PENERAPAN HUKUM PROGRESIF DALAM PENEGAKA (1)

PENERAPAN HUKUM PROGRESIF DALAM PENEGAKAN
HUKUM DI INDONESIA

Disusun Oleh:
1. Antonius Mahendra Dewantara

/ 8111416345

2. Dika Kirana Larasati

/ 8111416349

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017

KATA PENGANTAR
Segala puji kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat dan
karunianya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik tanpa adanya hambatan.
Dalam makalah ini kami membahas tentang penerapan hukum progresif

dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang ikut membantu dalam proses pembuatan
makalah ini terutama dosen yang memberikan mata kuliah tentang hukum
lingkungan.
Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kami sebagai penyusun atau pembuat makalah mengharapkan saran dan kritik
yang membangun agar makalah ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu
pengetahuan hukum lingkungan dan sebagai referensi para mahasiswa
mempelajari tentang hukum lingkungan.

Semarang, 22 September 2017

Antonius Mahendra & Dika Kirana

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ………………………………………………………….
1.2 RUMUSAN MASALAH ………………………………………………………
1.3 METODE PENULISAN……………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN I……………………………………………………………….
B. PEMBAHASAN II……………………………………………………………...
C. PEMBAHASAN III……………………………………………………………..
BAB III KESIMPULAN
A. DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..

Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Konsep hukum progresif Satjipto Rahardjo berawal dari kegelisahannya
bahwa setelah 60 tahun usia negara hukum, terbukti tidak kunjung
mewujudkan suatu kehidupan hukum yang lebih baik, dengan keprihatinannya
dia berkata:1 “Saya merasakan suatu kegelisahan sudaah merenungkan lebih
dari enam puluh tahun usia Negara Hukum Republik Indonesia. Berbagai
rencana nasional telah dibuat untuk mengembangkan hukum di negeri ini,
tetapi juga tidak memberikan hasilyang memuaskan, bahkan grafik
menunjukkan tren yang menurun. Orang tidak berbicara tentang kehidupan
hukum yang makin bersinar, melainkan sebaliknya, kehidupan hukum yang
makin suram”. Bertolak dari kenyataan pahit mengenai kehidupan dan peranan
hukum yang ia konstatir di atas, maka muncullah keinginan untuk kembali
kepada fondamental hukum di negeri ini, bahkan almarhum memikirkan

tentang kemungkinan adanya kekeliruan bahkan kekurangtepatan dalam
memahami fundamental hukum tersebut, sehingga almarhum menegaskan
adanya perkembangan hukum tidak dapat diarahkan kepada yang benar. 2
Kemudian padaTahun 2002 mulai dikenal komsep Hukum Progresif di Indonesia.
Ide penegakan hukum progresif lahir dari ketidakpuasan pada praktik ajaran
ilmu hukum positif di Indonesia. Hukum Progresif digagas sebagai solusi dari
kegagalan penerapan hukum positif dan rasa keprihatinan terhadap kualitas
penegakan hukum di Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada
pertengahan tahun 1998.
Progresivisme berlawanan dengan pandangan kemanusiaan yang
menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat
kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Namun, dasar Hukum
Progresif berpedoman pada hakikat dasar “hukum adalah untuk manusia”.
Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu
hukum positif, melainkan untuk manusia dalam rangka mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Progresivisme mengajarkan, bahwa
hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang
berfungsi untuk memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Progresivisme
tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani,
melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.3

Gagasan tersebut jelas berbeda dengan aliran hukum positif dimana kebenaran
terletak dalam tubuh suatu peraturan dengan mengutamakan prinsif legalitas
formal. Kehadiran Hukum progresif erat kaitannya antara hubungan manusia
dengan masyarakat. Jika dikaitkan dengan developmental model hukum dari
Nonet dan Selznick, Hukum Progresif memiliki tipe responsif, yaitu hukum
1 Satjipto Raharjo (dalam Romli Atmasasmita, Teori hukum Integratif), Genta Publishing,
Yogyakarta, 2012, hlm 86
2 ibid
3 Satjipto Rahardjo, (dalam I Gede A.B.Wiranata, Hukum Bangun Teori dan Telaah dalam
Implementasinya). 2009, hlm.53

selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar naskah tekstual hukum. Hukum
progresif melihat hukum tidak dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan
melihat dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul
dari bekerjanya hukum. Oleh sebab itu, kehadiran hukum dikaitkan dengan
tujuan sosialnya, maka hukum progresif juga dekat dengan Sociological
Jurisprudence dari Roscoe Pound, yang menolak studi hukum sebagai studi
tentang peraturan-peraturan.4 Reformasi serta kritik-kritik negatif terhadap
sistem dan penegakan hukum di Indonesia memberikan kesempatan kepada
Indonesia untuk memikirkan alternatif untuk keluar dari situasi buruk tersebut.

