hakikatnya perubahan dalam jumlah uang beredar akan menimbulkan perubahan yang sama cepatnya atas harga”, yang berarti peningkatan persentase jumlah uang beredar akan sama dengan
peningkatan persentase tingkat inflasi Mankiw, 2003. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah uang beredar memiliki pengaruh positif terhadap inflasi. Peningkatan jumlah uang beredar yang
berlebihan dapat mendorong peningkatan harga melebihi tingkat harga yang dapat diprediksikan oleh perekonomian, dan dalam jangka panjang hal tersebut dapat berpotensi menganggu
pertumbuhan ekonomi karena tingginya laju inflasi. Keterkaitan Nilai Tukar dengan Inflasi
Nilai tukar didefinisikan sebagai harga relatif dari mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar mempengaruhi net expor dan menjelaskan bagaimana perubahan
harga luar negeri berdampak pada harga domestik Gali, 2002. Hubungan nilai tukar terhadap perubahan tingkat harga dapat dijelaskan oleh persamaan berikut Mankiw, 2003:
Kurs Nominal = Kurs Riil x Rasio Tingkat Harga e = E x PP
di mana P adalah tingkat harga domestik dan P adalah tingkat harga luar negeri. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa nilai tukar nominal e memiliki hubungan positif dengan tingkat
harga domestik P. Depresiasi atau kenaikan nominal nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang negara lain
akan meningkatkan harga barang impor karena melemahnya nilai tukar mata uang suatu negara. Jika kontribusi impor memiliki peranan penting terhadap perekonomian, khususnya terhadap
proses produksi, maka depresiai nilai tukar mata uang dapat meningkatkan biaya produksi sehingga menyebabkan kenaikan tingkat harga domestik dan memicu kenaikan inflasi.
Keterkaitan Konsumsi Rumah Tangga dengan Inflasi
Di dalam model Keynes, faktor yang menentukan pembentukan tingkat harga tidak hanya berasal dari pertumuhan uang saja. Keynes membuat fungsi konsumsi sebagai pusat teori fluktuasi
ekonominya Mankiw, 2003. Keinginan untuk melakukan konsumsi menimbulkan permintaan atas barang dan jasa yang diproduksi. Mengingat peran konsumsi sangat penting dalam
menggerakkan roda perekonomian Indonesia, maka fluktuasi dalam konsumsi dapat memberikan guncangan dalam perekonomian.
Keputusan konsumsi sangat penting untuk analisis jangka panjang dan jangka pendek karena perannya dalam menentukan permintaan agregat. Persamaan permintaan agregat diturunkan dari
teori kuantitas. Dalam jangka pendek, peningkatan konsumsi permintaan agregat akan menentukan nilai nominal output yang merupakan produk dari tingkat harga dan jumlah output
yang diminta, dan tidak akan menaikkan tingkat harga karena perusahaan cenderung untuk menyesuaikan outputnya dari pada merubah harga produknya pandangan Keynesian. Sementara
dalam jangka panjang, kenaikan permintaan akan meningkatkan output dan tingkat harga karena kecenderungan perusahaan untuk berekspansi ke depan pandangan moneteris.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan menggunakan data sekunder berbentuk time series dari tahun 2002- 2011. Data diperoleh dari dari website, jurnal atau dari laporan-laporan penelitian terdahulu. Data
sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari lembaga atau instansi yang terkait dalam penelitian ini, antara lain Bank Indonesia dan Bank Dunia.
Analisis data dilakukan dengan Metode VECM sebagai alat ekonometrika perhitungannya serta di gunakan juga metode analisis deskriptif bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan jangka
panjang dan jangka pendek yang terjadi karena adanya kointegrasi diantara variabel penelitian. Sebelum melakukan estimasi VECM dan analisis deskriptif, harus dilakukan beberapa tahapan
seperti uji stasionesritas data, menentukan panjang lag dan uji derajat kointegrasi. Setelah data diestimasi menggunakan VECM, analisis dapat dilakukan dengan metode IRF dan variance
decomposition.
Adapun bentuk persamaan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dirumuskan:
Untuk jangka pendek:
Sedangkan untuk jangka panjang, persamaan yang digunakan adalah dalam bentuk jangka panjang sebagai berikut:
loginf
t
= α
+ α
1
logbir
t
+ α
2
logm2
t
+ α
3
loger
t
+ α
4
logcrt
t
+ u
t
Di mana, inf = inflasi
α
1
, α
2
, α
3
, α
4
= koefisien variabel bir = BI rate
α = konstanta
m2 = jumlah uang beredar u
t
= variabel error er = nilai tukar IDRUSD
= koefisien kecepatan penyesuaian crt = konsumsi rumah tangga
j = panjang lag dalam model = 0,1,2,...,k t = periode ke-t
ec
t-1
= error correction term
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam rangka untuk mendeskripsikan obyek penelitian secara lebih mendalam, maka di bawah ini akan dijelaskan gambaran secara umum mengenai perkembangan inflasi di Indonesia
beserta determinannya. Perkembangan Inflasi di Indonesia
Bagi sebagian besar negara berkembang, fenomena inflasi masih menjadi salah satu ancaman yang meresahkan para pelaku ekonomi. Kecenderungan dari kenaikan harga-harga secara umum
yang berdampak pada stabilitas ekonomi mencerminkan tingkat inflasi yang terjadi di suatu negara. Dalam penelitian ini, indeks harga konsumen IHK merupakan indikator yang digunakan
untuk menggambarkan pergerakan harga tersebut. Inflasi IHK merepresentasikan konsumsi atas barang dan jasa yang diminta masyarakat secara keseluruhan dalam membentuk harga. Berikut
perkembangan tingkat inflasi yang terjadi di Indonesia selama periode 2002:Q1-2011:Q4 digambarkan pada Grafik 4.1.
