ISLAM DAN KEADILAN SOSIAL EKONOMI

ISLAM DAN KEADILAN SOSIAL:
MELAWAN KEMISKINAN DAN MEMBANGUN KESEJAHTERAAN
SOSIAL PERSPEKTIF AL-QUR’AN
A. Pendahuluan
Kemiskinan merupakan masalah terbesar umat manusia, sekaligus musuh bersama
(common enemy) yang dihadapi seluruh bangsa. Ismail Raj’i al-faruqi
sebagaimana dikutif oleh Amirullah (2007:175) mengatakan: “kemiskinan,
kebodohan, dan keterbelakangan merupakan tiga permasalahan besar yang saat ini
dihadapi oleh hampir seluruh negara yang berkembang termasuk Indonesia.
Namun dari ketiganya, kemiskinan merupakan yang paling berbahaya. Sebab
kebodohan dan keterbelakangan itu muncul akibat adanya kemiskinan”.
Di Indonesia jumlah orang miskin sebagaimana yang dilansir oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) hingga maret 2013 mencapai 28,07 juta. Sedangkan data
perserikatan bangsa-bangsa untuk anak (UNICEF) menyatakan dua sampai tiga
juta anak Indonesia disebut sebagai generasi kekurangan pangan, penyakitan dan
tidak berpendidikan karena alasan miskin. Serta dapat kita lihat realita dilapangan
secara langsung, berapa ribu orang yang mengalami busung lapar?, berapa juta
orang yang tidak memiliki rumah tinggal? Berapa juta anak-anak yatim dan anak
jalanan yang terlantar tidak mendapatkan pendidikan?
Di sisi lain kemiskinan tersebut tidak berlaku bagi orang-orang yang memiliki
kekuatan modal dan kekuasaan. kemiskinan hanya berlaku untuk orang-orang

yang lemah (mustad’afiin) tidak memiliki kekuatan apapun. Inilah realita yang
dihadapi bangsa ini, bukan hanya kemiskinannya namun juga kesenjangan sosial,
serta ketidak adilan sosial dan ekonomi yang berdampak “yang msikin semakin
miskin yang kaya semakin kaya”. Para ilmuwan sosial menyebut situasi ini
dengan (deprivation) yang selanjutnya berdampak terhadap keresahan sosial
(sosial unrest) yang akan menimbulkan disintegrasi sosial (Jalaludin 1996: 233).

1

Inilah femomena dan realitas yang dihadapi bangsa ini, jika tanpa dibenahi
dan dicarikan akar permaslahan serta solusinya disintegrasi sosial tidak akan
terelakan lagi. Dicari tahu apa penyebab kemiskinan yang menimpa bangsa ini?
al-Quran

sebagai

petunjuk

dalam


kehidupan,

Bagaimanakah

al-Qur’an

menawarkan formula dan strategi untuk mengentaskan kemiskinan? Bagaimana
konsep al-Qur’an dalam membangun kesejahteraan umat? Pertanyaan-pertanyaan
inilah yang menjadi latar belakang penulisan makalah dan menjadi kajian di
dalam makalah ini.
Besar harapan penulis, Semoga tulisan ini bisa menjadi refleksi dan
memberikan kontribusi pemikiran yang nyata dalam memberantas kemiskinan dan
membangun kesejahteraan bangsa.
B. Konsep Dasar dan Penyebab Kemiskinan
Dalam tulisan ini akan membahas tentang pemeberantasan kemiskinan berbasis
al-Qur’an maka hakikat dari kemiskinan itu harus diketahui dan dibatasi dahulu
dilihat dari berbagai interpretasi yang ada, sebagai sebuah landasan ontologis
mencari konsep dasar kemiskinan secara etimologis dan terminologisnya. Seperti
apa yang disebut miskin itu? Serta apa kemiskinan itu? Misalnya, di wilayah satu
kondisi “A” ini tidak disebut orang miskin namun untuk di wilayah lain kondisi

“A” itu masuk kategori penyebutan kemiskinan. Sehingga, kajian ontologis ini
dianggap penting dalam membedah makna dan asal-usul dari kata miskin, sebab
pada hakikatnya kajian ontologis adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana
menemukan hakikat makna dan esensi dari segala sesuatu (Amsal Bakhtiar, 2010:
17). Dengan demikian nantinya akan mudah untuk memetakan masalah
kemiskinan secara sistematis.
Secara etimologis dalam KBBI, kata “miskin” artinya tidak berharta benda;
serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Istilah miskin juga semakna dan
sering disandingkan sdengan istilah “faqir” diartikan sebagai orang yang sangat
berkekurangan; sangat miskin. Selanjutnya jika dilihat dari bahasa aslinya (arab)
kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedangkan

2

faqir asal kata faqr yang berarti tulang punggung atau “iftiqara” yang berarti
membutuhkan. Quraish Sihab (1997:449) menyampaikan Faqir adalah orang yang
patah tulang punggungnya, alam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian
berat sehingga “mematahkan” tulang punggungnya.
Dalam buku orang miskin dilarang sekolah, Eko Prasetyo (2006:7)
mengatakan, bahwa kemiskinan sejak dulu susah didefinisikan. Termasuk di

dalam al-Qur’an pun tidak ada definisi yang jelas tentang kedua istilah Faqir dan
miskin, sehingga para ulama pun berbeda pendapat dalam menetapkan tolok ukur
kemiskinan dan kefaqiran. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa faqir adalah
orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedangkan
miskin adalah yang berpenghasilan di atas itu. Ada juga yang mengatakan, kalau
kemiskinan diukur dari tingkat biaya konsumsi. Sedang yang lain, indikator
kemiskinan adalah depriviasi atau kehilangan kemampuan, seperti penurunan
tingkat gizi, buta huruf, dan buruknya akses kesehatan. Beberapa yang lain
melihat kemiskinan dari pendapatan yang mereka terima termasuk ‘garis
kemiskinan’ juga bisa diukur dari bentuk bangunan rumah yang dimiliki.
Untuk itulah, Badan Pusat Statistika Nasional menetapkan garis kemiskinan
dari rupiah yang diraih seseorang dalam sehari, yakni tidak lebih dari 15.000
perhari, sehingga ia tidak bisa memenuhi kebutuhan primernya seperti sandang,
pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan. Sedangkan dalam Al-Qur’an dan
Hadis tidak ditetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan.
Namun al-Qur’an menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagi fakir
atau miskin harus dibantu. Yusuf Qardawi sebagimana dikutif oleh Sihab (1997)
menurut pandanngan Islam, tidak dapat dibenarkan seseorang yang hidup di
tengah masyarakat Islam, sekalipun ahl al-Dzimmah (warga non muslim),
menderita lapar , tidak berpakaian, menggelandang dan membujang.

Jika ditinjau dari sudut pandang ilmu sosial, maka kemiskinan termasuk di
antara penyakit masyarakat yang dapat menumbuh suburkan kerentanan sosial dan
keresahan sosial (sosial unrest). Penyakit ini terjadi karena berbagai faktor. Selain
dari faktor struktural, seperti faktor ekonomi, sosial politik, dan budaya yang

3

masih mencerminkan struktur yang tidak adil yang sudah tidak sesuai dengan
Syari’at Islam. Sebagaimana firman Allah QS. al-Jin : 16









   
“Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di atas jalan itu (agama

Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar
(rezki yang banyak).”
Dalam ayat ini kemiskinan disebabkan karena tidak berjalannya sistem
tauhid (pelaksanaan syariat). Menurut Islam bahwa prinsip dari hubungan khusus
antara bertindak sesuai dengan perintah-peritah Tuhan di satu sisi dengan
kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya, hubungan antara distribusi
yang adil dengan peningkatan produksi, yakni bahwa tidak akan terjadi
kekurangan produksi dan kemiskinan bila distribusi yang adil dilaksanakan.
Tidak kalah pentingnya, bahwa kemiskinan juga disebabkan oleh aspek
kultural /mentalitas (Amirullah 2013: 88). Sebagaimana firman Allah dalam (Q.S.
Ibrahim : 34)

      
      
   
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu
mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat
kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat
mengingkari (nikmat Allah).”
Dalam ayat ini manusia sendirilah yang membuat dirinya menjadi miskin.

Kemiskinan terjadi akibat adanya ketidak seimbangan dalam prolehan atau
penggunaan sumber daya alam itu, yang disitilahkan dalam ayatdiatas dengan
sikap aniaya, atau karena keengganan manusia menggali sumberdaya alam itu
untuk mengangkatnya kepermukaan, atau untuk menemukan alternatif pengganti.
Dan kedua ayat terakhir inilah yang disitilahkan dengan sikap kufur. (Sihab 1997:
450).

