REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM (Analisis semiotika pada film Sang Penari karya Ifa Isfansyah)

(1)

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM

(Analisis semiotika pada film Sang Penari karya Ifa Isfansyah)

SKRIPSI

Disusun Oleh:

DWI WAHYU NUGROHO NIM 07220397

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


(2)

(3)

DAFTAR ISI

COVER

LEMBAR ORISINALITAS

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI BERITA ACARA SKRIPSI

DAFTAR ISI ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian... 5

E. Tinjauan Pustaka ... 5

1. Film ... 5

2. Film sebagai Komunikasi Massa ... 10

3. Representasi Perempuan ... 12

4. Feminisme ... 16

5. Semiotika ... 20

F. Metode Penelitian... 26

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN A. Profil Film Sang Penari ... 29

B. Sinopsis Film Sang Penari ... 30

C. Biografi Sutradara dan Pemain Film Sang Penari ... 35

BAB III SAJIAN DATA DAN PEMABAHASAN A. Perempuan Dalam Wilayah Domestik Rumah Tangga ... 40

B. Perempuan dalam Ruang Publik ... 62


(4)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 97 B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung : Simbosa Rekatama Media

Baksin, Askurifai, 2003. Membuat Film Indie Itu Gampang. Bandung: Katarsis. Burton, Graeme (2007). Membincangkan Televisi, Sebuah Pengantar Kepada

Studi Televisi. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.

Barker, Chris .2005. Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Effendy, Heru, 2002. Mari Membuat Film. Jakarta:Yayasan Konfiden.

Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Publisher: Insist Press

Fiske, John, 1990, Cultural And Communication Studies, Jalasutra, Bandung Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Indonesiatera, Magelang

Mc Quail, Denis. 1989. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.

Murniati, A. Nunuk P. 2004. ”Getar Gender, Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya dan Keluarga”. Magelang: Indonesiatera. Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

M. Bayu Widagdo,Winastwan Gora S, 2004. Bikin Sendiri Film Kamu, Panduan Produksi Film Indonesia. Yogyakarta:PD Anindya.

Naqiyah, Najlah. 2005, Otonomi Perempuan. Malang: Bayumedia Publishing Piliang, Yasraf A .2005: Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-batas

Kebudayaan. Bandung: Jalasutra.

,. 2003: Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Priyatna, Aquarini.2007. Kajian Budaya Feminis. Tubuh Sastra dan Budaya Pop. Yogjakarta: Jalasutra

Sumarno, Marselli.1996. Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta:Grasinndo..


(6)

Sobur, Alex. M.si. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

__________. 2003. Semiotika Komunikasi.. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya Sumantoro, 2002, Terperangkap Dalam Iklan, , Bandung: Alfabeta

Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest. (1996). Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Wawan Kuswandi, 1996, Komunikasi Massa, , Jakarta:PT. Rineka Cipta

http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/10/26/pandangan-terhadap-perempuan-dalam-film/

http://larassutedja.blogspot.com/2011/02/eksploitasi-perempuan-dalam-media-massa.html

Bagus, Pramono dan

Herlianto,(2006).Feminisme.http://www.sabda.org/artikel/feminisme diakses tanggal (diakses tanggal 20 Agustus 2012. 20.15 WIB)

Nuraini Juliastuti, 2000. Representasi, www.kunci.or.id, 16-12-2012. Jam 02.00 WIB

Pilliang, Yasraf Amir, 2005. Hiper-realitas Media dan Kebudayaan: Kebenaran dalam Kegalauan Informasi, www.forum-rektor.org, 16-12-2012. Jam 01.30 WIB

Selo, Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, 2007. Budaya, www.wikipedia.org, 16-12-2012. Jam 24.00 WIB


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara perempuan tidak terlepas dari penampilan fisiknya. Segala bentuk interpretasi dari tubuh wanita merupakan perbincangan yang tak pernah bertepi. Sebuah representasi lebih mudah diterima dalam masyarakat apabila telah ada sistem pemaknaannya. Pemaknaan mengenai citra perempuan, didalam struktur sosial masyarakat berkembang melalui tataran nilai-nilai budaya yang telah dianut lama.

Pandangan manusia tentang identitas gender sudah menjadi ideologi, sudah menghegemoni. Oleh karena itu, masih banyak orang percaya (termasuk perempuan sendiri) bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga ; memasak, dan memberikan perhatian kepada keluarganya agar rumah tangganya tentram dan sejahtera. Dari sinilah muncul paham feminis yang menuntut persamaan hak antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan di segala aspek kehidupan tanpa menyalahi kodrat perempuan itu sendiri. Perempuan adalah manusia yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Sebagai manusia ia lahir dengan naluri untuk sukses dan terus maju dalam kehidupan yang ditempuhnya. Posisi perempuan selama ini menjadi nomor dua akan mengebiri dan menindas perempuan (Naqiyah, 2005:56).

Marginalisasi terhadap perempuan dalam rumah tangga diperkuat dengan adanya adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya banyak suku-suku di indonesia yang tidak memberi hak lepada kaum perempuan untuk mendapatkan


(8)

waris sama sekali. Selain itu, subordinasi terhadap perempuan yang beranggapan bahwa perempuan itu irracional dan emocional berakibat menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga. Dalam rumah tangga, masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-laki akan mendapat prioritas utama. Banyak sekali ketidakadilan terhadap gender yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilekatkan kepada mereka. Masyarakat beranggapan bahwa tugas utama perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. Stereotipe ini terjadi dimana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut.

