ANALISIS PENEGAKAN HUKUM CYBERTERRORISM DI INDONESIA

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM CYBERTERRORISM DI INDONESIA

Oleh

Dermawan Taufik Mangapul Hutauruk

Cyberterrorism dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme konvensional yang beroperasi di Indonesia telah terhubung oleh jaringan terorisme international, hubungan ini dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi berupa internet yang sifatnya menjangkau seluruh dunia terutama untuk menyebarkan pesan, menyebarkan ideologi, mengumpulkan dukungan bagi organisasi terorisme, perekrutan anggota, dan berkomunikasi dalam merencanakan suatu serangan nyata serta menggunakan teknologi informasi untuk menggalangan dana untuk kegiatan yang dilakukan oleh kelompok terorisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, pendekatan analisis empiris karena penelitian ini berdasarkan jenisnya merupakan kombinasi antara penelitian normatif dengan empiris. Sedangkan berdasarkan sifat, bentuk dan tujuannya adalah penelitian deskiptif dan problem identification, yaitu dengan mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah Penyidik Mabes Polri, Penyidik Polri Densus 88 Anti Teror Polda Lampung, Kejaksaan Tinggi Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Akademisi bagian Hukum Pidana FH.Unila Lampung. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, hal ini didasarkan pada teori bahwa penelitian normatif.

Hasil penelitian dan pembahasan diperoleh upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap kejahatan cyberterrorism menggunakan upaya represif dan upaya preventif. Upaya represif berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Upaya preventif mewujudkan cyber taskforce dengan real time instrusion detection system network (real time IDS Network) yang dipergunakan oleh National Police Agency Of Japan (NPA). Faktor penghambat yang mempengaruhi dalam penegakan hukum cyberterrorism


(2)

Undang-undang yang mengatur cyberterrorism sangat lemah, Aparat penegak hukum harus memiliki kualitas dalam melakukan sistem peradilan pidana terhadap kejahatan cyberterrorism, Ketidak siapan intitusi penegak hukum dikarenakan kurangnya sarana dan fasilitas, kesadaran hukum yang lemah.

Kesimpulan upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap kejahatan cyberterrorism Upaya represif berdasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Faktor penghambat yang mempengaruhi dalam penegakan hukum cyberterrorism yaitu undang-undang yang mengatur cyberterrorism sangat lemah; kualitas aparat penegak hukum; tingkat kesadaran hukum masyarakat yang lemah; faktor budaya politik yang menggunakan kesan pemaksaan merupakan satu wujud distorsi perpolitikan masyarakat

Saran diharapkan pemerintah agar cepat melakukan pencegahan dan penanggulangan ancaman cyberterrorism lokal maupun internasional yang berkaloborasi dengan tindak pidana terorisme international dengan cara membuat undang-undang yang khusus atau meninjau kembali Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta mewujudkan pencegahan terhadap kejahatan cyberterrorism agar cyberterrorist tidak melakukan kejahatannya dengan cara mewujudkan cyber taskforce, dengan real time instrusion detection system network (real time IDS Network) yang dipergunakan oleh National Police Agency Of Japan (NPA) dan melkukan kerjasama menyeluruh antara lembaga pemerintah, aparat penagak hukum, segenap lapisan masyarakat, dan negara lain dalam menanggulangi kejahatan cyberterrorism dengan jaringan terorisme.


(3)

ABSTRACT

LAW ENFORCEMENT CYBERTERRORISM ANALYSIS IN INDONESIA

By

DERMAWAN TAUFIK MANGAPUL HUTAURUK

Cyberterrorism in its development organization and has been building a global network in which conventional terrorist groups that operate in several countries have been connected by a network of international terrorism, this connection is done by using information technology in the form of the internet that its reach throughout the world, especially to spread the message, spread the ideology, collect support for terrorist organizations, recruiting members, and communicate in real plan an attack as well as using information technology to menggalangan funds for activities carried out by terrorist groups.

This study using a normative juridical approach, empirical analysis approach because it is based on the type of research is a combination of normative with empirical research. While based on the nature, shape and purpose is deskiptif research and problem identification, by identifying the problems that arise later described by the regulations or the applicable legislation and supported by basic theory related to research. The population in this study is the Investigator Police Headquarters, Police Investigator Densus 88 Anti-Terror Police Lampung, Bandar Lampung District Attorney, District Court Judge in Cape Coral, Academics section of Criminal Law FH.Unila Lampung. Analysis of data used in this study is a qualitative analysis, this is based on the theory that normative research.

Results of research and discussion of data obtained from cyberterrorist role performed by the terrorist network in Indonesia using the Internet for the purposes of the organization and also serves as a communications medium, Personnnel and Logistical Support, Intelligence Gatheringn way is by using carding, hacking and Cracking and propaganda.

