Efek samping vaksin Contoh vaksin

NINDI MEDIARTIKA merupakan agen penyebab penyakit, vaksin bersifat aman bagi tubuh dan tidak menyebabkan penyakit. Ketika patogen lemah atau yang telah mati diperkenalkan ke dalam aliran darah, sel B tubuh akan langsung bekerja. Sel B adalah sel-sel yang bertanggungjawab memerangi patogen penyebab penyakit. Setelah sel B dirangsang untuk bertindak, antibodi kemudian terbentuk sehingga tubuh mengembangkan kekebalan terhadap patogen tertentu. Setelah seseorang menerima vaksin dan memiliki kekebalan, dia biasanya akan terlindungi seumur hidup. Namu, terkadang vaksin tidak memberikan kekebalan seumur hidup. Sebagai contoh, beberapa vaksin, seperti tetanus dan pentusisi, hanya efektif untuk waktu terbatas. Dalam kasus tersebut, pengulangan pemberian vaksin diperlukan untuk mempertahankan perlindungan. Dosis vaksin penguat diberikan pada interval tertentu setelah vaksinasi awal. Dilain pihak, ada vaksin yang harus diberikan secara teratur. Sebagai contoh, vaksin flu harus diberikan tiap tahun akibat banyaknya strain flu. Vaksin yang diberikan pada tahun tertentu umumnya hanya memberikan perlindungan terhadap strain tertentu dari virus flu, tapi ketika terjadi lagi musim flu tahun berikutnya, vaksinasi terhadap stain baru mungkin diperlukan. Selain itu, vaksin flu tidak memberikan perlindungan seumur hidup setelah satu tahun, efektivitas perlindungan mungkin telah jauh berkurang.

E. Efek samping vaksin

Seperti banyak obat-obatan dan prosedur medis, efek samping dapat saja terjadi setelah vaksinasi. Efek samping dapat bervariasi pada beberapa vaksin. Efek samping yang paling sering terjadi pada saat vaksin diberikan seperti nyeri, kemerahan atau bengkak. Efek samping lainnya adalah demam, sakit kepala, mual, nyeri otor, dan kelelahan. Ada juga beberapa efek samping yang jarang terjadi namun memberikan dampak yang lebih serius, seperti reaksi alergi terhadap vaksin, dan tentunya hal ini memerlukan perhatian medis segera.

F. Contoh vaksin

Page 4 of 20 NINDI MEDIARTIKA Vaksin BCG merupakan vaksin yang berisi mikroorganisme Mycobacterium bovis yang telah dilemahkan dan diketahui sebagai Bacillus Calmette Guerin BCG dimana menggunakan antigen untuk menstimulasi imunitas terhadap Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium leprae. Mengenai kegunaannya sendiri, di dunia vaksin BCG terbukti dari sekitar 80 studi menunjukkan bahwa vaksin ini dapat menurunkan risiko dari penyakit Tubercoosis TB. Selain itu dapat mengurangi kejadian keparahan lain seperti Tuberculosis meningitis. Efek protektif dari vaksin ini sekitar 10 tahun, dan efek yang panjang ini memberikan keuntungan tentunya dengan pemberian minimal dan efek maksimal. Vaksin BCG, sangat direkomendasikan untuk beberapa kondisi, seperti: 1. Infant dengan usia 0-12 bulan dengan lingkungan sekitar insidensi Tuberkulosisnya tinggi dan keluarga pernah menderita tuberkulosis. 2. Anak dengan usia 1-5 tahun, dimana sebelumnya belum pernah divaksinasi, dengan latar belakang yang sama dengan kondisi diatas. 3. Anak dengan usia 6-16 tahun, yang sebelumnya tidak divaksinasi, dan uji tuberculin negatif. Uji tuberkulin merupakan uji yang mengindikasikan adanya indurasi dari suatu respon imun yang menunjukkan positif tuberkulin. 4. Pada seseorang imigran yang sebelumnya belum divaksinasi BCG. 5. Pada seseorang yang sebelumnya divaksinasi, dengan uji tuberkulin negatif namun ada riwayat kontak dengan penderita TB, dan berisiko tinggi. Untuk pemberiannya, dosis tunggal dari vaksin BCG disuntikkan intradermal, pada sisi luar lengan atas kiri yang terabduksi posisi tangan sedikit diangkat. Setelah disuntikkan intradermal, maka akan timbul swelling pembengkakan kecil dan dapat pulih sendiri sekitar 2 minggu. Kemudian pada lesi dari bekas suntikan, akan menimbulkan benjolan yang disebut dengan papul dan ulkus bengkak kecil yang berdiameter sekitar 10mm, dimana akan sembuh sendiri sekitar 12 minggu menjadi scar yang datar. Setelah disuntikkan, pasien tidak boleh memakai baju tipis. Beberapa perhatian, diantaranya, vaksin BCG tidak boleh diberikan 3 bulan pada area suntikan yang sama, karena dapat menjadi risiko limfadenitis. Vaksin BCG tidak boleh diberikan pada kondisi tertentu, seperti: seseorang dengan riwayat TB, seseorang dengan uji tuberkulin positif, terjadi reaksi penolakan anafilaksis alergi, seseorang dengan kulit terinfeksi, seseorang dengan dalam pengobatan imunitas, sesorang HIV positif dan lain sebagainya. Page 5 of 20 NINDI MEDIARTIKA Menjawab kontriversi seputar vaksinasi Kendati pemerintah sudah mendukung dan menggalakkan imunisasi di Indonesia, tapi fakta berbicara lain. UNICEF melaporkan bahwa rata-rata cakupan imunisasi di Indonesia hanya sekitar 72 persen. Ini berarti ada beberapa daerah yang angka imunisasinya sangat rendah. Yang lebih mengejutkan lagi, data