Dalam konsep wanita ideal industri media, wanita memiliki peran melalui lalu lintas pesan yang dikomunikasikan kepada khalayak (perempuan). Dalam pembuatan film, kerap kali dijumpai sosok perempuan sebagai penghias ide kreatif seorang sutradara untuk memperindah dan mempermudah hasil karya yang ditampilkan mendapatkan simpatik dari audiens. Perempuan dimanfaatkan untuk objek yang bisa dijadikan daya pikat penonton atau segmentasi. Banyak sekali figure perempuan menjadi objek yang menarik untuk ditampilkan dalam film. Peran sebagai sosok perempuan yang feminim sampai peran perempuan yang ‘luar biasa’, sesuai dengan kebutuhan yang akan diperankan. Peran perempuan


(9)

dalam sebuah film biasanya selalu menampilkan realitas-realitas dan kodrat perempuan pada umumnya.

Dalam perkembangan media massa saja membawa dampak positif dan dampak negatif. Salah satu dampak negatif terutama terhadap perempuan yang terdapat dalam media elektronik khususnya perempuan dalam media elektronik tersebut. Hal yang sensitif dalam persoalan eksploitasi perempuan ini adalah ketika di kontruksikan dengan media massa tentunya baik dalam hal tayangan (content) atau sifatnya dalam bentuk berita (news).

Bentuk eksploitasi tersebut dapat kita lihat dalam industri media elektronik, perempuan kerap kali hanya dijadikan sebagai obyek seksual, dimana tubuh perempuan maupun sifat keperempuanan dijadikan salah satu alat untuk memancing daya tarik pemirsa baik dalam sinetron, film televisi, dan program-program televisi lainnya, memanfaatkan keindahan atau sensualitas tubuh perempuan sebagai alat untuk menjual produk yang diiklankan atau untuk dimanfaatkan dalam memperoleh keuntungan di industri pornografi dalam media televisi dan internet adalah terdapatnya eksploitasi elektronik internet. Dari sinilah peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran dan penokohan perempuan yang ada digunakan dalam media. Hal ini mengingat hubungan antara media dan perempuan seperti tidak bisa terpisahkan. Peneliti melihat berbagai macam “kemasan” dari perempuan yang terdapat dalam media, yang salah satunya adalah gambaran perempuan sebagai seorang penari dalam film Sang Penari karya Ifa Isfansyah.

Dalam film Sang Penari menceritakan seorang wanita yang benama Srintil dari keluarga tidak mampu. Dimana orang tua Srintil di tuduh menjuang bongkrek


(10)

yang beracun. Ibu dan ayah Srintil kemudian dibunuh oleh orang sekampung. Srintil kemudian hidup sebatang kara dan akhir oleh seorang dukun Ronggeng yang bernama Sarkum. Srintil kemudian beranjak dewasa dan bertemu dengan Rasus. Rasus adalah seorang pemuda satu desa dengan Srintil.

Pada dulunya, Rasus yang menemukan keris kecil milik seorang ronggeng terkenal di dukuh Paruk tersebut yang meninggal karena Bokrek yang di jual oleh ibu Srintil. Srintil dan Rasus keduanya saling mencintai, Srintil kemudian diberi keris kecil yang menjadi jimat dari ronggeng yang ditemukan Rasus. Karena merasa bertanggung jawab atas kematian ronggeng akibat bongkrek yang telah diberikan ibunya, akhrinya Srintil dituntut untuk menjadi seorang ronggeng. Dan saat Srintil menyiapkan diri untuk tugas sebagai ronggeng, ia menyadari bahwa menjadi seorang ronggeng tidak hanya berarti menjadi pilihan dukuhnya di pentas-pentas tari. Srintil akan menjadi milik semua warga Dukuh Paruk. Hal ini menempatkan Rasus pada sebuah dilema. Ia merasa cintanya telah dirampas. Dalam keputusasaan, Rasus meninggalkan dukuhnya untuk menjadi anggota tentara. Lalu jaman bergerak, di mana Rasus harus memilih: loyalitas kepada negara, atau cintanya kepada Srintil. Dan ketika Rasus berada dalam dilema, ia sudah kehilangan jejak kekasihnya.

Dari penggalan sinopsis film Sang Penari tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui representasi perempuan yang terdapat pada film Sang Penari Karya Ifa Isfansyah dengan menggunakan analisis semitotika dalam mencari gambaran atau representasi peran tersebut.


(11)

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi perempuan dalam film Sang Penari karya Ifa Isfansyah?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan reprentasi perempuan dalam film Sang Penari karya Ifa Isfansyah.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi tambahan referensi bagi peneliti sejenis selanjutnya berupa pemahaman tentang representasi peran perempuan dalam politik pada visualisasi film

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi refleksi dan pemahaman bagi para sineas tentang pesan dalam film. Pesan film yang digambarkan melaluin simbol-simbol yang ditemukan dalam film.

E. Tinjauan Pustaka 1. Film

Suatu peristiwa budaya telah terjadi ketika dua bersaudara August dan Louis Lumiere menggemparkan pengunjung Grand Café yang terletak di Boulevard de Capucines pada 28 Desember 1895 saat film bisu Worker


(12)

Leaving the Lumiere Factory diputar. Sambutan penonton pada saat itu demikian hangat dan sensasional. Dengan membayar karcis, masyarakat perancis berbondong - bondong menyaksikan film yang hanya bermassa putar beberapa menit dan memperlihatkan serombongan pekerja meninggalkan pabrik foto Lumiere tempat mencari nafkah. Hal itu yang menjadi cikal bakal film yang berkembang pada saat ini (Baksin, 2003 : 2 ).