Advice given is the law enforcers should be careful in using the basic law or laws in the conduct of law enforcement processes to then be submitted to and accepted by the judge, not apart from nature as a new crime then the crime cyberterrorism eventually require new provisions for the appliance electronic evidence can be accepted as valid evidence. For the Police of the Republic of Indonesia to provide training to members in equipment mengopersionalkan diteksi supervision of work of information technology systems that use the Internet network, improving facilities and supporting infrastructure for the investigation of crime investigation and cyberterrorism in the area, so that these crimes can be prevented as early as


(4)

possible, the government needs to immediately increase cooperation with countries in the world in tackling crime cyberterrorism, the government needs to do counseling and socialization of the danger the threat of terrorism groups


(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring semakin berkembangnya kemajuan teknologi telekomunikasi, media, dan informatika, telah melahirkan internet sebagai salah satu fenomena penting dalam kehidupan manusia. Keberadaan aplikasi internet telah membawa berbagai dampak positif bagi kehidupan kita. Internet telah menyediakan akses yang murah, cepat, dan dapat dilakukan setiap saat untuk mendapatkan berbagai informasi yang kita inginkan dari seluruh dunia. Namun selain telah memberikan dampak positif, internet juga dapat memberikan dampak negatif.

Aplikasi internet dapat beroperasi dengan menggunakan sistem Komputer. Tujuan pokok dari suatu sistem komputer adalah untuk mengolah data yang diperoleh guna menghasilkan suatu informasi (Edmon Makarim, 2003: 392). Sehingga penyalahgunaan komputer yang menyimpang dari tujuan pokok tersebut dapat menimbulkan apa yang disebut sebagai kejahatan komputer.

Menurut Andi Hamzah (cet.2 1990: 26), kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal, memperluas pengertian kejahatan komputer dengan mengemukakan bahwa.


(6)

Kejahatan komputer adalah segala aktifitas tidak sah yang memanfaatkan komputer untuk tindak pidana. Sekecil apapun dampak atau akibat yang ditimbulkan dari penggunaan komputer secara tidak sah atau ilegal merupakan suatu kejahatan. Menurutnya pula, kejahatan komputer bukanlah merupakan kejahatan baru, melainkan kejahatan biasa, karena masih mungkin diselesaikan melalui KUHP.

Kejahatan komputer yang menggunakan internet disebut dengan tindak pidana mayantara (cybercrime).

Menurut Barda Nawawi, tindak pidana mayantara adalah teknologi komputer dengan menggunakan internet tidak hanya digunakan untuk kegiatan pemerintah, bisnis, maupun pendidikan, tapi juga digunakan dalam melakukan kejahatan yaitu sebagai alat pencurian, penipuan, pornografi, dan berbagai kejahatan lainnya kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi internet ini disebut dengan istilah cybercrime. Barda Nawawi Arief, (2000: 8)

Isi dalam back ground paper untuk lokakarya kongres PBB X/2000 di Wina Austria PBB tentang The prevention of crime and the treatment of offenders menyebutkan dua istilah yang di kenal sebagai cybercrime :

a. Cybercrime dalam arti sempit adalah computer crime :

“any illegal behavior directed by means of electronic operation that target the security of computer system and the data processed by them”

(tindakan ilegal apapun yang terarah dengan maksud untuk eksploitasi Elektronika yang menargetkan keamanan dari sistem komputer dan data yang telah diolah)

b. Cybercrime dalam arti luas adalah computer related crime :

any illegal behavior committed by means on relation to, a computer system offering or system or network, including such crime as illegal possession in, offering or distributing information by means of computer system or network”

(segala tindakan ilegal apapun yang telah dilakukan sehubungan dengan penawaran sistem komputer atau sistem atau jaringan, mencangkup kepemilikan, penawaran atau distribusi informasi ilegal yang ditujukan untuk sistem komputer atau jaringan)


(7)

Ditegaskan dalam dokumen PBB X/2000 di Wina Austria bahwa cybercrime meliputi kejahatan yang dilakukan:

1. dengan menggunakan sarana-sarana dari sistem/ jaringan komputer; 2. didalam sistem/jaringan komputer; dan

3. terhadap sistem/jaringan komputer

Berdasarkan kejahatan diatas bahwa cybercrime jenis ke 1 dan ke 2 merupakan cybercrime dalam arti luas, sedangkan jenis ke 3 merupakan cybercrime dalam arti sempit. (http://en.pendis.depag.go.id/Jurnal/6.achmad tahir.pdf., 8 Januari 2010: 21.00)

Menurut Muhammad Bagir (2005: 3) computer crime dengan cybercrime mempunyai perbedaan dalam pelaksanaannya, perbedaannya adalah :

“bahwa tindak kejahatan cybercrime tersebut dilakukan dengan memanfaatkan teknologi komputer yang berhubungan dengan jaringan informasi publik yaitu internet. Kejahatan komputer (computer crime) fase awal yang timbul di antaranya adalah penyerangan sistem telepon dan jaringan atau pentransferan uang menggunakan perangkat elektronik. Karena komputer pada awalnya berpusat dan tidak terkoneksi, peluang terjadinya kejahatan komputer lebih terbatas berupa penyalahgunaan sistem otorisasi penggunanya. Akan tetapi pengertian ini berkembang lebih luas karena saat ini komputer telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sehingga terdapat perbuatan yang lebih luas dari computer crime, yaitu cybercrime.”