Tetapi, bagaimanapun kondisi keterpurukan tersebut tetap memberikan
kesempatan kepada Indonesia untuk memikirkan perubahannya. Pada
hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat
digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak termasuk ide tentang keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Hukum yang masih abstrak tersebut
perlu untuk diwujudkan atau dijabarkan, pada tatanan inilah yang disebut
dengan penegakan hukum(Law Enforcement). Realitas penerapan hukum yang
ada, tatanan penyelesaian hukum tidak dapat lagi menggunakan cara-cara
yang biasa dan konvensional, tetapi membutuhkan cara yang luar biasa. Salah
satu cara di tawarkan oleh Satjipto Rahardjo dalam menghadapi problematika
dalam dunia penegakan hukum Indonesia adalah suatu tipe penegakan hukum
progresif. Penegakan hukum progresif mengajak Indonesia untuk melihat
hukum secara komprehensif dan tidak memakai kacamata kuda. Penegakan
hukum progresif menekankan pada dua hal, yaitu hukum ada untuk manusia
dan bukan manusia ada untuk hukum. Hukum tidak bisa bekerja sendiri, hukum
membutuhkan institusi atau manusia untuk menggerakannya.
Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar
menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan melainkan menurut semangat
dan makna lebih dalam dari undang-undang atau hukum. 5 Pembahasan
penegakan hukum progresif di atas menjadi titik awal kenapa penegakan

hukum progresif dijadikan sebagai tipe penegakan hukum alternatif.
pemaknaan yang dapat diambil bahwa “kebenaran hukum tidak dapat
ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus
dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undangundang“.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep hukum progresif ?
2. Bagaimana penegakan hukum progresif bagi hukum lingkungan di
indonesia ?
3. Bagaimana contoh penerapan hukum progresif bagi penegakan hukum
linngkungan yang terjadi di Indonesia ?

1.3 Metode Penulisan
4 ibid
5 Satjipto Rahardjo. Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 6

Dalam usaha mencari data-data sebagai bahan penelitian dan penulisan
makalah ini, saya mengunakan Metode Referensi,yaitu dengan mengunakan
buku-buku tentang hukum lingkungan seperti Bahan Hukum Primer mengenai
pokok yang mengikat sesuai dengan bahasan yang diangkat mulai dari UUD

1945 yang tinggi hingga undang-undang yang rendah dan bahan Hukum
Sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku,
karya dari kalangan hukum.

Bab II Pembahasan
Pembahasan 1
Melihat realitas penggunaan hukum yang ada, maka pada tatanan
penyelesaian hukum tidak dapat lagi menggunakan cara-cara yang biasa dan
konvensional, tetapi membutuhkan cara hukum yang luar biasa. Salah satu
cara luar biasa yang di tawarkan oleh Prof Satjipto Rahardjo untuk menghadapi
kemelut dalam dunia penegakan hukum kita adalah suatu tipe penegakan
hukum progresif. Hukum harus ditempatkan pada dimensi hakiki atau
filosofisnya, sehingga hukum bisa menjadikan dirinya sebagai anak yang tidak
durhaka atas masyarakat yang melahirkan serta membesarkannya. Penegakan
hukum progresif mengajak kita untuk melihat hukum secara komprehensif atau
utuh dan tidak memakai kacamata kuda atau parsial. Penegakan hukum
progresif menekankan pada dua hal, yaitu hukum ada untuk manusia dan
bukan manusia ada untuk hukum. Hukum tidak bisa bekerja sendiri, hukum
membutuhkan institusi atau manusia untuk menggerakannya. Manusia
merupakan suatu unikum, sehingga hukum tidak lagi bekerja seperti mesin

otomatis yang tinggal memencet tombol saja. Hukum bukan hanya urusan
peraturan atau undang-undang semata, melainkan juga mengenai peranan
manusia atau perilaku manusia sebagai bagian dari perwujudan hukum.
Melibatkan peranan manusia adalah cara berhukum untuk keluar dari stagnasi
dominan yang membabi buta kepada teks undang-undang. Kita tidak harus
terpenjara dalam undang-undang, jika undang-undang memiliki kontradiksi
dengan pencapaian keadilan maka menjadi mungkin pilihan mengesampingkan
bisa dilakukan demi menciptakan keadilan hukum dalam masyarakat. Karena
sesungguhnya semua teks tertulis membutuhkan penafsiran, maka menjadi
keliru jika mengatakan hukum atau undang-undang itu sudah jelas. Undangundang cacat sejak lahir, karena undang-undang memiliki banyak kelemahan
terutama masalah penggunaan bahasa, bahasa tulisan tidak bisa
mengakomodir semua gagasan, ide, cita hukum yang murni dalam masyarakat,
yang sering disebut oleh Prof. Satjipto Rahardjo sebagai makna yang tercecer.

Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut
kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter),melainkan
menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning) dari undangundang atau hukum.6 Penegakan hukum tidak hanya dengan kecerdasan
intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain,
penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati,
dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian

untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan. Ide penegakan hukum
progresif lahir dari refleksi intelektual yang cukup panjang. Pembahasan
penegakan hukum progresif di atas merupakan salah satu rekam jejak refleksi
intelektual yang menjadi titik awal kenapa penegakan hukum progresif
dijadikan sebagai tipe penegakan hukum alternatif. Tibalah kita pada sebuah
kesimpulan bahwa “kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata
sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran
prinsip keadilan yang mendasari undang-undang“. Hukum Progresif berarti
hukum yang bersifat maju. Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto
Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia.
Hal ini akibat dari rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan
bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang
hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah
secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis
hukum, serta melakukan berbagai terobosan.7 Pengertian sebagaimana
dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum progresif adalah
serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum
(termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih
berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan
dan kesejahteraan manusia. Secara lebih sederhana hukum progresif adalah

hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun
bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir
saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan
kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasa atau keberpihakan dalam menegakkan
hukum. Sebab, hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan
kesejahteraan bagi semua rakyat. Pembebasan tersebut di dasarkan pada
prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan prinsip
bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu
tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu
untuk
harga
diri
manusia,
kebahagiaan,
kesejahteraan,
dan kemuliaan manusia. Hukum progresif bukan sebatas dogmatis belakang.
Secara spesifik hukum progresif bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat
dan hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan
tradisianalytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek. Progresifisme hukum
mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar

kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia.
Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada
untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada
6 Satjipto Rahardjo, 2008, Membongkar Hukum Progresif, Jakarta, Penerbit Kompas, hlm. 126127
7 ibid

pada statuslaw in the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah
institusi yang bermoral kemanusiaan.
Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah :8
1. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia.
2. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dimensi yang amat
luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga
teori.
4. Bersifat kritis dan fungsional.
Konsep hukum progresif yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo
bila diartikan secara sederhana dapat diartikan sebagai
“bagaimana”
membiarkan hukum tersebut mengalir untuk menuntaskan tugasnya mengabdi
pada manusia dan kemanusiaan. Adapun pokok-pokok pemikiran model hukum
progresif ini dapat diuraikan sebagai berikut ini :
1.
Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada
idealnya hukum.
2.
Hukum menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum
sebagai teknologi yang tidak berhati nurani, melainkan suatu institusi
yang bermoral.
3.
Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia
kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia
bahagia.
4.
Hukum progresif adalah, “hukum pro rakyat dan pro keadilan”
5.
Asumsi dasar hukum progresif adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. berkaitan dengan hal ini, maka hukum tidak ada untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih besar.
6.
Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a
process, law in the making).
Sebagaimana disebutkan diatas, untuk menguji kualitas dari hukum, tolak ukur
yang dapat dijadikan pedoman antara lain keadilan, kesejahteraan dan
keberpihakan kepada rakyat semakin jauh dari kenyataan, mengingat
banyaknya persoalan hukum yang tidak terselesaikan dengan baik. Banyaknya
kasus korupsi yang terkuak namun tidak mendapatkan penyelesaian yang
memuaskan menjadi pemicu utama lahirnya pemikiran hukum yang progresif.
Kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin pudar sehingga hukum
tidak lagi dianggap sebagai panglima dalam menyelesaikan persoalan.
Sungguh sangat ironis bagi Negara yang mendasarkan dirinya pada hukum
tetapi tidak dapat menegakkan hukum karena kepercayaan dari masyarakat
tidak ada. Seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang
terus berubah, memunculkan sebuah stagnasi, hukum saat ini tidak mampu
memberikan solusi dalam zaman modern. Implikasinya ketika manusia dalam
setiap proses perkembangannya selalu berubah sesuai dengan kebutuhan
kehidupannya maka hukum pun harus mengikuti perubahan tersebut. Hal inilah
yang menjadi perbedaan mendasar antara hukum progresif dengan hukum
positivis yang selama ini diterapkan di Indonesia. Jika selama ini hukum selalu
8 Satjipto Rahardjo, 2008, Membongkar Hukum Progresif, Jakarta, Penerbit Kompas, hlm. 253254

tertinggal jauh terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat, maka hukum
progresif lebih membuka diri dan respon terhadap perubahan dan tidak terikat
pada hukum tertulis.Dalam hal ini hukum harus diletakkan dalam keseluruhan
persoalan kemanusiaan. Dengan demikian peran hukum lebih menjamin
pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap keadilan dan kesejahteraan.
Artinya keberadaan hukum sudah seharusnya mencerminkan standar baku dari
apa yang baik dan tidak baik, adil dan yang tidak adil. Perihal tersebut dalam
konteks ke Indonesiaan tidak boleh terlepas dari jati diri bangsa yang tercermin
dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai bangsa yang diterima
semua lapisan masyarakat, semua generasi bahkan semua budaya sehingga
sangat layak dijadikan standar utama dalam kehidupan hukum berbangsa dan
bernegara.
Pembahasan 2
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktifitas kehidupan” yang
dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan
evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi
antara berbagai prilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang
berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu,
penegakan hukum tidak dapat semata-mata di anggap sebagai proses
menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses
penegakan hukum mempunyai demensi yang lebih luas dari pada pendapat
tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi prilaku
manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa
problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in
action” bukan pada “law in the books”.
Adapun tujuan penegakan hukum lingkungan menurut Santoso adalah
penataan (complance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem
dan fungsi lingkungan hidup yang pada umumnya diformalkan ke dalam
peraturan perundang-undangan, termasuk ketentuan yang mengatur baku
mutu limbah atau emisi. Nilai-nilai perlindungan daya dukung lingkungan
ekosistem dan fungsi lingkungan hidup tidak selamanya terwujud dalam
bentuk peraturan perundang-undangan sebagai binding principles atau binding
norms. Tidak sedikit nilai-nilai tersebut hanya berwujud peinsip-prinsip
(nonbinding principles) yang terdapat pada sebuah deklarasi internasional (soft
law) seperti halnya prinsip kehati-hatian (precautionary principles) yang
terdapat dalam Deklarasi Rio (prinsip ke-15). Pelaksanaan secara efektif prinsip
(nonbinding principles) secara ideal harus didahului dengan penerjemahannya
ke dalam norma-norma operasional yang bersifat binding. Namun upaya
penerjemahan prinsip-prinsip non binding tersebut tidak selamanya mudah.
Oleh karenanya, pengendalian diharapkan mampu untuk secara proaktif
menerjemahkan atau menafsirkan prinsip-prinsip tersebut kedalam putusan
pengadilan.9 Saat ini penegakan hukum lingkungan di Indonesia begitu suram.
Batapa banyak kerusakan lingkungan yang terjadi dengan jumlah penjahat
lingkungan yang semakin merajalela tetapi tindakan hukum terhadap mereka
tidak dilakukan. Sebenarnya hal ini tidak harus terjadi kalau hukum lingkungan
benar-benar ditegakan. Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya
9 Santoso, 2001, Penegakan Hukum Lingkungan, Surakarta, hlm.234

penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi
terselenggaranya pembangunan, baik di bidang ekonomi, politik, sosial
budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan
supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar
supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh
terhadap perbaikan pembangunan nasional. Dalam hubungan dengan UndangUndang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan
hukum di bidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga)
kategori yaitu :
1. Penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum
Administrasi / Tata Usaha Negara.
2. Penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3. Penegakan hukum ingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Undang-undang tersebut sifatnya pokok sehingga di kenal sebagai ketentuan
hukum yang memayungi ketentuan hukum lain yang mengatur masalah
lingkungan. Dengan demikian undang-undang tersebut menjadi landasan untuk
menilai dan menyesuaikan ketentuan hukum lain yang mengatur masalah
lingkungan hidup yang sudah ada atau yang akan diadakan.
Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan melalui instrument hukum
administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana. Penyelesaian masalah
lingkungan hidup melalui instrumen hukum admisnistrasi bertujuan agar
perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi
persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum
ada pelanggaran). Oleh karena itu, fokus dari sanksi administratif adalah
perbuatannya, sedangkan sanksi dari hukum pidana adalah orangnya (dader,
offender),. Selain itu, sanksi hukum pidana tidak hanya ditujukan kepada
pembuat, tetapi juga kepada mereka yang potensial menjadi pembuat
(pelanggar).
Paling tidak terdapat 4 (empat) peraturan perundang-undangan yang dapat
dijadikan dasar penegakan hukum administrasi, yaitu :
a. Hinder Ordonantie (S. 1926-226)
b. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
c. PP Nomor 20 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air Jo.
PP No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran air.
d. PP No. 19 Tahun 1994 jo. PP No.12 Tahun 1995 Tentang Pengelolaan
limbah B-3, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 18 Tahun
1999 dan PP No. 85 Tahun 1999.
Pembahasan 3
Saat ini di Kal-Sel ada 510 kuasa pertambangan, dan 23 PKP2B luas seluruh
perizinan mencapai 1.2 juta hektar , Ada 700 ribu Ha izin kebun sawit dari
realisasi 1,1 juta perkebunan, HPH sebesar 261.966,67 hektar, izin konsesi HTI
seluas 383.683,46 ha. Total perizinan 2,5 juta Ha (luas daratan Kalsel 3,7 juta
Ha, Produksi tambang batu bara di Tahun 2010 tercatat 86 juta ton atau turun
10 juta ton dibandingkan produksi 2009 yang mencapai 96 juta ton., Namun
secara umum, sepanjang 10 tahun terakhir produksi batubara Kal-Sel terus
mengalami peningkatan cukup signifikan, bahkan dalam lima tahun tercatat

444 juta ton batubara dikeruk dari bumi Kal-Sel. 10Masa Orde lama kebijakan
Nasional menutup perusahaan asing termasuk batubara di Kal-Sel. Sampai
dengan berakhirnya masa regim pemerintahan Orde Lama ditahun 1965/1966.
Tetapi Masa Orde baru kegiatan eksploitasi sumber daya alam secaraumum di
Indonesia secara besar besaran di mulai dengan berkuasanya pemerintahan
Soeharto. Di awali dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS
Tahun 1966, Pembaharuan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.
Perubahan kebijakan ekonomi pada tahun 1966. Keluarnya UU No 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing yang membuka pintu kepada negara
melakukan eksploitasi sumber daya alam Indonesia. Kemudian UU tersebut di
dukung oleh UU No 5 Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan yang menyebabkan
hutan diserahkan pemerintah kepada pengusaha.
Sektor pertambangan di Kalimantan Selatan di mulai dengan di keluarkannya
kebijakan Kepres No. 49/1981 mengenai Kontrak Pengusahaan Batu bara
Generasi I atau yang lebih dikenal dengan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batu bara (PKP2B). Di Kalimantan Selatan ada 3 perusahaan
yaitu PT. Arutmin, PT. Adaro dan PT. Chong Hua OMD (yang kemudian dicabut
izinnya). Ketiga kontraktor ini diberi cadangan areal sekitar 230.000 hektar.
Lokasi tambang Arutmin berada di Kabupaten Kota Baru, sementara Adaro di
Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Tabalong, sedangkan Chung Hua OMD di
Kabupaten Banjar. Pada tahun 1993, jumlah perusahaan pertambangan dengan
menggunakan PKP2B bertambah dengan dikeluarkannya Kontrak Pengusahaan
Batubara Generasi II melalui kebijakan Kepres No. 21/1993 terdiri dari 5
perusahaan yaitu PT. BCS, Bantala CM, Antang Gunung Meratus, Jorong
Barutama, Borneo Indobara. Kontrak Pengusahaan Batubara Generasi III di
keluarkan dengan kebijakan Kepres No. 75/1996 terdiri dari 11 perusahaan
yaitu PT. Mantimin Coal Mining, Bara Pramulya Abadi, PT. Generalindo Prima
Coal, Wahana barata Mining, Ekasatya Yanatama, Lianganggang Cemerlang,
Sinarindo Barakarya, Adibara Bansatra, Bukit Kalimantan Indah, PT. Senamas
Energindo Mulai, PT. Kalimantan Energi Lestari. 11 Hingga sekarang hutan KalSel dieksploitasi khusus pertambangan batu bara, sebelumnya ekploitasi hutan
kayu Kal-Sel secara besar-besaran, baik secara legal dan illegal. 8 Bagian
terakhir ini sering disebut dengan Penambangan Liar (PETI). Menurut Ketua
ASPERA (Asosiasi Penambang Rakyat) Kal-Sel untuk tahun 2004 produksi batu
bara yang dihasilkan oleh PETI mencapai 10 juta metrik ton. 12Sementara
hukum hanya menyentuh pada penambangan liar. Ironisnya kasus penahanan
para tersangka tidak pernah ada di daerah ini. Beberapa orang yang dijadikan
tersangka
secara
tidak
diketahui
tidak
diproses
sampai
ke
pengadilan.Beberapa
konplik
tanah
adat
dan
masyarakat
sekitar
pertambangan
sering
terjadi.
Kenyataannya
ketika
adanya
upaya
pemberdayaan Hutan Tanaman Industri (sesuai dengan UU Kehutanan No.41
Tahun 1999) belum selesai ditanami sudah ada blok-blok konsesi
pertambangan di kawasan hutan. Menurut data dari dinas kehutanan tahun
2006 kawasan tambang yang tumpang tinduh dengan kawasan pengusahaan
10