4

Oleh karena itu, jika dilihat dari faktor penyebabnya, kemiskinan dapat
dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural.
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor keturunan
dan lingkungan yang telah terpola sebagai sebagai orang miskin. Kemiskinan ini
bersumber dari kualitas diri dan etos kerja yang rendah sehingga kreativitas dan
produktivitas relatif sangat kecil.
Adapun kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh
kekalahan dalam bersaing merebut status sosial sehingga selalu tersingkir.
Kemiskinan ini timbul akibat dari kebijaksanaan pemerintah atau pemodal besar
atau juga adanya kolusi di antara kedua kelompok tersebut sehingga membatasi
kesempatan membangun ekonomi bagi rakyat atau pemodal kecil. Dengan analisis

fungsional Robert K. Merton sebagaimana dikutif oleh Jalaludin Rahmat 1996:
235) kita dapat melihat baha kemiskinan berfsifat fungsional. Kemiskinan perlu
dipertahankan untuk kelestarian sistem yang ada. Oleh karena itu, kemiskinan
jenis ini disebut sebagai kemiskinan buatan (Amirullah 2013: 89).
C. Dampak dari Kemiskinan
Sebenarnya, menurut Jalaudin Rahmat (1996: 232) bahwa kemiskinan itu tidak
dengan sendirinya menimbulkan keresahan. Kemiskinan akan meresahkan bila
secara kontras berhadapan dengan kemewahan. Perbedaan yang mencolok antara
simiskin dan sikaya, antara pejabat dan rakyat itulah yang membuat dampak
kemiskinan membuat resah serta menimbulkan gejala sosial yang negatif.
Misalnya dengan adanya kemiskinan yang disebabkan krisis, semua orang
makannya dengan singkong, maka kemiskinan tersebut tidak akan menimbulkan
dampak keresahan yang signifikan. Namun, dikala Anda memakan nasi aking
kawan Anda secara mencolok makan dengan makanan yang mewah,
bagaimanakah perasaan Anda? Masih kata Jalaludin tidak lah normal jika tidak
merasakan keresahan dengan kondisi seperti itu.

D. Melawan kemiskinan: Perubahan Sosial Profetik

5


Pada dasarnya tidak ada manusia yang menginginkan dirinya menjadi orang
miskin. Timbul pertanyan, Apakah kondisi miskin yang dialami seseorang adalah
taqdir dari Tuhan (ketetapan yang tidak bisa dirubah)? Jika Tuhan menaqdirkan
manusia untuk miskin berati Tuhan telah dzalim, sedangkan Tuhan mustahil
dzalim kepada makhluknya karena Tuhan maha adil. Dengan demikian,
kemiskinan yang dialami seseorang merupakan akibat/dampak dari apa yang
dilakukan oleh orang tersebut (Ibnu khaldun 2001: 701). Serta dampak dari
perilaku-perilaku ekonom yang membuat kemiskinan secara struktural.
Kemiskinan yang diakibatkan oleh kultural maupun struktural keduanya dapat
dirubah dan dapat diberantas. Sebagaimana firman Allah dalam (Q.S. ar-Ra’du
ayat 11) dalam ayat tersebut ada kata Qaum dan anfus ini mengisyaratkan bahwa
perubahan harus dilakukan oleh secara bersama-sama. Banyak cara yang harus
ditempuh dalam melakukan perubahan dan pengentasan kemiskinan, yang secara
garis besar dapat dibagi pada tiga hal pokok.
1. kewajiban setiap individu
2. Kewajiban orang lain/ masyarakat.
3. kewajiban pemerintah.
1. Kewajiban terhadap setiap individu tercermin dalam kewajiban bekerja dan
berusaha.

Dalam melakukan perubahan melawan kemiskinan harus ada niatan dalam diri
individu. Kerja dan usaha merupakan cara pertama dan utama yang ditekankan
oleh kitab suci al-Qur’an, karena hal ini sejalan dengan naluri manusia, sekaligus
juga merupakan kehormatan dan harga dirinya. Sebagaimana frimnan Allah
SWT:



















6


















     

“ Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).”
Dalam ayat ini ada dua naluri kemanusiaan yaitu naluri seksual yang dilkiskan
sebagai “kesenangan kepada syahwat wanita” dan naluri kepemilikan yang
dipahami dari ungkapan (kesenangan ) “kepada harta yang banyak” (Syihab :
453).
Ibnu khaldun dalam muqaddimah-nya, menjelaskan bagaimana naluri
kepemilikan itu kemudian mendorong manusia bekerja dan berusaha. Hasil kerja
tersebut apabila mencukupi kebutuhannya- dalam istilah agama-disebut rizki dan
bila melebihunya disebut kasb (hasil usha).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa langkah pertama dan utama dalam melawan
kemiskinan adalah kerja dan usaha yang diwajibkan atas setiap individu yang
mampu. Al-Qur’an mengecam segala bentuk pengangguran dan memuji segala
bentuk usaha yang halal. Dalam al-Qur’an surat al-insyirah :7-8. Rasulullah
bersabda: “salah seorang di antara kamu mengambil tali kemudian membawa
seikat kayu bakar di atas punggungnya lalu dijualnya, sehingga ditutup Allah air
mukanya, itu lebih baik dari pada meminta-minta kepada orang, baik diberi
maupun ditolak. (HR. Bukhori).
2. Kewajiban orang laintercermin pada jaminan satu rumpun keluarga, dan
jaminan sosial dalam bentuk zakat dan sedekah wajib.
Orang sering kali tidak merasa bahwa mereka mempunyai tanggung jawab sosial,
walaupun ia telah memiliki kelebihan harta kekyaan. Karena itu diperlukan

7

adanya penetapan hak dan kewajiban agar tanggung jawab keadalian sosial dapat
ter;laksana dengan baik.
Pemeberantasan kemiskinan merupakan tugas dari Nabi dan para
pengikutnya(QS. 7: 157).
“ orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh
mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka...”
Dalam ayat diatas, ada tiga utama tugas seorang rasul dan para pengikutnya.
Tugas pertama ialah menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang munkar dan
mengajak orang beramal shaleh. Tugas kedua adalah menerangkan syariat yang
diturunkan Allah SWT. Dan Tugas ketiga yang sering dilupakan orang, termasuk
para ulama- ialah melepaskan manusia dari penderitaan , melepaskan manusia dari
kemiskinan atau bahasa al-Qur’an, melepaskan manusia dari belenggu yang
mendidih kuduk mereka (jalaludin 1991: 64).
Dalam rangka mengentaskan
E. Membangun kesejahteraan umat perspektif al-qur’an
A. Membangun etos kerja yang tinggi











   








    
“ Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orangorang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”

8

Imam Ali as-Shabuni menafsikan ayat ini dengan ‫“ اي اعملوا ما شءتم‬berkaryalah
kamu sesuai dengan skill dan profesi masing-masing.”

Kalimat" ‫”اعملوا‬

merupakan sigat amar. Sebagaimana kaidah dalam ushul fiqh ‫الصل فيالمر للوجوب‬
“pada dasarnya perintah itu wajib”. Dengan demikian wajib hukumnya kita
berbuat kasab untuk mendapatkan rizki dan berusaha untuk terhindar dari
kemiskinan. Apa yang kita dapatkan akan sesuai dengan apa yang kita lakukan
sebagaimana menurut Ibnu Khaldun “Pendapatan yang diperoleh umat manusia
merupakan hasil dari nilai pekerjaan mereka. Berdasarkan usaha dan integritasnya
hasil yang didapat oleh manusia” (Ibn Khaldun 2001:701).
Menurut Quraish Syihab ayat ini menjelaskan secara eksplisit tiga perintah kepada
kita semuayaitu harus memiliki mental yang kuat seperti baja, tidak mudah
menyerah dalam berusaha, kedua harus bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya,
ketiga kewajiban berdo’a memasrahakan apa yang telah kita ushakan kepada
Allah.
Sebenarnya jika bangsa ini memiliki etos kerja yang tinggi tidak akan ada yang
kelaparan dan menjadi miskin
Islam tidak mengajarkan kemalasan, islam tidak mengajarkan untuk rajin
beribadah tetapi lupa bekerja, tetapi islam mengajarakan agar kita memiliki
mental yang kuat, disiplin yang tinggi, setelah beribadah diperintahkan untuk rajin
berusaha. Firman Allah suart al-Jumu’ah ayat 10:

    


















 
“ Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

9

Khalid ‘Abdurrahman al-‘Aki dalam showal al-bayan limani al-Qur’an menjelaskan : ‫قضيت‬

‫اي اذا‬

‫“ الصلة تفروا للتصرف في حواءجكم‬jika kamu telah menunaikan shalat maka berpencarlah untuk
bekerja memnuhi kebutuhan mu”.
Janji Allah ketika etos kerja tinggi dan beramal shaleh surat an-Nahl ayat 97:

      














    
97. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan
beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan
Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.

B. Pemerataan pendidikan
Sosiologi of education or education of sosiologi, bahwa pendidikan itu akan
menyelsaikan permasalahan sosial termasuk masalah kemiskinan (mahmud).