Cybercrime tidak terbatas pada kejahatan terhadap perangkat komputer saja, tetapi ada kejahatan yang memanfaatkan komputer saja, tetapi ada kejahatan yang memanfaatkan komputer untuk melakukan kejahatan lain. Dengan demikian kejahatan cybercrime ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :


(8)

1. Kejahatan terhadap komputer, yang bertujuan merusak atau menyerang sistem atau jaringan komputer ;

2. Kejahatan yang menggunakan komputer (internet) sebagai alat dalam melakukan kejahatan.

Pendapat Susan W. Brenner mengatakan bahwa cybercrime memang benar nyata dan berbeda dari metode kejahatan tradisional sehingga membutuhkan artikulasi hukum baru dan pembentukan teknik investigasi yang baru. Akan tetapi jika mengasumsikan bahwa perbutan cybercrime bukanlah fenomena baru melainkan tidak lebih dari pelaku yang menggunakan sistem elektronik untuk melakukan sesuatu yang melanggar hukum, dan suatu sistem elektronik hanyalah media yang digunakan untuk melakukan kejahatan tradisional, maka tidak perlu ada kategori khusus untuk cybercrime dan membuat peraturan baru untuk mengatasinya; hukum yang sudah ada seharusnya cukup untuk melakukannya. Sebab sesuguhnya aktivitas di internet dan akibat hukumnya tidak bisa dilepaskan dari manusia yang ada didunia nyata, sehingga aturan hukum tradisional seharusnya dapat pula digunakan untuk mengatur aktivitas tersebut. (Susan W. Brenner, 2001: 3)

Pada prinsipnya, perbuatan-perbuatan yang dilakukan pada penyalahgunaan komputer itu sebagian besar sudah diatur dan ditetapkan dalam pasal-pasal KUHP, yang membedakannya dengan delik lama dalam KUHP adalah alat atau sarana yang dipakai untuk melakukan perbuatan penyalahgunaan terbaru itu yakni dengan memanfaatkan peralatan komputer. Namun, mengingat karaktekristik aktivitas diinternet yang dilakukan secara virtual dan tidak mengenal batas-batas teritorial, muncul asumsi mengenai bisa dan tidaknya sistem hukum tradisional


(9)

mengatur aktivitas tersebut. Dengan demikian, masalah yang timbul sebenarnya bukan mengenai perlu atau tidaknya suatu aturan hukum mengenai aktivitas di internet, melainkan mempertanyakan eksistensi sistem hukum tradisional dalam mengatur aktivitas di internet. Ditambah lagi, cybercrime merupakan kejahatan yang terjadi di suatu sistem elektronik sehingga sulit dipastikan yuridiksi hukum negara mana yang berlaku terhadapnya. (Andi Hamzah, cet.2 1990: 29)

Cybercrime memiliki beberapa bentuk, yang pada umumnya merupakan bentuk kejahatan biasa, hanya saja mengalami perkembangan dengan menggunakan teknologi. Menurut Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom membagi jenis kejahatan yang termasuk dalam kategori cybercrime, sebagai berikut :

1. Cyber-terrorism

2. Cyber-pornography. Penyebaran obscene materials termasuk pornography, indecent exposure, dan child pornography

3. Cyber-harassment. Pelecehan seksual melalui e-mail, websites, atau chat programs

4. Cyber-stalking. Crimes of stalking melalui penggunaan komputer dan internet

5. Hacking. Penggunaan programming abilities dengan maksud yang bertentangan dengan hukum

6. Carding ( credit-card fraud). Melibatkan berbagai macam aktivitas yang melibatkan kartu kredit. Carding muncul ketika seseorang yang bukan pemilik kartu kredit menggunakan kartu kredit tersebut secara melawan hukum. (Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005: 26)


(10)

Berdasarkan bentuk tindak pidana cybercrime di atas dan mempersempit pembahasan, maka penulisan skripsi hanya difokuskan pada salah satu bentuk cybercrime, yaitu Cyberterrorism Secara umum pengertian Cyberterrorism adalah konvergensi dari terorisme dan cyberspace (Mohammad Iqbal, 2004: 402). Penyebutan terminologi cyberterororrism, yang terdiri dari kata “cyber” dan “terrorism”, pertama kali dikemukakan pada tahun 1980 oleh Barry C.Colin, seorang peneliti senior di Institute for Security and Intelligence di California. Akan tetapi sebenarnya tidak terdapat definisi standar mengenai apa yang dimaksud dengan cyberterrorism, karena terorisme sendiri masih terdapat definisi luas. (Mohammad Iqbal, 2004: 402)

