al 2010, Almounsor 2010, Ziramba 2008 dan Ratnasiri 2006 hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat inflasi banyak dipengaruhi oleh money supply, nilai tukar, inflasi luar negeri,
ekspor, dan PDB riil baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Tingkat inflasi juga dipengaruhi oleh konsumsi atau permintaan domestik dalam jangka panjang dan dalam jangka
pendek inflasi dipengaruhi oleh output gap.
Mengingat belum optimalnya pelaksanaan kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi, maka untuk merumuskan sebuah kebijakan yang kredibel perlu dilakukan pengidentifikasian
sumber pemicu serta pemahaman mengenai karakteristik inflasi di Indonesia. Gali 2002 menganalogikan bahwa dalam melakukan kebijakan inflation targeting sama halnya dengan
melakukan sebuah pelayaran, di mana inflasi yang ditargetkan merupakan tujuan dari pelayaran tersebut. Aturan kebijakan merupakan cara untuk mencapai tujuan. Dan untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan kemampuan dalam menganalisis dari manakah sebuah serangan akan datang, kemungkinan pergerakan arah angin, dan bagaimana menjaga keseimbangan layar. Sama halnya
dengan melaksanakan kebijakan stabilitas inflasi. Dengan melakukan pemahaman karakter dan sumber inflasi, maka diharapkan perumusan strategi kebijakan moneter dapat ditentukan sehingga
pelaksanaannya dapat dilakukan secara tepat dan efektif dalam mencapai tujuan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dan beberapa permasalahan yang melatarbelakangi pelaksanaan
penelitian ini, maka rumusan masalah yang ingin diungkap adalah determinan apa sajakah yang mempengaruhi tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang?
B. KAJIAN PUSTAKA
Karena pergerakan inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh variabel moneter, namun juga dipengaruhi oleh variabel riil, maka inflasi diamati sebagai fenomena yang dihasilkan oleh adanya
ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran agregat. Atas dasar pemikiran tersebut, pembagian inflasi berdasarkan determinannya, yaitu:
Demand Pull Inflation
Demand pull inflation terjadi karena kuat dan pesatnya peningkatan aggregate demand masyarakat sehingga melebihi kapasitas penawaran agregat yang diproduksi. Jumlah produksi
tidak dapat ditingkatkan dalam waktu yang relatif singkat karena terbatasnya investasi modal dan teknologi dalam jangka pendek, sehingga kapasitas produksi tidak mampu mengimbangi besarnya
peningkatan permintaan masyarakat Nanga, 2005. Akibatnya, terjadi persaingan antarpelaku ekonomi untuk merebutkan keterbatasan output tersebut sehingga mendorong kenaikan harga
secara umum dan terciptalah inflasi.
Samuelson dan Nordhaus 2004 mengungkapkan bahwa salah satu faktor penting terjadinya inflasi ini karena disebabkan oleh pertumbuhan volume jumlah uang beredar yang cepat. Ketika
pendapatan masyarakat meningkat dan diikuti oleh kenaikan permintaan agregat, namun tidak diimbangi dengan peningkatan output yang diproduksi, maka harga-harga umum akan naik.
Kebijakan moneter memiliki peran penting melalui pengaruhnya terhadap konsumsi, produksi dan investasi. Faktor lain yang mempengaruhi inflasi jenis ini adalah perubahan yang bersifat shock
dari kebijakan fiskal, permintaan luar negeri, perubahan perilaku konsumen dan produsen, serta efisiensi dan produktivitas perekonomian.
Thanh 2008 menjelaskan bahwa ketika pertumbuhan permintaan agregat dalam perekonomian melebihi penawaran agregatnya, maka harga akan cenderung naik dan dapat
memicu inflasi. Permintaan agregat terdiri dari seluruh pengeluaran dalam perekonomian seperti: AD = C + I + G X - M
di mana C adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga, I adalah pengeluaran investasi, G adalah pengeluaran pemerintah, serta X dan M merefleksikan pengeluaran untuk ekspor dan impor.
