Posisi Perempuan dalam Hukum Adat Masyar

Posisi Perempuan dalam Hukum Adat Masyarakat Asli Suku Dayak
Oleh: Winnieati Sutanto Putri (15/382289/FI/04144)
“Sebagai tugas ujian tengah semester mata kuliah Kearifan Lokal yang diampu oleh Dr. Septiana Dwiputri
Maharani.”

I
Istilah “dayak” merupakan istilah yang diberikan oleh penduduk pesisir Pulai Borneo
kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan. Populasi suku dayak di Indonesia
menurut sensus di tahun 2010 mencapai 3.678.494 jiwa. Suku Dayak tersebar di Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sarawak, Sabah
serta Brunei Darussalam. Dalam makalah ini kami membahas suku Dayak yang berdomisili di
Kalimantan Tengah. Menurut seorang antropolog J.U. Lontaan dalam Hukum Adat dan Adat
Istiadat Kalimantan Barat suku dayak dibagi menjadi 6 suku besar dan 405 sub-suku kecil yang
tersebar di Pulau Kalimantan.
Sejak semula kehidupan di masyarakat suku Dayak menjunjung tinggi kesetaraan gender.
Kesetaraan gender bukan berarti laki-laki Dayak bersikap acuh tak acuh terhadap perempuan
Dayak. Suku dayak dalam praktiknya memandang dan memberikan penghargaan terhadap
perempuan dayak baik gadis dan yang telah berkeluarga dengan nilai yang tinggi. Para pemuda
Dayak selalu melindungi dan menghormati perempuan sukunya. Melecehkan perempuan Dayak
sama halnya dengan melecehkan harga diri suku mereka, identik pula dengan mengajak perang.
Masyarakat suku Dayak juga identik dengan peperangan tanpa memandang gender.

Lelaki dan perempuan tidak mempunya perbedaan dalam tingkatan hak dan kewajiban.
Kuncinya adalah kemauan dan kemampuan dapat menjadikan wanita mempunyai peran dalam
tugas kemasyarakatan, berperang, memangku jabatan Kepala Adat, mengurus rumah tangga,
mencari nafkah, baik lelaki ataupun perempuan boleh memilih.

II

Hokum adat terkait dengan perempuan
Dalam konsep kepercayaan suku Dayak, manusia mempunyai kedudukan masing-masing
dalam memelihara tata ketertiban alam dalam menjaga keserasian dan keseimbangan. Tata
keserasian dan tata keseimbangan dinamakan hadat oleh masyarakat suku Dayak. Manusia
dikatakan sempurna jika mampu menjalankan seluruh hokum adat dan hokum pali. Hokum adat
merupakan aturan tidak tertulis yang dipahami hanya bagi orang Dayak yang didalamnya
mencakup seluruh kejadianm dan alam semesta. Sedangkan hokum pali merupakan larangan tidak
tertulis yang tidak boleh dilakukan oleh orang Dayak. Berikut merupakan hokum adat berkaitan
dengan gerak perempuan yang dianggap melanggar adat:
a)

Seorang lelaki bersama seorang perempuan yang sudah bersuami berduaan tanpa ada ikatan


keluarga atau tidak saling kenal, lelaki tersebut dapat dituntut dalam rapat adat.
b)
Seorang lelaki dan seorang perempuan berjalan berdua tanpa seizin keluarga perempuan.
c)
Seorang perempuan diajak bicara oleh seorang lelaki yang keduanya tidak saling kenal.
d)
Seorang lelaki mengajak satu atau lebih perempuan untuk berjalan-jalan tanpa izin ayah si
gadis.
e)
Pernikahan sedarah.
f)
Ditemukan perempuan bunuh diri akibat suaminya tidak setia.
Jika terdapat kesalahan secepatnya diadakan upacara adat untuk menetralasi masalah. Bagi
pelaku kesalahan harus menerima sanksi berupa singer atau denda adat atau hukuman yang harus
dilaksanakan. Jika pelaku kesalahan tidak menaati singer maka akan diusir dari daerah tersebut.

Sanksi bagi para pelanggar
Pasal-pasal pada hokum adat Dayak sebagai perlindungan perempuan suku, diantaranya:
a)


Singer Tungkun yaitu denda yang harus dibayar seorang laki-laki apabila mengambil

perempuan secara paksa.
b)
Singer Sarau yaitu denda yang harus dibayar oleh seorang seorang laki-laki berkaitan dengan
masalah diluar nikah.
c)
Singer Saray Bujang yaitu denda kepada laki-laki yang mengganggu atau menggoda gadis
remaja.
d)
Singer Tandahan Sarau yaitu denda adat yang harus dibayar seorang laki-laki yang telah
menghamili perempuan yang bukan istrinya.
e)
Singer Karusak Balu yaitu denda adat yang harus dibayar oleh laki-laki yang menjalin
hubungan asmara dengan seorang janda.
f)
Singer Sala Basa Dengan Sawan Oloh yaitu denda adat yang diberikan kepada laki-laki yang
berduaan dirumah perempuan bersuami dan sang suami tidak terima dengan hal tersebut.

g)


Singer Sala Basa Dengan Bawi Bujang yaitu denda adat yang diberikan kepada seorang laki-

laki yang berduaan dirumah dengan seorang gadis remaja dan ahli waris si gadis tidak terima
dengan hal tersebut.
h)
Singer Palangi Pangarai yaitu denda adat terhadap suami atas meninggalnya sang istri akibat
melahirkan bayi mereka.
i)
Singer Tekap Tampar Baun Mate yaitu denda adat bagi laki-laki yang mempermalukan orang
tua pihak perempuan.
Perempuan Dayak dan Perang
Menurut buku karya Tjilik Riwut yang berjudul Maneser Panatao Tatu Hilang bahwa lakilaki maupun perempuan Dayak memiliki jiwa ksatria, pemberani dan pantang menyerah. Hal
tersebut terungkap dalam semboyan hidup Isen Mulang yaitu berarti pantang menyerah terutama
pada masa lalu, demi bertahan hidup dari keganasan alam.
Waspada, energik dan harus selalu menang merupakan cara suku Dayak menyikapi tantangan
alam. Pengaruh situasi ganasnya alam mencerminkan pula sikap dan gaya hidup suku Dayak dalam
bermasayrakat. Selalu waspada, tegas, tidak basa-basi, tidak mudah terpengaruh dan tergesa-gesa
namun berani menanggung risiko. Itulah mengapa orang Dayak tidak dapat berpura-pura.
Keramahan dan kearahan terlihat jelas dalam sikap spontan yang terekspresi.

Bukan peristiwa luar biasa apabila perempuan suku Dayak terlibat peperangan. Bukti sejarah
mewartakan adanya seorang pejuang perempuan suku Dayak bernama Nyai Undang yang dapat
mengkoordinasi perang melawan lelaki sewenang-wenang dari Negara lain. Keterlibatan
perempuan dalam peperangan diapresiasikan dalam Tari Kinyah Bawi yang penarinya khusus
perempuan. Tari tersebut bernuansa keperkasaan seorang pahlawan dalam perang. Pesan dalam Tari
Kinyah Bawi adalah perang bukan hanya untuk laki-laki, tetapi wanita juga mampu.

Daftar Pustaka
Riwut, Nila. 2011. Bawin Dayak : Kedudukan Fungsi Dan Peran Perempuan Dayak.
Yogyakarta: Galang Press.
Riwut,

Tjilik.

2003.

Palangkaraya: Pusaka Lima.

Maneser


Panatau

Tatuhiang:Menyelami

Kekayaan

Leluhur.