DASAR HUKUM PENETAPAN DALAM PERKARA ITSB

1

DA SA R HUK UM PE NE T A PA N DA L A M PE R K A R A IT SBA T NIK A H
DI PE NGA DIL A N A GA MA DA N MA HK A MA H SY A R IA H
DI INDNE SIA

Nur Moklis
email: nur.moklis1gmail.com

I.

PE NDA HUL UA N
Berbicara tentang nikah sirri, maka sebagian masyarakat akan memahami
sebagai pernikahan yang dirahasiakan oleh dua orang mempelai, wali nikahnya
dan para saksi sehingga masyarakat luas tidak mengetahui telah terjadi peristiwa
pernikahan tersebut, namun mayoritas masyarakat Indonesia memahami nikah sirri
sebagai peristiwa pernikahan yang dilaksanakan menurut ajaran agama yang
dianut dua calon mempelai namun tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang,
bagi seorang muslim adalah K antor Urusan A gama (K UA ) atau bagi yang nonmuslim pada Dinas K ependudukan dan Catatan Sipil. Nikah sirri jenis pertama
jelas dilarang oleh ajaran agama Islam karena bertentangan dengan Hadits Nabi
SA W yang memerintahkan adanya walimah (perayaan pernikahan). Beliau

bersabda: “A dakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya dengan hidangan
kambing”.(HR. Muslim: 2557).1 Dengan adanya walimah tentunya akan terhindar
dari fitnah dan resiko lain yang tidak diinginkan baik untuk mempelai dan
keluarganya. A dapun jenis nikah sirri yang kedua biasa disebut nikah “bawah
tangan” karena pernikahan ini telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan
menurut ajaran agama namun tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang.
Secara realita jumlah pelaku nikah di “bawah tangan” masih sangat
banyak, tentu dengan berbagai alasan yang melingkupinya. Setidaknya sampai
bulan Nopember 2017, terdapat sekitar 300 perkara permohonan yang diajukan di
Pengadilan A gama Martapura lebih dari 70  adalah Istbat Nikah.2
Sementara itu aturan perundang-undangan sangat membatasi aturan istbat
nikah sebagaimana dalam Pasal 7 Instruksi Presiden No. 1 T ahun 1991 tentang
Penyebarluasan K ompilasi Hukum Islam (K HI) yakni sebagai berikut:

1

T entang perintah melalukan pelaksanaan pesta pernikahan juga dapat ditemukan dalam Hadis
Muslim yang lain 823, 824, dan juga Hadis Bukhori 1855, 1856.
2
Informasi Perkara Pengadilan A gama Martapura, lihat di http://pa-martapura.go.id/, akses tanggal

03 Nopember 2017. Hal demikian juga terjadi di Pengadilan A gama L ainnya, dari perkara permohonan
yang ada, Itsbat nikah adalah salah satu perkara yang paling dominan.

2

1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan A kta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan A kta Nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan A gama.
3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan A gama terbatas mengenai halhal yang berkenaan dengan :
a. A danya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya akta nikah;
c. A danya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan;
d. A danya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
4) Y ang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri,
anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan

perkawinan itu.3
Pada Makalah ini Penulis akan mengkaji tentang dasar hukum penetapan
dalam perkara itsbat nikah di Pengadilan A gama, guna mengetahui secara factual,
A pakah penetapan tersebut telah sesuai dengan aturan Perundang-Undangan,
ataukan para hakim Pengadilan A gama memiliki alasan lain untuk mengistbatkan
nikah dibawah tangan tersebut.

II.

PA NDA NGA N MA SY A R A K A T T E NT A NG NIK A H “BA W A H T A NGA N”
A pabila diamati secara detail dan teliti di lingkungan masyarakat yang
menjalankan praktek nikah sirri di wilayah tersebut tidak mengalami kendala
yang berarti dalam aspek pergaulan di masyarakat. Pemahaman tentang
pernikahan yang cukup simpel dengan mencukupkan terpenuhinya syarat dan
rukun nikah, dengan tanpa melengkapi admintrasi untuk pencatatan pernikahan
yang telah dilaksanakan pada K antor Urusan A gama (K UA ) setempat tidak akan
mengganggu keharmonisan hidup di masyarakat setempat. Hal ini akan
menyadarkan kita bahwa keberadaan pemahaman ajaran agama tidak lepas dari
pengaruh realitas sekelilingnya. Pertemuan antara doktrin agama dengan realitas
sekelilingnya menghasilkan konten budaya. Pertemuan ajaran agama dengan

realitas sosial seringkali kita temui dalam praktek kehidupan sehari-hari, karena
tidak mungkin ajaran agama berada dalam realita yang vacum (original), ambil
sebuah contoh perayaan idul fitri di Indonesia dengan tradisi sungkeman,

3

Instruksi Presiden No. 1 T ahun 1991 tentang Penyebarluasan K ompilasi Hukum Islam (K HI)

3

silaturrahmi dengan yang lebih tua, kepada para guru, ulama, para kyai adalah
sebuah bukti keterkaitan antara ajaran agama dengan budaya.
Bagi masyarakat tertentu nikah sirri mampu menyelesaikan masalah
seseorang yang menginginkan untuk membangun sebuah keluarga sakinah
mawaddah dan penuh rahmah, dengan tanpa menyadari bahwa dengan terjadi
peristiwa pernikahan akan menimbulkan hukum keperdataan yang mengiringinya.
Pelaku nikah di “bawah tangan”, tetap diterima masyarakat sesuai kapasitasnya,
bagi tetua masyarakat tidak akan mereduksi ketokohannya, bagi seorang tuan guru
tidak akan menggangu kewibawaanya dan bagi masyarakat biasa tidak akan
mengurangi eksistensinya. Dengan penerimaan ini membuat para pelaku nikah

bawah tangan mendapatkan “penguat” dari masyarakat setempat bahwa apa yang
mereka lakukan adalah wajar. Teori Penguat (reinforcement theory) dapat
digunakan untuk menerangkan berbagai tingkah laku sosial tersebut. Salah satu
teori untuk menerangkan terbentuknya sikap ini dikemukakan oleh Darryl Beum
(1964) yang juga pengikut Skinner. Ia mendasarkan diri pada pernyataan Skinner
bahwa tingkah laku manusia berkembang dan dipertahankan oleh anggota-anggota
masyarakat yang memberi penguat pada individu untuk bertingkah laku secara
tertentu (yang dikehendaki oleh masyarakat).4

