Aktivitas enzim ligninolitik fungi pelapuk putih Omphalina sp. dan pleurotus ostreatus pada limbah lignoselulosa
PENDAHULUAN
Kelapa
sawit
(Elaeis
guineensis)
merupakan salah satu komoditas perkebunan
andalan bagi perekonomian Indonesia.
Kualitas dan tingkat produksi Crude Palm Oil
(CPO) yang tinggi merupakan keunggulan
dari komiditas ini. Data Ditjen Perkebunan
menyebutkan pada tahun 2005 luas
perkebunan kelapa sawit di Indonesia
mencapai 5.358.423 hektar dengan total
produksi minyak hingga 10.683.756 ton.
Dalam proses produksi CPO dihasilkan
banyak
limbah
yang
masih
belum
dimanfaatkan secara maksimal sehungga
berpotensi mencemari lingkungan. Tandan
Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan
limbah padat terbesar dari pabrik minyak
CPO. Komponen utama TKKS adalah lignin,
selulosa, dan hemiselulosa yang umum
disebut lignoselulosa (Darnoko 1992).
TKKS bukan satu-satunya limbah yang
tergolong lignoselulosa. Bagas tebu (ampas
tebu) juga mengandung serat lignoselulosa
yang sukar terdegradasi. Kandungan lignin
yang tinggi pada TKKS dan bagas tebu
menyebabkan kendala dalam pemanfaatan
selulosa murni bagi industri yang berbahan
baku selulosa seperti industri pulp dan kertas
ataupun industri pembuatan papan serat. Salah
satu cara untuk mengatasi masalah ini
menggunakan mikroorganisme dalam rangka
biodelignifikasi.
Mikroorganisme
yang
berperan penting dalam biodelignifikasi
adalah Fungi Pelapuk Putih (FPP) dari kelas
Basidiomycetes. Kemampuan FPP melakukan
biodelignifikasi disebabkan oleh enzim
ligninolitik ekstraselular yang dihasilkannya
(Kirk & Chang 1990). Enzim ligninolitik
ekstraselular tersebut adalah lakase, lignin
peroksidase (LiP), dan mangan peroksidase
(MnP) (Gold & Alic 1993). Produksi enzim
ligninolitik
dari
limbah
lignoselulosa
mempunyai arti penting karena selain dapat
mengatasi
masalah
limbah
organik
lignoselulosa, juga dapat memberi nilai
tambah dari limbah tersebut.
Palmieri et al (1999) disebutkan bahwa Cu
(tembaga) merupakan induser yang efisien
dalam menaikkan aktivitas lakase dari
P.ostreatus. Dedak dapat digunakan sebagai
substrat alami dan dapat meningkatkan
pertumbuhan miselium menjadi lebih tebal
dan padat (Silverio et al 1981). Dedak telah
banyak digunakan sebagai induser untuk
pertumbuhan miselium dalam budidaya jamur
tiram karena kandungan nitrogen, karbohidrat,
dan karbonnya serta vitamin B1 (tiamin)
(Okwujiako 1990).
Penelitian bertujuan mengoptimumkan
produksi enzim ligninolitik oleh Omphalina
sp. dan P.ostreatus pada TKKS dan bagas
tebu dengan pemberian suplemen CuSO4,
dedak, dan kombinasi keduanya. Selain itu
akan dilakukan karakterisasi pH optimum
enzim ligninolitik yang dihasilkan. Hipotesis
penelitian ini adalah produksi enzim
ligninolitik oleh Omphalina sp. dan
P.ostreatus pada TKKS dan bagas tebu akan
meningkat dengan pemberian suplemen
CuSO4 dan dedak. Manfaat penelitian ini
adalah memberikan informasi tentang
suplemen yang paling baik untuk optimasi
produksi enzim ligninolitik oleh Omphalina
sp. dan P.ostreatus pada limbah organik
lignoselulosa TKKS dan bagas tebu.
TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Padat Organik Lignoselulosa
Lignoselulosa merupakan hasil samping
atau residu dari berbagai industri seperti
industri pulp kertas, industri kayu, dan
industri pertanian. Lignoselulosa sendiri
merupakan bahan biopolimer dan komponen
penyusun utama kayu dan tanaman bukan
kayu yang berlimpah jumlahnya di alam.
Lignoselulosa merupakan komponen yang
sukar terdegradasi dibandingkan dengan jenis
polisakarida lainnya (Reeves & Schmidt
1994).
Limbah padat organik lignoselulosa yang
paling umum dijumpai adalah TKKS dari
industri pengolahan kelapa sawit menjadi
minyak sawit mentah (CPO). Tandan kosong
adalah tandan yang keluar dari mesin penebah
dan tidak mengandung buah. Komponen
dalam TKKS adalah selulosa 32,55%,
hemiselulosa 31,70%, dan lignin 28,54%
(Santosa 1993). Selain itu TKKS juga
mengandung lemak 5,35% dan protein 4,45%
yang dihitung berdasarkan berat kering oven.
Komponen lain yang terdapat dalam TKKS
adalah ekstrak yang berupa minyak dan lemak
(Fitriasari 2001 dalam Yuniawati 2006).
Limbah lignoselulosa yang lain adalah bagas
tebu yang merupakan residu penggilingan
tebu. Bagas tebu mengandung SiO2 3,01%,
abu 3,82%, lignin 22,09%, selulosa 37,65%,
pentosan 27,97%, dan nira 1,81% (Santosa
1993).
Kendala utama yang dihadapi dalam
pemanfaatan limbah organik lignoselulosa ini
PENDAHULUAN
Kelapa
sawit
(Elaeis
guineensis)
merupakan salah satu komoditas perkebunan
andalan bagi perekonomian Indonesia.
Kualitas dan tingkat produksi Crude Palm Oil
(CPO) yang tinggi merupakan keunggulan
dari komiditas ini. Data Ditjen Perkebunan
menyebutkan pada tahun 2005 luas
perkebunan kelapa sawit di Indonesia
mencapai 5.358.423 hektar dengan total
produksi minyak hingga 10.683.756 ton.
Dalam proses produksi CPO dihasilkan
banyak
limbah
yang
masih
belum
dimanfaatkan secara maksimal sehungga
berpotensi mencemari lingkungan. Tandan
Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan
limbah padat terbesar dari pabrik minyak
CPO. Komponen utama TKKS adalah lignin,
selulosa, dan hemiselulosa yang umum
disebut lignoselulosa (Darnoko 1992).
TKKS bukan satu-satunya limbah yang
tergolong lignoselulosa. Bagas tebu (ampas
tebu) juga mengandung serat lignoselulosa
yang sukar terdegradasi. Kandungan lignin
yang tinggi pada TKKS dan bagas tebu
menyebabkan kendala dalam pemanfaatan
selulosa murni bagi industri yang berbahan
baku selulosa seperti industri pulp dan kertas
ataupun industri pembuatan papan serat. Salah
satu cara untuk mengatasi masalah ini
menggunakan mikroorganisme dalam rangka
biodelignifikasi.
Mikroorganisme
yang
berperan penting dalam biodelignifikasi
adalah Fungi Pelapuk Putih (FPP) dari kelas
Basidiomycetes. Kemampuan FPP melakukan
biodelignifikasi disebabkan oleh enzim
ligninolitik ekstraselular yang dihasilkannya
(Kirk & Chang 1990). Enzim ligninolitik
ekstraselular tersebut adalah lakase, lignin
peroksidase (LiP), dan mangan peroksidase
(MnP) (Gold & Alic 1993). Produksi enzim
ligninolitik
dari
limbah
lignoselulosa
mempunyai arti penting karena selain dapat
mengatasi
masalah
limbah
organik
lignoselulosa, juga dapat memberi nilai
tambah dari limbah tersebut.
Palmieri et al (1999) disebutkan bahwa Cu
(tembaga) merupakan induser yang efisien
dalam menaikkan aktivitas lakase dari
P.ostreatus. Dedak dapat digunakan sebagai
substrat alami dan dapat meningkatkan
pertumbuhan miselium menjadi lebih tebal
dan padat (Silverio et al 1981). Dedak telah
banyak digunakan sebagai induser untuk
pertumbuhan miselium dalam budidaya jamur
tiram karena kandungan nitrogen, karbohidrat,
dan karbonnya serta vitamin B1 (tiamin)
(Okwujiako 1990).
Penelitian bertujuan mengoptimumkan
produksi enzim ligninolitik oleh Omphalina
sp. dan P.ostreatus pada TKKS dan bagas
tebu dengan pemberian suplemen CuSO4,
dedak, dan kombinasi keduanya. Selain itu
akan dilakukan karakterisasi pH optimum
enzim ligninolitik yang dihasilkan. Hipotesis
penelitian ini adalah produksi enzim
ligninolitik oleh Omphalina sp. dan
P.ostreatus pada TKKS dan bagas tebu akan
meningkat dengan pemberian suplemen
CuSO4 dan dedak. Manfaat penelitian ini
adalah memberikan informasi tentang
suplemen yang paling baik untuk optimasi
produksi enzim ligninolitik oleh Omphalina
sp. dan P.ostreatus pada limbah organik
lignoselulosa TKKS dan bagas tebu.
TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Padat Organik Lignoselulosa
Lignoselulosa merupakan hasil samping
atau residu dari berbagai industri seperti
industri pulp kertas, industri kayu, dan
industri pertanian. Lignoselulosa sendiri
merupakan bahan biopolimer dan komponen
penyusun utama kayu dan tanaman bukan
kayu yang berlimpah jumlahnya di alam.
Lignoselulosa merupakan komponen yang
sukar terdegradasi dibandingkan dengan jenis
polisakarida lainnya (Reeves & Schmidt
1994).
Limbah padat organik lignoselulosa yang
paling umum dijumpai adalah TKKS dari
industri pengolahan kelapa sawit menjadi
minyak sawit mentah (CPO). Tandan kosong
adalah tandan yang keluar dari mesin penebah
dan tidak mengandung buah. Komponen
dalam TKKS adalah selulosa 32,55%,
hemiselulosa 31,70%, dan lignin 28,54%
(Santosa 1993). Selain itu TKKS juga
mengandung lemak 5,35% dan protein 4,45%
yang dihitung berdasarkan berat kering oven.
Komponen lain yang terdapat dalam TKKS
adalah ekstrak yang berupa minyak dan lemak
(Fitriasari 2001 dalam Yuniawati 2006).
Limbah lignoselulosa yang lain adalah bagas
tebu yang merupakan residu penggilingan
tebu. Bagas tebu mengandung SiO2 3,01%,
abu 3,82%, lignin 22,09%, selulosa 37,65%,
pentosan 27,97%, dan nira 1,81% (Santosa
1993).
Kendala utama yang dihadapi dalam
pemanfaatan limbah organik lignoselulosa ini
adalah kandungan lignin yang sulit
terdegradasi baik secara enzimatik maupun
kimia (Ohkuma et al 2001). Komponen
lignoselulosa
lainnya,
selulosa
dan
hemiselulosa, merupakan polisakarida yang
dapat dihidrolisis menjadi monomernya yang
dapat diubah kembali secara kimia menjadi
etanol, butanol, aseton, dan gliserol (Wyman
2002).
Gambar 1 Struktur tiga jenis monolignol
Lignin
Lignin merupakan senyawa kimia yang
umumnya diperoleh pada kayu dan
merupakan bagian integral dari dinding sel
tumbuhan. Lignin adalah bahan polimer alam
terbanyak kedua setelah selulosa (Sarkanen &
Ludwig 1971). Lignin merupakan polimer
yang sukar larut dalam asam dan basa kuat
dan sulit terdegradasi secara kimiawi maupun
secara enzimatis. Lignin pada kayu terdapat
pada lamela tengah antara selulosa,
hemiselulosa, dan pektin yang berfungsi
sebagai perekat atau penguat dinding sel.
