Studi Semiotika Terhadap Film “Bingkisan Untuk Presiden”, Karya Aria Kusumadewa
Studi Semiotika Terhadap Film “Bingkisan Untuk Presiden”, Karya Aria
Kusumadewa
Oleh: ARFAN ADHI PERDANA ( 96220042 )
Communication Science
Dibuat: 20070424 , dengan 2 file(s).
Keywords: Semiotika Terhadap Film “Bingkisan Untuk Presiden”,
Dalam konteks komunikasi massa, film menjadi salah satu media atau saluran penyampaian
pesannya, apakah itu pesan verbal atau nonverbal. Jangkauan McLuhan kemudian bisa menjadi
semacam nafas, yang menjembatani sampai dimana sebetulnya arti pesan dari suatu tindakan.
Marshal McLuhan menyebut bahwa film sarat mengandung pesan (film is the message). Pesan
film, baik itu denotasi atau pun konotasi, terangkai melalui bahasa verbal dan non verbalnya.
Apabila pesan dapat diinterpretasi atau dimaknai oleh penonton, maka komunikasi berjalan
dengan baik. Pada media massa (film), proses komunikasi yang bersifat verbal dan non verbal,
berkedudukan saling melengkapi. Van Zoest berpendapat bahwa “film dibangun dengan tanda
tanda semata”. Tandatanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik
dalam rangka mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan bahasa tulis maupun lisan, film
tidak terdiri dari satuansatuan terpisah, melainkan suatu sistem yang memiliki kesinambungan
arti. Oleh karena itu, bahasa film tidak cukup jika dipaparkan secara kuantitatif. Seperti yang
dikatakan Christian Metz, “film terlalu mudah ditangkap; sebuah film sulit dijelaskan, karena ia
mudah dimengerti, karena itulah dia sulit sekali untuk dianalisa”. Hal ini yang mendasari peneliti
untuk melakukan studi dengan menggunakan pendekatan metode analisis semiotika pada salah
satu karya (film) dari sutradara Aria Kusumadewa. Film dengan judul “Bingkisan Untuk
Presiden” ini, mengangkat realitas kehidupan di lingkungan masyarakat. Gambaran realitas
masyarakat (urban) Jakarta yang penuh dengan problematika sosial, disampaikan secara verbal
dan non verbal kedalam bentuk film yang diproduksi pada tahun 1999 ini, dengan persoalan
utama yaitu penyalahgunaan narkotika dan obatobatan (narkotika dan obatobatan). Semiotika
dan semiologi, sebenarnya, keduaduanya mempelajari tentang tanda. perbedaan istilah itu, lebih
pada perbedaan orientasi. Pertama semiologi mengacu pada tradisi Eropa yang bermula oleh
Ferdinand de Saussure (18571913), Sedangkan istilah semiotika mengacu pada tradisi Amerika
yang sangat dipengaruhi oleh Charles Sanders Pierce (18391914). Dalam definisi Saussure,
semiologi merupakan “sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tandatanda di tengah
masyarakat”, dan dengan demikian, menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya
adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tandatanda beserta kaidahkaidah yang
mengaturnya. Sementara, istilah semiotika atau semiotik, yang dimunculkan pada akhir abad ke
19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Pierce, merujuk kepada “doktrin”
formal tentang tanda: tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tandatanda,
melainkan dunia itu sendiri punsejauh terkait dengan pikiran manusiaseluruhnya terdiri atas
tandatanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak bisa menjalin hubungannya dengan realitas.