dari WHO dan UNICEF menyatakan bahwa Indonesia berada di posisi ke-4 sebagai negara dengan jumlah anak yang tidak imunisasi, atau sudah mendapatkan imunisasi, tetapi tidak lengkap atau tidak sampai selesai. Berangkat dari angka memprihatinkan ini, pemerintah lalu meluncurkan program pemberian imunisasi pada tahun 1974 dengan Program Pengembangan Imunisasi Expanded Program on Imunization. UNICEF juga mencatat, sejak tahun tersebut, imunisasi telah menyelamatkan lebih dari 20 juta jiwa dalam dua dasawarsa. Kendati demikian, sampai kini tidak semua masyarakat bisa menerima imunisasi. Kontroversi tentang vaksin dan imunisasi tetap menjadi perbincangan yang kadang tidak berujung. Menurut Dr. Piprim B. Yanuarso, SpA, Sekretaris I PP IDAI, meskipun telah banyak manfaatnya dalam mencegah wabah dan PD3I penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi di berbagai belahan dunia, namun masih banyak miskonsepsi yang beredar dalam masyarakat. “Efektivitas vaksin ini sebenarnya telah terbukti dari berbagai data yang ada. Pada tahun 2003, WHO memerkirakan 2 juta kematian anak dapat dicegah dengan imunisasi,” ujar dokter yang juga mengajar di FKUI-RSCM ini. Dalam seminar media mengenai kontroversi seputar imunisasi di Teater Titian Center, Bintaro, yang diselenggarakan KAF Management pada 19 Mei lalu, ia pun menuturkan berbagai miskonsepsi yang kerap terjadi dalam masyarakat. PD3I Sudah Mulai Menghilang Sebelum Ada Vaksin Tiliklah kasus meningitis HiB di Kanada. Sanitasi dan kebersihan lingkungan sudah sangat membaik sejak tahun 1990, tapi kasus meningitis HiB masih mencapai 2.000 kasus per tahun. Saat program imunisasi rutin dijalankan, kasus pun menurun drastis di angka 52, dan ini terjadi sebagian besar pada bayi dan anak yang tidak divaksinasi. Dr. Piprim menuturkan contoh menarik saat program imunisasi dihentikan karena isu adanya efek samping. “Inggris, Swedia, dan Jepang sempat menghentikan program imunisasi pertusis. Pada tahun 1979, cakupan imunisasi pertusis di Jepang sempat menurun dari 70 persen Page 6 of 20 NINDI MEDIARTIKA menjadi 20-40 persen. Akibatnya terjadi lonjakan kasus dari 393 kasus dengan tidak ada kematian menjadi 13.000 kasus dengan 41 kematian,” paparnya. Selain itu, pandangan bahwa PD31 sudah lenyap sehingga anak tidak perlu diimunisasi lagi juga perlu diluruskan. “Kendati angka kejadian beberapa penyakit termasuk PD31 sudah sangat menurun drastis dan langka, tapi bisa saja kejadian penyakit tersebut masih tinggi di negara lain. Wisatawan bisa membawa penyakit tersebut dan menimbulkan wabah,” ujar Dr. Piprim. Kasus anak yang tidak pernah diimunisasi dan terserang penyakit virus polio liar terjadi pada anak berusia 18 bulan di Bandung pada Maret 2005. Padahal sejak tahun 1995, dinyatakan virus polio sudah tidak ada lagi di Indonesia. Setelah diteliti, nyatanya virus berasal dari Afrika Barat. “Ini membuktikan anak tetap harus mendapatkan imunisasi karena anak yang tidak terproteksi tetap berpeluang terinfeksi. Imunisasi anak juga penting untuk melindungi anak lain di sekitarnya.” Vaksin Menimbulkan Efek Samping Berbahaya Dr. Henny Zainal, pendiri HZ Lactation Center, yang juga menjadi pembicara menyampaikan temuannya seputar efek samping vaksin. “Dr. Sherry Tenpeni, seorang dokter gawat darurat menjelaskan hasil investigasinya selama 6.000 jam yang berisi tentang kasus kelumpuhan akibat virus polio tinggi akibat vaksin oral karena isinya adalah vaksin yang dilemahkan,” ujarnya. Ini berarti kandungan kimia yang menyertai vaksin telah melemahkan sistem imunitas anak sehingga jika diberikan kepada anak dengan daya tahan tubuh rendah, bukan manfaat yang didapat, lanjut Dr. Henny. Dr. Piprim membantah hal itu. “Kematian karena vaksin sangatlah sedikit. Semua kematian yang dilaporkan di Amerika Serikat sebagai KIPI kejadian ikutan pasca imunisasi pada 1990-1992, hanya 1 yang mungkin berhubungan dengan vaksin.” Prevalensi dan jenis sakit yang tercantum dalam KIPI hampir sama dengan prevalensi dan jenis sakit sehari-hari tanpa adanya program imunisasi. Dituding Sebagai Penyebab Autisme Ini salah satu kontroversi tentang vaksin yang paling populer. Vaksin MMR seringkali dikaitkan sebagai penyebab autisme pada anak. Meskipun ada kejadian autisme yang terjadi setelah anak divaksin MMR, tidak ada lonjakan signifikan sejak dikenalkan vaksin MMR pada tahun 1988. American Academy of Pediatrics pada tahun 2000 juga mengeluarkan pernyataan bahwa berbagai bukti ilmiah yang ada tidak mendukung Page 7 of 20 NINDI MEDIARTIKA hipotesis bahwa vaksin MMR menyebabkan autisme. Pernyataan ini juga didukung CDC Centers for Disease Control and Prevention dan NIH National Institute of Health. Fakta lain yang menguatkan bahwa MMR bukan penyebab autisme juga datang dari analisis IOM di tahun 2004 yang melaporkan bahwa tidak ada satupun penelitian yang