ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

(1)

ABSTRAK

ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Oleh

FLORENCIA EIGTHEEN NATALYA SINAGA

Setiap manusia mempunyai kebebasan dan hak – hak yang disebut dengan Hak Asasi Manusia, dimana hak asasi ini dimiliki oleh setiap manusia sejak ia dilahirkan ke bumi. Oleh karena itu pemerintah serta aparat penegak hukum harus menjunjung tinggi hak asasi tersebut di segala bidang tanpa terkecuali dan tidak boleh dilanggar. Begitu pula dengan saksi ataupun korban. Saksi ataupun korban memilki hak – hak yang harus diberikan kepada saksi ataupun korban dalam suatu perkara. Hak – hak saksi dan korban ini sendiri telah diatur di dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, pada kenyataannya walaupun telah ada undang – undang yang mengatur mengenai hak – hak saksi dan korban, pada kenyataanya masih banyak saksi dan korban yang tidak mau memberikan kesaksiannya dengan berbagai alasan seperti takut mendapatkan ancaman dari pihak – pihak yang tidak bertanggungjawab, padahal dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini mengatur mengenai hak saksi dan korban untuk mendapatkan perlindungan dari lembaga yang berwenang dalam menjalankan pemberian hak kepada saksi ataupun korban. Permasalahan dalam skripsi ini adalah, Bagaimanakah pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peadilan pidana berdasarkan Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Faktor – faktor apa sajakah yang menghambat pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris dengan menggunakan data primer dan data sekunder, dimana data primer berupa hasil wawancara/kuesioner serta data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier.


(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia mempunyai kebebasan dan hak – hak yang disebut dengan Hak Asasi Manusia ( HAM ), dimana hak asasi ini dimiliki oleh setiap menusia sejak ia dilahirkan ke bumi. Oleh karena itu, pemerintah serta aparat penegak hukum harus menjunjung tinggi hak asasi tersebut di segala bidang tanpa terkecuali dan tidak boleh dilanggar. Indonesia sendiri sebagai negara hukum mennjunjung tinggi hak-hak warga negaranya termasuk hak persamaan warga negara di depan hukum dimana hak ini tertuang pada Undang – Undang Dasar 1945 atau biasa disebut dengan UUD 1945 pada Pasal 27 .

Pasal 27 menyatakan:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Berdasarkan pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk melindungi hak – hak warga negaranya tersebut tanpa terkecuali melalui aparat penegak hukumnya. Begitu pula dengan saksi dan korban meskipun mereka hanya menjadi seorang saksi ataupun mereka menjadi korban dalam suatu kasus pidana tetap saja mereka mempunyai hak yang sama di depan hukum tanpa terkecuali.


(3)

Hak saksi dan korban sendiri dalam Kitab Hukum Acara Pidana atau disebut dengan KUHAP tidak membahas pentingnya hak – hak saksi dan korban hanya ada beberapa pasal yang dianggap menjadi hak saksi dan korban yaitu:

1. Pasal 98 KUHAP menyatakan:

Korban suatu tindak pidana dapat mengajukan ganti kerugian pada terdakwa yang terbukti bersalah menyebabkan kerugian baginya, melalui proses penggabungan perkara pidana dan perdata.

2. Pasal 117 ayat (1) KUHAP menyatakan :

Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.

3. Pasal 118 KUHAP menyatakan:

Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditanda tangani oleh penyidik, dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujuinya.

4. Pasal 166 KUHAP menyatakan:

Petanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan kepada terdakwa maupun saksi.

5. Pasal 177 KUHAP menyatakan:

Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, Hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.

6. Pasal 178 KUHAP menyatakan:


(4)

Hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.

7. Pasal 229 menyatakan:

Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan berhak, mendapat penggantian biaya menurut aturan perundang –undangan yang berlaku”.

Pasal – pasal dalam KUHAP ini sepertinya belum dapat terlaksanakan dengan baik serta masih sangat kurang bagi saksi dan korban sebab dalam KUHAP tidak ada mengenai hak untuk dilindungi padahal hak ini sangat penting diberikan kepada saksi dan korban serta merupakan hak yang paling di inginkan oleh saksi ataupun korban.