Grafik 4.1: Tingkat Inflasi Indonesia Tahun 2002-2011
Sumber : Bank Indonesia diolah
Selama periode penelitian, pergerakan laju inflasi IHK cukup stabil berada pada kisaran satu digit angka dan pencapaiannya berada di bawah tingkat 5, kecuali fluktuasi tajam yang terjadi
pada tahun 2005-2006 serta tahun 2008 yang merupakan dampak dari kenaikan harga minyak dunia dan krisis keuangan global sehingga berpengaruh terhadap lonjakan harga domestik.
Pergerakan inflasi tidak terlepas dari perkembangan beberapa variabel ekonomi lain seperti nilai tukar, permintaan masyarakat akan barang dan jasa pada periode tertentu, ketersediaan pasokan
bahan makanan, serta pergerakan harga-harga barang yang dikendalikan oleh pemerintah administered price. Dari aspek moneter perkembangan tersebut juga tidak terlepas dari dinamika
tingkat suku bunga dan pertumbuhan jumlah uang yang diedarkan kepada masyarakat. Secara keseluruhan, pergerakan inflasi di Indonesia selama periode penelitian memiliki trend yang
menurun. Hal ini terkait dengan pelaksanaan kebijakan stabitas nilai rupiah yang penerapannya ditujukan untuk menjaga kestabilan tingkat inflasi. Penurunan trend inflasi mengindikasikan
bahwa penerapan kebijakan inflation targeting cukup memberikan hasil yang memuaskan. Adapun fluktuasi tajam yang terjadi pada dua periode di dalam penelitian merupakan dampak dari adanya
guncangan dari sisi eksternal yang tidak dapat diantisipasi oleh otoritas moneter dan pemerintah.
Perkembangan Suku Bunga BI Rate
Dalam pelaksanaan stratregi kebijakan penargetan inflasi, kebijakan moneter dilaksanakan melalui pendekatan berdasarkan harga besaran moneter dengan menggunakan suku bunga sebagai
sasaran operasionalnya. Menurut Arintoko 2008, sesuai dengan amanat Undang-undang No. 23 Tahun 1999 maka Bank Indonesia mewacanakan penggunaan suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia SBI sebagai sasaran operasional kebijakan moneter guna meningkatkan efektivitas kebijakan moneter. Dalam perkembangannya, suku bunga SBI diubah menjadi suku bunga BI rate
yang merupakan suku bunga acuan bagi penetapan suku bunga tabungan dan suku bunga kredit. Mulai Juli 2005, suku bunga BI rate diresmikan sebagai sinyal respon dan sasaran operasional
kebijakan moneter.
Grafik 4.2: Suku Bunga BI Rate Tahun 2002-2011
Sumber : Bank Indonesia diolah
Perkembangan pergerakan suku bunga BI rate digambarkan pada Grafik 4.2 di atas. Jika dilihat dari pergerakannya, suku bunga BI rate memiliki arah pergerakan trend yang hampir sama
dengan pergerakan inflasi. Di mana pada saat suku bunga memiliki fluktuasi yang tinggi, fluktuasi inflasi juga meningkat. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa perkembangan tingkat suku
bunga memiliki hubungan yang positif dan searah terhadap tingkat inflasi. Rendahnya sensitivitas suku bunga terhadap inflasi disebabkan adanya perilaku inflasi yang cenderung persisten.
Perkembangan Jumlah Uang Beredar M2
Variabel M2 merupakan variabel yang menggambarkan likuiditas perekonomian. Perkembangan jumlah uang beredar di Indonesia diukur dengan uang dalam arti luas M2. Jumlah
uang beredar memiliki karakteristik selalu berfluktuasi mengikuti pergerakan pasar. Dalam jangka panjang pertumbuhan M2 memiliki sifat inflasioner dan tidak stabil. Dalam Grafik 4.3 dapat
dilihat bahwa pergerakan M2 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, sedikit berbeda dengan pergerakan inflasi yang memiliki fluktuasi dalam range yang lebih sempit. Perkembangan
jumlah uang beredar selama periode penelitian dapat dilihat pada Grafik 4.3. berikut:
Grafik 4.3: Jumlah Uang Beredar M2 Tahun 2002-2011
Sumber : Bank Indonesia diolah
Grafik 4.3 menjelaskan bahwa jumlah uang beredar yang tercermin pada M2 mengalami perubahan dengan pola dinamis selama periode penelitian. Pertumbuhan M2 memiliki
kecenderungan trend yang meningkat relatif tinggi sejak periode 2002-2011. Dalam perkembangannya, dapat ditunjukkan bahwa peningkatan pesat untuk pertumbuhan M2 terjadi
pada tahun-tahun ketika terjadi gejolak ekonomi, seperti pada tahun 2005 dan 2008. Tingkat pertumbuhan M2 memiliki volatilitas yang cukup tinggi. Namun demikian, total pertumbuhan M2
selama periode penelitian adalah sebesar 230,51 di mana pada awal periode 2002 jumlah uang yang diedarkan adalah Rp 853.531 miliar dan meningkat menjadi Rp2.761.515 miliar.
