Pengaruh Berbagai Konsentrasi Metopren terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti

PENGARUH BERBAGAI KONSENTRASI METOPREN TERHADAP
LARVA NYAMUK Aedes aegypti

NORA SAIDUL FATIMAH BINTI YASSIN

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Berbagai
Konsentrasi Metopren terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan di dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Nora Saidul Fatimah Binti Yassin
NIM B04108008

ABSTRAK

NORA SAIDUL FATIMAH BINTI YASSIN. Pengaruh Berbagai Konsentrasi
Metopren terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti. Dibimbing oleh Prof Dr Drh
Upik Kesumawati Hadi, MS dan Drh Supriyono, MSi.
Demam Berdarah Dengue dan Chikungunya merupakan penyakit yang
ditransimisikan oleh vektor Ae. aegypti yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Metopren adalah insektisida Insect Growth Regulator
yang berperan sebagai senyawa analog hormon juvenile yang bekerja semasa
stadium pradewasa nyamuk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh berbagai konsentrasi metopren pada larutan berumur 24 jam dan
metopren pada larutan berumur 720 jam (30 hari) terhadap larva nyamuk Ae.
aegypti serta bentuk kelainan morfologi stadium pradewasa nyamuk Ae. aegypti
yang terpapar metopren. Pengujian dilakukan terhadap larva Ae. aegypti instar

ketiga dengan konsentrasi bertahap mulai dari 0.0108 g/L, 0.0217 g/L, 0.0325 g/L,
0.0433 g/L, dan 0.0541 g/L. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase
mortalitas larva/pupa Ae. aegypti setelah terpapar metopren pada larutan berumur
24 jam adalah 71.6% pada konsentrasi 0.0108 g/L, 81.6% (0.0217 g/L), 90.8%
(0.0325 g/L), 100% (0.0433 g/L), dan 100% (0.0541 g/L). Hal ini menunjukkan
bahwa konsentrasi efektif metopren adalah antara 0.0217 g/L-0.0541 g/L.
Pengamatan metopren pada larutan berumur 720 jam adalah 44.8% pada
konsentrasi 0.0108 g/L, 57.6% (0.0217 g/L), 75.2% (0.0325 g/L), 79.2% (0.0433
g/L), dan 85.2% (0.0541 g/L). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi efektif
metopren untuk membunuh larva/pupa adalah 0.0541 g/L. Metopren efektif
membunuh larva nyamuk Ae. aegypti pada konsentrasi 0.0541 g/L sebesar 85.2%
selama 30 hari. Stadium pradewasa Ae. aegypti yang terpapar metopren
mengalami kelainan morfologi berupa (1) kerusakan tubuh larva sebanyak (2%),
(2) kerusakan abdomen pupa (8%), (3) kekakuan pada tubuh pupa (78%), dan (4)
kegagalan eklosi pada pupa (12%).
Kata kunci: Aedes aegypti, efektivitas larvasida, metopren.

ABSTRACT

NORA SAIDUL FATIMAH BINTI YASSIN. Effect of Various Concentration of

Methoprene against Aedes aegypti Larvae. Supervised by Prof Dr Drh Upik
Kesumawati Hadi, MS and Drh Supriyono, MSi.
Dengue Hemorrhagic Fever and Chikungunya are diseases transmitted by
vector Ae. aegypti which is public health problem in Indonesia. Methoprene is
Insect Growth Regulator insecticide that act as juvenile hormone analog that
work during the pre-adult stages of mosquito. The aim of this study are to
determine an effect of various concentration of methoprene 24 hours age residual
solution and methoprene 720 hours (30 days) age residual solution against Ae.
aegypti larvae also the morphological abnormalities of the pre-adult stages of Ae.
aegypti after methoprene exposure. The test conducted against Ae. aegypti third
instar larvae by gradual concentrations started from 0.0108 g/L, 0.0217 g/L,
0.0325 g/L, 0.0433 g/L, to 0.0541 g/L respectively. The result showed that the
mortality percentage of Ae. aegypti larvae/pupae after methoprene 24 hours age
residual solution exposure were 71.6% at 0.0108 g/L concentration, 81.6%
(0.0217 g/L), 90.8% (0.0325 g/L), 100% (0.0433 g/L), and 100% (0.0541 g/L).
This suggests that the effective concentration of methoprene was raging from
0.0217 g/L-0.0541 g/L. The observation of mortality percentage after methoprene
720 hours age residual solution exposure were 44.8 % at a concentration of
0.0108 g/L, 57.6 % (0.0217 g/L), 75.2 % (0.0325 g/L), 79.2 % (0.0433 g/L), and
85.2 % (0.0541 g/L) respectively. This suggests that the most effective