menyatakan adanya hubungan antara vaksin MMR dan autisme yang tidak cacat secara metodologi. IOM Institute of Medicine–http:www.iom.edu adalah organisasi independen nonprofit yang bekerja di luar pemerintah untuk memberikan saran berdasarkan keahlian dan tidak bias untuk publik dan pengambil kebijakan. IDAI dalam bukunya Pentingnya Imunisasi untuk Mencegah Wabah, Sakit Berat, Cacat dan Kematian Bayi-Balita juga memaparkan bahwa penelitian Wakefield yang menyebutkan MMR menyebabkan autisme terbukti tidak benar. Dokter spesialis bedah ini melaporkan hal tersebut atas penelitian yang dilakukan terhadap 18 sampel pada tahun 1998. Namun setelah diaudit oleh tim ahli penelitian di Inggris, terbukti ada kesalahan data yang dimasukkan Wakefield. Soal ini sudah dipublikasi dalam British Medical Journal Februari 2011. Halalkah? Bicara halal dan haram memang sensitif. Pada Oktober 2011, Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap menggandeng Kementerian Agama Kantor Wilayah Cilacap dan Majelis Ulama Indonesia setempat untuk mensosialisasikan program imunisasi campak dan polio. Hal ini terkait penolakan sebagian warga di Kecamatan Wanareja, Cilacap, karena menganggap bahwa imunisasi adalah perbuatan yang haram karena vaksin mengandung unsur babi. Dalam seminar yang sama, Dr. Drh. Hasim DEA, Tim Ahli LPPOM MUI, Jakarta, memaparkan bahwa bakteri yang dikembangkan menjadi isolat menggunakan teknologi yang ada pada saat itu. Enzim yang berasal dari unsur babi memang bersinggungan dengan media yang digunakan untuk mengembangbiakkan bakteri. Namun proses ini telah mengalami pencucian dan pembersihan total dengan ultrafilterisasi ratusan kali, sehingga vaksin yang diberikan kepada anak tidak mengandung babi. LPPOM Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika MUI mencantumkan dalam situs resminya, bahwa pada tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa No. 16 tahun 2005, tentang kedaruratan penggunaan vaksin polio. Sebagaimana diakui sendiri oleh pihak produsen, semua vaksin polio yang diproduksi sampai dengan saat itu Page 8 of 20 NINDI MEDIARTIKA tahun 2005, baik di dalam maupun di luar negeri, masih menggunakan media dan proses yang belum sepenuhnya sesuai dengan syariat Islam. Untuk itu, fatwa MUI menyatakan bahwa pemberian vaksin diperbolehkan untuk sementara, sepanjang situasinya darurat karena belum ada vaksin yang produksinya menggunakan media dan proses yang sesuai dengan syariat Islam. Combo Lebih Berisiko Pemberian vaksin kombinasi juga kerap dicurigai meningkatkan risiko efek samping yang berbahaya karena kandungannya yang lebih keras. “Penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa imunisasi simultan dengan vaksin multipel tidak membebani sistem imun anak normal,” ujar Dr. Piprim. Bahkan pada tahun 1999 Advisory Committee on Immunization Practices ACIP, AAP, dan American Academy of Family Physicians AAFP justru merekomendasikan pemberian vaksin kombinasi. “Vaksin kombinasi justru bisa mengurangi jumlah suntikan, biaya penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi jumlah kunjungan ke dokter, serta memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi,” tambahnya. ASI Saja Sudah Cukup Siapapun setuju bahwa ASI adalah cairan terbaik yang bisa diberikan seorang ibu kepada bayinya. “Kolostrum mengandung antibodi yang memberikan bayi protein kompleks. Namun antibodo sendiri kerjanya terbatas dan harus dibantu dengan vaksin sebagai antigen terhadap penyakit tertentu,” tutur Dr. Hasim. Beliau juga menuturkan bahwa antibodi kolostrum efektif untuk anak pada minggu pertama kelahiran. Setelah itu, selektivitas usus bayi meningkat dan protein kompleks antibodi tidak dapat masuk lagi kecuali dicerna menjadi asam amino. Inilah mengapa vaksin diperlukan. “Orang tua tidak perlu khawatir, karena vaksin modern bukan lagi virus atau bakteri yang dilemahkan, namun berupa bagian dari dinding sel yang bersifat antigenik,” kata Dr. Hasim. Saran terbaik yang dapat diberikan adalah memberikan ASI eksklusif dan imunisasi sesuai jadwal yang diberikan IDAI. Bencana akibat vaksin yang tidak pernah dipublikasikan Di Amerika pada tahun 1991 – 1994 sebanyak 38.787 masalah kesehatan dilaporkan kepada Vaccine Adverse Event Reporting System VAERS FDA. Dari jumlah Page 9 of 20 NINDI MEDIARTIKA ini 45 terjadi pada hari vaksinasi, 20 pada hari berikutnya dan 93 dalam waktu 2 mgg setelah vaksinasi. Kematian biasanya terjadi di kalangan anak anak usia 1-3 bulan. Pada 1986 ada 1300 kasus pertusis di Kansas dan 90 penderita adalah anak-anak yang telah mendapatkan vaksinasi ini sebelumnya. Kegagalan sejenis juga terjadi di Nova Scotia di mana pertusis telah muncul sekalipun telah dilakukan vaksinasi universal. Jerman mewajibkan vaksinasi tahun 1939. Jumlah kasus dipteri naik menjadi 150.000 kasus, di mana pada tahun yang sama, Norwegia yang