Menurut laporan Bank Indonesia, meningkatnya pertumbuhan M2 pada akhir periode didukung oleh tingginya pertumbuhan aktiva luar negeri bersih atau net foreign assets NFA yang
sebagian besar berupa uang kuasi pada sektor perbankan. Selain itu, peningkatan NFA pada tahun 2011 juga perupakan dampak dari adanya pertumbuhan kredit yang akseleratif dan turut
memberikan kontribusi pada pertumbuhan M2. Faktor domestik dalam bentuk kredit pada sektor riil mendominasi kinerja likuiditas perekonomian. Selain faktor internal, peningkatan M2 juga
dipengaruhi oleh adanya faktor eksternal yang tercermin pada perkembangan NFA yang meningkat. Peningkatan tersebut terjadi pada NFA Bank Indonesia sejalan dengan meningkatnya
cadangan devisa yang bersumber dari penerimaan hasil migas akibat tingginya harga minyak dunia, khususnya pada beberapa waktu terakhir.
Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS
Secara historis, perubahan kebijakan moneter dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar. Abdullah 2003 menyatakan bahwa, “tantangan utama yang dihadapi oleh kebijakan moneter
Indonesia adalah bagaimana mempertahankan kestabilan nilai rupiah dalam perekonomian terbuka, di mana pass-through effect nilai tukar signifikan mempengaruhi inflasi. Pass-through
nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia diperkirakan sebesar 0,2 yang artinya setiap nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 1 akan menyebabkan kenaikan harga sebesar 0,2”.
Pergerakan nilai tukar rupiah pada awal periode analisis yaitu tahun 2002 hingga tahun 2008 kuartal III cenderung stabil dengan range perubahan antara Rp 9.000,00 – Rp 10.000,00 setiap
dolarnya. Apabila dibandingkan dengan pergerakan inflasi pada periode yang sama, pada periode 2005-2006 terjadi fluktuasi yang tajam pada laju inflasi. Selama periode tersebut, nilai tukar rupiah
terdepresiasi hingga mencapai Rp 9.999,60 per dolar pada tahun 2005 kuartal IV. Meskipun arah pergerakan yang sama terjadi pada kenaikan nilai tukar dan meningkatnya laju inflasi, namun
shock yang mendominasi peningkatan laju inflasi sebagian besar adalah disebabkan oleh meningkatnya harga-harga domestik akibat kenaikan harga minyak dunia.
Dalam Grafik 4.4 berikut dapat diamati bahwa selama periode penelitian nilai tukar rupiah mengalami pergerakan yang cukup berfluktuatif. Terlihat pada grafik bahwa depresiasi-depresiasi
yang terjadi pada nilai tukar rupiah terjadi dalam periode yang lebih lama dibandingkan fluktuasi yang terjadi pada inflasi, di mana trendnya langsung mengalami penurunan pada periode
berikutnya.
Grafik 4.4: Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Tahun 2002-2011
Sumber : Bank Dunia diolah
Depresiasi nilai tukar rupiah tertinggi selama periode penelitian terjadi pada tahun 2009 kuartal I yang mencapai level Rp 11.630,77 untuk setiap dolarnya. Sedangkan apresiasi nilai tukar
rupiah tertinggi mencapai Rp 8.441,27 per dolar pada 2003:Q3 dan depresiasi nilai tukar rupiah terendah mencapai Rp 11.630,77 per dolar pada 2009:Q1. Rupiah terdepresiasi selama tahun 2009
akibat adanya krisis keuangan global dan kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2008 yang berimbas pada kenaikan harga domestik dan berdampak pada menurunnya harga rupiah terhadap
dolar AS. Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Besarnya pendapatan nasional yang ditopang oleh sektor konsumsi, terutama konsumsi rumah tangga,
menyebabkan komponen yang membentuk agregat demand ini perlu diamati pola pergerakannya, mengingat permintaan agregat merupakan salah satu faktor pemicu inflasi. Perkembangan
konsumsi rumah tangga di Indonesia dapat diamati pada Grafik 4.5 berikut:
Grafik 4.5: Konsumsi Rumah Tangga Tahun 2002-2011
Sumber : Bank Indonesia diolah
Dapat diamati bahwa trend pertumbuhan konsumsi selalu meningkat dan rata-rata pertumbuhan konsumsi berada pada level 4,5 selama periode penelitian. Pergerakan konsumsi
terlihat searah dengan pergerakan inflasi memasuki periode 2006:Q4, di mana pada periode tersebut konsumsi terus meningkat hingga akhir 2011. Bahkan pada saat terjadi shock inflasi pada
tahun 2008, pergerakan konsumsi tidak begitu terpengaruh dan tetap pada level yang cukup stabil. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat telah mengalami perbaikan pasca
penerapan ITF. Masyarakat cenderung memiliki ekspektasi forward looking atas keputusan konsumsinya. Hal ini berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena meningkatnya
sektor konsumsi. Namun jika kenaikan ini tidak diimbangi dengan terjaganya pasokan output konsumsi, maka akan menciptakan excess demand yang dapat memicu inflasi.