Menurut Basil Fernando (2006:4):

“ Perlindungan bagi saksi dan korban sangatlah penting diberikan oleh aparat penegak hukum sebab tanpa adanya perlindungan maka impunitas tidak dapat diperangi sebab jika hak perlindungan terhadap saksi tidak ada maka maka korban pelanggaran HAM berat yang melaporkan kasusnya tentu harus menghadapi ancaman serius yang dapat membahayakan jiwa mereka sendiri ataupun orang – orang yang mereka kasihi sehingga diperlukan suatu lembaga yang mempunyai tugas untu melindungi saksi dan korban.”

Hal ini berarti betapa pentingnya hak perlindungan bagi saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana agar pelaksanaan proses pembuktian suatu kasus tindak pidana dapat berjalan dengan baik. Untuk melaksanakan hak tersebut di Indonesia sendiri terdapat lembaga – lembaga yang berperan besar dalam penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Lembaga – lembaga tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan. Keempat lembaga inilah yang bertugas menjalakan sistem peradilan di Indonesia. Begitupula dalam hal


(5)

melaksanakan pemberian hak – hak terhadap saksi dan korban tapi sapertinya para penegak hukum ini masih sering mengabaiakan hak – hak dari saksi dan korban. Padahal saksi dan korban menempati posisi kunci sebagaimana terlihat dalam penempatannya dalam Pasal 184 KUHAP dalam pasal tersebut dituliskan bahwa saksi merupakan alat bukti utama.

Keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi, sangatlah jelas bahwa posisi saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan namun posisi saksi yang sangat penting ini sepertinya sangat jauh dari perhatian masyarakat khususnya penagak hukum yang tidak memperhatikan hak – hak dari saksi maupun korban untuk mendapatkan sebuah perlindungan.

Posisi korban dan saksi dalam sistem peradilan pidana cenderung diperlakukan sebagai bagian dari alat bukti setelah itu tidak ada upaya untuk menjamin adanya upaya perlindungan kepada saksi yang memberikan keterangan di pengadilan dengan resiko tertentu demikian juga bagi korban, tidak ada upaya pemulihan yang memadai untuk mengembalikan posisi korban seperti semula bahkan seringkali saksi ataupun korban secara tidak langsung mendapat pertanyaan – pertanyaan yang menjerat mereka dalam proses pembuktian di persidangan karena hal ini pula banyak saksi atau bahkan korban yang tidak ingin memberikan kesaksian di persidangan dikarenakan takut mendapatkan ancaman dari pihak – pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu, seharusnya saksi dan korban diberikan hak – hak dalam menjalani proses peradilan sehingga tidak terjadi lagi kasus – kasus yang menimpa saksi ataupun korban.


(6)

Tahun 2006 disahkan sebuah undang – undang mengenai perlindungan saksi dan korban yaitu Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang – Undang ini di buat untuk melindungi saksi ataupun korban agar mendapatkan hak – hak mereka sebagai saksi ataupun korban dalam suatu kasus tindak pidana. Namun, kenyataannya masih saja banyak terjadi kasus-kasus yang menimpa saksi dan korban walaupun telah ada Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Contohnya:

Pada Juni 2008 seorang wanita bernama Sumarlin bersama dengan teman-temannya mengadakan aksi menolak BBM di depan Kampus UIN Makassar. Aparat kepolisian membubarkan aksi. Atas kejadian tersebut, 2 orang mahasiswa hilang saat polisi membubarkan aksi. Atas kejadiaan tersebut mahasiswa melakukan konfrensi pers dan menduga kepolisian melakukan penculikan. Akhirnya Mustari dan Sumarlin mendapatkan panggilan sebagai saksi dari Polwiltabes Makassar dengan tuduhan penyiaran, penghinaan, terhadap pejabat negara. Mesti tidak menjadi tersangka, sumarlin sempat mendapat teror dan intimidasi. (Kesaksian media informasi perlindungan saksi dan korban juni 2009)