III. NIK A H “BA W A H T A NGA N” DIL A K UK A N SE C A R A T UR UN T E MUR UN
A pakah para hakim Pengadilan A gama memiliki alasan lain untuk
mengistbatkan nikah dibawah tangan yang ada sekarang Selain mengacu pada
peraturan perundang-undangan. Penulis akan sajikan sejumlah fakta menarik
berikut ini.
Penulis sering melakukan sidang keliling diberbagai tempat selama
bertugas di Pengadilan A gama. Penulis pernah melakukan penelitian di 4 (empat)
desa yang terdiri Desa Simpang Warga dan Desa Podok K ecamatan A luh-A luh,
Desa Sungai L urus K ecamatan Sambung Makmur dan Desa L ok Baintan Dalam
K ecamatan Sei/ Sungai Tabuk K abupaten Banjar Provinsi K alimantan, Penulis
mengambil sampel 65 keluarga yang telah melaksanakan nikah sirri, 63 keluarga

adalah penduduk asli di desanya atau setidaknya adalah tetangga Desa dalam satu
kecamatan, dan sudah saling mengenal baik antara keluarga pria dengan keluarga
4

L ihat Dr. Muhammad Faturrahman, Belajar Dan Pembelajaran Modern, Konsep Dasar, Inovasi,
dan Teori Pembelajaran, Penerbit Garudhawaca, J oqjakarta, 2017, hal. 89-105

4

wanita. Nikah secara sirri ini bukanlah digenerasi mereka saja, namun juga
dilaksanakan pada generasi sebelumnya. Dengan adanya tokoh desa yang menjadi
panutan dan sangat dihormati yang mampu menjaga tradisi serta sedikitnya
masyarakat pendatang membuat situasi di lingkungan keluarga yang menikah sirri
nyaris tidak mengalami masalah berarti.5
A da beberapa factor yang menjadikan nikah sirri ini tetap berlanjut sampai
sekarang. Penulis meringkas factor-faktor yang ada dilapangan sebagai berikut:6
a. Faktor pemahaman tokoh agama dalam memahami ajaran khusunya pencatan
dalam pernikahan. Dalam lingkup sosio kultural masyarakat yang sangat
menghormati ketokohan dan kharisma seorang alim (bentuk jamak  ulama)
atau dengan sebutan tuan guru, namun tidak semua tokoh agama memiliki

kesamaan pandangan tentang pentingnya pencatatan pernikahan, sehingga
berakibat masih banyaknya masyarakat yang melalukan nikah tanpa
dicatatkan (nikah sirri).
b. Faktor pendidikan. Rendahnya pendidikan masyarakat Desa Simpang Warga
dan Desa Podok K ecamatan A luh-A luh, Desa Sungai L urus K ecamatan
Sambung Makmur dan Desa L ok Baintan Dalam K ecamatan Sei/ Sungai
Tabuk K abupaten Banjar Provinsi K alimantan jika diukur secara rata-rata,
sehingga kurang memahami adanya aturan pemerintah terhadap pernikahan,
sehingga mau melakukan pernikahan sirri.
c. Faktor rendahnya pemahaman terhadap hukum. Banyak masyarakat yang
kurang paham terhadap hukum pernikahan yang sesuai dengan aturan
pemerintah, tentunya ini juga diakibatkan rendahnya tingkat pendidikan.
d. Faktor Budaya/ kebiasan dalam masyarakat. Pada faktor ini memegang
peranan sangat menentukan yang dapat memungkinkan nikah sirri terjadi,
calon mempelai dan keluarganya merasa cukup untuk melaksanakan
pernikahan pada seorang tokoh agama, karena berkeyakinan pencatatan nikah
bukanlah hal penting karena pencatatan pernikahan bukan termasuk bagian
dari syarat maupun rukun dalam pernikahan.

5


Nur Moklis, Nikah Sirri Berlatar Budaya di K abupaten Banjar K alimantan Selatan, http://hukumi.blogspot.co.id/2016/09/nikah-sirri-berlatar-budaya-di.html, akses tanggal 09 Nopember 2017
6
Ibid.

5

e. Faktor kebutuhan seks (kebutuhan biologis). Hal ini juga dapat di
pertimbangkan karena bagian dari kebutuhan dasar manusia untuk
melanjutkan silsilah nasabnya.
f. Faktor persepsi masyarakat tentang mahalnya biaya untuk nikah di K antor
Urusan A gama (K UA ). Sebagian masyarakat merasa bahwa biaya yang
dikeluarkan karena untuk pernikahan di K UA cukup mahal, hal tersebut
dimungkinkan kurangnya informasi yang di dapat oleh masyarakat setempat
bahwa pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pembebasan biaya
pernikahan di K antor Urusan A gama (K UA ).
Dalam teorinya Darryl Beum (1964), menyatakan bahwa dalam interaksi
sosial terjadi 2 macam hubungan fungsional, yang pertama adalah hubungan
fungsional dimana terdapat kontrol penguat (reinforcement control) yaitu jika
tingkah laku balas (response) ternyata menimbulkan penguat (reinforcement) yang

bersifat ganjaran (reward). Dalam hal ini ada tidaknya atau banyak sedikitnya
rangsang penguat akan mengontrol tingkah laku balas. Tingkah laku untuk
mendapat ganjaran tersebut disebut tingkah laku operan (operant response).
Sedang hubungan fungsional kedua hanya terjadi jika tingkah laku balas hanya
mendapat ganjaran pada keadaan-keadaan tertentu. Teori Belajar melalui
Instrumental Conditioning juga menerapkan prinsip pemberian hadiah (reward)
dan hukuman (punishment) terhadap munculnya respon-respon dari subyek.
Respon yang muncul sesuai yang dikehendaki diberi hadiah, sedangkan respon
yang muncul tidak sesuai dengan kehendak dikenai hukuman.7
Dalam hal nikah sirri masyarakat di Desa Simpang Warga dan Desa Podok
K ecamatan A luh-A luh, Desa Sungai L urus K ecamatan Sambung Makmur dan
Desa L ok Baintan K ecamatan Sei/ Sungai Tabuk K abupaten Banjar Provinsi
K alimantan tersebut tidaklah dianggap sebagai suatu peristiwa negatif yang harus
mendapatkan hukuman (punishment) secara sosial dari masyarakat. Pernikahan
yang tidak dicatatkan pada K UA setempat masih dipandang oleh masyarakat
setempat menjadi solusi pemecahan untuk calon mempelai yang sudah saling
mencintai guna membangun sebuah keluarga sesuai dengan ajaran agama dan oleh
masyarakat para pelaku nikah sirri diberi sebuah apresiasi, hadiah (reward) karena
telah menjalankan bagian dari ajaran agama.


