POSISI FIRASAT DALAM PENETAPAN HUKUM
DIRASAH ISLAMIYAH
POSISI FIRASAT
DALAM PENETAPAN HUKUM
ISMAIL THAIB
Firasat itu tumbuh dari kedekatan
seseorang terhadap Allah. Sebab, saat hati
dekat kepada Allah, maka terputuslah
berbagai iming-iming keburukan yang
menghalangi hati mencapai kebenaran
yang ditemukannya dari cermin kedekatan
dengan Allah SwT. Dalam nur atau cahaya
itu, ia melihat apa yang tidak dapat dilihat
orang yang jauh dan terhalang.
Dalam Hadits Qudsi yang diriwayatkan
al-Bukhari dari Abu Hurairah, Nabi saw
bersabda:
htt
p:/
/w
w
w.
pd
fsp
“Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Kami – bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda”.
Sahabat Ibnu Abbas dan kebanyakan
para mufassir/ilmu Al-Qur’an mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan perkataan
” dalam firman tersebut
“Senantiasa hamba-Ku mendekatkan
kepada-Ku dengan berbagai kesunahan,
sehingga aku mencintainya. Bila aku
mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengan
pendengaran itu, dan menjadi penglihatannya yang dia melihat dengan penglihatan itu dan menjadi tangannya yang dia
memukul dengannya dan kakinya yang
dia berjalan dengannya. DenganKu ia
mendengar, denganKu ia melihat, denganKu ia minta perlindunganKu. Aku sungguh
akan memberikan kepadanya dan bila ia
mohon perlindunganKu, Aku sungguh
akan melindunginya” (H.R. Al-Bukhari)
Dalam Hadits tersebut, Allah menerangkan bahwa saat seorang hamba dekat
kepada-Nya, ia akan mendapat manfaat
dari cinta Allah kepada dirinya. Bila Allah
mencintainya, berarti ia dekat dengan
De
mo
(
adalah orang-orang berfirasat. Dalam
Hadits yang diriwayatkan Imam atTurmudzi dari Abu Sa’id al-Khudri,
Rasulullah bersabda:
Vi
sit
“
“Takutlah kalian pada firasat orang
Mukmin, karena dia melihat dengan
cahaya Allah” (H.R. At-Turmudzi)
Firasat yang benar dianugerahkan
Allah kepada orang yang hatinya sudah
bersih, suci, bebas dari noda dan dekat
kepada Allah SwT. Ia melihat dengan cahaya Allah yang masuk ke dalam hatinya,
dan ini sangat berbeda dengan apa yang
disebut “dhan”, sangkaan atau dugaan. Sebuah dugaan bisa benar dan bisa salah.
Bahkan, Al-Qur’an mengajarkan supaya
kita menjauhkan prasangka atau dugaan,
karena sebagian dari prasangka atau
dugaan itu mengandung dosa.
22
25 MUHARAM - 9 SHAFAR 1432 H
pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya, sehingga ia dapat mendengar, melihat, kakinya dan berjalan dengannya. Hatinya laksana cermin yang bersih dapat
memantulkan bentuk suatu substansi apa
adanya. Maka, hampir dapat dikatakan
bahwa firasatnya tidak pernah meleset. Ini
bukan ilmu ghaib, akan tetapi Allah yang
mengetahui keghaiban telah menanamkan
kebenaran dalam hati sanubarinya, bukan
karena lukisan kebatinan, illusi, dan godaan
dari setan.
Di dalam shalatnya, Rasulullah saw melihat para sahabat yang berada di belakang
beliau sebagaimana mereka di depan beliau. Rasulullah dapat melihat dengan jelas
Baitul Maqdis di Palestina, sedangkan beliau berada di Makkah. Beliau melihat istana
di Syria (Syam), gerbang kota Shan’a dan
ibukota Kisra di Persia, sementara beliau
berada di kota Madinah sedang menggali
lobang (dalam perang Khandak). Rasulullah melihat para sahabat/pejabatnya di
Muktah tengah mendapat musibah, bahkan beliau melihat kematian Najasi di Ethiopia dan mengajak umat Islam untuk shalat
ghaib baginya. Demikian tulis Ibnul Qayyim
al-Jauziyah dalam kitab al-Firasat Nafisah
Baina Shifatin Nafsi at-Taiyyibah wa alKhalisah.
Khalifah Umar dapat melihat gerak pasukan Islam yang sedang bertempur dengan musuh di Nahawand (Persia), sedangkan beliau sedang berdiri di atas mimbar masjid Madinah, memberi komando
dengan ucapannya, “Hai pasukan, ke gunung-gunung!” Umar memperingatkan
akan posisi gunung di belakang mereka.