Secara umum penelitian ini pada akhirnya akan menggambarkan pesan yang ada dalam ‘teks’
film. Merujuk pada pemikiran Roland Barthes, teks tidak hanya berkaitan dengan aspek
linguistik saja. teks dipahami dalam arti luas seperti berita, film, iklan, fashion, fiksi, puisi,
drama dan sebagainya. Selain Barthes digunakan pula teori Peter Wollen yang menyatakan ada
tiga macam tandatanda sinematik, yaitu ikon, indeks dan simbol (trikotomi tanda Pierce). Ketiga
tanda tersebut oleh Christian Metz dikatakan semacam jalan pintas yang menjadi karakteristik
dalam sebuah film. Dalam penelitian yang menggunakan model penelitian analisis semiotika,
tidak bertujuan untuk mengetahui jumlah (itemize) dan menggunakan angkaangka (enumerate),
serta menghitung frekuensi kemunculan yang hanya mendeskripsikan isi yang tampak (manifest
content) dari komunikasi. Namun lebih pada pemaknaan terhadap tandatanda yang terdapat
dalam teks film baik isi yang tampak maupun isi yang tersembunyi. Sehingga
peneliti lebih memilih untuk menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan analisis
semiotik sebagai dasar penelitiannya. Merujuk penelitian yang telah dilakukan John Fiske
terhadap adeganadegan film, maka, langkah awal, data primer berupa film akan disajikan dalam
rupa visualisasi scene per scene, berikut dengan kerja kamera, dialog, ilustrasi musik dan suara,
komposisi, warna, properti, setting, artistik, serta suasana yang tergambarkan. Tahap berikutnya,
pembahasan secara deskriptif dari identifikasi dan signifikasi tandatanda yang ditemukan dalam
film Bingkisan Untuk Presiden. Pada tahapan ini dilakukan pemaknaan terhadap tandatanda
yang tampak dalam teks (visual signs). Dalam melakukan pemaknaan, tandatanda dimaknakan
secara denotatif (lihat juga Kurniawan, 2000:55), yakni makna khusus yang terdapat dalam
sebuah tanda yang bersifat langsung. Tahapan ini dapat disebut sebagai syntagm level (level
sintagmatik). Terakhir melakukan pemaknaan secara konotatif, makna tersirat dalam
pembungkus tanda. sebuah Analisis tanda dengan memperhatikan elemen makna; ikon, indeks,
simbol. Tahap ini disebut juga paradigm level. Berdasarkan hasil analisa data dapat diketahui
bahwasanya, film “Bingkisan Untuk Presiden”, mampu menggambaran penyalahgunaan
narkotika dan obatobatan. Scene terakhir menjadi kunci atau jawaban dari judul film itu sendiri.
“Bingkisan Untuk Presiden” dapat diartikan sebagai paket yang akan dikirimkan oleh Firman.
Selain itu, makna pesan dalam film ini ibarat sebuah bingkisan yang diberikan oleh sutradara
untuk penontonnya, termasuk seorang Presiden. Sebagai judul, Kalimat “Bingkisan Untuk
Presiden”, merupakan bentuk kiasan dari isi bingkisan yang sesungguhnya. Narasi dalam film
ini, dibalut dengan suasana penuh dengan teror. Teror dalam konteks narasi film ini adalah
penggambaranpenggambaran yang secara tidak langsung memberi psy war bagi penontonnya.
Namun, visualisasi penyalahggunaan narkoba bisa berdampak pada pemaknaan ganda. Pertama,
melihat efek negatif dari narkoba, penonton menjadi takut untuk bersentuhan dengan narkoba.
Sebaliknya, bagi yang belum pernah bersentuhan, tidak menutup kemungkinan ada keinginan
untuk mencoba narkoba. Munculnya frame Sutiyoso (versi VCD) menjelang ending film, dapat
merubah presepsi penonton dalam memaknai film ini. Dalam konteks ini, film “Bingkisan Untuk
Presiden”, yang awalnya dibuat untuk tujuan non komersial, penyuluhan dan kepentingan sosial,
berubah menjadi film kepanjangan tangan pemerintah, media propaganda kekuasaan. Catatan
penting, tandatanda dalam film Bingkisan Untuk Presiden, adalah indeksikal, ikonis dan
metaforis. Maka dari itu, Film ini tidak bisa sematamata (hanya) dibaca secara sepihak. Namun
harus dibaca secara penuh, mulai dari awal film (opening tune) hingga akhir film (ending sampai
dengan credit tittle). Artinya ada hubungan indeksial (sebab akibat) antara scene per scene
dengan penghubung rantairantai shot atau sequence. Hal ini bisa menjadi salah satu karakteristik
filmfilm karya Aria Kusumadewa, dimana setiap scene dalam filmnya saling berhubungan satu
sama lain dan harus diikuti. Menghilangkan satu scene saja, maka akan menghancurkan scene
lainnya.
