ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

(1)

ABSTRAK

ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Oleh

FLORENCIA EIGTHEEN NATALYA SINAGA

Setiap manusia mempunyai kebebasan dan hak – hak yang disebut dengan Hak Asasi Manusia, dimana hak asasi ini dimiliki oleh setiap manusia sejak ia dilahirkan ke bumi. Oleh karena itu pemerintah serta aparat penegak hukum harus menjunjung tinggi hak asasi tersebut di segala bidang tanpa terkecuali dan tidak boleh dilanggar. Begitu pula dengan saksi ataupun korban. Saksi ataupun korban memilki hak – hak yang harus diberikan kepada saksi ataupun korban dalam suatu perkara. Hak – hak saksi dan korban ini sendiri telah diatur di dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, pada kenyataannya walaupun telah ada undang – undang yang mengatur mengenai hak – hak saksi dan korban, pada kenyataanya masih banyak saksi dan korban yang tidak mau memberikan kesaksiannya dengan berbagai alasan seperti takut mendapatkan ancaman dari pihak – pihak yang tidak bertanggungjawab, padahal dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini mengatur mengenai hak saksi dan korban untuk mendapatkan perlindungan dari lembaga yang berwenang dalam menjalankan pemberian hak kepada saksi ataupun korban. Permasalahan dalam skripsi ini adalah, Bagaimanakah pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peadilan pidana berdasarkan Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Faktor – faktor apa sajakah yang menghambat pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris dengan menggunakan data primer dan data sekunder, dimana data primer berupa hasil wawancara/kuesioner serta data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier.


(2)

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh penulis serta berdasarkan hasil dari wawancara dari para responden, maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana belum sepenuhnya terlaksana oleh aparat penegak hukum baik itu dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sendiri. Adapun hak yang belum bisa terlaksanakan dengan baik adalah hak saksi ataupun korban untuk mendapatkan biaya penggantian transportasi hal ini terjadi karena belum adanya undang – undang yang mengatur mengenai hal tersebut sehingga menghambat penggantian biaya transportasi tersebut. Adapun fakor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana yaitu faktor dari Undang –Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban itu sendiri dimana dalam undang – undang tersebut terdapat tata cara atau prosedur bagi seorang saksi ataupun korban yang ingin dilindungi oleh LPSK sangat rumit dan harus melewati prosedur yang sangat panjang, selain itu faktor lain yang menghambat adalah aparat penegak hukumnya sendiri yang sering tidak memperdulikan hak – hak saksi dan korban, selain itu tingkat pengetahuan saksi dan korban mengenai hukum masih sangat kurang lalu faktor anggaran dari pemerintah yang tidak memberikan alokasi dana yang cukup untuk pelaksanaan pemberian hak – hak bagi saksi dan korban dan juga mengenai LPSK sendiri yang hanya ada di Ibu Kota Negara sehingga membuat masyarakat juga banyak yang tidak mengetahui bahwa telah ada lembaga yang bertanggungjawab dalam pemberian hak – hak saksi dan korban hal ini juga masih kurangnya sosialisasi dari pihak penegak hukum khususnya dari LPSK nya sendiri kepada masyarakat khususnya yang berada di luar Jakarta.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap pelaksanaan hak – hak saksi dan korban, maka saran yang dapat diberikan untuk pelaksanaan hak – hak saksi dan korban ini agar dapat terlaksana dengan baik adalah perlunya mengamandemenkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta perlunya didirikan LPSK di setiap propinsi di Indonesia sehingga memudahkan bagi saksi dan korban yang ingin meminta perlindungan dan bantuan kepada LPSK dan perlunya pemerintah untuk membuat undang – undang yang berkaitan dengan penggantian biaya transportasi bagi saksi dan korban. Agar semua hak – hak saksi dan korban yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini dapat efektif maka diperlukan kerjasama dari instansi – instansi terkait baik itu antara LPSK dengan pihak Kejaksaan, Kepolisian bahkan Pihak Pengadilan.


(3)

ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Oleh

FLORENCIA EIGTHEEN NATALYA SINAGA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(4)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati M, S.H., M.H. ………..

Sekretaris/Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H. ………..

Penguji Utama : Firganefi, S.H., M.H. ………..

2. Dekan Fakultas Hukum

H. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP. 19560901 198103 1 003


(5)

Judul Skripsi : ANALISIS TERHADAP SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006

TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Nama Mahasiswa : Florencia Eigtheen Natalya Sinaga Nomor Pokok Mahasiswa : 0612011018

Program Studi : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati M, S.H.,M.H. Maya Shafira, S.H.,M.H. NIP.19620817 198703 2 003 NIP. 19770601 200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M, S.H.,M.H. NIP.19620817 198703 2 003


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gadingrejo sebuah Kecamatan di Kabupaten Pringsewu di Propinsi Lampung pada tanggal 18 Desember 1987 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Brigpol James Sinaga dan Dra. Rusmina Sitinjak.

Pada Tahun 1994 Penulis menyelesaikan pendidikan pada sekolah Taman Kanak-Kanak ( TK ) Pertiwi Gadingrejo, kemudian pada Tahun 1994 Penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Dasar ( SD ) Negeri 1 Gadingrejo, setelah lulus kemudian pada Tahun 2000 melanjutkan pendidikan pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ( SLTP ) Negeri 1 Gadingrejo, setelah itu menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Menengah Atas ( SMA ) Negeri 1 Gadingrejo pada tahun 2006 dan pada tahun yang sama Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat ( PKAB )dan mengambil bagian Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Lampung serta Penulis mengikuti Organisasi Himpunan Mahasiswa Pidana ( Hima Pidana ).


(7)

(8)

MOTTO

Segala Sesuatu Dapat Tercapai Dengan Usaha.

Usaha Tidak Akan Sia-Sia Apabila Dikerjakan Dengan Sungguh-Sungguh

Yakinlah Apa Yang Akan Kita Kerjakan

Dan

Raihlah Segala Sesuatu Dengan Usaha Sendiri

Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan

Janganlah kamu membela orang kecil

dengan tidak sewajarnya

Dan janganlah engkau terpengaruh

Oleh orang-orang besar

Tetapi engkau harus mengadili

Orang sesamamu dengan kebenaran


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Yesus Kristus, karena berkat serta campur tangan Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Terhadap

Hak Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban “, sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar sarjana bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari segala kesulitan dan hambatan namun, dengan adanya bantuan, bimbingan, petunjuk serta saran dari berbagai pihak maka dalam kesempatan ini dengan segela kerendahan hati, Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada:

1. Bapak H. Adius Semenguk, S.H.,M.H. selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Bapak Armen Yaser, S.H.,M.Hum. selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas Lampung

3. Ibu Diah Gustiniati M, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung yang sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikaran dalam membimbing penulis sehingga selesainya skripsi ini;


(10)

skripsi ini;

5. Ibu Firganefi, S.H.,M.H. selaku Pembahas I yang telah berkenaan mengevaluasi, memberi masukan dan saran guna penyempurnaan skripsi ini;

6. Bapak Deni Achmad, S.H.,M.H. selaku Pembahas II yang telah berkenaan memberikan kritik dan saran serta petunjuk – petunjuk guna penyempurnaan skripsi ini;

7. Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Akademik yang selama ini membimbing penulis dan memberikan bantuan dalam menuntut ilmu pada Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8. Seluruh staf, dosen, dan karyawan Civitas Akademik Fakultas Hukum Universitas Lampung ( mbak Yanti serta mbak Sri );