Lignin berperan sangat penting bagi tumbuhan
sebagai sarana pengangkut air, nutrisi, dan
metabolit dalam sel tumbuhan.
Biosintesis lignin dimulai dengan sintesis
monolignol. Monolignol disintesis di sitosol
dalam bentuk glukosida. Glukosida kemudian
ditranspor melalui membran sel menuju
apoplas. Glukosa kemudian dihilangkan dan
monolignol
kemudian
dipolimerisasi
membentuk lignin (Aust dan Benson 1993).
Tiga jenis monolignol (tergolong dalam unit
fenilpropana) yaitu koniferil alkohol, sinapil
alkohol, dan parakuramil alkohol (Gambar 1).
Molekul lignin tersusun dalam bentuk tiga
dimensi dan berikatan silang pada setiap
molekul penyusunnya dengan jenis ikatan
kimia yang berbeda. Unit fenil propana terikat
satu sama lain dengan ikatan eter dan ikatan
C-C, dengan persentasi ikatan eter lebih
banyak. Gambar 2 memperlihatkan struktur
lignin.
Kayu dengan kandungan lignin yang
tinggi bersifat tahan lama (durable) dan
merupakan bahan baku yang baik bagi
industri furnitur karena lignin menghasilkan
lebih banyak energi saat dibakar dibandingkan
dengan selulosa. Kandungan lignin yang
tinggi justru menjadi halangan pada industri
kertas, lignin dalam kandungan tinggi
membuat pulp menjadi kaku dan kekuatannya
rendah sehingga lignin harus dihilangkan dari
pulp terlebih dahulu sebelum diolah menjadi
kertas.
Gambar 2 Struktur lignin
Fungi Pelapuk Putih (White-rot Fungus)
Fungi Pelapuk Putih (FPP) dari kelas
Basidiomycetes merupakan organisme yang
bekerja efisien dan efektif dalam proses
biodelignifikasi. Ada jenis jamur lain yang
juga mampu mendegradasi lignin, seperti
fungi pelapuk coklat (Brown-rot fungus)
namun enzim yang dihasilkan oleh jenis jamur
ini tidak bekerja se-efektif enzim yang
dihasilkan FPP. Proses biodelignifikasi ini
dimulai saat FPP menembus dan membentuk
koloni dalam sel kayu lalu mengeluarkan
enzim yang berdifusi melalui lumen dan
dinding sel. Hal ini menyebabkan terjadinya
penurunan kekuatan fisik kayu dan
pembengkakan jaringan kayu. Intinya FPP,
yang menggunakan selulosa sebagai sumber
karbon, memiliki kemampuan yang unik
untuk mendegradasi lignin secara keseluruhan
membentuk
karbon
dioksida
untuk
memperoleh molekul selulosa. Jenis FPP yang
banyak ditemui di alam adalah Armillariella
mellea, Heterobasidion annosum, Coriolus
versicolor, Xylaria polymorpha, Ganoderma
lucidum, Agraylie sp., dan Pholiota sp.
Beberapa yang digunakan dalam industri yang
terkait dengan degradasi lignin seperti industri
biopulping, yaitu Physsisporinus rivulosus
Gambar 3 Jenis FPP C. versicolor (Deacon 2005)
(Hattaka 2005), C. versicolor, Trametes
versicolor, Phanerochaete chrysosporium,
dan G. Lucidum (Deacon 2005).
FPP tergolong jamur yang sangat efisien
dalam peggunaan nitrogen . Sebagai contoh
kandungan nitrogen C. versicolcor saat
ditumbuhkan pada media C:N dengan rasio
32:1 kira-kira sebesar 4%, namun saat
ditumbuhkan pada media C:N rasio 1600:1
diperoleh 0,2% nitrogen. Hal ini menunjukkan
dalam kondisi sedikit nitrogen, jamur lebih
mengalokasikan nitrogen untuk memproduksi
enzim ekstraselular dan komponen esensial
sel, dan jamur ini juga secara efisien mendaur
ulang nitrogen di dalam miseliumnya (Deacon
2005)
Ciri-ciri serangan FPP pada kayu yaitu
semua komponen utama kayu terdekomposisi
dan digunakan oleh jamur sehingga terjadi
penyusutan kayu, walaupun tidak terlihat jelas
dan bentuk kayu relatif tidak berubah bahkan
pada tahap pelapukan lebih lanjut (Hatakka
1994). Ciri serangan lainnya yaitu tidak ada
retak melintang serat, kayu menjadi
pucat/warna kayu pudar, dan meninggalkan
warna putih pada kayu (Gold & Alic 1993).
Kemampuan FPP mendegradasi lignin tidak
lepas dari peran enzim ekstraselular yang
dihasilkannya yang biasa disebut enzim
ligninolitik.
Enzim Ligninolitik Ekstraselular
Enzim adalah biokatalisator yang sangat
efektif karena enzim dapat mempercepat
perubahan kimia (Koolman & Rohm 2000).
Kerja kebanyakan enzim sangat spesifik
terkait dengan tipe reaksi dan jenis reaktan
yang dikatalisis oleh enzim. Menurut Pelczar
et al (1988) enzim tergolong dalam dua tipe
berdasarkan lokasi kerjanya yaitu enzim
intraselular
dan
ekstraselular.
Enzim
intraselular mensintesis bahan-bahan selular
dan menjalankan proses metabolisme untuk
menyediakan energi bagi sel. Enzim
ekstraselular berfungsi melakukan perubahan-
perubahan seperlunya pada nutrien yang
terdapat di sekitarnya yang memungkinkan
nutrien tersebut memasuki sel. Proses yang
tejadi pada jamur yang tumbuh pada bahan
lignoselulosa
mengeluarkan
enzim
ekstraselular yang akan mendegradasi bahan
tersebut sebagai sumber nutrisinya. Bahan
lignoselulosa yang terdiri dari selulosa,
hemiselulosa, dan lignin merupakan bahan
polimer sehingga enzim yang disekresi oleh
jamur akan mengubah bahan lignoselulosa
menjadi monomernya sehingga lebih mudah
masuk ke dalam sel.
FPP yang hidup pada bahan organik
lignoselulosa
mengeluarkan
enzim
ekstraselular yang dapat mendegradasi bahan
tersebut sebagai nutrisinya, terutama lignin,
sehingga disebut enzim ligninolitik. Terdapat
tiga jenis enzim ligninolitik dalam proses
degradasi lignin yaitu fenol oksidase (lakase),
lignin peroksidase (LiP), dan mangan
peroksidase (MnP). Lakase merupakan enzim
yang mengandung tembaga dan biasa pula
disebut
1,4-benzendiol
oksidase
(EC
1.10.3.2). Lakase umumnya ditemukan pada
tanaman tingkat tinggi dan berbagai
mikroorganisme. Reaksi enzimatik pada
lakase merupakan reaksi oksidasi yang
menghasilkan satu elektron hasil oksidasi
senyawa fenol dan mereduksi oksigen menjadi
air(www.enzymeindia.com/enzymes/laccase.a
sp2006).
Pemanfaatan
lakase
dapat
diaplikasikan pada berbagai bidang industri
antara lain pada proses bioremediasi dan
biodegradasi polutan organik pada tanah
seperti klorofenol (Ahn et al 2002), proses
dekolorinasi dan detoksifikasi pada pewarna
tekstil (Abadulla et al 2000), dan proses
bleaching pada biodelignifikasi pulp industri
kertas (Bourbonnais & Paice 1992).
LiP (EC 1.11.1.14) tidak diproduksi oleh
semua jenis FPP. LiP merupakan enzim yang
mengandung heme dengan potensial redoks
yang tinggi yang membutuhkan dua metabolit
utama agar dapat bekerja. Metabolit tersebut
adalah hidrogen peroksida (H2O2) dan veratril
alkohol yang digunakan sebagai mediator
untuk reaksi redoks (mekanisme ping-pong).
MnP (EC 1.11.1.13) juga merupakan enzim
yang mengandung heme dan menggunakan
H2O2 untuk mengkatalisis oksidasi Mn2+
menjadi Mn3+. MnP memiliki kemampuan
oksidasi baik komponen fenolik maupun non
fenolik senyawa lignin. Walaupun mekanisme
kerjanya sama seperti LiP namun MnP tidak
memiliki kemampuan yang sama untuk
mengoksidasi substansi dengan potensial
redoks yang lebih tinggi.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah isolat Omphalina sp., isolat
Pleurotus ostreatus, kentang, gula pasir,
bubuk agar, akuades, biji jewawut, tandan
kosong kelapa sawit (TKKS), bagas tebu,
dedak padi, CuSO4 150μM, bufer asetat 0,5 M
pH 5,0, bufer fosfat pH 6,5, bufer Na-laktat
50mM,
2,2-azinobis(3-etilbenztiazoline-6sulfonat) (ABTS) 1mM, guaiakol 4mM, H2O2
1mM dan 5mM, MnSO4 1mM, bufer asetat
0,05M pH 5,0, dan veratril alkohol 8mM.
Alat yang digunakan yaitu laminar air
flow cabinet, sentrifus Eppendorf 5417R,
autoklaf, spektrofotometer UV-Vis, tabung
Eppendorf, pH meter, neraca analitik, cawan
Petri, botol media, pipet volumetrik,
mikropipet, mortar, pemanas, pengaduk
magnetik, dan peralatan gelas.
Metode
Rancangan Percobaan
Penelitian yang dilakukan menggunakan
model Rancangan Acak Kelompok Lengkap
atau Faktorial RAKL (Mattjik & Sumertajaya
2002). Model linier rancangan ini dituliskan
sebagai berikut:
Yijk = µ + αi + ßj + (αβ)ij + ρk + εijk
Keterangan:
i = 1,2,3,4
j = 1,2
k = 1,2
Yijk : pengamatan pertumbuhan hifa jamur
pada media ke-j yang diberi suplemen
ke-i dari isolat ke-k
µ
: rataan umum
: pengaruh perlakuan suplemen ke-i
αi
ßj : pengaruh media ke-j
(αβ)ij : interaksi antara perlakuan suplemen
ke-i dan media ke-j
ρk : pengaruh isolat ke-k
εijk : pengaruh galat percobaan pada media
ke-j yang diberi suplemen ke-i dari
isolat ke-k
Pembuatan Media Potatoes Dextrose Agar
(PDA) dan Biji Jewawut
Sebanyak 100g kentang dikupas dan
dipotong dadu. Kentang dimasukkan ke dalam
wadah berisi 500mL air kemudian dididihkan.
Ekstrak kentang disaring ke dalam labu
Erlenmeyer kemudian ditambahkan agar 7,5g,
gula pasir 10g, dan air hingga tepat 500mL.
Labu Erlenmeyer ditutup dengan sumbat
kapas dan aluminium foil lalu diautoklaf pada
suhu 1210C selama 15 menit. Media PDA
yang telah disterilisasi dituang ke cawan petri
steril. Penuangan dilakukan di laminar air
flow cabinet secara aseptik. Setelah dituang ke
cawan petri, media dibiarkan hingga padat.
Sebanyak 1kg biji jewawut dididihkan
hingga biji jewawut pecah. Setelah mendidih
biji jewawut ditiriskan dan diisi ke dalam
botol media hingga setengah penuh. Botol
ditutup dengan kertas lalu diautoklaf pada
suhu 1210C selama 15 menit.
