Pengaruh Tata Kelola Keuangan Daerah Terhadap Pembangunan Daerah.

PENGARUH TATA KELOLA KEUANGAN DAERAH
TERHADAP KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

DINA ISNAINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pengaruh Tata Kelola
Keuangan Daerah terhadap Pembangunan Daerah adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015

Dina Isnaini
NRP H152120191

RINGKASAN
DINA ISNAINI. Pengaruh Tata Kelola Keuangan Daerah terhadap Pembangunan
Daerah. Dibimbing oleh DS PRIYARSONO dan WIWIEK RINDAYATI.
Pembangunan selain ditujukan untuk pertumbuhan ekonomi, juga untuk
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang dapat ditandai dengan
penurunan angka kemiskinan. Sukses atau gagalnya Indonesia dalam mencapai
tujuan pembangunan sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemerintah menjalankan
tata kelola pemerintahan. Salah satu upaya tata kelola kepemerintahan yang baik
(good governance) yaitu dengan dicanangkannya kebijakan otonomi daerah dan
mereformasi peraturan di bidang pengelolaan keuangan yang berorientasi hasil
atau kinerja dan didasari oleh prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yaitu
transparansi, akuntabilitas dan value for money.
Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) menunjukkan kenaikan persentase opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) dari tahun ke tahun, menggambarkan adanya perbaikan yang
dicapai oleh entitas pemerintahan daerah dalam menyajikan suatu laporan
keuangan, namun jumlahnya baru 23% pada tahun 2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tata kelola
keuangan daerah terhadap pembangunan daerah. Penelitian ini terbagi menjadi
empat analisis utama. Analisis pertama fokus pada perkembangan tata kelola
keuangan daerah di Indonesia, analisis kedua fokus pada perkembangan
pembangunan daerah dengan melihat pertumbuhan ekonomi, indeks gini dan
angka kemiskinan. Dilakukan penghitungan terhadap indeks Gini untuk
kabupaten/kota di Indonesia karena ketidak tersediaan data. Analisis ketiga
meneliti mengenai pengaruh tata kelola keuangan daerah terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah. Analisis keempat meneliti mengenai pengaruh pertumbuhan
ekonomi dan indeks gini terhadap angka kemiskinan.
Penelitian menggunakan dua model ekonometrika, model pertama
merupakan model pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan variabel bebas berupa
pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya, derajat desentralisasi fiskal, derajat
realisasi kebutuhan modal, dummy opini WTP, dan dummy kota. Model kedua
menguji mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi dan indeks gini terhadap
persentase kemiskinan.
Ditemukan beberapa permasalahan pada tata kelola keuangan dan
pembangunan daerah di Indonesia, antara lain masih rendahnya derajat
desentralisasi fiskal dan derajat realisasi kebutuhan modal, serta persentase opini
WTP dari LKPD. Meski pertumbuhan ekonomi relatif meningkat dan persentase

kemiskinan relatif berkurang, akan tetapi ketimpangan pendapatan yang
dicerminkan oleh indeks Gini relatif meningkat dari tahun ke tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tata kelola keuangan yang dilakukan
daerah berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kapasitas
ekonomi daerah yang digambarkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun
sebelumnya (Gr(t-1)) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah. Kabupaten/kota yang mempunyai pertumbuhan ekonomi lebih tinggi di
tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi ditahun berjalan cenderung lebih baik
dibandingkan kabupaten/kota dengan pertumbuhan ekonomi rendah.

Kabupaten/kota yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian dari
BPK terhadap laporan keuangannya mempunyai pertumbuhan ekonomi yang
lebih tinggi dibanding kabupaten/kota yang mendapatkan predikat selain wajar
tanpa pengecualian. Akan tetapi opini yang baik atas laporan keuangan
pemerintah daerah tidak menggambarkan kinerja tata kelola keuangan daerah
secara keseluruhan, baik itu dari sisi penerimaan yang digambarkan dengan
derajat desentralisasi fiskal, maupun dari sisi pengeluaran yang digambarkan
dengan derajat realisasi kebutuhan modal. Kabupaten/kota yang mendapatkan
opini wajar tanpa pengecualian justru mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi
lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten/kota yang mendapatkan opini selain

wajar tanpa pengecualian dengan tingkat derajat desentralisasi dan derajat
realisasi kebutuhan modal yang sama.
Pemerintah kota mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pemerintah kabupaten. Akan tetapi
daerah kota justru mempunyai pertumbuhan ekonomi yang rendah dibandingkan
dengan kabupaten yang mempunyai tingkat derajat desentralisasi fiskal yang
sama. Begitu juga dengan kota dan kabupaten dengan derajat realisasi kebutuhan
modal yang sama, daerah kota justru mempunyai pertumbuhan ekonomi yang
rendah dibandingkan dengan kabupaten. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
kota mempunyai fungsi yang lebih kompleks dari kabupaten, sehingga lebih
kompleks juga dalam pengelolaan keuangan daerahnya.
Derajat desentralisasi fiskal dan derajat realisasi kebutuhan modal
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien positif.
Pengaruh peningkatannya relatif kecil, hal ini diduga disebabkan besarnya derajat
desentralisasi fiskal dan derajat realisasi kebutuhan modal yang masih rendah.
Kemiskinan suatu daerah dapat dikurangi dengan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, serta mengurangi ketimpangan pendapatan di daerah
tersebut. Pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati secara merata oleh masyarakat
dengan ketimpangan pendapatan yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi sebagian
besar hanya akan dinikmati oleh kelompok masyarakat yang kaya. Hal ini akan

berdampak pada berkurangnya keefektifan pertumbuhan ekonomi untuk
mengentaskan kemiskinan. Hal yang sebaliknya terjadi pada masyarakat dengan
ketimpangan pendapatan rendah (relatif merata). Pertumbuhan ekonomi akan
dinikmati oleh sebagian besar masyarakat dan kemiskinan bisa berkurang.
Berdasarkan temuan hasil penelitian, maka disimpulkan diperlukan strategi
untuk mengatasi permasalahan tata kelola keuangan dan pembangunan daerah
dengan perencanaan kebijakan fiskal yang mensinergiskan antara
peran
pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat perlu mendorong terjadinya
pemerataan dengan memberikan insentif terhadap daerah yang masih rendah
perekonomiannya serta tinggi kemiskinannya karena pemerataan lebih efektif
menurunkan kemiskinan.
Kata kunci : pembangunan daerah, pemerintah daerah, tata kelola keuangan

