Analisis Kelayakan Usaha dan Kontribusi Pengelolaan Hutan Rakyat Koperasi Hutan Jaya Lestari, Kabupaten Konawe Selatan, Propinsi Sulawesi Tenggara

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak dahulu kala masyarakat telah memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari masyarakat yang telah memanfaatkan hutan sebagai lahan pertanian dan beternak untuk memenuhi kebutuhan pangan. Masyarakat memanfaatkan hutan sebagai tempat tinggal untuk menjadi tempat perlindungan dari binatang buas dan cuaca ekstrim. Masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan non kayu.

Semakin bertambahnya populasi manusia di Indonesia telah menimbulkan berbagai masalah antara lain meningkatnya kebutuhan hidup penduduk dan kebutuhan akan lahan. Permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya tekanan terhadap sumberdaya hutan yang terus bertambah dalam rangka memenuhi kebutuhan kayu, air, lapangan pekerjaan, mutu lingkungan yang baik, dan dalam perkembangannya diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pangan. Tekanan terhadap hutan yang sangat tinggi itu disebabkan oleh penebangan hutan yang luas untuk dijual kayunya.

Sebenarnya ini tidak perlu terjadi jika masyarakat dapat mengelola lahannya secara optimal. Pengoptimalan itu didapat dari berbagai macam bantuan-bantuan yang diberikan. Baik itu berupa bantuan-bantuan bibit ataupun bantuan-bantuan berupa pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan penduduk dalam mengelola hutannya secara optimal.

Sementara itu kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat akan hasil hutan, utamanya kayu, saat ini masih mengandalkan pada hutan alam. Di sisi lain peningkatan permintaan masyarakat akan kayu tersebut belum diiringi dengan upaya pembangunan hutan tanaman sebagai langkah antisipatif terhadap kebutuhan masyarakat tersebut.

Pemintaan akan kayu yang tinggi serta dengan adanya pembalakan liar terutama di lahan negara menumbuhkan inisiatif masyarakat untuk mengatasi masalah illegal logging itu. Langkah yang di tempuh masyarakat dalam membangun hutannya lagi yaitu dengan cara pembangunan hutan rakyat.


(2)

Koperasi Hutan Jaya Lestari didirikan ditengah keprihatinan masyarakat terhadap lajunya degradasi hutan Konawe Selatan, oleh karena itu salah satu tujuan koperasi ini dibentuk adalah untuk menekan kegiatan pembalakan liar yang marak terjadi di kawasan hutan produksi Konawe Selatan sekaligus mengembalikan dan mewujudkan cita – cita „Koperasi sebagai soko guru

perekonomian masyarakat‟.

Program ini diprakarsai dan difasilitasi oleh jaringan LSM lokal yang berbasis masyarakat yang dikenal dengan nama Jaringan Untuk Hutan (JAUH), Dinas Kehutanan Propinsi, BPDAS (Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai), Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Selatan, dan Tim Kelompok Kerja Kehutanan Sosial (Pokja SF) dari Dinas Kehutanan. Dengan segenap kemampuannya program tersebut secara intensif mendampingi kelompok masyarakat untuk mewujudkan program pemerintah tersebut.

Konawe Selatan merupakan pelopor dari seluruh hutan rakyat di luar jawa, jadi untuk mengetahui keberhasial pengelolaan hutan rakyat di Konawe Selatan perlu dilakukan penelitian. Dalam hal ini penulis memandang perlu melakukan penelitian dengan judul Analisis Kelayakan Usaha dan Kontribusi Pengelolaan Hutan Rakyat.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui kelayakan usaha pada pengelolaan hutan rakyat di Desa Lambakara, Kabupaten Konawe Selatan, Propinsi Sulawesi Tenggara.

2. Mempelajari sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Lambakara, Kabupaten Konawe Selatan, Propinsi Sulawesi Tenggara.

3. Mengetahui pola kemitraan yang terjadi di Koperasi Hutan Jaya Lestari. 4. Mengetahui sistem pemasaran kayu yang terjadi di KHJL.

5. Mengetahui kontribusi pendapatan petani terhadap pendapatan total. 1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi petani hutan rakyat dalam mengelola hutan untuk dapat meningkatkan pendapatan dengan lebih memperhatikan hasil komoditi sehingga pendapatan masyarakat meningkat secara berkelanjutan.


(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Hutan Rakyat

Istilah “Social Forestry” untuk pertama kalinya digunakan oleh Westoby (1968) dalam Ninth Commonwealth Forestry Congress tahun 1968 di New Delhi, India. Selanjutnya disebutkan oleh Tiwari (1983), bahwa Social Forestry pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat di pedesaan dari hutan, yaitu bahan bakar, pakan hewan, makanan, kayu, pemasukan ekonomi, dan lingkungan.

Tujuan utama kegiatan hutan rakyat itu sendiri yaitu mencapai keadaan sosial ekonomi penduduk pedesaan yang lebih baik, terutama penduduk di dalam dan di sekitar hutan. Masyarakat setempat diajak untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara lebih teratur dan lebih bertanggung jawab.

2.2 Hutan Rakyat

Dilihat dari fungsi dibangunnya hutan rakyat, maka hutan rakyat merupakan bentuk pengelolaan lahan yang sangat mempertimbangkan aspek kelestarian hasil dan aspek konservasi namun tetap memberikan peluang untuk meningkatkan hasil tanaman pangan, peningkatan pendapatan, dan perbaikan kesejahteraan petani. Di dalam UUPK No.5/1967 istilah hutan rakyat dijumpai di dalam penjelasan undang-undang tersebut. Di dalam batang tubuhnya sendiri istilah hutan rakyat tidak ada, akan tetapi ada disebutkan istilah hutan milik, yaitu lahan milik rakyat yang ditanami dengan pepohonan. Titik berat perhatian rakyat adalah menanam tanaman pangan karena pada waktu itu masyarakat Indonesia masih mengalami defisit suplai pangan terutama beras, atau ditanami dengan tanaman holtikultura dan tanaman semusim yang cepat menghasilkan dan dapat dijual untuk menghasilkan uang tunai (Simon, 1995).

Sedikit berbeda dengan pengertian hutan rakyat yang disebutkan dalam UUPK No.5/1967, di dalam UUPK No.41/1999 istilah hutan milik tidak dijumpai lagi, diganti dengan istilah hutan hak sebagai sisi lain dari hutan negara. Hutan hak diperuntukkan sebagai sinonim dari hutan rakyat tersebut. Pada dasarnya


(4)

hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di lahan milik, dikelola dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya atau rakyat (Djuwadi, 2002). Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.46/kpts-II/1997, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan jenis lainnya lebih dari 50% dan pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar.

Pemerintah Indonesia telah menawarkan sistem hutan kemasyarakatan sejak tahun 1998, namun konsep tersebut belum mengedepankan rakyat sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Rakyat hanya diajak, dan bukan rakyat yang menentukan sistem pengelolaan hutan. Kemudian di tahun 2003, dikeluarkan kembali pencanangan social forestry oleh pemerintah, yang konsepnya tidak jauh beda dengan konsep hutan kemasyarakatan (WALHI, 2004).

Selain itu, sangat banyak terdapat sistem pengelolaan hutan oleh rakyat yang ditawarkan. Misalnya Perhutani menawarkan konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, masyarakat diperbolehkan melakukan penanaman tanaman semusim di sela tanaman jati yang arealnya masih dikelola oleh Perhutani dan

masyarakat hanya ikut „menumpang‟ di lahan tersebut.

Sistem Hutan Kerakyatan yang digagas WALHI memiliki dua kata kunci,

yaitu “sistem hutan” dan “kerakyatan”. Sistem hutan untuk menggambarkan

bahwa hutan bukan sekedar tegakan kayu, melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan yang terdiri dari berbagai elemen, diantaranya hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, kebun, ladang, permukiman, hutan keramat, dan banyak lagi yang tergantung komunitas dan sistem ekologinya. Kerakyatan menegaskan bahwa aktor utama dalam pengelolaan hutan adalah komunitas lokal.

2.3 Peran Hutan Rakyat dan Manfaatnya

Menurut Direktur Penghijauan dan Perhutanan Sosial (Departemen Kehutanan 1995) menyatakan bahwa hutan rakyat mempunyai manfaat ganda, yaitu selain manfaat ekologis juga mempunyai manfaat ekonomis. Tujuan dan manfaat dibangunnya hutan rakyat tersebut adalah:

1. Memperbaiki penutupan tanah sehingga akan mencegah erosi 2. Memperbaiki peresapan air ke dalam tanah


(5)

3. Menciptakan iklim mikro, perbaikan lingkungan dan perlindungan sumber air 4. Meningkatkan produktifitas lahan

5. Meningkatkan pendapatan masyarakat

6. Memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu dan kebutuhan kayu rakyat.

Departemen Kehutanan (1995) sendiri menegaskan bahwa tujuan pokok dari pengembangan hutan rakyat adalah:

1. Memenuhi kebutuhan kayu

2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat 3. Memperluas kesempatan kerja penduduk 4. Salah satu upaya pengentasan kemiskinan

Saragih, Sunito, dan Suharjito (1995), mengemukakan hutan rakyat adalah bagian yang integral dari ekonomi rumah tangga rakyat yang mempunyai ciri multi purpose, yaitu :

1. Memenuhi sebagian dari kebutuhan pangan anggota rumah tangga, kebutuhan pakan ternak, bahan bangunan, dan sumber pendapatan

2. Memberikan hasil sepanjang tahun, tidak terikat musim sehingga dapat mengisi kebutuhan pada saat lahan-lahan pertanian tanaman semusim tidak menghasilkan

3. Hutan rakyat di Pulau Jawa berfungsi sebagai jaminan bagi kredit informal 4. Dapat berperan sebagai kebutuhan ekonomi daerah akan kayu, sayur, dan

buah-buahan serta tanaman obat-obatan

5. Berperan positif di dalam penyerapan air dan mencegah erosi

6. Dapat menjadi sumber plasma nutfah, khususnya hutan rakyat di pulau jawa. Toha (1987) menyebutkan bahwa sasaran pengembangan hutan rakyat terbagi menjadi tiga, yaitu sasaran fisik lingkungan hidup (environment), sasaran sosial ekonomi (prosperity) dan sasaran keamanan dan keutuhan negara (security).

2.4 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan hutan rakyat di satu sisi memang menunjukkan potensi hasil hutan kayu dan non kayu yang besar, peningkatan nilai ekologis kawasan, dan


(6)

tentu saja peningkatan pendapatan masyarakat pengelola hutan. Akan tetapi di sisi lain masih ditemui beberapa permasalahan, misalnya keterbatasan akses dan pengetahuan pasar masyarakat, penebangan yang masih dilakukan dengan sistem

”tebang butuh”, kualitas kayu dari hutan rakyat yang belum optimal akibat

kurangnya pengetahuan tentang teknik silvikultur, serta masih lemahnya pengetahuan pengelola hutan terkait dengan penaksiran dan perhitungan volume pohon maupun teknik pemotongan log, yang berakibat pada rendahnya harga jual kayu jika dibandingkan dengan harga pasar.

Pola usahatani hutan rakyat masih dilakukan secara tradisional dan belum sepenuhnya memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi perusahaan yang paling menguntungkan (Hardjanto, 1990). Pemilik hutan rakyat umumnya belum menggantungkan penghidupannya pada hutan-hutan yang dimilikinya, mereka mengusahakan hutan rakyat tersebut sebagai sambilan. Faktor penyebab para petani tidak menggantungkan penghidupannya pada hutan yaitu:

1. Belum adanya persatuan antar pemilik hutan rakyat 2. Sistem silvikultur belum diterapkan secara sempurna

3. Kurangnya pengetahuan petani dalam pemasaran hasil hutan rakyat

4. Belum adanya lembaga khusus yang menangani pengusahaan hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya adalah merupakan upaya menyeluruh dari kegiatan-kegiatan perencanaan, pembinaan, pengembangan, dan penilaian serta pengawasan pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil dan pemasaran secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir yang ingin di capai dari pengelolaan hutan rakyat adalah adanya peningkatan peran dari kayu rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemilik/pengusahanya secara terus menerus selama daur.