Bambang Prabowo Soedarso, Potret Hukum Pertambangan di Indonesia Dalam Era UU No.4 Tahun 2009, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional
Universitas Indonesia, Jakarta, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 6 No.3, April 2009, hlm. 411

11 Supriadi, hukum lingkungan di Indonesia, Sinar Grafika, 2008, hlm 48
12 Akhmad Sukris Sarmadi, Penerapan Hukum Berbasis Hukum Progresif pada Pertambangan
Batu Bara di Kalimantan Selatan 2012,

hutan baik itu HPH maupun HTI terdapat sedikitnya 18.101 Ha. Akibatnya
Hutan di Kal Sel mengalami krisis. Berdasar data peta Repprot dari tahun 1985
– 1997 hutan di Kal-Sel menyusut sebesar 44,4 % untuk dua belas tahun atau
seluas 769.713 Ha dengan kata lain 3,7 % per tahun. Menurut Santoso Kanwil
Kehutanan Kal-Sel dari luasan lahan HPH di Kalsel tercatat 868 ribu Ha dan
yang masih merupakan hutan yang baik tinggal 150 ribu Ha pada tahun 1997.
Sedangkan pada tahun 2004 deforestasi sebesar 90.752 ribu ha pertahun. UU
No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara tetap melegalisasikan
pengerukan tambang batubara. UU ini bila dibaca secara kerangka ilmu hukum
harus tidak berdiri sendiri sebab ia masih masuk dalam ranah hukum
lingkungan yang berarti sangat erat berhubungan dengan UU Kehutanan
maupun Lingkungan atau umbrella provision bagi peraturan perundangundangan lainnya. Sebut saja UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
diganti dengan UU N0. 26 tahun 2007. demikian pula UU No. 5 tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU No.
41 tahun 1999 tentang kehutanan di samping peraturan lainnya yang terkait
dengan upaya penciptaan lingkungan yang mendukung hidup sejahtera bagi
setiap warga negara. Hanya persoalannya bagi Pengusaha dan pemerintah
daerah
mungkin
saja
dalam
pelaksanaannya
bersifat
tersendiri.
Memperhatikan apa yang di muat dalam Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2009 bagian
asas dan tujuan disebutkan bahwa Pertambangan mineral dan/atau batubara
dikelola berasaskan:
 manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
 keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
 partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kenyataannya hingga sekarang
dengan telah dikeluarkannya UU N0. 4 Tahun 2009 masih dirasakan
pengerukan batu bara tidak memenuhi pada kepentingan lingkungan yaitu
perusakan hutan dan reklamasi yang gagal. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan
mengingatkan agar pertambangan agar memperhatikan lingkungan di Kal-Sel.
Untuk itu jangan sampai dieksploitasi secara berlebihan, karena akan
merugikan lingkungan di kemudian hari. Peringatan Menhut tersebut sangat
beralasan dikarenakan kenyataan kondisi lingkungan yang sangat parah
sementara menhut sendiri tak berdaya untuk membendung ancaman
kerusakan lingkungan. Hal ini dikarenakan UU Minerba telah memberikan izin
yang luas sesuai prosedur apa yang di aturnya. Regulasi selama ini pada
umumnya mendukung terjadinya pengerukan sekalipun dalam asa tujuan
pengaturannya menyebut pro pada manfaat, keadilan, keseimbangan,
kepentingan bangsa dan berwawasan lingkungan. Namun tetap saja
penambangan dirasakan sekarang sangat mendukung terjadinya perusakan
seperti yang terjadi di Kal-Sel dan kawasan hutan lain di Indonesia. Kekayaan
Kal-Sel sekarang benar-benar dikuras. Regulasi pada era orde baru telah
menghabiskan kawasan hutan Kal-Sel dan sekarang sudah mengeruk bagian
bumi dengan maraknya pertambangan batu baru di samping kekayaan perut
bumi lain seperti biji besi atau batu besi, mangan, emas, kaolin, pasir kuarsa,
batu gamping, fosfat, batuan grantis, nikel, kromit dan lainnya. Pemerintahan
Daerah mengklaim perbandingan dengan luas Provinsi Kalimantan Selatan,
luas lahan yang telah dibuka untuk kegiatan usaha pertambangan adalah