9. Papa dan Mama yang selalu mendoakan penulis selama ini terima kasih atas semuanya yang telah diberikan selama ini serta buat adik – adik ku Lidya Sinaga serta Redhi Sinaga;

10.Alm. Opung ( Kelapa Tinggi ) walaupun Opung Doli dan Opung Boru telah tiada terima kasih karena pasti opung selalu mendoakan penulis. Serta Opung Doli dan Opung Boru di Samosir terima kasih selalu memberikan semangat serta nasehat – nasehat dan mendoakan penulis; 11.Bapaktua, Mamaktua, Amangboru, Namboru, Tante, Nanguda, Uda,


(11)

Penulis serta teman – teman terbaik Penulis yaitu alumni XI IS 3 yang selalu memberikan doanya;

13.Teman – teman penulis pada Fakultas Hukum Universitas Lampung April, Lismelalia, Rosya, Marisa, Ara, Rina, Elmi, Laura, Dwi Dinata ( Onta ), Torry, Erlangga, Reza. Gladis, Windi serta teman – teman Fakultas Hukum 06 yang lainnya yang tidak dapat di sebutkan satu persatu khususnya teman – teman pada bagian Hukum Pidana terima kasih atas doanya dan semangatnya;

Penulis hanya dapat mandoakan semoga Tuhan membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat dijadikan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi pembacanya.

Bandarlampung, 4 April 2010 Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………... i

DAFTAR ISI………. ii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……… 7

D. KerangkaTeoritis dan Konseptual……….. 8

E. Sistematika Penulisan………. 13

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana……….. 16

1. Kepolisan………... 18

2. Kejaksaan……….. 19

3. Pengadilan………. 22

4. Lembaga Pemasyarakatan………. 23

B. Definisi Saksi dan Korban……….. 24

C. Kedudukan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia………. 32

D. Hak –Hak Saksi dan Korban……….. 35

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah……….. 41

B. Sumber dan Jenis Data……….. 42


(13)

DAFTAR PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden……….. 46 B. Pelaksanaan Hak – Hak Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan

Pidana Berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban……….. 47 C. Faktor Penghambat Pelaksanaan Hak – Hak Saksi dan Korban

Dalam Sistem Peradilan Pidana………. 64 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan………... 72 B.Saran………. 73 LAMPIRAN


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia mempunyai kebebasan dan hak – hak yang disebut dengan Hak Asasi Manusia ( HAM ), dimana hak asasi ini dimiliki oleh setiap menusia sejak ia dilahirkan ke bumi. Oleh karena itu, pemerintah serta aparat penegak hukum harus menjunjung tinggi hak asasi tersebut di segala bidang tanpa terkecuali dan tidak boleh dilanggar. Indonesia sendiri sebagai negara hukum mennjunjung tinggi hak-hak warga negaranya termasuk hak persamaan warga negara di depan hukum dimana hak ini tertuang pada Undang – Undang Dasar 1945 atau biasa disebut dengan UUD 1945 pada Pasal 27 .

Pasal 27 menyatakan:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya”.

Berdasarkan pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk melindungi hak – hak warga negaranya tersebut tanpa terkecuali melalui aparat penegak hukumnya. Begitu pula dengan saksi dan korban meskipun mereka hanya menjadi seorang saksi ataupun mereka menjadi korban dalam suatu kasus pidana tetap saja mereka mempunyai hak yang sama di depan hukum tanpa terkecuali.


(15)

Hak saksi dan korban sendiri dalam Kitab Hukum Acara Pidana atau disebut dengan KUHAP tidak membahas pentingnya hak – hak saksi dan korban hanya ada beberapa pasal yang dianggap menjadi hak saksi dan korban yaitu:

1. Pasal 98 KUHAP menyatakan:

Korban suatu tindak pidana dapat mengajukan ganti kerugian pada terdakwa yang terbukti bersalah menyebabkan kerugian baginya, melalui proses penggabungan perkara pidana dan perdata.

2. Pasal 117 ayat (1) KUHAP menyatakan :

Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.

3. Pasal 118 KUHAP menyatakan:

Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditanda tangani oleh penyidik, dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujuinya.

4. Pasal 166 KUHAP menyatakan:

Petanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan kepada terdakwa maupun saksi.

5. Pasal 177 KUHAP menyatakan:

Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, Hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.

6. Pasal 178 KUHAP menyatakan:


(16)

Hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.

7. Pasal 229 menyatakan:

Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan berhak, mendapat penggantian biaya menurut aturan perundang –undangan yang berlaku”.

Pasal – pasal dalam KUHAP ini sepertinya belum dapat terlaksanakan dengan baik serta masih sangat kurang bagi saksi dan korban sebab dalam KUHAP tidak ada mengenai hak untuk dilindungi padahal hak ini sangat penting diberikan kepada saksi dan korban serta merupakan hak yang paling di inginkan oleh saksi ataupun korban.

Menurut Basil Fernando (2006:4):

“ Perlindungan bagi saksi dan korban sangatlah penting diberikan oleh aparat

penegak hukum sebab tanpa adanya perlindungan maka impunitas tidak dapat diperangi sebab jika hak perlindungan terhadap saksi tidak ada maka maka korban pelanggaran HAM berat yang melaporkan kasusnya tentu harus menghadapi ancaman serius yang dapat membahayakan jiwa mereka sendiri ataupun orang – orang yang mereka kasihi sehingga diperlukan suatu lembaga

yang mempunyai tugas untu melindungi saksi dan korban.”

Hal ini berarti betapa pentingnya hak perlindungan bagi saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana agar pelaksanaan proses pembuktian suatu kasus tindak pidana dapat berjalan dengan baik. Untuk melaksanakan hak tersebut di Indonesia sendiri terdapat lembaga – lembaga yang berperan besar dalam penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Lembaga – lembaga tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan. Keempat lembaga inilah yang bertugas menjalakan sistem peradilan di Indonesia. Begitupula dalam hal


(17)

melaksanakan pemberian hak – hak terhadap saksi dan korban tapi sapertinya para penegak hukum ini masih sering mengabaiakan hak – hak dari saksi dan korban. Padahal saksi dan korban menempati posisi kunci sebagaimana terlihat dalam penempatannya dalam Pasal 184 KUHAP dalam pasal tersebut dituliskan bahwa saksi merupakan alat bukti utama.

Keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi, sangatlah jelas bahwa posisi saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan namun posisi saksi yang sangat penting ini sepertinya sangat jauh dari perhatian masyarakat khususnya penagak hukum yang tidak memperhatikan hak – hak dari saksi maupun korban untuk mendapatkan sebuah perlindungan.

Posisi korban dan saksi dalam sistem peradilan pidana cenderung diperlakukan sebagai bagian dari alat bukti setelah itu tidak ada upaya untuk menjamin adanya upaya perlindungan kepada saksi yang memberikan keterangan di pengadilan dengan resiko tertentu demikian juga bagi korban, tidak ada upaya pemulihan yang memadai untuk mengembalikan posisi korban seperti semula bahkan seringkali saksi ataupun korban secara tidak langsung mendapat pertanyaan – pertanyaan yang menjerat mereka dalam proses pembuktian di persidangan karena hal ini pula banyak saksi atau bahkan korban yang tidak ingin memberikan kesaksian di persidangan dikarenakan takut mendapatkan ancaman dari pihak – pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu, seharusnya saksi dan korban diberikan hak – hak dalam menjalani proses peradilan sehingga tidak terjadi lagi kasus – kasus yang menimpa saksi ataupun korban.