Peremajaan dan Pembuatan Inokulum
Isolat Omphalina sp. dan P. ostreatus yang
telah tersedia di media PDA dipotong dadu
dan dipindahkan 2 potong ke dalam media
PDA secara aseptik. Masing-masing isolat
dikulturkan pada 7 media PDA. Setelah
selesai, cawan petri ditutup dengan parafilm
dan diinkubasi selama satu minggu.
Fungi yang telah tumbuh setelah
diinkubasi kemudian dipindahkan lagi ke
dalam media biji jewawut steril. Isolat fungi
pada PDA dipotong dadu, kemudian
dipindahkan 2-3 potong ke dalam media biji
jewawut secara aseptik. Setiap isolat fungi
dikulturkan dalam 24 media biji jewawut.
Setelah selesai, media biji jewawut lalu
diinkubasi selama 1-2 minggu untuk
menumbuhkan miselium fungi.
Pembuatan Media TKKS dan Bagas Tebu
Sebanyak 500 gram TKKS dan 500 gram
bagas tebu yang telah dipotong ditimbang
pada wadah yang berbeda, kemudian
dikondisikan sesuai perlakuan yang akan
diberikan. Perlakuan yang diberikan yaitu
penambahan suplemen CuSO4, dedak, CuSO4
dan dedak, serta tanpa suplemen CuSO4 dan
dedak (kontrol). Sebanyak 0,0119 gram
CuSO4 dilarutkan dalam 500 mL air kemudian
dicampurkan dengan media TKKS dan bagas
tebu pada wadah yang berbeda lalu diaduk
rata. Media yang telah bercampur dengan
CuSO4 kemudian dimasukkan ke dalam
plastik tahan panas lalu ditutup dengan cincin
pipa, diikat dengan karet gelang, disumbat
dengan kapas, dan ditutup dengan kertas.
Perlakuan kedua adalah perlakuan dengan
penambahan dedak dengan menggunakan
dedak padi 15%. Sebanyak 150 gram dedak
dicampur ke dalam media TKKS dan bagas
tebu lalu ditambahkan 500 mL air dan diaduk
rata. Media kemudian dimasukkan ke dalam
plastik tahan panas lalu ditutup dengan cincin
pipa, diikat dengan karet gelang, disumbat
dengan kapas, dan ditutup dengan kertas.
Perlakuan ketiga adalah TKKS dan bagas
tebu diberi penambahan CuSO4 dan dedak.
Sebanyak 0,0119 gram CuSO4 dilarutkan
dalam 500 mL air, sedangkan untuk dedak
sebanyak 150 gram dicampur ke dalam media
TKKS dan bagas tebu lalu ditambahkan 500
mL air dan diaduk rata bersama larutan
CuSO4 tadi. Setelah tercampur rata media
kemudian dimasukkan ke dalam plastik tahan
panas lalu ditutup dengan cincin pipa, diikat
dengan karet gelang, disumbat dengan kapas,
dan ditutup dengan kertas.
Sebagai kontrol pertumbuhan perlakuan
yang diberikan yaitu media tidak diberi
penambahan suplemen. Media TKKS dan
bagas tebu dicampur dengan 500 mL air,
diaduk rata, kemudian dimasukkan ke dalam
plastik tahan panas lalu ditutup dengan cincin
pipa, diikat dengan karet gelang, disumbat
dengan kapas, dan ditutup dengan kertas.
Seluruh media kemudian disterilisasi di
autoklaf 30 menit 121ºC. Untuk setiap
perlakuan pada dua jenis media yang
digunakan (TKKS dan bagas tebu) dilakukan
3 kali ulangan.
Penanaman Isolat Fungi pada Media
TKKS dan Bagas Tebu
Dua biakan fungi yang telah tumbuh pada
media biji jewawut diaduk lalu diambil 10
gram dan diinokulasi secara aseptik ke dalam
media TKKS dan bagas tebu untuk setiap
perlakuan. Setelah dilakukan penanaman
kedua jenis fungi pada seluruh media akan
diperoleh 48 bag log, 24 media untuk
P.ostreatus dan 24 lainnya untuk Omphalina
sp. Biakan jamur dalam bag log kemudian
diinkubasi selama 3 bulan hingga miselium
tumbuh merata. Pertumbuhan miselium
diamati setiap bulan selama periode inkubasi.
Ekstraksi Enzim
Biakan fungi yang telah tumbuh pada
media bagas dan TKKS setelah diinkubasi 2-3
bulan diambil 20 gram, kemudian digerus di
dalam mortar bersama 10 mL bufer fosfat pH
7. Setelah halus, dimasukkan ke tabung
Eppendorf dan disentrifus dengan kecepatan
5000 rpm selama 10 menit dengan suhu 04ºC. Supernatan dipisahkan dari pelet lalu
dimasukkan ke tabung Eppendorf yang lain.
Jika supernatan yang diperoleh masih keruh
dilakukan sentrifus lagi hingga diperoleh
supernatan yang jernih/bebas kotoran.
Supernatan yang diperoleh merupakan ekstrak
kasar enzim yang kemudian akan dianalisis
aktivitas enzimnya dengan variasi pH (5, 6,
dan 7) untuk setiap pengukuran.
Analisis Aktivitas Enzim
Aktivitas Lakase (Buswell et al 1995
dalam Fitria 2005)
Larutan sampel yang akan dianalisis
dibuat dengan 0,4 mL filtrat enzim
dicampur dengan 0,5 mL bufer asetat 0,5
M pH 5/pH 6/pH 7 dan 0,1 mL ABTS 1
mM. Campuran ini dimasukkan ke dalam
kuvet kemudian dikocok. Setelah dikocok
larutan diukur absorbannya pada panjang
gelombang 420 nm dengan interval waktu
0-30 menit. Aktivitas enzim diukur
berdasarkan persamaan berikut (Fitria
2005)
Aktivitas Enzim (U/mL) =
(At - Ao) x Vtotal (mL) x 109
εmaks x d x Venzim (mL) x t
εmaks = absorptivitas molar ABTS (36000
M-1 cm-1)
d = tebal kuvet (cm)
Satu unit aktivitas lakase didefinisikan
sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi 1 nmol ABTS per
menit.
Aktivitas Lignin Peroksidase (LiP)
(Tien & Kirk 1984 dalam Fitria 2005)
Sebanyak 0,2 mL filtrat enzim, 0,05
mL H2O2 5 mM, 0,1 mL veratril alkohol 8
mM, 0,2 mL bufer asetat 0,05 M pH 5/pH
6/pH 7, dan 0,45 mL akuades dimasukkan
ke dalam kuvet kemudian dikocok.
Larutan tersebut dibaca absorbannya pada
panjang gelombang 310 nm pada interval
waktu 0-30 menit. Aktivitas enzim diukur
berdasarkan persamaan berikut (Fitria
2005).
Aktivitas Enzim (U/mL) =
(At - Ao) x Vtotal (mL) x 109
εmaks x d x Venzim (mL) x t
εmaks = absorptivitas molar veratril alkohol
(9300 M-1 cm-1)
d = tebal kuvet (cm)
Satu unit LiP didefinisikan sebagai banyak
enzim yang mengoksidasi 1 nmol substrat
per menit.
Aktivitas Mangan Peroksidase (MnP)
(Kofujita et al 1992 dalam Fitria 2005)
Sebanyak 0,1 mL bufer Na-laktat 50
mM pH 5/pH 6/pH 7, 0,1 mL H2O2 1 mM,
0,2 mL MnSO4 1 mM, 0,1 mL guaiakol 4
mM, dan 0,3 mL akuades (campuran A)
dimasukkan ke dalam kuvet berisi 0,2 mL
filtrat enzim. Larutan ini dikocok lalu
diukur
absorbannya
pada
panjang
gelombang 465 nm dengan interval waktu
0-30 menit. Pengukuran aktivitas MnP
diperoleh dengan melakukan reaksi
dengan komposisi pereaksi yang sama
dengan campuran A hanya saja tanpa
penambahan MnSO4, sehingga akuades
yang ditambahkan pada reaksi ini
sebanyak 0,5 mL (campuran B). Larutan
ini kemudian diukur absorbannya pada
panjang gelombang 465 nm dengan
interval waktu 0-30 menit. Aktivitas enzim
diukur berdasarkan persamaan berikut
(Fitria 2005).
Aktivitas Enzim (U/mL) =
(At - Ao) x Vtotal (mL) x 109
εmaks x d x Venzim (mL) x t
εmaks = absorptivitas molar guaiakol
(12100 M-1 cm-1)
d = tebal kuvet (cm)
Aktivitas MnP setiap unit = Aktivitas
enzim A – Aktivitas enzim B
Satu unit MnP sebanding dengan 1 nmol
produk yang dihasilkan per menit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Miselium FPP
Tahap awal penelitian ini adalah
peremajaan isolat murni FPP dari stok yang
tersedia pada media PDA. Peremajaan isolat
dilakukan dengan menumbuhkan pada media
PDA. Selanjutnya dilakukan pembuatan
inokulum dengan menumbuhkan pada media
biji jewawut. Peremajaan pada media PDA
dilakukan selama 1 minggu hingga miselium
tumbuh menutupi seluruh permukaan media
agar. Hasil peremajaan kedua isolat jamur
pada media PDA (Gambar 4) menunjukkan
isolat Omphalina sp. tumbuh lebih cepat
dengan produksi miselium yang lebih banyak
dibandingkan dengan isolat P.ostreatus.
Setelah miselium tumbuh menutupi media
agar, isolat kemudian diinokulasi ke dalam
media biji jewawut.
Hasil pertumbuhan isolat pada media biji
jewawut (Gambar 5) menunjukkan miselium
tumbuh banyak dan sangat kompak.
Kecepatan pertumbuhan miselium kedua
jamur pada media biji jewawut berbeda.
Berdasarkan pengamatan miselium isolat
Omphalina sp. tumbuh lebih cepat dan
menyelimuti seluruh media biji jewawut
dalam waktu inkubasi 1 minggu sedangkan
miselium P.ostreatus tumbuh lebih lambat,
membutuhkan waktu inkubasi 2 minggu
hingga miselium menyelimuti seluruh media
biji jewawut. Berdasarkan pengamatan
pertumbuhan miselia fungi di media PDA dan
biji jewawut dapat dibedakan juga struktur
miselia. Miselium tumbuh lebih kompak pada
media biji jewawut dibandingkan dengan
PDA. Hal ini dapat disebabkan dalam biji
jewawut terkandung cadangan lemak yang
berguna untuk pertumbuhan biji. Cadangan
lemak ini dapat digunakan oleh fungi sebagai
sumber nutrisi, terutama sumber karbon,
untuk mendukung pertumbuhannya yang akan
mendorong semakin banyaknya miselium
yang tumbuh pada media biji jewawut
dibandingkan dengan PDA.
Setelah miselium tumbuh merata pada
media biji jewawut, isolat diinokulasi ke
media pertumbuhan dengan substrat utama
berupa TKKS dan bagas tebu. Bag log yang
digunakan tingginya 18cm dan berat bersih
media yang digunakan sebesar 500 gram.
Media pertumbuhan yang digunakan telah
dikondisikan sesuai perlakuan yang diberikan
yaitu penambahan CuSO4, dedak, atau
campuran CuSO4 dan dedak, serta perlakuan
kontrol. Isolat kemudian diinkubasi selama
tiga bulan. Selama periode inkubasi dilakukan
pengamatan pertumbuhan miselium pada
media TKKS dan bagas tebu. Pengamatan
dilakukan setiap bulan selama tiga bulan masa
inkubasi. Parameter yang diamati yaitu tinggi
pertumbuhan miselium pada setiap bag log.