Departemen Kehutanan (1995) menyebutkan keberhasilan pengembangan hutan rakyat sangat tergantung pada :

1. Tujuan pengembangan hutan rakyat yang jelas 2. Lokasi dan luas unit usaha hutan rakyat

3. Pemilihan jenis yang di tanam

4. Sistem penanaman, pemeliharaan, dan Pengelolaan 5. Produksi tahunan yang terencana


(7)

6. Investasi yang tersedia dan keterkaitan dengan industri pengelolaan kayu. Departemen Kehutanan (1995) juga menyebutkan sistem pendanaan yang dilaksanakan dalam pengembangan hutan rakyat dapat ditempuh melalui:

1. Swadaya masyarakat baik perorangan, kelompok, maupun mitra usaha 2. Program bantuan impres penghijauan dan reboisasi/APBD

3. Kredit, berupa pinjaman lunak kepada petani/kelompok tani dengan pola acuan P3KUK-DAS melalui bank penyalur

4. Kredit usaha perhutanan rakyat, berupa pinjaman lunak kepada petani melalui mitra usaha yang pelaksanaannya diatur oleh Departemen Kehutanan dan BRI selaku bank penyalur.

2.5 Pengusahaan Hutan Rakyat 1. Biaya Pengusahaan Hutan Rakyat

Biaya secara sederhana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan. Jadi biaya pengusahaan hutan rakyat adalah segala bentuk korbanan ekonomi yang dikeluarkan atau akan dikeluarkan untuk mencapai tujuan pembangunan hutan rakyat. Pada prinsipnya biaya yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu biaya produksi tetap (fixed cost) dan biaya produksi berubah (variable cost). Biaya produksi tetap adalah semua jenis biaya yang tidak berubah besarnya walaupun jumlah barang yang dihasilkan berubah, misalnya sewa tanah. Sedangkan biaya produksi berubah adalah biaya produksi yang besarnya tergantung dari jumlah barang yang dihasilkan, misalnya membeli pupuk, bibit, upah tenaga kerja (Sumarta, 1963 dalam Hayono, 1996).

2. Pendapatan Usaha Hutan Rakyat

Pendapatan adalah penerimaan total dari penjualan hasil produksi sebelum dikurangi dengan biaya produksi. Besarnya Pendapatan dipengaruhi oleh jumlah barang yang dihasilkan/diproduksi dan harga masing-masing jenis dan kualitas produk. Pendapatan dari usaha hutan rakyat diperoleh dari penjualan kayu rakyat baik berupa kayu pertukangan maupun kayu bakar.


(8)

3. Analisis Finansial Pengusahaan Hutan Rakyat

Analisis finansial adalah analisis dimana suatu proyek dilihat dari sudut badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam suatu proyek. Analisis finansial pengelolaan hutan rakyat dapat dipakai sebagai ukuran keberhasilan dalam pengelolaan hutan rakyat lebih lanjut bagi masyarakat maupun pemerintah untuk menentukan langkah-langkah perbaikan dan peningkatan manfaat di masa yang akan datang, sehingga penggunaan dan alokasi sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara lebih efisien dan efektif.

Menurut Gittinger (1986), dalam menilai suatu proyek yang menggunakan Discounted Cash Flow (DCF) atau aliran kas yang berdiskonto berdasarkan pada tiga kriteria, yaitu :

1. Net Present Value (NPV), yaitu nilai kini atau sekarang dari suatu proyek setelah dikurangi dengan seluruh biaya pada suatu tahun tertentu dari keuntungan atau manfaat yang diterima pada tahun bersangkutan dan didiskontokan pada tingkat bunga yang berlaku.

2. Benefit Cost Ratio (BCR), adalah suatu cara evaluasi proyek dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh proyek dengan nilai sekarang seluruh biaya proyek.

3. Internal Rate of Return (IRR), adalah suatu tingkat suku bunga maksimal yang dibayarkan oleh suatu proyek untuk semua investasi dan sumberdaya yang digunakan.

Proyek diprioritaskan pelaksanaannya (layak), apabila nilai NPV>0, BCR>1 dan IRR lebih besar daripada suku bunga yang berlaku.

2.6 Pendapatan Rumah Tangga Petani

Pendapatan rumah tangga adalah kumpulan dari pendapatan anggota-anggota rumah tangga dari masing-masing kegiatannya. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dari penjualan, konsumsi keluarga akan komoditi yang dihasilkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan komoditi tersebut.

Biro Pusat Statistik (1993), menyatakan bahwa pendapatan rumah tangga petani tidak hanya berasal dari usaha pertaniannya saja, tetapi juga berasal dari


(9)

sumber-sumber lain di luar sektor pertanian, seperti perdagangan, jasa pengangkutan, industri pengolahan, dan lain-lain. Bahkan kadang penghasilan di luar usaha pertanian justru lebih besar daripada pendapatannya dari pertanian.

Sedangkan Kartasubrata (1980), menjelaskan bahwa pendapatan rumah tangga menurut sumbernya dibagi menjadi dua golongan, yaitu pendapatan kehutanan, adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan di hutan, dan pendapatan non kehutanan, yaitu pendapatan yang berasal dari hasil kegiatan di luar kehutanan.

2.7 Pola Kemitraan

Kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling menguntungkan.

Terdapat beberapa pola yang dapat diterapkan dalam pelaksanan kerjasama kemitraan. Pemilihan bentuk kerjasama dapat disesuaikan dengan melihat kondisi masing-masing pelaku kerjasama. Menurut Departemen Pertanian (1997), berdasarkan jangka waktunya, kemitraan dibedakan menjadi tiga, yaitu : 1. Kemitraan Insidental

Bentuk kemitraan ini didasarkan pada kepentingan ekonomi bersama dalam jangka pendek dan dihentikan jika kegiatan tersebut telah selesai, dengan atau tanpa kesepakatan tertulis atau kontrak kerja. Bentuk kemitraan seperti ini biasanya ditemui dalam pengadaan input dan pemasaran usaha tani.

2. Kemitraan Jangka Menengah

Bentuk kemitraan ini didasarkan pada motif ekonomi bersama dalam jangka menengah atau musim produksi tertentu, dengan atau tanpa perjanjian tertulis.

3. Kemitraan Jangka Panjang

Kemitraan ini dilakukan dalam jangka waktu yang sangat panjang dan terus-menerus dalam skala besar dan dengan perjanjian tertulis. Misalnya adalah kepemilikan perusahaan oleh petani atau koperasi.


(10)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lambakara, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan, Propinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai bulan Agustus 2008.

3.2 Sasaran

Sasaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemilik hutan rakyat di desa Lambakara, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan, Propinsi Sulawesi Tenggara. Selain itu penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari instansi-instansi terkait.

Penentuan responden dilakukan dengan metode stratified random sampling terhadap rumahtangga yang memiliki usaha hutan rakyat berdasarkan luas penguasaan lahannya.

3.3 Pengumpulan Data 1. Data Sekunder

Laporan kegiatan pengelolaan hutan rakyat, LSM pendamping, Kepala Desa dan Forum Kelompok Tani Hutan.

2. Data Primer

a. Wawancara dengan pengelola hutan rakyat, LSM Pendamping, Kepala Desa dan Forum Kelompok Tani Hutan.

b. Pengecekan langsung di lapangan.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Metode Pengambilan Sampel

Penentuan responden dilakukan dengan menggunakan metode stratified random sampling terhadap rumah tangga yang memiliki usaha hutan rakyat berdasarkan luas penguasaan lahannya. Stratifikasi lahan dibuat berdasarkan luas kepemilikan lahan masyarakat yang diketahui dari buku penduduk Desa


(11)

Lambakara. Stratifikasi kepemilikan lahan masyarakat desa yang dijadikan sample terbagi menjadi 3 strata yaitu :

Strata 1 : kepemilikan lahan <0,5 Ha Strata 2 : kepemilikan lahan 0,5-1 Ha Strata 3 : kepemilikan lahan >1 Ha

3.4.2 Metode Pengambilan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah : a. Teknik Observasi

Data dikumpulkan melalui pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti baik untuk responden maupun di lapangan.

b. Teknik Wawancara

Data dikumpulkan melalui tanya jawab yang dilakukan langsung terhadap responden yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat, pejabat setempat dan pemimpin formal maupun informal.

3.4.3 Metode Pengolahan Data

a. Kriteria Pembagian Hutan Rakyat berdasarkan luas lahan

Hutan rakyat dibagi menjadi 3 strata dengan batasan luasan sebagai berikut :

i. Strata I : Luas lahan kurang dari 0,5 Ha ii. Strata II : Luas lahan antara 0,5-1 Ha iii. Strata III : Luas lahan lebih besar dari 1 Ha b. Penerimaan dan Pendapatan Petani Hutan Rakyat

Penerimaan merupakan perkalian jumlah hasil produk dengan harga satuannya. Selanjutnya pendapatan merupakan selisih total penerimaan (total revenue) dengan total biaya yang dikeluarkan dalam usaha pengelolaan hutan (total cost). Untuk menentukan pendapatan dengan cara membagi jenis pendapatannya. Misalnya perolehan pendapatan dari padi, dari hutan rakyat, jasa, dagang, dan pengelolaan hutan rakyatnya. Setelah itu membagi jenis pendapatannya ke dalam beberapa strata. Sesuai dengan pembagian hutan rakyat


(12)

berdasarkan luas lahan. Setelah itu jumlahkan rata-rata dari masing-masing strata. Secara sistematis untuk menentukan pendapatan dituliskan sebagai berikut:

Pendapatan = TR-TC

Keterangan :

TR = Total Revenue TC = Total Cost

c. Analisis Deskriptif Kualitatif

Analisis Deskriptif Kualitatif menyangkut analisis tingkat pendapatan dan sumbangan masing-masing sektor ekonomi sebagai sumber pendapatan rumah tangga yaitu hutan rakyat dan non hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga buruh dan pekerja jasa dengan tujuan untuk melihat pengaruh kedua jenis usaha petani hutan rakyat. Adapun analisis yang digunakan adalah :

1. Rata-rata Pendapatan dan pengeluaran petani

Diperoleh dengan cara membagi antara pendapatan dan pengeluaran rumah tangga dari para petani per tahun dari jenis usaha tersebut dengan banyaknya rumah tangga responden.

2. Rata-rata Pendapatan san Pengeluaran Total Rumah Tangga Petani

Diperoleh dengan menjumlahkan total semua pendapatan dan pengeluaran rumah tangga para petani dari berbagai jenis usaha yang ada di tempat itu dengan banyaknya rumah tangga responden.

3. Kontribusi Kegiatan

Sumber pendapatan petani tidak sama antara lain usaha tani, hutan rakyat, dan jasa. Dalam hal ini hanya membandingkan dua saja yaitu mencari pendapatan masyarakat dari usaha hutan rakyat dan peranannya terhadap pendapatan total masyarakat. Hasil hutan rakyat biasanya dijadikan sebagai sumber penghasilan. Nantinya diharapkan dapat membandingkan kontribusi dari masing-masing kegiatan seperti mencari kontribusi pendapatan dan pengeluaran responden hutan rakyat terhadap pendapatan dan pengeluaran total rata-rata selama tahun 2008. Untuk mencari pendapatan rumah tangga dari usaha bertani :


(13)

X

ki

=

x100% Xti Xwi

Keterangan :

∑Xwi = Pendapatan rumah tangga dari petani per tahun jenis usaha ke–i

∑Xti = Pendapatan rumah tangga total dari petani per tahun jenis usaha ke–i Xki = Kontribusi kegiatan yang diperoleh petani

d. Analisis Kelayakan Usaha 1. Nilai Sekarang (Present Value)

Konsep nilai sekarang atau Present Value merupakan konsep untuk mengetahui nilai uang sekarang dan akan datang.