tidak melakukan vaksinasi, kasus dipterinya hanya sebanyak 50 kasus. Penularan polio dalam skala besar, menyerang anak-anak di Nigeria Utara berpenduduk muslim. Hal itu terjadi setelah diberikan vaksinasi polio, sumbangan AS untuk penduduk muslim. Beberapa pemimpin Islam lokal menuduh Pemerintah Federal Nigeria menjadi bagian dari pelaksanaan rencana Amerika untuk menghabiskan orang- orang Muslim dengan menggunakan vaksin. Tahun 1989-1991 vaksin campak ”high titre” buatan Yugoslavia Edmonton-Zagreb diuji coba pada 1500 anak-anak miskin keturunan orang hitam dan latin, di kota Los Angeles, Meksiko, Haiti dan Afrika. Vaksin tersebut sangat direkomendasikan oleh WHO. Program dihentikan setelah di dapati banyak anak-anak meninggal dunia dalam jumlah yang besar. Vaksin campak merusak sistem kekebalan tubuh anak-anak dalam waktu panjang selama 6 bulan sampai 3 tahun. Akibatnya anak-anak yang diberi vaksin mengalami penurunan kekebalan tubuh dan meninggal dunia dalam jumlah besar dari penyakit- penyakit lainnya WHO kemudian menarik vaksin-vaksin tersebut dari pasar di tahun 1992. Setiap program vaksin dari WHO di laksanakan di Afrika dan Negara-negara dunia ketiga lainnya, hampir selalu terdapat penjangkitan penyakit-penyakit berbahaya di lokasi program vaksin dilakukan. Virus HIV penyebab Aids di perkenalkan lewat program WHO melalui komunitas homoseksual melalui vaksin hepatitis dan masuk ke Afrika tengah melalui vaksin cacar. Desember 2002, Menteri Kesehatan Amerika, Tommy G. Thompson menyatakan, tidak merencanakan memberi suntikan vaksin cacar. Dia juga merekomendasikan kepada anggota kabinet lainnya untuk tidak meminta pelaksaanaan vaksin itu. Sejak vaksinasi massal diterapkan pada jutaan bayi, banyak dilaporkan berbagai gangguan serius pada otak, jantung, sistem metabolisme, dan gangguan lain mulai mengisi halaman-halaman jurnal kesehatan. Page 10 of 20 NINDI MEDIARTIKA Kenyataannya vaksin untuk janin telah digunakan untuk memasukan encephalomyelitis, dengan indikasi terjadi pembengkakan otak dan pendarahan di dalam. Bart Classen, seorang dokter dari Maryland, menerbitkan data yang memperlihatkan bahwa tingkat penyakit diabetes berkembang secara signifikan di Selandia Baru, setelah vaksin hepatitis B diberikan secara massal di kalangan anak-anak. Terbukti bahwa, vaksin meningococcal merupakan ”Bom waktu bagi kesehatan penerima vaksin.” Anak-anak di Amerika Serikat mendapatkan vaksin yang berpotensi membahayakan dan dapat menyebabkan kerusakan permanen. Berbagai macam imunisasi misalnya, Vaksin seperti Hepatitis B, DPT, Polio, MMR, Varicela Cacar air terbukti telah banyak memakan korban anak-anak Amerika sendiri, mereka menderita kelainan syaraf, anak-anak cacat, diabetes, autis, autoimun dan lain-lain. Vaksin cacar dipercayai bisa memberikan imunisasi kepada masyarakat terhadap cacar. Pada saat vaksin ini diluncurkan, sebenarnya kasus cacar sudah sedang menurun. Jepang mewajibkan suntikan vaksin pada 1872. Pada 1892, ada 165.774 kasus cacar dengan 29.979 berakhir dengan kematian walaupun adanya program vaksin. Pemaksaan vaksin cacar, di mana orang yang menolak bisa diperkarakan secara hukum, dilakukan di Inggris tahun 1867. Dalam 4 tahun, 97.5 masyarakat usia 2 sampai 50 tahun telah divaksinasi. Setahun kemudian Inggris merasakan epidemik cacar terburuknya dalam sejarah dengan 44.840 kematian. Antara 1871 – 1880 kasus cacar naik dari 28 menjadi 46 per 100.000 orang. Vaksin cacar tidak berhasil. Dan masih banyak lagi. Walene James, pengarang buku Immunization: the Reality Behind The Myth, menjawab pertanyaan,Mengapa vaksin gagal melindungi terhadap penyakit? on inflamatori penuh diperlukan untuk menciptakan kekebalan nyata. Sebelum introduksi vaksin cacar dan gondok, kasus cacar dan gondok yang menimpa anak-anak adalah kasus tidak berbahaya. Vaksin “mengecoh” tubuh sehingga tubuh kita tidak menghasilkan respon inflamatory terhadap virus yang diinjeksi. SIDS Sudden Infant Death Syndrome naik dari 0.55 per 1000 orang di 1953 menjadi 12.8 per 1000 pada 1992 di Olmstead County, Minnesota. Puncak kejadian SIDS adalah umur 2 – 4 bulan, waktu di mana vaksin mulai diberikan kepada bayi. 85 kasus SIDS terjadi di 6 bulan pertama bayi. Persentase kasus SIDS telah naik dari 2.5 per 1000 menjadi 17.9 per 1000 dari 1953 sampai 1992. Naikan kematian akibat SIDS meningkat Page 11 of 20 NINDI MEDIARTIKA pada saat hampir semua penyakit anak-anak menurun karena perbaikan sanitasi dan kemajuan medikal kecuali SIDS. Kasus kematian SIDS meningkat pada saat jumlah vaksin yang diberikan kepada balita naik secara meyakinkan menjadi 36 per anak. Dr. W. Torch berhasil mendokumentasikan 12 kasus kematian pada anak-anak yang terjadi dalam 3,5 – 19 jam paska imunisasi DPT. Dia kemudian juga melaporkan 11 kasus kematian SIDS dan satu yang hampir mati 24 jam paska injeksi DPT. Saat