Seiring dengan perkembangannya mula - mula hanya dikenal film hitam putih dan tanpa suara. Kreativitas terus berlanjut hingga dalam bentuk seperti apa yang kita tonton saat ini. Film bicara memang sudah mulai diperkenalkan secara umum sejak tahun 1927 di Amerika serikat. Tetapi belum sempurna, baru setelah delapan tahun kemudian film bicara memang sudah dinikmati khalayak umum dalam pemutaran yang lebih lama dan relatif sempurna. Usaha penyempurnaan dunia perfilman itu terus berlangsung baik dari segi suara, tata warna, sampai ia harus berhadapan dengan perkembangan televisi yang muncul ketika perang dunia ke II berakhir.

Bersama radio dan televisi, film termasuk kategori media massa periodik. Artinya, kehadirannya tidak terus - menerus, tetapi berperiode dan termasuk media elektronik, yakni media yang dalam penyajian pesannya sangat bergantung pada adanya listrik. Sebagai media massa elektronik dan adanya banyak unsur kesenian lain, film menjadi media massa yang memerlukan proses lama dan mahal

Dahulu dikenal istilah gambar hidup yang betapapun sempurna teknik yang digunakan belum mendekati kenyataan sehari - hari. Sehingga


(13)

untuk meningkatkan kesan dan dampak, suatu film harus diiringi dengan suara berupa dialog atau berupa musik sebagai alat penguat ekspresi. Di samping itu suara, musik dan warna juga dapat menimbulkan nilai riil sebuah film. Jadi film terkesan sungguh - sungguh terjadi dan sedang dialami dan dirasakan oleh penonton.

Para teoritikus menyatakan bahwa film dewasa ini merupakan perkembangan produksi film yang dianggap sebagai kerja kolaboratif, yaitu melibatkan sejumlah tenaga kreatif seperti sutradara, penulis skenario, penata kamera, penyunting, penata artistik dan pemeran. Unsur-unsur kreatif ini saling mendukung dan mengisi untuk membentuk totalitas film (Sumarno,1996:107).

Film dalam bentuk konkrit / riil adalah sebuah pita seluloid transparan berisi gambar dan suara yang disorotkan kelayar pada ruangan yang digelapkan dengan bantuan sebuah alat bernama proyektor (diktat Kine klub;2003). Film sangat berbeda dengan seni sastra, teater, seni rupa, seni suara, seni musik, dan arsitektur yang muncul sebelumnya. Seni film mengandalkan teknologi, baik sebagai bahan baku produksi maupun dalam hal eksebisi kehadapan penontonnya. Film merupakan penjelmaan terpadu antara berbagai unsur yakni sastra, teater, seni rupa, dengan teknologi canggih dan modern serta sarana publikasi (Baskin 2003:3).

Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia. Lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi dan vidio lasser setiap minggunya. Film lebih dahulu menjadi media hiburan dibandingkan radio siaran dan televisi.


(14)

Menonton film ke bioskop menjadi aktifitas populer bagi orang–orang Amerika pada tahun 1920-an sampai 1950-an (Ardianto, 134:2004).

Sebagai suatu media komunikasi dan seni, nilai film lebih mudah menyajikan suatu hiburan daripada bentuk komunikasi lainnya. Hal ini dapat dilihat dari sifatnya yang ringan dan menitik - beratkan pada ‘estetika’ dan ‘etika’. Pada dasarnya film memiliki nilai hiburan dan artistik. Hampir semua film dalam beberapa hal bermaksud untuk menghibur, mendidik dan menawarkan rasa keindahan. Menurut Heru Efendy (2002:11) dijelaskan masing-masing pengertian dari jenis-jenis film yang ada dalam perkembangannya dewasa ini, sebagai berikut:

a. Film cerita (Story Film).

Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang atau dimainkan oleh actor dan aktris. Film cerita ini bias berupa film drama, horror, komedi, musical, fiksi , ilmiah dan lain sebagainya.

b. Film berita.

Film berita atau news real adalah film mengenai fakta atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita maka film yang disajikan kepada public harus mengandung nilai berita (news value). Proses pembuatan dan penyajian film berita memerlukan waktu yang cukup lama, maka suatu berita harus bersifat actual.

c. Film documenter (Dokumentary Film).

Film documenter hanya merekam kejadian tanpa diolah lagi, misalnya dokumentasiperistiwa perang, upacara kenegaraan, film documenter


(15)

mengandung fakta dan mengandung subyektifitas pembuat. Subyektifitas diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa. d. Film kartun.

Film kartun atau film animasi adalah suatu sequence gambar yang diekspos pada tenggang waktu tertentu sehingga tercipta sebuah ilusi gambar bergerak

Film merupakan sebuah alat untuk menyapaikan pesan yang efektif dalam mepengaruhi khalayak dengan pesan-pesan yang disampaikannya. Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat melalui muatan pesan-pesannya (message). Tema-tema yang diangkat di dalam film menghasilkan sebuah nilai-nilai yang biasanya didapatkan di dalam sebuah pencarian yang panjang tentang pengalaman hidup,realitas sosial,serta daya karya imajinatif dari sang penciptanya dengan tujuan dalam rangka memasuki ruang kososng khalayak tentang sesuatu yang belum diketahuinya sama sekali sehingga tujuan yang ingin dicapainyapun sangatlah bergantung pada seberapa antusias khalayak terhadap tema-tema yang diangkat di dalam film tersebut (Sobur, 2003:127).

Tema-tema di dalam film biasanya tidak lepas dari masalah yang memang selama ini telah menjadi sebuah realita di dalam kehidupan seperti tema cinta,keluarga,perjalanan hidup serta hal-hal yang memang selama ini menjadi daya ktetif imajiantif sang pembuat film,seperti film kartun,animasi,dsb.film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai system Tanda-tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Yang paling penting di dalam


(16)

film adalah gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar dan musik film.