Dalam perhitungan PV tersebut ditentukan discount factor untuk menilai uang terhadap waktu. Rumus discount factor adalah :

df =

t

r) 1 ( 1  keterangan :

df = discount factor t = jangka waktu (thn) r = suku bunga PV = present value Sehingga rumus untuk PV adalah

PV =

t

n t r Vt ) 1 ( 1 

 keterangan :

Vt = Value pada tahun ke-t

5. Net Persent Value (NPV)

Net Persent Value merupakan nilai sekarang dari manfaat atau pendapatan dan biaya atau pengeluaran. Dengan demikian apabila NPV bernilai positif dapat diartikan juga sebagai besarnya keuntungan yang diperoleh dari usaha. Sebaliknya NPV yang bernilai negatif menunjukan kerugian.

NPV =

n t

t i Ct Bt ) 1 ( 1  


(14)

i = discount rate yang berlaku (%) Ct = biaya (cost) pada tahun ke-t n = umur proyek (tahun)

1. NPV>0 ; maka proyek menguntungkan dan dapat atau layak dilaksanakan. 2. NPV=0 ; maka proyek tidak untung dan tidak juga rugi, jadi tergantung pada

penilaian subyektif pengambilan keputusan.

3. NPV<0 ; maka proyek ini merugikan karena keuntungan lebih kecil dari biaya, jadi lebih baik tidak dilaksanakan.

6. Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return yaitu tingkat suku bunga yang membuat proyek akan mengembalikan semua investasi salama umur proyek. Jika dinilai Internal Rate of Return lebih kecil dari discount rate maka NPV<0, artinya sebaiknya proyek itu tidak dilaksanakan.

Inti analisis finansial adalah membandingkan antara pendapatan dengan pengeluaran, dimana suatu kegiatan atau usaha adalah feasible apabila pendapatan lebih besar dari pengeluaran.

IRR =

(2 1)

2 1

1

1 x i i

NPV NPV

NPV

i

 

Keterangan : i1 = discount rate yang menghasilkan NPV positif i2 = discount rate yang menghasilkan NPV negative NPV1 = NPV yang bernilai positif

NPV2 = NPV yang bernilai negative

1. IRR > discount rate yang berlaku ; maka kegiatan investasi layak dijalankan

2. IRR < discount rate yang berlaku ; maka kegiatan investasi tidak layak dijalankan

7. Benefit Cost Ratio (BCR)

Benefit Cost Ratio merupakan suatu cara evaluasi proyek dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil dengan nilai sekarang seluruh biaya proyek. BCR diperoleh dengan membagi jumlah pendapatan terdiskonto dengan


(15)

jumlah hasil diskonto biaya. Apakah usaha tersebut sudah layak dilaksanakan atau tidak,maka kita perlu menghitung nilai BCRnya. Kriteria usaha tersebut haruslah lebih besar dari 1.

BCR =

    n t t t n t t t i C i B 1 1 ) 1 ( ) 1 (

Keterangan : Bt = penerimaan (benefit) pada tahun ke-t Ct = biaya (cost) pada tahun ke-t

t = umur proyek (tahun)

i = discount rate yang berlaku (%) BCR > 1 ; maka proyek layak atau menguntungkan

BCR < 1 ; maka proyek tidak layak atau tidak menguntungkan

e. Kemitraan

Mengetahui pola kemitraan dengan mengetahui bentuk-bentuk kerjasama yang terjadi. Bentuk kerjasama dapat berupa :

1. Kemitraan Insidental

Bentuk kemitraan ini didasarkan pada kepentingan ekonomi bersama dalam jangka pendek dan dihentikan jika kegiatan tersebut telah selesai, dengan atau tanpa kesepakatan tertulis atau kontrak kerja.

2. Kemitraan Jangka Menengah

Bentuk kemitraan ini didasarkan pada motif ekonomi bersama dalam jangka menengah atau musim produksi tertentu, dengan atau tanpa perjanjian tertulis. 3. Kemitraan Jangka Panjang

Kemitraan ini dilakukan dalam jangka waktu yang sangat panjang dan terus-menerus dalam skala besar dan dengan perjanjian tertulis.


(16)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi

Kabupaten Konawe Selatan beribukota Andoolo dan secara geografis terletak di bagian selatan khatulistiwa. Luas wilayahnya 451.421 Ha atau 11,83% dari luas wilayah daratan Sulawesi Tenggara, dengan jumlah penduduk 226.734 jiwa.

Kabupaten Konawe Selatan terdiri dari 11 kecamatan dengan 286 desa dan 10 kelurahan. Dari 296 desa/kelurahan yang terdapat di Konawe Selatan 211 (71,28 %) masuk klasifikasi desa swadaya mula dan 85 sisanya (28,72 %) desa swadaya madya (BPS Kabupaten Konawe Selatan, 2005).

Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2005, jumlah penduduk Kabupaten Konawe Selatan sebanyak 228.765 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Konawe Selatan sebesar 2,71 persen pertahun (BPS Kabupaten Konawe Selatan, 2005).

Batas wilayah :

a) Sebelah Utara berbatasan dengan kabupaten Konawe dan kota Kendari b) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda dan Laut Maluku c) Sebelah Selatan berbatasan dengan kabupaten Bombana dan Muna d) Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Kolaka

Permukaan tanah pada umumnya bergunung dan berbukit yang diapit dataran rendah yang sangat potensial untuk perkembangan sektor pertanian.

4.2 Sejarah Koperasi Hutan Jaya Lestari

Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) dibentuk pada bulan Maret tahun 2003 sebagai bagian dari program kehutanan sosial Konawe Selatan yang dikelola oleh anggota masyarakat di sekitar area hutan produksi jati milik negara di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Pendirian koperasi ini di inisiasi oleh 46 ketua kelompok Social Forestry (SF) dari 46 desa, dalam 6 kecamatan, di wilayah kabupaten Konawe Selatan. Program ini diprakarsai dan difasilitasi oleh jaringan LSM lokal yang berbasis masyarakat yang dikenal dengan nama Jaringan


(17)

Untuk Hutan (JAUH), Dinas Kehutanan Propinsi, BPDAS (Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai), Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Selatan, dan Tim Kelompok Kerja Kehutanan Sosial (Pokja SF) dari Dinas Kehutanan.

Kegiatan pengorganisasian sejak awal hingga terbentuknya Koperasi Hutan jaya Lestari tidak lepas dari peran LSM yang peduli terhadap kelestarian lingkungan, oleh karena itu sebuah jaringan LSM lokal Sultra yang bernama JAUH-Sultra dengan segenap kemampuannya secara intensif mendampingi kelompok masyarakat untuk mewujudkan program pemerintah tersebut.

Hutan yang rakyat miliki saat ini dulunya merupakan hutan tanaman jati milik orang tua mereka. Orang tua mereka menanam jati agar nantinya anak cucu mereka bisa menikmati jati yang mereka tanam. Koperasi Hutan Jaya Lestari merupakan koperasi yang di bentuk oleh masyarakat konawe untuk menjaga kelestarian hutan. Koperasi mewajibkan anggotanya untuk menanam agar hutan yang mereka miliki lestari. Awalnya sebelum masyarakat bergabung dengan KHJL, mereka menjual kayu kepada pabrik-pabrik dengan harga yang murah. Namun setelah mereka bergabung dengan koperasi, masyarakat diajari tentang pentingnya menanam untuk masa depan dan kelestarian. Pada awal 2004 banyak masyarakat yang mulai mengikuti atau masuk menjadi anggota KHJL. Sehingga tahun 2004 merupakan tahun awal penanaman jati di konawe selatan ini.

Koperasi Hutan Jaya Lestari didirikan ditengah keprihatinan masyarakat terhadap lajunya degradasi hutan Konawe Selatan, oleh karena itu salah satu tujuan Koperasi ini dibentuk adalah untuk menekan kegiatan pembalakan tak legal yang marak terjadi di kawasan hutan produksi Konawe Selatan sekaligus mengembalikan dan mewujudkan cita – cita „Koperasi sebagai soko guru

perekonomian masyarakat‟.

Koperasi Hutan jaya Lestari dalam usahanya lebih mengedepankan nilai sosial yang dibangun dengan mengangkat kearifan lokal yang selama ini sangat dipatuhi oleh masyarakat, hal ini sangat efektif dalam kegiatan pengelolaan hutan secara lestari, dan secara umum dapat mempertahankan budaya local dalam upaya melestarikan hutan.


(18)

Tabel 1. Daftar anggota KHJL tahun 2004

No unit Unit/Desa Nama KU Kecamatan Jml Anggota

1 Lambakara Husen Laeya 53

2 Aoreo Abd. Maal Lainea 43

3 Pamandati Ramli Lainea 12

4 Anggoroboti Sultan H. A. Laeya 31

5 Eewa Jahar Palangga 17

6 Onembute Zakaria Palangga 22

7 Wonua Raya Warma S. Baito 47

8 Matabubu Kadir M. Baito 54

9 Rahamenda Syafrudin Andoolo 35

10 Mekarsari Siong Palangga 50

11 Koeono Chunding Palangga 14

12 Sawah Harami Kolono 44

13 Sambahule Haris Sp. Baito 31

14 Keaea Sailan Palangga 11

15 Mataiwoi Arbal Kolono 36

16 Polewali Taharuddin Lainea 13

17 Palendia Sarmudin Buke 28

18 Watumerembe Berdin Manus Palangga 17

19 Andinete Laode Hadisi Kolono 14

20 Lalobao Saenudin Sp Andoolo 4

21 Labokeo Kadir Laeya

22 Adayu Indah M. Toha

23 Buke Agustan Buke

24 Matabubu Jaya Togasi Lainea 3


(19)

4.3 Profil Koperasi Hutan Jaya Lestari

Pengurus KHJL berjumlah 5 orang dan Pengawas KHJL berjumlah 3 orang, yang dipilih setiap 3 tahun dalam satu periode masa jabatan yang berasal dari pengurus di unit kerja tiap desa.

Karyawan KHJL terdiri dari : a) Supervisor 2 orang

b) Staf administrasi 1 orang c) Staf inventarisasi 3 orang d) Staf grading 2 orang

Seluruhan karyawan KHJL direkrut melalui penjaringan dan seleksi. Tugas masing-masing karyawan diberikan berdasarkan kontrak kerja yang memuat tentang tata tertib kerja, hak dan tanggung jawab. Pengangkatan dilakukan dengan Surat Keputusan Pengurus.