dia mempelajari 70 kasus kematian SIDS, 23 korban adalah mereka yang baru divaksinasi mulai dari 1,5 hari sampai 3 minggu sebelumnya. VAKSIN-LAH YANG MENYEBABKAN AUTISME DAN KANKER “Kanker tidak dikenal sebelum adanya vaksinasi cacar. Saya telah menghadapi 200 kasus kanker, dan tidak satupun penderita kanker yang tidak di vaksinasi”. - Dr. W.B. Clark, peneliti kanker New York “Sebelum program vaksinasi besar-besaran 50 tahun yang lalu, di Amerika tidak terdapat wabah kanker, penyakit autoimun, dan kasus autisme.” - Neil Z. Miller, peneliti vaksin internasional Benarkah imunisasi lumpuhkan generasi? Akhir-akhir ini kita sering mendengar atau melihat seminar dengan judul “imunisasi lumpuhkan generasi” atau wahai para orang tua bekali dirimu dengan pengetahuan tentang bahaya imunisasi”. Pada permasalahan ini mari kita mencoba meneliti kembali siapa sebenarnya yang dan sia yang benar? Dalam ontroversi yang memuat perbedaan 180 derajat ini, tidak mungkin keduanyasalah atau benar. Pasti salah satu benar dan yang lain salah. Merupakan suatu pernyataan yang bertolak belakang dengan yang kita ketahui selama ini bahwa imunisasi itu suatu tindakan preventif yang amat bermanfaat untuk kemanusiaan. Apakah sebenarnya imunisasi itu? Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita bahas sekilas apakah yang dimaksud dengan imunisasi. Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada penyakit tersebut ia Page 12 of 20 NINDI MEDIARTIKA tidak menjadi sakit. Kekebalan yang diperolah dari imunisasi dapat berupa kekebalan pasif maupun aktif. Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan pasif disebut imunisasi pasif, dengan cara memberikan antibodi atau faktor kekebalan kepada seseorang yang membutuhkan. Contohnya adalah pemberian imunoglubulin spesifik untuk penyakit tertentu, misalnya imunoglubulin antitetanus untuk penyakit tetanus. Contoh lain adalah kekebalan pasif alamiah antibodi yang diperoleh janin dari ibu. Kekebalan jenis ini tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Kekebalan aktif dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen secara alamiah atau melalui imunisasi. Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan aktif disebut imunisasi aktif dengan memberikan zat bioaktif yang disebut vaksin, dan tindakan itu disebut vaksinasi. Kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi berlangsung lebih lama dari kekebalan pasif karena adanya memori imunologis, walaupun tidak sebaik kekebalan aktif yang terjadi karena infeksi alamiah. Untuk memperoleh kekebalan aktif dan memori imunologis yang efektif maka vaksinasi harus mengikuti cara pemakaian dan jadwal yang telah ditentukan melalui bukti uji klinis yang telah dilakukan. Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat populasi, atau bahkan menghilangkannya dari dunia seperti kita lihat pada keberhasilan imunisasi cacar variola. Keadaan terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti penyakit difteri dan poliomielitis. Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi PD3I merupakan penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan seumur hidup dan akan menjadi beban bagi masyarakat di kemudian hari. Sampai saat ini terdapat 19 jenis vaksin untuk melindungi 23 PD3I di seluruh dunia dan masih banyak lagi vaksin yang sedang dalam penelitian. Adakah bukti bahwa imunisasi bermanfaat? Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah adakah manfaat imunisasi? Ataukah imunisasi hanya akan memberikan dampak buruk untuk kehidupan manusia? Sebelum adanya imunisasi campak, 503.282 kasus campak terjadi setiap tahun dan 20 di antaranya dirawat dengan jumlah kematian mencapai 450 orang pertahun akibat pneumonia campak. Setelah ada imunisasi campak kasus menurun hingga 55 kasus pertahun pada tahun 2006. Angka penurunan 99.9. Sebelum ditemukan imunisasi difteri terjadi 175.885 kasus difteri per tahun dengan angka kematian mencapai 15.520 kasus. Page 13 of 20 NINDI MEDIARTIKA Setelah imunisasi ditemukan tahun 2001 jumlahnya menurun menjadi 2 kasus dan tahun 2006 tidak ada lagi laporan kasus difteri. Angka penurunan mencapai 100. Sebelum tahun 1940an terdapat 150.000-260.000 kasus pertussis setiap tahun dengan angka kematian mencapai 9000 kasus setahun. Setelah imunisasi pertussis ditemukan angka kematian menurun menjadi 30 kasus setahun. Namun dengan seruan antiimunisasi yang marak di AS terjadi lagi peningkatan kasus secara signifikan di beberapa negara bagian. Pada 8 negara bagian terjadi peningkatan kasus 10-100 kali lipat pada saat cakupan imunisasi pertussis menurun drastis. Sebelum vaksin HiB ditemukan, HiB nerupakan penyebab tersering meningitis bakteri radang selaput otak di AS, dengan 20.000 kasus per tahun. Meningitis HiB menyebabkan kematian 600 anak pertahun dan meninggalkan kecacatan berupa tuli, kejang, dan retardasi