2. Film sebagai Komunikasi Massa

Komunikasi adalah suatu kegiatan kehidupan yang baik sadar ataupun tdak disadari, setiap orang mengetahui dan melakukan kegiatan tersebut. Komunikasi massa merupakan salah satu bentuk dalam Ilmu Komunikasi. Komunikasi terbatas hanya pada proses penyebaran pesan melalui media massa, salah satunya melalui media film. Media film bisa menjadi pesan yang akan disampaikan pada khalayak luas sebagai suatu bentuk komunikasi massa.

Film merupakan salah satu studi ilmiah yang terkandung dalam komunikasi massa. Dimana komunikan yang terbentuk dalam komunikasi massa bersifat heterogen. Artinya penonton dari film adalah beragam, baik itu pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, kedudukan jabatan, serta agama dan kepercayaan yang berbeda–beda. Hal ini sependapat dengan Helbert Blumer (Nurudin, 2003:20) yang memberikan ciri–ciri tentang karakteristik audiance/ komunikan sebagai berikut:

1. Audiance dalam komunikasi massa sangatlah heterogen. Artinya, ia mempunyai heterogenitas komposisi atau susunan. Jika ditinjau dari asalnya, mereka berasal dari berbagai kelompok dalam masyarakat. 2. Berisi individu–individu yang tidak tahu atau mengenal satu sama

lain. Disamping itu, antar individu itu tidak berinteraksi satu sama lain secara langsung.


(17)

3. Mereka tidak mempunyai kepemimpinan atau organisasi formal. Selain komunikan, unsur pesan merupakan hal yang penting untuk terciptanya sebuah komunikasi. Pesan dalam komunikasi massa lebih bersifat umum. Artinya bahwa pesan–pesan yang disampaikan dalam sebuah film dapat di tangkap oleh siapa saja, bukan hanya orang dewasa akan tetapi anak–anak sampai remaja.

Media massa saat ini telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses komunikasi massa. Bahkan ketergantungan manusia pada media massa sedimikian besar. Ketergantungan yang tinggi pada media massa akan menundukkan media sebagai alat yang akan ikiut membentuk apa dan bagaimana masyarakat. Demikianlah arti penting dari media massa, hal ini sejalan dengan pendapat Dennis McQuail (1987) pernah memberikan beberapa asumsi pokok, antara lain:

1. Media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa serta menghidupkan industri lain yang terkait. Media juga merupakan industri tersendiri yang memiliki peraturan dan norma–norma yang menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat dan istitusi lainnya. Di pihak lain, institusi media di atur oleh masyarakat.

2. Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai penganti kekuatan atau sumber daya lainnya.


(18)

3. Media merupakan lokasi (atau norma) yang semakin berperan, untuk menampilkan peristiwa–peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional.

4. Media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, akan tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma–norma.

5. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media juga menyuguhkan nilai–nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.

3. Representasi Perempuan

Representasi merupakan suatu proses dimana konsep - konsep ideologi absrtak, yang terdapat dalam pola pikir seseorang, terungkapkan dan tercermin lewat perilaku seseorang tersebut dalam dunia nyata (realitas). Konsep - konsep ideologi abstrak tersebut menggambarkan atau mencerminkan sesuatu hal, baik keadaan, kegiatan, maupun perbuatan. Jadi pandangan hidup dan pola pikir seseorang tentang perempuan, laki - laki, atau anak - anak, bisa terlihat dari cara seseorang tersebut memberi hadiah ulang tahun kepada teman - teman seseorang tersebut yang berkelamin perempuan, laki - laki, dan anak - anak. Representasi merupakan konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan tanda


(19)

melalui sistem penandaan yang tersedia. Sistem penandaan tersebut dapat berupa film, foto video, foto, tulisan, dan sebagainya. Seperti yang diungkapkan oleh Juliastuti (dalam Kunci no.4, 2000) bahwa representasi merupakan proses sosial dari representing. Ia produk sosial representing -proses mempersembahkan lagi kembali yang merupakan perwakilan atau cerminan dari objek-. Representasi mengarah pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Proses pemaknaan tanda ini merupakan praktik proses pemaknaan yang menjelaskan dan menguraikan objek dikaji dan dipelajari lewat studi representasi.

Dalam studi representasi, mempelajari bahwa terdapat dua proses representasi, seperti yang diungkapkan oleh Hall (dalam Juliastuti, 2004) pertama representasi mental yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada dikepala kita masing - masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak; kedua bahasa, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Jadi konsep yang ada dalam pola pikir seseorang diterjemahkan dalam “bahasa” yang lazim digunakan, supaya seseorang tersebut dapat menghubungkan konsep - konsep dan ide seseorang itu tentang sesuatu dengan tanda dan simbol - simbol tertentu. Dalam proses pertama ini, memungkinkan seseorang untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai yang saling berhubungan antara sesuatu dengan sistem peta “konseptual” seseorang tersebut. Selanjutnya dalam proses kedua, dimana seseorang mengkonstruksi seperangkat rantai hubungan antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep - konsep seseorang


(20)

tentang sesuatu. Dan hubungan antara sesuatu dengan peta konseptual dengan bahasa atau simbol adalah jantung dari produksi makna. Dan dari proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama yang dinamakan proses representasi.

Proses representasi ini terus berlangsung dari konteks individu-dalam diri seseorang-berlanjut dan masuk individu-dalam konteks sosial dan kebudayaan. Sejalan dengan pemikiran yang diungkapkan oleh Barker (2005:413) “Dan representasi membangun kebudayaan, makna, dan pengetahuan”. Jadi representasi adalah salah satu proses penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat (Seomardjan dan Soemardi, 2007). Dan segala bentuk hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat yang disebut kebudayaan itu, ada dalam konteks kehidupan sosial manusia.