Hasil Estimasi dan Uji Statistik
Penelitian ini menggunakan empat variabel independen, yaitu BI rate bir, jumlah uang beredar m2, nilai tukar rupiah er dan konsumsi rumah tangga crt. Sedangkan variable
dependennya adalah tingkat inflasi inf. Data yang digunakan adalah datakuartal dalam bentuk time series 2002-2011 dan menggunakan metode VECM dengan software EViews.
Analisis Hasil Pengujian VECM
Dengan mengacu pada model penelitian, dalam melaksanakan pengujian dengan model VECM terdapat tahapan pengujain awal yang harus dilakukan. Pengujian yang harus dilakukan
adalah uji stasioneritas data, penentuan panjang lag dan uji derajat kointegrasi. Berikut penguraian dari tahapan pengujian tersebut:
1 Uji Stasioneritas Data
Data time series memiliki permasalahan yaitu autokorelasi yang menyebabkan data menjadi tidak stasioner. Hasil uji stasioneritas setiap variabel penelitian ditunjukkan Tabel 4.1 berikut:
Tabel 4.1: Hasil Uji Stasioneritas Data
Variabel Level
First Difference Second Difference
t-stat Prob t-stat Prob t-stat
Prob
inf - -
-4.868965 0.0020
-8.832361 0.0000
bir - -
-3.372200 0.0708
-4.715000 0.0029
m2 - - -
- -11.03470
0.0000 er
- - -4.960049
0.0015 -7.056499 0.0000
crt - - -
- -8.772793 0.0000
Nb : = stasioner pada level 1 = stasioner pada level 10
Sumber : Data penelitian diolah
Berdasarkan Tabel 4.1, seluruh variabel tidak stasioner pada derajat level, namun telah stasioner pada second difference dengan level 1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
seluruh variabel penelitian telah stasioner dengan melakukan diferensiasi kedua. Karena seluruh variabel stasioner pada derajat difference, maka tahap selanjutnya perlu dilakukan pendeteksian
mengenai keberadaan kointegrasi pada seluruh variabel. 2 Penentuan Lag Optimal
Penetapan lag optimal penting dilakukan karena dalam metode VAR, lag optimal dari variabel endogen merupakan variabel independen yang digunakan dalam model. Sebelum lag
optimal ditentukan perlu dilakukan uji stabilitas guna melihat kestabilan data Lampiran 1, dengan nilai modulus yang tidak lebih dari satu, maka langkah selanjutnya adalah menentukan lag
optimal menggunakan FPE, AIC, SC, dan HQ. Lag optimal yang direkomendasikan ditunjukkan oleh tanda bintang paling banyak pada Tabel 4.2:
Tabel 4.2: Hasil Pengujian Panjang Lag
Lag LogL
LR FPE
AIC SC
HQ 198.5793
NA 1.96e-11
-10.46375 -10.24605
-10.38700 1
417.2399 366.4042
5.67e-16 -20.93188 -19.62573 -20.47140
2 456.4943
55.16841 2.84e-16
-21.70239 -19.30779
-20.85818
3 478.8899
25.42202 4.03e-16 -21.56162 -18.07855 -20.33367
indicates lag order selected by the criterion LR : sequential modified LR test statistic each test at 5 level
FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion
SC : Schwarz information criterion HQ : Hannan-Quinn information criterion
Sumber : Data penelitian diolah
Dari hasil pengujian, lag order yang ditunjukkan pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa tanda bintang paling banyak terdapat pada lag 2. Hal ini mengimplikasikan bahwa respon yang
ditunjukkan oleh variabel inflasi dalam menanggapi perubahan variabel yang menjadi determinannya akan terlihat paling lama setelah 2 kuartal pasca shock terjadi.