Di Kabupaten Sinjai, seorang aktivis LSM bernama Amrullah melaporkan adanya dugaan korupsi di salah satu lembaga pemerintahan di Sinjai. Laporan tersebut diajukan ke Kepolisiaan Polres Sinjai. Meski mendapatkan initimidasi dan tekanan dari pihak – pihak yang tidak bertanggungjawab, Amrullah tetap bersikeras terhadap laporannya. Karena laporannya itu, Amrullah dijadikan tersangka oleh Polres Sinjai dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan. (Kesaksian media informasi perlindungan saksi dan korban juni 2009)

Kasus – kasus diatas merupakan sebagaian kasus yang masih menimpa saksi ataupun korban setelah Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban di sahkan. Apa yang di kemukakan diatas tidak semestinya terjadi apabila aparat penegak hukum seperti Kepolsian. Kejaksaan, Pengadilan bahkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memahami


(7)

tugas pokok dan fungsinya. Diluar konteks undang – undang perlindungan saksi dan korban telah berlaku seharusnya aparat penegak hukum mampu bertindak adil terhadap sebuah proses pemeriksaan perkara dengan tetap mengacu pada mekanisme hukum yang berlaku, sehingga tidak perlu lagi terjadi hal semacam ini. LPSK sendiri merupakan lembaga yang beradasarkan undang – undang perlindungan saksi dan korban adalah lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan pemberian hak – hak saksi ataupun korban. Namun, lembaga ini sendiri baru terbentuk pada Agustus 2008 sehingga lembaga ini belum efektif dalam menjalankan tugasnya.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: “Analisis Terhadap Hak Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan hak - hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan oleh aparat penegak hukum?

b. Faktor – faktor apa sajakah yang menghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana?


(8)

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penulisan skripsi ini hanya dibatasi mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta faktor – faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana pada wilayah hukum Poltabes Bandar Lampung, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pengadilan Negeri Kelas 1a Tanjung Karang serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

C. Tujuan dan Keguanaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan hak - hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

b. Untuk mengetahui faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana .

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis diharapkan penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi kalangan hukum dalam mengembangkan dan memperluas ilmu pengetahuan dalam bidang hukum tentang hak – hak Saksi dan Korban dalam Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.


(9)

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas untuk mengetahui pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta untuk mengetahui faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoretis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono Soekanto, 1986 :125).

Penulisan skripsi ini, perlu dibuat sebuah karangan teoritis untuk mengidentifikasikan data yang akan menjadi pengantar bagi penulis dalam menjawab permasalahan skripsi yang diangkat.

Manusia adalah subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban hukum, jadi setiap manusia mempunyai hak yang sama di depan pengadilan seperti hak untuk mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum. Hal ini sesuai dengan arti dari hukum itu sendiri yaitu memberi pengayoman, kedamaian dan ketentraman seluruh umat manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh


(10)

sebab itu maka sistem hukum di Indonesia mempunyai asas - asas hukum yang menjamin hak – hak manusia sebagai subjek hukum. Oleh karena itu saksi dan korban dalam peradilan di Indonesia pada dasarnya mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan selama persidangan berlangsung sampai dengan persidangan tersebut berakhir.

Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah hal ini berdasarkan KUHAP Pasal 184 Ayat 1 yang menyatakan bahwa: “ Alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa”. Keterangan saksi dalam proses peradilan pidana ialah saksi yang mendengar, mengalami atau melihat dengan mata kepala sendiri dan bukan yang ia mendengar atau memperoleh keterangan dari orang lain. Sehingga kedudukan saksi di dalam proses peradilan pidana sangat penting oleh sebab itu diperlukan perlindungan hukum oleh pihak yang berwenang sampai proses peradilan yang dijalaninya selesai.

Perlindungan saksi dan korban diatur pula dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu pada Pasal 98 (1) KUHAP dan Pasal 229 ayat (1) KUHAP.

Pasal 98 KUHAP yang menyatakan:

“Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”.