Pengukuran tinggi pertumbuhan miselium
dimulai pada batas atas media pertumbuhan
hingga batas akhir pertumbuhan miselium
pada media.
(a)
(b)
Gambar 4 Pertumbuhan miselium pada PDA
isolat Omphalina sp. (a) dan
P.ostreatus (b)
0,2 mL MnSO4 1 mM, 0,1 mL guaiakol 4
mM, dan 0,3 mL akuades (campuran A)
dimasukkan ke dalam kuvet berisi 0,2 mL
filtrat enzim. Larutan ini dikocok lalu
diukur
absorbannya
pada
panjang
gelombang 465 nm dengan interval waktu
0-30 menit. Pengukuran aktivitas MnP
diperoleh dengan melakukan reaksi
dengan komposisi pereaksi yang sama
dengan campuran A hanya saja tanpa
penambahan MnSO4, sehingga akuades
yang ditambahkan pada reaksi ini
sebanyak 0,5 mL (campuran B). Larutan
ini kemudian diukur absorbannya pada
panjang gelombang 465 nm dengan
interval waktu 0-30 menit. Aktivitas enzim
diukur berdasarkan persamaan berikut
(Fitria 2005).
Aktivitas Enzim (U/mL) =
(At - Ao) x Vtotal (mL) x 109
εmaks x d x Venzim (mL) x t
εmaks = absorptivitas molar guaiakol
(12100 M-1 cm-1)
d = tebal kuvet (cm)
Aktivitas MnP setiap unit = Aktivitas
enzim A – Aktivitas enzim B
Satu unit MnP sebanding dengan 1 nmol
produk yang dihasilkan per menit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Miselium FPP
Tahap awal penelitian ini adalah
peremajaan isolat murni FPP dari stok yang
tersedia pada media PDA. Peremajaan isolat
dilakukan dengan menumbuhkan pada media
PDA. Selanjutnya dilakukan pembuatan
inokulum dengan menumbuhkan pada media
biji jewawut. Peremajaan pada media PDA
dilakukan selama 1 minggu hingga miselium
tumbuh menutupi seluruh permukaan media
agar. Hasil peremajaan kedua isolat jamur
pada media PDA (Gambar 4) menunjukkan
isolat Omphalina sp. tumbuh lebih cepat
dengan produksi miselium yang lebih banyak
dibandingkan dengan isolat P.ostreatus.
Setelah miselium tumbuh menutupi media
agar, isolat kemudian diinokulasi ke dalam
media biji jewawut.
Hasil pertumbuhan isolat pada media biji
jewawut (Gambar 5) menunjukkan miselium
tumbuh banyak dan sangat kompak.
Kecepatan pertumbuhan miselium kedua
jamur pada media biji jewawut berbeda.
Berdasarkan pengamatan miselium isolat
Omphalina sp. tumbuh lebih cepat dan
menyelimuti seluruh media biji jewawut
dalam waktu inkubasi 1 minggu sedangkan
miselium P.ostreatus tumbuh lebih lambat,
membutuhkan waktu inkubasi 2 minggu
hingga miselium menyelimuti seluruh media
biji jewawut. Berdasarkan pengamatan
pertumbuhan miselia fungi di media PDA dan
biji jewawut dapat dibedakan juga struktur
miselia. Miselium tumbuh lebih kompak pada
media biji jewawut dibandingkan dengan
PDA. Hal ini dapat disebabkan dalam biji
jewawut terkandung cadangan lemak yang
berguna untuk pertumbuhan biji. Cadangan
lemak ini dapat digunakan oleh fungi sebagai
sumber nutrisi, terutama sumber karbon,
untuk mendukung pertumbuhannya yang akan
mendorong semakin banyaknya miselium
yang tumbuh pada media biji jewawut
dibandingkan dengan PDA.
Setelah miselium tumbuh merata pada
media biji jewawut, isolat diinokulasi ke
media pertumbuhan dengan substrat utama
berupa TKKS dan bagas tebu. Bag log yang
digunakan tingginya 18cm dan berat bersih
media yang digunakan sebesar 500 gram.
Media pertumbuhan yang digunakan telah
dikondisikan sesuai perlakuan yang diberikan
yaitu penambahan CuSO4, dedak, atau
campuran CuSO4 dan dedak, serta perlakuan
kontrol. Isolat kemudian diinkubasi selama
tiga bulan. Selama periode inkubasi dilakukan
pengamatan pertumbuhan miselium pada
media TKKS dan bagas tebu. Pengamatan
dilakukan setiap bulan selama tiga bulan masa
inkubasi. Parameter yang diamati yaitu tinggi
pertumbuhan miselium pada setiap bag log.
Pengukuran tinggi pertumbuhan miselium
dimulai pada batas atas media pertumbuhan
hingga batas akhir pertumbuhan miselium
pada media.
(a)
(b)
Gambar 4 Pertumbuhan miselium pada PDA
isolat Omphalina sp. (a) dan
P.ostreatus (b)
(a)
(b)
Gambar 5 Pertumbuhan miselium pada media
biji jewawut isolat Omphalina sp.
(a) dan P.ostreatus (b)
Berdasarkan data terlihat isolat Omphalina sp.
baik pada TKKS dan bagas tebu.
Pertimbuhannya cenderung lebih baik pada
bulan pertama hingga bulan ketiga masa
inkubasi dibandingkan dengan P.ostreatus.
Data tersebut menunjukkan Omphalina sp.
dapat memanfaatkan sumber nitrogen dan
karbon lebih efektif dibanding P.ostreatus
sehingga pertumbuhan miselium lebih baik
(Tabel 1).
Bulan
pertama
masa
inkubasi
menunjukkan miselium tumbuh lebih baik
pada media yang diberi dedak dan perlakuan
kontrol, sedangkan pada perlakuan CuSO4 dan
campuran CuSO4 dan dedak, miselium
cenderung tumbuh lebih lambat dibandingkan
dengan dua perlakuan lainnya. Hasil ini sama
dengan
penelitian
lainnya
yang
menyebutkan miselium tumbuh dengan baik
pada media yang diberi dedak, yang
disebabkan dedak memiliki kandungan karbon
dan nitrogen yang tinggi (Yuniawati 2006).
Selain merupakan sumber nitrogen dedak juga
mengandung tiamin yang merupakan salah
satu vitamin yang dibutuhkan dalam
pertumbuhan miselium (Tominaga 1978).
Pertumbuhan miselium pada bulan kedua
dan bulan ketiga terus menunjukkan
peningkatan pada kedua isolat fungi di setiap
media tumbuh. Pada perlakuan penambahan
CuSO4 dan campuran CuSO4 dan dedak
pertumbuhan
miselium
lebih
rendah
dibanding perlakuan dedak. Hal ini berbeda
dengan penelitian lain dari Palmieri et al
(1999) menyebutkan pada isolat P.ostreatus,
Cu adalah penyokong aktivitas lakase.
Hasil uji Duncan pada data pertumbuhan
miselium di bulan ketiga menunjukkan tidak
ada perbedaan nyata antara perlakuan kontrol
dan dedak terhadap pertumbuhan miselium,
namun kelompok ini menunjukkan perbedaan
nyata dengan perlakuan CuSO4 dan campuran
CuSO4 dan dedak. Ditinjau berdasarkan data
pertumbuhan miselium dan analisis statistika
dapat dikatakan bahwa perlakuan kontrol
menunjukkan pertumbuhan miselium lebih
baik, terutama pada isolat P.ostreatus yang
menunjukkan rata-rata pertumbuhan miselium
pada bag log kontrol lebih baik dibandingkan
dengan perlakuan lain, sehingga tidak
diperlukan dedak, CuSO4 maupun campuran
CuSO4 dan dedak untuk menunjang
pertumbuhan miselium FPP. Ditilik dari segi
ekonomi, hal ini menguntungkan sebab fungi
dapat tumbuh dengan baik namun biaya
produksi dapat ditekan.
Data yang diperoleh juga menunjukkan
bahwa perlakuan CuSO4 dan campuran
CuSO4 dan dedak cenderung menghambat
pertumbuhan fungi. Hal ini terlihat dengan
rendahnya pertumbuhan miselium di bulan
pertama dan kedua dibandingkan dengan
perlakuan kontrol. Pada bulan ketiga
pertumbuhan miselium pada perlakuan CuSO4
dan campuran CuSO4 dan dedak menunjukkan
peningkatan yang signifikan dari bulan
sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan daya
hambat suplemen yang diberikan telah
berkurang atau sudah tidak menghambat sama
sekali sehingga pertumbuhan miselium lebih
baik.
Apabila media pertumbuhan dibandingkan
dari data Tabel 1, terlihat bahwa media
pertumbuhan bagas tebu lebih baik dalam
mendukung
pertumbuhan
miselium
dibandingkan dengan TKKS. Hal ini terlihat
dari pertumbuhan miselium Omphalina sp.
pada perlakuan kontrol TKKS dan bagas tebu
masing-masing 14,67 cm dan 15,00 cm,
begitu pula pada perlakuan lainnya. Berbeda
dengan isolat Omphalina sp., isolat
P.ostreatus
menunjukkan
pertumbuhan
miseliumnya lebih baik pada media TKKS
dibandingkan dengan media bagas tebu. Hal
ini ditunjukkan pada media yang diberi dedak
dan campuran CuSO4 dan dedak. Ini berarti
sumber karbon dan nitrogen yang diperlukan
fungi untuk aktivitas metabolisme dan
pertumbuhan miselium lebih banyak terdapat
pada media TKKS dengan kandungan lignin
yang lebih tinggi yaitu 28,54% (Santosa 1993)
dibanding bagas tebu sebesar 22,09%.
Selain menguraikan lignin, FPP juga
mampu menguraikan selulosa sehingga
semakin banyak kandungan lignin dan
selulosa pada media pertumbuhan, miselium
yang tumbuh juga lebih banyak. Kandungan
selulosa pada bagas tebu lebih tinggi yaitu
Tabel 1 Pertumbuhan miselium FPP
Isolat
Media
Perlakuan
Omphalina sp.
Omphalina sp.
Omphalina sp.
Omphalina sp.
Omphalina sp.
Omphalina sp.
Omphalina sp.
Omphalina sp.
P. ostreatus
P. ostreatus
P. ostreatus
P. ostreatus
P. ostreatus
P. ostreatus
P. ostreatus
P. ostreatus
TKKS
TKKS
TKKS
TKKS
Bagas
Bagas
Bagas
Bagas
TKKS
TKKS
TKKS
TKKS
Bagas
Bagas
Bagas
Bagas
Kontrol
Dedak
CuSO4
CuSO4 + Dedak
Kontrol
Dedak
CuSO4
CuSO4 + Dedak
Kontrol
Dedak
CuSO4
CuSO4 + Dedak
Kontrol
Dedak
CuSO4
CuSO4 + Dedak
Rata-rata pertumbuhan miselium (cm)
Bulan ke-1
Bulan ke-2
Bulan ke-3
5,67a
13,33a
14,67a
a
a
7,67
12,33
14,67a
3,67b
6,33b
12,00b
14,00b
5,33a
8,67b
12,00a
15,00a
4,33a
11,33a
15,00a
6,33a
2,67b
6,67b
14,00b
4,00a
7,67b
14,67b
13,33a
15,00a
6,33a
12,00a
14,67a
4,33a
3,33b
7,33b
13,33b
2,33b
8,33b
13,67b
11,33a
15,00a
4,00a
11,33a
14,33a
4,00a
3,33b
9,00b
13,33b
8,00b
13,33b
2,67b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan
(P
Kelapa
sawit
(Elaeis
guineensis)
merupakan salah satu komoditas perkebunan
andalan bagi perekonomian Indonesia.