7

Dr. Muhammad Faturrahman, p.Cit.,

6

IV . DA SA R HUK UM PE NE T A PA N DA L A M PE R K A R A IT SBA T NIK A H
Dalam pemeriksaaan perkara Itsbat nikah Penulis akan mengambil beberapa
sampel penetapan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2017. Dalam masingmasing sampel tersebut setiap tahunnya Penulis sajikan 3 (tiga) penetapan istbat
nikah. A dapun secara sampel penetapan secara lengkap sebagai berikut table
dibawah ini.8
T abel
Sampel Istbat nikah tahun 2010 s.d. tahun 2017
Dasar Hukum Penetapan Istbat Nikah tahun 2010 s.d. 2017
T ahun
No. Perkara
Penetapan

2010


K itab

Teori

Pendapat

Fiqih

Sosial

Pakar

v

-

-

-

v

-

-

-

v

-

-

v

-

-

v

-

-

al-Qur’an

Hadits

UU

K HI

PP

0860/Pdt.G/2010/PA.K ds.

-

-

-

v

-

0008/Pdt.P/2010/PA. K ds.

-

-

-

v

0005/Pdt.P/2010/PA.K ds.

-

-

-

v

0595/Pdt.G/2011/PA.K ds.

-

-

-

v

0500/Pdt.G/2011/PA.K ds.

-

-

-

v

2011

-

2012

2013

2014

2015

2016

2017

0113/Pdt.P/2011/PA.K ds.

-

-

v

v

v

-

-

0030/Pdt.P/2012/PA.K ds

-

-

-

v

-

-

-

-

0083/Pdt.P/2012/PA.K ds.

-

-

v

v

-

v

-

-

0082/Pdt.P/2012/PA.K ds.

-

-

-

-

-

v

-

-

0162/Pdt.P/2013/PA.Mtp

-

-

v

v

-

v

-

-

0238/Pdt.P/2013/PA.Mtp

-

-

v

v

-

v

-

-

0284/Pdt.P/2013/PA.Mtp

-

-

v

v

-

v

-

v

0173/Pdt.P/2014/PA.Mtp

-

-

v

-

-

v

-

-

0072/Pdt.G/2014/PA.Mtp

-

-

v

v

-

v

-

v

0006/Pdt.P/2014/PA.Mtp

-

-

v

v

-

v

-

-

0083/Pdt.P/2015/PA.Mtp

-

-

v

v

v

v

-

-

0062/Pdt.P/2015/PA.Mtp

-

-

v

v

v

v

-

-

0223/Pdt.P/2015/PA Mtp

v

v

v

v

-

v

v

-

0174/Pdt.P/2016/PA.Mtp

-

-

v

v

-

v

-

-

0183/Pdt.P/2016/PA.Mtp

-

-

v

v

-

v

-

-

0143/Pdt.P/2016/PA.Mtp

-

-

v

v

-

v

-

-

0074/Pdt.P/2017/PA.Mtp

-

-

v

v

-

v

-

-

0203/Pdt.P/2017/PA.Mtp

-

-

v

v

-

v

-

-

0208/Pdt.P/2017/PA.Mtp

-

-

v

v

-

v

-

-

Secara garis besar dalam penetapan istbat nikah, hakim yang memeriksa
perkara tersebut menuangkan hasil keputusannya dalam bentuk sebuah penetapan.9

8

https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura, akses 03 Nopember 2017
Penetapan adalah produk dari perkara volentair, adapun produk hukum lainnya yang dikeluarkan
oleh pengadilan agama adalah putusan untuk jenis perkara contentius dan akta perdamaian untuk
penyelesaian perkara secara damai dalam litigasi. L ihat Mahkamah A gung RI Direktorat J endral Badan
9

7

A pabila diamati secara teliti penetapan

tersebut terdiri dari kepala putusan,

identitas para pihak, duduk perkara, dan pertimbangan hukum serta amar
penetapan dan tanggal penetapan tersebut.
Pada sampel-sampel penetapan diatas hakim yang memeriksa perkara istbat
nikah terlebih dahulu mempertimbangakan legal

standing

para pihak,

mempertimbangakan kompetensi absolute dan kompetensi relative Pengadilan
A gama, alasan pokok para pihak mengajukan perkaranya, kemudian pada dasar
hukum yang digunakan hakim pemeriksa perkara adalah dengan menggali faktafakta melalui pembuktian surat-surat dan juga menggunakan alat bukti saksisaksi.10
Setelah mempelajari dengan teliti table diatas, kemungkinan besar
masyarakat pemerhati hukum dan peradilan akan bertanya, mengapa setelah
hukum islam (baca: K ompilasi Hukum Islam) sudah eksis (terkodifikasi) sebagai
sumber materiil peradilan agama, Hakim A gama masih mengutip kitab-kitab fikih
klasik sebagai rujukan untuk memutus perkara istbat nikah di Pengadilan
Tentang hal tersebut Penulis berusaha mencari sumber baik dari peraturanperaturan perundang-undangan dan bertanya langsung pada beberapa Hakim
Peradilan A gama. A khirnya penulis berkesimpulan bahwa alasan utamanya
adalah, pertama; landasan Hukum menggunakan kitab-kitab fikih klasik merujuk
pada Surat Edaran Biro Peradilan A gama No.B/1/735 tanggal 18 Februari 1958
sebagai pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan A gama/
Mahkamah Syariah di L uar J awa dan Madura. Dalam huruf b surat Edaran
tersebut di J elaskan sebagi berikut:
“Untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara
maka para hakim Pengadilan A gama/ Mahkamah Syariah dianjurkan agar
mempergunakan sebagi pedoman kitab-kitab tersebut di bawah ini:
1. A l-Bajuri
2. Fathulmui’in
3. Syarqowi alat’tahrir
4. Qolyubi/Mahalli
5. Fathul Wahab dengan Syarahnya
6. Tuhfah
7. Targhibul Musytaq
8. Qowanin syar’iyah lis sayyid bin Y ahya
9. Qowanin syar’iyah lis sayyid Sadaqah Dachlan

Peradilan A gama, Buku II Pedoman Penyelesaian Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi,
T ahun 2013.
10
https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura, akses 03 Nopember 2017.