(20)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Keadaan Umum Responden

Petani yang mengikuti program Koperasi Hutan Jaya Lestari di Desa Lambakara ini berjumlah 579 orang. Untuk pengambilan sampel digunakan statistik parametrik yang membutuhkan sampel minimal 30 sampel. Dari total petani tersebut diambil sampel sebanyak 55 orang sebagai responden. Dasar yang digunakan di dalam pengambilan sampel adalah luasan lahan hutan rakyat, dimana petani dibagi kedalam tiga strata yaitu strata I dengan luasan lahan <0,5 ha dengan jumlah responden 14 orang (25,45%), strata II dengan luasan lahan 0,5-1 ha dengan jumlah responden 11 orang (20%), dan strata III yang mempunyai luasan lahan lebih dari 1 ha dengan jumlah responden 30 orang (54,55%). Responden mempunyai tingkat pendidikan tergolong sedang. Dari 55 responden, yang menyelesaikan sekolah sampai tingkat SMP dan SMA masing-masing sebesar 13 orang dan 15 orang. Sebagian besar responden mempunyai tingkat pendidikan SD dengan jumlah 18 responden dan 5 orang melanjutkan ke jenjang kuliah dengan beragam tingkat seperti D1, D3, dan S1. Sedangkan responden yang tidak pernah sekolah sebanyak 4 orang (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

Strata Responden

Pendidikan I (<0,5 ha) II (0,5-1 ha) III (>1 ha) Jumlah n % n % n % n % Tidak

Sekolah 1 7.14 1 9.09 2 6.67 4 7.27 SD 4 28.57 6 54.55 8 26.67 18 32.73 SMP 5 35.71 2 18.18 6 20.00 13 23.64 SMA 1 7.14 2 18.18 12 40.00 15 27.27 Kuliah 3 21.43 0 0.00 2 6.67 5 9.09 Jumlah 14 100 11 100 30 100 55 100

Dari data di atas dapat diketahui tingkat pendidikan responden tergolong rendah, karena masih banyak orang yang lulusan SD tinggal di daerah tersebut. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi pola pikir responden dalam menjawab soal-soal quisioner serta di dalam mengelola hutan rakyatnya.


(21)

Seluruh responden mempunyai status sudah berkeluarga dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 4-5 jiwa. Mata pencaharian pokok yaitu sebagai petani baik pada strata I (64%), strata II (91%), maupun pada strata III (53,33%). Mata pencaharian pokok yang menempati urutan kedua yaitu mata pencaharian yang berhubungan dengan wiraswasta. Dalam hal ini wiraswasta dapat diartikan mereka yang memperoleh hasil dari membuka lapangan pekerjaan sendiri seperti warung, ataupun sebagai pengrajin dan penjual jasa. Dari tabel 3 terlihat bahwa pada strata I sebanyak 3 responden (21%) bermata pencaharian sebagai wiraswasta, strata II sebanyak 1 responden (9%), strata III sebanyak 8 responden (26,67%). Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel 3.

Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan mata pencaharian pokok

Strata Responden

Mata

I (<0,5 ha)

II (0,5-1

ha) III (>1 ha) Jumlah

Pencaharian n % n % n % n %

PNS 0 0 0 0 3 10.00 3 5.45

Guru 0 0 0 0 1 3.33 1 1.82

Tani 9 64 10 91 16 53.33 35 63.64

Wiraswasta 3 21 1 9 8 26.67 12 21.82

Karyawan 2 14 0 0 0 0.00 2 3.64

Kades 0 0 0 0 2 6.25 2 3.64

Total 14 100 11 100 30 100 55 100

5.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat 5.2.1 Pola Tanam dan Jenis Tanaman

Masyarakat di sana umumnya menanam tanaman jati diselingi dengan tanaman tumpang sari. Tanaman tumpang sari yang banyak diminati oleh para petani yang mengikuti koperasi KHJL ini umumnya lada. Bibit lada yang mereka dapat berasal dari bantuan-bantuan, sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk membeli bibit lada.

Untuk jarak tanam, petani hutan rakyat sudah punya inisiatif untuk menanam jati dalam ukuran 3x3m. Biasanya mereka menanam dengan menyelingi tanaman tumpang sari, sehingga mereka memperoleh manfaat ganda dan penghasilan tambahan dalam mengelola hutan rakyat.


(22)

Petani hutan rakyat Desa Lambakara umumnya menanam jati. Mereka berpikir bahwa jati akan memberikan pendapatan yang tinggi di masa depan dibandingkan tanaman lain.

Petani memperoleh benih jati dari BPDAS Sampara. Benih diberikan secara gratis tanpa dipungut biaya sedikitpun. Namun sering kali benih yang sampai ke tangan masyarakat busuk. Hal ini dikarenakan oleh lamanya benih yang didistribusikan ke masyarakat dan tempat penyimpanan benih yang tidak layak karena benih hanya di bungkus dengan kantong plastik yang tidak kedap udara. Dalam penyimpananya, sering kali benih terjemur terlalu lama dan terkena hujan. Ini terjadi karena pihak koperasi tidak mempunyai tempat khusus dalam penyimpanan benih sehingga benih diletakkan di halaman depan koperasi. Untuk menutupi kekurangan bibit di masyarakat, kebanyakan masyarakat mencari bibit-bibit jati yang berasal dari pohon induk. Biasanya mereka menunggu musim dimana pohon jati berbunga. Dalam mengambil bibit yang jatuh pun ada perhitungannya. Umumnya masyarakat di sana mempunyai pohon induk yang digunakan dalam memperoleh bibit jati.

5.2.2 Tahapan Pembangunan Hutan Rakyat

Pembangunan hutan rakyat di desa Lambakara ini terdiri dari beberapa kegiatan antara lain : Penyediaan benih, pembersihan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.

1. Pengadaan benih

Benih jati diperoleh dari BPDAS yang dibagikan secara gratis. Ada juga yang memanfaatkan benih jati yang petani ambil saat jati memasuki musim berbunga. Benih-benih yang diberikan tadi terlebih dahulu dilakukan seleksi, sehingga di mana benih yang diberikan secara gratis itu benar-benar benih yang bagus. Sering kali benih yang diberikan itu kondisinya sudah rusak dan jelek dikarenakan jarak yang ditempuh dan waktu yang dibutuhkan untuk sampainya benih itu ke tangan masyarakat cukup lama.

2. Persiapan lahan

Kegiatan persiapan lahan ini dilakukan dengan cara membersihkan alang-alang maupun gulma lain yang ada di sekitar hutan rakyat. Setelah pembersihan


(23)

lahan selesai baru dipasang ajir, dengan jarak tanam 3x3m. Setelah pemasangan ajir selesai dilakukan maka langkah selanjutnya adalah pembuatan lubang tanam, dimana lubang tanam dibuat dengan ukuran 1x1x1m. Setelah pembuatan lubang tanam maka bibit siap untuk ditanam.

3. Penanaman dan Pemupukan

Setelah penebangan dilakukan, para anggota koperasi diwajibkan untuk menanami kembali tanah-tanah mereka yang terdaftar dengan jumlah bibit yang memadai untuk menggantikan pohon-pohon yang telah ditebang. Keberhasilan penyemaian (penanaman) yang ditanami oleh anggota koperasi dipantau secara dekat selama tiga tahun pertama untuk memastikan tercapainya tujuan yang ingin dicapai.

Di kawasan hutan jati rakyat, dengan pohon dan anak jati yang tumbuh secara berdekatan, para anggota akan diajari untuk senantiasa memperjarang penanaman (hanya untuk pohon jati) agar tingkat pertumbuhan pohon maksimal dan berkualitas tinggi.

Sesuai dengan standar SOP yang ada bahwa dalam proses penanaman, bibit yang siap ditanam dimasukkan di dalam lubang yang telah disiapkan, setelah dikeluarkan dari polybag dengan cara disobek dengan hati-hati agar tidak merusak akar. Bibit itu haruslah ditanam bersama tanahnya agar akar jati tidak terlambat pertumbuhannya. Dalam menanam jati, hendaknya kita membuat lubang yang dalam untuk menghindari kekeringan akar dan akar tidak terlipat.

Setelah bibit di masukkan ke dalam lubang, timbun lubang tanam itu dengan tanah dan tinggikan di sekitar batang tanaman agar genangan air tidak terkumpul di akar jati yang baru ditanam. Bila jati ditanam terlambat pada musim kemarau, maka di sekitar batang jati ± 1m di sekeliling batang tanahnya dibuat lebih rendah (cekungan) agar air yang ada terkumpul di sekitar akar pohon dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan.

Dalam perawatannya, bibit jati seharusnya diberi perlakuan yang baik. Perlakuan itu meliputi pemindahan bibit dari persemaian ke lokasi penanaman harus dilakukan secara hati-hati agar tidak merusak akar dan mengakibatkan stres. Selama proses pemindahan, usahakan bibit tidak mengalami proses kekeringan. Penanaman harus dilakukan setelah bibit dipindahkan ke lokasi penanaman dan


(24)

jangan sekali-kali memangkas akar bibit jati yang akan ditanam. Semakin banyak akar akan membuat pertumbuhan semakin baik.

Sebelum bibit ditanam, terlebih dahulu diberi pupuk kandang pada lubang tanaman, kemudian baru bibit ditanam. Untuk lahan yang dikelola secara tumpang sari penanaman bibit tanaman pokok diikuti dengan penanaman tanaman pertanian di sela-sela tanaman pokok, dengan jenis tanaman jagung, lada, dan singkong.

4. Pemeliharaan

Pemeliharaan dilakukan dengan cara pemangkasan cabang. Untuk lahan yang dikelola secara tumpangsari, pemangkasan cabang dilakukan sepanjang lahan masih ditanami tanaman pertanian yaitu sampai tahun ke tiga. Sedangkan untuk lahan yang dikelola secara monokultur pemangkasan cabang hanya dilakukan pada tahun pertama saja.

5. Pemanenan

Tahapan perencanaan panen dimulai dari up-date data inventarisasi dan menetapkan JTT kemudian dikeluarkan data layak panen untuk keseluruhan anggota KHJL. Koordinator unit akan mengajukan permohonan panen yang dilampiri dengan permohonan uang muka. Setelah dihitung biaya dan menyesuaikan jumlah volume yang akan dikirim, maka KHJL akan mengeluarkan ijin panen. Pelaksanaan panen akan dimulai apabila uang muka telah diberikan sebesar 60% dari estimasi volume pohon berdiri dan pemanenan diawasi oleh tim Grading yang siap memberi identitas COC pada setiap potongan kayu yang akan dibentuk square.

6. Pemasaran

Untuk pemasaran tanaman pokok hutan rakyat, koperasi mewajibkan para anggotanya untuk menjual kayunya kepada koperasi. Jika ada anggotanya yang menjual kayunya kepada orang lain, maka koperasi berhak untuk memberi sanksi kepada yang melanggar. Dan si pelanggar bisa dicabut status keanggotaannya oleh pengurus koperasi KHJL.


(25)

5.3 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat 5.3.1 Pendapatan Rumah Tangga Petani

Dari 55 responden, sebanyak 53 responden memperoleh penghasilan dari bertani. Baik itu petani sawah yang menghasilkan padi,maupun petani lahan kering yang menghasilkan hasil bumi seperti palawija maupun buah-buahan. Penghasilan petani sangat beragam. Hal ini tergantung dari luasan lahan yang mereka garap dan mereka punyai. Seluruh responden yang mengikuti KHJL ini umumnya semua mempunyai mata pencaharian sampingan.

Perbedaan sumber-sumber mata pencaharian responden akan berpengaruh langsung terhadap jumlah pendapatan responden. Pendapatan masyarakat selama setahun terakir dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Pendapatan rata-rata responden dari berbagai sumber pada tahun 2008

Sumber I (<0,5 ha) II (0,5-1 ha) III (>1 ha) Pendapatan (Rp/th) (%) (Rp/th) (%) (Rp/th) (%) Usaha tani 4,130,000 38.0 6,854,545 53.1 5,476,667 29.5 Hutan rakyat 2,207,143 20.3 2,309,091 17.9 3,715,000 20.0 Peternakan 821,429 7.6 254,545 2.0 311,333 1.7 Sumber lain 3,714,286 34.2 3,500,000 27.1 9,041,667 48.8 Jumlah 10,872,858 100 12,918,181 100 18,544,667 100

Dari tabel 4 strata I dapat diketahui bahwa pendapatan petani terbesar diperoleh dari usaha tani sebesar Rp.4.130.000.00 per tahun (38%). Tidak terlalu berbeda jauh dengan sumber pendapatan dari sumber lain seperti wiraswasta dan gaji bulanan pekerjaan lain seperti guru, PNS, dan lain-lain, yaitu sebesar Rp. 3.714,286.00 per tahun (34,2%). Pendapatan paling kecil terdapat di sektor peternakan yaitu Rp. 821.429.00 per tahun (7,6%). Hal ini terjadi karena banyak responden yang tidak mau menjual ternak mereka dan kebanyakan ternak mereka dikonsumsi sendiri. Sehingga dapat kita ketahui bahwa pada strata I responden lebih memprioritaskan pada pertanian dan sumber lain.