SUMMARY
DINA ISNAINI. The Effect of Financial Governance on the Performance of
Regional Development. Supervised by DS PRIYARSONO and WIWIEK
RINDAYATI.
Development is designated for economy growth, as well as to improve the
quality of life that can be characterized by the reduction of poverty. Success or

failure of development in Indonesia depend on good governance. One of the effort
of good governance, that the declared of regional autonomy policy and regulatory
reform on financial management has oriented to results or performance and based
on the principles of financial management is transparency, accountability and
value for money.
Opinion of the Supreme Audit Agency (BPK) on Local Government
Finance Report (LKPD) shows the percentage increase in WTP opinion from year
to year, illustrates the improvement achieved by the local government entities
present a financial report, however the number was only 23% from whole the
local government in 2012.
The purpose of this study was to determine the effect of the regional
financial governance on the performance regional development. This study has
devided into four principal analysis. The first, focusing on development of the
regional financial governance, the second focus on regional development by
economic growth, Gini coefficient dan poverty rate. The calculation of the Gini
coefficient of regional in Indonesia has been done because unavailability of data.
The third looked at about effect of the regional financial governance on the
economic growth. And the fourth looks the effect of economic growth and Gini
coefficient to the proverty rate.
The study used to the two econometric models, i.e. regional economic

growth model as the first model, with independent variables such as economic
growth in previous years, the degree of fiscal decentralization and realization of
capital needs, WTP opinion dummy, and the dummy of city. The second model
examined the effects of economic growth and the Gini index of the percentage of
poverty.
The results show that the financial governance by regional government has
significant effect on economic growth. The capacity of regional economic growth
are depicted with the previous year (Gr (t-1)) significantly affects to the economic
growth of the region. District/City that have higher economic growth in the
previous year, a year of economic growth tend to run better than district /cities
with low economic growth.
District/City get unqualified opinion on its financial statements from BPK
has higher economic growth than the other. However, a favorable opinion on the
financial statements don’t describe the performance of local government financial
governance area as a whole, both in terms of revenues represented by the degree
of fiscal decentralization, as well as the expenditure side represented by the degree
of realization of capital requirements. District/City to get an unqualified opinion
actually have a lower rate of economic growth than the District/City apart with the
degree of decentralization and the degree of realization of the same capital
requirements.


The economic growth of the Mayoralty better than of the district
governments. But areas of the city it has a lower economic growth compared to
Districts with high levels of the same degree of fiscal decentralization. As well as
cities and counties with the degree of realization of the same capital requirements,
areas of the city it has a lower economic growth compared with the district. This
is probably caused the City has more complex functions rather than the District,
making it more complex in the financial management area also.
The degree of fiscal decentralization and the degree of realization of capital
requirements significantly influence to economic growth with a positive
coefficient. The influence of that’s increase relatively small, suspected through the
large degree of fiscal decentralization and the degree of realization of capital
requirements is still low.
Poverty in a region can be reduced by increasing economic growth and
reducing of income inequality in the region. Economic growth is not enjoyed
equally by public with high income inequality. Most of the economic growth will
only be enjoyed by groups of people rich. This will reduce the effectiveness of
economic growth to reduce of poverty. The opposite occurs in people with low
income inequality (relatively evenly) where economic growth will be enjoyed by
most people and poverty can be reduced.

Based on the research, it was deduced of the necessary strategies to solve
the problems of financial governance and local development with the planning
synergize fiscal policy between central and local government roles. The central
government needs to push for distribution by providing incentives policy to the
Local Government with the economics is still low as well as high in poverty level,
because of equalization to more effectively reduce poverty problems.

Keywords : regional development, local government,financial governance

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH TATA KELOLA KEUANGAN DAERAH

TERHADAP PEMBANGUNAN DAERAH

DINA ISNAINI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MScAgr

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Pengaruh Tata Kelola Keuangan

Daerah terhadap Pembangunan Daerah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini
merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan
memperoleh gelar Magister Sains dari program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Dominicus Savio
Priyarsono, MS dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku komisi pembimbing
atas curahan waktu, arahan, bimbingan dan dorongan semangat sejak penyusunan
proposal, penelitian hingga penulisan tesis. Kepada Dekan Sekolah Pasca Sarjana
dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen serta Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan (PWD) beserta staf, penulis mengucapkan terima kasih atas pelayanan
prima yang diberikan selama penulis menempuh studi di PWD IPB.
Penghargaan penulis sampaikan juga kepada Pimpinan dan rekan-rekan
Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Kepada
teman-teman seperjuangan di Program Studi PWD angkatan 2012 terima kasih
atas kebersamaan serta diskusinya selama ini, semoga kebersamaan dan
kekeluargaan kita tetap terjalin hingga di masa yang akan datang. Kepada semua
pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
kedua orang tua, Bapak Hartono dan Ibu Jum’ah, suami tercinta Imam Patoni,
putra-putraku tersayang Muhammad Rifatuh Fathoni, Abdullah Rafid Fathoni dan
Hanifah Ibni Fathoni serta seluruh keluarga, atas kesabaran¸ doa, kasih sayang dan
motivasi yang diberikan selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2015
Dina Isnaini