3 Uji Kointegrasi
Sebagaimana dinyatakan oleh Engle-Granger, keberadaan variabel non-stasioner menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang diantara variabel dalam sistem
Ajija, dkk, 2011. Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui keberadaan hubungan antar variabel, khususnya dalam jangka panjang. Jika terdapat kointegrasi pada variabel-variabel yang
digunakan di dalam model, maka dapat dipastikan adanya hubungan jangka panjang diantara variabel. Tabel 4.3 menunjukkan hasil pengujian kointegrasi:
Tabel 4.3: Hasil Uji Kointegrasi Johansen
Unrestricted Cointegration Rank Test Trace Hypothesized
Trace 0.05
No. of CEs Eigenvalue
Statistic Critical Value
Prob. None
0.782164 110.2130
79.34145 0.0000
At most 1 0.465155
53.82451 55.24578
0.0664 At most 2
0.384902 30.67074
35.01090 0.1353
At most 3 0.262283
12.68971 18.39771
0.2608 At most 4
0.038028 1.434495
3.841466 0.2310
Trace test indicates 1 cointegrating eqns at the 0.05 level denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
MacKinnon-Haug-Michelis 1999 p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test Maximum Eigenvalue Hypothesized
Max-Eigen 0.05
No. of CEs Eigenvalue
Statistic Critical Value
Prob. None
0.782164 56.38845
37.16359 0.0001
At most 1 0.465155
23.15377 30.81507
0.3203 At most 2
0.384902 17.98103
24.25202 0.2709
At most 3 0.262283
11.25521 17.14769
0.2921 At most 4
0.038028 1.434495
3.841466 0.2310
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqns at the 0.05 level denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
MacKinnon-Haug-Michelis 1999 p-values
Sumber : Data penelitian diolah
Hasil uji kointegrasi menunjukkan bahwa terdapat kointegrasi diantara kelima variabel signifikan pada level 5. Hasil tersebut ditunjukkan dari nilai Trace statistik dan nilai Max-
Eigen statistik yang lebih besar dibandingkan dengan nilai kritisnya. Keberadaan kointegrasi diantara variabel menunjukkan bahwa variabel-variabel dalam model memiliki hubungan
keseimbangan dan kesamaan pergerakan dalam jangka panjang. Adanya keseimbangan dalam jangka panjang memungkinkan terjadinya ketidakseimbangan dalam jangka pendek, sehingga
metode estimasi yang digunakan adalah model Vector Error Correction Model VECM. 4 Estimasi VECM
Setelah berbagai prosedur pengujian awal telah dilakukan, maka dapat ditentukan bahwa model VECM digunakan untuk menganalisis penelitian ini. Karena data telah stasioner dan
terkointegrasi, maka dapat dipastikan bahwa terdapat hubungan jangka panjang dan pendek antarvariabel. Penggunaan estimasi VECM sesuai dengan rumusan masalah yang dipilih karena
penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan jangka panjang dan jangka pendek. Tabel 4.4 menunjukkan hasil estimasi VECM dengan menggunakan lag 2. Dari hasil yang
didapatkan, apabila nilai t-hitung nilai t-tabel, maka hubungan variabel tersebut signifikan pada level 5, t-hitung = 1,68385.
Tabel 4.4: Hasil Estimasi VECM Variabel
inf bir m2 er crt
Jangka Panjang
1000000 -10.73193
[-4.37363] -2.290480
[-2.00733] 4.913428
[ 6.05510] -4.064128
[-3.64112] Jangka Pendek
-1
- 26.78152
[ 2.56828] -
2.241919 [ 1.84693]
- -2
- 23.05004
[ 1.84594] - - -
[ ] menunjukkan t-hitung
Sumber : Data penelitian diolah
Dari hasil estimasi dapat diidentifikasi bahwa dalam jangka panjang, semua variabel berpengaruh positif + dan signifikan terhadap pembentukan inflasi di Indonesia, kecuali nilai
tukar yang memiliki pengaruh negatif -. Sedangkan dalam jangka pendek, tingkat suku bunga dan nilai tukar memiliki pengaruh positif + dan signifikan terhadap inflasi Indonesia.
5 Impulse Response Function IRF
IRF berfungsi untuk menggambarkan shock variabel satu terhadap variabel lain pada rentang periode tertentu, sehingga dapat dilihat lamanya waktu yang dibutuhkan variabel dependen dalam
merespon shock variabel independennya. IRF dalam penelitian ini digunakan untuk menunjukkan respon inflasi terhadap shock determinannya. Hasil IRF ditunjukkan pada Grafik 4.6 berikut:
Grafik 4.6: Impulse Response Inflasi terhadap Variabel Penelitian
-.2 -.1
.0 .1
.2
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Response of DLINF to DBIR
-.2 -.1
.0 .1
.2
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Response of DLINF to DLM2
-.2 -.1
.0 .1
.2
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Response of DLINF to DLER
-.2 -.1
.0 .1
.2
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Response of DLINF to DLCRT
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Sumber : Data penelitian diolah
1
Grafik 1 menunjukkan respon inflasi terhadap shock variabel tingkat suku bunga. Inflasi mulai merespon shock tersebut dengan trend yang positif + hingga memasuki periode ke-3.
Respon mulai bergerak turun pada periode ke-4 dan mulai stabil memasuki periode ke-7 hingga periode ke-10 pada kisaran angka 0,06. Respon inflasi bersifat persisten sepanjang periode.
Grafik 2 menunjukkan merespon inflasi terhadap shock variabel jumlah uang beredar M2. Adanya shock pada JUB direspon secara negatif - oleh inflasi di sepanjang periode. Fluktuasi
perubahan mulai terjadi pada periode ke-2 dan respon meningkat mejadi memasuki periode ke-6. Respon negatif - inflasi terhadap shock jumlah uang beredar M2 bersifat persisten.
1
Hasil IRF dalam bentuk tabel dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 3
1 2
3 4
Grafik 3 menunjukkan respon inflasi yang bersifat negatif - terhadap shock nilai tukar hingga periode ke-4. Respon mulai meningkat pada periode ke-5 dan kembali turun memasuki
periode ke-8. Respon inflasi bersifat persisten dengan pergerakan yang terus berada di bawah titik keseimbangannya selama periode penelitian.