(11)

Pasal 229 ayat (1) KUHAP menyatakan:

“Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Peranan aparat penegak hukum dalam hal ini sangatlah penting sebab tanpa adanya peranan dari aparat penegak hukum maka efektifitas dalam menjalankan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak akan berjalan dengan baik. Menurut Soerjono Soekanto, dalam rangka efektivitas penegakan hukum dibutuhkan lima unsur pokok yaitu:

a. Faktor Hukum

Praktik dalam penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

b. Faktor Penegakan Hukum

Mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting dalam berfungsinya hukum, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, maka akan ada masalah. Oleh karena itu, salah satu


(12)

kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum. selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya. Sedangkan perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.

d. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

e. Faktor Kebudayaan

Masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan sendiri mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti


(13)

bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah- istilah yang ingin diteliti atau ingin diketehui (Soerjono Soekanto, 1986:132).

Adapun pengertian dasar dari istilah yang ingin atau yang akan digunakan dalam penulisan adalah :

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. ( Purwadarmita,1993)

b. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. (KUHAP Pasal 1 butir 26)

c. Korban adalah seseorang yang mengalami pendertitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 2)

d. Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. (Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 6) e. Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari


(14)

lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. (Mardjono, dalam buku ajar Sistem Peradilan Pidana oleh Erna Dewi,S.H.,M.H.)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disajikan untuk mempermudah pemahaman penulisan skripsi sacara keseluruhan yang dirinci sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang memuat latar belakang masalah penulisan skripsi ini yaitu mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bab ini juga memuat permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, serta menguraikan kerangka teoretis, konseptual dan sistematika penulisan, dimana permasalahan dalam skripsi ini adalah mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta mengenai faktor penghamabat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban tersebut

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman ke dalam pengertian-pengertian umum tentang pokok bahasan antara lain mengenai sistem peradilan pidana yang dalam di dalam sistem peradilan pidana ini akan dibahas pula mengenai kepolisian,


(15)

kejaksaan, pengadilan serta lembaga pemasyarakatan selain itu dalam bab ini juga akan membahas mengenai kedudukan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana, pengertian saksi dan korban, hak – hak saksi dan korban serta sistem peradilan pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan mengenai metode penulisan, yaitu pendekatan masalah, sumber data, penentuan populasi dan sampel dan pengolahan data, serta analisis data. Metode ini digunakan penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini dimana dalam bab ini di dicantumkan populasi dan sampel dalam penulisan skripasi ini yang dalam hal ini populasi dan sampelnya adalah pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta LPSK.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan yang memuat tentang analisis pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak saksi dan korban dalam Undang - Undang Nomor 13 tahun 2006 dalam sistem peradilan pidana. Jawaban dari permasalahan tersebut diberikan oleh responden dari pihak aparat penegak hukum.yang kemudian dianalisis.


(16)

V. PENUTUP

Dalam bab ini mengemukakan kesimpulan tentang hal – hal yang telah diuraikan dalam bab – bab terdahulu, guna menjawab permasalahan mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana serta faktor penghambatnya yang telah diajukan. Dalam bab ini diberikan juga sumbangan pemikiran berupa saran yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yang berkaitan mengenai hak – hak saksi dan korban.


(17)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pada dasarnya, hak hak saksi dan korban yang ada dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum terlaksana dengan cukup baik, masih ada beberapa hak yang belum bisa diberikan oleh LPSK ataupun oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan. serta pihak Pengadilan. Adapun hak – hak saksi dan korban yang belum bisa terpenuhi dengan baik khususnya mengenai masalah hak saksi dan korban yang berhak untuk mendapatkan penggantian biaya transportasi hal ini dikarenkan tidak teralisasinya dana dengan baik dari pemerintah untuk pemberian hak ini kepada saksi ataupun korban tidak teralisasinya dana dari pemerintah ini dikarenakan belum adanya undang-undang yang mengatur mengenai penggantian biaya tersebut sehingga pemerintah pun belum bisa meralisasikan dana tersebut dengan baik. Pada dasarnya hak – hak yang ada dalam undang – undang ini sudah sangat baik untuk diberikan kepada saksi dan juga korban hanya saja pelaksanaannya saja yang masih kurang.