8

10. Syamsuri fil Fara’idl
11. Bughyatul Musytarsyidin
12. A lfiqu A laa Mandzahibil A rba’ah
13. Mughnil Muhtaj.”11
K edua, Pengkutipan dari kitab-kitab fikih klasik, kaidah-kaidah fiqhiyah
merupakan salah satu idenditas intelektual yang ingin di tunjukkan kepada public
bahwa para Hakim Peradilan A gama adalah para ilmuan dalam hukum Islam dan
tetap menghormati fara fuqaha (pakar hukum Islam) terkemuka di dunia Islam
dengan mengambil alih pendapat mereka yang memiliki relefansi dengan perkara
yang sedang diperiksa dan di adili.12
Hal ini jika diperhatikan dengan seksama tentang banyaknya penetapan
itsbat nikah13 ternyata, langkah yang ditempuh para hakim yang mengadili perkara
sesuai dengan tujuan pembentukan hukum islam (maqashid al-syari’ah), yaitu
merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan primernya
(dhoruriyah), memenuhi kebutuhan skundernya (hajiyah) dn serta kebutuhan
pelengkapnya (tahsiniyah)14. Muhammad A bu Zahra menyatakan bahwa tujuan
pemberlakuan hukum syari’ah adalah untuk kesejahteraan manusia.15 Hal tersebut
sesuai dengan firman A llah SWT dalam A l-Qur’an bahwa tidaklah A llah
mengutus Muhammad SA W kecuali dengan tujuan mensejahterkan alam seisinya
A pabila diperhatikan dengan seksama, dari sampel beberapa penetapan
tentang istbat nikah diatas, Majelis yang memeriksa perkara tersebut tidak sebatas
memahami aturan perundang-undangan secara tektual semata namun terlihat
adanya pertimbangan dari aspek sosiologis, antropologis dan juga kultur

11

Surat Edaran Biro Peradilan A gama No.B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP
No. 45 T ahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan A gama/ Mahkamah Syariah di L uar J awa dan
Madura. 13 kitab klasik tersebut merupakan rujukan utama dalam pembuatan K ompilasi Hukum Islam,
selain kitab-kitab fiqih lainnya.
12
disarikan dari wawancara beberapa Hakim di Peradilan A gama. Dalam beberapa pembinaan
Pimpinan Mahkamah A gung RI, sering mengingatkan pentingnya menggali hukum yang hidup dalam
masyarakat dan khusus untuk hakim peradilan agama juga sangat dianjurkan dalam pertimbangan hukum
putusannya memahami dan menggali hukum dari para fuqaha terdahulu dalam kitab-kitab fiqih dan
kaidah-kaidah fiqhiyah.
13
Banyaknya kebutuhan masyarakat tentang pelayanan administrasi kependudukan seperti akta
kelahiran anak para pemohon dan lainya yang menyebabkan para hakim mengabulkan permohonan para
pemohon istbat nikah tidak hanya pernikahan yang dilalukan sebelum di sahkannya undang-undang nomor
1 tahun 1974, namun juga dengan mempertimbangakan kemanfaatan, dan social justice, yang pada
akhirnya
permohonan
para
pemohon
dikabulkan.
L ihat:
0083/Pdt.P/2015/PA .Mtp.,
0062/Pdt.P/2015/PA .Mtp., 0223/Pdt.P/2015/PA .Mtp dan lainya sebagaimana dalam table diatas.
14
A bdul Wahab K holaf, Ilmu Ushul F iqih, Darul Qalam, 1978, Hal. 197
15
Muhammad A bu Zahra, Ushul F iqih, Darul Fikr A l-A rabi, TT , Hal. 164

9

masyarakat setempat.16 Dan hal itu ternyata bukanlah hal yang mudah bagi para
pengadil tersebut. Dialektika perdebatan antar pengadil yang memeriksa perkara
istbat nikah juga sangat ketara dalam memutuskan sebaian penetapan mereka. Hal
itu dapat dilihat dari sebuah kalimat yang Penulis kutip, bahwa:
“ oleh karena terjadi perbedaan pendapat (Dissenting pinion) dalam
musyawarah Majelis Hakim, dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh, akan
tetapi tidak tercapai permufakatan, maka Majelis Hakim setelah bermusyawarah
dan diambil keputusan dengan suara terbanyak ”.17
Terlepas dari kasus-kasus particular sebagaimana Penulis uraikan diatas
sebagaimana dalam sample penetapan diatas, dalam sistem hukum dimanapun
didunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga
pengadilannya. K eadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem
hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau
kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.18
A mbil contoh saja dalam konsep keadilan dalam pemikiran hukum
progresif. Disini di uraikan bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif
dan bukan keadilan prosedur. A kibat dari hukum modren yang memberikan
perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan
pada dua pilihan besar antara pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada
substansi. K eadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur
melainkan keadilan substantif.
Bagaimana mungkin itu terjadi, karena kerusakan dan kemerosotan dalam
perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang
menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau

16

L ihat penetapan nomor 0223/Pdt.P/2015/PA Mtp. Berlatar belakan pernikahan menggunakan
wali ayah angkat. Dalam perspektif K HI, hal tersebut tidaklah dibenarkan. Disini selain merujuk
peraturan perundang-undangan dalam pertimbangan hukum juga memperhatikan social justice. Dalam hal
penetapan nomor 0223/Pdt.P/2015/PA Mtp. diatas, Majelis Hakim merujuk pada Undang-Undang Nomor
48 T ahun 2009 T entang K ekuasaan K ehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan: “Hakim dan Hakim
Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat” jo. Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 T ahun 1999 tentang Hak A sasi
Manusia yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan
hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum” sehingga hal ini
secara tidak langsung menuntut jiwa seorang hakim untuk memberikan rasa keadilan yang berlandaskan
asas manfaat dan asas kepastian hukum, dan mengenai kedudukan seorang wali terhadap pernikahan yang
dilakukan seorang wanita yang berstatus janda, Majelis Hakim memiliki pandangan dan pendapat yang
merujuk pada mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa pernikahan tanpa wali itu sah, hal ini sesuai firman
A llah dalam surah al Baqarah ayat 230, 232 dan 234
17
L ihat dalam perkara isbat nikah dalam Penetapan nomor 0223/Pdt.P/2015/PA .Mtp.
https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura, akses 03 Nopember 2017
18
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku K ompas, J akarta, 2006, hlm. 270