concentration of methoprene was 0.0541 g/L. Methoprene effectively could kill
85.2% Ae. aegypti larvae at a concentration of 0.0541 g/L for 30 days. The
morphological abnormalities of the larvae and pupae after methoprene exposure
were (1) damaged of larvae bodies was 2%, (2) damaged of pupae abdomen (8%),
(3) pupae with a rigid body (78%), and (4) failed eclotion of pupae (12%).
Keywords: Aedes aegypti, efficacy of larvacide, methoprene.

PENGARUH BERBAGAI KONSENTRASI METOPREN
TERHADAP LARVA NYAMUK Aedes aegypti

NORA SAIDUL FATIMAH BINTI YASSIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 yaitu Pengaruh
Berbagai Konsentrasi Metopren terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti.
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
masukan serta bantuan dari banyak pihak. Dengan tersusunnya skripsi ini, penulis
mengucapkan ribuan terima kasih kepada Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi,
MS dan Drh Supriyono, MSi sebagai dosen pembimbing skripsi atas segala
bimbingan, ilmu, waktu dan kesabaran yang diberikan selama penelitian dan
penyusunan skipsi ini. Penulis juga berterima kasih kepada Drh Nastiti
Kusumorini sebagai dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasihat
selama ini dan ucapan terima kasih kepada Bapak Edie, Bapak Opik, dan Bapak
Nanang dari UKPHP yang telah memberi banyak masukan dan saran selama
penelitian ini berjalan. Ribuan terima kasih yang tidak terhingga penulis

sampaikan kepada keluarga tercinta mama, abah, dan saudara kandung serta
teman seperjuangan skripsi saya Iwan Saepudin, Shuffur Husna Hermawan, dan
Agitsnissalimah atas segala dukungan, kasih sayang, dan semangat yang selalu
diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mahasiswa PKPMI
Bogor, dan teman-teman Acromion 47 atas segala kebersamaan.
Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini.
Oleh kerena itu, segala kritik dan saran terhadap skripsi ini sangat diharapkan.
Semoga penulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan yang berkepentingan.

Bogor, Januari 2015
Nora Saidul Fatimah Binti Yassin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2


Zat Pengatur Tumbuh Serangga (Insect Growth Regulator)

2

Struktur Kimia Metopren

3

Metode Kerja (Mode of Action) Metopren sebagai Insektisida

4

Penggunaan Metopren dalam Pengendalian Vektor

4

METODE PENELITIAN

5


Tempat dan Waktu Penelitian

5

Metode Penelitian

5

Pengolahan Data
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN

6
6
7

Mortalitas Larva/Pupa Ae. aegypti terhadap Metopren yang Dilarutkan
Selama 24 Jam


7

Mortalitas Larva/Pupa Ae. aegypti terhadap Metopren yang Dilarutkan
Selama 720 Jam (30 Hari)
Bentuk Kelainan Morfologi Stadium Pradewasa Nyamuk Ae. aegypti
yang Terpapar Metopren
SIMPULAN DAN SARAN

8
10
12

Simpulan

12

Saran

12


DAFTAR PUSTAKA

12

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
Rata-rata Persentase Mortalitas Larva/Pupa Ae. aegypti Setelah
Terpapar Metopren pada Larutan Berumur 24 Jam
2. LT50 dan LT90 Metopren pada Larutan Berumur 24 Jam terhadap
Larva/Pupa Ae.aegypti
3. Rata-rata Persentase Mortalitas Larva/Pupa Ae. aegypti Setelah
Terpapar Metopren pada Larutan Berumur 720 Jam (30 Hari)
4. LT50 dan LT90 Metopren pada Larutan Berumur 720 Jam (30 Hari)
terhadap Larva/Pupa Ae. aegypti

1.

