1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bicara masalah kemiskinan bukan isu baru, melainkan isu sepanjang jaman. Sungguh menggelisahkan pada era semakin canggih, kemiskinan tetap dominan. Kemajuan jaman yang
diekspresikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi hanya memberi kontribusi kesejahteraan pada sebagian kecil penduduk dunia. Kesejahteraan sebagian kecil manusia di
belahan bumi seringkali menelan dan mengurbankan sebagian besar manusia lainnya di lembah kemiskinan.
Kemiskinan merupakan kondisi yang sulit dihindarkan. Terbukti kurang lebih 900 juta penduduk dunia adalah miskin, mereka menggantungkan hidup dengan kurang dari 1 per
hari dan tinggal di Asia maupun Afrika. Satu dari tiga orang di Asia adalah miskin Asian Development Bank dalam Sulistiyani, 2004. Data ini menunjukkan sebuah kondisi yang
memprihatinkan. Beban kemiskinan serupa juga dirasakan di Indonesia. Jumlah penduduk miskin di
Indonesia pada tahun 2010 mencapai angka 31.023.400 jiwa dari jumlah penduduk keseluruhan 237.641.326 jiwa atau sekitar 13,33 dari seluruh jumlah penduduk. Dari
jumlah tersebut 11.097.800 tinggal di perkotaan dan 19.925.600 tinggal di pedesaan BPS, 2011. Menurut data BPS memang terdapat penurunan angka kemiskinan khususnya di
wilayah perkotaan, namun angkanya masih relatif kecil yaitu 0,81 juta dari 11,91 juta pada Maret 2009 menjadi 11,10 juta pada Maret 2010. Sementara di daerah perdesaan berkurang
0,69 juta orang, dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada Maret 2010. Meskipun angka kemiskinan di perkotaan lebih kecil dibanding angka kemiskinan di
pedesaan dan jumlah penurunan angka kemiskinannya lebih besar, namun kemiskinan di perkotaan perlu mendapat perhatian yang lebih serius karena masih banyak penduduk miskin
pedesaan yang pindah ke perkotaan. Gejala kemiskinan di kota erat kaitannya dengan langkanya peluang kerja yang
produktif Friedmann, 1981. Penduduk kota, baik pendatang desa-kota maupun penduduk kota yang baru masuk angkatan kerja, dengan kemampuan yang ada menciptakan kesempatan
kerja dengan memanfaatkan kehidupan kota Effendi, 1995. Dalam banyak kasus, penghasilan mereka hanya dapat digunakan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari Swasono,
1986 meskipun mereka telah bekerja keras. Penduduk miskin kota pada umumnya perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
2
mempunyai etos kerja yang tinggi, namun karena kurangnya modal usaha, ketrampilan dan pengetahuan rendah Effendi, 1995 mereka hanya dapat menutupi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Berbagai upaya dan strategi untuk mengentaskan kemiskinan kota telah banyak
dilakukan oleh pemerintah, misalnya program P2KP Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan, Program Takesra dan Kukesra, PNPM-MP Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perkotaan dan lain-lain, tetapi hasilnya belum memuaskan Sukidjo, 2011. Karena itu, keterlibatan perusahaan swasta maupun lembaga sosial dan keagamaan
sangat dibutuhkan untuk program pengentasan kemiskinan. Penanganan masalah kemiskinan perlu kerja sama yang baik antara pihak pemerintah dan swasta untuk dapat mencapai hasil
yang maksimal. Karena tanpa keterlibatan pihak swasta, pemerintah akan menanggung beban yang sangat berat.
Keterlibatan masjid sebagai lembaga keagamaan dalam penanganan masalah kemiskinan khususnya bagi jamaah, dan umumnya bagi masyarakat Islam dipastikan mampu
mengurangi jumlah angka kemiskinan. Sejarah perkembangan Islam di Indonesia menunjukkan terdapat hubungan yang cukup erat antara dakwah Islam dan pemberdayaan
perekonomian maupun industri kerajinan. Islam masuk di Nusantara melalui para sufi Azra, 2004 dan pedagang yang aktif melakukan dakwah dan perdagangan serta masjid dijadikan
sebagai pusat pendidikan Castle, 1967; Abdullah, 1994; Dobbin, 1983; Geertz, 1956, 1960, 1962; Sobary, 1995. Setidaknya dapat ditarik suatu kaitan antara proses berkembangnya
Islam dan berkembangnya perekonomian rakyat. Salah satu tema yang banyak dibahas adalah menyangkut pengaruh Islam pada kegiatan wirausaha dan akibat kegiatan itu terhadap
pengamalan ajaran agama Islam. Khususnya Abdullah, Geertz, Castle dan Sobary telah menunjukkan bahwa Islam mendorong tumbuhnya kesalehan sosial, sekaligus sebagai
indikator tumbuhnya kewirausahaan Castle, 1967; Geertz, 1962; Abdullah, 1994; Sobary, 1995.