mental pada anak yang selamat. Pada tahun 2006 kasus meningitis HIB menurun menjadi 29 kasus. Angka penurunan 99.9. Hampir 90 bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi Rubella saat hamil trimester pertama akan mengalami sindrom Rubella kongenital, berupa penyakit jantung bawaan, katarak kongenital, dan ketulian. Pada tahun 1964 sekitar 20.000 bayi lahir dengan sindrom Rubella kongenital ini, mengakibatkan 2100 kematian neonatal dan 11.250 abortus. Setelah adanya imunisasi hanya dilaporkan 6 kasus sindrom Rubella kongenital pada tahun 2000. Kasus Rubella secara umum menurun dari 47.745 kasus menjadi hanya 11 kasus pertahun pada tahun 2006. Angka penurunan 99.9. Hampir 2 milyar orang telah terinfeksi hepatitis B suatu saat dalam hidupnya. Sejuta di antaranya meninggal setiap tahun karena penyakit sirosis hati dan kanker hati. Sekitar 25 anak-anak yang terinfeksi hepatitis B dapat diperkirakan akan meninggal karena penyakit hati pada saat dewasa. Terjadi penurunan jumlah kasus baru dari 450.000 kasus pada tahun 1980 menjadi sekitar 80.000 kasus pada tahun 1999. Penurunan terbanyak terjadi pada anak dan remaja yang mendapat imunisasi rutin. Di seluruh dunia penyakit tetanus menyebabkan kematian pada 300.000 neonatus dan 30.000 ibu melahirkan setiap tahunnya dan mereka tidak diimunisasi adekuat. Tetanus sangat infeksius namun tidak menular, sehingga tidak seperti PD3I yang lain, imunisasi pada anggota suatu komunitas tidak dapat melindungi orang lain yang tidak diimunisasi. Karena bakteri tetanus terdapat banyak di lingkungan kita, maka tetanus hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Bila program imunisasi tetanus distop, maka semua orang dari berbagai usia akan rentan menderita penyakit ini. Page 14 of 20 NINDI MEDIARTIKA Sekitar 212.000 kasus mumps gondongan terjadi di AS pada tahun 1964. Setelah ditemukannya vaksin mumps pada tahun 1967 insidens penyakit ini menurun menjadi hanya 266 kasus pada tahun 2001. Namun pada tahun 2006 terjadi KLB di kalangan mahasiswa, sebagian besar di antara mereka menerima 2 kali vaksinasi. Terjadi lebih dari 5500 kasus pada 15 negara bagian. Mumps merupakan penyakit yang sangat menular dan hanya butuh beberapa orang saja yang tidak diimunisasi untuk memulai transmisi penyakit sebelum menyebar luas. Sebelum vaksin pneumokokus ditemukan, pneumokokus menyebabkan 63.000 kasus invassive pneumococcal disease IPD dengan 6100 kematian di AS setiap tahun. Banyak anak yang menderita gejala sisa berupa ketulian dan kejang-kejang. Dari data di atas para ahli menyimpulkan bahwa imunisasi adalah salah satu di antara program kesehatan masyarakat yang paling sukses dan cost-effective . Program imunisasi telah menyebabkan eradikasi penyakit cacar variola, smallpox, eliminasi campak dan poliomielitis di berbagai belahan dunia. dan penurunan signifikan pada morbiditas dan mortalitas akibat penyakit difteri, tetanus, dan pertussis. Badan kesehatan dunia WHO pada tahun 2003 memperkirakan 2 juta kematian anak dapat dicegah dengan imunisasi. Katz 1999 bahkan menyatakan bahwa imunisasi adalah sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini. Miskonsepsi tentang imunisasi Meskipun imunisasi telah terbukti banyak manfaatnya dalam mencegah wabah dan PD3I di berbagai belahan dunia, namun masih terdapat sebagian orang yang memiliki miskonsepsi terhadap imunisasi. Secara umum berikut ini adalah beberapa miskonsepsi yang sering terjadi di masyarakat : a. Penyakit-penyakit tersebut PD3I sebenarnya sudah mulai menghilang sebelum vaksin ditemukan karena meningkatnya higiene dan sanitasi. Pernyataan sejenis ini dan variasinya sangat banyak dijumpai pada literatur antivaksin. Namun bila melihat insidens aktual PD3I sebelum dan sesudah ditemukannya vaksin kita tidak lagi meragukan manfaat vaksinasi. Sebagai contoh kita lihat kasus meningitis HiB di Canada. Higiene dan sanitasi sudah dalam keadaan baik sejak tahun 1990, namun kejadian meningitis HiB sebelum program imunisasi dilaksanakan mencapai 2000 kasus per tahun dan setelah imunisasi rutin dijalankan menurun menjadi 52 kasus saja dan mayoritas terjadi pada bayi dan anak yang tidak diimunisasi. Contoh lain adalah Page 15 of 20 NINDI MEDIARTIKA pada 3 negara maju Inggris, Swedia, dan Jepang yang menghentikan program imunisasi pertussis karena ketakutan terhadap efek samping vaksin pertussis. Di Inggris tahun 1974 cakupan imunisasi menurun drastis dan diikuti dengan terjadinya wabah pertussis pada tahun 1978, ada 100.000 kasus pertussis dengan 36 kematian. Di Jepang pada kurun waktu yang sama cakupan imunisasi pertussis menurun dari 70 menjadi 20-40 hal ini menyebabkan lonjakan kasus pertussis dari 393 kasus dengan 0 kematian menjadi 13.000 kasus dengan 41 kematian karena pertussis pada tahun 1979. Di Swedia pun sama, dari 700 kasus pada tahun 1981 meningkat menjadi 