Kusumadewa
Oleh: ARFAN ADHI PERDANA ( 96220042 )
Communication Science
Dibuat: 20070424 , dengan 2 file(s).
Keywords: Semiotika Terhadap Film “Bingkisan Untuk Presiden”,
Dalam konteks komunikasi massa, film menjadi salah satu media atau saluran penyampaian
pesannya, apakah itu pesan verbal atau nonverbal. Jangkauan McLuhan kemudian bisa menjadi
semacam nafas, yang menjembatani sampai dimana sebetulnya arti pesan dari suatu tindakan.
Marshal McLuhan menyebut bahwa film sarat mengandung pesan (film is the message). Pesan
film, baik itu denotasi atau pun konotasi, terangkai melalui bahasa verbal dan non verbalnya.
Apabila pesan dapat diinterpretasi atau dimaknai oleh penonton, maka komunikasi berjalan
dengan baik. Pada media massa (film), proses komunikasi yang bersifat verbal dan non verbal,
berkedudukan saling melengkapi. Van Zoest berpendapat bahwa “film dibangun dengan tanda
tanda semata”. Tandatanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik
dalam rangka mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan bahasa tulis maupun lisan, film
tidak terdiri dari satuansatuan terpisah, melainkan suatu sistem yang memiliki kesinambungan
arti. Oleh karena itu, bahasa film tidak cukup jika dipaparkan secara kuantitatif. Seperti yang
dikatakan Christian Metz, “film terlalu mudah ditangkap; sebuah film sulit dijelaskan, karena ia
mudah dimengerti, karena itulah dia sulit sekali untuk dianalisa”. Hal ini yang mendasari peneliti
untuk melakukan studi dengan menggunakan pendekatan metode analisis semiotika pada salah
satu karya (film) dari sutradara Aria Kusumadewa. Film dengan judul “Bingkisan Untuk
Presiden” ini, mengangkat realitas kehidupan di lingkungan masyarakat. Gambaran realitas
masyarakat (urban) Jakarta yang penuh dengan problematika sosial, disampaikan secara verbal
dan non verbal kedalam bentuk film yang diproduksi pada tahun 1999 ini, dengan persoalan
utama yaitu penyalahgunaan narkotika dan obatobatan (narkotika dan obatobatan). Semiotika
dan semiologi, sebenarnya, keduaduanya mempelajari tentang tanda. perbedaan istilah itu, lebih
pada perbedaan orientasi. Pertama semiologi mengacu pada tradisi Eropa yang bermula oleh
Ferdinand de Saussure (18571913), Sedangkan istilah semiotika mengacu pada tradisi Amerika
yang sangat dipengaruhi oleh Charles Sanders Pierce (18391914). Dalam definisi Saussure,
semiologi merupakan “sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tandatanda di tengah
masyarakat”, dan dengan demikian, menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya
adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tandatanda beserta kaidahkaidah yang
mengaturnya. Sementara, istilah semiotika atau semiotik, yang dimunculkan pada akhir abad ke
19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Pierce, merujuk kepada “doktrin”
formal tentang tanda: tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tandatanda,
melainkan dunia itu sendiri punsejauh terkait dengan pikiran manusiaseluruhnya terdiri atas
tandatanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak bisa menjalin hubungannya dengan realitas.