Grafik 4 menunjukkan respon positif + inflasi dalam menanggapi shock konsumsi rumah tangga selama 3 periode pertama. Memasuki periode ke-4, trend inflasi mulai bergerak turun dan
bersifat negatif di sepanjang periode. 6 Variance Decomposition
Variance decomposition bertujuan untuk mengukur besarnya kontribusi atau komposisi pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya. Berdasarkan hasil
variance decomposition berikut, pembahasan hanya difokuskan pada variabel yang mempengaruhi pergerakan tingkat inflasi di Indonesia.
Grafik 4.7: Variance Decomposition Inflasi terhadap Variabel Penelitian
20 40
60 80
100
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Percent DLINF variance due to DLINF
20 40
60 80
100
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Percent DLINF variance due to DBIR
20 40
60 80
100
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Percent DLINF variance due to DLM2
20 40
60 80
100
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Percent DLINF variance due to DLER
20 40
60 80
100
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Percent DLINF variance due to DLCRT
Variance Decomposition
Sumber : Data penelitian diolah
2
Berdasarkan hasil variance decomposition yang ditunjukkan oleh Grafik 4.7 dapat diidentifikasi seberapa besar pengaruh variabel penelitian terhadap tingkat inflasi. Pada periode
pertama, variabel inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh variabel inflasi itu sendiri sebesar 100. Kontribusi variabel lain mulai berpengaruh terhadap pergerakan inflasi memasuki periode
2
Hasil variance decomposition dalam bentuk tabel dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 4
ke-2 dengan persentase untuk variabel tingkat suku bunga sebesar 7,4, konsumsi rumah tangga sebesar 1,8 dan nilai tukar sebesar 1,8. Jumlah uang beredar memiliki persentase pengaruh
paling kecil terhadap tingkat inflasi pada awal periode dan mulai menunjukkan pengaruhnya memasuki periode ke-3 sebesar 1,8.
Dalam kurun waktu 10 periode selanjutnya, kontribusi masing-masing variabel mengalami fluktuasi pengaruh terhadap laju inflasi. Pengaruh inflasi terhadap laju inflasi itu sendiri semakin
menurun hingga periode ke-10 menjadi 72,2. Variabel tingkat suku bunga cukup berperan dengan rata-rata persentase sebesar 11 hingga mencapai 10,7 pada periode ke-10. Pengaruh
jumlah uang beredar cenderung tetap memasuki periode ke-6 dan pada kuartal ke-10 mencapai 4,4. Pengaruh variabel nilai tukar mengalami peningkatan signifikan hingga mencapai 11,5
pada akhir periode. Konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh yang cenderung tetap selama 10 periode dan pada periode terakhir, konsumsi mempengaruhi inflasi sebesar 1,2.
Implikasi Hasil Penelitian
Selama satu dekade terakhir, kebijakan makro yang ditujukan pada pencapaian stabilitas inflasi belum menunjukkan hasil yang optimal. Namun setelah Indonesia menerapkan kebijakan
penargetan inflasi, dapat dilihat bahwa trend inflasi di Indonesia mengalami penurunan. Namun selama pelaksanaan kebijakan, fluktuasi inflasi dapat dikatakan masih tergolong cukup tinggi. Hal
ini disebabkan oleh sulitnya mengidentifikasi sumber gejolak yang dapat memicu kenaikan harga, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
Analisis Jangka Pendek
Adanya perubahan yang bersifat kejutan shock pada variabel ekonomi yang memiliki pengaruh terhadap pembentukan harga dapat membuat fluktuasi yang menyebabkan kenaikan
tingkat harga. Dalam penelitian ini, guncangan yang dapat mendorong kenaikan inflasi dalam jangka pendek ditentukan oleh kemampuan inflasi dalam merespon guncangan yang terjadi dan
kecepatannya untuk kembali menuju keseimbangan dari deviasinya. Karena inflasi memiliki koefisien error sebesar -0,7 maka angka tersebut menunjukkan bahwa inflasi memerlukan time lag
yang tidak terlalu lama untuk kembali menuju keseimbangannya pada saat terjadi shock.
Menurut hasil estimasi, variabel yang secara signifikan berperan dalam mempengaruhi infllasi jangka pendek adalah suku bunga BI rate yang memiliki pengaruh positif dengan lag 1
dan 2, serta variabel nilai tukar yang memiliki pengaruh positif dengan lag 1. Dengan kata lain, apabila terjadi shock pada variabel BI rate dan nilai tukar maka akan berpengaruh secara
langsung terhadap pembentukan tingkat harga dalam jangka pendek.
Sesuai dengan persamaan Fisher, otoritas moneter akan menaikkan BI rate suku bunga nominal jangka pendek pada saat tingkat inflasi tinggi, dengan tujuan untuk memperlambat
pertumbuhan uang beredar. Pengaturan suku bunga lebih banyak direspon oleh para investor dan pelaku usaha. Sebagian pelaku usaha yang bertindak sebagai price setter akan memilih untuk
meningkatkan harga jual produknya dan sebagian lagi memilih untuk mengurangi hasil produksinya. Hal tersebut dikarena kenaikan BI rate pada saatnya akan direspon oleh kenaikan
suku bunga perbankan di atas BI rate. Karena suku bunga perbankan meningkat, maka biaya produksi juga dapat meningkat.