Cyberterrorism dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme konvensional yang beroperasi di berbagai Negara telah terhubung oleh suatu jaringan terorisme international. Hubungan ini dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi berupa internet yang sifatnya menjangkau seluruh dunia terutama untuk menyebarkan pesan, menyebarkan ideologi, mengumpulkan dukungan bagi organisasi, perekrutan anggota, dan berkomunikasi dalam merencanakan suatu serangan nyata. Bahkan menggunakan teknologi informasi untuk menggalang dana untuk kegiatan terorisme.

Cyberterrorism menjadi aktual sejak terjadinya peristiwa di Indonesia, pada tanggal 12 dan 16 Agustus 2006 lalu, polisi telah menangkap dua tersangka cyberterrorism dalam pembuatan situs http:www.anshar.net. dua orang tesebut bernama Agung Prabowo alias Max Fiderman (24) pada 12 Agustus 2006, dan


(11)

Agung Setiadi (30) yang disebut oleh polisi sebagai contoh kasus cyberterorrism. Situs ini menyebarluaskan bahan-bahan peledak dan senjata. Selain juga menebarkan orasi Noordin M.Top serta skenario pelaku bom bunuh diri pada kasus Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002, Bom Bali II tanggal 1 Oktober tahun 2005 (http://m.detik.com), 23 Januari 2010: 14.00). Setelah kejadian bom Bali 1 dan bom Bali 2, pada tanggal 25 Agustus tahun 2009 lalu Datasemen Khusus 88 Polisi Republik Indonesia menangkap satu orang tersangka cyberterrorism sebagai kurir pendanaan bagi pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton melalui situs Arrahman (www.arrahmah.com) satu orang tersebut bernama Muhammad Jibril Abdul Rahman alias Muhamad Ricky pada kasus ini tersangka disebut sebagai cyberterrorist, yang berarti bahwa kejahatan yang dilakukannya adalah kejahatan cyberterorrism (http://m.detik.com, 23 Januari 2010: 14.15).

Namun istilah kejahatan cyberterorrism tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia. Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warganya dari tindakan atau aksi cyberterrorism adalah melalui penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai. Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan analogi atau perumpamaan dan persamaan pasal-pasal yang ada di Undang-undang :

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab undang-undang hukum acara Pidana (KUHAP)


(12)

2. Undang-undang Nomor. 15 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor. 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, menjadi undang-undang. Selain mengatur aspek materil juga mengatur aspek formil. Sehingga, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan penyelesaian perkara pidana yang terkait dengan terorisme dari aspek materil maupun formil dapat segera dilakukan.

3. Undang-Undang Nomor.36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi

4. Undang-Undang Nomor.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

Menurut T. Nasrullah (2008:3) Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures).

Tentu perlu diketahui apakah kegiatan cyberterrorism yang dilakukan oleh pelaku dalam kasus situs anshar dan situs arrahmah tersebut diatas termasuk dalam kategori cyberterrorism, karena terorisme yang dilakukan adalah bentuk terorisme konvensional, meskipun menggunakan bantuan teknologi komputer dalam melakukan aksinya. Sehingga sangat penting mengidentifikasikan apa yang dimaksud dengan cyberterrorism. Yang bertujuan agar tidak tejadi kesalahan dalam memprosesnya di depan hukum, terutama untuk melakukan Penegakan


(13)

hukum yang lebih tepat untuk cyberterrorism, apakah cukup tertampung oleh undang-undang terorisme yang kita miliki, ataukah perlu diadakan amandemen terhadap undang-undang tersebut, atau justru perlu ada undang-undang baru yang khusus mengatur mengenai masalah kejahatan internet, termasuk didalamnya cyberterrorism.

Berdasarkan kasus di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul: Analisis Penegakan Hukum Cyberterrorism di Indonesia

B. Permasalahandan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan pada uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap cyberterrorism di Indonesia ? b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam penegakan hukum

cyberterrorism di Indonesia?

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup dari penulisan skripsi ini agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang akan dibahas, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan menurut ilmu hukum pidana dengan mengkaji pelaksanaan mengenai Penegakan hukum tentang Undang-undang yang berlaku mengenai cyberterrorism serta mengkaji faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam Penegakan hukum cyberterrorism di Indonesia dari tahun 2005-2010.