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

v

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

1
1
7
7
7
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
8
Pembangunan Daerah
8
Pertumbuhan Ekonomi
9
Ketimpangan Pendapatan
10
Angka Kemiskinan
11
Otonomi Daerah
13
Tata Kelola Keuangan Daerah
15
Penelitian Terdahulu
20
Pengaruh Tata Kelola Keuangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Daerah
20
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Indeks Gini terhadap
Kemiskinan
22
Kerangka Pemikiran
23
Kerangka Pemikiran Penelitian
Error! Bookmark not defined.
Hipotesis Penelitian
24
3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Definisi Operasional
Metode Analisis
Analisis Indikator Kinerja Keuangan Daerah
Analisis Indeks Gini
Analisis Boxplot
Analisis Pengaruh Tata Kelola Keuangan terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Daerah
Analisis Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan
Pendapatan terhadap Penurunan Miskin
Analisis Data Panel

24
24
25
26
26
28
28

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Tata Kelola Keuangan Daerah di Indonesia
Perkembangan Pembangunan Daerah di Indonesia

33
33
46

30
31
31

Pertumbuhan Ekonomi
Kemiskinan
Indeks Gini
Pengaruh Tata Kelola Keuangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Daerah
Kapasitas ekonomi
Opini wajar tanpa pengecualian
Kota
Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat Realisasi Kebutuhan Modal Daerah
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Indeks Gini Daerah terhadap
Angka Kemiskinan Daerah
Strategi Pembangunan Daerah di Indonesia dengan Perencanaan Tata
Kelola Keuangan

46
48
50
53
54
54
55
56
56
57
61

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

62
62
63

DAFTAR PUSTAKA

63

LAMPIRAN

66

RIWAYAT HIDUP

79

DAFTAR TABEL
Profil perkembangan opini BPK terhadap LKPD a
Indikator-indikator kinerja pembangunan daerah
Perkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah
Jenis dan sumber data
Skala interval derajat desentralisasi fiskal (DDF)
Perkembangan jumlah kota berdasarkan derajat desentralisasi fiskal
menurut kriteria tim Fisipol UGM tahun 2005-2012
7 Perkembangan jumlah kabupaten menurut derajat desentralisasi fiskal
menurut kriteria tim Fisipol UGM tahun 2005-2012
8 Jumlah kabupaten/kota yang pernah mendapat predikat opini wajar
tanpa pengecualian tahun 2005-2012
9 Pencapaian predikat WTP tingkat kota tahun 2005 –2012
10 Pencapaian predikat WTP tingkat kabupaten tahun 2005 –2012
11 Pengaruh tata kelola keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah
12 Pengaruh pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan terhadap angka
kemiskinan
1
2
3
4
5
6

2
8
16
24
27
34
35
41
43
44
53
57

DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Indonesia
2 Perkembangan rasio jenis belanja terhadap total belanja kabupaten/kota
di Indonesia
3 Perkembangan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Indonesia
tahun 2005-2012
4 Profil kemiskinan kabupaten/kota di Indonesia tahun 2005-2012
5 Profil ketimpangan pendapatan kabupaten/kota di Indonesia tahun
2005-2012 berdasarkan indeks Gini
6 Kurva U-terbalik
7 Kerangka Pemikiran
8 Diagram Boxplot
9 Derajat desentralisasi fiskal kota di Indonesia Tahun 2005-2012
10 Derajat desentralisasi fiskal kabupaten di Indonesia Tahun 2005-2012
11 Derajat belanja modal kabupaten di Indonesia Tahun 2005-2012
12 Derajat belanja modal kota di Indonesia Tahun 2005-2012
13 Derajat belanja rutin kabupaten di Indonesia Tahun 2005-2012
14 Derajat belanja rutin kota di Indonesia Tahun 2005-2012
15 Perkembangan opini WTP terhadap laporan keuangan pemerintah
daerah
16 Perkembangan opini BPK terhadap laporan keuangan pemerintah
daerah
17 Pertumbuhan ekonomi kota di Indonesia tahun 2005-2012
18 Pertumbuhan ekonomi kabupaten di Indonesia tahun 2005-2012
19 Persentase kemiskinan kota di Indonesia tahun 2005-2012
20 Persentase kemiskinan kabupaten di Indonesia tahun 2005-2012

3
4
5
5
6
11
23
29
36
36
38
39
40
40
41
42
47
48
49
49

21 Indeks Gini Daerah
22 Pengelompokan Indeks Gini berdasarkan Timmer (2004) dalam
Kumara (2015)
23 Indeks Gini kota di Indonesia tahun 2005-2012
24 Indeks Gini kabupaten di Indonesia tahun 2005-2012
25 Kurva distribusi pendapatan
26 Perubahan kemiskinan karena efek pertumbuhan
27 Perubahan kemiskinan karena efek distribusi
28 Perubahan kemiskinan karena efek pertumbuhan dan efek distribusi

50
50
51
52
59
59
60
60

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Diagram boxplot Derajat desentralisasi fiskal kota di Indonesia Tahun
2005-2012
Diagram boxplot Derajat desentralisasi fiskal kota di Indonesia Tahun
2005-2012
Derajat desentralisasi fiskal kabupaten di Indonesia Tahun 2005-2012
Derajat belanja modal kabupaten di Indonesia Tahun 2005-2012
Derajat belanja modal kota di Indonesia Tahun 2005-2012
Derajat belanja rutin kabupaten di Indonesia Tahun 2005-2012
Derajat belanja rutin kota di Indonesia Tahun 2005-2012
Pertumbuhan ekonomi kota di Indonesia Tahun 2005-2012
Pertumbuhan ekonomi kabupaten di Indonesia Tahun 2005-2012
Persentase kemiskinan kota di Indonesia Tahun 2005-2012
Persentase kemiskinan kabupaten di Indonesia Tahun 2005-2012
Indeks Gini kota di Indonesia Tahun 2005-2012
Indeks Gini kabupaten di Indonesia Tahun 2005-2012