2. Adapun faktor – faktor yang menghambat dari pelaksanaan hak – hak saksi dan korban yang ada dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang


(18)

Perlindungan Saksi dan Korban yaitu menyangkut faktor hukum yaitu undang-undangnya sendiri hal ini berhubungan dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengenai hal sifat dari LPSK yang secara tersirat menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang bersifat pasif yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1). Faktor penegak hukumnya sendiri hal ini berkaitan dengan aparat penegak hukum baik itu polisi, jaksa, ataupun hakim yang masih sering mengabaikan hak – hak dari saksi dan korban. Faktor masyarakat berkaitan dengan tingkat kesadaran masyarakat yang belum memahami betapa pentingnya perlindungan bagi saksi dan korban yang terakhir adalah faktor sarana dan fasilitas yang tidak memadai yang berkaitan dengan keberadaan LPSK yang hanya ada di Jakarta saja serta tidak terlaksananya dengan baik penggantian biaya transportasi bagi saksi dan korban dikarenakan belum teralisasinya dana dari pemerintah dikarenakan belum adanya undang – undang yang mengatur tentang hal tersebut.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka penulis membeikan saran dalam skripsi ini ini sebagai berikut:

1. Perlunya didirikan LPSK pada setiap propinsi di Indonesia sehingga membuat saksi dan korban yang mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK menjadi mudah selain itu dengan keberadaan LPSK pada setiap Propinsi membuat masyarakat mengetahui bahwa telah adanya sebuah lembaga yang bertanggungjawab untuk memberikan hak –


(19)

hak yang seharusnya didapatkan oleh saksi ataupun korban yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

2. Perlunya amandemen terhadap Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban karena dalam undang – undang tersebut masih banyak yang harus ditambahkan seperti halnya mengenai saksi ahli lalu mengenai tata cara permohonan perlindungan serta bantuan yang harus di lewati oleh saksi dan korban yang ingin meminta perlindungan kepada LPSK.

3. Perlunya pemerintah untuk segera mengalokasikan dana serta membuat peraturan dalam bentuk undang – undang berkaitan dengan alokasi dana dalam hal upaya perlindungan saksi dan korban untuk mempermudah para aparat penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya memberikan hak – hak terhadap saksi dan korban agar hak – hak saksi dan korban yang memerlukan biaya dapat terpenuhi.


(1)

13

lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. (Mardjono, dalam buku ajar Sistem Peradilan Pidana oleh Erna Dewi,S.H.,M.H.)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disajikan untuk mempermudah pemahaman penulisan skripsi sacara keseluruhan yang dirinci sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang memuat latar belakang masalah penulisan skripsi ini yaitu mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bab ini juga memuat permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, serta menguraikan kerangka teoretis, konseptual dan sistematika penulisan, dimana permasalahan dalam skripsi ini adalah mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta mengenai faktor penghamabat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban tersebut

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman ke dalam pengertian-pengertian umum tentang pokok bahasan antara lain mengenai sistem peradilan pidana yang dalam di dalam sistem peradilan pidana ini akan dibahas pula mengenai kepolisian,


(2)

kejaksaan, pengadilan serta lembaga pemasyarakatan selain itu dalam bab ini juga akan membahas mengenai kedudukan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana, pengertian saksi dan korban, hak – hak saksi dan korban serta sistem peradilan pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan mengenai metode penulisan, yaitu pendekatan masalah, sumber data, penentuan populasi dan sampel dan pengolahan data, serta analisis data. Metode ini digunakan penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini dimana dalam bab ini di dicantumkan populasi dan sampel dalam penulisan skripasi ini yang dalam hal ini populasi dan sampelnya adalah pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta LPSK.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan yang memuat tentang analisis pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak saksi dan korban dalam Undang - Undang Nomor 13 tahun 2006 dalam sistem peradilan pidana. Jawaban dari permasalahan tersebut diberikan oleh responden dari pihak aparat penegak hukum.yang kemudian dianalisis.