Kualitas dan tingkat produksi Crude Palm Oil
(CPO) yang tinggi merupakan keunggulan
dari komiditas ini. Data Ditjen Perkebunan
menyebutkan pada tahun 2005 luas
perkebunan kelapa sawit di Indonesia
mencapai 5.358.423 hektar dengan total
produksi minyak hingga 10.683.756 ton.
Dalam proses produksi CPO dihasilkan
banyak
limbah
yang
masih
belum
dimanfaatkan secara maksimal sehungga
berpotensi mencemari lingkungan. Tandan
Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan
limbah padat terbesar dari pabrik minyak
CPO. Komponen utama TKKS adalah lignin,
selulosa, dan hemiselulosa yang umum
disebut lignoselulosa (Darnoko 1992).
TKKS bukan satu-satunya limbah yang
tergolong lignoselulosa. Bagas tebu (ampas
tebu) juga mengandung serat lignoselulosa
yang sukar terdegradasi. Kandungan lignin
yang tinggi pada TKKS dan bagas tebu
menyebabkan kendala dalam pemanfaatan
selulosa murni bagi industri yang berbahan
baku selulosa seperti industri pulp dan kertas
ataupun industri pembuatan papan serat. Salah
satu cara untuk mengatasi masalah ini
menggunakan mikroorganisme dalam rangka
biodelignifikasi.
Mikroorganisme
yang
berperan penting dalam biodelignifikasi
adalah Fungi Pelapuk Putih (FPP) dari kelas
Basidiomycetes. Kemampuan FPP melakukan
biodelignifikasi disebabkan oleh enzim
ligninolitik ekstraselular yang dihasilkannya
(Kirk & Chang 1990). Enzim ligninolitik
ekstraselular tersebut adalah lakase, lignin
peroksidase (LiP), dan mangan peroksidase
(MnP) (Gold & Alic 1993). Produksi enzim
ligninolitik
dari
limbah
lignoselulosa
mempunyai arti penting karena selain dapat
mengatasi
masalah
limbah
organik
lignoselulosa, juga dapat memberi nilai
tambah dari limbah tersebut.
Palmieri et al (1999) disebutkan bahwa Cu
(tembaga) merupakan induser yang efisien
dalam menaikkan aktivitas lakase dari
P.ostreatus. Dedak dapat digunakan sebagai
substrat alami dan dapat meningkatkan
pertumbuhan miselium menjadi lebih tebal
dan padat (Silverio et al 1981). Dedak telah
banyak digunakan sebagai induser untuk
pertumbuhan miselium dalam budidaya jamur
tiram karena kandungan nitrogen, karbohidrat,
dan karbonnya serta vitamin B1 (tiamin)
(Okwujiako 1990).
Penelitian bertujuan mengoptimumkan
produksi enzim ligninolitik oleh Omphalina
sp. dan P.ostreatus pada TKKS dan bagas
tebu dengan pemberian suplemen CuSO4,
dedak, dan kombinasi keduanya. Selain itu
akan dilakukan karakterisasi pH optimum
enzim ligninolitik yang dihasilkan. Hipotesis
penelitian ini adalah produksi enzim
ligninolitik oleh Omphalina sp. dan
P.ostreatus pada TKKS dan bagas tebu akan
meningkat dengan pemberian suplemen
CuSO4 dan dedak. Manfaat penelitian ini
adalah memberikan informasi tentang
suplemen yang paling baik untuk optimasi
produksi enzim ligninolitik oleh Omphalina
sp. dan P.ostreatus pada limbah organik
lignoselulosa TKKS dan bagas tebu.
TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Padat Organik Lignoselulosa
Lignoselulosa merupakan hasil samping
atau residu dari berbagai industri seperti
industri pulp kertas, industri kayu, dan
industri pertanian. Lignoselulosa sendiri
merupakan bahan biopolimer dan komponen
penyusun utama kayu dan tanaman bukan
kayu yang berlimpah jumlahnya di alam.
Lignoselulosa merupakan komponen yang
sukar terdegradasi dibandingkan dengan jenis
polisakarida lainnya (Reeves & Schmidt
1994).
Limbah padat organik lignoselulosa yang
paling umum dijumpai adalah TKKS dari
industri pengolahan kelapa sawit menjadi
minyak sawit mentah (CPO). Tandan kosong
adalah tandan yang keluar dari mesin penebah
dan tidak mengandung buah. Komponen
dalam TKKS adalah selulosa 32,55%,
hemiselulosa 31,70%, dan lignin 28,54%
(Santosa 1993). Selain itu TKKS juga
mengandung lemak 5,35% dan protein 4,45%
yang dihitung berdasarkan berat kering oven.
Komponen lain yang terdapat dalam TKKS
adalah ekstrak yang berupa minyak dan lemak
(Fitriasari 2001 dalam Yuniawati 2006).
Limbah lignoselulosa yang lain adalah bagas
tebu yang merupakan residu penggilingan
tebu. Bagas tebu mengandung SiO2 3,01%,
abu 3,82%, lignin 22,09%, selulosa 37,65%,
pentosan 27,97%, dan nira 1,81% (Santosa
1993).
Kendala utama yang dihadapi dalam
pemanfaatan limbah organik lignoselulosa ini
PENDAHULUAN
Kelapa
sawit
(Elaeis
guineensis)
merupakan salah satu komoditas perkebunan
andalan bagi perekonomian Indonesia.
Kualitas dan tingkat produksi Crude Palm Oil
(CPO) yang tinggi merupakan keunggulan
dari komiditas ini. Data Ditjen Perkebunan
menyebutkan pada tahun 2005 luas
perkebunan kelapa sawit di Indonesia
mencapai 5.358.423 hektar dengan total
produksi minyak hingga 10.683.756 ton.
Dalam proses produksi CPO dihasilkan
banyak
limbah
yang
masih
belum
dimanfaatkan secara maksimal sehungga
berpotensi mencemari lingkungan. Tandan
Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan
limbah padat terbesar dari pabrik minyak
CPO. Komponen utama TKKS adalah lignin,
selulosa, dan hemiselulosa yang umum
disebut lignoselulosa (Darnoko 1992).
TKKS bukan satu-satunya limbah yang
tergolong lignoselulosa. Bagas tebu (ampas
tebu) juga mengandung serat lignoselulosa
yang sukar terdegradasi. Kandungan lignin
yang tinggi pada TKKS dan bagas tebu
menyebabkan kendala dalam pemanfaatan
selulosa murni bagi industri yang berbahan
baku selulosa seperti industri pulp dan kertas
ataupun industri pembuatan papan serat. Salah
satu cara untuk mengatasi masalah ini
menggunakan mikroorganisme dalam rangka
biodelignifikasi.
Mikroorganisme
yang
berperan penting dalam biodelignifikasi
adalah Fungi Pelapuk Putih (FPP) dari kelas
Basidiomycetes. Kemampuan FPP melakukan
biodelignifikasi disebabkan oleh enzim
ligninolitik ekstraselular yang dihasilkannya
(Kirk & Chang 1990). Enzim ligninolitik
ekstraselular tersebut adalah lakase, lignin
peroksidase (LiP), dan mangan peroksidase
(MnP) (Gold & Alic 1993). Produksi enzim
ligninolitik
dari
limbah
lignoselulosa
mempunyai arti penting karena selain dapat
mengatasi
masalah
limbah
organik
lignoselulosa, juga dapat memberi nilai
tambah dari limbah tersebut.
Palmieri et al (1999) disebutkan bahwa Cu
(tembaga) merupakan induser yang efisien
dalam menaikkan aktivitas lakase dari
P.ostreatus. Dedak dapat digunakan sebagai
substrat alami dan dapat meningkatkan
pertumbuhan miselium menjadi lebih tebal
dan padat (Silverio et al 1981). Dedak telah
banyak digunakan sebagai induser untuk
pertumbuhan miselium dalam budidaya jamur
tiram karena kandungan nitrogen, karbohidrat,
dan karbonnya serta vitamin B1 (tiamin)
(Okwujiako 1990).
Penelitian bertujuan mengoptimumkan
produksi enzim ligninolitik oleh Omphalina
sp. dan P.ostreatus pada TKKS dan bagas
tebu dengan pemberian suplemen CuSO4,
dedak, dan kombinasi keduanya. Selain itu
akan dilakukan karakterisasi pH optimum
enzim ligninolitik yang dihasilkan. Hipotesis
penelitian ini adalah produksi enzim
ligninolitik oleh Omphalina sp. dan
P.ostreatus pada TKKS dan bagas tebu akan
meningkat dengan pemberian suplemen
CuSO4 dan dedak. Manfaat penelitian ini
adalah memberikan informasi tentang
suplemen yang paling baik untuk optimasi
produksi enzim ligninolitik oleh Omphalina
sp. dan P.ostreatus pada limbah organik
lignoselulosa TKKS dan bagas tebu.
TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Padat Organik Lignoselulosa
Lignoselulosa merupakan hasil samping
atau residu dari berbagai industri seperti
industri pulp kertas, industri kayu, dan
industri pertanian. Lignoselulosa sendiri
merupakan bahan biopolimer dan komponen
penyusun utama kayu dan tanaman bukan
kayu yang berlimpah jumlahnya di alam.
Lignoselulosa merupakan komponen yang
sukar terdegradasi dibandingkan dengan jenis
polisakarida lainnya (Reeves & Schmidt
1994).
Limbah padat organik lignoselulosa yang
paling umum dijumpai adalah TKKS dari
industri pengolahan kelapa sawit menjadi
minyak sawit mentah (CPO). Tandan kosong
adalah tandan yang keluar dari mesin penebah
dan tidak mengandung buah. Komponen
dalam TKKS adalah selulosa 32,55%,
hemiselulosa 31,70%, dan lignin 28,54%
(Santosa 1993). Selain itu TKKS juga
mengandung lemak 5,35% dan protein 4,45%
yang dihitung berdasarkan berat kering oven.
Komponen lain yang terdapat dalam TKKS
adalah ekstrak yang berupa minyak dan lemak
(Fitriasari 2001 dalam Yuniawati 2006).
Limbah lignoselulosa yang lain adalah bagas
tebu yang merupakan residu penggilingan
tebu. Bagas tebu mengandung SiO2 3,01%,
abu 3,82%, lignin 22,09%, selulosa 37,65%,
pentosan 27,97%, dan nira 1,81% (Santosa
1993).
Kendala utama yang dihadapi dalam
pemanfaatan limbah organik lignoselulosa ini
adalah kandungan lignin yang sulit
terdegradasi baik secara enzimatik maupun
kimia (Ohkuma et al 2001). Komponen
lignoselulosa
lainnya,
selulosa
dan
hemiselulosa, merupakan polisakarida yang
dapat dihidrolisis menjadi monomernya yang
dapat diubah kembali secara kimia menjadi
etanol, butanol, aseton, dan gliserol (Wyman
2002).
Gambar 1 Struktur tiga jenis monolignol
Lignin
Lignin merupakan senyawa kimia yang
umumnya diperoleh pada kayu dan
merupakan bagian integral dari dinding sel
tumbuhan. Lignin adalah bahan polimer alam
terbanyak kedua setelah selulosa (Sarkanen &
Ludwig 1971). Lignin merupakan polimer
yang sukar larut dalam asam dan basa kuat
dan sulit terdegradasi secara kimiawi maupun
secara enzimatis. Lignin pada kayu terdapat
pada lamela tengah antara selulosa,
hemiselulosa, dan pektin yang berfungsi
sebagai perekat atau penguat dinding sel.
