Jamur Steril dengan Energi Panas Bumi

Universitas Muhammadiyah Malang
www.umm.ac.id

Jamur Steril dengan Energi Panas Bumi
Koran Jakarta : Jumat, 2009-11-13 |
Proses sterilisasi media tanam jamur kerap menggunakan bahan bakar dari minyak tanah. Kini, bahan bakar itu bisa
diganti dengan energi panas Bumi yang lebih murah dan ramah lingkungan.
Sebelum ditemukannya cara pembudidayaan jamur modern, jamur merang hanya bisa ditemukan di tumpukan jerami
setelah masa panen padi.
Usai panen, jamur merang menjadi barang langka karena media tumbuhnya juga telah habis. Dengan teknik
pembudidayaan modern, kini jamur merang dapat tumbuh tanpa menunggu tibanya masa panen.
Teknik budi daya jamur merang secara modern itu telah dikembangkan di Malang, Jawa Timur oleh Dedi Setiawan, staf
peneliti bioteknologi Universitas Muhammadiyah, Malang .
Dia menerangkan, secara umum untuk membuat media tanam jamur yang siap ditanam, dilakukan proses
pengomposan jerami yang dicampur limbah kapas dan ditambah kapur.
Jerami dibasahi air, lalu ditimbun bersama kapur di ruangan tertutup selama lima hari. Hasil timbunan itu kemudian
dibuka, ditambahkan bekatul, limbah kapas, dan biji-bijian, seperti beras atau jagung. Lalu bahan itu dimasukkan ke
dalam polibag selama lima hari untuk menjalani proses fermentasi.
Sebelum diletakkan di rak-rak suatu ruangan rumah jamur (kumbung), media tanam itu terlebih dahulu disterilkan agar
terhindar dari serangan bakteri, ngengat, maupun jamur lainnya.
“Proses sterilisasi media tanam ini juga berlaku pada budi daya jamur lainnya, seperti jamur tiram,” ujar Dedy. Media

tanam jamur tiram menggunakan kayu gergajian (kayu tidak bergetah), bekatul, tepung jagung, kapur, pupuk, dan air.
Sterilisasi media tanam dilakukan melalui proses pasteurisasi, yakni pemanasan media tanam dengan uap panas
hingga temperatur 100 derajat celcius di dalam kumbung untuk jamur merang atau autoklap untuk jamur tiram.
Pemanasan media tanam biasanya menggunakan drum-drum bekas yang diisi air, lalu dipanaskan dengan kayu bakar
atau kompor minyak tanah. Uap yang dihasilkan disalurkan ke kumbung atau autoklap.
Menurut peneliti dari Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT), Taufan Surana, proses sterilisasi jamur dapat pula menggunakan energi dari panas Bumi yang lebih hemat
biaya. Proses tersebut telah berhasil diterapkan di Kamojang, Garut, Jawa Barat.
Tidak Terburu-buru
Taufan mengatakan sterilisasi jamur dengan memanfaatkan sumber energi panas Bumi terbilang lebih murah
dibandingkan dengan memanfaatkan kayu bakar atau minyak tanah. Pasalnya, energi panas Bumi selalu terbarui dan
berkesinambungan.
“Dengan menggunakan energi panas Bumi, proses sterilisasi jamur tidak perlu lagi dilakukan dengan terburu-buru,”
katanya.
Sebelum menggunakan energi panas Bumi, proses sterilisasi jamur oleh petani budi daya jamur sering kali dilakukan
secepat mungkin untuk menghemat penggunaan minyak tanah. Dampaknya, proses sterilisasi berjalan tidak optimal
karena temperatur tidak konstan.
Di Kamojang, sterilisasi media tanam jamur memanfaatkan sumur yang mengandung panas Bumi yang tidak dapat
dikonversi menjadi energi listrik.
Uap panas yang ada di sumur yang dianggap tidak komersil itu memiliki suhu kurang dari 180 derajat celcius dengan

tekanan kurang dari 10 atmosfer. Meski demikian, energi panas itu dapat digunakan secara langsung dengan cara
mengekstraksi energi panas dari fluida panas Bumi.