Pada suatu hari, Umar bin Khaththab
dihadang oleh sekelompok orang dari suku
Madhaj yang di antara mereka terdapat
seorang yang bernama Astar an-Nakhaiy.
Umar mengedarkan pandangan dan ber-
litm
erg
er.
co
m)
P
erkataan “firasat” adalah pecahan
dari kata “farasa” yang mengandung makna “menerkam” atau
“memburu.” Di kalangan ahli ilmu, firasat
adalah “suara batin yang masuk ke dalam
hati atau pancaran cahaya yang memancar
ke dalam hati dan meniadakan kontradiksi
dan bisa berbicara dengan hati makhluk.”
Di dalam Al-Qur’an pada surat Al-Hijr
(15) ayat 75, Allah berfirman:
DIRASAH ISLAMIYAH
rintahkan supaya orang itu dihukum dan
dimasukkan dalam penjara. Namun, sahabat Ali bin Abi Thalib mencegahnya dan
berkata kepada khalifah Umar, bahwa
orang itu benar dan tidak salah. Jawab
Umar, “Engkau mengatakan orang itu tidak
salah dan membenarkannya?” Ali menjawab: “Orang itu mencintai harta dan anak,
padahal Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Sungguh harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah”. Ia membenci kematian,
bahwa kematian adalah sesuatu yang hak.
Dan ia bersaksi bahwa Nabi Muhammad
saw adalah utusan Allah, sedangkan ia tidak
pernah melihat atau bertemu dengan
beliau.” Mendengar penjelasan sahabat Ali,
maka Umar segera menyuruh bebaskan
laki-laki itu dan dengan kagum beliau
berkata: “Allah Maha Tahu bagaimana dia
mendapatkan risalahnya.”
Inilah suatu bentuk firasat, yakni cahaya
yang dimasukkan Allah SwT ke dalam hati,
sehingga sesuatu terlintas padanya, kemudian mengalir ke mata. Ia dapat melihat
apa yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.
Hanya perlu diwaspadai, di samping istilah
firasat ada pula perilaku yang sering dilakukan oleh kalangan sufi apa yang disebut
dengan istilah “syatahat sufiyah”, yaitu
ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan
yang pada lahirnya berlawanan dengan
ketentuan syari’at. Contoh-contohnya terdapat dalam kitab-kitab Tasawuf. Jika anda
ingin tahu lebih mendalam bacalah kitab
Madarijus Salikin dan al-Firasat karangan
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Ihya Ulumuddin
karangan al-Ghazali dan al-Futuhat alMakkiah serta Fususul Hikam karangan
Muhyiddin Ibnu Arabi.l
Vi
sit
htt
p:/
/w
w
w.
pd
fsp
litm
erg
er.
co
m)
(wali) wanita itu: “Apakah aku boleh mengajukan permintaan kepada wanita ini?”
Mereka menjawab, “Ya, tentu saja boleh.”
Lalu, Ali berkata: “Wahai hadirin, saksikanlah bahwa aku menikahkan anak ini
dengan wanita yang bukan mahramnya!
Wahai Qambur, ambillah sekantong dirham!” Qambur membawa dirham itu kepada Ali dan menghitungnya sebanyak 480
dirham, lalu beliau menyerahkan kepada
wanita itu sebagai mahar dan beliau berkata
kepada anak laki-laki itu, “Bawalah isterimu
itu!” Ali bangkit hendak pergi, lalu wanita
itupun memanggil Ali seraya berkata: “Wahai ayah Hasan, demi Allah, ia (anak itu)
neraka bagiku. Demi Allah dia adalah anakku!” Ali bertanya: “Bagaimana hal itu terjadi?” Wanita itu menjawab: “Ayahnya adalah seorang negro, saudara-saudaraku
menikahkan aku dengannya. Aku mengandung dan sebelum anak itu lahir suamiku pergi berperang hingga terbunuh. Lalu,
aku mengirim anak itu setelah lahir kepada
bani fulan dan dia tumbuh hingga dewasa
di lingkungan mereka, sebab aku merasa
pedih jika ia menjadi anakku.” Maka, Ali
berkata: “Aku ayahnya Hasan, dekatkan
dan dekatkan nasab itu padanya.”
Ini adalah salah satu firasat dari sahabat Ali yang sangat mengagumkan dan sekaligus dipakai dalam rangkaian penetapan
hukum? Diterangkan pula oleh Ibnul Qayyim dalam al-Firasat, bahwa ketika Umar
Ibnul Khaththab bertanya kepada seorang
laki-laki: “Bagaimana dengan diri anda?”