Lignin berperan sangat penting bagi tumbuhan
sebagai sarana pengangkut air, nutrisi, dan
metabolit dalam sel tumbuhan.
Biosintesis lignin dimulai dengan sintesis
monolignol. Monolignol disintesis di sitosol
dalam bentuk glukosida. Glukosida kemudian
ditranspor melalui membran sel menuju
apoplas. Glukosa kemudian dihilangkan dan
monolignol
kemudian
dipolimerisasi
membentuk lignin (Aust dan Benson 1993).
Tiga jenis monolignol (tergolong dalam unit
fenilpropana) yaitu koniferil alkohol, sinapil
alkohol, dan parakuramil alkohol (Gambar 1).
Molekul lignin tersusun dalam bentuk tiga
dimensi dan berikatan silang pada setiap
molekul penyusunnya dengan jenis ikatan
kimia yang berbeda. Unit fenil propana terikat
satu sama lain dengan ikatan eter dan ikatan
C-C, dengan persentasi ikatan eter lebih
banyak. Gambar 2 memperlihatkan struktur
lignin.
Kayu dengan kandungan lignin yang
tinggi bersifat tahan lama (durable) dan
merupakan bahan baku yang baik bagi
industri furnitur karena lignin menghasilkan
lebih banyak energi saat dibakar dibandingkan
dengan selulosa. Kandungan lignin yang
tinggi justru menjadi halangan pada industri
kertas, lignin dalam kandungan tinggi
membuat pulp menjadi kaku dan kekuatannya
rendah sehingga lignin harus dihilangkan dari
pulp terlebih dahulu sebelum diolah menjadi
kertas.
Gambar 2 Struktur lignin
Fungi Pelapuk Putih (White-rot Fungus)
Fungi Pelapuk Putih (FPP) dari kelas
Basidiomycetes merupakan organisme yang
bekerja efisien dan efektif dalam proses
biodelignifikasi. Ada jenis jamur lain yang
juga mampu mendegradasi lignin, seperti
fungi pelapuk coklat (Brown-rot fungus)
namun enzim yang dihasilkan oleh jenis jamur
ini tidak bekerja se-efektif enzim yang
dihasilkan FPP. Proses biodelignifikasi ini
dimulai saat FPP menembus dan membentuk
koloni dalam sel kayu lalu mengeluarkan
enzim yang berdifusi melalui lumen dan
dinding sel. Hal ini menyebabkan terjadinya
penurunan kekuatan fisik kayu dan
pembengkakan jaringan kayu. Intinya FPP,
yang menggunakan selulosa sebagai sumber
karbon, memiliki kemampuan yang unik
untuk mendegradasi lignin secara keseluruhan
membentuk
karbon
dioksida
untuk
memperoleh molekul selulosa. Jenis FPP yang
banyak ditemui di alam adalah Armillariella
mellea, Heterobasidion annosum, Coriolus
versicolor, Xylaria polymorpha, Ganoderma
lucidum, Agraylie sp., dan Pholiota sp.
Beberapa yang digunakan dalam industri yang
terkait dengan degradasi lignin seperti industri
biopulping, yaitu Physsisporinus rivulosus
Gambar 3 Jenis FPP C. versicolor (Deacon 2005)
(Hattaka 2005), C. versicolor, Trametes
versicolor, Phanerochaete chrysosporium,
dan G. Lucidum (Deacon 2005).
FPP tergolong jamur yang sangat efisien
dalam peggunaan nitrogen . Sebagai contoh
kandungan nitrogen C. versicolcor saat
ditumbuhkan pada media C:N dengan rasio
32:1 kira-kira sebesar 4%, namun saat
ditumbuhkan pada media C:N rasio 1600:1
diperoleh 0,2% nitrogen. Hal ini menunjukkan
dalam kondisi sedikit nitrogen, jamur lebih
mengalokasikan nitrogen untuk memproduksi
enzim ekstraselular dan komponen esensial
sel, dan jamur ini juga secara efisien mendaur
ulang nitrogen di dalam miseliumnya (Deacon
2005)
Ciri-ciri serangan FPP pada kayu yaitu
semua komponen utama kayu terdekomposisi
dan digunakan oleh jamur sehingga terjadi
penyusutan kayu, walaupun tidak terlihat jelas
dan bentuk kayu relatif tidak berubah bahkan
pada tahap pelapukan lebih lanjut (Hatakka
1994). Ciri serangan lainnya yaitu tidak ada
retak melintang serat, kayu menjadi
pucat/warna kayu pudar, dan meninggalkan
warna putih pada kayu (Gold & Alic 1993).
Kemampuan FPP mendegradasi lignin tidak
lepas dari peran enzim ekstraselular yang
dihasilkannya yang biasa disebut enzim
ligninolitik.
Enzim Ligninolitik Ekstraselular
Enzim adalah biokatalisator yang sangat
efektif karena enzim dapat mempercepat
perubahan kimia (Koolman & Rohm 2000).
Kerja kebanyakan enzim sangat spesifik
terkait dengan tipe reaksi dan jenis reaktan
yang dikatalisis oleh enzim. Menurut Pelczar
et al (1988) enzim tergolong dalam dua tipe
berdasarkan lokasi kerjanya yaitu enzim
intraselular
dan
ekstraselular.
Enzim
intraselular mensintesis bahan-bahan selular
dan menjalankan proses metabolisme untuk
menyediakan energi bagi sel. Enzim
ekstraselular berfungsi melakukan perubahan-
perubahan seperlunya pada nutrien yang
terdapat di sekitarnya yang memungkinkan
nutrien tersebut memasuki sel. Proses yang
tejadi pada jamur yang tumbuh pada bahan
lignoselulosa
mengeluarkan
enzim
ekstraselular yang akan mendegradasi bahan
tersebut sebagai sumber nutrisinya. Bahan
lignoselulosa yang terdiri dari selulosa,
hemiselulosa, dan lignin merupakan bahan
polimer sehingga enzim yang disekresi oleh
jamur akan mengubah bahan lignoselulosa
menjadi monomernya sehingga lebih mudah
masuk ke dalam sel.
FPP yang hidup pada bahan organik
lignoselulosa
mengeluarkan
enzim
ekstraselular yang dapat mendegradasi bahan
tersebut sebagai nutrisinya, terutama lignin,
sehingga disebut enzim ligninolitik. Terdapat
tiga jenis enzim ligninolitik dalam proses
degradasi lignin yaitu fenol oksidase (lakase),
lignin peroksidase (LiP), dan mangan
peroksidase (MnP). Lakase merupakan enzim
yang mengandung tembaga dan biasa pula
disebut
1,4-benzendiol
oksidase
(EC
1.10.3.2). Lakase umumnya ditemukan pada
tanaman tingkat tinggi dan berbagai
mikroorganisme. Reaksi enzimatik pada
lakase merupakan reaksi oksidasi yang
menghasilkan satu elektron hasil oksidasi
senyawa fenol dan mereduksi oksigen menjadi
air(www.enzymeindia.com/enzymes/laccase.a
sp2006).
Pemanfaatan
lakase
dapat
diaplikasikan pada berbagai bidang industri
antara lain pada proses bioremediasi dan
biodegradasi polutan organik pada tanah
seperti klorofenol (Ahn et al 2002), proses
dekolorinasi dan detoksifikasi pada pewarna
tekstil (Abadulla et al 2000), dan proses
bleaching pada biodelignifikasi pulp industri
kertas (Bourbonnais & Paice 1992).
LiP (EC 1.11.1.14) tidak diproduksi oleh
semua jenis FPP. LiP merupakan enzim yang
mengandung heme dengan potensial redoks
yang tinggi yang membutuhkan dua metabolit
utama agar dapat bekerja. Metabolit tersebut
adalah hidrogen peroksida (H2O2) dan veratril
alkohol yang digunakan sebagai mediator
untuk reaksi redoks (mekanisme ping-pong).
MnP (EC 1.11.1.13) juga merupakan enzim
yang mengandung heme dan menggunakan
H2O2 untuk mengkatalisis oksidasi Mn2+
menjadi Mn3+. MnP memiliki kemampuan
oksidasi baik komponen fenolik maupun non
fenolik senyawa lignin. Walaupun mekanisme
kerjanya sama seperti LiP namun MnP tidak
memiliki kemampuan yang sama untuk
mengoksidasi substansi dengan potensial
redoks yang lebih tinggi.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah isolat Omphalina sp., isolat
Pleurotus ostreatus, kentang, gula pasir,
bubuk agar, akuades, biji jewawut, tandan
kosong kelapa sawit (TKKS), bagas tebu,
dedak padi, CuSO4 150μM, bufer asetat 0,5 M
pH 5,0, bufer fosfat pH 6,5, bufer Na-laktat
50mM,
2,2-azinobis(3-etilbenztiazoline-6sulfonat) (ABTS) 1mM, guaiakol 4mM, H2O2
1mM dan 5mM, MnSO4 1mM, bufer asetat
0,05M pH 5,0, dan veratril alkohol 8mM.
Alat yang digunakan yaitu laminar air
flow cabinet, sentrifus Eppendorf 5417R,
autoklaf, spektrofotometer UV-Vis, tabung
Eppendorf, pH meter, neraca analitik, cawan
Petri, botol media, pipet volumetrik,
mikropipet, mortar, pemanas, pengaduk
magnetik, dan peralatan gelas.
Metode
Rancangan Percobaan
Penelitian yang dilakukan menggunakan
model Rancangan Acak Kelompok Lengkap
atau Faktorial RAKL (Mattjik & Sumertajaya
2002). Model linier rancangan ini dituliskan
sebagai berikut:
Yijk = µ + αi + ßj + (αβ)ij + ρk + εijk
Keterangan:
i = 1,2,3,4
j = 1,2
k = 1,2
Yijk : pengamatan pertumbuhan hifa jamur
pada media ke-j yang diberi suplemen
ke-i dari isolat ke-k
µ
: rataan umum
: pengaruh perlakuan suplemen ke-i
αi
ßj : pengaruh media ke-j
(αβ)ij : interaksi antara perlakuan suplemen
ke-i dan media ke-j
ρk : pengaruh isolat ke-k
εijk : pengaruh galat percobaan pada media
ke-j yang diberi suplemen ke-i dari
isolat ke-k
Pembuatan Media Potatoes Dextrose Agar
(PDA) dan Biji Jewawut
Sebanyak 100g kentang dikupas dan
dipotong dadu. Kentang dimasukkan ke dalam
wadah berisi 500mL air kemudian dididihkan.
Ekstrak kentang disaring ke dalam labu
Erlenmeyer kemudian ditambahkan agar 7,5g,
gula pasir 10g, dan air hingga tepat 500mL.
Labu Erlenmeyer ditutup dengan sumbat
kapas dan aluminium foil lalu diautoklaf pada
suhu 1210C selama 15 menit. Media PDA
yang telah disterilisasi dituang ke cawan petri
steril. Penuangan dilakukan di laminar air
flow cabinet secara aseptik. Setelah dituang ke
cawan petri, media dibiarkan hingga padat.
Sebanyak 1kg biji jewawut dididihkan
hingga biji jewawut pecah. Setelah mendidih
biji jewawut ditiriskan dan diisi ke dalam
botol media hingga setengah penuh. Botol
ditutup dengan kertas lalu diautoklaf pada
suhu 1210C selama 15 menit.