Pada strata II dapat kita ketahui bahwa pendapatan terbesar dari sektor pertanian atau usaha tani sebesar Rp. 6.854.545.00 per tahun (53,1%). Sedangkan sumber pendapatan terkecil terletak pada sektor peternakan yaitu Rp. 254.545.00 per tahun (2%). Pada strata II terlihat bahwa selain dari sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama, mata pencaharian sumber lain memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan total petani.


(26)

Pada strata III sektor pertanian tidak memberikan kontribusi yang banyak terhadap pendapatan petani. Hal ini terlihat pada sektor pertanian yang tidak terlalu besar yaitu Rp. 5.476.667.00 per tahun (29,5%). Sedangkan dari sumber pendapatan lain seperti wiraswasta dan gaji bulanan pekerjaan lain seperti guru, PNS, dan lain-lain, memberikan kontribusi terbesar terhadap pendapatan total petani yaitu sebesar Rp. 9.041.667.00 per tahun (48,8%). Hal ini terlihat bahwa responden pada strata III menjadikan bertani sebagai mata pencaharian sampingan. Maksud arti dari mata pencaharian pokok adalah responden menjadikan suatu jenis pekerjaan sebagai sumber pendapatan keluarga yang utama. Sedangkan arti dari pekerjaan sampingan adalah responden menjadikan pekerjaaan yang ada selain pekerjaan pokok sebagai salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan dalam upaya memenuhi kebutuhan keluarga.

Tabel 5. Kontribusi Pendapatan Responden Hutan Rakyat terhadap pendapatan Total Rata-rata pada Tahun 2008

Strata Pendapatan Rata-Rata

Hutan Rakyat (Rp/thn/Ha)

Total (Rp/thn/Ha)

Kontribusi (%) I 2,207,143 10,872,858 20.30 II 2,309,091 12,918,181 17.87 III 3,715,000 18,544,667 20.03

Pada tabel 5 menjelaskan kontribusi pendapatan responden hutan rakyat terhadap pendapatan total. Pada strata I memberikan kontribusi sebesar 20,3%; strara II sebesar 17,87%; dan strata III sebesar 20,03%.

Pendapatan pertanian lebih besar daripada pendapatan hutan rakyat namun lebih kecil daripada pendapatan lain-lain / non pertanian. Ini menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat hanya merupakan pekerjaan tambahan atau dapat dikatakan pekerjaan waktu luang saja sedangkan para petani hutan rakyat mengandalkan pendapatannya pada pekerjaan luar pertanian. Hal ini dikarenakan hutan rakyat mempunyai pertumbuhan tegakan yang lama sehingga tidak dapat memberi hasil yang cepat dan rutin. Hutan rakyat ini digunakan untuk keperluan mendesak serta sebagai tabungan untuk masa depan.


(27)

5.3.2 Pengeluaran Rumah Tangga Petani

Pengeluaran setiap responden masing-masing strata berbeda-beda hal ini dipengaruhi oleh pola konsumsi, tingkat pengetahuan, jumlah tanggungan setiap keluarga dan faktor lainnya. Jenis-jenis pengeluaran masyarakat untuk semua responden hampir sama yaitu untuk memenuhi kebutuhan beras dan non beras, biaya pendidikan, biaya transportasi, biaya usaha tani, dan untuk pengeluaran lain-lain. Responden diklasifikasikan berdasarkan luasan hutan rakyatnya, bukan berdasarkan luasan pertanian sehingga pengeluaran rata-rata tiap responden berbeda-beda. Rata-rata pengeluaran petani per tahun dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Rata-rata pengeluaran responden pertahun

Sumber I (<0,5 ha) II (0,5-1 ha) III (>1 ha) Pengeluaran (Rp/th) (%) (Rp/th) (%) (Rp/th) (%) Beras 2,292,857 22.3 2,774,545 26.6 2,619,333 20.8 Non beras 2,171,429 21.2 2,022,727 19.4 2,958,000 23.5 Input usaha tani 745,714 7.3 754,545 7.2 945,533 7.5 Pendidikan 1,002,857 9.8 1,063,636 10.2 963,333 7.7 Lain-lain 4,047,143 39.4 3,797,273 36.5 5,079,033 40.4 Jumlah 10,260,000 100 10,412,726 100 12,565,232 100

Pada strata I pengeluaran terbanyak pada kebutuhan hal lain-lain seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi, rekreasi, peralatan rumah tangga, pajak, dan biaya tak terduga lainnya, yaitu Rp. 4.047.143.00 per tahun (39.4%). Dan pengeluaran terkecil pada kebutuhan akan input usaha tani yaitu sebesar Rp. 745.714.00,- per tahun (7.3%). Hal ini terjadi karena banyak responden yang enggan atau tidak mau menggunakan pupuk dalam kegiatan penanaman. Dan jarang sekali responden melakukan perawatan terhadap tanaman yang mereka punyai sehingga kebutuhan mereka akan input usaha tani sangat kecil. Besarnya nilai kebutuhan akan hal-hal lain itu terjadi karena banyak responden mempunyai pengeluaran yang tiba-tiba di dalam kurun waktu satu tahun ini. Selain itu juga kebutuhan responden akan kendaraan sangat tinggi sehingga memerlukan konsumsi bahan bakar yang tinggi pula. Rumah juga mempunyai sumber pengeluaran yang tinggi dikarenakan harga material yang harganya cukup mahal di pasaran.

Pada strata II pengeluaran terbesar masih pada kebutuhan lain-lain yaitu sebesar Rp. 3.797.273.00per tahun (36,5%). Sedangkan untuk pengeluaran paling


(28)

kecil ada pada kebutuhan akan input usaha tani sebesar Rp. 754.545.00 per tahun (7,2%). Pada strata III pengeluaran terbesar juga pada kebutuhan akan lain-lain dengan rata-rata sebesar Rp. 5.079.033.00 per tahun (40.4%) dan kebutuhan terkecil pada imput usaha tani yaitu dengan rata-rata sebesar Rp. 945.533.00 per tahun (7.5%).

Tingkat pengeluaran responden akan sangat berpengaruh pada pendapatan per kapita responden. Dengan pengeluaran yang besar maka pendapatan per kapita responden akan berkurang, apabila pengeluaran lebih besar daripada pendapatan maka responden akan mengalami defisit yang mengakibatkan responden harus mengeluarkan sejumlah uang dari tabungannya untuk memenuhi kebutuhannya, sedangkan jika pengeluaran lebih kecil daripada pendapatan maka responden akan mendapatkan sisa yang dapat ditabung untuk kebutuhan yang akan datang.

Pada tabel 7 secara keseluruhan dari ketiga kelas, presentase pendapatan terhadap pengeluaran adalah 125,9%. Dengan kata lain masyarakat di Desa Lambakara dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan mempunyai sisa. Sisa dari pendapatan tersebut biasanya mereka gunakan untuk membeli barang yang bersifat monumental seperti membangun rumah, membeli tanah, dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya presentase pendapatan total rata-rata terhadap pengeluaran total rata-rata dapat dilihat di table 7.

Tabel 7. Presentase Pendapatan Total rata terhadap Pengeluaran Total Rata-rata

Kelas Pendapatan Pengeluaran Presentase Pendapatan Rata-rata Rata-rata Terhadap Pengeluaran (%) I

10,872,857 10,260,000 106.0 II

12,918,182 10,412,727 124.1 III

18,544,667 12,565,233 147.6 Rata-rata

14,111,902 11,079,320 125.9

5.4 Analisis Finansial Usaha Hutan Rakyat

Untuk mengetahui kelayakan pengusahaan hutan rakyat dilakukan analisis finansial dengan menggunakan metode analisis aliran kas dari biaya dan pendapatan yang telah didiskonto. Besarnya suku bunga yang digunakan adalah


(29)

18% yaitu suku bunga yang berlaku tahun 2008 di daerah penelitian pada saat dilakukan penelitian.

Biaya pengusahaan hutan rakyat terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yang ada dalam pengusahaan hutan rakyat yaitu biaya sewa/pajak tanah. Sedangkan biaya variabel yang terdapat dalam pengusahaan hutan rakyat yaitu : biaya pengadaan bibit dan benih, biaya tanam, biaya pemeliharaan, biaya pemanenan, dan biaya tak terduga lainnya.

Kriteria Kelayakan yang digunakan dalam analisis adalah Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara present value daripada benefit dan present value daripada biaya, Benefit Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR).

Berdasarkan lampiran 4 dapat dilihat bahwa biaya pengusahaan hutan rakyat di Desa Lambakara terdiri dari :

A. Biaya tetap

1. Biaya pajak rata-rata pada strata I sebesar Rp. 9.893,00 per tahun, pada strata II sebesar Rp. 15.409,00 per tahun, dan pada strata III sebesar Rp. 19.983,00 per tahun. Biaya pajak ini dikeluarkan terus setiap tahunnya. Besar kecilnya biaya pajak ini tergantung dari luasan lahannya.

B. Biaya variabel

1. Biaya pengadaan bibit dengan menghitung upah pekerja dan jasa yang dikeluarkan. Pada strata I, biaya bibit yang diperoleh sebesar Rp. 25.000,00 per tahun, pada strata II sebesar Rp. 26.364,00 per tahun, dan strata III sebesar Rp. 31.000,00 per tahun.

2. Biaya pembuatan ajir pada strata I sebesar Rp. 100.000,00 per tahunnya, strata II sebesar Rp. 125.000,00 per tahun, dan pada strata III sebesar Rp 200.000,00 per tahunnya.

3. Biaya tanam yang terdiri dari pembuatan lubang tanam, pengadaan pupuk, serta upah tukang. Biaya tanam pada strata I sebesar Rp. 149.643,00 per tahun, pada strata II biaya tanamnya sebesar Rp. 314.545,00 per tahunnya, dan pada strata III biaya tanamnya sebesar Rp. 400.167,00 per tahunnya.

4. Biaya pemeliharaan terdiri dari biaya pemangkasan cabang, pengadaan alat, serta biaya pemberian pupuk tambahan. Biaya tersebut di total dan mendapatkan rata-rata pertahunnya yang dikeluarkan petani pada strata I


(30)

sebesar Rp. 82.857,00 per tahun, pada strata II sebesar Rp. 231.364,00 per tahun, dan pada strata III sebesar Rp. 259.833,00 per tahun.

5. Biaya pemanenan terdiri dari biaya penyewaan alat serta upah tukang. Biaya pada strata I sebesar Rp. 307.857,00 per tahunnya, pada strata II sebesar Rp. 387.273,00 per tahunnya, dan pada strata III sebesar Rp. 505.000,00 per tahun. Biaya panen ini akan berubah ketika volume tebangan bertambah.

6. Untuk biaya lain-lain seperti pengadaan makanan kecil ataupun rokok pada strata I sebesar Rp. 17.857,00 per tahunnya, strata II sebesar Rp. 25.000,00 per tahunnya, dan pada strata III sebesar Rp. 51.667,00 per tahunnya.