Meningkatnya permintaan agregat disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berpengaruh secara langsung ataupun tidak. Secara umum, pertumbuhan ekonomi yang semakin baik mencerminkan
semakin meningkatnya pendapatan nasional. Meningkatnya pendapatan mendorong peningkatan pengeluaran yang dilakukan masyarakat sehingga meningkatkan permintaan agregat. Permintaan
yang tumbuh pesat melebihi output potensialnya akan menjadi permintaan yang inflasioner.
Cost Push Inflation
Cost push inflation merupakan inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan biaya input produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas dan efisiensinya, sehingga
perusahaan menyesuaikan supply barang atau merubah harga jual produksinya Nanga, 2005. Inflasi penawaran juga mencakup supply shocks inflation yang dapat memicu kenaikan harga pada
penawaran barang Samuelson dan Nordhaus, 2004. Faktor kejutan shock yang termasuk dalam inflasi ini adalah pada saat terjadi kenaikan harga komoditas internasional termasuk harga minyak
mentah dunia, kenaikan harga domestik melalui kontrol pemerintah, kenaikan harga bahan makanan karena shock produksi yang disebabkan gangguan iklim dan cuaca, atau kenaikan harga
barang impor karena adanya depresiasi nilai tukar.
Kajian teoritis yang menjelaskan tentang fenomena inflasi selalu berubah dan berkembang sesuai dengan pemikiran-pemikiran para ekonom yang membuat landasan teori berdasarkan
pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. Beberapa teori inflasi yang masih diperdebatkan antara lain:
Teori Moneteris
Teori Moneteris merupakan penyempurnaan dari teori kuantitas yang diusung oleh ekonom klasik. Teori ini menekankan pada pentingnya peranan uang dan ekspektasi masyarakat terhadap
kenaikan harga yang dapat memicu tekanan inflasi. Dasar pemikiran yang terkandung dalam teori ini adalah inflasi akan terjadi apabila terjadi penambahan volume uang beredar yang melebihi
kapasitas dan pergerakan inflasi yang ditentukan oleh ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga di masa yang akan datang.
Dengan demikian, dalam teori kuantitas, faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan harga yang terjadi di dalam perekonomian adalah jumlah uang yang beredar di masyarakat. Fisher
dalam Mankiw 2003 menggambarkan hubungan tersebut melalui persamaan kuantitas berikut: M x V = P x Y
di mana M adalah jumlah uang beredar JUB, V adalah kecepatan perputaran uang, P adalah tingkat harga umum, dan Y adalah output. Dalam persamaan tersebut, P proporsional dengan M
dan Y. Karena perubahan pada V dianggap konstan, maka peningkatan JUB akan berdampak pada kenaikan tingkat harga. Moneteris menyatakan bahwa bank sentral memiliki kendali tertinggi atas
inflasi. Jika bank sentral mengontrol pertumbuhan JUB tetap stabil, maka tingkat harga juga akan stabil. Namun jika bank sentral menambah volume JUB dengan cepat, maka tingkat harga akan
meningkat dengan cepat pula sehingga mendorong kenaikan inflasi Nanga, 2005. Jadi, klasik dan moneteris memandang bahwa inflasi adalah fenomena moneter.
Dalam jangka panjang tingkat pertumbuhan uang secara terus-menerus, ketika semua penyesuaian dilakukan, akan menyebabkan kenaikan yang sama pada tingkat inflasi. Tingkat
inflasi sama dengan tingkat pertumbuhan yang disesuaikan dengan trend pertumbuhan pendapatan riil. Adanya gangguan-gangguan selain dari shock pertumbuhan uang misal gejolak penawaran
turut mempengaruhi inflasi dan dalam jangka panjang uang memiliki dampak riil Thanh, 2008. Teori Keynes
Dasar pemikiran teori Keynes menekankan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif terhadap
barang-barang permintaan agregat melebihi jumlah barang-barang yang tersedia penawaran agregat. Excess demand ini menyebabkan munculnya inflationary gap. Keterbatasan penawaran
agregat terjadi karena output tidak dapat ditingkatkan dalam waktu yang relatif singkat untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat.