(18)

Tahun 2006 disahkan sebuah undang – undang mengenai perlindungan saksi dan korban yaitu Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang – Undang ini di buat untuk melindungi saksi ataupun korban agar mendapatkan hak – hak mereka sebagai saksi ataupun korban dalam suatu kasus tindak pidana. Namun, kenyataannya masih saja banyak terjadi kasus-kasus yang menimpa saksi dan korban walaupun telah ada Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Contohnya:

Pada Juni 2008 seorang wanita bernama Sumarlin bersama dengan teman-temannya mengadakan aksi menolak BBM di depan Kampus UIN Makassar. Aparat kepolisian membubarkan aksi. Atas kejadian tersebut, 2 orang mahasiswa hilang saat polisi membubarkan aksi. Atas kejadiaan tersebut mahasiswa melakukan konfrensi pers dan menduga kepolisian melakukan penculikan. Akhirnya Mustari dan Sumarlin mendapatkan panggilan sebagai saksi dari Polwiltabes Makassar dengan tuduhan penyiaran, penghinaan, terhadap pejabat negara. Mesti tidak menjadi tersangka, sumarlin sempat mendapat teror dan intimidasi. (Kesaksian media informasi perlindungan saksi dan korban juni 2009)

Di Kabupaten Sinjai, seorang aktivis LSM bernama Amrullah melaporkan adanya dugaan korupsi di salah satu lembaga pemerintahan di Sinjai. Laporan tersebut diajukan ke Kepolisiaan Polres Sinjai. Meski mendapatkan initimidasi dan tekanan dari pihak – pihak yang tidak bertanggungjawab, Amrullah tetap bersikeras terhadap laporannya. Karena laporannya itu, Amrullah dijadikan tersangka oleh Polres Sinjai dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan. (Kesaksian media informasi perlindungan saksi dan korban juni 2009)

Kasus – kasus diatas merupakan sebagaian kasus yang masih menimpa saksi ataupun korban setelah Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban di sahkan. Apa yang di kemukakan diatas tidak semestinya terjadi apabila aparat penegak hukum seperti Kepolsian. Kejaksaan, Pengadilan bahkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memahami


(19)

tugas pokok dan fungsinya. Diluar konteks undang – undang perlindungan saksi dan korban telah berlaku seharusnya aparat penegak hukum mampu bertindak adil terhadap sebuah proses pemeriksaan perkara dengan tetap mengacu pada mekanisme hukum yang berlaku, sehingga tidak perlu lagi terjadi hal semacam ini. LPSK sendiri merupakan lembaga yang beradasarkan undang – undang perlindungan saksi dan korban adalah lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan pemberian hak – hak saksi ataupun korban. Namun, lembaga ini sendiri baru terbentuk pada Agustus 2008 sehingga lembaga ini belum efektif dalam menjalankan tugasnya.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: “Analisis Terhadap Hak Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan hak - hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan oleh aparat penegak hukum?

b. Faktor – faktor apa sajakah yang menghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana?


(20)

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penulisan skripsi ini hanya dibatasi mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta faktor – faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana pada wilayah hukum Poltabes Bandar Lampung, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pengadilan Negeri Kelas 1a Tanjung Karang serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

C. Tujuan dan Keguanaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan hak - hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

b. Untuk mengetahui faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana .

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis diharapkan penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi kalangan hukum dalam mengembangkan dan memperluas ilmu pengetahuan dalam bidang hukum tentang hak – hak Saksi dan Korban dalam Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.


(21)

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas untuk mengetahui pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta untuk mengetahui faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoretis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono Soekanto, 1986 :125).

Penulisan skripsi ini, perlu dibuat sebuah karangan teoritis untuk mengidentifikasikan data yang akan menjadi pengantar bagi penulis dalam menjawab permasalahan skripsi yang diangkat.

Manusia adalah subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban hukum, jadi setiap manusia mempunyai hak yang sama di depan pengadilan seperti hak untuk mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum. Hal ini sesuai dengan arti dari hukum itu sendiri yaitu memberi pengayoman, kedamaian dan ketentraman seluruh umat manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh


(22)

sebab itu maka sistem hukum di Indonesia mempunyai asas - asas hukum yang menjamin hak – hak manusia sebagai subjek hukum. Oleh karena itu saksi dan korban dalam peradilan di Indonesia pada dasarnya mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan selama persidangan berlangsung sampai dengan persidangan tersebut berakhir.

Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah hal ini berdasarkan

KUHAP Pasal 184 Ayat 1 yang menyatakan bahwa: “ Alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa”. Keterangan saksi dalam proses peradilan pidana ialah saksi yang mendengar, mengalami atau melihat dengan mata kepala sendiri dan bukan yang ia mendengar atau memperoleh keterangan dari orang lain. Sehingga kedudukan saksi di dalam proses peradilan pidana sangat penting oleh sebab itu diperlukan perlindungan hukum oleh pihak yang berwenang sampai proses peradilan yang dijalaninya selesai.

Perlindungan saksi dan korban diatur pula dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu pada Pasal 98 (1) KUHAP dan Pasal 229 ayat (1) KUHAP.

Pasal 98 KUHAP yang menyatakan:

“Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada


(23)

Pasal 229 ayat (1) KUHAP menyatakan:

“Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka

memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Peranan aparat penegak hukum dalam hal ini sangatlah penting sebab tanpa adanya peranan dari aparat penegak hukum maka efektifitas dalam menjalankan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak akan berjalan dengan baik. Menurut Soerjono Soekanto, dalam rangka efektivitas penegakan hukum dibutuhkan lima unsur pokok yaitu:

a. Faktor Hukum

Praktik dalam penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

b. Faktor Penegakan Hukum

Mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting dalam berfungsinya hukum, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, maka akan ada masalah. Oleh karena itu, salah satu


(24)

kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum. selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya. Sedangkan perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.

d. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

e. Faktor Kebudayaan

Masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan sendiri mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti


(25)

bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah- istilah yang ingin diteliti atau ingin diketehui (Soerjono Soekanto, 1986:132).

Adapun pengertian dasar dari istilah yang ingin atau yang akan digunakan dalam penulisan adalah :

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. ( Purwadarmita,1993)

b. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. (KUHAP Pasal 1 butir 26)

c. Korban adalah seseorang yang mengalami pendertitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 2)

d. Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. (Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 6) e. Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari


(26)

lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. (Mardjono, dalam buku ajar Sistem Peradilan Pidana oleh Erna Dewi,S.H.,M.H.)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disajikan untuk mempermudah pemahaman penulisan skripsi sacara keseluruhan yang dirinci sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang memuat latar belakang masalah penulisan skripsi ini yaitu mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bab ini juga memuat permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, serta menguraikan kerangka teoretis, konseptual dan sistematika penulisan, dimana permasalahan dalam skripsi ini adalah mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta mengenai faktor penghamabat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban tersebut

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman ke dalam pengertian-pengertian umum tentang pokok bahasan antara lain mengenai sistem peradilan pidana yang dalam di dalam sistem peradilan pidana ini akan dibahas pula mengenai kepolisian,


(27)

kejaksaan, pengadilan serta lembaga pemasyarakatan selain itu dalam bab ini juga akan membahas mengenai kedudukan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana, pengertian saksi dan korban, hak – hak saksi dan korban serta sistem peradilan pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan mengenai metode penulisan, yaitu pendekatan masalah, sumber data, penentuan populasi dan sampel dan pengolahan data, serta analisis data. Metode ini digunakan penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini dimana dalam bab ini di dicantumkan populasi dan sampel dalam penulisan skripasi ini yang dalam hal ini populasi dan sampelnya adalah pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta LPSK.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan yang memuat tentang analisis pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak saksi dan korban dalam Undang - Undang Nomor 13 tahun 2006 dalam sistem peradilan pidana. Jawaban dari permasalahan tersebut diberikan oleh responden dari pihak aparat penegak hukum.yang kemudian dianalisis.