Sejalan dengan pemikiran ini, Barker (2005:9) mengemukakan bahwa representasi dan makna budaya memiliki materialitas tertentu, mereka melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi.

Jadi makna sebagai hasil proses representasi, tidak dapat terlepas dalam sesuatu di dunia ini, makna selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Dan makna merupakan hasil dari praktek penandaan. Makna diproduksi, ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu, konteks sosial disini dipahami merupakan “ruang tempat” dimana hasil proses penandaan makna yang dikonstruksi


(21)

dalam proses representasi dapat dilihat dan dirasakan melalui panca indera manusia. Konteks sosial, memiliki beberapa aspek atau sisi.

Berbicara perempuan tidak terlepas dari penampilan fisiknya. Segala bentuk interpretasi dari tubuh wanita merupakan perbincangan yang tak pernah bertepi. Sebuah representasi lebih mudah diterima dalam masyarakat apabila telah ada sistem pemaknaannya. Pemaknaan mengenai citra perempuan, didalam struktur sosial masyarakat berkembang melalui tataran nilai-nilai budaya yang telah dianut lama.

Pandangan manusia tentang identitas gender sudah menjadi ideologi, sudah menghegemoni. Oleh karena itu, ,masih banyak orang percaya (termasuk perempuan sendiri) bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga ; memasak, dan memberikan perhatian kepada keluarganya agar rumah tangganya tentram dan sejahtera. Dari sinilah muncul paham feminis yang menuntut persamaan hak antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan di segala aspek kehidupan tanpa menyalahi kodrat perempuan itu sendiri. Perempuan adalah manusia yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Sebagai manusia ia lahir dengan naluri untuk sukses dan terus maju dalam kehidupan yang ditempuhnya. Posisi perempuan selama ini menjadi nomor dua akan mengebiri dan menindas perempuan (Naqiyah, 2005:56).


(22)

4. Feminisme

Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837.

Feminisme sendiri secara general diartikan sebuah gerakan wanita yang menuntut emansipasi atau kesamaan hak dengan kaum pria. Menurut Marisa Rueda, feminisme adalah perlawanan terhadap pembagian kerja disuatu dunia yang menetapkan kaum laki-laki sebagai yang berkuasa dalam ranah publik. Menurut Troil Moi dalam Aquarini (2007:22) feminitas adalah konstruksi sosial budaya yang diatribusikan kepada perempuan, dan karena konstruksi sosial diciptakan manusia, maka feminitas dan gender tidaklah ajeg dan dengan dapat berubah.

Banyak pemahaman yang menyalah artikan feminisme sebagai gerakan perempuan yang membenci laki-laki, pengikut seks bebas dan lesbian. Namun pemikiran tersebut hanyalah sebagian kecil konteks yang terjadi ketika seksualitas perempuan di Barat tengah mengalami tekanan. Feminisme bukanlah ideologi yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala


(23)

sesuatu yang melingkupi kelahirannya. Feminisme lahir dengan konteks tertentu baik itu budaya, agama, ras, etnik, keadaan sejarah tertentu dan lain sebagainya (Aquarini, 2007;23).

4.1. Aliran Feminisme

Mansour Fakih membagi aliran feminisme menjadi dua aliran besar, yaitu aliran status quo atau fungsionalisme dan aliran konflik (Fakih, 2001:79). Aliran fungsionalis dianut oleh feminis liberal yang dalam memperjuangkan masyarakat tertuju pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk perempuan. Sedangkan aliran konflik dianut oleh para feminis radikal yang menganggap bahwa penindasan perempuan oleh laki-laki berakar dari jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriakinya.

Menurut Bagus Pramono dan Herlianto (2006:2-3), aliran feminisme dibagi 4 aliran yaitu:

1. Feminisme Liberal

Feminisme Liberal adalah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Feminisme Liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas.


(24)

aliran ini menawarkan ideologi “perjuangan separatisme perempuan”. Adanya sejarahnya aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman pendindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik

3. Feminisme Post Modern

Ide posmo adalah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilihan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada peng-universal-an pengetahuan ilmuah dan sejarah.

4. Feminisme Anarkis

Feminisme anarkis lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-laki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.


(25)

5. Feminisme Sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.


(26)

5. Semiotika

Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti tanda sedangkan dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan sign (Kurniawan, 2001, 8 ), semiotika adalah ilmu yang mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Umberto eco menyebut tanda tersebut sebagai kebohongan (Gottdiener, 1995, dalam Listiorini, 1999, Sobur, 2003, 87). Dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri.

Pokok perhatian dari semiotika terletak pada tanda. Semiotika sendiri mempunyai tiga bidang utama:

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yangberbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda merupakan konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengekploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentranmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentunknya sendiri.

Dalam semiotika terdapat pula aliran yang cukup beragam mulai dari aliran semiotik konotasi yang dipelopori oleh Roland Barthes, aliran


(27)

semiotik ekspasionis oleh Julia Kristeva, dan aliran semiotik behavioris oleh Morris ( Sudjiman & Zoest, 1996: 3-4 ).

Semiotika dalam arti modern berangkat dari seorang ahli bahasa yang berasal dari Swiss Ferdinand de saussure ( 1857-1913 ) yang mengemukakan pandangan bahwa linguistik dibedakan menjadi bagian suatu ilmu pengetahuan umum tentang tanda yang disebut dengan semiologi, orang yang sejaman dengannya adalah seorang filsuf Amerika Charles Sanders Peirce ( 1839-1914) ia secara mandiri telah mengajarkan sebuah tipologi tentang tanda-tanda yang maju dan sebuah meta bahasa untuk membicarakannya (Sobur, 2003:96 ).

Peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand De Saussure yang membuka suatu gerakan atau mode intelektual Perancis dengan nama payung strukturalisme. Dari dialah muncul penjelasan tentang makna dari referensi pada suatu sistem perbedaan yang terstruktur dalam bahasa, konteks yang ditelusuri Saussure adalah aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang mengatur bahasa dan bukan penggunaan khusus dan ujaran-ujaran yang dipakai sehari-hari. Saussure dan Strukturalisme pada umumnya, lebih tertarik pada struktur-struktur bahasa daripada pemakaian aktualnya. Ia berpendapat bahwa bahasa tidak mencerminkan suatu kenyataan eksternal yang telah ada sebelum dan di luar bahasa, melainkan membentuk makna dari dalam dirinya melalui serangkaian perbedaan konseptual dan bunyi.

Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat di pahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin


(28)

keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena. Saussure membedakan antara struktur paradigma dan sintagma, dari tanda sintagmatik mencoba melihat tanda sebagai suatu rangkaian kejadian-kejadian yang saling berurutan, berkaitan dengan hubungan sebab akibat dari suatu tanda/ teks. Makna yang dihasilkan dari relasi sintagmatik ini disebut makna yang manifest sedangkan paradigmatik mengacu pada tanda yang membentuk sekelompok kategori tertentu, pendekatan tersebut menawarkan 2 cara yang berbeda dalam menganalisis tanda. Oleh karena itu penting sekali kiranya untuk menyadari bahwa konsep dari kode-kode yang berbeda tersebut sebagai seperangkat aturan pokok yang mengatur tanda itu sendiri. Ferdinand De Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia untuk mengungkapkan sesuatu kepada manusia lain selalu dengan pemilahan antara Signifier (penanda) dan Signified (petanda), signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dibaca/ ditulis dan apa yang dikatakan, sedang signified adalah gambaran mental yakni pikiran/ konsep (aspek mental) dari bahasa, kedua unsur ini saling berkaitan satu sama lain (Kurniawan, 2001;14).

Kode-kode yang digunakan dalam periklanan seringkali susah untuk dipahami karena mendasari struktur yang nyata tapi analisis semiotik dari kode-kode yang digunakan oleh tanda menawarkan pengetahuan yang bermanfaat dalam memahami cara bekerjanya tanda. Namun begitu peneliti tidak membahas terlalu banyak pada kubu Saussure dikarenakan pada penelitian ini lebih pada semiotika pascastrukturalis yang berlawanan


(29)

dengan konsep strukturalis yang lebih pada penggunaan teks sebagai bagian dari wilayah bahasa sedangkan dalam pascastrukturalis petanda merupakan suatu proses heterogen, plural dan kreatif sehingga tidak ada makna tunggal atas realitas bahasa, oleh sebab itu makna yang terkandung dalam suatu fenomena bisa menjadi sewenang-wenang.. Dan penelitian ini juga condong pada semiotika Charles Sanders Peirce sebagai salah satu pemikir semiotika modern behavioris.

5.1. Semiotika Charles Sanders Peirce

Kehadiran pragmatisme Charles Sanders Peirce yang mengawali semiotika modern yang behaviouris dan positivis serta strukturalisme Saussure dalam kancah perbincangan filsafat bahasa mempertegas adanya studi tanda yang disebut Peirce sebagai semiotika dan Saussure dengan semiologinya keduanya adalah sama dan saling melengkapi satu sama lain, keduanya juga sama-sama mematenkan diri dalam ilmu tentang tanda, meskipun sebenarnya semiotika Peirce masih ada kecenderungan untuk meneruskan tradisi skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran logis), sedangkan Saussure menekankan pada linguistik.

Pierce mengidentifikasikan relasi segitiga antara tanda, pengguna dan realitas eksternal sebagai suatu keharusan model untuk mengkaji makna. Menjelaskan bahwa tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang, tanda yang diciptakannya dinamakan interpretant dari tanda yang pertama, tanda


(30)

itu menunjukkan sesuatu, yakni obyeknya. Peirce menyebutnya sebagai triple connection of signthing signified and cognition produced in the mind, yang Peirce disebut sebagai triadic, Hubungan segitiga makna Peirce lazimnya ditampilkan seperti tampak pada gambar berikut ini:

Bagan 2.2 Elemen makna Peirce

Sign

Interpretant Object Sumber : John, Fiske, 1990, 63

Menurut Peirce, salah satu bentuk dari tanda adalah kata, sedangkan obyek adalah sesuatu yang dirujuk tanda, sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda dan ketika ketiga elemen makna ini berinteraksi dalam benak seseorang maka muncullah sebuah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Menurut Peirce minatnya pada semiotika terletak pada makna, yang ditemukannya dalam relasi struktural tanda, manusia, dan obyek (Sobur, 2001: 115 )..

Berkaitan dengan tiga elemen diatas Pierce menjelaskan bahwa setiap tanda ditentukan oleh obyeknya, pertama-tama, dengan mengambil bagian dalam karakter obyek, tatkala ia menyebutnya tanda sebuah ikon, kedua dengan nyata dana dalam eksistensi individualnya terkait dengan obyek individual tatkala ia menyebutnya dengan indeks, ketiga dengan kurang lebih mendekati kepastian bahwa tanda itu akan ditafsirkan sebagai


(31)

mendenotasikan obyek sebagai konsekuensi dari kebiasaan dalam budaya masyarakat tatkala ia menyebut tanda sebuah symbol (Fiske, 1990; 70).