66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan menurut sebagian pakar ekonomi adalah terjadinya
pertumbuhan ekonomi. Kini, pembangunan lebih diarahkan untuk pencapaian
pemerataan yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Rustiadi
et.al. 2011, hal. 120). Pembangunan juga harus memperhatikan peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat. Agar mempermudah dalam melakukan penilaian
kinerja pembangunan maka ditentukan suatu indikator kinerja yang merupakan
ukuran secara kuantitatif dalam pencapaian dan daya tumbuh suatu
negara/wilayah. Indikator tersebut dibangun berdasarkan variabel penting yang
dianggap mampu menggambarkan kinerja pembangunan. Indikator pembangunan
yang sering dipakai antara lain yaitu pertumbuhan ekonomi, ketimpangan
pendapatan, serta angka kemiskinan.
Siregar dan Wahyuniarti (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan.
Syarat kecukupannya (sufficient condition) yaitu bahwa pertumbuhan ekonomi
efektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya pertumbuhan ekonomi tersebut
hendaknya menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan
penduduk miskin (growth with equity).
Sukses atau gagalnya Indonesia dalam mencapai tujuan pembangunan yang
berkesinambungan salah satunya sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemerintah
menjalankan tata kelola pemerintahan. Jika tata kelola pemerintahan dijalankan
secara baik (good governance), maka manajemen sektor publik akan menjadi
efisien, efektif dan terintegrasi, juga sekaligus dapat meningkatkan akuntabilitas
dan transparansi dari pengelolaan keuangan pemerintah (Firdausy 2010).
Salah satu upaya perwujudan tata kelola kepemerintahan yang baik.
Indonesia telah mencanangkan kebijakan otonomi daerah sejak tanggal 1 Januari
2001 yang didukung oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah (Pemda). Menurut Undang-Undang tersebut otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tujuan kebijakan ini untuk
memacu kesejahteraan dan pemerataan pembangunan.
Selanjutnya upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang baik, yaitu dengan mereformasi peraturan di bidang
pengelolaan keuangan negara/daerah menjadi berlandaskan pada Undang Undang
No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, Undang Undang No. 1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara, Undang Undang No. 15/2004 tentang Pemeriksaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah No. 58/2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 24/2005 yang
disempurnakan Peraturan Pemerintah No.71/2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan, Permendagri No. 13/2006 yang disempurnakan Permendagri No.
59/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengatur tentang
pengelolaan keuangan daerah secara ekonomis, efektif, dan efisien.
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, membawa perubahan mendasar sebagai babak baru dimulainya reformasi
keuangan negara, yaitu penyusunan anggaran berbasis kinerja yang berorientasi
pada pencapaian hasil atau kinerja dan didasari oleh prinsip-prinsip pengelolaan

2
keuangan yaitu transparansi, akuntabilitas dan value for money. Pelaksanaannya
mengacu kepada asas-asas umum pengelolaan keuangan negara yang sudah lama
dikenal yaitu meliputi asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan dan asas
spesialitas, serta asas-asas baru dalam pengelolaan keuangan negara antara lain:
1) akuntabilitas berorientasi pada hasil, 2) profesionalitas, 3) proporsionalitas, 4)
keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, 5) pemeriksaan keuangan oleh
badan pemeriksaan yang bebas dan mandiri.
Salah satu konsekuensi diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara yaitu kepala daerah wajib menyampaikan
rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) berupa laporan keuangan yang telah
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selambat-lambatnya enam
bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan keuangan ini kemudian oleh BPK
akan diberikan penilaian menjadi 4 kriteria penilaian yaitu Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW) dan
Tidak Memberikan Pendapat (TMP). Adapun hasil audit BPK terhadap Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dari tahun ke tahun disajikan pada Tabel 1
(BPK 2014).
Tabel 1 Profil perkembangan opini BPK terhadap LKPD a
WTP
LKPD
TA
Jumlah %

a

WDP

TW

Jumlah %

TMP

Jumlah %

Jumlah

%

JUMLAH

2008

13

3

323

67

31

6

118

24

485

2009

15

3

330

65

48

10

111

22

504

2010

34

7

341

65

26

5

121

23

522

2011

67

13

349

67

8

2

100

19

524

2012

120

23

319

61

6

1

79

15

524

Sumber : BPK, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2014; LKPD: Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah; TA: Tahun Anggaran; WTP: Wajar Tanpa Pengecualian, WDP: Wajar
Dengan Pengecualian, TW: Tidak Wajar, TMP: Tidak Memberikan Pendapat

Opini BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2008
sampai dengan tahun 2012 untuk predikat WDP, TW dan TMP masih
berfluktuatif, akan tetapi cenderung menurun. Sementara persentase opini WTP
dari tahun ke tahun cenderung meningkat, namun jumlahnya baru 23% pada
tahun 2012. Artinya laporan keuangan pemerintah daerah sudah menunjukkan
hasil kinerja yang lebih baik yaitu dengan terlihatnya peningkatan opini WTP dan
penurunan opini WDP, TW dan TMP. Pemerintah Daerah yang mempunyai
predikat opini laporan keuangan yang baik diikuti kinerja pembangunan daerah
yang juga baik, diharapkan dapat menjadi contoh atau memberikan pengaruh baik
bagi perekonomian serta pembangunan di daerah lainnya. Indikator kinerja
pembangunan menurut Bappenas dan UNDP (2008) meliputi beberapa aspek
yaitu : aspek kinerja ekonomi, kinerja keuangan, kinerja aparatur daerah, dan
tingkat kesejahteraan masyarakat.