(28)

V. PENUTUP

Dalam bab ini mengemukakan kesimpulan tentang hal – hal yang telah diuraikan dalam bab – bab terdahulu, guna menjawab permasalahan mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana serta faktor penghambatnya yang telah diajukan. Dalam bab ini diberikan juga sumbangan pemikiran berupa saran yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yang berkaitan mengenai hak – hak saksi dan korban.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Peradilan Pidana

Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan (LP). Lembaga – lembaga peradilan ini satu sama lain saling berhubungan dalam melakukan penanganan suatu perkara.

Menurut Mardjono sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarkatan. Sedangkan, tujuan dari sistem peradilan pidana menurut Mardjono adalah:

a. Mencegah masyarakat dari korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas sehingga keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak melakukan lagi kejahatannya.

Lembaga – lembaga dalam sistem peradilan di Indonesia satu sama lain saling berhubungan, hal ini dapat dilihat dari kedudukan Kepolisian sebagai lembaga yang pertama kali akan menangani suatu perkara yang telah terjadi atau dapat dikatakan Kepolisian menjadi penjaga pintu gerbang dalam sistem peradilan pidana karena Kepolisian yang berwenang untuk menentukan siapa yang patut disidik, siapa yang patut ditangkap serta siapa pula yang patut ditahan, lalu


(30)

Kejaksaan dalam hal ini adalah Penuntut Umum akan melaksanakan tugasnya ketika telah menerima berita acara pemeriksaan penyidikan dari pihak Kepolisian, Karena, dari berita acara pemerikasaan penyidikan dari Kepolisian tersebutlah Penuntut Umum akan membuat surat dakwaannya. Berdasarkan hal tersebut sudah seharusnya Kepolisian dan Kejaksaan bisa saling bekerja sama sehingga tanggung jawab kedua lembaga tersebut dapat di laksanakan dengan sebaik mungkin.

Hubungan Kepolisian dengan Pengadilan dapat dilihat dari dalam hal penyidik meminta atau mengajukan permintaan untuk perpanjangan penahanan, meminta ijin penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Sedangkan, hubungan antara penyidik dengan hakim dapat dilihat pada pemeriksaan di muka persidangan. Jika dalam persidangan hakim beranggapan bahwa surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum tidak atau kurang benar maka hakim dapat memberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk memperbaikinya. Dalam hal hubungan dengan lembaga pemasyarakatan, penuntut umum adalah orang yang ditugaskan untuk melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan memasukkan orang atau terdakwa ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Sistem peradilan pidana yang terdiri dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan merupakan satu kesatuan yang melaksanakan fungsi dan tugas penegakan hukum pidana secara terpadu. Untuk memahami fungsi serta tugas dari masing – masing lembaga dalam sistem


(31)

peradilan pidana tersebut maka, di bawah ini di uraikan fungsi serta tugas dari lembaga – lembaga dalam sistem peradilan pidana tersebut:

1. Kepolisian

Kepolisian memiliki peraturan perundang - undangan yang mengatur mengenai tugas serta fungsi dari Kepolisian yaitu Undang – Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pengertian Kepolisian berdasarkan Undang – Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (1) adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kepolisian adalah lembaga yang pertama kali harus dilewati dalam proses penegakan hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Kepolisian mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penahanan, penyitaan, sampai ditemukannya suatu kejahatan yang di lakukan oleh seorang tersangka.

Fungsi dari Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat hal ini sesuai dengan Pasal 2 Undang – Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sedangkan tugas pokok dari Kepolisian Negara Republik Indonesia terdapat dalam Pasal 13 yang menyatakan bahwa tugas pokok dari Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:


(32)

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Kepolisian dalam sistem peradilan pidana mempunyai tugas yang bersifat penindakan seperti melakukan penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan dan penyitaan. Tindakan ini dalam sistem peradilan pidana dimaksudkan untuk menyelesaikan tiap – tiap perkara yang masuk ke Kepolisian diselesaikan secara efisien.

2. Kejaksaan

Undang - Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 2 ayat (1) mengatur mengenai pengertian Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang- Undang. Di beberapa negara berkembang peranan Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum masih menunjukkan suatu alat pertumbuhan yang lebih dewasa, terutama terhadap perubahan dan nilai – nilai ketertiban hukum yang terjadi didalam masyarakat.

Kejaksaan mempunyai wewenang dan tugas yang tercantum dalam berbagai macam peraturan perundang – undangan seperti Undang – Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1961, Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun


(33)

1967 dan Undang – Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia serta berbagai macam peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai Kejaksaan.

Peranan instansi Kejaksaan di negara – negara berkembang seperti Indonesia memiliki fungsi ganda, yaitu di samping sebagai aparat penegak hukum Kejaksaan juga berpengaruh dalam kekuasaan eksekutif. Kejaksaan sendiri sering disebut dengan Penuntut Umum atau Jaksa.

KUHAP memberikan pengertian yang berbeda mengenai Jaksa dan Penuntut Umum. Pengertian tersebut dapat dilihat pada Pasal 1 butir ke 6a dan 6b.

Pasal 1 butir ke 6 menyatakan:

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang – undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.

Pengertian Jaksa yang terdapat dalam Pasal 1 butir ke 6 KUHAP berbeda dengan pengertian Jaksa yang terdapat dalam Pasal 1 butir ke 1 Undang – Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Pasal 1 butir ke 1 menyatakan:

“ Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang – undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan


(34)

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta wewenang lain berdasarkan undang –undang ini.”

Kejaksaan Republik Indonesia terdiri dari:

a. Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.

b. Kejaksaan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

c. Kejaksaan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.

Undang – Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengatur tugas dan wewenang dari Kejaksaan yang terdapat pada Pasal 30 ayat (1), (2), (3).

Pasal 30 menyatakan:

(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang – undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya di koordinasikan dengan penyidik.

(2) Dibidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan kesejahteraan umum, kejaksaan turut menyelenggarkan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;


(35)

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal

3. Pengadilan

Pengadilan adalah lembaga yang menjalankan salah satu kekuasaan kehakiman yang merdeka, menyelenggarakan peradilan yang dilaksanakan oleh Hakim guna menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya ( Pasal 1 ayat (2) Undang – Undang Nomor 35 tahun 1999 jo Undang – Undang Nomor 14 tahun 1970). Inti tugas tersebut adalah memberi kekuasaan kepada Hakim di pengadilan untuk mengadili dan memberi keputusan setiap perkara baik perdata maupun pidana.

Tugas untuk mengadili tersebut dilaksanakan oleh Hakim. Pengertian Hakim menurut Undang – Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Hakim yang mengadili perkara tersebut adalah termasuk Hakim di Pengadilan Negeri, Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi serta Hakim Agung di Mahkamah Agung.

Hakim sebagai pejabat yang diberikan wewenang untuk memeriksa serta memutuskan suatu perkara mempunyai kedudukan yang istimewa karena, Hakim selain sebagai pegawai negeri, Hakim juga diangkat serta diberhentikan oleh Presiden. Hakim berbeda dengan pejabat – pejabat yang lain karena, Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Tujuan penegakan hukum dan


(36)

keadilan menuntut Hakim agar supaya wajib mengadili dan memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim tidak boleh menolak memeriksa perkara-perkara yang diajukan karena Hakim adalah tempat pencari keadilan untuk meminta keadilan.

4. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan adalah wadah yang berfungsi sebagai tempat penggodokan para terpidana, guna menjalani yang telah diputuskan oleh Pengadilan baginya. Masuknya terpidana ke dalam lembaga pemasyarakatan merupakan titik awal usaha pembinaan bagi terpidana baik pembinaan secara fisik maupun mental, dengan cara memberikan kepada terpidana – terpidana tersebut pendidikan sekolah, moral, agama serta keterampilan khusus agar terpidana nantinya mempunyai bekal dalam menghadapi lingkungan hidup yang baru setelah para terpidana tersebut keluar dari lembaga pemasyarakatan.

Lembaga pemasyarakatan mempunyai tugas – tugas sosial yang memberikan wewenang kepada lembaga pemasyarakatan untuk menilai sikap prilaku terpidana serta menentukan langkah – langkah yang akan dijalankan dalam proses pembinaan tersebut. Penilaian – penilaian yang di lakukan oleh lembaga pemasyarakatan terhadap terpidana digunakan untuk mendorong diberikan upaya- upaya yang dapat meringankan terpidana dalam menjalani pemidanaannya di dalam lembaga pemasyarakatan. Upaya – upaya tersebut dapat berupa remisi atau pelepasan bersyarat, yang semua itu mengarah agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi nantinya.


(37)

B. Definisi Saksi dan Korban 1. Definisi Saksi

Pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dari acara pidana. Sebagaimana diketahui bahwa suatu keberhasilan dari suatu proses peradilan pidana sangat bergantung dari pada alat bukti yang berhasil dimunculkan dalam suatu proses persidangan terutama alat bukti yang berkenaan dengan saksi. Saksi merupakan alat bukti atau unsur yang paling penting dari sebuah proses pembuktian dalam proses persidangan suatu perkara.

Saksi merupakan kunci utama dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan karena dapat dikatakan bahwa keterangan dari saksi merupakan alat bukti yang utama dari suatu perkara pidana sebab tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian dari keterangan saksi. Hampir semua sumber pembuktian perkara pidana selalu bersumber dari keterangan saksi walaupun selain dari keterangan dari saksi masih ada alat bukti yang lain namun, pembuktian dengan menggunakan keterangan saksi masih sangat diperlukan. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 184 – 185 KUHAP yang menerapkan keterangan saksi pada urutan pertama hal ini juga dikarenakan keterangan saksi merupakan alat bukti yang pertama kalinya diperiksa dalam tahap pembuktian didalam persidangan.

Saksi dalam hukum pidana dapat saja ada semenjak mulainya suatu tindak pidana dimana tindak pidana ini mengakibatkan masyarakat merasa tidak aman dan tidak tertib serta merasa terganggu ketentramannya. Masyarakat menghendaki agar si pelaku dari suatu tindak pidana itu dihukum menurut hukum yang sedang


(38)

berlaku. Saksi diperlukan guna mencari suatu titik terang atas telah terjadinya suatu tindak pidana.

Keterangan saksi sebagai alat bukti yang salah harus dibedakan apakah termasuk keterangan saksi sebagaimana tercantum pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP atau

sebagai “petunjuk” sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1)d KUHAP. Pengertian saksi dalam Undang - Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini menggunakan konsep tentang pengertian saksi seperti yang diatur oleh KUHAP yang membedakan adalah jika dalam KUHAP seseorang disebut sebagai saksi adalah pada tahap penyidikan sedangkan pada Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 ini seseorang disebut sebagai saksi semenjak tahap penyelidikan dimulai.

Pasal 1 butir 26 dan 27 KUHAP diatur mengenai pengertian Saksi serta Keterangan Saksi.

Pasal 1 butir 26 KUHAP menyatakan:

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna penyidikan,

penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri.”

Pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan:

“Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya


(39)

Berdasarkan kajian teoretik dan praktik dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Apabila orang itu memang benar-benar mengetahui atas telah terjadinya suatu tindak pidana. Seseorang dipanggil menjadi saksi, tetapi menolak/tidak mau hadir di depan persidangan, saksi tersebut dapat diperintahkan supaya menghadap ke persidangan, hal ini sesuai dengan Pasal 159 ayat (2) KUHAP.

Pasal 159 ayat (2) KUHAP menyatakan:

“Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk manyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat

memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan kepersidangan.”

Keterangan seorang saksi dalam hukum pidana tidak langsung saja dapat di jadikan alat bukti yang sah, karena begitu pentingnya keterangan seorang saksi maka agar dapat diterima sebagai alat bukti yang sah harus lah sesuai dengan ketentuan yang dinyatakan dalam Pasal 185 KUHAP.

Pasal 185 KUHAP:

1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan;

2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;

4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri - sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu;

5. Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi;

6. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh - sunggguh memperhatikan:


(40)

b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

7. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Umumnya semua orang dapat dijadikan saksi namun, ada orang – orang tertentu yang tidak dapat dijadikan saksi yaitu terdapat pada Pasal 168 KUHAP dimana pada Pasal tersebut dijelaskan orang – orang yang tidak dapat di jadikan seorang saksi suatu perkara pidana dalam suatu proses persidangan yaitu:

1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa; 2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara

ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

3. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Pasal 171 KUHAP ditambahkan kekecualian untuk memberikan kesaksian dibawah sumpah yaitu:

1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;


(41)

Pasal 170 KUHAP yang menyatakan:

“ mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya

diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang

dipercayakan kepada mereka”.

Adapun jenis – jenis saksi dalam peradilan pidana yaitu :

1. Saksi a charge ( Memberatkan )

Pada dasarnya menurut sifat dan eksistensinya maka keterangan saksi a charge

adalah keterangan seorang saksi dengan memberatkan terdakwa dan terdapat dalam beberapa perkara serta lazim diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Saksi a

charge ini dicantumkan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaannya. Hal ini

dilakukan oleh Jaksa karena nantinya di persidangan ia harus dapat membuktikan semua tuntutan yang di jatuhkan kepada terdakwa

2. Saksi A de Charge ( Meringankan )

Merupakan saksi yang meringankan bagi tersangka/terdakwa atau saksi yang tidak menguatkan bahwa tersangka itu melakukan tindak pidana. Saksi meringankan ini diajukan oleh terdakwa pada saat persidangan di Pengadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 65 KUHAP yang mengatakan bahwa tersangka atau terdakwa berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau sesorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan baginya. Jaksa Penuntut Umum dapat menyatakan keberatan terhadap saksi – saksi a de charge ini namun keberatan itu harus di sertai dengan alasan – alasan yang dapat diterima.


(42)

3. Saksi Korban ( Mengalami sendiri )

Korban dari suatu tindak pidana berhak mengajukan laporan kepada penyidik atau penyelidik. Korban dapat dijadikan sebagai saksi yang umumnya disebut dengan saksi korban. Saksi korban ini dapat memberikan keterangan mengenai kejadian atau tindak pidana yang dialaminya sendiri.

4. Saksi Pelapor ( Mendengar/melihat sendiri)

Saksi pelapor merupakan orang yang bukan sebagai korban tindak pidana, tetapi ia adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri sacara langsung kejadian itu dan bukan diketahui oleh orang lain.

Orang – orang yang menjadi saksi ini adalah seseorang yang memberikan laporan kepada aparat kepolisian bahwa telah terjadi suatu tindak pidana di suatu tempat atau dapat juga seseorang yang berada di tempat kejadian perkara tersebut.