10

kemenangan”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur
(heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas
segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem
seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.19
Dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti pengadilan yang
dijalankan di Indonesia, Mahkamah A gung memegang peranan yang sangat penting.
Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong
(encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang
progresif tersebut.20
Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di
Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang atau kalah,
melainkan mencari kebenaran dan keadilan. K eadilan progresif semakin jauh dari
cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan
pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses pengadilan yang disebut
fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana
hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.21
Hukum Islam sebagaimana hukum-hukum yang lain mempunyai asas dan
tiang pokok. kuatan suatu hukum, sukar mudahnya, dapat diterima atau ditolak
masyarakat tergantung kepada asas dan tiang-tiang pokoknya.22 Hudari Bik
berpendapat bahwa dalam pembinaan hukum Islam, setidaknya ada tiga asas.23
a) ‘Adamul Harj (T idak Menyempitkan).
Haraj menurut bahasa A rab adalah sempit. Banyak dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa syari’at ini didasarkan atas dihilangkannya kesempitan.
Firman A llah T a’ala:

19

Ibid, hlm. 272
K edailan substantive dalam konsep hukum progresif nampaknya telah dijalankan oleh hakimhakim Pengadilan A gama selama ini, jika secara procedural perkara istbat nikah hanya boleh secara
limitative sebagaimana dalam pasal 7 ayat 3 K ompilasi Hukum Islam, yang hanya terbatas pada A danya
perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, Hilangnya akta nikah, A danya keraguan tentang sah
atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, A danya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UndangUndang No. 1 T ahun 1974, Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 T ahun 1974, namun secara factual sebagian penetapan
menyimpangi ketentuan pasal diatas untuk mewujudkan social justice. L ihat dalam table penetapan diatas
di: https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura, akses 03 Nopember 2017.
21
Satjipto Rahardjo,p.,Cit., hlm. 276
22
T .M Hasbi A sh Shiddieqy, F alsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001,
hlm. 58.
23
Hudari Bik, Tarikh al-Tasyri‟al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah Pembinaan
Hukum Islam, Darul Ihya, 1980, hlm. 31-39.
20

11

u



9
N
6
 
/
 
vu
q t

9
N
6
 
/
 

 
2
A rtinya: “A llah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu” (QS. al-Baqarah ayat 185).

37
k tly 
B
  c
9
 
 /3

n
t

yy tBu
q
A rtinya:“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S. A l-Hajj ayat 78).

3

f
n
tM
 tR
. “

L
9

n

zF 
u
qN
 cu


)N
 fZ
t t

 tu
q
A rtinya: dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang
ada pada mereka (Q.S. A l-A ’raf ayat 157)
Maksudnya adalah dalam syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu
tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil.
Umpamanya: mensyariatkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan
qisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan
membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang
atau menggunting kain yang kena najis. Dan hadits Nabi : ”Aku diutus dengan
agama yang ringan”
Menurut Y usuf al-Qaradhawi,24 memudahkan adalah manhaj al-Qur’an dan
Nabi. Manhaj tersebut diajarkan oleh Nabi kepada para sahabat. Beliau
memerintahkan mereka untuk mengikutinya. Baik individu maupun jamaah. K etika
mengutus A bu Musa dan Muadz bin J abal ke Y aman, beliau mengutus dengan
wasiat ini, “Mudahkan jangan menyulitkan, beri kabar gembira bukan ketakutan,
dan taatlah bukan berselisih”. Hal yang beliau wasiatkan kepada Muadz dan A bu
Musa beliau wasiatkan juga kepada umat. A nas meriwayatkan bahwa Nabi pernah
bersabda, “Mudahkanlah dan jangan menyulitkan, berilah kabar gembira dan
jangan ketakutan.” (Muttafaq alaih). Dengan demikian yang dicipta adalah
memudahkan dalam fatwa, dan memberi kabar gembira dalam dakwah.25
Ulama sering menguatkan pendapat mereka dengan perkataan “Ini lebih
mudah bagi manusia”. J ika berijtihad, merekapun sering membetulkan muamalah
manusia sesuai dengan kemampuan. Mereka menyandarkan hal tersebut kepada
kaidah-kaidah syariat, seperti al-dharurat tubih al-mahzhurat (keadaan darurat
24

Y usuf al-Qaradhawi, Dirasah fi F iqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. A rif Munandar
Riswantom F iqih Maqashid Syariah, J akarta: Pustaka al-K autsar, 2007, hlm. 158.
25
Ibid.

12

membolehkan hal yang terlarang), al-hajah tunazzil manzilah al-dharurah
(kebutuhan mendesak disesuaikan dengan kedudukan darurat), al-dharar yuzal
(darurat harus dihilangkan), al-adah muhakkamah (adat menjadi hukum), almasyaqqqah tajlib al-taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan), serta kaidahkaidah lainnya yang dibuat oleh ulama dan mereka ambil dari teks-teks dan hukumhukum syariat.26.
Di sini harus diingatkan ungkapan yang diriwayatkan oleh A bu Nu’aim
dalam kitab Hilyatul Auliya, Imam Ibnu A bdil Barr dalam al-Ilm, dan Imam anNawawi dalam muqaddimah kitab al-Majmu‟dari Imam Sufyan bin Said al-Tsauri,
yang menjadi imam dalam bidang fiqih, hadits, dan wara’. Ia berkata dengan
ungkapan yang sangat agung, F iqih adalah pemberian rukhshah dari tokoh yang
tsiqat, sedang memberikan tuntutan hukum yang keras dapat dilakukan oleh semua
orang.”27
K ita harus memperhatikan perkataannya bahwa rukhshah dari ulama yang
tsiqat, yaitu ulama yang dipercayai kefaqihan dan kesalehan agamanya. Sedangkan
orang yang tidak memiliki kedua hal itu atau salah satunya maka bisa saja ia
memberikan rukhshah dalam sesuatu yang tidak boleh diberikan rukhshah, sehingga
tindakannya itu melanggar dalil-dalil syari’at yang qath‟i dan muhkamat serta
kaidah-kaidahnya. Hal ini tentunya tidak dapat diterima oleh insan muslim yang
cinta dan teguh memegang agamanya.28
Y usuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa maksud dari kemudahan itu
mengandung beberapa perkara29:
1) Memperhatikan sisi keringanan atau rukhshah.
2) Memperhatikan kondisi yang mendesak dan kondisi yang meringankan.
3) Memilih yang paling mudah dan bukan yang paling hati-hati di zaman kita
hidup masa kini30.