3
Dalam otonomi daerah di bidang keuangan, pemerintah telah melakukan
kebijakan desentralisasi fiskal sesuai amanat Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Desain perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah menggunakan prinsip money follows function
atau uang mengikuti kewenangan. Artinya jika kewenangan dilimpahkan ke
daerah, maka uang untuk mengelola kewenangan pun harus dilimpahkan ke
daerah. Dengan demikian daerah menjadi mampu untuk melaksanakan segala
urusannya sendiri sebab sumber-sumber pembiayaan juga sudah diserahkan.
Apabila terjadi pergeseran wewenang fiskal dan tanggung jawab dari pemerintah
pusat ke tingkat yang lebih rendah, dalam hal ini pemerintah daerah diberikan
kebebasan dalam melaksanakan fungsi dan tanggungjawabnya serta pengambilan
keputusan penyediaan pelayanan terhadap sektor publik, maka secara tidak
langsung dapat berpengaruh positif terhadap pelaksanaan pembangunan ekonomi
di daerah. Hal ini disebabkan keyakinan bahwa pemerintah daerah yang langsung
berhubungan dengan rakyat, sehingga akan memiliki kemampuan yang lebih baik
dalam melayani kebutuhan rakyatnya.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan, selama kurun waktu tahun 2005 sampai dengan 2012,
proporsi penerimaan total Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap penerimaan
seluruh kabupaten/kota di Indonesia rata-rata dibawah 20% (Gambar 1). Sisanya
sebagian besar merupakan transfer dari pemerintah pusat seperti Dana Alokasi
Umum. Hal ini menunjukkan masih adanya ketergantungan kabupaten/kota
terhadap pemerintah pusat dalam membiayai pelaksanaan pembangunan.
25,00

DDF (%)

20,00
15,00
10,00
5,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
DDF
Sumber: DJPK diolah

Gambar 1 Perkembangan derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Indonesia
Jumlah keseluruhan dana APBD, baik yang berasal dari PAD maupun dana
perimbangan, digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat
tergantung pada kebijakan masing-masing pemerintah daerah melalui alokasi
sumber-sumber pendanaan yang tercermin pada alokasi belanjanya.
Perkembangan alokasi belanja pemerintah untuk seluruh kabupaten/kota di

4

(%)

Indonesia menurut jenis belanja selama 8 tahun terakhir menunjukkan porsi
belanja rutin yang masih tinggi yaitu rata-rata diatas 74.69% dari total belanjanya.
Sementara itu porsi belanja modal masih relatif kecil yaitu rata-rata sebesar
25.21% (Gambar 2).

100,00
90,00
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
2005

2006

2007

2008

Belanja Modal

2009

2010

2011

2012

terhadap

total

Belanja Rutin

Sumber: DJPK diolah

Gambar 2

Perkembangan rasio jenis
kabupaten/kota di Indonesia

belanja

belanja

Belanja modal, yang diharapkan dapat memacu perkembangan
pembangunan ekonomi nampaknya masih menunjukkan proporsi yang masih
kecil, walaupun ada indikasi kenaikan setiap tahun. Padahal jenis belanja modal di
era desentralisasi seharusnya mempunyai porsi yang semakin meningkat dari
tahun sebelumnya dan paling besar dibandingkan dengan jenis belanja lainnya.
Sebab jenis belanja modal ini adalah jenis belanja yang bersifat jangka panjang
dan produktif yang digunakan pemerintah untuk membiayai penyediaan barang
publik dalam rangka pelaksanaan pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan fiskal melalui pengeluaran
pemerintah digunakan untuk membiayai tugas-tugas pemerintah dalam
menjalankan fungsi-fungsinya. Selain juga merupakan bagian dari kegiatan
perekonomian nasional. Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu aspek
penggunaan sumber daya ekonomi yang secara langsung dikuasai dan dimiliki
oleh pemerintah dan secara tidak langsung dimiliki oleh masyarakat melalui
pembayaran pajak. Sektor pemerintah memiliki aspek yang luas, antara lain
bagaimana dan pada sektor mana pengeluaran itu dilakukan. Peran pemerintah
tidak bisa dilepaskan dari fungsinya yang terbagi atas fungsi alokasi, fungsi
distibusi dan fungsi stabilisasi.
Berbagai faktor keberhasilan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam
menjalankan fungsinya yang dilihat dari beberapa indikator, selama kurun waktu
2005-2012 menunjukkan kondisi yang membaik. Pertumbuhan ekonomi,
indikator untuk melihat pembangunan ekonomi meningkat dari 5.08% pada tahun
2005 menjadi 6.88% pada tahun 2012 untuk pemerintah kabupaten. Untuk

5
pemerintah kota meningkat dari 5.18% pada tahun 2005 menjadi 6.81% pada
tahun 2012 (Gambar 3). Persentase penduduk miskin juga mengalami penurunan
dari 20.84% pada tahun 2005 menjadi 15.03% pada tahun 2012 untuk pemerintah
kabupaten. Untuk pemerintah kota, penduduk miskin juga mengalami penurunan
dari 9.38% pada tahun 2005 menjadi 8.69% pada tahun 2012 (Gambar 4).

8,00
7,00
6,00
(%)

5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
2005

2006

2007

2008

2009

kabupaten

2010

2011

2012

kota

Sumber: BPS diolah

Gambar 3 Perkembangan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Indonesia
tahun 2005-2012
25,00
20,00

(%)

15,00
10,00
5,00

0,00
2005

2006

2007

2008

kabupaten

2009

2010

2011

2012

kota

Sumber: BPS diolah

Gambar 4 Profil kemiskinan kabupaten/kota di Indonesia tahun 2005-2012
Indikator lain, ketimpangan pendapatan menunjukkan kondisi yang
memburuk. Ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan oleh indeks Gini
cenderung meningkat baik pada pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten.