Laki-laki itu menajwab: “(Aku) termasuk
kelompok orang yang mencintai fitnah,
membenci yang hak dan bersaksi atas apa
yang (saya) tidak ketahui.” Umar meme-
De
mo
(
tanya, “Siapakah mereka itu?” Lalu, orang
menjawab, “Ia adalah Malik bin Haris.” Sejenak, kemudian Umar berkata: “Mengapa
orang itu tidak dibunuh saja oleh Allah?
Sungguh karena orang itu suatu hari nanti
kaum Muslimin bakal mengalami hari yang
menyedihkan” (yaitu dengan terjadinya
pembunuhan atas Usman bin Affan dan
perang Unta (Jamal).
Diriwayatkan oleh Muhammad bin
Abdullah bin Abi Rafi’, seperti dikutip Ibnul
Qayyim al-Jauziyah dalam al-Firasat, bahwa seorang anak dari kaum Anshar mengadukan seorang wanita sebagai ibunya
kepada Umar bin Khaththab. Namun wanita
itu mengingkari apa yang diadukan anak
itu. Lalu Umar meminta bukti kepada anak
itu, tetapi anak tersebut tidak sanggup membuktikannya. Sedang wanita itu sanggup
mendatangkan saksi beberapa orang
untuk menguatkan bantahannya itu bahwa
ia belum menikah. Lalu Umar ingin memberi hukuman kepada anak itu karena dianggap berbohong. Tetapi, kemudian sahabat Ali bin Abi Thalib mengetahui hal itu dan
menanyakan ulang kepada orang-orang
yang menyaksikan peristiwa itu, lalu beliau
duduk di Masjid Nabi saw dan menanyakan kembali wanita itu. Namun, wanita tersebut tetap mengingkari. Lalu Ali bin Abi
Thalib bertanya kepada anak itu, apakah
juga ayahmu mengingkarinya? Anak itu
menjawab: “Wahai anak paman Rasulullah, ia itu benar ibuku. Kemudian, Ali berkata: “Lupakanlah ia, karena saat ini aku
adalah ayahmu, dan Hasan, Husen adalah
saudaramu.” Lalu, anak itu menjawab:
“Aku lupakan ia dan mengingkarinya.” Kemudian, Ali bertanya kepada para saksi
SUARA MUHAMMADIYAH 01 / 96 | 1 - 15 JANUARI 2011
23
POSISI FIRASAT
DALAM PENETAPAN HUKUM
ISMAIL THAIB
Firasat itu tumbuh dari kedekatan
seseorang terhadap Allah. Sebab, saat hati
dekat kepada Allah, maka terputuslah
berbagai iming-iming keburukan yang
menghalangi hati mencapai kebenaran
yang ditemukannya dari cermin kedekatan
dengan Allah SwT. Dalam nur atau cahaya
itu, ia melihat apa yang tidak dapat dilihat
orang yang jauh dan terhalang.
Dalam Hadits Qudsi yang diriwayatkan
al-Bukhari dari Abu Hurairah, Nabi saw
bersabda:
htt
p:/
/w
w
w.
pd
fsp
“Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Kami – bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda”.
Sahabat Ibnu Abbas dan kebanyakan
para mufassir/ilmu Al-Qur’an mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan perkataan
” dalam firman tersebut
“Senantiasa hamba-Ku mendekatkan
kepada-Ku dengan berbagai kesunahan,
sehingga aku mencintainya. Bila aku
mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengan
pendengaran itu, dan menjadi penglihatannya yang dia melihat dengan penglihatan itu dan menjadi tangannya yang dia
memukul dengannya dan kakinya yang
dia berjalan dengannya. DenganKu ia
mendengar, denganKu ia melihat, denganKu ia minta perlindunganKu. Aku sungguh
akan memberikan kepadanya dan bila ia
mohon perlindunganKu, Aku sungguh
akan melindunginya” (H.R. Al-Bukhari)
Dalam Hadits tersebut, Allah menerangkan bahwa saat seorang hamba dekat
kepada-Nya, ia akan mendapat manfaat
dari cinta Allah kepada dirinya. Bila Allah
mencintainya, berarti ia dekat dengan
De
mo
(
adalah orang-orang berfirasat. Dalam
Hadits yang diriwayatkan Imam atTurmudzi dari Abu Sa’id al-Khudri,
Rasulullah bersabda:
Vi
sit
“
“Takutlah kalian pada firasat orang
Mukmin, karena dia melihat dengan
cahaya Allah” (H.R. At-Turmudzi)
Firasat yang benar dianugerahkan
Allah kepada orang yang hatinya sudah
bersih, suci, bebas dari noda dan dekat
kepada Allah SwT. Ia melihat dengan cahaya Allah yang masuk ke dalam hatinya,
dan ini sangat berbeda dengan apa yang
disebut “dhan”, sangkaan atau dugaan. Sebuah dugaan bisa benar dan bisa salah.