(14)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan agar dapat mengetahui :

a. Penegakan hukum terhadap cyberterrorism di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Faktor penghambat dalam Penegakan hukum cyberterrorism di Indonesia

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini meliputi kegunaan teoritis dan praktis, yaitu : a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis kegunaan penelitian ini berguna untuk dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan hukum tindak pidana cybercrime dan menambah perbendaharaan kepustakaan hukum.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis penulisan ini berguna sebagai bahan pemikiran dan masukan bagi para aparat penegak hukum Polisi, Jaksa, Hakim, masyarakat yang bernaung pada hukum dan para pengguna fasilitas layanan internet.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah kerangka-kerangka yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang relevan untuk penelitian. (Soerjono Soekanto 1986:24).


(15)

Melakukan Analisis (content analysis), adalah teknik untuk menganalisa tulisan atau dokumen dengan cara mengidentifikasi secara sistematik atau ciri atau karakter dan pesan atau maksud yang terkandung dalam suatu tulisan atau dokumen. (Sri Mamudji.2005:4)

Menurut Sudarto (1986: 35), bahwa sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana dalam bentuk yang bersifat :

a. Penegakan hukum preventif, usaha pencegahan kejahatan agar pelaku kejahatan tidak melakukan kejahatan.

b. Penegakan hukum represif, suatu tindakan yang dilakukan aparat penagak hukum dalam menangani suatu kejahatan.

c. Penegakan hukum kuratif, suatu penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada pencegahan tindakan terhadap orang yang melakukan kejahatan.

Menurut Soerjono Soekanto (2010: 8), faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi penegakan hukum sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada:

1. Hukumnya sendiri, hukum disini akan dibatasi pada undang-undang 2. Penegak hukum, pihak yang menerapkan hukum.

3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Masyarakat , lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan. 5. kebudayaan, hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia

didalam pergaulan hidup.

Menurut Freidman (Achmad Ali.2002:7), agar hukum dapat ditegakkan dengan baik, maka harus dibangun berdasarkan tiga unsur, antara lain :

a. Struktur Hukum (Legal Structure)

Struktur menurut Freidman kerangka atau rangkanya yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia maka yang dimaksud struktur kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Oleh karena itu, struktur yang dimaksud disini adalah penegak hukum.

b. Substansi Hukum (Legal Subtance)

Substansi merupakan hal kedua yang menjadi penentu tegaknya hukum dalam sebuah lingkungan sosial. Substansi ini dilanjutkan Freidman adalah aturan, norma, dan prilaku nyata manusia yang berada dalam suatu sistem.


(16)

c. Kultur Hukum (Legal Culture)

Freidman menjelaskan bahwa kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan system hukum kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan. Dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan.

Menurut Simecca dan Lee (Romli Atmasasmita, 2005: 57), konflik sebagai paradigma studi kejahatan organisasi masyarakat menganut prinsip-prinsip sebagi berikut :

a. Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda

b. Terjadinya perbedaan penilaian dalam kelompok-kelompok tersebut tentang baik dan buruk

c. Konflik antara kelompok-kelompok tersebut mencerminkan kekuasaan politik

d. Hukum disusun untuk kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan politik.

e. Kepentingan utama dari pemegang kekuasaan politik untuk menegakan hukum adalah menjaga dan memelihara kekuasaannya.

Prespektif Konflik tidak yakin bahwa konflik kepentingan dapat diselesaikan, bahkan model prespektif konflik menuduh bahwa sesungguhnya tidak ada penyelesaian , melainkan yang ada hanyalah ”paksaan”(coercion) dari pemegang kekuasaan politik kepada kelompok yang tak berdaya

Kongres PBB Ke-8 Tahun 1990 di Havana (Barda Nawawi, 2002: 45) antara lain ditegaskan bahwa strategi dalam menanggulangi kondisi yang menimbulkan kejahatan adalah

”aspek-aspek sosial dari pembangunan merupakan faktor penting dalam pencapaian sasaran strategis pencegahan kejahatan dan harus diberikan prioritas paling utama” (the social aspects of development are an important factor in the achievement of the objective of the strategy for crime prevention and criminal justice in the context of development and should be given higher priority).


(17)

Menurut Soerjono Soekanto (2010: 7), gangguan terhadap penegakan hukum terjadi apabila adanya ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma didalam kaidah-kaidah bersimpang siur, dan pola prilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.

Selain teori di atas penulis menambahkan menggunakan teori Cyberterrorism merupakan konvergensi dari terorisme dan cyber space. Penyebutan terminologi cyberterrorism, yang terdiri dari kata ”Cyber” dan ”Terrorism”, pertama kali dikemukakan pada tahun 1980 oleh Barry C. Colin, seorang peneliti senior di Institute for Security and Intelligence di California. (Mohammad Iqbal, 2004: 402)

2. Konseptual

Konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang digunakan dalam penulisan atau apa yang diteliti. (Soerjono Soekanto 1986:132).