6
Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya indeks Gini dari 0.29 pada tahun 2005
menjadi 0.34 pada tahun 2012 pada pemerintah kabupaten. Demikian juga pada
pemerintah kota, kenaikan ketimpangan pendapatan ditunjukkan dengan
meningkatnya indeks Gini dari 0.33 pada tahun 2005 menjadi 0.36 pada tahun
2012 (Gambar 5).
0,40
0,35
Indeks Gini

0,30
0,25
0,20
0,15
0,10
0,05
0,00
2005

2006

2007

2008

kabupaten

2009

2010

2011

2012

kota

Sumber: BPS diolah

Gambar 5 Profil ketimpangan pendapatan kabupaten/kota di Indonesia tahun
2005-2012 berdasarkan indeks Gini
Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kondisi perekonomian
dan tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut di atas, merupakan indikasi dampak
peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah, baik melalui mekanisme
dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah, sebagaimana dikemukakan
oleh Keynes dalam Todaro dan Smith (2006). Oleh karena itu pemerintah daerah
harus mampu berperan dalam mengelola keuangannya secara mandiri sehingga
seluruh potensi harus dioptimalkan melalui mekanisme perencanaan yang efektif
dan efisien dengan melihat hasil-hasil pembangunan yang dicapai pada tahun
sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh wilayah otonomi. Peran
pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya harus bersama-sama
mengambil inisiatif dalam pembangunan daerahnya, termasuk menggali potensi
sumber-sumber keuangan daerahnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Otonomi daerah meningkatkan tanggung jawab dan wewenang pemda
dalam mengelola potensi daerahnya untuk membiayai pembangunan daerahnya.
Tata kelola keuangan daerah yang baik diharapkan dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah, namun pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya
tujuan akhir pembangunan. Pembangunan juga harus memperhatikan peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat yang dapat ditandai dengan penurunan angka
kemiskinan. Oleh karena itu perlu dikaji apakah tata kelola keuangan dan
ekonomi yang dilakukan oleh pemda sudah secara efektif dapat meningkatkan
indikator-indikator pembangunan tersebut.

7
Perumusan Masalah
Atas dasar pemikiran tersebut perlu ditelusuri sejauh mana pengaruh tata
kelola keuangan daerah terhadap keberhasilan pembangunan daerah. Dari latar
belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan tata kelola keuangan daerah di Indonesia?
2. Bagaimana perkembangan pembangunan daerah di Indonesia?
3. Bagaimana pengaruh tata kelola keuangan daerah terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah?
4. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi daerah dan ketimpangan
pendapatan terhadap kemiskinan daerah di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Mengacu pada permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis perkembangan tata kelola keuangan daerah di Indonesia.
2. Menganalisis perkembangan pembangunan daerah di Indonesia.
3. Mengidentifikasi pengaruh tata kelola keuangan daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah.
4. Mengidentifikasi pengaruh pertumbuhan ekonomi daerah dan ketimpangan
pendapatan terhadap kemiskinan daerah di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan tambahan
rujukan bagi para mahasiswa atau peneliti yang berminat di bidang tata kelola
keuangan daerah serta perkembangan pembangunan daerah. Penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan informasi tambahan bagi pemerintah dalam
mengambil keputusan kebijakan terkait dengan tata kelola keuangan daerah serta
pembangunan daerah.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup kabupaten/kota di Indonesia, kecuali
DKI Jakarta dan kabupaten/kota yang tidak tersedia datanya sehingga total
kabupaten/kota yang digunakan adalah 436 kabupaten/kota. Tahun analisis yang
digunakan adalah tahun 2005 sampai dengan 2012. Tata kelola keuangan daerah
diwakili oleh derajat desentralisasi fiskal, derajat kebutuhan modal daerah, opini
BPK atas LKPD. Indikator pembangunan daerah diwakili oleh pertumbuhan
ekonomi, indeks Gini dan angka kemiskinan. Indeks Gini diukur menggunakan
data pengeluaran Rumah Tangga (RT).
Model yang dibangun dalam penelitian ini bukan merupakan model yang
ideal, namun merupakan model operasional yang optimal berdasarkan
ketersediaan data time series dan cross section. Dalam penelitian ini tidak
membahas tentang endogeneity yang timbul ketika didalam model data panel
dimasukkan lag variabel tak bebas sebagai regresor dalam regresi. Apabila
kendala tersebut dapat diatasi, maka model yang dibangun diharapkan dapat lebih
baik.

8

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Daerah
Dewasa ini negara-negara berkembang sedang giat-giatnya untuk
melakukan pembangunan, terutama pembangunan dibidang ekonomi. Padahal
perubahan dibidang ekonomi bukan hanya satu-satunya arti yang terkandung
dalam pembangunan. Pembangunan ekonomi yang ditempuh oleh negara-negara
sedang berkembang bertujuan antara lain untuk tercapainya kemakmuran dan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat (Priyarsono 2011).
Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, menciptakan
equity (keadilan, dan pemerataan pembangunan) serta tetap memperhatikan aspek
keberlanjutan sumberdaya bagi generasi berikutnya. Pelaksanaan otonomi daerah
merupakan upaya memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian
daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional,
transparan, partisipatif, bertanggungjawab dan pasti serta mewujudkan sistem
perimbangan keuangan yang harmonis antara pemerintah pusat dan daerah
(Adisasmita 2011, hal. 20).
Indikator kinerja pembangunan daerah terdiri dari aspek ekonomi daerah,
aspek keuangan daerah, pelayanan publik dan aparatur daerah (Bappenas dan
UNDP 2008). Penyelenggaraan pembangunan daerah atas indikator kinerja
pembangunan tersebut secara lengkap ditampilkan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Indikator-indikator kinerja pembangunan daerah
Aspek/Fokus
Ekonomi Daerah

Indikator
1.