26

Salah satu contoh bahwa Rasulullah SA W mempraktekkan kemudahan ialah ketika beliau
memperhatikan karakter orang-orang Ethiopia yang senang menari dan bermain. leh karena itu, beliau
mengizinkan mereka untuk melakukan hal itu di masjid beliau yang mulia. Saat itu Umar melempari
mereka dengan kerikil, Rasululah SA W bersabda kepadanya, “Biarkanlah mereka wahai Umar”.
(Muttafaq alaih). Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Mereka adalah Bani Rafdah. L ihat juga Y usuf alQaradhawi, “Taisir al-F iqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu al-Qur‟an wa as-Sunnah”, diterjemahkan
A bdul Hayyie al-K attani, M. Y usuf Wijaya, dan Noor Cholis Hamzain, F iqih Praktis bagi Kehidupan
Modern, J akarta: Gema Insani Press, 2002, hlm.
27
Ibid, hlm. 21
28
Ibid.
29
Ishom T alimah, al-Qaradhawi F aqihan, diterjemahkan Samson Rahman, Manhaj F iqih Yusuf alQaradhawi, J akarta: Pustaka al-K autsar, 2001, hlm. 94.

13

4) Membatasi dalam masalah-masalah yang wajib dan yang haram.
5) Membebaskan diri dari fanatisme mazhab.
6) K emudahan dalam semua masalah.
Terkait dengan prinsip ini, dalam kaidah fiqih terdapat kaidah yang
berbunyi al-masyaqqah tajlib al-taysir (kesulitan mendorong kemudahan) yang oleh
A li Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab
dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya
menekankan besarnya perhatian syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan
keringanan hukum. Bahkan al-Sya’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim
diperintahkan melakukan salah satu di antara dua hal, kemudian ia memilih yang
paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih disukai A llah SWT.31
b) Taqlil al-Taklif (Menyedikitkan Beban)
Menyedikitkan beban merupakan konsekuensi logis bagi tidak adanya
menyulitkan (asas pertama), karena di dalam banyaknya beban mengakibatkan
kesempitan. rang yang menyibukkan diri terhadap al-Qur’an untuk melihat
perintahperintah dan larangan-larangan yang di dalamnya niscaya dapat menerima
terhadap kebenaran pokok ini, karena dengan melihatnya sedikit memungkinkan
untuk mengetahuinya dalam waktu sekilas dan mudah mengamalkannya, tidaklah
banyak perincianperinciannya sehingga banyaknya itu tidak menimbulkan kesulitan
terhadap orang-orang yang mau berpegang dengan kitab A llah yang kuat. Sebagian
dari ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman A llah Ta’ala dalam surat alMaidah yang berbunyi:
A
 t t 
l p
j]t (p
t
n
a
)u
qN
 .r
n
N
3
9
s
y6
a
)u
u


r
 t (p
t
n
v (p
ZtBu

 


p
j

r
t
 
“ 
ly 
 p
 
 
u
q 2p
j]t 
 
t N
3
9
s
y7
a
 u
)
9


30

A l-Qaradhawi berkata-Manhaj yang menjadi pilihan saya dan manhaj yang A llah tunjukkan
kepada saya dan saya akan selalu komitmen dengannya dalam tulisan, fatwa dan pengajaran. Saya akan
mengambil yang mudah dalam masalah furu‟(cabang) dan tegas dalam masalah yang ushul (pokok). J ika
dalam satu masalah terdapat dua pandangan yang berbeda dan dua pendapat yang sama berdekatan, satu
diantaranya penuh kehati-hatian, sedangkan yang satunya lagi lebih mudah, maka selayaknya bagi kita
untuk memilih fatwa yang lebih mudah bagi seluruh manusia dan jangan mengambil yang paling hati-hati.
A lasan dan hujjahnya ialahperkataan A isyah, “T idaklah Rasulullah diberi pilihan dua perkara kecuali dia
memilih yang paling gampang di antara keduanya selama itu tidak mengandung dosa. Siapa pun yang
belajar fiqih sahabat dan para ulama salafus shalih (ujar al-Qaradhawi), dia akan mendapatkan bahwa
fiqih yang mereka ambil umumnya mengarah kepada fiqih yang lebih mudah, sedangkan fiqih setelah
sahabat lebih cenderung kepada kehati-hatian. Ishom T alimah, Ibid, hlm. 95.
31
A bdul Haq, A hmad Mubarok, dan A gus Ro’uf, F ormulasi Nalar F iqh, Telaah Kaidah F iqh
Konseptual, Surabaya: K halista, 2006, hlm. 177.

14

A rtinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan
kamu dan jika kamu menanyakan di waktu A l Quran itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, A llah memaafkan (kamu) tentang
hal-hal itu. A llah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Q.S.A lMaidah ayat 101)
Masalah-masalah yang dilarang ini adalah sesuatu yang telah dimaafkan oleh
A llah yakni didiamkan pengharamannya seandainya mereka tidak menanyakannya
niscaya hal itu diampuni dalam meninggalkannya.
c) Berangsur-angsur Mendatangkan Hukum
Dalam menetapkan suatu hukum, hendaknya tidak dilakukan secara radikal,
karena masyarakat akan sulit untuk melaksanakannya. Maka seyogyanya dilakukan
setahap demi setahap. Sebagai contoh, jika pemerintah mengeluarkan peraturan
tentang kewajiban bagi pengendara sepeda motor agar menyalakan lampu di siang
hari secara sekaligus, maka masyarakat akan menentangnya karena belum
mengetahui tujuan dari hal tersebut, namun masyarakat akan mudah menerima dan
melaksanakannya jika peraturan itu diterapkan secara bertahap dan setelah
masyarakat memahami manfaatnya.32
Dalam sosiologi Ibnu K haldun dinyatakan bahwa suatu masyarakat
(tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih rendah) akan menentang apabila
ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya,
lebih-lebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada.
Masyarakat senantiasa memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengah-tengah
mereka.33 Dengan mengingat faktor tradisi dan ketidaksenangan manusia untuk
menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu keadaan lain yang asing sama sekali
bagi mereka, al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, surat demi surat dan
ayat demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan
cara demikian, hukum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih
mendorong ke arah menaatinya, serta bersiapsiap meninggalkan ketentuan lama dan
menerima ketentuan baru.34

32

Rachmat Djatnika, J alan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi
Ijtihad, dalam kata pengantar, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, A mrullah A hmad,
dkk (ed), et. al., J akarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 107-108.
33
Fatchurrahman Djamil, F ilsafat Hukum Islam, J akarta: L ogos Wacana Ilmu, 1997, hlm.69
34
Ibid, hlm. 70.