Di samping itu, mereka juga menunjukkan kewirausahaan mempunyai peranan penting dalam proses dakwah. Ini berarti dakwah dapat memperbaiki ekonomi
mad’unya. Karena itu, Maussen 2004 dalam penelitian tentang
Policy Discourses on Mosques in the Netherlands
mengemukakan bahwa fungsi masjid tidak hanya sekedar tempat ibadah
mahdoh hablum
minallah
atau ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah, yakni sholat, dzikir, tadarus al-
Qur’an, tetapi juga tempat ibadah sosial
hablum minan-nas
atau hubungan sosial perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
3
kemasyarakatan, yakni memfungsikan masjid sebagai tempat mendiskusikan permasalahan- permasalahan yang menyangkut kehidupan.
Jika dilihat dari perspektif sejarah pendirian masjid pada jaman Nabi Muhammad saw, ternyata masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat shalat, tetapi juga berfungsi membangun
kegiatan ekonomi masyarakat. Fungsi masjid pada jaman Nabi Muhammad saw terkonsentrasi kepada tiga aspek, yaitu: aspek keagamaan, sosial ekonomi, dan politik-
pemerintahan. Aspek keagamaan adalah memfungsikan masjid sebagai tempat ibadah dan tempat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, tempat membersihkan diri dan membangun
kesadaran untuk mendapatkan pengalaman batin sehingga terpelihara keseimbangan jiwa dan raga serta keutuhan kepribadian.
Aspek sosial adalah memfungsikan masjid sebagai tempat membina keutuhan ikatan jamaah dan kegotongroyongan untuk mewujudkan kesejahteraan hidup bersama, tempat
meningkatkan kecerdasan dan meningkatkan kehidupan sosial ekonomi umat melalui pendidikan dan usaha ekonomi, tempat menyantuni orang-orang lemah seperti orang fakir,
miskin, anak yatim, korban bencana, dan lain-lainnya. Aspek politik-pemerintahan adalah memfungsikan masjid sebagai tempat memecahkan
persoalan-persoalan politik yang timbul dalam masyarakat, tempat mengatur strategi berbangsa dan bernegara, tempat mendidik kader-kader muda menjadi orang yang tangguh
dan bertanggung jawab dalam mempertahankan negara. Hal ini tercermin pada masjid pertama yang didirikan Nabi Muhammad saw di tengah kota Madinah, yaitu masjid Madinah
atau masjid Nabawi pada bulan Rabiul Awal tahun 622 H, masa Nabi Muhammad saw menetap di kota itu. Di Masjid itu Nabi Muhammad saw menyampaikan ajaran Islam,
mengatur kehidupan sosial, dan membangun ekonomi masyarakat Nasution, 1996. Karena itu, keterlibatan sebuah masjid dalam menyelesaikan berbagai permasalahan
jamaah khususnya yang menyangkut pada permasalahan ekonomi merupakan bentuk tanggung jawab sosial dari sebuah masjid. Permasalahan kemiskinan jamaah masjid adalah
permasalahan serius dan perlu penanganan yang baik, sebab permasalahan ini dapat berakibat pada munculnya kekufuran, sebagaimana disinyalir oleh pepatah bahwa
”hampir-hampir kemiskinan itu menjadi penyebab kekafiran
” Tasmara, 2002. Untuk itu dibutuhkan tanggung jawab sosial masjid dalam mengatasi permasalahan kemiskinan bagi jamaahnya.