Dan dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode semiotika dari Charles Sanders Peirce dalam menemukan dan mendeskripsikan representasi perempuan dalam film Sang Penari karya Ifa Isfansyah. Karena dengan teori Peirce ini peneliti bisa mengintepretasikan tanda.Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiotik adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Prisa Nasution yang muncul di film Sang Penari dengan akting dan penampilan


(32)

fisiknya sebagai seorang penari, dan penonton bisa memaknainya sebagai seroang wanita yang lembut dan menggairahkan.

F. Metode Penelitian

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode semiotik. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004 : 15). Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan sepanjang film, selanjutnya akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Metode analisis semiotik pada dasarnya lebih menekankan perhatian mengenai tanda sebagai bagian dari proses komunikasi, dalam arti bahwa tanda hanya dianggap sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dn demikian juga diterima oleh penerima (Van Zoest, dalam Sobur, 2004: xxii). Makna simbolik disini dimaksutkan hasil kegiatan sosial (social action) sebuah masyarakat. Jadi, pemahamannya membutuhkan pegertian tentang konteks pemakaian simbol tersebut.

F.1. Tipe dan Dasar Penelitian

Tipe penelitian yang akan digunakan disini adalah deskriptif interpretatif. Deskriptif disini bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis (Moleong, 2002: 6), sedangkan interpretatif dalam dekriptif interpretatif ditempatkan sebagai cara atau jalan dalam memetakan gambaran atau lukisan yang terproyeksi secara sistematis.


(33)

Sedangkan dasar penelitian ini mengacu pada model Charles Sander Pierce yakni analisis semiotik. Analisis dalam penelitian ini memusatkan perhatian terhadap studi film. Analisis ini nantinya juga diperkuat dengan menggunakan analisis semiotik model Roland Barthes untuk memperkuat hasil dari analisa Pierce, yaitu dengan adanya mitos. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan ataumemahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos adalah salah satu jenis sistem semiotik tingkat dua. Teori mitos dikembangkan Barthes untuk melakukan kritik (membuat dalam “krisis”) atas ideologi budaya massa (atau budaya massa).

F.2. Lingkup Penelitian

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada latar belakang, lingkup penelitian ini adalah pemaknaan tanda representasi perempuan pada visualisasi film Sang Penari yang terdiri dari 86 scene dengan durasi 111 menit. Dalam penelitian ini tanda yang diambil adalah tanda berupa shot dari scene yang telah dipisah, yang terdiri dari gesture pemain, pakaian, warna, setting tempat, serta teknik pengambilan gambar.

F.3. Unit Analisis

Yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah keseluruhan shot yang ada dalam film Sang Penari. Dalam shot tersebut yang nantinya akan ditemukan tanda-tanda mengenai pemaknaan tentang representasi perempuan dalam tiap unsur cerita pada film Sang Penari. Dalam penelitian ini mengacu pada teori Peirce. Melalui teori Peirce maka data dikelompokkan sesuai dengan jenis dari tanda apakah termasuk ikon,


(34)

F.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulanan data dalam penelitian ini yang pertama adalah data primer dengan teknik pengumpulan data dokumentasi yaitu dengan cara memutar film Sang Penari pada komputer, frame dari scene yang dianggap mewakili makna representasi perempuan kemudian dipotong. Dan dari potongan frame tersebut kemudian dibuat file jpeg (gambar). Kedua data sekunder dengan kepustakaan yang ada, baik berupa buku, artikel serta bahan tertulis lainnya guna menunjang kelengkapan data.

F.5. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan semiotika Peirce, bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan pertama-tama adalah data dikelompokkan sesuai dengan jenisnya masing-masing yang kemudian dianalisis dengan memperhatikan elemen makna yaitu indek, ikon dan simbol yang merupakan perangkat semiotik. Dari langkah pertama akan didapatkan gambaran yang bersifat umum dan mencakup apa yang dipermasalahkan. Agar mudah dibaca dan dicerna, maka dibuatlah table hasil pemaknaan, peneliti membuat table kerja analisis sebagai berikut:

Tabel 3.1 Tabel Kerja Analisis


(1)

dengan konsep strukturalis yang lebih pada penggunaan teks sebagai bagian dari wilayah bahasa sedangkan dalam pascastrukturalis petanda merupakan suatu proses heterogen, plural dan kreatif sehingga tidak ada makna tunggal atas realitas bahasa, oleh sebab itu makna yang terkandung dalam suatu fenomena bisa menjadi sewenang-wenang.. Dan penelitian ini juga condong pada semiotika Charles Sanders Peirce sebagai salah satu pemikir semiotika modern behavioris.

5.1. Semiotika Charles Sanders Peirce

Kehadiran pragmatisme Charles Sanders Peirce yang mengawali semiotika modern yang behaviouris dan positivis serta strukturalisme Saussure dalam kancah perbincangan filsafat bahasa mempertegas adanya studi tanda yang disebut Peirce sebagai semiotika dan Saussure dengan semiologinya keduanya adalah sama dan saling melengkapi satu sama lain, keduanya juga sama-sama mematenkan diri dalam ilmu tentang tanda, meskipun sebenarnya semiotika Peirce masih ada kecenderungan untuk meneruskan tradisi skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran logis), sedangkan Saussure menekankan pada linguistik.