Bahkan, Al-Qur’an mengajarkan supaya
kita menjauhkan prasangka atau dugaan,
karena sebagian dari prasangka atau
dugaan itu mengandung dosa.
22
25 MUHARAM - 9 SHAFAR 1432 H
pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya, sehingga ia dapat mendengar, melihat, kakinya dan berjalan dengannya. Hatinya laksana cermin yang bersih dapat
memantulkan bentuk suatu substansi apa
adanya. Maka, hampir dapat dikatakan
bahwa firasatnya tidak pernah meleset. Ini
bukan ilmu ghaib, akan tetapi Allah yang
mengetahui keghaiban telah menanamkan
kebenaran dalam hati sanubarinya, bukan
karena lukisan kebatinan, illusi, dan godaan
dari setan.
Di dalam shalatnya, Rasulullah saw melihat para sahabat yang berada di belakang
beliau sebagaimana mereka di depan beliau. Rasulullah dapat melihat dengan jelas
Baitul Maqdis di Palestina, sedangkan beliau berada di Makkah. Beliau melihat istana
di Syria (Syam), gerbang kota Shan’a dan
ibukota Kisra di Persia, sementara beliau
berada di kota Madinah sedang menggali
lobang (dalam perang Khandak). Rasulullah melihat para sahabat/pejabatnya di
Muktah tengah mendapat musibah, bahkan beliau melihat kematian Najasi di Ethiopia dan mengajak umat Islam untuk shalat
ghaib baginya. Demikian tulis Ibnul Qayyim
al-Jauziyah dalam kitab al-Firasat Nafisah
Baina Shifatin Nafsi at-Taiyyibah wa alKhalisah.
Khalifah Umar dapat melihat gerak pasukan Islam yang sedang bertempur dengan musuh di Nahawand (Persia), sedangkan beliau sedang berdiri di atas mimbar masjid Madinah, memberi komando
dengan ucapannya, “Hai pasukan, ke gunung-gunung!” Umar memperingatkan
akan posisi gunung di belakang mereka.
Pada suatu hari, Umar bin Khaththab
dihadang oleh sekelompok orang dari suku
Madhaj yang di antara mereka terdapat
seorang yang bernama Astar an-Nakhaiy.
Umar mengedarkan pandangan dan ber-
litm
erg
er.
co
m)
P
erkataan “firasat” adalah pecahan
dari kata “farasa” yang mengandung makna “menerkam” atau
“memburu.” Di kalangan ahli ilmu, firasat
adalah “suara batin yang masuk ke dalam
hati atau pancaran cahaya yang memancar
ke dalam hati dan meniadakan kontradiksi
dan bisa berbicara dengan hati makhluk.”
Di dalam Al-Qur’an pada surat Al-Hijr
(15) ayat 75, Allah berfirman:
DIRASAH ISLAMIYAH
rintahkan supaya orang itu dihukum dan
dimasukkan dalam penjara. Namun, sahabat Ali bin Abi Thalib mencegahnya dan
berkata kepada khalifah Umar, bahwa
orang itu benar dan tidak salah. Jawab
Umar, “Engkau mengatakan orang itu tidak
salah dan membenarkannya?” Ali menjawab: “Orang itu mencintai harta dan anak,
padahal Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Sungguh harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah”. Ia membenci kematian,
bahwa kematian adalah sesuatu yang hak.
Dan ia bersaksi bahwa Nabi Muhammad
saw adalah utusan Allah, sedangkan ia tidak
pernah melihat atau bertemu dengan
beliau.” Mendengar penjelasan sahabat Ali,
maka Umar segera menyuruh bebaskan
laki-laki itu dan dengan kagum beliau
berkata: “Allah Maha Tahu bagaimana dia
mendapatkan risalahnya.”
Inilah suatu bentuk firasat, yakni cahaya
yang dimasukkan Allah SwT ke dalam hati,
sehingga sesuatu terlintas padanya, kemudian mengalir ke mata. Ia dapat melihat
apa yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.