Menurut pandangan Keynes, sebagian besar pelaku usaha tidak mampu meningkatkan kapasitas outputnya dalam waktu yang relatif singkat dan kenaikan biaya produksi dapat
meningkatkan harga jual produk. Apabila sebagian pedagang memiliki perilaku yang sama, maka kenaikan suku bunga tersebut dapat memicu kenaikan inflasi. Hasil estimasi penelitian ini
mendukung hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Hayati 2006 dan Endri 2008 yang menemukan bahwa tingkat suku bunga mempengaruhi laju inflasi dalam jangka pendek.
Dengan demikian, hipotesis dalam penelitian ini telah terbukti bahwa tingkat suku bunga memiliki pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka pendek.
Sejak Indonesia menerapkan flexible exchange rate system, pergerakan nilai tukar rupiah menjadi tidak tentu arah. Ketidakpastian tersebut dapat mempengaruhi stabilitas tingkat harga dan
dapat memicu inflasi. Ketakutan tersebut terbukti karena pada saat nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah, maka shock tersebut dapat berimbas pada kenaikan harga domestik melalui harga
barang impor. Devaluasi nilai rupiah mengakibatkan harga barang impor menjadi lebih mahal dan berimbas pada kenaikan harga-harga domestik.
Sesuai dengan teori yang telah diungkap, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar memiliki hubungan positif terhadap laju inflasi. Dengan demikian hipotesis penelitian
ini telah terbukti, dengan adanya depresiasi nilai tukar rupiah yang dapat mempengaruhi pergerakan inflasi di Indonesia dalam jangka pendek. Bukti empiris ini mendukung hasil
penelitian Ratnasiri 2006, Ziramba 2008, Endri 2008, Yiping, et al 2010, Almounsor 2010, Sultan 2011 dan Anugrah 2012 yang mengidentifikasi bahwa nilai tukar memiliki
pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat inflasi jangka pendek di beberapa negara.
Analisis Jangka Panjang Hasil pengujian data melalui estimasi VECM menunjukkan bahwa dalam jangka panjang
inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh keempat variabel determinannya. Kenaikan BI rate berpengaruh signifikan namun memiliki pola hubungan negatif terhadap inflasi jangka panjang.
Sependapat dengan pandangan Fisher yang menyatakan bahwa suku bunga memiliki pergerakan yang searah dengan tingkat inflasi, maka kenaikan BI rate dapat memicu kenaikan inflasi dalam
jangka panjang namun melalui pengaruh yang tidak langsung. Pada Grafik 4.2 dapat dilihat bahwa pergerakan BI rate selama periode 2002-2011 memiliki arah pergerakan yang hampir sama dengan
laju inflasi di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa signifikansi hasil estimasi penelitian ini telah sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hayati 2006 dan Endri 2008 yang menjelaskan
bahwa pengaturan BI rate dapat mempengaruhi laju inflasi jangka panjang di Indonesia.
Secara teori, hubungan antara suku bunga dan inflasi dapat dipahami dari sudut pandang agen ekonomi. Pada saat otoritas moneter menerapkan kebijakan disinflasi dengan menaikkan BI rate,
maka kenaikan tersebut akan direspon oleh pelaku usaha dan masyarakat yang bertindak sebagai konsumen. Kenaikan BI rate akan diikuti oleh kenaikan suku bunga perbankan yang lebih tinggi
dari suku bunga nominalnya. Ketika suku bunga kredit investasi meningkat, maka hal tersebut akan meningkatkan biaya produksi. Karena dalam jangka panjang sebagian besar pedagang
berupaya untuk ekspansi usaha dengan meningkatkan kapasitas outputnya, maka kenaikan biaya produksi dapat meningkatkan harga jual produk dan dalam waktu yang cukup lama dapat
mendorong kenaikan inflasi.
Dari sisi konsumen, upaya disinflasi bank sentral dengan meningkatkan BI rate dinilai masyarakat akan direspon oleh kenaikan suku bunga perbankan yang menyebabkan beberapa
pedagang memilih untuk menaikkan harga jual produknya. Penilaian ini membentuk ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan tingkat harga yang akan terjadi pada periode selanjutnya.
Dampaknya, kenaikan suku bunga tidak akan meminimalisir inflasi, melainkan dapat memicu kenaikan yang lebih tinggi apabila kebijakan tersebut tidak kredibel di mata masyarakat. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian telah sesuai dengan hipotesis yang diajukan, yaitu shock suku bunga BI rate memiliki pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia dalam
jangka panjang.
Pertumbuhan jumlah uang beredar yang diduga dapat mempengaruhi pergerakan inflasi dibuktikan melalui hasil estimasi VECM. Dalam jangka panjang, pertumbuhan jumlah uang
beredar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap laju Inflasi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi penambahan volume uang beredar, secara tidak langsung akan berpotensi
untuk mendorong kenaikan inflasi.
Jika dilihat dari arah pergerakannya dalam Grafik 4.8, hubungan antara jumlah uang beredar M2 dan laju inflasi di Indonesia memiliki arah fluktuasi pergerakan yang hampir sama.
