok permsalahan bukan permasalahan pengaturan, melainkan
bagaimana tubuh-tubuh berbicara.
Daftar Pustaka
Danardono, Donny. Teori Hukum Feminis: Menolak Netralitas Hukum, Merayakan
Difference dan Anti-essensialisme dalam Irianto, Sulistyowati (ed). Perempuan dan Hukum;
Smart mengatakan Law a ot e ig ored pre isely e ause of its power to defi e, ut fe i is ’s strategy
should be focused in this power rather than on constructing legal policies whihc only legigimate the legal forum
a d the for of law . Jelas, bagi Smart menoleh pada hukum semata jelas bukanlah jawaban karena hukum
hanyalah akan mereproduksi bahasa hukum dan hanya berlaku di momen tertentu. Jauh lebih penting untuk
melakukan perlawanant terhadap kekuasaan hukum dalam melakukan definisi dengan memberikan
pandangan feminis untuk meredifinisi klaim hukum terhadap kebenaran.
17
Pandangan ini meski terletak pada penjelasan justru tidak jelas apa dasarnya, mengingat secara medis
maupun psikologis lesbian maupun homoseksual bukan merupakan satu tindak menyimpang, melainkan
bagian dari pilihan dalam gerak menjadi manusia.

16

Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Yayasan Obor Indonesia.
2006. Jakarta.
Danardono, Donny. Post –Pornografi: Paradoks Hukum dalam Mengatur Grafis Seks dalam
Cahyadi, Antonius & Donny Danardono(ed). Sosiologi Hukum Dalam Perubahan. Yayasan
Obor Indonesia. 2009. Jakarta.
de Beauvoir, Simone. The Second Sex. Jonathan Cape. 1956. London.
Dworkin, Andrea. Pornography; Man Possessing Women. A Plume Book. 1989. New York.
Douzinas, Costas. Human Right and Empire. Routledge-Cavendish. 2007. New York.
Freud, Sigmund. Totem and Taboo. Routledge. 2003. New York & London.
Mackinnon, Catherine. Feminism Unmodified, Discourses on Life and Law. Cambridge,
Massachusetts & London. 1987. Harvard University Press.
McLaughlin, Janice. Feminist Social and Political Theory, Contemporary Debates and
Dialogues. Palgrave Macmillan. 2003. New York.
Minow, Martha. Feminist Reason: Getting it and Losing it dalam Weizberg, Kelly (ed).
Feminist Legal Theory Foundations. Temple University Press. 1993. Philadelpia.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Citra Aditya. 2006. Bandung.
Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Kompas. 2008. Jakarta.
Sindhunata. Seks Undercover; Ikon Bokong Inul. Majalah Basis No 03-04. Maret-April 2003.
Smart, Carol. Feminism and The Power of Law. Routledge. 1989. New York & London.
Komnas Perempuan. Seksualitas dan Demokrasi, Kasus Perdebatan UU Pornografi di
Indonesia. Jakarta. 2011.
Junaidi, Ahmad. Porno! Feminisme, Seksualitas dan Pornografi di Media. Grafindo. 2012.
Jakarta.
Kemenkumham RI. Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang
Pornografi. Jakarta. 2010.
Butler, Judith. Gender Trouble, Feminism and the Subversion of Identity. Routledge. 2007.
New York & London.