Pengertian pokok-pokok istilah yang akan digunakan sehubungan dengan obyek dan ruang lingkup penulisan sehingga mempunyai batasan yang jelas dan tepat dalam penggunaannya.

Adapun istilah serta pengertian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi :

a. Analisa isi adalah teknik untuk menganalisa tulisan atau dokumen dengan cara mengidentifikasikan secara sistematik ciri atau karakter dan pesan atau maksud yang terkandung dalam suatu tulisan atau dokumen. (Sri Mamudji.2005:4)


(18)

b. Secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. (Soekanto Soerjono, 2010: 5) c. Secara umum pengertian cyberterrorism menurut Federal Bureau Of

Investigation adalah suatu bentuk kegiatan terencana yang termotivasi secara politis yang berupa serangan terhadap informasi, sistem informasi, program komputer dan data sehingga mengakibatkan kerugian besar serta jatuhnya korban yang tak berdosa yang dilakukan oleh satu kelompok group atau perorangan.

(The premeditated, politically motive attack against information, computer system, computer program, and data which result in violence against noncombatant targets by subnational groups or clandestine agents)

Tidak semua serangan terhadap suatu komputer dikategorikan sebagai suatu bentuk cyberterrorism. Suatu kegiatan dapat disebut cyberterrorism ketika serangan dilakukan terhadap sistem jaringan komputer serta infrastruktur telekomunikasi milik pemerintah militer atau pihak lainnya yang data mengancam keselamatan hidup manusia. Dengan demikian, serangan terhadap suatu sistem tanpa motif politik tidak dikategorikan sebagai cyberterrorism. (Sutan Remy Syahdeini, 2009: 99 )

d. Terorisme adalah tindakan yang melawan hukum dengan cara menebarkan terror secara meluas kepada masyarakat, dengan mengancam atau cara kekerasan, baik yang diorganisir maupun tidak, serta menimbulkan akibat


(19)

berupa penderitaan fisik dan/atau psikologi dalam waktu berkepanjangan, kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). (Petrus Reinhard, 2009: 6)

e. Tindak pidana terorisme adalah Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional. (Pasal 7, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003).

E. Sistematika Penulisan

Agar memudahkan dalam membaca dan memahami isi dari skripsi ini, maka penulis menyusun kedalam lima bab, yang isinya mencerminkan susunan dan ciri sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang isinya memuat latar belakang tentang tindak pidana cyberterrorism, dan uraian latar belakang tersebut kemudian disusun pokok yang menjadi permasalahan dalam penulisan selanjutnya serta memberikan batasan-batasan penulisan. Selain itu pada bab ini juga memuat tujuan dan kegunaan dari penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematis penulisan.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar dalam pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan tentang penegakan hukum tindak pidana cyberterrorism.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini menguraikan tentang metode-metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini yang menunjukan langkah-langkah dalam pendekatan masalah, langkah-langkah penelitian, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan bab yang memuat hasil-hasil penelitian dan pembahasan serta jawaban dari bagaimana penegakan hukum cyberterorrism di Indonesia, dan faktor penghambat dalam penegakan hukumnya yang telah dilakukan oleh penulis.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, selanjutnya terdapat juga saran penulis yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.


(21)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, 2000. Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

, 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Atmasasmita, Romli, 2005. Terori Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: Refika Aditama.

Hamzah, Andi, 1990. Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer: Jakarta: Sinar Grafika.

Makarim, Edmon,. 2003. Komplikasi Hukum Telematika. Jakarta: RajaGrafindo. Mansur, Didik M. Arief dan Elisatris Gultom, 2005. Cyber law: Aspek Hukum

Teknologi Informasi: Bandung: Refika Aditama.

Nasrullah, T. Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-undang Nomor 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Makalah Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara” yang diadakan oleh Indonesia Police Watch bersama Polda Metropolitan Jakarta Raya.

Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Wahid, Abdul dan Muhammad Labib, 2005. Kejahatan Mayantara (Cybercrime), (Bandung: Rafika Aditama).

Undang-Undang No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-undang Nomor 11, Tahun 2008, Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-undang Nomor 15, LN. Nomor 45 Tahun 2003, TLN. No. 4284.Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang.


(22)

http://www.anshar.net http://www.Arrahmah.com http://m.detik.com

Achmad Tahir, Penegakan Hukum Cyber Crime Di Indonesia, http://en.pendis.depag.go.id, 07-2009.