3200 kasus pada tahun 1985. Pengalaman tersebut jelas membuktikan bahwa tanpa imunisasi bukan saja penyakit tidak akan menghilang namun juga akan hadir kembali saat program imunisasi dihentikan. b. Mayoritas anak yang terkena penyakit justru yang sudah diimunisasi. Pernyataan ini juga sering dijumpai pada literatur antivaksin. Memang dalam suatu kejadian luar biasa KLB jumlah anak yang sakit dan pernah diimunisasi lebih banyak daripada anak yang sakit dan belum diimunisasi. Penjelasan masalah tersebut sebagai berikut: pertama tidak ada vaksin yang 100 efektif. Efektivitas sebagian besar vaksin pada anak adalah sebesar 85-95, tergantung respons individu. Kedua: proporsi anak yang diimunisasi lebih banyak daripada anak yang tidak diimunisasi di negara yang menjalankan program imunisasi. Bagaimana kedua faktor tersebut berinteraksi diilustrasikan dalam contoh berikut. Suatu sekolah mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah diimunisasi campak 2 kali kecuali 25 yang tidak pernah sama sekali. Ketika semua murid terpapar campak, 25 murid yang belum diimunisasi semuanya menderita campak. Dari kelompok yang telah diimunisasi campak 2 kali, sakit 50 orang. Jumlah seluruh yang sakit 75 orang dan yang tidak sakit 925 orang. Kelompok antiimunisasi akan mengatakan bahwa persentase murid yang sakit adalah 67 5075 dari kelompok yang pernah imunisasi, dan 33 2575 dari kelompok yang tidak diimunisasi. Padahal bila dihitung dari efek proteksi, maka imunisasi memberikan efek proteksi sebesar 975-25975 = 94.8. Yang tidak diimunisasi efek proteksi sebesar 025= 0. Dengan kata lain, 100 murid yang tidak mendapat imunisasi akan sakit campak; dibanding hanya 5,2 dari kelompok yang diimunisasi yang terkena campak. Jelas bahwa imunisasi berguna untuk melindungi anak. c. Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya, kesakitan, dan bahkan kematian Vaksin merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua efek simpang vaksin Page 16 of 20 NINDI MEDIARTIKA bersifat ringan dan sementara, seperti nyeri pada bekas suntikan atau demam ringan. Kejadian ikutan pasca imunisasi KIPI secara definitif mencakup semua kejadian sakit pasca imunisasi. Prevalensi dan jenis sakit yang tercantum dalam KIPI hampir sama dengan prevalensi dan jenis sakit dalam keadaan sehari-hari tanpa adanya program imunisasi. Hanya sebagian kecil yang memang berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar bersifat koinsidens. Kematian yang disebabkan oleh vaksin sangat sedikit. Sebagai ilustrasi semua kematian yang dilaporkan di Amerika sebagai KIPI pada tahun 1990-1992, hanya 1 yang mungkin berhubungan dengan vaksin. Institut of Medicine IOM tahun 1994 menyatakan bahwa risiko kematian akibat vaksin adalah amat rendah extra-ordinarily low. Besarnya risiko harus dibandingkan dengan besarnya manfaat vaksin. Bila satu efek simpang berat terjadi dalam sejuta dosis vaksin namun tidak ada manfaat vaksin, maka vaksin tersebut tidak berguna. Manfaat imunisasi akan lebih jelas bila risiko penyakit dibandingkan dengan risiko vaksin. Contoh vaksin MMR melindungi campak, mumps gondongan dan rubella campak jerman pneumonia campak : risiko kematian 1:3000 risiko alergi berat MMR 1:1000.000 Ensefalitis mumps : 1 : 300 pasien mumps risiko ensefalitis MMR 1:1000.000 Sindrom rubella kongenital : 1 : 4 bayi dari ibu hamil kena rubella Contoh vaksin DPaT melindungi difteri, pertussis, dan tetanus Difteri : risiko kematian 1 : 20 risiko menangis lama sementara 1 : 100 Tetanus : risiko kematian 1 : 30 risiko kejang sembuh sempurna 1 : 1750 Pertussis : risiko ensefalitis pertussis 1 : 20 risiko ensefalitis DPaT 1 : 1000.000 d. Penyakit penyakit tersebut PD3I telah tidak ada di negara kita sehingga anak tidak perlu diimunisasi. Angka kejadian beberapa penyakit yang termasuk PD3I memang telah menurun drastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih cukup tinggi di negara lain. Siapa pun termasuk wisatawan dapat membawa penyakit tersebut secara tidak sengaja dan dapat menimbulkan wabah. Hal tersebut serupa dengan KLB polio di Indonesia pada tahun 2005 lalu. Sejak tahun 1995 tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh virus polio liar. Pada bulan April 2005, Laboratorium Bioofarma di Bandung mengkonfirmasi adanya virus polio liar tipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang menderita lumpuh layuh akut pada bulan Maret 2005. Anak tersebut tidak pernah diimunisasi sebelumnya. Virus polio itu selanjutnya menyebabkan wabah merebak ke Page 17 of 20 NINDI MEDIARTIKA 10 propinsi, 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006 tercatat 349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDVP vaccine derived polio virus di Madura. Dari analisis genetik virus diketahui bahwa virus berasal dari Afrika barat. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa virus sampai ke Indonesia melalui Nigeria dan Sudan sama seperti virus yang diisolasi di Arab Saudi dan Yaman. Dari pengalaman tersebut terbukti bahwa anak tetap harus mendapat imunisasi karena dua alasan. Alasan pertama adalah anak harus dilindungi. Meskipun risiko terkena penyakit adalah kecil, bila penyakit masih ada, anak yang tidak terproteksi tetap berpeluang terinfeksi. Alasan kedua imunisasi anak penting untuk melindungi anak lain di sekitarnya. Terdapat sejumlah anak yang tak dapat diimunisasi misalnya karena alergi berat terhadap komponen vaksin dan sebagian kecil anak yang tidak memberi respons terhadap imunisasi. Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit dan perlindungan yang diharapkan adalah dari orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit dan tidak menularkan penyakit kepadanya. e. Pemberian vaksin kombinasi multipel meningkatkan risiko efek simpang yang berbahaya dan dapat membebani sistem imun Anak-anak terpapar pada banyak antigen setiap hari. Makanan dapat membawa bakteri yang baru ke dalam tubuh. Sistem imun juga akan terpapar oleh sejumlah bakteri hidup di mulut dan hidung. Infeksi saluran pernapasan bagian atas akan menambah paparan 4-10 antigen, sedangkan infeksi streptokokus pada tenggorokan memberi paparan 25-50 antigen. Tahun 1994 IOM menyatakan bahwa dalam keadaan normal penambahan jumlah antigen dalam vaksin tidak mungkin akan memberikan beban tambahan pada sistem imun dan tidak bersifat imunosupresif. Data penelitian menunjukkan bahwa imunisasi simultan dengan vaksin multipel tidak membebani sistem imun anak normal. Pada tahun 1999 Advisory Committee on Immunization Practices ACIP, American Academy of Pediatrics AAP, dan American Academy of Family Physicians AAFP merekomendasi pemberian vaksin kombinasi untuk imunisasi anak. Keuntungan vaksin kombinasi adalah mengurangi jumlah suntikan, mengurangi biaya penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi jumlah kunjungan ke dokter, dan memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi. Vaksin MMR menyebabkan autisme. Beberapa orangtua anak dengan autisme percaya bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara vaksin MMR dengan autisme. Gejala khas autisme biasanya diamati oleh orangtua saat anak mulai tampak gejala keterlambatan bicara setelah usia lewat satu tahun. Vaksin MMR diberikan pada usia 15 bulan di luar Page 18 of 20 NINDI MEDIARTIKA negeri 12 bulan. Pada usia sekitar inilah biasanya gejala autisme menjadi lebih nyata. Meski pun ada juga kejadian autisme mengikuti imunisasi MMR pada beberapa kasus. Akan tetapi penjelasan yang paling logis dari kasus ini adalah koinsidens. Kejadian yang bersamaan waktu terjadinya namun tidak terdapat hubungan sebab akibat. Kejadian autisme meningkat sejak 1979 yang disebabkan karena meningkatnya kepedulian dan kemampuan kita mendiagnosis penyakit ini, namun tidak ada lonjakan secara tidak proporsional sejak dikenalkannya vaksin MMR pada tahun 1988. Pada tahun 2000 AAP membuat pernyataan : “Meski kemungkinan hubungan antara vaksin MMR dengan autisme mendapat perhatian luas dari masyarakat dan secara politis, serta banyak yang meyakini adanya hubungan tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya, namun bukti- bukti ilmiah yang ada tidak menyokong hipotesis bahwa vaksin MMR menyebabkan autisme dan kelainan yang berhubungan dengannya. Pemberian vaksin measles, mumps, dan rubella secara terpisah pada anak terbukti tidak lebih baik daripada pemberian gabungan menjadi vaksin MMR, bahkan akan menyebabkan keterlambatan atau luput tidak terimunisasi. Dokter anak mesti bekerjasama dengan para orangtua untuk memastikan bahwa anak mereka terlindungi saat usianya mencapai 2 tahun dari PD3I. Upaya ilmiah mesti terus dilakukan untuk mengetahui penyebab pasti dari autisme. Lembaga lain yaitu CDC dan NIH juga membuat pernyataan yang mendukung AAP. Pada tahun 2004 IOM menganalisis semua penelitian yang melaporkan adanya hubungan antara vaksin MMR dengan autisme. Hasilnya adalah tidak satu pun penelitian itu yang tidak cacat secara metodologis. Kesimpulan IOM saat itu adalah tidak terbukti ada hubungan antara vaksin MMR dengan autisme. REFERENSI Page 19 of 20 NINDI MEDIARTIKA http:www.amazine.co24826bagaimana-cara-kerja-vaksin-mencegah-penyakit http:rumahvaksinasi.netbenarkah-imunisasi-lumpuhkan-generasi.html http:bebasvaksin.blogspot.com201201teori-vaksinasi-salah-satu-kebohongan.html http:infoimunisasi.comtentang-anakkuseperti-apakah-cara-kerja-vaksin-di-dalam-tubuh- kita http:www.jevuska.com20130423apa-itu-vaksin-bahan-efek-samping-vaksin http:www.imunisasi.netJenis-Jenis20Vaksin20untuk20Orang20Dewasa.html http:fitriinurraiini.blogspot.com201308macam-macam-jenis-vaksin-dan- kegunaanya.html http:www.parentsindonesia.comarticle.php?type=articlecat=featureid=2479 Page 20 of 20