7
8
8
9

DAFTAR GAMBAR
1. Struktur Kimia Metopren
2. Bentuk-bentuk Larva dan Pupa Ae. aegypti normal, serta Kelainan
yang Terjadi Setelah Terpapar Metopren

3

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nyamuk merupakan serangga yang banyak terdapat di lingkungan sekitar
permukiman. Keberadaan nyamuk dalam jumlah besar dapat mengganggu
masyarakat karena mengisap darah dan berperan sebagai vektor penyakit. Jenisjenis nyamuk tersebut diantaranya adalah Aedes sp., Culex sp., dan Anopheles sp..
Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor utama penyakit demam berdarah
dengue dan chikungunya. Kasus penyakit DBD di Indonesia muncul sejak tahun
1968 di Surabaya. Belakangan ini, DBD telah menjadi masalah klasik yang
kejadiannya muncul setiap tahun terutama pada awal musim hujan (DEPKES
2005). Penyakit chikungunya di Indonesia dilaporkan pertama kali di Samarinda
pada tahun 1973, kemudian berjangkit di Kuala Tungkal, Jambi tahun 1980.
Seterusnya, pada tahun 1983 merebak di Martapura, Ternate, dan Yogyakarta.
Kejadian luar biasa (KLB) chikungunya terjadi pada awal tahun 2001 di Muara
Enim, Sumatera Selatan dan Aceh (Widoyono 2005).
Ae. aegypti merupakan nyamuk yang mempunyai aktivitas menggigit pada
siang dan sore hari dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (8.0010.00) dan sebelum matahari terbenam (15.00-17.00). Pengendalian nyamuk Ae.
aegypti dapat dilakukan secara mekanik, biologis dan kimiawi. Pengendalian
secara mekanik dapat dilakukan dengan cara mencegah nyamuk kontak dengan
manusia misalnya memasang kawat kasa pada lubang ventilasi rumah serta
menggalakkan gerakan 3 M yaitu menguras tempat-tempat penampungan air,
menutup rapat tempat penampungan air sehingga tidak dapat diterobos oleh
nyamuk dewasa, dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air
hujan. Pengendalian secara biologis dapat menggunakan musuh alami atau
predator sebagai pemangsa, sedangkan pengendalian secara kimiawi dengan
menggunakan insektisida kimia. Pengendalian menggunakan insektisida kimia
banyak dilakukan karena mudah didapat dan bekerja cepat membunuh serangga
sasaran.
Beberapa golongan insektisida kimia yang sering digunakan dalam
pengendalian nyamuk adalah organofosfat, karbamat, piretroid, dan Insect growth
regulator (IGR) (Hadi dan Koesharto 2006). Senyawa yang termasuk ke dalam
IGR satu di antaranya adalah metopren. IGR merupakan zat pengatur tumbuh
serangga yang berperan dalam mengganggu atau menghambat pertumbuhan
normal serangga. Pertumbuhan yang tidak normal ditandai dengan perpanjangan
stadium larva atau kegagalan menjadi pupa atau dewasa mandul. IGR sering
digunakan dalam pengendalian serangga karena toksisitas pada mamalia
umumnya sangat rendah. Selain itu, kerja IGR adalah menggaggu proses
pertumbuhan yang spesifik pada serangga sasaran. Senyawa IGR bekerja dengan
menghambat sintesa khitin dan hormon juvenoid. Hormon ini merupakan senyawa
yang menghambat proses pergantian kulit (molting) pada stadium pradewasa
(Wirawan 2006).
Pemanfaatan insektisida IGR metopren sebagai larvasida dalam
pengendalian terhadap nyamuk Ae. aegypti perlu dilakukan uji efikasi terlebih
dahulu. Uji ini bertujuan mengukur efektivitas insektisida tersebut terhadap