(23)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap kejahatan cyberterrorism menggunakan upaya represif dan upaya preventif. Upaya represif dilakukan menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Upaya preventif merupakan usaha pencegahan terhadap kejahatan cyberterrorism agar cyberterrorist tidak melakukan kejahatannya dengan menggunakan sistem cyber taskforce dengan real time instrusion detection system network (real time IDS Network), melakukan pemblokiran situs yang digunakan cyberterrorist di Indonesia, memberantas tuntas kelompok jaringan terorisme, melakukan pencerahan terhadap pemahaman radikalisme melalui pemuka agama, dan membuat sosialisasi tentang kejahatan cyberterrorism dengan media komunikasi agar masyarakat dapat bekerja sama dalam penanggulangan kejahatan cyberterrorism.

2. Faktor penghambat yang mempengaruhi dalam penegakan hukum cyberterrorism yaitu faktor undang-undang yang mengatur cyberterrorism


(24)

sangat lemah sehingga dibutuhkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara kontra-duktif mengenai Kejahatan cyberterrorism; faktor aparat penegak hukum harus memiliki kualitas dalam melakukan sistem peradilan pidana terhadap kejahatan cyberterrorism baik dari sumberdaya manusianya maupun lembaganya; Ketidak siapan intitusi penegak hukum dalam mengantisipasi maraknya kejahatan ini banyak dikarenakan kurangnya sarana dan fasilitas dalam melakukan upaya penegakan hukum terhadap kejahatan cyberterrorism; faktor tingkat kesadaran hukum masyarakat yang lemah disebabkan karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang penyebab dan akibat dari kejahatan cyberterrorism berdampak pada upaya penegakan hukum preventif dan represif terhadap kejahatan cyberterrorism terkendala; faktor timbulnya disintegrasi dikarenakan adanya trauma yang diakibatkan dari budaya politik yang menggunakan kesan pemaksaan merupakan satu wujud distorsi perpolitikan masyarakat

B. Saran

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang dikemukakan diatas, maka saran yang dapat diberikan demi perbaikan penegakan hukum cyberterrorism di masa mendatang, diharapkan kepada pemerintah agar cepat melakukan pencegahan dan penanggulangan ancaman cyberterrorism lokal maupun internasional yang berkaloborasi dengan tindak pidana terorisme international, dengan cara membuat undang-undang yang khusus untuk mengatur kejahatan tehnologi informasi atau meninjau kembali Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang


(25)

Informasi dan Transaksi Elektronik. Untuk mencapai kepastian hukum yang didukung dengan meningkatkan kualitas dan kapasitas aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan hakim baik secara instansi maupun individual. Dengan cara memberikan pelatihan keterampilan khusus dalam mengopersionalkan alat teknologi informasi, sehingga cermat dalam menggunakan dasar hukum dalam melakukan proses penegakan hukum untuk kemudian dapat diajukan dan diterima oleh hakim. Sehingga tata kerjanya pun bisa juga khusus untuk menanggulangi kejahatan cyberterrorism didalam masyarakat.

Dalam upaya mewujudkan pencegahan preventif terhadap kejahatan cyberterrorism agar cyberterrorist tidak melakukan kejahatannya, Sistem cyber taskforce dengan real time instrusion detection system network (real time IDS Network) akan berfungsi sebagai upaya penanggulangan kejahatan yang menitikberatkan pada pencegahan tindakan terhadap terhadap cyberterrorist yang disebut dengan penegakan kuratif. Akan terlaksana apabila Sistem cyber taskforce yang diadopsi oleh Mabes Polri didukung dan terkordinasi dengan komponen/institusi dan departemen yang terkait dibidang tehnologi informasi diluar Polri

Kerjasama menyeluruh antara lembaga pemerintah, aparat penagak hukum, segenap lapisan masyarakat, dan Negara lain dalam menanggulangi kejahatan cyberterrorism dengan jaringan terorisme sangat dibutuhkan untuk menciptakan resosialisasi dan rehabilitasi dengan cara meresosialisasi anggota kelompok kedalam pergaulan sosial yang norma.


(1)

16

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar dalam pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan tentang penegakan hukum tindak pidana cyberterrorism.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini menguraikan tentang metode-metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini yang menunjukan langkah-langkah dalam pendekatan masalah, langkah-langkah penelitian, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan bab yang memuat hasil-hasil penelitian dan pembahasan serta jawaban dari bagaimana penegakan hukum cyberterorrism di Indonesia, dan faktor penghambat dalam penegakan hukumnya yang telah dilakukan oleh penulis.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, selanjutnya terdapat juga saran penulis yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, 2000. Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

, 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Atmasasmita, Romli, 2005. Terori Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: Refika Aditama.

Hamzah, Andi, 1990. Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer: Jakarta: Sinar Grafika.

Makarim, Edmon,. 2003. Komplikasi Hukum Telematika. Jakarta: RajaGrafindo. Mansur, Didik M. Arief dan Elisatris Gultom, 2005. Cyber law: Aspek Hukum

Teknologi Informasi: Bandung: Refika Aditama.