    








     
    








     
  
11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan
apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

10

Hadis Rasulullah : Barang siapa yang ingin mendapatkan kebaikan di dunia maka tuntutlah ilmu,
dan barang siapa yang ingin mendapatkan kebaikan di akhirat maka tuntul=tlah ilmu, dan barang
siapa yang ingin mendapatkan kebahagiaan kedua-duanya, maka tuntutlah ilmu (HR. Muslim).

C. Pemberdayaan zakat
Sejak 14 abad yang silam Islam telah menwarkan konsep tentang prinsip
keseimbangan dalam mendistribusikan harta, agar harta tidak hanya bergulir pada
orang-orang kaya tapi mengalir pada kaum dhu’afa. Prinsip ini diaplikasikan
dalam ibadah zakat sebagaimana firman Allah (Q.S. at-Taubah: 103)

    
     
      

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Jika kita kaji sababun nuzul ayat ini, menurut Imam as-Suyuti dalam “Lubabnun
nuqul fi asbabin nuzul” Bahwa ayat ini turun berkenaan dengan permintaan Abi
Lubabah kepad Rasul. Dia berkata “ ya Rasul, harta kami banyak, ambillah dan
shadaqahkanlah atas namakuserta mintakan amupnan bagi kami”. Rasul
menjawab “maaf ya lubabah, saya tidak diperintahkan oleh Allah untuk
mengambil harta siapapun”. Tatakala itu turun lah ayat ini emerintahkann kepada
Rasul untuk mengambil harta lubabah sebagai zakat. Ditafsirkan oleh Imam Ali
Ashabuni dalam Shafwatut Tafasir ‫اي خذ يا محمد من هؤلء اللذين اعترفوا بذنوبهم صدقة‬
“Ambillah zakat dari harta mereka yang berbuat dosa”.
Banyak hikmah yang dapat dipetik dari mengeluarkan zakat, setidaknya ada tiga
hikmah diwajibkannya zakat. Pertama ‫ ”"تطهرهم‬untuk membersihkan harata dari
hak-hak orang lain, hak-hak faqir miskin. Kedua ‫ تزكيهم‬untuk menyucikan jiwa
dari berbagai penyakit tercela. Ketiga ‫سكن لهم‬, untuk menimbulkan ketenganan
dalam kehidupan. Sebagai jawaban dari adanya keresahan sosial (Amirullah 2007:

11

177). Dengan demikian jika orang sudah mengeluarkan zakat maka akan lahir
ketengan sosial. Yang kaya mengasihi yang miskin melindungi.
Potensi zakat yang begitu besarnya jika dikelola dengan manajemen yang baik
tentu akan menciptakan kesejahteraan umat khususnya umat islam. Tidak ada kata
orang muslim yang kelaparan. Pengelolaan zakat yang baik yaitu penyaluran zakat
sesuai dengan aturan/ standar opersional prosedur dalam al-Qur’an Surat attaubah ayat 60:















   










       
 
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Jika kita kaji ayat di atas dari segi semantik ayat ini diawali dengan kata “
‫ ”انما‬dalam ilmu balagah ayat ini disebut dengan ‫ ادة للقصر‬yang berfungsi untuk
menspesifikan (ak-Khadari jauhar maknun). Imam at-thabari menafsirkan ayat ini
‫“ ل تنال الصدقات ال للفقراء ومن سماهم الله جل ثناءه‬tidaklah berhak atas harta zakat itu
kecuali para fakir, para miskin dan orang-orang yang disebutkan Allah dalam ayat
tadi”.
Pada akhirnya melalui zakat ini kemiskinan akan dapat dikurangi bahkan
diberantas. Ada tiga hal untuk mengoptimalkan Zakat, menurut Didin Hafifuddin
sebagaimana dikuti yaitu harus memasyarakatkan gerakan sadar zakat,
mengoptimalkan lembaga zakat yang profesional, memberdayakan harta zakat
untuk mensejahterkan umat.

12

Tugas siapakah membangun kesejahteraan? Pendapatan yang diperoleh umat
manusia merupakan hasil dari nilai pekerjaan mereka. Berdasarkan usaha dan
integritasnya hasil yang didapat oleh manusia (Ibn Khaldun 2001:701)
Nabi Muhammad bersabda :”serahkan sedekahmu sebelum datang suatu masa
ketika engkau berkeliling menawarkan sedekah mu. Orang-orang miskin akan
berkata :’hari ini kami tidak perlu bantuanmu. Yang kami perlukan darah mu’.”
F. Penutup
Daftar pustaka
Ibnu khaldun. Mukaddimah ibnu khaldun, terjemahan. Beirut: dar al-Kitab
al”arabi.

13