5. Saksi Mahkota ( Yang bersama menjaadi terdakwa )

Saksi mahkota adalah saksi yang berasal dari atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama – sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota.

Mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Namun demikian kelemahan dari pemeriksaan seperti ini sering mengakibatkan terjadinya keterangan saksi


(43)

palsu, sehingga ada kemungkinan yang timbul para terdakwa yang diperiksa menjadi saksi mahkota akan saling memberatkan atau meringankan.

6. Saksi Testamonium de Auditu

Saksi Testamonium de Auditu merupakan saksi yang menerangkan tentang apa

yang didengarnya mengenai suatu tindak pidana dari orang lain. Sebenarnya saksi

Testamonium de Auditu bukan merupakan alat bukti yang sah dalam suatu proses

perkara pidana di persidangan sebab saksi Testamonium de Auditu ini tidak

melihat atau mendengar sendiri suatu tindak pidana yang telah terjadi saksi ini hanya mendengar keterangan dari orang lain walaupun saksi ini tidak mendengar secara langsung mengenai telah terjadinya suatu tindak pidana tetapi saksi

Testamonium de Auditu ini perlu pula didengar oleh Hakim, walaupun tidak

mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan Hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain. Saksi Testamonium de

Auditu ini dapat dijadikan alat bukti yang sah jika tidak ada alat bukti lain.

2. Definisi Korban

Terjadinya suatu tindak pidana dalam masyarakat mengakibatkan adanya korban tindak pidana dan juga pelaku tindak pidana. Dimana dalam terjadinya suatu tindak pidana ini tentunya yang sangat dirugikan adalah korban dari tindak pidana tersebut. Ada beberapa pengertian mengenai korban, pengertian ini diambil dari beberapa penjelasan peraturan perundang – perundangan yaitu:


(44)

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 2 menyatakan bahwa pengertian korban adalah:

“ Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian

ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”

Menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985 pengertian korban adalah:

“ orang - orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.”

Pengertian tentang korban juga dapat dilihat dalam PP Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Kepada Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat yaitu menyatakan bahwa korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.

Korban juga dapat merupakan pihak yang sifatnya secara kolektif dan hanya bersifat perseorangan. Sebab, akibat terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa mengakibatkan jatuhnya korban yang bisa saja tidak hanya satu orang namun bisa saja korban dari tindak pidana tersebut lebih dari satu orang. Korban suatu tindak pidana ini dapat melaporkan secara langsung perkara pidana yang telah menimpa dirinya kepada pihak yang berwenang yaitu pihak kepolisian.


(45)

Korban dalam suatu tindak pidana berhak untuk medapatkan perlindungan baik itu bagi dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.

Mardjono Reksodipuro mengemukakan beberapa alasan mengapa korban memerlukan hak untuk mendapatkan perlindungan diantaranya adalah:

a. sistem peradilan pidana dianggap terlalu memberikan perhatian pada permasalahan dan peran pelaku kejahatan;

b. terdapat potensi informasi dari korban untuk memperjelas dan melengkapi penafsiran tentang statistik kriminal melalui riset tentang korban dan harus dipahami bahwa korbanlah yang menggerakkan mekanisme sistem peradilan pidana;

c. semakin disadari bahwa selain korban kejahatan konvensional, tidak kurang pentingnya untuk memberikan perhatian kepada korban kejahatan non konvensional maupun korban penyalahgunaan kekuasaan.

Berdasarkan alasan – alasan tersebut memang sudah seharusnya korban mendapatkan haknya untuk perlindungan

C. Kedudukan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Saksi dalam sistem peradilan pidana menempati posisi yang sangat penting seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya bahwa suatu perkata pidana tidak dapat terungkap jika tidak adanya saksi. Dalam proses penangkapan atau penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sebagaimana telah diketahui seseorang tersebut tidak dapat ditangkap ataupun ditahan sebelum ada bukti


(46)

permulaan yang cukup yaitu dua alat bukti yang cukup salah satunya adalah adanya saksi yang melihat, mendengar mengenai tindak pidana yang telah terjadi.

Kedudukan saksi dan korban khususnya bagi saksi dalam proses peradilan pidana di Indonesia ini telah ada sejak dimulainya proses penyelidikan atas perkara tindak pidana yang telah terjadi sampai dengan nantinya di Kejaksaan dan Pengadilan. Hal ini membuktikan bahwa peran saksi dalam setiap perkara pidana yang ada sangat penting apalagi dengan adanya keterangan saksi dalam proses persidangan dapat membantu Hakim dalam memutuskan bersalah atau tidaknya terdakwa sebab Hakim pun dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa harus mendengarkan terlebih dahulu keterangan dari saksi - saksi atau pun korban tindak pidana itu sendiri yang di hadirkan dalam persidangan.

Dilihat dari sudut Perundang-undangan kedudukan saksi dan korban sangat lemah. Hal ini dapat di lihat dengan tidak adanya hak-hak saksi dan korban yang dicantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) berbeda dengan terdakwa yang hak - haknya terdapat dalam KUHAP. Pemberian hak – hak terdakwa didalam KUHAP mungkin dikarenakan faktor kedudukan terdakwa yang lemah karena sebagai posisinya sebagai orang yang bersalah, Namun sebenarnya saksi dan korban juga seharusnya dapat di berikan hak -haknya seperti halnya terdakwa karena sesungguhnya kondisi saksi, korban serta terdakwa tidak jauh berbeda semuanya sama - sama berhak untuk mendapatkan haknya salah satunya dalam hal mendapatkan perlindungan, karena:

1. Bagi saksi ( apalagi saksi yang tidak mengerti tentang hukum ) memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah;


(47)

2. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana baginya karena dianggap bersumpah palsu;

3. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapatkan ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan;

4. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya;

5. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang terdakwa/tersangka.

Kedudukan saksi dan korban terutama saksi yang sangat lemah dalam sistem peradilan pidana juga dapat di lihat dalam Pasal 224 KUHP yang menyebutkan:

“ Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang - undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang -undang selaku demikian harus dipenuhinya ancaman: Ke-1 dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan.

Ke-2 dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.”

Secara teoritis, saksi dan korban terutama untuk korban memang telah diwakili haknya oleh aparat penegak hukum. Namun, pada kenyataannya saksi dan korban hanyalah dijadikan sebagai alat untuk menguatkan suatu argumentasi untuk memenangkan suatu perkara dalam persidangan.

Di dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat ( 1 ) dinyatakan :

“ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya”

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 27 ayat ( 1 ) tersebut seharusnya tidak berlebihan jika seharusnya saksi atau korban diberikan pula hak - haknya didalam ketentuan


(48)

Perundang – undangan sehingga pada akhirnya untuk memberikan suatu hak yang memang seharusnya didapatkan oleh saksi dan korban maka pemerintah membuat Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban.

3. Hak – Hak Saksi dan Korban

Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkapkan atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang mendukung tugas penegak hukum. Padahal adanya saksi dan korban menentukan dalam proses peradilan pidana.

Keberadaan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang diperhatikan oleh masyarakat serta para aparat penegak hukum. Kasus – kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan karena saksi dan korban takut memberikan kesaksiaan kepada aparat penegak hukum hal ini dikarenakan para saksi dan korban terutama saksi banyak mendapatkan ancaman dari pihak – pihak tertentu.

Usaha menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap suatu tindak pidana perlu diciptakan suatu iklim yang kondusif dengan cara memberikan hak – hak kepada saksi yang memang mengetahui atau menemukan mengenai suatu hal yang dapat membantu mengungkapkan tindak pidana yang telah terjadi serta melaporkannya kepada aparat penegak hukum.