15

Berangsur-angsur mendatangkan hukum, artinya A llah dalam mendatangkan
hukum-hukumnya tidak dengan sekaligus, tetapi diangsur dari satu demi satu.
Misalnya tentang hokum dilarangnya orang meminum khamar dan main judi.
K etika Rasulullah SA W ditanya tentang hukum keduanya itu oleh sebagian kaum
muslim yang telah meminum khamar dan main judi, maka turun firman A llah dalam
surat al-Baqarah yang berbunyi:


B t9
2 
r Jy fJ 

)u
q
 Z
9


Y
otBu
q 
72
 N

) Jy 
f 


( 
 
Jy 
9
u
q
J y 
9


t 7
y tRp
t

o

ta q

3
tFs N
6
 

y9
sM
 tF 
N
3
9
s
 

h
t7 9
 . 2u
p

y
9

ta p
)
Z
 
stB  tRp
t

ou
q 2Jy 
f

R


A rtinya: mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. K atakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan. K atakanlah: " yang lebih dari
keperluan." Demikianlah A llah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu
supaya kamu berfikir. A l-Baqarah ayat :219)

Dalam ayat ini tidak jelas kelihatan tentang terlarangnya kedua perkara
yang ditanyakan itu, padahal sebenarnya sudah terkandung di dalamnya
larangan keras, karena segala yang mendatangkan dosa bagi orang yang
mengerjakannya sudah dilarang keras orang mengerjakannya35.
Belakangan diturunkan pula satu ayat yang berarti melarang orang
mengerjakan shalat dikala mabuk yang bunyinya :
v 
) 7
Y
 vu
q ta p
9p
) s tB (p
Jn

s 4
“
Lly 3
 t3
s
 
FR
ru
q n4
pn

 9
(p
/t
) s v (p
YtBu
 t 


p
j

r
t
 
t
9

zh

B N
3 Yh

B”
tm
ru
y q

r 
y 4
n
t q

r
“
y 
D
 L
Y. a
)u
q 3(p
tF
s 4
“
Lly 
6
y  

/t
a

) 2N
3
 

ru
qN
3
 cp
 p
/ (p
r

Bs 
7
g

s 


 (p
J J u
tF
s
ZtB (q
fB
rN
n

su

h

Y9
L

Jy 9
sq

r
 p
 p
t ta 
.  

A rtinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam K eadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam K eadaan
junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan
jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu
35

Chalil Moenawar, Kembali K epada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, J akarta: PT Midas Surya, 1993,
hlm. 230.

16

tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya A llah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”. (Q.S.A n-Nisa’ayat 43)
K emudian pada suatu saat diturunkan pula ayat yang tegas jelas
melarang orang meminum arak dan bermain judi, yang bunyinya:


 
s
 9
 Jy t 
h

B”
  
 N
9
s
zF 
u
q
 
 RzF 
u
q  
Jy 
9
u
q J s
:
 Jy R

) (
pY
tBu
 t 


p
j

r
t

K
s
:
 
u


t7
9
u
q nu
q
y
y
9
N
3
u
Z
t/ 
y
p
 ar
 
s
 9

 
Jy R

)  ta p
r

N
3


y9
sm
p
7
tG 
s
 ta p
jtJZ
B L
R
r
 fy
s (
n4
pn

 9

 t u
q
 


.
 t N
 .

 tu
q
 
Jy 
9
u
q
A rtinya:Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434],
adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi
kamu dari mengingat A llah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu). (Q.S. A l-Maidah ayat 90-91)
Barulah dengan ayat ini jelas terlarangnya orang meminum arak dan bermain
judi, yang berarti supaya kedua macam perbuatan itu dijauhi benar-benar oleh
segenap orang yang beriman.
Fathurrahman Djamil menambahkan dua asas lagi, yaitu sebagaimana
tersebut dibawah ini:
d) Memperhatikan K emaslahatan Manusia
Hukum Islam dihadapkan kepada bermacam-macam jenis manusia dan ke
seluruh dunia. Maka tentulah pembina hokum memperhatikan kemaslahatan
masing-masing mereka sesuai dengan adat kebudayaan mereka serta iklim yang
menyelubunginya. J ika kemaslahatan-kemaslahatan itu bertentangan satu sama
lain, maka pada saat itu didahulukan maslahat umum atas maslahat khusus dan
diharuskan menolak kemudharatan yang lebih besar dengan jalan mengerjakan
kemudharatan yang kecil.36
Dalam masa kepemimpinannya, Umar menjadikan maslahat dan nash
sebagai pokok atau dasar tasyri’nya. Hampir pada semua kejadian dan kasus yang
dihadapinya diputuskan dengan tujuan untuk maslahat ammah. J ika dalam suatu
kejadian ada nash khususnya, maka Umar harus melaksanakannya dan agar hal itu
36

Fathurrahman Djamil, op. cit., hlm. 71-75.

17

dapat membawa maslahat, serta menjadikan masalah yang ada nashnya itu
membawa dua sisi manfaat. K arena penguasa jika memutuskan satu keputusan
hanya karena menurutnya hal itu ada kemaslahatannya, dan dengan sengaja
melanggar nash, maka putusannya itu tidak harus dipatuhi, sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Nujaim37.
Umar selalu berpijak pada pemahaman nash dan yang tidak ditolak oleh
akal, di samping ia juga selalu berpegangan pada keputusan-keputusan tasyri’
yang umum. A dapun jika dalam masalah yang tidak ada nash khususnya, maka
pada saat itu Umar tidak mengeluarkan satu keputusan tasyri’ hanya dengan
menggunakan ra’yu dan ijtihadnya dan mengatakan bahwa itu adalah maslahat,
dengan tanpa mengaitkan dan menguatkannya dengan alasan lain38.
e) Mewujudkan K eadilan yang Merata.
Manusia di dalam hukum Islam, sama kedudukannya. Mereka tidak lebih
melebihi karena kebangsaan, karena keturunan, karena harta atau karena
kemegahan. T ak ada di dalam hukum Islam penguasa yang bebas dari jeratan
undang-undang, apabila mereka berbuat zalim. Semua manusia di hadapan A llah
Hakim yang Maha A dil adalah sama.39
Nabi bersabda: A rtinya:“diriwayatkan dari A isyah r.a ia berkata;”ada
seorang perempuan mahzumiah meminjam barang dan mengingkarinya.
K emudian Nabi Muhammad saw menyuruh agar tangan perempuan itu dipotong.
Tetapi kemudian keluarganya datang kepada Usamah bin Zaid ra dan
mengadukan hal itu. Selanjutnya Usamah bin Zaid menyampaikan pengaduan itu
kepada Nabi. Nabi saw berkata,‟
Hai Usamah, aku tidak melihatmu dapat
membebaskan suatu hadd dari A llah A zza wa J alla‟
. K emudian Nabi berdiri dan
berkhotbah, seraya berkata.‟Sesungguhnya kehancuran generasi sebelum kamu
adalah karena bila orang yang mulia dari mereka mencuri, maka mereka biarkan.
Bila orang yang rendah dari mereka mencuri, maka mereka menegakkan hadd
potong tangan atasnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggamanNya, A ndaikata Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong
tangannya." Dengan demikian maka tangan perempuan mahzumah itu dipotong.
(HR. Muslim)40
Setelah memperhatikan konsep hukum progresifnya Prof. sacipto
Raharjo dan juga asas-asas Hukum Islam yang di kemukakan oleh Hudhari Bik,
dan Fathurrahman Djamil serta teori-teori Maqhasid syariah dalam tulisannya