Di Indonesia, jumlah masjid, menurut data Dewan Masjid Indonesia, saat ini tidak kurang dari 700 ribu tidak termasuk surau, tajug, musholla, dan lain-lain. Jumlah tersebut
commit to user
4
merupakan jumlah masjid terbesar di dunia Pertiwi, 2008. Dari jumlah masjid yang besar tersebut, baru sebagian kecil yang telah dimanfaatkan atau difungsikan untuk penanganan
masalah kemiskinan. Potensi dana yang besar yang diperoleh masjid setiap bulannya atau bahkan setiap minggunya melalui sumbangan dari jamaah atau donatur lain yang sah ternyata
belum dimanfaatkan secara optimal oleh pengurus-pengurus masjid untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat sekitarnya.
Masjid Laboratorium Agama Universitas Islam Negeri UIN Sunan Kalijaga, misalnya, yang berada di tengah kampus UIN Sunan Kalijaga memperoleh masukan infak rata-rata per
minggu sebesar Rp. 2.500.000,- Catatan Mingguan, 2011. Dapat dibayangkan seandainya potensi dana yang besar itu dimanfaatkan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar
masjid, maka masalah kemiskinan di Indonesia dapat dipastikan terkurangi. Karena itu, tidaklah berlebihan bila Menteri Agama Maftuh Basyuni mencanangkan pos pemberdayaan
keluarga Posdaya berbasis masjid pada tanggal 11 Februari 2007 di Masjid At-Tawazun bantuan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Menteri mengingatkan cara memakmurkan
masjid adalah memanfaatkan masjid tidak hanya dijadikan sebagai kegiatan ibadah saja, melainkan dilengkapi dengan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat” Gemari, 2007:
58 khususnya pemberdayaan di bidang ekonomi. Pengurus masjid, dalam kaitannya dengan program Menteri Agama tersebut, perlu
memahami betul mengenai konsep pemberdayaan masyarakat, khususnya pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin. Seringnya kegagalan dalam pemberdayaan masyarakat karena
para fasilitator baca: pengurus masjid kurang memahami konsep dan ketrampilan dalam menjalankan tugasnya Mardikanto, 2010a. Terkadang fasilitator menduga-duga faktor
penyebab kemiskinan masyarakat adalah ketiadaan modal usaha, lalu diputuskan dengan pemberian modal usaha, padahal sesungguhnya yang terjadi adalah kurangnya ketrampilan
masyarakat miskin dalam menciptakan usaha baru. Karena itu, wajar bila pemberian bantuan modal yang tidak dibarengi dengan pelatihan ketrampilan menjadi sia-sia, atau sebaliknya
fasilitator menduga faktor penyebab kemiskinan adalah kurangnya ketrampilan. Lalu diputuskan dengan memberi pelatihan ketrampilan tanpa pemberian bantuan modal untuk
mempraktekkan hasil pelatihan, dan kondisi ini akan menghadapi kegagalan. Kasus-kasus ini terjadi di masyarakat, dan akibatnya fasilitator cenderung apatis, serta tidak mau mengambil
resiko memberi bantuan kepada masyarakat. Kegagalan bukan pada masyarakat penerima manfaat, tetapi fasilitator yang salah dalam melakukan
assessment
kebutuhan. Seandainya perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
5
fasilitator telah melakukan
assessment
dengan benar maka kegagalan itu dapat diminimalisir Muslim, 2009 dan masjid akan lebih berguna untuk mengurangi angka kemiskinan.
Faktor lain yang sering menjadi penyebab terjadinya kegagalan pemberdayaan masyarakat adalah pemilihan strategi pemberdayaan yang kurang tepat. Strategi
pemberdayaan yang kurang tepat dapat membawa masyarakat miskin tergantung pada uluran tangan penyandang dana, dan akhirnya merendahkan martabat masyarakat itu sendiri
Tjokrowinoto, 1995. Program bantuan langsung tunai yang dirancang dengan strategi kedermawanan
charity strategy
bukannya strategi untuk menghasilkan dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Tjokrowinoto, 1995. Karena itu, fasilitator
program pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin harus betul-betul memikirkan dan memilih strategi yang mampu membawa masyarakat miskin menjadi berdaya dan mandiri.
Pemahaman fasilitator mengenai konsep dan pemilihan strategi, metode, media, serta materi pemberdayaan ekonomi masyarakat akan menentukan keberhasilan program
pemberdayaan yang dijalankan. Hal ini tampak pada program pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin yang dilakukan oleh Masjid Nurul Jannah di PT Petrokimia Gresik,
Masjid Jogokaryan di Kota Yogyakarta, dan Masjid di Yayasan Perjuangan Wahidiyah Kediri.