Dalam teori ini, pergerakan inflasi cenderung meningkat dalam jangka pendek karena perubahan output relatif tetap dalam jangka pendek. Keynes mengungkapkan bahwa JUB
bukanlah satu-satunya determinan tingkat harga. Dalam jangka pendek, tingkat harga juga dipengaruhi oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran investasi, pengeluaran
pemerintah, dan pajak Nanga, 2005. Atas dasar uraian tersebut, pandangan Keynes lebih banyak digunakan untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek
Mengacu pada teori kuantitas, Keynes menyatakan bahwa perputaran uang V tidak konstan dan berubah-ubah. Apabila masyarakat lebih banyak memegang uang JUB meningkat, maka
masyarakat cenderung untuk meningkatkan transaksinya dan menuntut penawaran output yang lebih besar. Namun karena keterbatasan output dalam jangka pendek, maka kenaikan permintaan
hanya akan memicu kenaikan harga. Dengan kata lain, penambahan JUB dalam perekonomian dapat meningkatkan inflasi Nanga, 2005.
Teori Struktural
Teori yang banyak diadopsi oleh negara berkembang ini menjelaskan bahwa inflasi bukan hanya fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural. Hal ini disebabkan karena
perekonomian negara berkembang pada umumnya masih rentan terhadap shock internal dan shock eksternal yang menyebabkan fluktuasi pembentukan harga di pasar domestik. Jadi, menurut kaum
strukturalis, inflasi merupakan sesuatu yang melekat di dalam proses pembangunan ekonomi dan tidak dapat dihindari oleh perekonomian negara berkembang Nanga, 2005.
Dasar pemikiran model ini adalah kenaikan tingkat harga yang ditransmisikan melalui supply side atau produksi. Penyebab lain terjadinya inflasi di negara berkembang adalah akibat dari inflasi
luar negeri imported inflation. Jika kontribusi impor terhadap pembentukan output domestik sangat besar, maka kenaikan harga barang impor akan menyebabkan tekanan inflasi domestik yang
cukup besar Gali, 2002. Rendahnya nilai tukar negara berkembang juga mempengaruhi pergerakan inflasi domestik. Kecenderungan nilai tukar mata uang negara berkembang untuk
terdepresiasi menyebabkan kenaikan harga barang impor dan semakin menekan biaya produksi sehingga meningkatkan harga barang secara umum dalam pasar domestik.
Keterkaitan Inflasi dengan Variabel Makro
Inflasi secara umum menggambarkan proses kenaikan harga yang ditentukan oleh determinannya, baik dalam jangka panjang dan maupun jangka pendek. Otoritas moneter
berkoordinasi dengan pemerintah melaksanakan kebijakan moneter yang disinergikan dengan kebijakan makro lain dan bertujuan untuk mengendalikan pergerakan inflasi. Stabilitas inflasi
dapat terganggu apabila terjadi perubahan pada variabel-variabel ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga secara umum. Beberapa veriabel makro yang dapat diidentifikasi hubungannya
dengan inflasi dapat dijelaskan sebagi berikut: Keterkaitan Tingkat Suku Bunga dengan Inflasi
Suku bunga juga merupakan harga opportunity cost yang harus dibayarkan atas uang yang dipegang dalam kurun waktu tertentu. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu dalam
membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk aset finansial. Suku bunga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1 Suku bunga nominal, yaitu rate yang dapat
diamati oleh pasar. 2 Suku bunga riil, yaitu konsep yang mengukur tingkat bunga sesungguhnya, setelah suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi yang diharapkan.
Hubungan antara tingkat suku bunga dengan tingkat inflasi dijelaskan oleh Fisher dalam Mankiw, 2003 melalui persamaan:
i = r +
di mana i adalah suku bunga nominal, r adalah suku bunga riil, dan adalah tingkat inflasi. Dalam
persamaan tersebut, suku bunga nominal memiliki hubungan positif dan searah dengan inflasi. Ketika tingkat inflasi tinggi, otoritas moneter menaikkan suku bunga nominal jangka
pendeknya dengan tujuan mengurangi jumlah uang yang beredar dalam perekonomian sehingga dapat menurunkan inflasi. Apabila kebijakan disinflasi yang dilaksanakan oleh otoritas moneter
dapat berjalan secara konsisten, maka dampak kenaikan suku bunga terhadap penurunan likuiditas pada sektor riil akan direduksi dengan menurunnya harga-harga barang konsumsi. Namun dalam
praktiknya, suku bunga nominal jangka pendek diatur untuk mengarahkan pergerakan suku bunga perbankan. Apabila kenaikan suku bunga nominal direspon oleh suku bunga tabungan dan kredit
pada bank umum suku bunga kredit meningkat di atas tingkat suku bunga BI rate, peningkatan suku bunga tersebut dapat menurunkan investasi di sektor riil sehingga berdampak pada penurunan
output. Penurunan output merupakan dampak dari kenaikan biaya produksi karena tingginya suku bunga yang berlaku, sehingga dapat memicu kenaikan harga dan semakin menekan inflasi.