0,23%. Artinya perizinan terhadap batu bara masih dianggap sedikit. Tetapi
perbandingan yang valid adalah dengan melihat kawasan hutan Kal-Sel
dikarenakan lahan batu bara pada umumnya berada di kawasan hutan.
Beberapa data yang valid terhadap kenyataan lingkungan di Kal-Sel setiap
tahun menunjukkan kondisi lingkungan semakin rusak. Data Citra Lansat
Dephut luas Areal Berhutan 987.041,14 Ha (2001) dan 935.900,00 (2002)
hutan Kal-Sel telah berkurang 51.141 Ha atau setiap harinya kehilangan 140 ha
luas hutan atau 141kali luas lapangan sepak bola. Angka yang sama juga
terjadi pada tahun 2003, sehingga estimasi luasan hutan yang tersisa pada
tahun 2007 adalah 884.758,86 ha. Berdasarkan analisis dan SK Menhut 453
luasan hutan lindung Kal-Sel 2008 hanya mencapai 433.677 hektar dan itupun
sebesar 142 523 hektare telah di rambah oleh pertambangan. Jika berdasar
data di atas dimana izin pertambangan dikeluarkan sebanyak 228.556,25 Ha,
Kal-Sel sekarang ini berarti telah kehilangan hutannya sebagai pelindung
kehidupan. Terbukti parah rusaknya hutan yang berdampak pada penurunan
kualitas SDM, rusaknya infrastruktur, hilangnya hak ulayat dan perkebunan,
sebagai berikut :
1.SDM Menurun, Indeks Pembangunan Manusia Kalimantan Selatan turun
peringkatnya dari urutan ke 24 tahun sebelumnya menjadi ke urutan 26 dari 33
provinsi. Faktor yang sangat dominan dalam menentukan indeks Pembangunan
Manusia adalah kesehatan dan pendidikan. Dengan kata lain, pendapatan
daerah tidak lebih baik atau tidak berdaya guna untuk perbaikan kesehatan
dan pendidikan. Sementara daerah lainya yang tidak memprioritaskan batu
bara justru berada pada peringkat lebih tinggi.
2.Problem Infrastruktur, rusaknya jalan negara mengakibatkan problem
baru dalam lalu lintas kerja dan kestabilan masyarakat pengguna jalan lain
atau kepentingan publik . Bahkan meningkatnya kecelakaan di jalan dan
penderita sesak nafas yang berkepanjangan sementara Pemerintah tak dapat
berbuat apapun untuk menanggulanginya. Meskipun sekarang Kepala Daerah
Kal-Sel saat ini telah memberlakukan Perda No. 3 Tahun 2008 yang melarang
angkutan batubara melintasi jalan umum. tetap saja terjadi kerusakan jalan
yaitu daerah-daerah desa menjadi rusak hingga ke areal tambang.
3.PLN Uap, sebagain besar produksi batu bara ini tak dinikmati warga. Hanya
lima persen yang digunakan di Kalimantan Selatan untuk pembangkit listrik,
selebihnya memasok Pembangkit Listrik Tenaga Uap di pulau Jawa dan di
ekspor ke luar negeri. Padahal listrik menjadi masalah serius disini. PLN tidak
dapat melayani kebutuhan listrik baru, yang ada sekarangpun sudah terjadi
pemadaman bergilir yang makin sering.
4.Banjir, pada setiap awal tahun tercatat banjir di Hampir semua
Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan, seperti Kabupaten Banjar, Tabalong,
Tanah Bumbu, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan,
Barito Kuala, Tanah Laut dan Kotabaru. Tiga daerah terparah diantaranya
adalah Kabupaten Banjar, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Tanah
Bumbu. Menurut data Dinas Sosial Provinsi sampai saat ini mengakibatkan
22.853 kepala keluarga (KK) atau 66.667 jiwa mengungsi. Ratusan hektar
sawah terendam dan mengakibatkan kerugian material sebanyak 2,410 milyar
rupiah. Dan di awal tahun 2009 Daerah Banjir semakin meluas. Penyebabnya
adalah kerusakan hutan, hilangnya daerah tangkapan air di daerah hulu karena

