media penyebaran gangguan atau penyakit bagi para petugas, penderita maupun masyarakat. Gangguan tersebut dapat berupa pencemaran
udara, pencemaran air, tanah, pencemaran makanan dan minunian. Pencemaran tersebut merupakan agen agen kesehatan lingkungan yang
dapat mempunyai dampak besar terhadap manusia Agustiani dkk, 1998.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Kesehatan menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak
memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu Pemerintah menyelenggarakan usaha-usaha dalam lapangan
pencegahan dan pemberantasan penyakitpencegahan dan penanggulangan pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan
pendidikan kesehatan pada rakyat dan lain sebagainya Karmana dkk, 2003. Usaha peningkatan dan pemeliharaan kesehatan harus dilakukan
secara terus menerus, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, maka usaha pencegahan dan penanggulangan
pencemaran diharapkan mengalami kemajuan. Adapun cara-cara pencegahan dan penanggulangan pencemaran limbah rumah sakit antara
lain adalah melalui Karmana dkk, 2003 :
•
Proses pengelolaan limbah padat rumah sakit.
•
Proses mencegah pencemaran makanan di rumah sakit. Sarana pengolahanpembuangan limbah cair rumah sakit pada
dasarnya berfungsi menerima limbah cair yang berasal dari berbagai alat sanitair, menyalurkan melalui instalasi saluran pembuangan dalam
gedung selanjutnya melalui instalasi saluran pembuangan di luar gedung menuju instalasi pengolahan buangan cair. Dari instalasi limbah, cairan
yang sudah diolah mengalir saluran pembuangan ke perembesan tanah atau ke saluran pembuangan kota Sabayang dkk, 1996. Limbah padat
yang berasal dari bangsal-bangsal, dapur, kamar operasi dan lain sebagainya baik yang medis maupun non medis perlu dikelola sebaik-
baiknya sehingga kesehatan petugas, penderita dan masyarakat di sekitar rumah sakit dapat terhindar dari kemungkinan-kemungkinan dampak
pencemaran limbah rumah sakit tersebut Sabayang dkk, 1996.
d. Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996
tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per
hari. Sedangkan produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi sampah limbah padat
berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah
limbah padat RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat
dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit
Sebayang dkk, 1996. Rumah sakit menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan di lingkungannya.
Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 – 0,6 kilogram per tempat tidur rumah sakit per hari Sebayang dkk, 1996.
Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran kepada 23 rumah sakit RS yang tidak mengindahkan surat
peringatan mengenai keharusan memiliki instalasi pengolahan air limbah IPAL. Berdasarkan data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah
BPLHD Jaktim yang diterima Pembaruan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jaktim, hanya tiga rumah sakit saja yang memiliki IPAL dan bekerja
dengan baik. Selebihnya, ada yang belum memiliki IPAL dan beberapa rumah sakit
IPAL-nya dalam kondisi rusak berat Sebayang dkk, 1996.Data tersebut juga menyebutkan, hanya sembilan rumah sakit saja yang
memiliki incinerator. Alat tersebut, digunakan untuk membakar limbah padat berupa limbah sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh
dibuang begitu saja. Menurut Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran yang mengharuskan pihak
rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap tiga bulan sekali. Sayangnya, sejak dilayangkannya surat edaran akhir September 2005
lalu, hanya tiga rumah sakit saja yang memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum
dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap
bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis. Padahal, limbah medis
memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi,
limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai
tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu Sebayang dkk,
1996.Sementara itu, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Sudin Kesmas Jaktim menduga, buruknya pengelolaan limbah rumah sakit
karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang
diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar. Padahal setiap rumah sakit, selain harus
memiliki IPAL, juga harus memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkungan SPPL dan surat izin pengolahan limbah cair. Sementara
limbah organ-organ manusia harus di bakar di incinerator. Persoalannya, harga incinerator itu cukup mahal sehingga tidak semua rumah sakit bisa
memilikinya Sebayang dkk, 1996.
Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan jadi penyebab tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari
kegiatan rumah sakit antara lain disebabkan, kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan lingkungan karena tidak memahami
masalah teknis yang dapat diperoleh dari kegiatan pencegahan pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya pengendalian
pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran,
kurang memahami apa yang disebut produk usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya Sebayang dkk, 1996. Untuk itu, upaya-upaya yang
harus dilakukan rumah sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi dan memilah jenis limbah berdasarkan teknik
pengelolaan Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai atau guna ulang. Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan serta pengendalian terhadap
pembelian dan penggunaan, pembuangan bahan kimia baik B3 maupun non B3. Memantau aliran obat mencakup pembelian dan persediaan serta
meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan lingkungan melalui pelatihan dengan materi pengolahan bahan, pencegahan
pencemaran, pemeliharaan peralatan serta tindak gawat darurat Sebayang dkk, 1996.
e. Jenis Limbah Rumah Sakit Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Serta Lingkungan