(3)

15

V. PENUTUP

Dalam bab ini mengemukakan kesimpulan tentang hal – hal yang telah diuraikan dalam bab – bab terdahulu, guna menjawab permasalahan mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana serta faktor penghambatnya yang telah diajukan. Dalam bab ini diberikan juga sumbangan pemikiran berupa saran yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yang berkaitan mengenai hak – hak saksi dan korban.


(4)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pada dasarnya, hak hak saksi dan korban yang ada dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum terlaksana dengan cukup baik, masih ada beberapa hak yang belum bisa diberikan oleh LPSK ataupun oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan. serta pihak Pengadilan. Adapun hak – hak saksi dan korban yang belum bisa terpenuhi dengan baik khususnya mengenai masalah hak saksi dan korban yang berhak untuk mendapatkan penggantian biaya transportasi hal ini dikarenkan tidak teralisasinya dana dengan baik dari pemerintah untuk pemberian hak ini kepada saksi ataupun korban tidak teralisasinya dana dari pemerintah ini dikarenakan belum adanya undang-undang yang mengatur mengenai penggantian biaya tersebut sehingga pemerintah pun belum bisa meralisasikan dana tersebut dengan baik. Pada dasarnya hak – hak yang ada dalam undang – undang ini sudah sangat baik untuk diberikan kepada saksi dan juga korban hanya saja pelaksanaannya saja yang masih kurang.

2. Adapun faktor – faktor yang menghambat dari pelaksanaan hak – hak saksi dan korban yang ada dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang


(5)

73

Perlindungan Saksi dan Korban yaitu menyangkut faktor hukum yaitu undang-undangnya sendiri hal ini berhubungan dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengenai hal sifat dari LPSK yang secara tersirat menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang bersifat pasif yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1). Faktor penegak hukumnya sendiri hal ini berkaitan dengan aparat penegak hukum baik itu polisi, jaksa, ataupun hakim yang masih sering mengabaikan hak – hak dari saksi dan korban. Faktor masyarakat berkaitan dengan tingkat kesadaran masyarakat yang belum memahami betapa pentingnya perlindungan bagi saksi dan korban yang terakhir adalah faktor sarana dan fasilitas yang tidak memadai yang berkaitan dengan keberadaan LPSK yang hanya ada di Jakarta saja serta tidak terlaksananya dengan baik penggantian biaya transportasi bagi saksi dan korban dikarenakan belum teralisasinya dana dari pemerintah dikarenakan belum adanya undang – undang yang mengatur tentang hal tersebut.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka penulis membeikan saran dalam skripsi ini ini sebagai berikut:

1. Perlunya didirikan LPSK pada setiap propinsi di Indonesia sehingga membuat saksi dan korban yang mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK menjadi mudah selain itu dengan keberadaan LPSK pada setiap Propinsi membuat masyarakat mengetahui bahwa telah adanya sebuah lembaga yang bertanggungjawab untuk memberikan hak –


(6)

hak yang seharusnya didapatkan oleh saksi ataupun korban yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

2. Perlunya amandemen terhadap Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban karena dalam undang – undang tersebut masih banyak yang harus ditambahkan seperti halnya mengenai saksi ahli lalu mengenai tata cara permohonan perlindungan serta bantuan yang harus di lewati oleh saksi dan korban yang ingin meminta perlindungan kepada LPSK.

3. Perlunya pemerintah untuk segera mengalokasikan dana serta membuat peraturan dalam bentuk undang – undang berkaitan dengan alokasi dana dalam hal upaya perlindungan saksi dan korban untuk mempermudah para aparat penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya memberikan hak – hak terhadap saksi dan korban agar hak – hak saksi dan korban yang memerlukan biaya dapat terpenuhi.


Dokumen yang terkait

ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 15 91

Eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

4 107 95

IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 7 9

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 2 11

PENDAHULUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 2 12

PENUTUP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 8

Optimalisasi Perlindungan Saksi dan Korban oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( Berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban).

0 0 6

UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 0 14

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006

0 1 77

JURNAL PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 0 15