(49)

Pelapor – pelapor atau para saksi dan korban yang melaporkan telah terjadinya suatu tindak pidana kepada aparat penegak hukum tersebut sudah semestinya mendapatkan hak – hak nya sebagai saksi dan korban semenjak perkara tersebut diproses oleh aparat penegak hukum hingga perkaranya di limpahkan ke pengadilan. Karena, dikahwatirkan banyak saksi yang mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana tidak mau memberikan kesaksiaannya dikarenakan takut mendapatkan ancaman atau hal – hal lainnya karena mereka tidak diberikan hak- hak yang seharusnya diberikan kepada saksi dan korban.

Saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana sebenarnya memiliki posisi yang sangat penting atau dapat dikatakan saksi merupakan kunci dari terkuaknya suatu kasus tindak pidana. Keterangan saksi sebagai alat bukti utama ini menjadi acuan Hakim untuk memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Namun, posisi saksi yang sedemikian penting ini tidak diperhatikan oleh para aparat penegak hukum. Saksi dan korban tidak diberikan haknya seperti halnya tersangka/terdakwa yang mempunyai hak yang telah diatur dalam KUHAP, sedangkan hak saksi ataupun korban dalam KUHAP hanya ada satu Pasal yang menyatakan secara jelas mengenai Hak Saksi yaitu pada Pasal 229 KUHAP yang menyatakan tentang penggantian biaya bagi para saksi yang datang ke persidangan. Lalu, untuk korban diatur dalam Pasal 98 KUHAP yang menyatakan bahwa korban suatu tindak pidana dapat mengajukan ganti kerugian pada terdakwa yang terbukti bersalah menyebabkan kerugian baginya, melalui proses penggabungan perkara pidana dan perdata. Namun, hak – hak itu juga belum bisa diberikan oleh aparat penegak hukum khususnya hak saksi. Oleh karena pentingnya saksi dan korban dalam


(50)

proses peradilan pidana maka dibuatlah Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 didalamnya telah diatur secara jelas mengenai hak – hak saksi dan korban, Adapun hak – hak saksi dan korban tersebut di atur dalam Pasal 5 yaitu:

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan; 4. Mendapat penerjemah;

5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; 7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; 8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

9. Mendapat identitas baru;

10.Mendapatkan tempat kediaman baru;

11.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; 12.Mendapat nasihat hukum;

13.Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.


(51)

Untuk korban tindak pidana dalam Undang - Undang ini memilki kekhususan terutama bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain korban tersebut mendapatkan hak -haknya yang terdapat dalam Pasal 5 Undang - Undang ini korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat ini juga mendapatkan hak- hak yang lain, yang terdapat dalam Pasal 6 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006:

“ Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan:

a. bantuan medis; dan

b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.”

Walaupun telah ada Undang - Undang yang mengatur mengenai penjaminan hak - hak dari saksi dan korban, namun pemberian hak- hak tersebut tidak diberikan kepada semua saksi dan korban yang sedang menjalani proses peradilan perkara pidana. Hak – hak tersebut hanya diberikan kepada saksi - saksi yang menjalani proses peradilan perkara pidana mengenai tindak pidana pembunuhan, korupsi, kekerasan dalam rumah tangga lalu kasus pencucian uang. Jadi, tidak semua saksi yang memberikan keterangannya di persidangan bisa mendapatkan hak - hak saksi dan korban yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut.

Undang - Undang Nomor 13 tahun 2006 ini terdapat juga Pasal yang mengatur bahwa sesorang saksi atau korban dalam memberikan kesaksian tidak perlu hadir


(52)

di persidangan atas persetujuan Hakim, hal ini terdapat dalam Pasal 9 ayat (1), (2) dan (3) yaitu:

(1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.

(2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.

(3) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

Seluruh hak – hak yang ada dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hak untuk mendapatkan perlindungan adalah hak yang paling diinginkan oleh para saksi dan korban hal ini juga secara tersirat di jelaskan Pada Pasal 9 ayat ( 1 ), ( 2 ), ( 3 ) Undang – Undang tersebut, berdasarkan penjelasan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa saksi atau korban yang di ijinkan oleh Hakim untuk tidak hadir di depan persidangan serta kesaksiannya dapat disampaikan secara tertulis atau didengar kesaksiannya melalui sarana elektronik didampingi oleh pejabat berwenang hal ini mengisyaratkan bahwa ketidakhadiran saksi atau korban di muka persidangan mungkin saja karena ada ancaman dari pihak - pihak tertentu sehingga diperlukan pemberian hak perlindungan kepada saksi dan korban tersebut.

Mengingat betapa pentingnya keterangan saksi dalam persidangan perkara pidana khususnya saksi serta korban perkara pidana kasus - kasus seperti pembunuhan, korupsi, kekerasan dalam rumah tangga yang sudah melanggar hak asasi manusia, pencucian uang, narkotika, terorisme maupun kasus – kasus pelanggaran hak asasi manusia yang lain, pastinya saksi dan korban memerlukan perlindungan hukum


(53)

dari para aparat penegak hukum dalam memberikan kesaksiannya sehingga saksi dan korban dapat merasakan suatu keamanan untuk dirinya serta keluarganya dimana perlindungan ini ada dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini.


(54)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pembahasan terhadap masalah penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan masalah secara yuridis normatif dan secara yuridis empiris

Pendekatan secara yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah dan menelusuri teori - teori, konsep - konsep, serta peraturan – peraturan yang berkenaan dengan masalah hak - hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pendekatan secara yuridis empiris dilakukan dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu melihat fakta – fakta yang ada dalam praktek lapangan mengenai hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan mengadakan pendekatan masalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang jelas dan cermat tentang segala sesuatu gejala keadaan objek yang diteliti. Oleh karena itu maka jenis dan sifat penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif.


(55)

B. Sumber dan Jenis Data

1. Sumber Data

Sumber data dalam penulisan skripsi ini diperoleh dari dua sumber data, yaitu data lapangan dan kepustakaan.

2. Jenis Data

Jenis Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari pemberi data atau orang yang terlibat langsung dalam memberikan data yang ada hubungannya dengan masalah pemberian hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan menelusuri literatur-literatur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari :

1). Bahan hukum primer, meliputi Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

2). Bahan hukum sekunder, meliputi peraturan pemerintah, keputusan presiden dan keputusan menteri.

3). Bahan hukum tersier, meliputi hasil karya ilmiah, hasil penelitian, kamus dan literatur.


(56)

3. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah anggota dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hakim yang berkedudukan pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas 1a Tanjung Karang, Jaksa yang berkedudukan pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Penyidik yang berkedudukan pada Poltabes Bandar Lampung. Untuk membantu penulis dalam melakukan penelitian, maka penelitian ini menggunakan metode proposional sampling yaitu suatu metode pengambilan

sampel yang dalam penentuan dan penggambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.

Sebagaimana tersebut di atas, maka sampel yang akan dijadikan responden dalam membahas skripsi ini adalah:

a. Bidang Hukum Diseminasi dan Humas LPSK : 1 Orang b. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 Orang

c. Penyidik pada Poltabes Bandar Lampung : 1 Orang d. Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas 1a Tanjung Karang : 1 Orang + Jumlah : 4 Orang

4. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan Data dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan langkah – langkah sebagai berikut:


(57)

a. Studi Kepustakaan ( Library Research)

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mencatat, mengutip hal – hal penting terhadap beberapa buku literatur, peraturan perundang – undangan yang berhubungan dengan materi pembahasan.

b. Studi Lapangan ( Field Research )

Studi lapangan dilakukan dengan cara wawancara (interview) adalah usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, untuk menjawab secara lisan pula. Wawancara akan dilakukan terhadap seluruh responden. Penulis akan melakukan wawancara dengan pertanyaan secara mendalam, dalam hal ini penulis menggunakan pedoman wawancara agar masalah dapat terjawab.