2

serangga sasaran. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh berbagai
konsentrasi metopren pada larutan berumur 24 jam dan metopren pada larutan
berumur 720 jam (30 hari) terhadap larva nyamuk Ae. aegypti serta bentuk
kelainan morfologi stadium pradewasa nyamuk Ae. aegypti yang terpapar
metopren, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
efektivitas insektisida IGR sebagai larvasida nyamuk Ae. aegypti.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi
metopren pada larutan berumur 24 jam dan metopren pada larutan berumur 720
jam (30 hari) terhadap larva nyamuk Ae. aegypti serta bentuk kelainan morfologi
stadium pradewasa nyamuk Ae. aegypti yang terpapar metopren.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi efektivitas
insektisida IGR sebagai larvasida nyamuk Ae. aegypti.

TINJAUAN PUSTAKA
Zat Pengatur Tumbuh Serangga (Insect Growth Regulator)
Insect growth regulator atau disebut sebagai zat pengatur tumbuh serangga
merupakan insektisida mirip hormon tiruan yang mengatur pertumbuhan pada
siklus hidup pradewasa serangga. IGR terbagi ke dalam dua kelas yaitu: (1)
Juvenile hormone analog dan (2) Chitin synthesis inhibitor (Wirawan 2006).
Sebagian komponen dari senyawa IGR adalah hormon kemudaan (juvenile
hormone) yang disekresi oleh sepasang kelenjar di otak serangga yang dikenal
sebagai corpora allata. Hormon Juvenile berfungsi untuk memerintahkan
serangga agar tetap pada stadium pradewasa. Ketika serangga sudah mencapai
ukuran yang optimal yang juga dikenal sebagai critical weight, hormon
prothoracicotropic (PTTH) akan dilepaskan dan merangsang sekresi hormon
ecdyson yang bekerja untuk memicu proses pergantian kulit. Mekanisme yang
mengendalikan sekresi PTTH berbeda antara spesies serangga. Serangga
hemiptera seperti Rhodnius prolixus dan Oncopelitus fasciatus akan mengalami
peregangan perut setelah mengisap darah sebagai signal terjadinya sekresi PTTH
dan pergantian kulit berikutnya (Minakuchi dan Riddiford 2006). Pada kondisi
pertumbuhan serangga normal, ketika pertumbuhan serangga sudah dianggap
cukup maka produksi hormon juvenile akan berhenti dan memicu serangga untuk
berganti kulit menjadi stadium dewasa. Pemberian juvenile hormone analog
mengakibatkan kegagalan larva serangga untuk berganti kulit sehingga terjadi
perpanjangan stadium larva atau pupa. Senyawa-senyawa yang termasuk ke dalam
juvenile hormone analog adalah fenoxycarb, hidropren, kinopren, metopren, dan
piriproksifen (Lim dan Lee 2005).

3

Senyawa IGR selain mengganggu sistem endokrin juga menghambat
produksi kutikula. Khitin adalah lapisan utama penyusun tubuh serangga
(eskoskleton). Khitin terdiri dari protein dan fraksi khitin yang terbagi menjadi
tiga bentuk yaitu khitin α, , dan . Sintesa khitin tergantung oleh kerja enzim
sintesis khitin yang berada di plasma membran. Bagaimanapun enzim ini
diproduksi sebagai zymogen (inaktif) di dalam retikulum endoplasma epidermis
dan harus diaktifkan oleh protease untuk sintesa khitin. Senyawa Chitin synthesis
inhibitor dapat mengganggu enzim yang merangsang proses sintesa khitin (chitin
biosynthesis inhibitor). Serangga yang terpapar senyawa ini juga tidak mampu
mengganti kulit (molting) sehingga siklus pertumbuhan dari serangga dihambat.
Senyawa-senyawa yang termasuk ke dalam Chitin synthesis inhibitor adalah
adalah bistfluron, buprofezin, cyromazine, diflubenzuron, hexaflumuron,
lufenuron, dan penfluron (Tunaz dan Uygun 2004).