Program pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin pada Masjid Nurul Jannah dan Masjid Jogokaryan adalah
baitul-mal wat-tamwil
BMT. Program ini dibagi dalam dua konsep besar, yaitu pertama konsep
baitul-mal
yang difokuskan untuk program bina sosial seperti bantuan modal usaha untuk masyarakat tidak mampu dan pinjaman tanpa bunga untuk
pedagang kecil, bina pendidikan seperti bantuan SPP untuk anak asuh sekolah, bina masjid dan pondok pesantren, bina dakwah, dan bina kelompok lain yang tidak masuk dalam
prioritas kegiatan. Kedua konsep
baitut-tamwil
yang difokuskan untuk pembiayaan dan angsuran pembiayaan, serta penerimaan dan penarikan tabungan.
Realisasi konsep
baitul-mal
, misalnya, untuk pelaksanaan program bina sosial, masjid Nurul Jannah setiap tahunnya menyalurkan dana untuk kegiatan santunan keluarga miskin,
yatim piatu, dan anak asuh tidak kurang dari Rp. 150.000.000,-. Santunan untuk keluarga miskin lebih difokuskan pada pemberian modal usaha, sedangkan untuk keluarga yang sedikit
lebih mampu dibanding dari keluarga miskin, masjid Nurul Jannah memberikan pinjaman modal usaha dengan sistem bagi hasil sebagai realisasi dari konsep
baitut-tamwil
nya Dokumen BMT Nurul Jannah 2007 sd 2010.
commit to user
6
Program pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin di Masjid Yayasan Perjuangan Wahidiyah adalah koperasi. Koperasi di lingkungan pengamal Wahidiyah ini pada umumnya
sama dengan koperasi yang ada di tempat lain di wilayah Republik Indonesia ini. Keunikannya terletak pada etos kerja pengurus yang dijiwai oleh nilai-nilai agama khususnya
amalan Sholawat Wahidiyah yang dilakukan setiap hari. Semangat kerja untuk ibadah yang dijalankan oleh para pengurus koperasi ini yang menjadikan salah satu faktor pendorong
koperasi tersebut tumbuh pesat, khususnya di wilayah Kediri, dan umumnya di seluruh wilayah Indonesia. Menurut pendiri koperasi Wahidiyah yakni Kyai Abdul Latief, koperasi
ini telah memiliki cabang tidak kurang dari 700 koperasi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan seluruh pengurusnya adalah pengamal Sholawat Wahidiyah Wawancara, 19
Desember 2011. Selain pemahaman konsep dan pemilihan strategi, metode, media serta materi,
keberhasilan program pemberdayaan masyarakat juga dipengaruhi oleh kemitraan yang dibangun dengan lembaga-lembaga lain. Penelitian Alcock dan Graig 1998 tentang
Monitoring and Evaluation of Local Authority Anti-Poverty Strategies in the UK
membuktikan bahwa otoritas lokal ternyata tidak dapat menghilangkan atau bahkan secara signifikan mengurangi kemiskinan lokal, karenanya direkomendasikan kepada otoritas lokal
agar membangun jaringan dengan pihak-pihak lain untuk mencapai keberhasilan. Karena itu, secara sadar tiga masjid di atas telah membangun kemitraan dengan lembaga-lembaga lain
untuk mensukseskan program pemberdayaannya. Misalnya pengurus Masjid Nurul Jannah bermitra dengan pengelola program
corporate social responsibility
PT. Petrokimia, Masjid Jogokaryan bermitra dengan Bank Muamalah dan BMT BIF, dan Masjid Yayasan Perjuangan
Wahidiyah bermitra dengan cabang-cabangnya. Sejauh pengamatan awal, Masjid Jogokaryan, Nurul Jannah dan Wahidiyah merupakan
tiga masjid yang berhasil melakukan pemberdayaan ekonomi terhadap masyarakat miskin yang tinggal di sekitarnya. Keberhasilan itu diduga di antaranya karena masjid memiliki tata
kelola dan pemahaman konsep pemberdayaan yang benar, memiliki strategi, metode, materi dan media pemberdayaan yang tepat, serta membangun kemitraan dengan lembaga lain. Ini
menarik untuk diteliti, karena hal tersebut belum dilakukan oleh masjid-masjid yang lain.
B. Rumusan Masalah Penelitian