Keterkaitan Jumlah Uang Beredar dengan Inflasi Berdasarkan teori kuantitas, fluktuasi yang terjadi pada harga disebabkan oleh naik turunnya
volume uang yang beredar JUB dalam perekonomian. Irving Fisher menyatakan bahwa, “pada
hakikatnya perubahan dalam jumlah uang beredar akan menimbulkan perubahan yang sama cepatnya atas harga”, yang berarti peningkatan persentase jumlah uang beredar akan sama dengan
peningkatan persentase tingkat inflasi Mankiw, 2003. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah uang beredar memiliki pengaruh positif terhadap inflasi. Peningkatan jumlah uang beredar yang
berlebihan dapat mendorong peningkatan harga melebihi tingkat harga yang dapat diprediksikan oleh perekonomian, dan dalam jangka panjang hal tersebut dapat berpotensi menganggu
pertumbuhan ekonomi karena tingginya laju inflasi. Keterkaitan Nilai Tukar dengan Inflasi
Nilai tukar didefinisikan sebagai harga relatif dari mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar mempengaruhi net expor dan menjelaskan bagaimana perubahan
harga luar negeri berdampak pada harga domestik Gali, 2002. Hubungan nilai tukar terhadap perubahan tingkat harga dapat dijelaskan oleh persamaan berikut Mankiw, 2003:
Kurs Nominal = Kurs Riil x Rasio Tingkat Harga e = E x PP
di mana P adalah tingkat harga domestik dan P adalah tingkat harga luar negeri. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa nilai tukar nominal e memiliki hubungan positif dengan tingkat
harga domestik P. Depresiasi atau kenaikan nominal nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang negara lain
akan meningkatkan harga barang impor karena melemahnya nilai tukar mata uang suatu negara. Jika kontribusi impor memiliki peranan penting terhadap perekonomian, khususnya terhadap
proses produksi, maka depresiai nilai tukar mata uang dapat meningkatkan biaya produksi sehingga menyebabkan kenaikan tingkat harga domestik dan memicu kenaikan inflasi.
Keterkaitan Konsumsi Rumah Tangga dengan Inflasi
Di dalam model Keynes, faktor yang menentukan pembentukan tingkat harga tidak hanya berasal dari pertumuhan uang saja. Keynes membuat fungsi konsumsi sebagai pusat teori fluktuasi
ekonominya Mankiw, 2003. Keinginan untuk melakukan konsumsi menimbulkan permintaan atas barang dan jasa yang diproduksi. Mengingat peran konsumsi sangat penting dalam
menggerakkan roda perekonomian Indonesia, maka fluktuasi dalam konsumsi dapat memberikan guncangan dalam perekonomian.
Keputusan konsumsi sangat penting untuk analisis jangka panjang dan jangka pendek karena perannya dalam menentukan permintaan agregat. Persamaan permintaan agregat diturunkan dari
teori kuantitas. Dalam jangka pendek, peningkatan konsumsi permintaan agregat akan menentukan nilai nominal output yang merupakan produk dari tingkat harga dan jumlah output
yang diminta, dan tidak akan menaikkan tingkat harga karena perusahaan cenderung untuk menyesuaikan outputnya dari pada merubah harga produknya pandangan Keynesian. Sementara
dalam jangka panjang, kenaikan permintaan akan meningkatkan output dan tingkat harga karena kecenderungan perusahaan untuk berekspansi ke depan pandangan moneteris.
C. METODE PENELITIAN