dengan kegiatan pemanenan terutama pada tempat penyewaan truk, karena KHJL belum memiliki aset atau peralatan pemanenan yang memadai. Hal ini menjadi
kelemahan industri pemanenan hutan yang ada di lokasi karena hingga saat ini KHJL belum memiliki aset berupa kendaraan operasional dalam pengangkutan
kayu sehingga biaya yang dikeluarkan cukup besar. Ini termasuk dalam pola kemitraan jangka pendek atau insidental, karena KHJL hanya memerlukan jasa
tersebut selama proses pemanenan saja.
5.6.2 Kemitraan Antara TFT dengan KHJL
Kerjasama antara TFT Tropical Forest Trust dengan KHJL Koperasi Hutan Jaya Lestari termasuk dalam pola kemitraan jangka panjang. Karena kedua
belah pihak saling bergantungan. Dari pihak TFT, mereka membantu dalam hal pemasaran. TFT akan mendapatkan fee atau persenan dari setiap kayu yang laku
terjual ke luar. Pihak KHJL pun sangat mengharapkan bantuan dari pihak TFT dalam hal pemasaran dan pemberian materi-materi juga pelatihan dalam bidang
kehutanan. Seperti dinyatakan dalam MOU bahwa TFT menyanggupi untuk memberi pelatihan dan petunjuk kepada pengurus KHJL mengenai pengelolaan
hutan secara berkesinambungan serta memberi pinjaman dana sebagai modal awal untuk mengelola hutan. TFT juga memfasilitasi KHJL untuk memperoleh
sertifikat FSC, juga membantu dalam menjual kayu jati yang mereka produksi.
5.7 Pemasaran Hasil Hutan Rakyat
Pemasaran kayu hasil produksi KHJL dilakukan berdasarkan pesanan dan produksi yang dilakukan KHJL tidak melebihi jatah tebangan tahunan sesuai
perhitungan data potensi layak panen. Target pemasaran kayu dalam bentuk square bersertifikat FSC KHJL berdasarkan RAT 2007 bahwa pada tahun 2008
sebesar 300 M
3
dengan kisaran nilai Rp. 1,8 Milyar. Metode pemasaran dilakukan dengan beberapa cara antara lain : melalui
fasilitasi pendamping dalam melakukan pertemuan dengan buyer, penyebaran lefletbrosur. Tetapi umumnya para buyer mengetahui informasi kayu FSC KHJL
dari browsing internet.
KHJL sejak menerima sertifikat atau dalam proses penilaian telah memproduksi sebanyak 1714,6583M
3
berdasarkan pendekatan volume pohon berdiri saat inventrisasi atau square log 1168,1059 M
3
dan telah dipasarkan ke industri di Pulau Jawa antara lain: Solo, Jepara, Semarang, Surabaya dan
Tangerang. Khusus tahun 2007, KHJL berhasil memasarkan 11 kontainer square log sebesar 244,8511 M3. KHJL hanya membeli kayu dari milik anggota dengan
tetap mengacu pada sistem yang sudah terbangun di internal KHJL dalam bingkai prinsip-prinsip FSC. KHJL tidak pernah melakukan pembelian tegakan jati yang
belum terdaftar sebagai anggota.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Hutan Masyarakat di Konawe Selatan strata II dan III pada periode pembenahan hutan rakyat ini tidak layak untuk diusahakan berdasarkan nilai
NPV, BCR dan IRR. Strata I NPV yang diperoleh impas. Nilai NPV yang diperoleh pada strata I, II dan III pada tingkat suku bunga 18 suku bunga yg
berlaku di konawe Selatan 2008 yaitu masing-masing –Rp. 27.501,00; –Rp.
4.231.546,00 dan –Rp. 9.254.448,00. Untuk BCR masing-masing strata yaitu
sebesar 1,00; 0,78; dan 0,67. Sedangkan untuk IRR masing-masing strata nilainya 17,94; 12,37; 10,00. Apabila diusahakan selama daur pertama
pembenahan, hutan tersebut menjadi layak dengan nilai NPV, BCR, dan IRR pada masing masing strata yaitu untuk NPV sebesar Rp. 7.704.499,00; Rp.
4.854.191,00 dan Rp. 3.241.314,00. Untuk BCR masing-masing strata yaitu sebesar 1,59; 1,24; dan 1,11. Sedangkan untuk IRR masing-masing strata
nilainya 25,08; 20,77; 19,23. Setelah dilakukan peningkatan penanaman nilai NPV pada strata II dan III masing-masing sebesar Rp. 10.022.538,00 dan
Rp. 27.849.197,00. BCR masing-masing sebesar 1,42 dan 1,60. Untuk IRR masing-masing sebesar 22,35 dan 23,22.
2. Status hutan pada periode pembenahan hutan rakyat masing-masing strata menjadi layak pada saat strata I menaikkan harga kayu lebih dari 10. Strata
II menjadi layak juga saat dinaikkan harga kayu lebih dari 30, dan strata III sebesar 50. Pada pembangunan hutan rakyat selama daur pertama
pembenahan, peningkatan biaya pengusahaan hutan akan mempengaruhi status kelayakan hutan. Pada strata I dan II masih layak diusahakan ketika
biaya naik 50. Pada strata III menjadi tidak layak ketika kenaikan biaya sebesar 30.
3. Pola kemitraan yang terjadi antara KHJL dengan petani hutan rakyat termasuk dalam pola kemitraan jangka panjang. Hal ini ditandai dengan adanya
hubungan jual beli antara KHJL dengan Masyarakat. Hubungan kerjasama antara KHJL dengan TFT termasuk dalam pola kemitraan jangka panjang. Hal