3. KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka pemikiran Penelitian
Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.
Dilandasi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004. Indonesia secara resmi pada tahun 2001 memasuki era desentralisasi
yang penekanannya pada pemerintah daerah kabupaten dan kota. Sebagai tahap awal penerapan desentralisasi banyak dihadapi berbagai permasalahan karena belum siapnya
daerah baik dalam hal keuangan, kelembagaan maupun SDM yang memadai.
Keuangan pemerintah daerah tidak saja mencerminkan arah dan pencapaian kebijakan fiskal dalam mendorong pembangunan di daerah secara umum, tetapi juga menggambarkan
sejauh mana tugas dan kewajiban yang diembankan pada pemerintah daerah dalam konteks desentralisasi itu dilaksanakan. Oleh karena itu, kinerja keuangan daerah yang tidak saja
merefleksikan kinerja keuangan dari sisi keuangan pemerintah daerah secara mikro tetapi juga secara makro, sehingga indikator-indikator untuk mengukur kinerja keuangan daerah
tersebut terukur, berimbang, dan komprehensif.
PDRB sebagai salah satu ukuran kesejahteraan, dari sisi demand salah satu pendukungnya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Meningkatnya
APBD berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik. Dalam teori ekonomi pembangunan tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah mempunyai
hubungan timbal balik yang positif Mankiw 2007 dan Dornbusch et al 1987.
Dengan adanya perubahan mendasar pada peraturan perundangan mengenai pelaksanaan pemerintahan di daerah tentu harus diiringi dengan perubahan dan ketentuan
tentang tata cara pengelolaan keuangan daerah. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mengharmonisasikan pengelolaan keuangan daerah baik antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, pemerintah daerah dengan DPRD dan pemerintah daerah dengan masyarakat Halim, 2007. Dengan demikian, daerah dapat mewujudkan pengelolaan
keuangan secara efektif dan efisien.
Bank Dunia 1998 dalam public expenditure management mengungkapkan bahwa kelemahan pada alokasi sumber daya adalah lemahnya perencanaan, tidak ada kaitan antara
membuat kebijakan, perencanaan dan penganggaran serta tidak cukupnya pelaporan atas kinerja keuangan.
Agar pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah dapat berjalan, maka diperlukan adanya kesesuaian, sinkronisasi, koordinasi, dan sinergi yang baik, adanya alokasi anggaran
yang optimal serta perilaku pemerintah yang transparan dalam pengelolaan keuangan dengan memperhatikan asas-asas umum dalam kebijakan keuangan daerah. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal mempunyai tujuan utama untuk mendukung pendanaan atas urusan-urusan yang telah diserahkan ke daerah, agar dapat
meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik sehingga diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, sehingga pada gilirannya akan mendorong perekonomian daerah melalui pembangunan ekonomi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin membaiknya nilai
indikator-indikator kinerja perekonomian daerah dan kinerja keuangan daerah yang menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi dan keuangan daerah.
Peningkatan kinerja perekonomian daerah selain dapat dilihat dari pengelolaan keuangan daerah, dapat pula dilihat dari kondisi tata kelola ekonomi daerah, dikarenakan
tata kelola ekonomi daerah yang baik akan meningkatkan kinerja perekonomian deerah. Menurut Mc Culloch dan Malesky 2010 adanya hubungan sebab akibat antara tata kelola
ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah, namun bagi negara-negara berkembang, tata kelola ekonomi daerah terkadang tidak dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi akibat kualitas tata kelola ekonomi daerah yang jauh dibawah standar terutama kualitas infrastruktur. Tata kelola ekonomi daerah dapat berjalan dengan baik, maka akan
mempengaruhi peningkatan investasi yang dapat mendorong terhadap peningkatan PDRB di daerah, sehingga kegiatan perekonomian daerah akan berkembang positif.