kerusakan hutan yang ada dan menyebabkan daya tahan air hampir bisa
dikatakan tidak ada. Ditambah karena DAS (daerah aliran sungai), tidak
mampu lagi menjadi buffer zone yang efektif untuk mencegah bencana banjir.
kerusakan yang cukup parah di antanya adalah Sub DAS Tabalong, Tapin, Riam
Kiwa, Maluka, Kintap, Tabonto, Satui, Kusan dan Sebamban.
5.Rusaknya Perkebunan Rakyat, daya rusak yang luar biasa bagi
lingkungan dan penduduk sekitar. Dibuktikan Infiltrasi air di areal
pertambangan adalah nol padahal dimusim kemarau. Ini artinya, kalau ada
hujan, semua air hujan akan masuk ke badan air, lubang-lubang bekas
tambang yang jumlahnya ribuan. Kalau lubang-lubang bekas tambang penuh
dan air meluber, maka akan mencemari areal sungai, perkebunan dan
pertanian masyarakat. Tanamannya akan mati. Hilangnya Hak Ulayat. Dengan
banyaknya HPH maupun sekat kawasan Pertambangan, atas alasan legalistik
Kuasa Pertambangan (KP) ataupun Agreement of Work on Coal Mining
(Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara = PKP2B), hak ulayat
tak dapat lagi berharga. Minimnya Pendapatan Daerah. Pada Rapat Paripurna
Pemda 2008 terungkap, total pendapatan daerah KalSel Rp.1.616.748.000.000.
Belanja daerah diperkirakan Rp 1.606.450.000.000. Sedangkan pembiayaan
daerah Rp 14.500.000.000.22 Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (RAPBD) 2009 tetap dipatok tinggi. Dibandingkan 2008, APBD Kal-Sel
anggaran 2009 mengalami kenaikan sebesar Rp 400 milyar. Sebelumnya APBD
Kalsel Rp 1,2 triliun pada 2009 mencapai Rp 1,6 triliun. Kelebihan Rp 400
milyar tak akan dapat mengubah infrastruktur yang rusak, penebusan dosa
atas rusaknya hutan dan perbaikan segala SDM dan akibat kerusakan yang
berkelanjutan maupun cita perbaikan pembangunan ekonomi. Dan terbukti
dengan APBD tahun 2010 sebesar 2,1 triliun juga tak dapat memperbaiki
kerusakan alam Kal-Sel.
6.Kemiskinan, rusaknya lingkungan akan berdampak pada meningkatnya
kemiskinan. Terjadi hubungan erat antara lingkungan dengan kemiskinan.
Lingkungan rusak melahirkan kemiskinan baru bagi masyarakat.
Reklamasi yang selama ini disuarakan dalam regulasi hukum tidak memadai
untuk memperbaiki lingkungan. Kehancuran sumberdaya hutan maupun akibat
pengerukan pertambangan batu bara Kalsel tidak dapat dielakkan dan
dirasakan langsung sebagian besar masyarakat. Saat ini saja seseorang
melihat dari atas kawasan pertambangan seperti gurun pasir hitam disertai
lubang-lubang besar yang dalamnya tak terukur dalamnya. Tidak ada
kemungkinan untuk dapat direklamasi karena lubangnya begitu besar dan
sangat dalam.
Pada intinya bukan hanya persoalan struktur hukum tetapi juga berada pada
wilayah substansi hukumnya yang masih dirasakan kurang dipahami oleh
pejabat maupun penegak hukum. Bagitu banyak kelemahan yang ada pada UU
No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba tidak diberengi dengan berpikir progresif.
Salah satunya adalah sanksi di dalamnya hanya bisa dijerat terhadap
perusahaan tambang hanya bersifat administrasi. Sementara bagi rakyat yang
tanpa izin mengeruk lahan sekalipun hanya dengan alat sederhana dapat
dijerat dengan sanksi pidana kurungan sampai 10 tahun. Dengan kata lain
terlihat UU berpihak pada orang kuat yang kesemuanya telah mengandalkan
perusahaan besarnya mengeruk pertambangan.

Kenyataan semakin hari semakin parah rusaknya lingkungan telah merisaukan
Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi (Minerpabum) Departemen ESDM
sehingga mengeluarkan surat Nomor 03.E/31 DJB/2009 tanggal 30 Januari 2009
mengenai pelarangan kepala daerah (Bupati dan Walikota) mengeluarkan izin
KP. Tetapi niat baik Dirjen Minerpabum tersebut dijegal oleh gugatan bupati
Kalimantan Timur yang memenangkannya. Keputusan MA yang memenangkan
gugatan terhadap surat Dirjen tersebut terjadi karena bertentangan dengan UU
Nomor 4 Tahun 2009 yang mengizinkan pengerukan pertambangan. Secara
formalistik hukum putusan tersebut sudah benar namun ide hukum yang
dikehendaki Dirjen Minerpabum sebenarnya progresif karena pro pada
kerakyatan dan lingkungan.
Persoalan Mineral dan batu bara bukan hanya persoalan masyarakat tetapi
juga persoalan lingkungan yang kedepan juga berdampak pada masyarakat.
Adanya keluasan perizinan pada UU Minerba amat bergantung pada nurani
kepala daerah. Realitas ini pula selama ini di Kal-Sel menjadikan dampak
negatif dan kritisnya hutan dan bumi Kal-Sel. Tak ada penyelesaian yang
signifikan terhadap masalah pertambangan selama ini kecuali semakin parah
kerusakan lingkungan. Untuk itu diperlukan pemahaman dan revisi pada
substansi hukum khususnya UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba maupun
cara berpikir para pejabat yang berwenang sekaligus pelaku usaha
pertambangan. Suatu cara yang progresif yang pro pada rakyat maupun
kebijakan daerah yang juga harusnya pro rakyat.
Menurut Lili Rasjid, hukum nasional positif yang digunakan sebagai sarana
pembaharuan dalam masyarakat masih memerlukan pembaharuan dan
pembinaan. Dalam istilah David M. Trubek hukum telah mati dan ia selalu
mempertanyakan bahwa ``Is Law Dead.`` 13
Menurut Satjipto Raharjo, hukum hanya dilihat sebagai peraturan prosedur
yang lekat dengan kekuasaan. Padahal di balik hukum juga sarat dengan nilai,
gagasan sehingga ia menjadi partikular. Pandangan beliau tersebut
mensaratkan muatan hukum harus luas dalam cakupan moralitas. Prosedur
formal belum tentu dapat mengantarkan penyelenggaraan hukum secara baik
kepada tujuannya. Bahkan ia dapat saja mendorong ditempuhnya tindakan
yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum. Oleh karenanya, hukum harus
pula dipahami substansinya agar wilayah kemanusiaan tidak terganggu.
Ukuran substansi hukum tidak hanya pada maksud pembuat undang-undang
tetapi juga lebih luas memasuki keadilan yang pro-rakyat.