Hanya perlu diwaspadai, di samping istilah
firasat ada pula perilaku yang sering dilakukan oleh kalangan sufi apa yang disebut
dengan istilah “syatahat sufiyah”, yaitu
ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan
yang pada lahirnya berlawanan dengan
ketentuan syari’at. Contoh-contohnya terdapat dalam kitab-kitab Tasawuf. Jika anda
ingin tahu lebih mendalam bacalah kitab
Madarijus Salikin dan al-Firasat karangan
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Ihya Ulumuddin
karangan al-Ghazali dan al-Futuhat alMakkiah serta Fususul Hikam karangan
Muhyiddin Ibnu Arabi.l
Vi
sit
htt
p:/
/w
w
w.
pd
fsp
litm
erg
er.
co
m)
(wali) wanita itu: “Apakah aku boleh mengajukan permintaan kepada wanita ini?”
Mereka menjawab, “Ya, tentu saja boleh.”
Lalu, Ali berkata: “Wahai hadirin, saksikanlah bahwa aku menikahkan anak ini
dengan wanita yang bukan mahramnya!
Wahai Qambur, ambillah sekantong dirham!” Qambur membawa dirham itu kepada Ali dan menghitungnya sebanyak 480
dirham, lalu beliau menyerahkan kepada
wanita itu sebagai mahar dan beliau berkata
kepada anak laki-laki itu, “Bawalah isterimu
itu!” Ali bangkit hendak pergi, lalu wanita
itupun memanggil Ali seraya berkata: “Wahai ayah Hasan, demi Allah, ia (anak itu)
neraka bagiku. Demi Allah dia adalah anakku!” Ali bertanya: “Bagaimana hal itu terjadi?” Wanita itu menjawab: “Ayahnya adalah seorang negro, saudara-saudaraku
menikahkan aku dengannya. Aku mengandung dan sebelum anak itu lahir suamiku pergi berperang hingga terbunuh. Lalu,
aku mengirim anak itu setelah lahir kepada
bani fulan dan dia tumbuh hingga dewasa
di lingkungan mereka, sebab aku merasa
pedih jika ia menjadi anakku.” Maka, Ali
berkata: “Aku ayahnya Hasan, dekatkan
dan dekatkan nasab itu padanya.”
Ini adalah salah satu firasat dari sahabat Ali yang sangat mengagumkan dan sekaligus dipakai dalam rangkaian penetapan
hukum? Diterangkan pula oleh Ibnul Qayyim dalam al-Firasat, bahwa ketika Umar
Ibnul Khaththab bertanya kepada seorang
laki-laki: “Bagaimana dengan diri anda?”
Laki-laki itu menajwab: “(Aku) termasuk
kelompok orang yang mencintai fitnah,
membenci yang hak dan bersaksi atas apa
yang (saya) tidak ketahui.” Umar meme-
De
mo
(
tanya, “Siapakah mereka itu?” Lalu, orang
menjawab, “Ia adalah Malik bin Haris.” Sejenak, kemudian Umar berkata: “Mengapa
orang itu tidak dibunuh saja oleh Allah?
Sungguh karena orang itu suatu hari nanti
kaum Muslimin bakal mengalami hari yang
menyedihkan” (yaitu dengan terjadinya
pembunuhan atas Usman bin Affan dan
perang Unta (Jamal).
Diriwayatkan oleh Muhammad bin
Abdullah bin Abi Rafi’, seperti dikutip Ibnul
Qayyim al-Jauziyah dalam al-Firasat, bahwa seorang anak dari kaum Anshar mengadukan seorang wanita sebagai ibunya
kepada Umar bin Khaththab. Namun wanita
itu mengingkari apa yang diadukan anak
itu. Lalu Umar meminta bukti kepada anak
itu, tetapi anak tersebut tidak sanggup membuktikannya. Sedang wanita itu sanggup
mendatangkan saksi beberapa orang
untuk menguatkan bantahannya itu bahwa
ia belum menikah. Lalu Umar ingin memberi hukuman kepada anak itu karena dianggap berbohong. Tetapi, kemudian sahabat Ali bin Abi Thalib mengetahui hal itu dan
menanyakan ulang kepada orang-orang
yang menyaksikan peristiwa itu, lalu beliau
duduk di Masjid Nabi saw dan menanyakan kembali wanita itu. Namun, wanita tersebut tetap mengingkari. Lalu Ali bin Abi
Thalib bertanya kepada anak itu, apakah
juga ayahmu mengingkarinya? Anak itu
menjawab: “Wahai anak paman Rasulullah, ia itu benar ibuku. Kemudian, Ali berkata: “Lupakanlah ia, karena saat ini aku
adalah ayahmu, dan Hasan, Husen adalah
saudaramu.” Lalu, anak itu menjawab:
“Aku lupakan ia dan mengingkarinya.” Kemudian, Ali bertanya kepada para saksi
SUARA MUHAMMADIYAH 01 / 96 | 1 - 15 JANUARI 2011
23