Peremajaan dan Pembuatan Inokulum
Isolat Omphalina sp. dan P. ostreatus yang
telah tersedia di media PDA dipotong dadu
dan dipindahkan 2 potong ke dalam media
PDA secara aseptik. Masing-masing isolat
dikulturkan pada 7 media PDA. Setelah
selesai, cawan petri ditutup dengan parafilm
dan diinkubasi selama satu minggu.
Fungi yang telah tumbuh setelah
diinkubasi kemudian dipindahkan lagi ke
dalam media biji jewawut steril. Isolat fungi
pada PDA dipotong dadu, kemudian
dipindahkan 2-3 potong ke dalam media biji
jewawut secara aseptik. Setiap isolat fungi
dikulturkan dalam 24 media biji jewawut.
Setelah selesai, media biji jewawut lalu
diinkubasi selama 1-2 minggu untuk
menumbuhkan miselium fungi.
Pembuatan Media TKKS dan Bagas Tebu
Sebanyak 500 gram TKKS dan 500 gram
bagas tebu yang telah dipotong ditimbang
pada wadah yang berbeda, kemudian
dikondisikan sesuai perlakuan yang akan
diberikan. Perlakuan yang diberikan yaitu
penambahan suplemen CuSO4, dedak, CuSO4
dan dedak, serta tanpa suplemen CuSO4 dan
dedak (kontrol). Sebanyak 0,0119 gram
CuSO4 dilarutkan dalam 500 mL air kemudian
dicampurkan dengan media TKKS dan bagas
tebu pada wadah yang berbeda lalu diaduk
rata. Media yang telah bercampur dengan
CuSO4 kemudian dimasukkan ke dalam
plastik tahan panas lalu ditutup dengan cincin
pipa, diikat dengan karet gelang, disumbat
dengan kapas, dan ditutup dengan kertas.
Perlakuan kedua adalah perlakuan dengan
penambahan dedak dengan menggunakan
dedak padi 15%. Sebanyak 150 gram dedak
dicampur ke dalam media TKKS dan bagas
tebu lalu ditambahkan 500 mL air dan diaduk
rata. Media kemudian dimasukkan ke dalam
plastik tahan panas lalu ditutup dengan cincin
pipa, diikat dengan karet gelang, disumbat
dengan kapas, dan ditutup dengan kertas.
Perlakuan ketiga adalah TKKS dan bagas
tebu diberi penambahan CuSO4 dan dedak.
Sebanyak 0,0119 gram CuSO4 dilarutkan
dalam 500 mL air, sedangkan untuk dedak
sebanyak 150 gram dicampur ke dalam media
TKKS dan bagas tebu lalu ditambahkan 500
mL air dan diaduk rata bersama larutan
CuSO4 tadi. Setelah tercampur rata media
kemudian dimasukkan ke dalam plastik tahan
panas lalu ditutup dengan cincin pipa, diikat
dengan karet gelang, disumbat dengan kapas,
dan ditutup dengan kertas.
Sebagai kontrol pertumbuhan perlakuan
yang diberikan yaitu media tidak diberi
penambahan suplemen. Media TKKS dan
bagas tebu dicampur dengan 500 mL air,
diaduk rata, kemudian dimasukkan ke dalam
plastik tahan panas lalu ditutup dengan cincin
pipa, diikat dengan karet gelang, disumbat
dengan kapas, dan ditutup dengan kertas.
Seluruh media kemudian disterilisasi di
autoklaf 30 menit 121ºC. Untuk setiap
perlakuan pada dua jenis media yang
digunakan (TKKS dan bagas tebu) dilakukan
3 kali ulangan.
Penanaman Isolat Fungi pada Media
TKKS dan Bagas Tebu
Dua biakan fungi yang telah tumbuh pada
media biji jewawut diaduk lalu diambil 10
gram dan diinokulasi secara aseptik ke dalam
media TKKS dan bagas tebu untuk setiap
perlakuan. Setelah dilakukan penanaman
kedua jenis fungi pada seluruh media akan
diperoleh 48 bag log, 24 media untuk
P.ostreatus dan 24 lainnya untuk Omphalina
sp. Biakan jamur dalam bag log kemudian
diinkubasi selama 3 bulan hingga miselium
tumbuh merata. Pertumbuhan miselium
diamati setiap bulan selama periode inkubasi.
Ekstraksi Enzim
Biakan fungi yang telah tumbuh pada
media bagas dan TKKS setelah diinkubasi 2-3
bulan diambil 20 gram, kemudian digerus di
dalam mortar bersama 10 mL bufer fosfat pH
7. Setelah halus, dimasukkan ke tabung
Eppendorf dan disentrifus dengan kecepatan
5000 rpm selama 10 menit dengan suhu 04ºC. Supernatan dipisahkan dari pelet lalu
dimasukkan ke tabung Eppendorf yang lain.
Jika supernatan yang diperoleh masih keruh
dilakukan sentrifus lagi hingga diperoleh
supernatan yang jernih/bebas kotoran.
Supernatan yang diperoleh merupakan ekstrak
kasar enzim yang kemudian akan dianalisis
aktivitas enzimnya dengan variasi pH (5, 6,
dan 7) untuk setiap pengukuran.
Analisis Aktivitas Enzim
Aktivitas Lakase (Buswell et al 1995
dalam Fitria 2005)
Larutan sampel yang akan dianalisis
dibuat dengan 0,4 mL filtrat enzim
dicampur dengan 0,5 mL bufer asetat 0,5
M pH 5/pH 6/pH 7 dan 0,1 mL ABTS 1
mM. Campuran ini dimasukkan ke dalam
kuvet kemudian dikocok. Setelah dikocok
larutan diukur absorbannya pada panjang
gelombang 420 nm dengan interval waktu
0-30 menit. Aktivitas enzim diukur
berdasarkan persamaan berikut (Fitria
2005)
Aktivitas Enzim (U/mL) =
(At - Ao) x Vtotal (mL) x 109
εmaks x d x Venzim (mL) x t
εmaks = absorptivitas molar ABTS (36000
M-1 cm-1)
d = tebal kuvet (cm)
Satu unit aktivitas lakase didefinisikan
sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi 1 nmol ABTS per
menit.
Aktivitas Lignin Peroksidase (LiP)
(Tien & Kirk 1984 dalam Fitria 2005)
Sebanyak 0,2 mL filtrat enzim, 0,05
mL H2O2 5 mM, 0,1 mL veratril alkohol 8
mM, 0,2 mL bufer asetat 0,05 M pH 5/pH
6/pH 7, dan 0,45 mL akuades dimasukkan
ke dalam kuvet kemudian dikocok.
Larutan tersebut dibaca absorbannya pada
panjang gelombang 310 nm pada interval
waktu 0-30 menit. Aktivitas enzim diukur
berdasarkan persamaan berikut (Fitria
2005).
Aktivitas Enzim (U/mL) =
(At - Ao) x Vtotal (mL) x 109
εmaks x d x Venzim (mL) x t
εmaks = absorptivitas molar veratril alkohol
(9300 M-1 cm-1)
d = tebal kuvet (cm)
Satu unit LiP didefinisikan sebagai banyak
enzim yang mengoksidasi 1 nmol substrat
per menit.
Aktivitas Mangan Peroksidase (MnP)
(Kofujita et al 1992 dalam Fitria 2005)
Sebanyak 0,1 mL bufer Na-laktat 50
mM pH 5/pH 6/pH 7, 0,1 mL H2O2 1 mM,
0,2 mL MnSO4 1 mM, 0,1 mL guaiakol 4
mM, dan 0,3 mL akuades (campuran A)
dimasukkan ke dalam kuvet berisi 0,2 mL
filtrat enzim. Larutan ini dikocok lalu
diukur
absorbannya
pada
panjang
gelombang 465 nm dengan interval waktu
0-30 menit. Pengukuran aktivitas MnP
diperoleh dengan melakukan reaksi
dengan komposisi pereaksi yang sama
dengan campuran A hanya saja tanpa
penambahan MnSO4, sehingga akuades
yang ditambahkan pada reaksi ini
sebanyak 0,5 mL (campuran B). Larutan
ini kemudian diukur absorbannya pada
panjang gelombang 465 nm dengan
interval waktu 0-30 menit. Aktivitas enzim
diukur berdasarkan persamaan berikut
(Fitria 2005).
Aktivitas Enzim (U/mL) =
(At - Ao) x Vtotal (mL) x 109
εmaks x d x Venzim (mL) x t
εmaks = absorptivitas molar guaiakol
(12100 M-1 cm-1)
d = tebal kuvet (cm)
Aktivitas MnP setiap unit = Aktivitas
enzim A – Aktivitas enzim B
Satu unit MnP sebanding dengan 1 nmol
produk yang dihasilkan per menit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Miselium FPP
Tahap awal penelitian ini adalah
peremajaan isolat murni FPP dari stok yang
tersedia pada media PDA. Peremajaan isolat
dilakukan dengan menumbuhkan pada media
PDA. Selanjutnya dilakukan pembuatan
inokulum dengan menumbuhkan pada media
biji jewawut. Peremajaan pada media PDA
dilakukan selama 1 minggu hingga miselium
tumbuh menutupi seluruh permukaan media
agar. Hasil peremajaan kedua isolat jamur
pada media PDA (Gambar 4) menunjukkan
isolat Omphalina sp. tumbuh lebih cepat
dengan produksi miselium yang lebih banyak
dibandingkan dengan isolat P.ostreatus.
Setelah miselium tumbuh menutupi media
agar, isolat kemudian diinokulasi ke dalam
media biji jewawut.
Hasil pertumbuhan isolat pada media biji
jewawut (Gambar 5) menunjukkan miselium
tumbuh banyak dan sangat kompak.
Kecepatan pertumbuhan miselium kedua
jamur pada media biji jewawut berbeda.
Berdasarkan pengamatan miselium isolat
Omphalina sp. tumbuh lebih cepat dan
menyelimuti seluruh media biji jewawut
dalam waktu inkubasi 1 minggu sedangkan
miselium P.ostreatus tumbuh lebih lambat,
membutuhkan waktu inkubasi 2 minggu
hingga miselium menyelimuti seluruh media
biji jewawut. Berdasarkan pengamatan
pertumbuhan miselia fungi di media PDA dan
biji jewawut dapat dibedakan juga struktur
miselia. Miselium tumbuh lebih kompak pada
media biji jewawut dibandingkan dengan
PDA. Hal ini dapat disebabkan dalam biji
jewawut terkandung cadangan lemak yang
berguna untuk pertumbuhan biji. Cadangan
lemak ini dapat digunakan oleh fungi sebagai
sumber nutrisi, terutama sumber karbon,
untuk mendukung pertumbuhannya yang akan
mendorong semakin banyaknya miselium
yang tumbuh pada media biji jewawut
dibandingkan dengan PDA.
Setelah miselium tumbuh merata pada
media biji jewawut, isolat diinokulasi ke
media pertumbuhan dengan substrat utama
berupa TKKS dan bagas tebu. Bag log yang
digunakan tingginya 18cm dan berat bersih
media yang digunakan sebesar 500 gram.
Media pertumbuhan yang digunakan telah
dikondisikan sesuai perlakuan yang diberikan
yaitu penambahan CuSO4, dedak, atau
campuran CuSO4 dan dedak, serta perlakuan
kontrol. Isolat kemudian diinkubasi selama
tiga bulan. Selama periode inkubasi dilakukan
pengamatan pertumbuhan miselium pada
media TKKS dan bagas tebu. Pengamatan
dilakukan setiap bulan selama tiga bulan masa
inkubasi. Parameter yang diamati yaitu tinggi
pertumbuhan miselium pada setiap bag log.