Struktur Kimia Metopren
Senyawa metopren merupakan insektisida yang berfungsi sebagai juvenile
hormone analog. Senyawa ini mengatur pertumbuhan siklus pradewasa nyamuk
sehingga menyebabkan kelainan struktur morfologi dan kematian pada berbagai
spesies nyamuk. Metopren dengan rumus kimianya C19H34O3 merupakan hormon
juvenoid pertama yang digunakan di Amerika sejak tahun 1975. Secara kimia
rumus molekul metopren terdiri dari Isopropil (2E,4E)-11-Metoksi-3,7,11trimetil-2, 4-dodekadienoate dengan bobot molekul sebesar 310.48 g/mol (Bahri
2010).

Gambar 1 Struktur Kimia Metopren (Sumber: Kamita dan Hammock 2010)
Metopren terbagi menjadi dua bentuk isomer yaitu R-metopren (cis) dan Smetopren (trans). S-metopren adalah bentuk isomer yang memiliki aktivitas
sebagai insektisida yang lebih baik dibanding R-metopren. Metopren secara fisik
berbentuk cairan yang berwarna kuning pucat dengan bau buah. Metopren larut
dalam air dan pelarut organik. Senyawa metopren merupakan senyawa yang stabil
dan selektif meskipun non persisten apabila berada di alam karena biodegradasi
senyawa ini cepat terutama untuk CO2. Metopren merupakan senyawa non toksik
pada mamalia maupun manusia pada saat terhirup maupun tercerna, sehingga
senyawa ini aman diaplikasikan karena toksisitasnya yang rendah terhadap
mamalia. Toksisitas oral metopren pada tikus adalah 34600 mg/kgBB sedangkan

4

pada anjing adalah 5000-10000 mg/kgBB. Toksisitas dermal metopren pada
kelinci adalah 3000-10000 mg/kgBB sedangkan pada tikus adalah 5000 mg/kgBB
(Henrick et al. 2002). Metopren terurai dalam air dan cahaya matahari secara
cepat, sehingga sesuai untuk penggunaan dalam ruangan (Wirawan 2006).

Metode Kerja (Mode of Action) Metopren sebagai Insektisida
Metopren merupakan satu contoh juvenile hormone analog yang bekerja
pada nyamuk. Mekanisme kerja hormon ini tidak mematikan larva secara
langsung tetapi mengacaukan proses perubahan bentuk larva menjadi pupa dan
nyamuk (development inhibitor). Metopren dapat memasuki tubuh larva nyamuk
melalui proses makan atau penyerapan melalui eksoskeleton. Di dalam tubuh
larva, metopren akan bertahan dan mempengaruhi proses diferensiasi serta
maturasi larva sehingga masa perkembangan larva menjadi lebih lama dan
perubahan larva menjadi pupa terhambat. Metopren tidak seperti hormon juvenile
alami, yang dipengaruhi oleh enzim degeneratif (hormon juvenile spesifik
esterase) yang memecah hormon secara normal. Metopren memperpanjang
aktivitas hormon juvenile melebihi batas normal dengan menekan aktivitas
esterase. Larva yang berhasil menjadi pupa akan mengalami kematian dan
kegagalan eklosi karena metopren menghambat kerja hormon ecdyson. Kegagalan
pupa untuk melakukan eklosi dikarenakan menurunnya kandungan hormon
ecdyson dalam tubuh pupa setelah terpapar dengan metopren selama beberapa hari
(CEQGs 2007).