C. Perkiraan Nilai Tegakan Sisa pada Tahun 2008

Perkiraan nilai tegakan sisa ini merupakan perkiraan biaya yang dikeluarkan oleh petani saat pertama kali orang tua mereka menanam jati hingga sekarang. Nilai ini diperoleh dari jumlah volume sisa yang ada saat sekarang atau volume yang belum ditebang hingga tahun 2008 saat penelitian ini dilakukan dikalikan dengan harga tegakan yang berlaku di pasar. Harga tegakan saat pohon berdiri diperoleh dengan pengurangan harga log yang berlaku di pasar dengan biaya pemanenan. Harga log yang berlaku di pasar saat ini adalah Rp. 1.500.000,00/m3.

Tabel 8. Rincian biaya pemanenan

Biaya sewa chainsaw : 300000 Upah buruh angkut : 50000 Biaya Penampungan di TPN : 175000 Pengangkutan dari TPN ke TPK : 100000

Biaya Total Pemanenan : 625000

Dari tabel terlihat bahwa total biaya pemanenan sebesar Rp. 625.000,00 /m3. Setelah diketahui volume sisa rata-rata dari masing-masing strata, maka dapat diperoleh nilai tegakan sisa pada tahun 2008 dengan cara mengkalikan harga tegakan pada tahun 2008 dengan volume tegakan sisa. Nilai tegakan sisa ini dikalikan lagi dengan 50% mengingat bahwa tegakan jati di Konawe Selatan ini umumnya berupa tegakan jati sisa penebangan. Selain itu juga jika dilihat dari hasil panen yang mereka peroleh, banyak yang terbuang daripada yang terpakainya. Rata-rata pohon jati yang dimiliki warga juga banyak yang cacat growong. Maka dari itu, pengkalikan 50% dari nilai tegakan sisa ini


(31)

mempunyai maksud memperoleh nilai yang bersih untuk dimasukkan ke dalam tabel aliran cash flow. Dengan pendekatan tersebut, nilai tegakan sisa pada strata I diperoleh sebesar Rp. 10.305.313,00 (untuk 23,56m3); Strata II sebesar Rp. 16.384.256,00 (untuk 37,45m3); Strata III sebesar Rp. 25.531.159,00 (untuk 58,36m3).

D. Simulasi Proyeksi Hasil Tanam

Pada Lampiran 6 dapat dijelaskan bahwa penghitungan dilakukan hingga tahun ke-33 atau tahun 2041. Diperkirakan pada tahun 2023, tanaman jati yang sekarang baru berumur 3 tahun sudah mencapai umur 18 tahun dan sudah dapat di panen.

1. Strata I

Terlihat pada lampiran 6 strata I pada tahun 2005 hingga tahun 2018 masih menggunakan atau masih memanen tegakan sisa tanaman jati yang lama yaitu sebesar 2,12 m3. Tahun 2019, volume tegakan sisa sudah habis. Maka untuk kontinyuitas penghasilan petani dari hutan rakyatnya sejat tahun tersebut (2019) hingga tahun 2022 akan memanfaatkan tanaman jati yang akan dipanen pada tahun 2023. Pada tahun 2023 volumenya sudah berkurang karena dimanfaatkan pada tahun 2019 hingga tahun 2022 menjadi 11,76 m3. Dari tahun 2024 hingga tak terhingga sudah memanfaatkan tegakan jati yang mereka tanam tahun 2005 yaitu sebesar 20 m3.

2. Strata II

Pada strata II tahun 2005 hingga tahun 2022 masih memanfaatkan jati sisa sebesar 2,5m3/th. Pada tahun 2023 hingga tahun selanjutnya sudah bisa memanen jati yang mereka tanam di tahun 2005 sebesar 24m3/th.

3. Strata II

Pada strata III tahun 2005 hingga tahun 2025 masih memanfaatkan jati tahun 2005 yaitu sebesar 3,16m3/ha. Namun tahun 2026 volume sisanya menjadi 1,48m3. Pada tahun 2023 sudah bisa memanfaatkan tanaman jati yang ditanam tahun 2005, sehingga tahun tersebut volume yang ditebang menjadi 28,13m3 hingga tahun 2025. Tahun 2026 dipanen sebesar 26,78m3. Selanjutnya dari tahun 2027 hingga tahun seterusnya dipanen sebesar 32m3.


(32)

Setelah diketahui pendapatan kotor hutan rakyat dan biaya pengusahaan hutan rakyat, maka dapat dilakukan perhitungan analisis finansial pada masing-masing strata.

5.4.1 Analisis Finansial Usaha Hutan Rakyat Pada Periode Pembenahan Pada periode pembenahan ini dihitung hingga tahun 2023 dikarenakan tegakan jati yang baru ditanam pada tahun 2005 sudah mencapai umur 18 tahun dan sudah siap panen pada tahun tersebut. Pada periode ini masyarakat Konawe lebih memfokuskan pada kegiatan penanaman dan diharapkan pada tahun 2023 tanaman yang mereka tanam sudah dapat mereka panen. Sedangkan pemungutan hasil selama periode ini merupakan pemanfaatan tanaman sisa hasil penanaman waktu yang lalu.

Berdasarkan lampiran 7 untuk strata 1 dapat dijelaskan bahwa sumber yang masuk dalam aliran kas ini berasal dari penjualan log. Pada strata 1 biaya penjualan log sebesar Rp. 2.543.828,00 per tahunnya hingga tahun 2022 dan pada tahun 2023 sudah memanfaatkan tanaman jati baru yang di tanam tahun 2005 sebesar Rp. 14.115.000,00. Nilai ini didapat dari penjualan rata-rata kayu jati rakyat per tahunnya. Untuk arus kas keluar pada dasarnya merupakan proyeksi biaya-biaya yang akan dan atau yang telah dikeluarkan selama periode analisis investasi yang ditetapkan. Pada strata ini kas yang keluar pada tahun ke-0 adalah perkiraan nilai tegakan sisa pada tahun 2008 yang besarnya Rp. 10.305.313,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-14 (2022) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 693.107,00 dan pada tahun ke-15 (2023) besarnya Rp. 2.089.326,00. Setelah semuanya dihitung, didapat bahwa kas keluar pada tahun 2008 sebesar Rp. 10.305.313,00. Pada tahun ke-1 hingga tahun ke-14 kas keluarnya jumlahnya sama yaitu Rp. 693,107,00 dan tahun ke-15 sebesar Rp. 2.089.326,00. Setelah di hitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar -Rp. 27.501,00; BCR sebesar 1,00; dan IRR sebesar 17,94%.

Pada lampiran 8 strata II kas masuk pada tahun ke-1 hingga tahun ke-13 sebesar Rp. 2.994.436,00 sedangkan tahun ke-14 besarnya Rp. 2.940.000,00 dan tahun ke-15 sebesar Rp. 28.800.000,00. Kas yang keluar pada tahun ke-0 merupakan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Volume tegakan sisa pada tahun


(33)

2008 sebesar 37,45m3. Nilai tegakan sisa pada tahun tersebut strata II sebesar Rp. 16.384.256,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-13 (2021) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 1.124.995,00. Pada tahun ke-14 nilainya Rp. 1.117.209,00 dan tahun ke-15 sebesar Rp. 4.455.493,00. Setelah di hitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar -Rp. 4.231.546,00; BCR sebesar 0,78; dan IRR sebesar 12,37%.

Pada lampiran 9 strata III kas masuk pada tahun ke-1 hingga tahun ke-14 sebesar Rp. 3.791.160,00 dan tahun ke-15 sebesar Rp. 42.195.000,00. Kas yang keluar pada tahun ke-0 merupakan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Volume tegakan sisa pada tahun 2008 sebesar 58,36m3. Nilai tegakan sisa pada tahun tersebut strata II sebesar Rp. 25.531.159,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-14 (2022) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 1.467.460,00 sedangkan pada tahun ke-15 besarnya Rp. 6.577.538,00. Setelah di hitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar -Rp. 9.254.448,00; BCR sebesar 0,67; dan IRR sebesar 10%.

Suku bunga yang digunakan adalah suku bunga yang dipakai di daerah penelitian, yaitu sebesar 18% (2008). Dari hasil perhitungan analisis finansial dalam satu periode pembangunan hutan rakyat pada masing-masing strata maka diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 9. Analisis Finansial pada Periode Pembenahan

Strata Analisis Finansial Status

NPV BCR IRR

I -27.501 1,00 17,94 Impas II -4.231.546 0,78 12,37 Tidak Layak III -9.254.448 0,67 10,00 Tidak Layak

Dari tabel 8 di atas, terlihat bahwa pengusahaan hutan rakyat pada strata II dan III tidak layak secara finansial untuk diusahakan di desa Lambakara. Pada penilaian finansial pengusahaan hutan rakyat di Desa Lambakara strata I didapatkan hasil NPV negatif sebesar Rp. 27.501,00. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat di strata I impas karena nilai negatif Rp. 27.501,00 jika dibandingkan dengan nilai pendapatan dari hutannya tidak terlalu berpengaruh. Nilai NPV negatif di dapat pada strata II dan strata III dengan masing-masing nilai NPV sebesar –Rp. 4.231.546,00 dan -Rp. 9.254.448,00. BCR pada strata II dan III


(34)

nilainya kurang dari satu. Berarti hutan tersebut tidak layak untuk di usahakan. IRR strata II dan III lebih kecil dari discount rate (18%) maka usaha hutan rakyat tersebut tidak layak.

5.4.2 Analisis Finansial Usaha Hutan Rakyat Selama Daur Pertama Pembenahan (Periode Pembenahan + Periode Mantap)

1. Skenario 1

Pada skenario satu ini terlihat pada lampiran 6 dimana tanaman jati yang ditanam oleh petani pada strata I, strata II, dan strata III masing-masing sebanyak 25 pohon per tahun, 30 pohon per tahun, dan 40 pohon per tahun (sesuai dengan yang dianjurkan oleh KHJL yaitu apabila melakukan pemanenan sebanyak 1 pohon maka petani diwajibkan menanam 10 pohon).

Pada lampiran 10 strata I biaya penjualan log sebesar Rp. 2.543.828,00 per tahunnya hingga tahun 2022 dan pada tahun 2023 sudah memanfaatkan tanaman jati baru yang di tanam tahun 2005 sebesar Rp. 14.115.000,00. Pada tahun ke-16 (2024) hingga tahun ke-33 (2041) di peroleh penghasilan sebesar Rp. 24.000.000,00. Nilai ini didapat dari penjualan rata-rata kayu jati rakyat per tahunnya. Untuk arus kas keluar pada dasarnya merupakan proyeksi biaya-biaya yang akan dan atau yang telah dikeluarkan selama periode analisis investasi yang ditetapkan. Pada strata ini kas yang keluar pada tahun ke-0 adalah perkiraan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Nilai tegakan sisa pada tahun 2008 diperoleh dari perkalian antara volume tegakan sisa dengan harga tegakan. Volume tegakan sisa pada strata I sebesar 23,55m3. Nilai tegakan sisanya sebesar Rp. 10.305.313,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-14 (2022) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 693.107,00 sedangkan pada tahun ke-15 (2023) besarnya Rp. 2.089.326,00. Pada tahun ke-16 (2024) hingga tahun ke-33 (2041) besarnya biaya operasional sebesar Rp. 3.282.722,00. Setelah di hitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar Rp. 7.704.499,00; BCR sebesar 1,59; dan IRR sebesar 25,08%.

Pada lampiran 11 strata II kas masuk pada tahun ke-1 hingga tahun ke-13 sebesar Rp. 2.994.436,00 sedangkan tahun ke-14 besarnya Rp. 2.940.000,00 dan tahun ke-15 hingga tahun ke-33 sebesar Rp. 28.800.000,00. Kas yang keluar pada tahun ke-0 merupakan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Volume tegakan sisa


(35)

pada tahun 2008 sebesar 37,45m3. Nilai tegakan sisa pada tahun tersebut strata II sebesar Rp. 16.384.256,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun 13 (2021) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 1.124.995,00. Pada tahun ke-14 nilainya Rp. 1.117.209,00 dan tahun ke-15 hingga tahun ke-33 sebesar Rp. 4.455.493,00. Setelah di hitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar Rp. 4.854.191,00; BCR sebesar 1,24; dan IRR sebesar 20,82%.