Avinash Dixit 2001 telah mendefinisikan konsep tata kelola ekonomi sebagai berikut: Tata kelola ekonomi terdiri atas proses-proses yang mendukung aktivitas ekonomi
dan transaksi ekonomi dengan cara melindungi hak-hak kepemilikan, menegakkan kontrak, dan mengambil langkah bersama dalam menyiapkan infrastruktur fisik dan
organisasi yang sesuai. Proses-proses tersebut dilaksanakan pada kelembagaan- kelembagaan formal dan informal. Bidang tata kelola ekonomi mempelajari dan
membandingkan kinerja berbagai kelembagaan yang berbeda pada berbagai kondisi yang berbeda, evolusi kelembagaan-kelembagaan tersebut, dan transisi dari satu set
kelembagaan ke set kelembagaan yang lain.
Berkaitan dengan tata kelola ekonomi tidak terlepas dari kebijakan PEMDA yang diharapkan mampu mendorong kegiatan berusaha ekonomi sehingga diharapkan tercipta
sejumlah pemasukan ke daerah, selanjutnya tahap berikutnya adalah dalam proses pembangunan berkelanjutan diharapkan adanya penciptaan keadaan berusaha yang
mendukung pergerakan ekonomi daerah melalui investasi.
Investasi pada hakekatnya merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi, karena adanya investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dinamika investasi akan
mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, sehingga setiap negara berlomba untuk menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi Dumairy, 1996. Sasaran yang
dituju oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, bukan hanya penanaman modal dalam negeri, tetapi juga penanaman modal asing. Dengan adanya investasi, maka output yang
dihasilkan suatu negara akan semakin meningkat. Peningkatan output akan meningkatkan pendapatan nasional sehingga kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan pembangunan
dapat tercapai.
Jumlah nominal investasi setiap tahunnya sangat berfluktuasi, dan berkontribusi pada gejolak produk domestik regional bruto yang besar Blanchard, 2006. Investasi diartikan
sebagai pengeluaran atau penanaman modal bagi perusahaan untuk membeli barang modal dan perlengkapan untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa dalam
perekonomian. Dengan adanya investasi diharapkan output, baik barang dan jasa, akan bertambah dan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Investasi merupakan
salah satu kunci utama dalam mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi, yang tercermin dari kemampuannya untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan tingkat pendapatan. Semakin
besar investasi suatu negara, akan semakin besar pula tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi merupakan fungsi dari investasi
Haryanto, 2005.
Desentralisasi sendiri diyakini sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hayek 1948, Tiebout 1956, dan Oates 1999 berpendapat bahwa
desentralisasi akan mendorong penyediaan pelayanan publik melalui teori efisiensi alokasi, persaingan, dan preferensi. Oates 1999 berpendapat bahwa pemerintah daerah adalah yang
lebih dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat, memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi secara ekonomi.
Aspirasi rakyat akan mudah dan cepat terekam, dan kemudian akan diterjemahkan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk memenuhi aspirasi rakyat tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Joko Waluyo tentang “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antar daerah di Indonesia
Tahun 2000 – 2005”. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berdampak
meningkatkan pertumbuhan ekonomi relatif lebih tinggi di daerah pusat bisnis dan daerah yang kaya sumber daya alam daripada daerah bukan pusat bisnis dan miskin sumber daya
alam. Mekanisme transfer selama ini lebih menguntungkan bagi daerah yang kaya sumber daya alam melalui mekanisme bagi hasil SDA. Alokasi dana bagi hasil SDA untuk investasi
sektor kunci dalam perekonomian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Mekanisme DBHP lebih menguntungkan daerah kota yang merupakan pusat bisnis dan
industri, karena basis pajak daerahnya lebih tinggi. Sedangkan daerah-daerah yang miskin SDA dan bukan pusat bisnis dan industri mengandalkan penerimaan daerahnya dari DAU,
dan DAK. Di samping itu, desentralisasi fiskal akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah terutama antara daerah-daerah di Pulau Jawa dengan Luar Pulau
Jawa dan Antara Kawasan Barat Indonesia KBI dengan Kawasan Timur Indonesia KTI. Tidak banyaknya SDA Minyak, gas, dan kehutanan yang terdapat di Pulau Jawa berdampak
terhadap penerimaan dana bagi hasil SDA Pulau Jawa relatif lebih kecil daripada daerah kaya SDA di luar Pulau Jawa.
Salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemandirian keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974, pembiayaan pemerintah dibagi menjadi dua yaitu pembiayaan rutin dan pembiayaan pembangunan. Semua pembiayaan tersebut dibiayai dari APBD yang
bersumber dari PAD, APBN, bantuan luar negeri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, pengeluaran rutin dan pembangunan diubah
menjadi belanja langsung dan belanja tidak langsung. belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal. Sedangkan belanja tidak langsung belanja
pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil kepada provinsikabkota dan pemerintahan desa, belanja bantuan keuangan kepada
provinsikabkota dan pemerintahan desa, belanja tidak terduga. Perbedaan terpenting konsep penganggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 32
dan 33 Tahun 2004, adalah lebih ditekankannya kemandirian daerah dalam UU terbaru. Kemandirian daerah ditunjukkan dengan kontribusi PAD terhadap APBD.
Konsekuensi fiskal atas pelaksanaan otonomi daerah yang terjadi di Indonesia ialah otonomi juga mengakibatkan setiap daerah yang terdesentralisasi memiliki tanggung jawab
yang besar tidak diiringi dengan kapasitas fiskal yang memadai. Banyak pakar ekonomi menyatakan bahwa daerah memperoleh dana perimbangan yang lebih besar, namun hal ini
dibarengi dengan merosotnya jumlah pendapatan asli daerah. Hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan bahwa pemerintah daerah memiliki respon belanja daerah yang lebih banyak
terhadap transfer dari pemerintah pusat terutama yang berasal dari dana alokasi umum daripada pendapatan asli daerahnya sendiri yang memberikan indikasi anomali atau
keganjilan karena terus bergantung pada suntikan dana alokasi umum dari pemerintah pusat sehingga pada prakteknya, transfer dari pemerintah pusat merupakan sumber dana utama
pemerintah daerah untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari, yang oleh pemerintah d
aerah “dilaporkan” di perhitungan APBD Febrian, 2011. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah pemerintah daerah terlalu menggantungkan
alokasi DAU untuk membiayai belanja modal dan pembangunan tanpa mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh daerah. Hal ini berarti pemerintah daerah akan lebih berhati-hati
dalam menggunakan dana yang digali dari masyarakat sendiri dibandingkan dengan dana transfer dari pemerintah pusat Kuncoro, 2007:3. Di saat transfer DAU yang diperoleh besar,
maka pemerintah daerah berusaha agar pada periode berikutnya DAU yang diperoleh tetap. Hal ini menyebabkan PAD tidak signifikan berpengaruh terhadap belanja daerah yang
menyebabkan terjadinya flypaper effect atau dapat dikatakan bahwa pengaruh DAU terhadap belanja daerah lebih besar daripada pengaruh PAD terhadap belanja daerah. Dengan arti lain
pemberian DAU yang seharusnya menjadi stimulus peningkatan kemandirian daerah, justru direspon berbeda oleh daerah. Daerah tidak menjadi lebih mandiri, malah semakin
bergantung pada pemerintah pusat Ndadari dan Adi. 2008:3.
Dalam Kesit 2004, Studi Aaberge Langorgen 1997 menganalisis perilaku fiskal dan Belanja Pemda dan menemukan adanya flypaper-effect dalam respon daerah terhadap
perubahan pendapatan. Bagi PEMDA yang menjadi masalah dalam pembuatan keputusan alokasi sumberdaya adalah pemilihan kombinasi terbaik antara pajak daerah, surplus dan
defisit anggaran, dan output dalam pelayanan publik, yang dibatasi oleh “aturan” bahwa
pengeluaran daerah ditambah surplus anggaran tidak melebihi grants dari Pemerintah pusat, ditambah pajak daerah. Permasalahan yang perlu dipecahkan agar tidak terjadi flypaper effect
yang tidak lain gambaran sikap ketergantungan pemerintah kabupatenkota terhadap pemerintah pusat. Di sisi lain, efektifitas APBD juga perlu menjadi perhatian, karena bukan
rahasia umum lagi setiap akhir tahun anggaran terjadi penghabisan anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah
“menunggu” beberapa alokasi DAU yang diperolehnya sebelum menentukan berapa belanja yang akan dihabiskannya, seperti yang
ditenggarai oleh Simanjuntak dalam Sidik et al, 2002. Temuan empiris Martinez and Robert Mc.Nab 2001, Mahi 2000, Brodjonegoro
2002, Dartanto dan Brodjonegoro 2003. Desentralisasi mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi apabila desentralisasi fiskal dipusatkan pada
pengeluaranpembelanjaan publik. Desentralisasi fiskal yang diukur dengan pengeluaran pemerintah daerah menyebabkan pertumbuhan ekonom secara signifikan di daerah-daerah.