Secara umum penelitian ini pada akhirnya akan menggambarkan pesan yang ada dalam ‘teks’
film. Merujuk pada pemikiran Roland Barthes, teks tidak hanya berkaitan dengan aspek
linguistik saja. teks dipahami dalam arti luas seperti berita, film, iklan, fashion, fiksi, puisi,
drama dan sebagainya. Selain Barthes digunakan pula teori Peter Wollen yang menyatakan ada
tiga macam tandatanda sinematik, yaitu ikon, indeks dan simbol (trikotomi tanda Pierce). Ketiga
tanda tersebut oleh Christian Metz dikatakan semacam jalan pintas yang menjadi karakteristik
dalam sebuah film. Dalam penelitian yang menggunakan model penelitian analisis semiotika,
tidak bertujuan untuk mengetahui jumlah (itemize) dan menggunakan angkaangka (enumerate),
serta menghitung frekuensi kemunculan yang hanya mendeskripsikan isi yang tampak (manifest
content) dari komunikasi. Namun lebih pada pemaknaan terhadap tandatanda yang terdapat
dalam teks film baik isi yang tampak maupun isi yang tersembunyi. Sehingga
peneliti lebih memilih untuk menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan analisis
semiotik sebagai dasar penelitiannya. Merujuk penelitian yang telah dilakukan John Fiske
terhadap adeganadegan film, maka, langkah awal, data primer berupa film akan disajikan dalam
rupa visualisasi scene per scene, berikut dengan kerja kamera, dialog, ilustrasi musik dan suara,
komposisi, warna, properti, setting, artistik, serta suasana yang tergambarkan. Tahap berikutnya,
pembahasan secara deskriptif dari identifikasi dan signifikasi tandatanda yang ditemukan dalam
film Bingkisan Untuk Presiden. Pada tahapan ini dilakukan pemaknaan terhadap tandatanda
yang tampak dalam teks (visual signs). Dalam melakukan pemaknaan, tandatanda dimaknakan
secara denotatif (lihat juga Kurniawan, 2000:55), yakni makna khusus yang terdapat dalam
sebuah tanda yang bersifat langsung. Tahapan ini dapat disebut sebagai syntagm level (level
sintagmatik). Terakhir melakukan pemaknaan secara konotatif, makna tersirat dalam
pembungkus tanda. sebuah Analisis tanda dengan memperhatikan elemen makna; ikon, indeks,
simbol. Tahap ini disebut juga paradigm level. Berdasarkan hasil analisa data dapat diketahui
bahwasanya, film “Bingkisan Untuk Presiden”, mampu menggambaran penyalahgunaan
narkotika dan obatobatan. Scene terakhir menjadi kunci atau jawaban dari judul film itu sendiri.
“Bingkisan Untuk Presiden” dapat diartikan sebagai paket yang akan dikirimkan oleh Firman.
Selain itu, makna pesan dalam film ini ibarat sebuah bingkisan yang diberikan oleh sutradara
untuk penontonnya, termasuk seorang Presiden. Sebagai judul, Kalimat “Bingkisan Untuk
Presiden”, merupakan bentuk kiasan dari isi bingkisan yang sesungguhnya. Narasi dalam film
ini, dibalut dengan suasana penuh dengan teror. Teror dalam konteks narasi film ini adalah
penggambaranpenggambaran yang secara tidak langsung memberi psy war bagi penontonnya.
Namun, visualisasi penyalahggunaan narkoba bisa berdampak pada pemaknaan ganda. Pertama,
melihat efek negatif dari narkoba, penonton menjadi takut untuk bersentuhan dengan narkoba.
Sebaliknya, bagi yang belum pernah bersentuhan, tidak menutup kemungkinan ada keinginan
untuk mencoba narkoba. Munculnya frame Sutiyoso (versi VCD) menjelang ending film, dapat
merubah presepsi penonton dalam memaknai film ini. Dalam konteks ini, film “Bingkisan Untuk
Presiden”, yang awalnya dibuat untuk tujuan non komersial, penyuluhan dan kepentingan sosial,
berubah menjadi film kepanjangan tangan pemerintah, media propaganda kekuasaan. Catatan
penting, tandatanda dalam film Bingkisan Untuk Presiden, adalah indeksikal, ikonis dan
metaforis. Maka dari itu, Film ini tidak bisa sematamata (hanya) dibaca secara sepihak. Namun
harus dibaca secara penuh, mulai dari awal film (opening tune) hingga akhir film (ending sampai
dengan credit tittle). Artinya ada hubungan indeksial (sebab akibat) antara scene per scene
dengan penghubung rantairantai shot atau sequence. Hal ini bisa menjadi salah satu karakteristik
filmfilm karya Aria Kusumadewa, dimana setiap scene dalam filmnya saling berhubungan satu
sama lain dan harus diikuti. Menghilangkan satu scene saja, maka akan menghancurkan scene
lainnya.