Bab III Kesimpulan
Maksud dari hukum lingkungan berbasis hukum progresif sesungguhnya
memberikan dua tawaran hukum, satu sisi ingin memperjelas hukum substansif
tentang hukum lingkungan dan sisi lain agar ada penerapan secara progresif
sesuai prinsip dasar dari konstitusi UUD 1945 dalam Pasal 28H ayat (1). Hukum
Lingkungan yang berbasis hukum progresif mengajarkan adanya kesadaran
bahwa memelihara lingkungan adalah persoalan yang utama dari semua
13Loc Cit, Andy dalam Walhi Kal-Sel, Refleksi Kecil Lingkungan Kalsel 2008

legalitas formal yang berdampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat. 0leh
karenanya hendaknya dalam pelaksanaan UU No. 4 Tahun 2009 tetap
mengedepankan hukum lingkungan sebagai umbrella provision bagi peraturan
perundang-undangan lainnya. Progresivisme berlawanan dengan pandangan
kemanusiaan yang menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik,
memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Namun,
dasar Hukum Progresif berpedoman pada hakikat dasar “hukum adalah untuk
manusia”. Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas
oleh ilmu hukum positif, melainkan untuk manusia dalam rangka mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Progresivisme mengajarkan, bahwa
hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang
berfungsi untuk memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Progresivisme
tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani,
melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.
Progresivisme
berlawanan dengan pandangan kemanusiaan yang menyebutkan bahwa
manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta
kepedulian terhadap sesama. Namun, dasar Hukum Progresif berpedoman
pada hakikat dasar “hukum adalah untuk manusia”. Hukum tidak hadir untuk
dirinya sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif, melainkan
untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia. Progresivisme mengajarkan, bahwa hukum bukan raja, tetapi alat
untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi untuk memberikan
rahmat kepada dunia dan manusia. Progresivisme tidak ingin menjadikan
hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang
bermoral kemanusiaan.
Pembahasan penegakan hukum progresif di atas menjadi titik awal kenapa
penegakan hukum progresif dijadikan sebagai tipe penegakan hukum alternatif.
pemaknaan yang dapat ambil bahwa “kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan
semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami
sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang“.
Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, dilandasi asumsi
dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Hal ini akibat dari rendahnya
kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam
mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun
pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan
pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan
berbagai terobosan. Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto
Rahardjo tersebut berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang
radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturanperaturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam
mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan
manusia. Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang
melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam
hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk
menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak
ada rekayasa atau keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sedangkan
secara spesifik hukum progresif bisa disebut sebagai hukum yang pro-rakyat
dan hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, hukum progresif berbeda

dengan hukum positif. Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan
raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi
memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari
progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak
untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in the
making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral
kemanusiaan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pokok-pokok hukum progresif adalah sebagai
berikut:
 Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatick
dan berbagi paham dengan aliran seperti legal realism, freirechtslehre,
sociological jurisprudence, interressenjurisprudenz di jerman, teori
hukum alam dan critical legal studies.
 Hukum menolak pendapat, bahwa ketertiban (order), hanyaa bekerja
melalui institusip-institusi kenegaraan.
 Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal
hukum
 Hukum menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai
teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.
 Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia
kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.
 Hukum progresif adalah “hukum yang pro rakyat” dan “ hukum yang pro
keadilan”.
Asumsi dasar hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah untuk manusia”,
bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka
setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan
diperbaiki, bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem
hukum.

Daftar Pustaka
Soedarso,
Bambang
Prabowo Potret
Hukum Pertambangan di
Indonesia Dalam Era UU No.4 Tahun 2009, Lembaga Pengkajian Hukum
Internasional Universitas Indonesia,Jakarta, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 6
No.3, April 2009
Akhmad Sukris Sarmadi, Penerapan Hukum Berbasis Hukum Progresif pada
Pertambangan Batu Bara di Kalimantan Selatan, Jakarta, 2012
Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas, Jakarta, 2006
Rahardjo, Satjipto. Membongkar Hukum Progresif, Penerbit Kompas, Jakarta,
2008
Santoso. Penegakan Hukum Lingkungan, Erlangga, Surakarta, 2001
Triana. Pndecta, Research Law Journal. Vol 9, No 2, 2014
Supriadi, 2008, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta :
Sinar Grafika