Dalam era desentralisasi fiskal dengan transfer dana dari pemerintah pusat dan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi
yang ada memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Temuan studi ini juga mendukung hasil studi Mursinto di Jawa Timur 2004. Hasil studi disimpulkan bahwa,
pengeluaran pembangunan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap produk domestik regional bruto kabupatenkota di Provinsi Jawa Timur. Dari hasil itu diketahui
bahwa pengeluaran pemerintah daerah yang semakin besar akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk meningkatkan produk domestik regional bruto tidak hanya peran
pemerintah saja, tetapi diperlukan peran serta swasta dan masyarakat yang semakin besar. Dalam hitungan statistik peran swasta dan masyarakat dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi di Jawa Timur mencapai 46,20 persen. Hasil studi ini sesuai dengan teori desentralisasi fiskal Oates 1993. Menurut Oates desentralisasi fiskal akan mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat karena pemerintah sub nasionalpemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang-barang
publik. Pengambilan keputusan pada level pemerintah lokal akan lebih didengarkan untuk menganekaragamkan pilihan lokal dan lebih berguna bagi efisensi alokasi. Desentralisasi
fiskal di negara-negara berkembang apabila tidak berpegang pada standar teori desentralisasi, hasilnya mungkin akan merugikan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi. Oates juga
menyatakan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan efisiensi ekonomi yang kemudian berkaitan dengan dinamika pertumbuhan ekonomi. Perbelanjaan infrastruktur dan sektor
sosial oleh pemerintah daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi daripada kebijakan pemerintah pusat. Menurutnya, daerah memiliki kelebihan dalam membuat anggaran
pembelanjaan sehingga lebih efisien dengan memuaskan kebutuhan masyarakat karena lebih mengetahui keadaannya.
Menurut Halim 2002:73, belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset dan kekayaan
daerah. Belanja modal dibagi menjadi belanja publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum misalnya pembangunan jembatan dan jalan
raya, pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans. Belanja aparatur yaitu belanja yang manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat, tetapi
dirasakan secara langsung oleh aparatur. Misalnya pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pamerintahan, dan pembangunan rumah dinas. Penambahan aset atau kekayaan
daerah akibat dan adanya belanja modal akan menambah biaya yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan. Belanja pemeliharaan merupakan pengeluaran pamerintah
daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik.
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat disusun kerangka pemikiran dari Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah dan Keuangan Daerah terhadap Kinerja
Perekonomian Daerah kabupatenkota di Provinsi Sulawesi Tengah pada Gambar 7 berikut.
Gambar 7 Kerangka Pemikiran Hubungan langsung
Hubungan tidak langsung Ada hubungan tapi tidak dimasukan
dalam model karena keterbatasan data
Hipotesis
Tata kelola ekonomi daerahTKED yang baik berpengaruh positif terhadap kinerja
perekonomian daerah.
Indikator akses lahan, infrastruktur, kapasitas dan integritas bupati, interaksi PEMDA dan pelaku usaha, PPUS, keamanan berpengaruh positif terhadap kinerja
perekonomian daerah. Perizinan usaha, biaya transaksi berpengaruh negatif terhadap kinerja perekonomian
daerah. Alokasi Belanja Modal diduga meningkatkan kinerja perekonomian
Proses perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Donggala lebih baik dari proses perencanaan dan penganggaran di Kota Palu.
4. METODE PENELITIAN