2. Pengolahan Data

Pelaksanaan pengolahan data yang telah diperoleh dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh dari penelitian diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapan, kejelasannya dan kebenarannya, sehingga terhindari dari kekurangan dan kesalahan;

b. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan mengklasifikasikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian, untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan;

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan, sehingga memudahkan analisis data.


(58)

5. Analisis Data

Data yang terkumpul baik dari kepustakaan maupun dari lapangan kemudian diproses, diteliti dan disusun secara seksama dengan cara: editing, sistematis dan evaluasi sehingga akan memudahkan dalam melakukan penarikan kesimpulan. Metode yang digunakan dalam penarikan kesimpulan adalah metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta – fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan secara umum sehingga kesimpulan tersebut dapat diberikan saran.


(59)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karekteristik Responden

Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian dengan cara mengadakan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan oleh penulis, adapun responden tersebut adalah:

1. Nama : Rista Magdalena Situmorang, S.H. Umur : 24 Tahun

Agama : Kristen

Jabatan : Staf Bidang Hukum Disminasi dan Humas

Instansi : Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 2. Nama : Selamet, S.H.

Umur : 46 Tahun Agama : Islam

Jabatan : Kasubsi Pratut Pidana

Instansi : Kejaksaan Negeri Bandar Lampung 3. Nama : Sugi Haryanto

Umur : 25 Tahun Agama : Islam

Jabatan : Penyidik Pembantu

Instansi : SAT Reskrim POLTABES Bandar Lampung

4. Nama : Sri Hartati, S.H. Umur : 48 Tahun Agama : Islam


(60)

Jabatan : Hakim

Instansi : Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjungkaran

B. Pelaksanaan Hak – Hak Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Pengungkapan kebenaran dalam proses peradilan pidana dilakukan dengan mengajukan alat bukti berupa keterangan saksi (termasuk korban), keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Keterangan saksi dalam proses pembuktian perkara pidana merupakan suatu hal yang sangat penting sehingga bagi saksi dan korban diperlukan hak – hak yang bisa membuat para saksi dan korban yang akan memberikan kesaksian di dalam persidangan memberikan kesaksiannya dengan aman tanpa suatu tekanan apapun dari pihak – pihak tertentu.

Selama ini banyak saksi ataupun korban yang masih takut untuk memberikan kesaksiaan di karenakan banyak intimidasi dari pihak – pihak tertentu khususnya dari pihak terdakwa. Sebenarnya seorang saksi dan korban memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum khususnya dari pihak kepolisian. Namun, walaupun demikian masih banyak saksi atau korban yang mendapatkan intimidasi dari pihak – pihak tertentu. Sebelum adanya Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, sebagai seorang saksi dan korban telah ada dalam KUHAP beberapa pasal yang dianggap menjadi hak – hak dari saksi dan korban namun pasal – pasal tersebut tidak dapat memenuhi rasa aman dari saksi dan korban dalam memberikan kesaksiannya.


(1)

73

Perlindungan Saksi dan Korban yaitu menyangkut faktor hukum yaitu undang-undangnya sendiri hal ini berhubungan dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengenai hal sifat dari LPSK yang secara tersirat menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang bersifat pasif yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1). Faktor penegak hukumnya sendiri hal ini berkaitan dengan aparat penegak hukum baik itu polisi, jaksa, ataupun hakim yang masih sering mengabaikan hak – hak dari saksi dan korban. Faktor masyarakat berkaitan dengan tingkat kesadaran masyarakat yang belum memahami betapa pentingnya perlindungan bagi saksi dan korban yang terakhir adalah faktor sarana dan fasilitas yang tidak memadai yang berkaitan dengan keberadaan LPSK yang hanya ada di Jakarta saja serta tidak terlaksananya dengan baik penggantian biaya transportasi bagi saksi dan korban dikarenakan belum teralisasinya dana dari pemerintah dikarenakan belum adanya undang – undang yang mengatur tentang hal tersebut.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka penulis membeikan saran dalam skripsi ini ini sebagai berikut:

1. Perlunya didirikan LPSK pada setiap propinsi di Indonesia sehingga membuat saksi dan korban yang mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK menjadi mudah selain itu dengan keberadaan LPSK pada setiap Propinsi membuat masyarakat mengetahui bahwa telah adanya sebuah lembaga yang bertanggungjawab untuk memberikan hak –


(2)

74

hak yang seharusnya didapatkan oleh saksi ataupun korban yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

2. Perlunya amandemen terhadap Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban karena dalam undang – undang tersebut masih banyak yang harus ditambahkan seperti halnya mengenai saksi ahli lalu mengenai tata cara permohonan perlindungan serta bantuan yang harus di lewati oleh saksi dan korban yang ingin meminta perlindungan kepada LPSK.

3. Perlunya pemerintah untuk segera mengalokasikan dana serta membuat peraturan dalam bentuk undang – undang berkaitan dengan alokasi dana dalam hal upaya perlindungan saksi dan korban untuk mempermudah para aparat penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya memberikan hak – hak terhadap saksi dan korban agar hak – hak saksi dan korban yang memerlukan biaya dapat terpenuhi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Prodjohamidjojo, M.1982.Penjelasan Sistematis Dalam Bentuk Tanya Jawab KUHAP(UU No.8 Tahun 1981).Ghalia Indonesia.Jakarta

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI. Jakarta Purwadarmitra.1993.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Balai Pustaka.Jakarta .

Hari Sasangka dan Lily Rosida.2003.Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.Mandar Maju.Bandung

Wisnubroto, Al dan G. Widiartana.2005.Pembaharuan Hukum Acara Pidana.Citra Adtya Bakti.Bandung

Mulyadi, Lilik. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung

Marpaung, Laden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.2009.Kesaksian (Media Informasi Perlindungan Saksi dan Korban).Jakarta

Buka ajar Sistem Peradilan Pidana Oleh Erna dewi,S.H.,M.H. Undang – Undang Dasar 1945

Undang – Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) Undang – Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban http://www.ilhamidrus.multiply.com/artikel.php, diakses tanggal 23 November 2009


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana ( Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum ). Politeia. Bogor

Yudowidagdo, Hendrastanto. 1987. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta

Harahap, Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta

Hamzah, Andi. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta

Hari Sasangka dan Lily Rosida.2003.Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.Mandar Maju.Bandung

Mulyadi, Lilik. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung

Soeharto, M.2007.Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam sistem Peradilan Pidana Indonesia.Refika Aditama.Bandung

Marpaung, Laden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta

Undang – Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) Undang – Undang Dasar 1945

Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang – Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Http:/id.wikipedia.org/wiki/macam – macam saksi dan korban, diakses pada tanggal 5 November 2009


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI. Jakarta

Unila. 2006. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Undang – Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) Undang – Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,

Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban

http://www.ilhamidrus.multiply.com/artikel.php, diakses tanggal 23 November 2009


Dokumen yang terkait

ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 5 19

Eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

4 107 95

IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 7 9

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 2 11

PENDAHULUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 2 12

PENUTUP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 8

Optimalisasi Perlindungan Saksi dan Korban oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( Berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban).

0 0 6

UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 0 14

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006

0 1 77

JURNAL PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 0 15