Grafik 4.8: Pergerakan Jumlah Uang Beredar M2 dan Tingkat Inflasi
Sumber : Bank Indonesia diolah Dapat diamati bahwa selama periode penelitian, terjadi 2 fluktuasi trend yang paling menonjol
pada periode 2005-2006 dan 2008-2009. Kedua peak tersebut menjelaskan adanya kenaikan volume uang beredar dan kenaikan tingkat inflasi apabila dibandingkan dengan trend periode
sebelumnya, selain karena kuatnya dampak shock dalam perekonomian domestik yang terjadi pada periode tersebut. Meskipun kedua trend tidak bersinggungan secara langsung, namun adanya
kesamaan arah tersebut menjelaskan bahwa setiap terjadi peningkatan kapasitas uang beredar, maka tingkat inflasi juga mengalami peningkatan
Dengan demikian, hasil penelitian ini telah sesuai dengan teori Moneteris yang menyatakan bahwa adanya penambahan jumlah uang yang beredar di masyarakat akan berpotensi mendorong
inflasi pada tingkat yang lebih tinggi. Temuan empiris dalam penelitian ini mendukung hasil penelitian Ratnasiri 2006, Yiping, et al 2010, Almounsor 2010, Sultan 2011, Arintoko
2011 dan Anugrah 2012 yang mengidentifikasi bahwa jumlah uang beredar memiliki pengaruh signifikan terhadap laju inflasi dalam jangka panjang. Jadi, hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini telah terjawab, yaitu jumlah uang beredar memiliki pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka panjang
Hubungan positif antara shock nilai tukar terhadap laju inflasi dibuktikan oleh koefisien variabel ER yang bertanda positif. Berdasarkan hasil estimasi data, depresiasi nilai tukar akan
berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi dalam jangka panjang. Hasil penelitian ini mendukung hasil temuan Endri 2008, Sultan 2011, Akinbobola 2012 dan Anugrah 2012
yang menyatakan bahwa shock eksternal yang disebabkan oleh terdepresiasinya nilai tukar dapat meningkatkan inflasi, melalui pengaruhnya terhadap harga domestik. Indonesia yang memiliki
keterbukaan ekonomi wajib berwaspada terhadap guncangan sisi eksternal, mengingat nilai tukar rupiah yang tergolong rendah apabila dibandingkan dengan negara lain. Karena kontribusi impor
memiliki peranan penting terhadap beberapa proses produksi dalam pasar domestik Indonesia akibat keterbatasan negara dalam menyediakan bahan baku industri, maka depresiai nilai tukar
rupiah akan meningkatkan biaya produksi yang berasal dari produk impor sehingga berdampak pada meningkatnya harga jual produk.
Dalam jangka panjang, ketidakpastian arah nilai tukar berpengaruh terhadap proses pembentukan harga domestik. Apabila nilai rupiah semakin melemah, maka dapat dipastikan akan
mendorong kenaikan tingkat inflasi dalam negeri. Hasil penelitian telah sesuai teori yang diungkap yang menyatakan keberadaan hubungan positif antara nilai tukar dengan inflasi. Dengan demikian,
hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa shock nilai tukar memiliki pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka panjang telah terjawab.
Mengingat pola konsumsi rumah tangga Indonesia yang mengalami perbaikan selama beberapa waktu terakhir, menyebabkan adanya peningkatan konsumsi dapat memicu kenaikan
inflasi. Berdasarkan hasil estimasi, ditemukan bahwa dalam jangka panjang konsumsi memiliki peran yang cukup signifikan dalam mempengaruhi inflasi Indonesia. Hubungan negatif yang
ditunjukkan oleh koefisien variabel CRT menjelaskan bahwa setiap terjadi peningkatan pada konsumsi rumah tangga dapat memicu kenaikan inflasi secara tidak langsung.
Bukti empiris penelitian ini memiliki persamaan hasil dengan penelitian yang dilakukan oleh Ziramba 2008 dan Almounsor 2010, yang mengidentifikasi adanya perubahan pola konsumsi
masyarakat dalam jangka panjang memicu peningkatan permintaan agregat sehingga dapat mendorong kenaikan tingkat inflasi. Dalam jangka panjang, peningkatan petumbuhan ekonomi
suatu negara mencerminkan adanya peningkatkan pendapatan dan konsumsi masyarakat. Kenaikan permintaan ditindaklanjuti oleh pelaku usaha dengan meningkatkan output
produksinya. Dengan adanya penambahan output, biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi menjadi lebih besar sehingga menyebabkan peningkatan pada harga jual produk. Apabila dalam
waktu yang relatif lama sebagian besar pedagang melakukan hal yang sama, maka kenaikan harga-harga barang konsumsi secara umum dapat mendorong kenaikan inflasi.
Dengan demikian, hasil penelitian ini telah sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Keynes yang menyatakan bahwa adanya kenaikan permintaan agregat dapat mendorong inflasi
pada tingkat yang lebih tinggi. Hasil penelitian juga telah menjawab hipotesis yang diajukan oleh peneliti, bahwa konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia
dalam jangka panjang.
E. KESIMPULAN DAN SARAN