Nasrullah, T. Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-undang Nomor 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Makalah Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara” yang diadakan oleh Indonesia Police Watch bersama Polda Metropolitan Jakarta Raya.

Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Wahid, Abdul dan Muhammad Labib, 2005. Kejahatan Mayantara (Cybercrime), (Bandung: Rafika Aditama).

Undang-Undang No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-undang Nomor 11, Tahun 2008, Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-undang Nomor 15, LN. Nomor 45 Tahun 2003, TLN. No. 4284.Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang.


(3)

18

http://www.anshar.net http://www.Arrahmah.com http://m.detik.com

Achmad Tahir, Penegakan Hukum Cyber Crime Di Indonesia, http://en.pendis.depag.go.id, 07-2009.


(4)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap kejahatan cyberterrorism menggunakan upaya represif dan upaya preventif. Upaya represif dilakukan menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Upaya preventif merupakan usaha pencegahan terhadap kejahatan cyberterrorism agar cyberterrorist tidak melakukan kejahatannya dengan menggunakan sistem cyber taskforce dengan real time instrusion detection system network (real time IDS Network), melakukan pemblokiran situs yang digunakan cyberterrorist di Indonesia, memberantas tuntas kelompok jaringan terorisme, melakukan pencerahan terhadap pemahaman radikalisme melalui pemuka agama, dan membuat sosialisasi tentang kejahatan cyberterrorism dengan media komunikasi agar masyarakat dapat bekerja sama dalam penanggulangan kejahatan cyberterrorism.

2. Faktor penghambat yang mempengaruhi dalam penegakan hukum cyberterrorism yaitu faktor undang-undang yang mengatur cyberterrorism


(5)

76

sangat lemah sehingga dibutuhkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara kontra-duktif mengenai Kejahatan cyberterrorism; faktor aparat penegak hukum harus memiliki kualitas dalam melakukan sistem peradilan pidana terhadap kejahatan cyberterrorism baik dari sumberdaya manusianya maupun lembaganya; Ketidak siapan intitusi penegak hukum dalam mengantisipasi maraknya kejahatan ini banyak dikarenakan kurangnya sarana dan fasilitas dalam melakukan upaya penegakan hukum terhadap kejahatan cyberterrorism; faktor tingkat kesadaran hukum masyarakat yang lemah disebabkan karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang penyebab dan akibat dari kejahatan cyberterrorism berdampak pada upaya penegakan hukum preventif dan represif terhadap kejahatan cyberterrorism terkendala; faktor timbulnya disintegrasi dikarenakan adanya trauma yang diakibatkan dari budaya politik yang menggunakan kesan pemaksaan merupakan satu wujud distorsi perpolitikan masyarakat

B. Saran

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang dikemukakan diatas, maka saran yang dapat diberikan demi perbaikan penegakan hukum cyberterrorism di masa mendatang, diharapkan kepada pemerintah agar cepat melakukan pencegahan dan penanggulangan ancaman cyberterrorism lokal maupun internasional yang berkaloborasi dengan tindak pidana terorisme international, dengan cara membuat undang-undang yang khusus untuk mengatur kejahatan tehnologi informasi atau meninjau kembali Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang


(6)

Informasi dan Transaksi Elektronik. Untuk mencapai kepastian hukum yang didukung dengan meningkatkan kualitas dan kapasitas aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan hakim baik secara instansi maupun individual. Dengan cara memberikan pelatihan keterampilan khusus dalam mengopersionalkan alat teknologi informasi, sehingga cermat dalam menggunakan dasar hukum dalam melakukan proses penegakan hukum untuk kemudian dapat diajukan dan diterima oleh hakim. Sehingga tata kerjanya pun bisa juga khusus untuk menanggulangi kejahatan cyberterrorism didalam masyarakat.

Dalam upaya mewujudkan pencegahan preventif terhadap kejahatan cyberterrorism agar cyberterrorist tidak melakukan kejahatannya, Sistem cyber taskforce dengan real time instrusion detection system network (real time IDS Network) akan berfungsi sebagai upaya penanggulangan kejahatan yang menitikberatkan pada pencegahan tindakan terhadap terhadap cyberterrorist yang disebut dengan penegakan kuratif. Akan terlaksana apabila Sistem cyber taskforce yang diadopsi oleh Mabes Polri didukung dan terkordinasi dengan komponen/institusi dan departemen yang terkait dibidang tehnologi informasi diluar Polri

Kerjasama menyeluruh antara lembaga pemerintah, aparat penagak hukum, segenap lapisan masyarakat, dan Negara lain dalam menanggulangi kejahatan cyberterrorism dengan jaringan terorisme sangat dibutuhkan untuk menciptakan resosialisasi dan rehabilitasi dengan cara meresosialisasi anggota kelompok kedalam pergaulan sosial yang norma.