Pengukuran tinggi pertumbuhan miselium
dimulai pada batas atas media pertumbuhan
hingga batas akhir pertumbuhan miselium
pada media.
(a)
(b)
Gambar 4 Pertumbuhan miselium pada PDA
isolat Omphalina sp. (a) dan
P.ostreatus (b)
0,2 mL MnSO4 1 mM, 0,1 mL guaiakol 4
mM, dan 0,3 mL akuades (campuran A)
dimasukkan ke dalam kuvet berisi 0,2 mL
filtrat enzim. Larutan ini dikocok lalu
diukur
absorbannya
pada
panjang
gelombang 465 nm dengan interval waktu
0-30 menit. Pengukuran aktivitas MnP
diperoleh dengan melakukan reaksi
dengan komposisi pereaksi yang sama
dengan campuran A hanya saja tanpa
penambahan MnSO4, sehingga akuades
yang ditambahkan pada reaksi ini
sebanyak 0,5 mL (campuran B). Larutan
ini kemudian diukur absorbannya pada
panjang gelombang 465 nm dengan
interval waktu 0-30 menit. Aktivitas enzim
diukur berdasarkan persamaan berikut
(Fitria 2005).
Aktivitas Enzim (U/mL) =
(At - Ao) x Vtotal (mL) x 109
εmaks x d x Venzim (mL) x t
εmaks = absorptivitas molar guaiakol
(12100 M-1 cm-1)
d = tebal kuvet (cm)
Aktivitas MnP setiap unit = Aktivitas
enzim A – Aktivitas enzim B
Satu unit MnP sebanding dengan 1 nmol
produk yang dihasilkan per menit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Miselium FPP
Tahap awal penelitian ini adalah
peremajaan isolat murni FPP dari stok yang
tersedia pada media PDA. Peremajaan isolat
dilakukan dengan menumbuhkan pada media
PDA. Selanjutnya dilakukan pembuatan
inokulum dengan menumbuhkan pada media
biji jewawut. Peremajaan pada media PDA
dilakukan selama 1 minggu hingga miselium
tumbuh menutupi seluruh permukaan media
agar. Hasil peremajaan kedua isolat jamur
pada media PDA (Gambar 4) menunjukkan
isolat Omphalina sp. tumbuh lebih cepat
dengan produksi miselium yang lebih banyak
dibandingkan dengan isolat P.ostreatus.
Setelah miselium tumbuh menutupi media
agar, isolat kemudian diinokulasi ke dalam
media biji jewawut.
Hasil pertumbuhan isolat pada media biji
jewawut (Gambar 5) menunjukkan miselium
tumbuh banyak dan sangat kompak.
Kecepatan pertumbuhan miselium kedua
jamur pada media biji jewawut berbeda.
Berdasarkan pengamatan miselium isolat
Omphalina sp. tumbuh lebih cepat dan
menyelimuti seluruh media biji jewawut
dalam waktu inkubasi 1 minggu sedangkan
miselium P.ostreatus tumbuh lebih lambat,
membutuhkan waktu inkubasi 2 minggu
hingga miselium menyelimuti seluruh media
biji jewawut. Berdasarkan pengamatan
pertumbuhan miselia fungi di media PDA dan
biji jewawut dapat dibedakan juga struktur
miselia. Miselium tumbuh lebih kompak pada
media biji jewawut dibandingkan dengan
PDA. Hal ini dapat disebabkan dalam biji
jewawut terkandung cadangan lemak yang
berguna untuk pertumbuhan biji. Cadangan
lemak ini dapat digunakan oleh fungi sebagai
sumber nutrisi, terutama sumber karbon,
untuk mendukung pertumbuhannya yang akan
mendorong semakin banyaknya miselium
yang tumbuh pada media biji jewawut
dibandingkan dengan PDA.
Setelah miselium tumbuh merata pada
media biji jewawut, isolat diinokulasi ke
media pertumbuhan dengan substrat utama
berupa TKKS dan bagas tebu. Bag log yang
digunakan tingginya 18cm dan berat bersih
media yang digunakan sebesar 500 gram.
Media pertumbuhan yang digunakan telah
dikondisikan sesuai perlakuan yang diberikan
yaitu penambahan CuSO4, dedak, atau
campuran CuSO4 dan dedak, serta perlakuan
kontrol. Isolat kemudian diinkubasi selama
tiga bulan. Selama periode inkubasi dilakukan
pengamatan pertumbuhan miselium pada
media TKKS dan bagas tebu. Pengamatan
dilakukan setiap bulan selama tiga bulan masa
inkubasi. Parameter yang diamati yaitu tinggi
pertumbuhan miselium pada setiap bag log.
Pengukuran tinggi pertumbuhan miselium
dimulai pada batas atas media pertumbuhan
hingga batas akhir pertumbuhan miselium
pada media.
(a)
(b)
Gambar 4 Pertumbuhan miselium pada PDA
isolat Omphalina sp. (a) dan
P.ostreatus (b)
(a)
(b)
Gambar 5 Pertumbuhan miselium pada media
biji jewawut isolat Omphalina sp.
(a) dan P.ostreatus (b)
Berdasarkan data terlihat isolat Omphalina sp.
baik pada TKKS dan bagas tebu.
Pertimbuhannya cenderung lebih baik pada
bulan pertama hingga bulan ketiga masa
inkubasi dibandingkan dengan P.ostreatus.
Data tersebut menunjukkan Omphalina sp.
dapat memanfaatkan sumber nitrogen dan
karbon lebih efektif dibanding P.ostreatus
sehingga pertumbuhan miselium lebih baik
(Tabel 1).
Bulan
pertama
masa
inkubasi
menunjukkan miselium tumbuh lebih baik
pada media yang diberi dedak dan perlakuan
kontrol, sedangkan pada perlakuan CuSO4 dan
campuran CuSO4 dan dedak, miselium
cenderung tumbuh lebih lambat dibandingkan
dengan dua perlakuan lainnya. Hasil ini sama
dengan
penelitian
lainnya
yang
menyebutkan miselium tumbuh dengan baik
pada media yang diberi dedak, yang
disebabkan dedak memiliki kandungan karbon
dan nitrogen yang tinggi (Yuniawati 2006).
Selain merupakan sumber nitrogen dedak juga
mengandung tiamin yang merupakan salah
satu vitamin yang dibutuhkan dalam
pertumbuhan miselium (Tominaga 1978).
Pertumbuhan miselium pada bulan kedua
dan bulan ketiga terus menunjukkan
peningkatan pada kedua isolat fungi di setiap
media tumbuh. Pada perlakuan penambahan
CuSO4 dan campuran CuSO4 dan dedak
pertumbuhan
miselium
lebih
rendah
dibanding perlakuan dedak. Hal ini berbeda
dengan penelitian lain dari Palmieri et al
(1999) menyebutkan pada isolat P.ostreatus,
Cu adalah penyokong aktivitas lakase.
Hasil uji Duncan pada data pertumbuhan
miselium di bulan ketiga menunjukkan tidak
ada perbedaan nyata antara perlakuan kontrol
dan dedak terhadap pertumbuhan miselium,
namun kelompok ini menunjukkan perbedaan
nyata dengan perlakuan CuSO4 dan campuran
CuSO4 dan dedak. Ditinjau berdasarkan data
pertumbuhan miselium dan analisis statistika
dapat dikatakan bahwa perlakuan kontrol
menunjukkan pertumbuhan miselium lebih
baik, terutama pada isolat P.ostreatus yang
menunjukkan rata-rata pertumbuhan miselium
pada bag log kontrol lebih baik dibandingkan
dengan perlakuan lain, sehingga tidak
diperlukan dedak, CuSO4 maupun campuran
CuSO4 dan dedak untuk menunjang
pertumbuhan miselium FPP. Ditilik dari segi
ekonomi, hal ini menguntungkan sebab fungi
dapat tumbuh dengan baik namun biaya
produksi dapat ditekan.
Data yang diperoleh juga menunjukkan
bahwa perlakuan CuSO4 dan campuran
CuSO4 dan dedak cenderung menghambat
pertumbuhan fungi. Hal ini terlihat dengan
rendahnya pertumbuhan miselium di bulan
pertama dan kedua dibandingkan dengan
perlakuan kontrol. Pada bulan ketiga
pertumbuhan miselium pada perlakuan CuSO4
dan campuran CuSO4 dan dedak menunjukkan
peningkatan yang signifikan dari bulan
sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan daya
hambat suplemen yang diberikan telah
berkurang atau sudah tidak menghambat sama
sekali sehingga pertumbuhan miselium lebih
baik.
Apabila media pertumbuhan dibandingkan
dari data Tabel 1, terlihat bahwa media
pertumbuhan bagas tebu lebih baik dalam
mendukung
pertumbuhan
miselium
dibandingkan dengan TKKS. Hal ini terlihat
dari pertumbuhan miselium Omphalina sp.
pada perlakuan kontrol TKKS dan bagas tebu
masing-masing 14,67 cm dan 15,00 cm,
begitu pula pada perlakuan lainnya. Berbeda
dengan isolat Omphalina sp., isolat
P.ostreatus
menunjukkan
pertumbuhan
miseliumnya lebih baik pada media TKKS
dibandingkan dengan media bagas tebu. Hal
ini ditunjukkan pada media yang diberi dedak
dan campuran CuSO4 dan dedak. Ini berarti
sumber karbon dan nitrogen yang diperlukan
fungi untuk aktivitas metabolisme dan
pertumbuhan miselium lebih banyak terdapat
pada media TKKS dengan kandungan lignin
yang lebih tinggi yaitu 28,54% (Santosa 1993)
dibanding bagas tebu sebesar 22,09%.
Selain menguraikan lignin, FPP juga
mampu menguraikan selulosa sehingga
semakin banyak kandungan lignin dan
selulosa pada media pertumbuhan, miselium
yang tumbuh juga lebih banyak. Kandungan
selulosa pada bagas tebu lebih tinggi yaitu
Tabel 1 Pertumbuhan miselium FPP
Isolat
Media
Perlakuan
Omphalina sp.
Omphalina sp.
Omphalina sp.
Omphalina sp.
Omphalina sp.
Omphalina sp.
Omphalina sp.
Omphalina sp.
P. ostreatus
P. ostreatus
P. ostreatus
P. ostreatus
P. ostreatus
P. ostreatus
P. ostreatus
P. ostreatus
TKKS
TKKS
TKKS
TKKS
Bagas
Bagas
Bagas
Bagas
TKKS
TKKS
TKKS
TKKS
Bagas
Bagas
Bagas
Bagas
Kontrol
Dedak
CuSO4
CuSO4 + Dedak
Kontrol
Dedak
CuSO4
CuSO4 + Dedak
Kontrol
Dedak
CuSO4
CuSO4 + Dedak
Kontrol
Dedak
CuSO4
CuSO4 + Dedak
Rata-rata pertumbuhan miselium (cm)
Bulan ke-1
Bulan ke-2
Bulan ke-3
5,67a
13,33a
14,67a
a
a
7,67
12,33
14,67a
3,67b
6,33b
12,00b
14,00b
5,33a
8,67b
12,00a
15,00a
4,33a
11,33a
15,00a
6,33a
2,67b
6,67b
14,00b
4,00a
7,67b
14,67b
13,33a
15,00a
6,33a
12,00a
14,67a
4,33a
3,33b
7,33b
13,33b
2,33b
8,33b
13,67b
11,33a
15,00a
4,00a
11,33a
14,33a
4,00a
3,33b
9,00b
13,33b
8,00b
13,33b
2,67b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan
(P