37

Muhammad Baltaji, Manhaj Umar Ibn al-Khathab fi al-Tasyrii‟, diterjemahkan H. Masturi
Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, J akarta: K halifa, 2005, hlm. 480.
38
Ibid.
39
T .M Hasbi A sh Shiddieqy, op. cit., hlm. 68-69.
40
Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairy al-Naysabury, Sahih Muslim, J ilid II, L ibanon: Dar al- K utub alIlmiyah, t.th.

18

A bdul wahab khalaf dan juga A bu Zahra, dan memperhatikan contoh kasus nikah
“bawah tangan” dengan sampel 63 keluarga diatas, nampaknya para pengadil
Pengadilan A gama dalam kasus itsbat nikah sengaja menyimpangi pasal 7 ayat 3
K ompilasi Hukum Islam hanya semata-mata merealisir kemaslahatan bagi pelaku
nikah “bawah tangan” dengan tujuan membangaun keluarga sakinah waddah dan
penuh rahmah sebagaimana dalam ajaran Islam

V.

K E SIMPUL A N
1. Terkadang dalam kasus Istbat nikah terhadap nikah “bawah tangan” para
Pengadil menyimpangi ketentuan perundang-undangan guna mewujudkan
tujuan-tujuan substansi sebagaimana yang di kemukakan Prof. Sacipto
Rahardjo dalam hukum progresifnya, hal ini terlihat dalam penetapan isbat
nikah nomor 0223/Pdt.P/2015/PA Mtp
2. Dalam mengambil sebuah keputusan, hakim yang memeriksa perkara
penetapan Istbat nikah selain menggunakan dasar Perundang-Undangan yang
ada juga memperhatikan aspek soiokultural masyarakat setempat. Dalam hal ini
kadang terjadi perbedaan pendapat dalam mengambil sebuah keputusan hukum
diantara hakim yang memeriksa sebuah perkara, meskipun fakta hukum yang di
temukan dalam pembuktian tidak ada perbedaan diantara mereka.
DA F T A R PUST A K A

A bdul Haq, A hmad Mubarok, dan A gus Ro’uf, F ormulasi Nalar F iqh, Telaah Kaidah
F iqh Konseptual, Surabaya: K halista, 2006.
A bdul Wahab K holaf, Ilmu Ushul F iqih, Darul Qalam, 1978.
A l-Qaradhawi berkata-Manhaj yang menjadi pilihan saya dan manhaj yang A llah
tunjukkan
Chalil Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, J akarta: PT Midas
Surya, 1993.
Dr. Muhammad Faturrahman, Belajar Dan Pembelajaran Modern, Konsep Dasar,
Inovasi, dan Teori Pembelajaran, Penerbit Garudhawaca, J oqjakarta, 2017.
Fatchurrahman Djamil, F ilsafat Hukum Islam, J akarta: L ogos Wacana Ilmu, 1997.
http://pa-martapura.go.id/, akses tanggal 03 Nopember 2017
https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura, akses 03 Nopember
2017.

19

https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura, akses 03 Nopember
2017
Hudari Bik, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah
Pembinaan Hukum Islam, Darul Ihya, 1980.
http://pa-martapura.go.id/, akses tanggal 03 Nopember 2017.
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan K ompilasi Hukum
Islam (K HI)
Ishom Talimah, al-Qaradhawi F aqihan, diterjemahkan Samson Rahman, Manhaj F iqih
Yusuf al-Qaradhawi, J akarta: Pustaka al-K autsar, 2001.
Mahkamah A gung RI Direktorat J endral Badan Peradilan A gama, Buku II Pedoman
Penyelesaian Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi, Tahun
2013.
Muhammad A bu Zahra, Ushul F iqih, Darul Fikr A l-A rabi, TT, Hal. 164
Muhammad Baltaji, Manhaj Umar Ibn al-Khathab fi al-Tasyrii‟, diterjemahkan H.
Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, J akarta: K halifa,
2005.
Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairy al-Naysabury, Sahih Muslim, J ilid II, L ibanon: Dar alK utub al-Ilmiyah, t.th.
Nur Moklis, Nikah Sirri Berlatar Budaya di K abupaten Banjar K alimantan Selatan,
http://hukum-i.blogspot.co.id/2016/09/nikah-sirri-berlatar-budaya-di.html,
akses tanggal 09 Nopember 2017
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 T entang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974
Rachmat Djatnika, J alan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman
Metodologi Ijtihad, dalam kata pengantar, Dimensi Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Nasional, A mrullah A hmad, dkk (ed), et. al., J akarta: Gema
Insani Press, 1996.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku K ompas, J akarta, 2006,
hlm. 270
Surat Edaran Biro Peradilan A gama No.B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai
pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan A gama/
Mahkamah Syariah di L uar J awa dan Madura
T.M Hasbi A sh Shiddieqy, F alsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
2001, hlm. 58.

20

Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan A gama
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak A sasi Manusia
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang K ekuasaan K ehakiman
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan ke dua Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan A gama
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan A gama
Y usuf al-Qaradhawi, “Taisir al-F iqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu al-Qur‟an wa
as-Sunnah”, diterjemahkan A bdul Hayyie al-K attani, M. Y usuf Wijaya, dan
Noor Cholis Hamzain, F iqih Praktis bagi Kehidupan Modern, J akarta: Gema
Insani Press, 2002.
Y usuf al-Qaradhawi, Dirasah fi F iqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. A rif
Munandar Riswantom F iqih Maqashid Syariah, J akarta: Pustaka al-K autsar,
2007.