Pertumbuhan PDRB Non Migas

2.

PDRB per Kapita

3.
4.

Rasio PDRB Kabupaten terhadap PDRB Provinsi
Angka Kemiskinan

1.

Dependensi fiskal

2.
3.

Kapasitas penciptaan pendapatan
Proporsi belanja modal

4.

Kontribusi sektor pemerintah

Pelayanan Publik

1.
2.
3.
4.
5.

Jumlah siswa per sekolah
Jumlah siswa per guru
Ketersediaan fasilitas kesehatan
Ketersediaan tenaga kesehatan
Kualitas infrastruktur

Aparatur Daerah

1.
2.
3.

Kualitas aparatur yang berstatus PNS
Persentase aparatur pendidik
Persentase aparatur paramedik (tenaga kesehatan)

Keuangan Daerah

Kesejahteraan
1.
Masyarakat
Sumber : Bappenas, 2008.

Indeks Pembangunan Manusia

9
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi mengandung makna adanya peningkatan produksi
barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktifitas ekonomi yang terjadi di
masyarakat. Peningkatan produksi barang dan jasa yang dimaksud diukur
berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilai peningkatan
benar-benar mencerminkan adanya pertumbuhan produksi yang terbebas dari
pengaruh harga (BPS, 2013).
Pertumbuhan ekonomi diperlukan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan merupakan kondisi
utama atau suatu keharusan bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi juga berarti peningkatan kapasitas
perekonomian suatu wilayah dalam waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi dalam
pengertian ekonomi makro adalah penambahan nilai Produk Domestik Bruto
(PDB) riil, yang berarti peningkatan pendapatan nasional.
Untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB), PDRB adalah jumlah nilai output dari sektor
ekonomi atau lapangan usaha. Penghitungan PDRB dikelompokkan menjadi
sembilan sektor yaitu: (1) Pertanian; (2) Pertambangan dan Penggalian; (3)
Industri Pengolahan; (4) Listrik, gas, dan Air Bersih; (5) Bangunan; (6)
Perdagangan, Hotel, dan Restoran; (7) Pengangkutan dan Komunikasi; (8)
Keuangan, persewaan, dan Jasa perusahaan; dan (9) Jasa-jasa.
Berbagai model pertumbuhan ekonomi bermunculan secara dinamis
mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu (Todaro dan Smith
2006). Teori Klasik yang dimotori oleh Adam Smith beranggapan bahwa
pertumbuhan ekonomi sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan penduduk.
Dengan adanya pertambahan penduduk maka akan terdapat pertambahan output
atau hasil. Selain Adam Smith, yang termasuk dalam teori klasik adalah David
Ricardo. Ricardo berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk yang semakin
besar sampai menjadi dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah
tenaga kerja melimpah. Kelebihan tenaga kerja akan mengakibatkan upah menjadi
turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup
minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (stationary
state). Teori Klasik selanjutnya berkembang menjadi Teori Neoklasik yang
dimotori oleh Harrord Domar dan Robert Solow. Harrord Domar beranggapan
bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat
dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori ini juga membahas
tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Sedangkan Solow berpendapat
bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber
pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern. Adapun
pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif.
Oleh karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus
dimanfaatkan sebagai sumber daya yang positif.
Model pertumbuhan Solow dikatakan merupakan pilar yang sangat memberi
kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Pada intinya model ini
merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan
menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi kedalam persamaan
pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow. input tenaga kerja dan modal
memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya

10
dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan
memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith
2006).
Model Neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal
maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar.
Akibatnya, pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di
daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung
melebar. Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin
baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi. maka mobilitas modal dan tenaga
kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara
yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembangunan regional akan
berkurang. Perkiraan ini merupakan kesimpulan kedua dari model ini dan
kemudian dikenal sebagai Hipotesa Neoklasik.
Ketimpangan Pendapatan
Ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi di mana distribusi
pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Taylor (2012) dalam Kuncoro
(2013) mendeskripsikan ketimpangan (inequality) sebagai jurang antara yang
kaya (pendapatan tinggi) dan miskin (pendapatan rendah). Masalah ketimpangan
dalam praktek sering memicu kecemburuan sosial dan kekerasan yang sering
terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Beberapa ukuran ketimpangan yang sering digunakan antara lain indeks
Gini, indeks Theil, dan ukuran ketimpangan dari Bank Dunia. Dalam penelitian
ini pengukuran ketimpangan pendapatan menggunakan Indeks Gini. Indeks Gini
adalah salah satu ukuran ketimpangan yang paling sering digunakan untuk
mengukur besaran ketimpangan pendapatan. Nilai dari indeks Gini bernilai di
antara 0-1. Semakin kecil nilai indeks Gini pada suatu daerah menunjukkan
bahwa ketimpangan yang terjadi semakin baik (semakin merata).
Indeks Gini adalah murni ukuran statistik untuk keragaman dan ukuran
normatif untuk mengukur ketimpangan, beberapa kelebihan indeks Gini. yaitu:
1. Indeks Gini dapat digunakan untuk menghitung pendapatan negatif. Hal ini
merupakan salah satu sifat yang tidak dimiliki oleh sebagian ukuran
ketimpangan.
2. Indeks Gini dapat digambarkan secara geometris sehingga lebih mudah untuk
diamati dan dianalisis.
3. Indeks Gini memiliki teori dasar yang kuat. Sebagai indeks normatif, indeks
Gini dapat merepresentasikan teori kemiskinan relatif. Selain itu, indeks Gini
juga dapat diturunkan sebagai ukuran ketimpangan berdasarkan aksiomaaksioma keadilan sosial.
Pada tahap awal pembangunan, distribusi pendapatan cenderung memburuk.
namun pada tahap selanjutnya distribusi pendapatan akan membaik. Keadaan
tersebut terjadi karena pada tahapan pertumbuhan awal akan terpusat di sektor
industri modern, yang mempunyai lapangan kerja terbatas namun tingkat upah
dan produktivitas yang tinggi. Observasi inilah yang dikenal Ketimpangan
Pendapatan dengan kurva Kuznets “U-terbalik”, karena perubahan longitudinal
dalam distribusi pendapatan, misalnya koefisien Gini, tampak seperti kurva
berbentuk U-terbalik (Gambar 6).