Pierce mengidentifikasikan relasi segitiga antara tanda, pengguna dan realitas eksternal sebagai suatu keharusan model untuk mengkaji makna. Menjelaskan bahwa tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang, tanda yang diciptakannya dinamakan interpretant dari tanda yang pertama, tanda


(2)

itu menunjukkan sesuatu, yakni obyeknya. Peirce menyebutnya sebagai triple connection of signthing signified and cognition produced in the mind, yang Peirce disebut sebagai triadic, Hubungan segitiga makna Peirce lazimnya ditampilkan seperti tampak pada gambar berikut ini:

Bagan 2.2 Elemen makna Peirce

Sign

Interpretant Object Sumber : John, Fiske, 1990, 63

Menurut Peirce, salah satu bentuk dari tanda adalah kata, sedangkan obyek adalah sesuatu yang dirujuk tanda, sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda dan ketika ketiga elemen makna ini berinteraksi dalam benak seseorang maka muncullah sebuah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Menurut Peirce minatnya pada semiotika terletak pada makna, yang ditemukannya dalam relasi struktural tanda, manusia, dan obyek (Sobur, 2001: 115 )..

Berkaitan dengan tiga elemen diatas Pierce menjelaskan bahwa setiap tanda ditentukan oleh obyeknya, pertama-tama, dengan mengambil bagian dalam karakter obyek, tatkala ia menyebutnya tanda sebuah ikon, kedua dengan nyata dana dalam eksistensi individualnya terkait dengan obyek individual tatkala ia menyebutnya dengan indeks, ketiga dengan kurang lebih mendekati kepastian bahwa tanda itu akan ditafsirkan sebagai


(3)

mendenotasikan obyek sebagai konsekuensi dari kebiasaan dalam budaya masyarakat tatkala ia menyebut tanda sebuah symbol (Fiske, 1990; 70).

Dan dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode semiotika dari Charles Sanders Peirce dalam menemukan dan mendeskripsikan representasi perempuan dalam film Sang Penari karya Ifa Isfansyah. Karena dengan teori Peirce ini peneliti bisa mengintepretasikan tanda.Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiotik adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Prisa Nasution yang muncul di film Sang Penari dengan akting dan penampilan


(4)

fisiknya sebagai seorang penari, dan penonton bisa memaknainya sebagai seroang wanita yang lembut dan menggairahkan.

F. Metode Penelitian

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode semiotik. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004 : 15). Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan sepanjang film, selanjutnya akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Metode analisis semiotik pada dasarnya lebih menekankan perhatian mengenai tanda sebagai bagian dari proses komunikasi, dalam arti bahwa tanda hanya dianggap sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dn demikian juga diterima oleh penerima (Van Zoest, dalam Sobur, 2004: xxii). Makna simbolik disini dimaksutkan hasil kegiatan sosial (social action) sebuah masyarakat. Jadi, pemahamannya membutuhkan pegertian tentang konteks pemakaian simbol tersebut.

F.1. Tipe dan Dasar Penelitian

Tipe penelitian yang akan digunakan disini adalah deskriptif interpretatif. Deskriptif disini bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis (Moleong, 2002: 6), sedangkan interpretatif dalam dekriptif interpretatif ditempatkan sebagai cara atau jalan dalam memetakan gambaran atau lukisan yang terproyeksi secara sistematis.


(5)

Sedangkan dasar penelitian ini mengacu pada model Charles Sander Pierce yakni analisis semiotik. Analisis dalam penelitian ini memusatkan perhatian terhadap studi film. Analisis ini nantinya juga diperkuat dengan menggunakan analisis semiotik model Roland Barthes untuk memperkuat hasil dari analisa Pierce, yaitu dengan adanya mitos. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan ataumemahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos adalah salah satu jenis sistem semiotik tingkat dua. Teori mitos dikembangkan Barthes untuk melakukan kritik (membuat dalam “krisis”) atas ideologi budaya massa (atau budaya massa).

F.2. Lingkup Penelitian

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada latar belakang, lingkup penelitian ini adalah pemaknaan tanda representasi perempuan pada visualisasi film Sang Penari yang terdiri dari 86 scene dengan durasi 111 menit. Dalam penelitian ini tanda yang diambil adalah tanda berupa shot dari scene yang telah dipisah, yang terdiri dari gesture pemain, pakaian, warna, setting tempat, serta teknik pengambilan gambar.

F.3. Unit Analisis

Yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah keseluruhan shot yang ada dalam film Sang Penari. Dalam shot tersebut yang nantinya akan ditemukan tanda-tanda mengenai pemaknaan tentang representasi perempuan dalam tiap unsur cerita pada film Sang Penari. Dalam penelitian ini mengacu pada teori Peirce. Melalui teori Peirce maka data dikelompokkan sesuai dengan jenis dari tanda apakah termasuk ikon, indeks, atau simbol.


(6)

F.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulanan data dalam penelitian ini yang pertama adalah data primer dengan teknik pengumpulan data dokumentasi yaitu dengan cara memutar film Sang Penari pada komputer, frame dari scene yang dianggap mewakili makna representasi perempuan kemudian dipotong. Dan dari potongan frame tersebut kemudian dibuat file jpeg (gambar). Kedua data sekunder dengan kepustakaan yang ada, baik berupa buku, artikel serta bahan tertulis lainnya guna menunjang kelengkapan data.

F.5. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan semiotika Peirce, bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan pertama-tama adalah data dikelompokkan sesuai dengan jenisnya masing-masing yang kemudian dianalisis dengan memperhatikan elemen makna yaitu indek, ikon dan simbol yang merupakan perangkat semiotik. Dari langkah pertama akan didapatkan gambaran yang bersifat umum dan mencakup apa yang dipermasalahkan. Agar mudah dibaca dan dicerna, maka dibuatlah table hasil pemaknaan, peneliti membuat table kerja analisis sebagai berikut:

Tabel 3.1 Tabel Kerja Analisis