Pada lampiran 12 strata III kas masuk pada tahun ke-1 hingga tahun ke-14 sebesar Rp. 3.791.160,00 dan tahun ke-15 hingga tahun ke-17 sebesar Rp. 42.195.000,00. Pada tahun ke-18 diperoleh penjualan log sebesar Rp. 40.170.000,00 dan pada tahun ke-19 hingga tahun ke-33 sebesar Rp. 38.400.000,00. Kas yang keluar pada tahun ke-0 merupakan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Volume tegakan sisa pada tahun 2008 sebesar 58,36m3. Nilai tegakan sisa pada tahun tersebut strata II sebesar Rp. 25.531.159,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-14 (2022) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 1.467.460,00 sedangkan pada tahun ke-15 hingga tahun ke-17 besarnya Rp. 6.577.538,00. Pada tahun ke-18 besarnya biaya operasional sebesar Rp. 6.308.072,00 dan pada tahun ke-19 hingga tahun ke-33 besarnya Rp. 6.072.538,00. Setelah dihitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar Rp. 3.241.314,00; BCR sebesar 1,11; dan IRR sebesar 19,23%.

Tabel 10. Analisis Finansial Selama Daur Pertama Pembenahan Berdasarkan Strata Luasan Lahan (Periode Pembenahan + Periode Mantap)

Strata Analisis Finansial Status

NPV BCR IRR

I 7.704.499 1,59 25,08 Layak II 4.854.191 1,24 20,82 Layak III 3.241.314 1,11 19,23 Layak

Dari tabel 9 di atas, terlihat bahwa pengusahaan hutan rakyat pada strata I, II, III layak secara finansial untuk diusahakan di desa Lambakara. Pada penilaian finansial pengusahaan hutan rakyat di Desa Lambakara strata I didapatkan hasil NPV sebesar Rp. 7.704.499,00. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat layak di usahakan. Nilai NPV positif juga di dapat pada strata II dan strata


(36)

III dengan masing-masing nilai NPV sebesar Rp. 4.854.191,00 dan Rp. 3.241.314,00. Strata III memperoleh NPV terkecil dikarenakan pada strata tersebut JPT rata-rata yang diperoleh sangat kecil dan tidak sebanding dengan luasan lahannya yang di atas satu hektar. Dapat juga dilihat bahwa BCR pada strata I lebih dari satu (BCR>1), ini berarti bahwa setiap pengeluaran Rp. 1.- akan memperoleh keuntungan sebesar nilai BCR yang dihasilkan. BCR pada strata II dan III nilainya juga lebih dari satu. Berarti hutan tersebut layak untuk di usahakan. IRR strata I, II, III lebih besar dari discount rate (18%) maka usaha hutan rakyat tersebut layak.

Terlihat bahwa NPV pada strata II dan III nilainya lebih kecil dari strata I, hal ini diduga karena pihak koperasi mewajibkan adanya sistem tebang satu tanam sepuluh. Karena berlakunya sistem tersebut mengakibatkan strata II dan III hanya melakukan penanaman sangat sedikit. Banyak lahan yang tidak termanfaatkan secara maksimal. Pada strata II terlihat hanya melakukan kegiatan penanaman sebanyak 30 tanaman baru pertahunnya, sedangkan strata III melakukan kegiatan penanaman sebanyak 40 pohon. Hal ini mengakibatkan banyak lahan yang tidak termanfaatkan secara maksimal dan hasilnya juga kurang maksimal. Maka untuk memenuhi lahan yang belum termanfaatkan itu, KHJL hendaknya menambah jumlah tanaman yang akan di tanam pada strata II dan III. Pada strata II jumlah yang ditanam sebanyak 30 tanaman, sedangkan rata-rata luasan lahan yang diperoleh strata II sebesar 0,84 ha. Seharusnya jumlah tanaman yang ditanam di strata II sebanyak 924 tanaman, tetapi kenyataan di lapangan hanya sebanyak 540 tanaman yang diperoleh dari 30 tanaman dikalikan dengan 18 tahun (daur dari tanaman ditanam hingga dipanen). Maka untuk memenuhi kekurangan itu perlu adanya penanaman lagi sebanyak 384 tanaman atau sekitar 20 tanaman lagi pertahun.Pada strata III juga terlihat adanya kekurangan penanaman. Luasan lahan rata-rata yang dimiliki strata III sebesar 2,19 ha. Seharusnya jumlah tanaman yang ditanam di strata III sebanyak 2409 tanaman, tetapi kenyataan di lapangan hanya sebanyak 720 tanaman yang diperoleh dari 40 tanaman dikalikan dengan 18 tahun (daur dari tanaman ditanam hingga dipanen). Maka untuk memenuhi kekurangan itu perlu adanya penanaman lagi sebanyak 1680 tanaman atau sekitar 95 tanaman lagi pertahun.


(37)

2. Skenario 2

Pada skenario 2 dilakukan peningkatan kegiatan penanaman. Pada strata II dilakukan peningkatan penanaman tanaman jati yang tadinya ditanam sebanyak 30 tanaman baru per tahunnya menjadi 50 tanaman. Pada strata III dilakukan juga peningkatan kegiatan penanaman dari yang ditanam sebanyak 40 tanaman baru per tahunnya menjadi 135 tanaman.

Pada lampiran 13 strata II kas masuk pada tahun ke-1 hingga tahun ke-13 sebesar Rp. 2.994.436,00 sedangkan tahun ke-14 besarnya Rp. 2.940.000,00 dan tahun ke-15 hingga tahun ke-33 sebesar Rp. 48.000.000,00. Kas yang keluar pada tahun ke-0 merupakan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Volume tegakan sisa pada tahun 2008 sebesar 37,45m3. Nilai tegakan sisa pada tahun tersebut strata II sebesar Rp. 16.384.256,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun 13 (2021) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 1.388.300,00. Pada tahun ke-14 nilainya Rp. 1.341.610,00 dan tahun ke-15 hingga tahun ke-33 sebesar Rp. 7.415.231,00. Setelah di hitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar Rp. 10.022.538,00; BCR sebesar 1,42; dan IRR sebesar 22,35%.

Pada lampiran 14 strata III kas masuk pada tahun ke-1 hingga tahun ke-14 sebesar Rp. 3.791.160,00 dan tahun ke-15 hingga tahun ke-17 sebesar Rp. 133.395.000,00. Pada tahun ke-18 diperoleh penjualan log sebesar Rp. 131.370.000,00 dan pada tahun ke-19 hingga tahun ke-33 sebesar Rp. 129.600.000,00. Kas yang keluar pada tahun ke-0 merupakan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Volume tegakan sisa pada tahun 2008 sebesar 58,36m3. Nilai tegakan sisa pada tahun tersebut strata II sebesar Rp. 25.531.159,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-14 (2022) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 3.706.483,00 sedangkan pada tahun ke-15 hingga tahun ke-17 besarnya Rp. 112.442.733,00. Pada tahun ke-18 besarnya biaya operasional sebesar Rp. 110.687.199,00 dan pada tahun ke-19 hingga tahun ke-33 besarnya Rp. 109.152.732,00. Setelah dihitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar Rp. 27.849.197,00; BCR sebesar 1,6; dan IRR sebesar 23,22%.


(38)

Dari hasil tersebut terlihat bahwa strata II dan strata III telah mengalami peningkatan nilai NPV dengan masing-masing sebesar Rp. 10.022.538,00 dan Rp. 27.849.197,00. Ini terbukti bahwa semakin luas lahan yang dimiliki masyarakat, maka semakin besar pula nilai NPV yang dimiliki oleh masyarakat.

Tabel 11. Analisis Finansial Selama Daur Pertama Pembenahan Berdasarkan Strata Luasan Lahan Setelah Mengalami Peningkatan Pemanaman Pada Strata II dan III

Strata Analisis Finansial Status

NPV BCR IRR

I 7.704.499 1,59 25,08 Layak II 10.022.538 1,42 22,35 Layak III 27.849.197 1,60 23,22 Layak

5.5 Analisis Sensitivitas

Analisis kepekaan (sensitivity analysis) adalah suatu teknik untuk menguji sejauh mana hasil analisis yang telah dilakukan peka terhadap perubahan faktor-faktor yang berpengaruh (Nugroho 2007). Analisis ini hanya dilakukan pada usaha yang layak dijalankan berdasarkan analisis finansial sebelumnya. Dalam hal ini hanya strata I yang layak dalam pelaksanaan hutan rakyat.

A. Analisis Sensitivitas Pada Periode Pembenahan Hutan Rakyat

Ada berbagai alternatif yang dapat dipilih agar usaha yang dijalankan oleh masyarakat di Konawe Selatan ini dapat layak dijalankan selama periode pembenahan hutan rakyat. Salah satunya bisa dengan menaikkan harga kayu.

Untuk mengusahakan agar hutan di strata I, II dan III dapat layak dijalankan, maka perlu adanya peningkatan harga penjualan kayu yang berlaku di Konawe Selatan.

Pada strata I dilakukan peningkatan harga kayu dengan kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis kepekaan dapat diketahui bahwa nilai IRR untuk masing-masing peningkatan biaya harga kayu dengan presentase 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% berturut-turut adalah 20,56; 23,12; 25,64; 28,14; dan 30,61. Hal ini menunjukkan bahwa apabila harga kayu di tingkatkan maka usaha tersebut menjadi layak untuk diusahakan sebab nilai IRR yang dihasilkan pada presentase kenaikan biaya tersebut lebih besar dari pada suku bunga yang berlaku yaitu 18%.


(39)

Pada strata II dilakukan peningkatan harga kayu dengan kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis kepekaan dapat diketahui bahwa nilai IRR untuk masing-masing peningkatan biaya harga kayu dengan presentase 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% berturut-turut adalah 14,4; 16,35; 18,24; 20,09; dan 21,91. Hal ini menunjukkan bahwa apabila harga kayu naik 30% keatas, statusnya menjadi layak diusahakan sebab nilai IRR yang dihasilkan pada presentase kenaikan biaya tersebut lebih besar dari pada suku bunga yang berlaku yaitu 18%.

Pada strata III dilakukan peningkatan harga kayu dengan kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis kepekaan dapat diketahui bahwa nilai IRR untuk masing-masing peningkatan biaya harga kayu dengan presentase 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% berturut-turut adalah 11,82; 13,51; 15,13; 16,7; dan 18,23. Hal ini menunjukkan bahwa apabila harga kayu naik 50% keatas, statusnya menjadi layak diusahakan sebab nilai IRR yang dihasilkan pada presentase kenaikan biaya tersebut lebih besar dari pada suku bunga yang berlaku yaitu 18%.

Adapun grafik perubahan IRR sebagai akibat dari peningkatan produksi atau volume dan peningkatan biaya pengusahaan hutan di Konawe Selatan strata I, strata II dan strata III pada gambar 1, 2 dan gambar 3.

Gambar 1. Grafik Perubahan IRR (%) Akibat kenaikan harga (%) Strata I 0

10 20 30 40

10% 20% 30% 40% 50%

N

il

ai

IR

R

(

%

)

strata I


(40)

Gambar 2. Grafik Perubahan IRR (%) Akibat kenaikan harga (%) Strata II

Gambar 3. Grafik Perubahan IRR (%) Akibat kenaikan harga (%) Strata III B. Analisis Sensitifitas Selama Daur Pertama Pembenahan Hutan Rakyat

Perubahan biaya pengusahaan tanaman rakyat akan berpengaruh terhadap penerimaan dan tingkat keuntungan. Biaya pengusahaan tanaman diasumsikan akan naik pertahunnya dengan presentase peningkatan biaya pengusahaan yang dirancang pada kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%.