11

Ketimpangan Pendapatan

PDB per kapita
Gambar 6 Kurva U-terbalik
Kurva
Kuznets
dapat
dihasilkan oleh
proses
pertumbuhan
berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring dengan
perkembangan suatu wilayah dari perekonomian tradisional ke perekonomian
modern. Di samping itu, imbalan yang diperoleh dari sektor pendidikan mungkin
akan meningkat terlebih dahulu, karena sektor modern yang muncul memerlukan
tenaga kerja terampil, namun imbalan ini akan menurun karena penawaran tenaga
kerja terdidik meningkat dan penawaran tenaga kerja tidak terdidik menurun
(Todaro dan Smith 2006).
Angka Kemiskinan
Konsep kemiskinan memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan
dimensi non pendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan
sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah yang diukur dari hal
kepemilikan harta kekayaan seperti lahan dan kesulitan dalam mengakses jasa
pelayanan publik. Sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan
adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan
kebebasan yang dapat juga menimpa pada berbagai level pendapatan. Kemiskinan
dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan
dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut (Bellinger
2007).
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis
kemiskinan, semakin tinggi garis kemiskinan semakin banyak penduduk yang
tergolong sebagai penduduk miskin (Kuncoro 2013, 195). Konsep yang mengacu
pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan pengukurannya
tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan
absolut adalah derajat kemiskinan di bawah kebutuhan minimum untuk bertahan
hidup tidak dapat terpenuhi. Ukuran ini relatif tetap dalam bentuk kebutuhan
kalori minimum ditambah komponen non makanan yang juga sangat dibutuhkan
untuk tetap bertahan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah ukuran mengenai
kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di
bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan.
Kemiskinan menurut BPS diukur dengan menggunakan konsep kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini,
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi

12
pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK),
yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan
Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Penghitungan Garis Kemiskinan
dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk
miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan
dibawah garis kemiskinan.
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2 100 kalori perkapita per
hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480
kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan non makanan (GKNM)
adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan
dan kebutuhan dasar lainnya. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis
kemiskinan berdasarkan hasil Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS).
Garis kemiskinan juga berbeda-beda untuk tiap daerah tergantung besarnya
biaya hidup minimum masing-masing daerah. Akar penyebab kemiskinan
pedesaan dan perkotaan menurut Papilaya (2013):
1. Tipologi Kemiskinan Pedesaan
Menurut Munker dalam Papilaya (2013) sebab-sebab utama kemiskinan di
pedesaan adalah ketidakmampuan masyarakat menghadapi kondisi-kondisi
kondisi-kondisi yang berubah, karena (a) kondisi kesehatan dan fisik yang
lemah karena kekurangan gizi dan penyakit; (b) pengalaman yang menjadi
sumber pengetahuan tidak relevan dengan perubahan zaman; (c) ketiadaan
akses terhadap teknologi; (d) sumber pendapatan tidak terjamin; (e) kondisi
pemerintahan, hukum, dan politik tidak berpihak pada kaum miskin; dan (f)
bias perkotaan dan terbatasnya infrastruktur pedesaan.
2. Tipologi Kemiskinan Perkotaan
Penyebab kemiskinan di perkotaan, yaitu: (a) kerangka kerja pemerintah dan
hukum yang tidak memadai; (b) urbanisasi, buta huruf, kawasan kumuh; (c)
ketidakmampuan mendapatkan kerja; (d) pengangguran; dan (e) tidak
memiliki akses terhadap sumber daya tanah air dan negeri.
Papilaya (2013) merumuskan delapan strategi percepatan pengurangan
kemiskinan dan pemiskinan sebagai berikut:
1. Pelembagaan tata kepemerintahatahan yang baik (Good Governance)
Strategi ini bertujuan untuk membentuk atau mengubah perilaku individu dan
perilaku kolektif menjadi perilaku baru yang lebih produktif dan normatif
bagi rumah tangga miskin, pemerintah/para elitis, dan dunia usaha. Strategi
ini dilakukan melalui pelembagaan dan penerapan prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik dalam kehidupan rumah tangga dan penyelenggaraan
pemerintah, pembangunan dan pelayanan publik.
2. Peningkatan kapabilitas rumah tangga miskin
Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan potensi diri, rasa percaya diri, dan
kemampuan serta spirit kewirausahaan rumah tangga miskin (RTM) dan
stakeholders terkait.
3. Revitalisasi modal sosial
Strategi ini bertujuan untuk memberdayakan nilai-nilai kearifan lokal sebagai
kekuatan perekat, pendorong, dan penghela di antara sesama stakeholder
pembangunan sehingga dapat berfungsi sebagai jaring pengaman sosial
(social safety net) dalam upaya pengurangan kemiskinan dan pemiskinan.

13
4. Advokasi kebijakan publik
Strategi ini bertujuan untuk me