Penggunaan Metopren dalam Pengendalian Vektor
Metopren banyak digunakan untuk program pengendalian nyamuk, pinjal,
semut, dan serangga hama gudang. Metopren sangat cocok diaplikasikan pada
awal musim atau pada saat populasi masih sedikit untuk mencegah meningkatnya
populasi serangga. Metopren diaplikasikan secara admixture pada pengendalian
hama gudang yaitu dicampur dengan biji-bijian, misalnya pada gandum
sedangkan untuk pengendalian nyamuk diaplikasikan pada perairan atau
penampungan air di sekitar rumah (Wirawan 2006). Penggunaan zat aktif
metopren sebagai insektisida diformulasikan dalam bentuk cairan, pellet,
briquette, dan granul. Metopren yang berbentuk granul berisi zat arang (charcoal)
yang melindungi zat aktif dari sinar matahari agar tetap efektif pada serangga
yang resisten terhadap organofospat, karbamat, dan piretroid, serta efektif pada air
dengan tingkat polusi tinggi seperti septic tank. Bentuk briquette pula dibungkus
dengan kain berpori atau jaring yang diikat pada tiang kemudian dimasukkan ke
dalam air yang diketahui sebagai tempat potensial nyamuk (Wellmark 2005).
Saepudin (2014) melaporkan efektivitas metopren terhadap larva Cx.
quinquefasciatus pada konsentrasi bertingkat adalah 66.8% pada konsentrasi
0.0108 g/L, 87.2% (0.0217 g/L), 90.4% (0.0325 g/L), 96% (0.0433 g/L), dan
99.2% (0.0541 g/L). Hasil pengamatan metopren terhadap konsentrasi dan waktu
paparan yang sama pada larutan residu berumur 30 hari menunjukkan hasil yang
tidak efektif karena kematian larva/pupa di bawah 80% pada semua konsentrasi.

5

Namun penelitian yang dilakukan oleh Miccuci (2004) menunjukkan metopren
dalam bentuk formulasi pellet dan granul efektif mengurangi pemunculan nyamuk
vektor West Nile Virus di Ontario sebesar 86% selama 30 hari. Efektifitas
metopren dipengaruhi oleh spesies nyamuk, kondisi cuaca, kualitas dan kuantitas
air, formulasi produk dan konsentrasi yang digunakan. Namun kebanyakan kasus
kegagalan metopren untuk menghambat pemunculan nyamuk dewasa disebabkan
oleh aplikasi metopren yang tidak lengkap atau terjadi perubahan kuantitas air dan
udara (Micucci 2004). Sementara itu, Silva dan Mendes (2007) melaporkan
metopren efektif untuk mengendalikan nyamuk vektor dengue (Ae. aegypti) di
Uberlandia (Brazil) dengan LC50 dan LC95 masing-masing sebesar 19.95 dan
72.08 ppb.
Resistensi metopren sangat rendah karena mekanisme kerja metopren yang
menyerupai hormon juvenile alami dan bekerja dalam siklus hidup pradewasa
nyamuk sehingga metopren terus menerus digunakan sebagai insektisida dalam
pengendalian nyamuk (Shinta et al. 2011). Namun berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Cornel et al. (2002) menunjukkan bahwa telah terjadi
perkembangan resistensi metopren di lapangan terhadap nyamuk Ochlerotatus
nigromaculis setelah 20 tahun metopren diaplikasi di California. Hal ini
memperlihatkan bahwa suatu populasi nyamuk dapat mengembangkan resistensi
setelah paparan metopren yang berulang.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Kesehatan, Bagian
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner, dan Unit Kajian Pengendalian Hama
Permukiman, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan
Juli 2014 sampai dengan bulan Oktober 2014.

Metode Penelitian
Pemeliharaan Nyamuk dan Penyediaan Larva Uji
Telur nyamuk Ae. aegypti dari satu indukan nyamuk dipindahkan dari
ovitrap untuk ditetaskan ke dalam tray pemeliharaan yang terpisah berukuran
20x15x10 cm3 yang berisi satu liter air. Telur yang telah menetas menjadi larva
diberi makan tepung hati ayam ditambah cat food (1:1) yang telah dihaluskan. Air
di dalam nampan tersebut diganti setiap dua hari sekali sampai menjadi larva
6 IV. Pupa dikumpulkan dalam wadah (cup) yang kemudian dimasukkan ke
instar
dalam kandang hingga menjadi dewasa. Selanjutnya nyamuk jantan dan betina
melakukan perkawinan dan nyamuk betina diberi makan darah marmot lalu
dibiarkan bertelur. Pengujian insektsida dilakukan pada larva generasi F1 instar ke
III.