page 1 / 2

Universitas Muhammadiyah Malang
www.umm.ac.id

Taufan menjelaskan, prinsip sterilisasi jamur langsung dari sumber energi panas Bumi menggunakan alat penukar
panas (head exchanger). Alat itu berupa sebuah pipa stainless steel yang didesain sedemikian rupa hingga
menyerupai sebuah per atau pegas yang bentuknya melingkar.
Pipa stainless steel digunakan untuk mengalirkan uap air panas dari sumur menuju sebuah pipa yang berukuran lebih
besar. Pipa yang berukuran lebih besar tersebut-bentuknya mirip tabung- terbuat dari bahan besi.
Pipa digunakan sebagai tempat menampung air tawar sementara selama terjadinya proses pemanasan. Air tawar itu
sengaja dialirkan dari sebuah tower dengan bantuan sebuah pompa listrik. Selanjutnya, air tawar yang telah
dipanaskan dialirkan menuju autoklap atau kumbung.
Temperatur air tawar dapat diatur saat pembuatan alat penukar panas. Perhitungan sederhananya, semakin panjang
pipa stainless steel yang berada di dalam pipa besar, temperatur akan semakin panas. Uap panas akan menghasilkan
temperatur maksimal sebesar 90 sampai 100 derajat celcius dengan tekanan 1,2 atmosfer.
Menurut Taufan, temperatur panas yang mencapai 100 derajat celcius biasanya digunakan untuk proses sterilisasi

jamur di dalam autoklap. Sedangkan, temperatur yang lebih rendah digunakan untuk memanaskan kumbung.
“Dengan memanfaatkan sumber energi panas Bumi, proses pasteurisasi menjadi lebih konstan,” ujar penyandang
gelar doktor program school of science and technology dari Nagasaki University , Jepang itu.
Selain untuk proses sterilisasi jamur, tambah Taufan, sumber energi panas Bumi bisa digunakan pula untuk
mengeringkan produk-produk pertanian, seperti kopra, kopi, dan kakao. Hal itu sebagaimana telah diterapkan di
lapangan panas bumi Way Ratai, Padang Cermin, Lampung.
Di tempat itu proses pengeringan tidak menggunakan energi panas Bumi yang diambil dari sumur seperti halnya di
Kamojang, melainkan langsung menggunakan sumber mata air panas.
Alat penukar panas yang digunakan berupa pipa stainless steel yang berfungsi untuk mengalirkan air tawar dari
sebuah tower.
“Ini kebalikan dengan penggunaan pipa stainless steel sebagai alat penukar panas dengan memanfaatkan sumur
sumber panas Bumi untuk mengalirkan uap panas,” terang Taufan.
Air panas yang telah dipanaskan dialirkan melalui sebuah pipa menuju alat pengering yang telah didesain sedemikian
rupa.
Di dalam alat pengering dibuat rak-rak yang di bawahnya merupakan tempat untuk mengalirkan air panas agar
temperatur di dalam ruang bisa tinggi. Setelah itu, air panas dialirkan kembali ke tower dengan bantuan sebuah pompa
listrik agar terus terjadi kesinambungan.
Alhasil, dengan adanya energi panas Bumi, pengeringan produk-produk pertanian, seperti kopra, kopi, dan kakao tidak
perlu lagi menggunakan minyak tanah maupun batok kelapa sebagai bahan bakarnya.
Selain lebih hemat biaya, penggunaan energi panas Bumi juga dinilai lebih ramah lingkungan. Pasalnya, sumber daya

mineral itu tidak mengandung polutan kimiawi yang berbahaya dan tidak mengeluarkan limbah. awm/L-2

page 2 / 2