Berdasarkan hasil perhitungan pada strata I dilakukan peningkatan biaya pengusahaan dengan kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis kepekaan dapat diketahui bahwa nilai IRR untuk masing-masing peningkatan biaya pengusahaan hutan dengan presentase 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% berturut-turut adalah 24,65; 24,23; 23,81; 23,40; dan 22,99. Hal ini menunjukkan bahwa apabila biaya pengusahaan naik sebesar 50%, usaha tersebut masih layak untuk diusahakan sebab nilai IRR yang dihasilkan pada presentase kenaikan biaya tersebut masih lebih besar dari pada suku bunga yang berlaku yaitu 18%.

0 5 10 15 20 25

10% 20% 30% 40% 50%

N il ai IR R ( % )

strata II

strata II 0 5 10 15 20

10% 20% 30% 40% 50%

N il ai IR R ( % )

strata III

strata III


(41)

Pada strata II dilakukan peningkatan biaya pengusahaan dengan kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis kepekaan dapat diketahui bahwa nilai IRR untuk masing-masing peningkatan biaya pengusahaan hutan dengan presentase 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% berturut-turut adalah 20,42; 20,02; 19,63; 19,24; dan 18,85. Hal ini menunjukkan bahwa apabila biaya pengusahaan naik sebesar 50%, usaha tersebut masih layak untuk diusahakan sebab nilai IRR yang dihasilkan pada presentase kenaikan biaya tersebut masih lebih besar dari pada suku bunga yang berlaku yaitu 18%.

Pada strata III dilakukan peningkatan biaya pengusahaan dengan kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis kepekaan dapat diketahui bahwa nilai IRR untuk masing-masing peningkatan biaya pengusahaan hutan dengan presentase 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% berturut-turut adalah 18,89; 18,54; 18,2; 17,86; dan 17,52. Hal ini menunjukkan bahwa apabila biaya pengusahaan naik sebesar 30%, usaha tersebut masih layak untuk diusahakan sebab nilai IRR yang dihasilkan pada presentase kenaikan biaya tersebut masih lebih besar dari pada suku bunga yang berlaku yaitu 18%. Sedangkan apabila biaya pengusahaan naik diatas 30%, maka pengusahan hutan rakyat tidak layak untuk diusahakan sebab nilai IRR lebih kecil dari suku bunga yang berlaku.

Adapun grafik perubahan IRR sebagai akibat dari peningkatan biaya pengusahaan hutan di Konawe Selatan pada masing-masing strata pada gambar 4, 5, dan 6.

Gambar 4. Grafik Perubahan IRR (%) Akibat Kenaikan Biaya Pengusahaan (%) Strata I

22 23 24 25

10% 20% 30% 40% 50%

N

il

ai

IR

R

(

%

)

strata I


(42)

Gambar 5. Grafik Perubahan IRR (%) Akibat Kenaikan Biaya Pengusahaan (%) Strata II

Gambar 6. Grafik Perubahan IRR (%) Akibat Kenaikan Biaya Pengusahaan (%) Strata III

5.6 Analisis Pola Kemitraan

5.6.1 Kemitraan antara KHJL dengan Masyarakat

KHJL dan petani hutan rakyat melakukan kemitraan dengan pola kemitraan jangka panjang yang ditandai dengan adanya hubungan jual beli antara KHJL dengan petani hutan rakyat yang mengharuskan anggotanya menjual kayunya pada KHJL. Hubungan ini juga bisa dilihat dari tanggungan biaya yang dibagi-bagi antara KHJL dengan masyarakat. Misalnya dalam kegiatan pengangkutan kayu, jasa TPK, dan ongkos-ongkos lain selama kayu tersebut dalam perjalanan kluar ke TPK. Kisaran pembagian biayanya yaitu 50% masyarakat dan 50% KHJL, sehingga rakyat tidak terlalu menanggung biaya yang besar.

Selain melakukan kemitraan dengan petani dalam pemanenan kayu rakyat, KHJL juga melakukan kemitraan dengan pihak lain yang masih berhubungan

18 19 20 21

10% 20% 30% 40% 50%

N il ai IR R ( % )

strata II

strata II 16.5 17 17.5 18 18.5 19

10% 20% 30% 40% 50%

N il ai IR R ( % )

strata III

strata III


(1)

Lampiran 15. Sensitifitas Pada Periode Pembenahan Hutan Rakyat

Kenaikan harga kayu 10% 20% 30% 40% 50%

strata I 20.62 23.18 25.7 28.19 30.66

strata II 14.38 16.34 18.24 20.1 21.93

strata III 11.82 13.51 15.13 16.7 18.23

Lampiran 16. Sensitifitas Selama Daur Pertama Pembenahan

Kenaikan biaya pengusahaan 10% 20% 30% 40% 50%

strata I 24.73 24.3 23.87 23.44 23.02

strata II 20.34 19.91 19.48 19.05 18.63


(2)

Lampiran 17. Daftar Kuisioner

KUISIONER PENELITIAN

ANALISIS KELAYAKAN USAHA DAN

KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

KOPERASI HUTAN JAYA LESTARI

KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROPINSI

SULAWESI TENGGARA

No. Responden : ...

I. Identitas Responden

1. Nama Responden : ... 2. Umur : ... 3. Jenis Kelamin : ... 4. Status Perkawinan : ... 5. Jumlah Anggota Keluarga : ...

No. Nama dan Hubungan Keluarga

Umur (th) L/P Pendidikan Pekerjaan

1 2 3 4 5 6 7

6. Alamat Responden

a. RT/RW : ... b. Dusun : ...


(3)

7. Mata pencaharian Kepala Keluarga : Sifat

Pekerjaan

Bidang Pekerjaan*

Jenis Pekerjaan**

Taksiran Pendapatan /Bulan (rp) Pokok

Sambilan

Ket : *) Sebutkan Misalnya tani, buruh tani, pedagang, pegawai negeri, industri rumah tangga/kerajinan, dll.

**)Misalnya : Pertanian pertanaman pangan, kebun, berdagang barang konsumsi, (kelontong), warung makan, dll

II. Pemilik Aset Produk

1. Penggunaan Lahan Milik No Jenis

Lahan

Status Lahan

Luas (ha)

Jarak Dari Rumah (m)

Nilai Jual (rp)

Ket

1 Sawah

2 Kebun

3 Tegalan 4 Pekarangan 5 ...

2. Luas Penguasaan Lahan

a. Lahan digarap sendiri : ...m² b. Lahan digarap orang lain : ...m² c. Lahan lain/disewa/bagi hasil (maro) : ...m²


(4)

3. Hewan Ternak yang Dimiliki No Jenis

Ternak Jumlah (ekor) Sumber Makanan Nilai Jual (Rp) Ket

1 Sapi 2 Kerbau 3 Kambing

4 Ayam

5 Babi 6 ...

III. Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga

1. Sumber Pendapatan

No Sumber Pendapatan Nilai (Rp) Ket 1

Kegiatan Usaha

Tani

a. Sawah

b. Tegalan

c. Hutan Rakyat

d. ………..

2 Non Usaha Tani

a. ………..

b. ………..

Jumlah Total

2. Pengeluaran untuk Satu Bulan

No Jenis Pengeluaran Nilai (Rp) Ket

1 Pangan

> beras

> Non Beras

2 Pakaian

3 Perumahan

4 Pendidikan

5 Kesehatan

6 Imput Usaha Tani

7 Transportasi

8 Rekreasi

9

Peralatan Rumah

Tangga

10 Pajak

11 Tabungan

12 Lain-lain


(5)

Hutan Rakyat

1. Berapakah luas hutan rakyat yang Anda miliki : (pilih salah satu) a. <0,5 ha

b. 0,5-1,0 ha c. >1,0 ha

2. Alasan mengapa Anda mengikuti organisasi KHJL ini : ... ... 3. Apakah anda mendapat bantuan selain dari KHJL :

a. Ya.

Siapa yang memberi bantuan ... Bentuk bantuan yang diberikan berupa ... b. Tidak

4. Apakah ada tanaman lain selain tanaman pokok : a. Ada

 Jenis tanaman :

 Dari mana bibit tanaman tersebut :  Siapa yang memasarkan hasilnya :  Kemana hasil dipasarkan :

 Berapa besar hasil dari tanaman tersebut :

Apakah ada pembagian hasil dari tanaman tersebut : a. Ada. Berapa besar pembagian tersebut buat anda : b. Tidak ada


(6)

L. BINTANG SETYADI B., Analisis Kelayakan Usaha dan Kontribusi Pengelolaan Hutan Rakyat Koperasi Hutan Jaya Lestari, Kabupaten Konawe Selatan, Propinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO

Permintaan kayu yang tinggi serta adanya pembalakan liar terutama di lahan negara menumbuhkan inisiatif masyarakat untuk mengatasi masalah illegal logging. Langkah yang di tempuh masyarakat yaitu dengan cara pembangunan hutan rakyat. Koperasi Hutan Jaya Lestari didirikan ditengah keprihatinan masyarakat terhadap lajunya degradasi hutan Konawe Selatan, oleh karena itu salah satu tujuan koperasi ini dibentuk adalah untuk menekan kegiatan pembalakan tak legal yang marak terjadi di kawasan hutan produksi Konawe Selatan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan usaha pada pengelolaan hutan rakyat, mempelajari sistem pengelolaan hutan rakyat, mengetahui pola kemitraan, mengetahui sistem pemasaran kayu, serta mengetahui kontribusi pendapatan petani terhadap pendapatan total di Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Penentuan responden dengan menggunakan metode stratified random sampling dengan jumlah responden sebanyak 55 orang. Untuk metode pengolahan data terdiri dari kriteria pembagian hutan rakyat berdasarkan luas lahan, penerimaan dan pendapatan petani, analisis deskriptif kualitatif, analisis kelayakan usaha (Net Present Value, Benefit Cost Ratio, dan Internal Rate of Return), serta pola kemitraan yang ada di lokasi penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan rakyat di Kabupaten Konawe Selatan pada periode pembenahan ini strata I impas, sedangkan strata II dan III tidak layak diusahakan secara financial. Nilai NPV masing-masing strata sebesar –Rp. 27.501,00; –Rp. 4.231.546,00 dan –Rp. 9.254.448,00. Untuk BCR sebesar 1,00; 0,78; dan 0,67. Sedangkan untuk IRR nilainya 17,94%; 12,37%; 10,00%. Status hutan pada strata I, II dan III bisa menjadi layak jika ada kenaikan harga kayu masing-masing sebesar 10%, 30%, dan 50%. Apabila diusahakan selama daur pertama pembenahan, hutan tersebut menjadi layak dengan nilai NPV, BCR, dan IRR pada masing masing strata yaitu untuk NPV sebesar Rp. 7.704.499,00; Rp. 4.854.191,00 dan Rp. 3.241.314,00. Untuk BCR masing-masing strata yaitu sebesar 1,59; 1,24; dan 1,11. Sedangkan untuk IRR masing-masing strata nilainya 25,08%; 20,77%; 19,23%. Pola kemitraan antara KHJL dengan petani dan antara KHJL dengan TFT termasuk kemitraan jangka panjang. Kontribusi pendapatan hutan rakyat terhadap pendapatan total rata-rata pada masing-masing strata sebesar 20,30%; 17,87%; dan 20,03%. Ini berarti hutan rakyat hanya merupakan pekerjaan tambahan atau dapat dikatakan pekerjaan waktu luang saja. KHJL melakukan penjualan kayunya berdasarkan pemesanan, namun tidak melebihi jatah tebang tahunan. KHJL memasarkan kayunya dalam bentuk square dengan bersertifikat FSC.