6

Aplikasi Insektisida
Aplikasi insektisida dilakukan dengan lima tingkatan konsentrasi yaitu
0.0108 g/L, 0.0217 g/L, 0.0325 g/L, 0.0433 g/L, dan 0.0541 g/L, serta kontrol.
Insektisida yang telah ditimbang ditaburkan ke dalam tray yang berisi air
sebanyak satu liter dan didiamkan selama 24 jam. Sebanyak 50 ekor larva
dimasukkan ke dalam tray tersebut dan diberi pakan secukupnya. Sedangkan pada
tray kontrol tidak ditaburkan insektisida. Pengujian dilakukan di dalam ruangan
berukuran 4x4x3 m3. Pengujian dilakukan dengan 5 kali ulangan, di mana setiap
ulangan terdiri dari satu tray berisi 50 ekor larva Ae. aegypti. Pengujian juga
dilanjutkan pada 720 jam setelah aplikasi insektisida menggunakan larva Ae.
aegypti instar ke III yang baru dengan jumlah larva, waktu pengamatan,
konsentrasi, dan jumlah pengulangan yang sama.
Pengamatan Kematian Larva/Pupa
Banyaknya larva/pupa nyamuk Ae. aegypti yang mati pada setiap pengujian
dihitung pada jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 24, 48, 72, 96, dan 120 jam setelah
perlakuan. Pengamatan larva nyamuk Ae. aegypti dilakukan sampai terjadi eklosi
yaitu keluarnya nyamuk dewasa dari pupa.
Pengamatan Morfologi larva/Pupa
Larva/pupa yang mengalami kematian diamati secara mikroskopis dengan
menggunakan mikroskop stereo, selanjutnya gambar diambil dengan
menggunakan kamera optilab®.

Pengolahan Data
Koreksi Angka Kematian
Apabila angka kematian pada kelompok kontrol diantara 5-15%, maka
angka kematian pada kelompok perlakuan dikoreksi menurut rumus Abbot, yaitu :
(A - C)
AI =
x 100%
(100 - C)
Keterangan :
AI = Angka kematian setelah dikoreksi
A = Angka kematian pada perlakuan
C = Angka kematian pada kontrol
Analisis Data
Data rata-rata kematian larva/pupa Ae. aegypti dianalisis dengan sidik
ragam ANOVA, bila terdapat perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan
dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Setiap perlakuan kemudian
dilakukan analisis Probit untuk mengetahui LT50 (Lethal Time 50%) dan LT90
(Lethal Time 90%). LT50 adalah waktu yang diperlukan untuk membunuh 50%
populasi hewan uji, sedangkan LT90 adalah waktu yang diperlukan untuk
membunuh 90% populasi hewan uji. Insektisida dikatakan efektif jika dapat
mematikan lebih dari 80% jumlah total populasi hewan uji (WHO 2005).

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Mortalitas Larva/Pupa Ae. aegypti terhadap Metopren yang dilarutkan
selama 24 Jam
Metopren ditaburkan ke dalam tray yang berisi air sebanyak satu liter pada
setiap tingkatan konsentrasi yaitu 0.0108 g/L, 0.0217 g/L, 0.0325 g/L, 0.0433 g/L,
dan 0.0541 g/L. Insektisida metopren dalam bentuk granul ini didiamkan selama
24 jam. Hasil pengamatan jam ke-1 hingga jam ke-24 tidak terjadi kematian larva
pada semua tingkat konsentrasi. Hal ini dapat disebabkan oleh mekanisme kerja
metopren yang bekerja mempengaruhi dan mengganggu perkembangan larva
sehingga larva tidak mengalami kematian secara langsung.
Tabel 1 Rata-rata persentase mortalitas larva/pupa Ae. aegypti setelah terpapar
metopren pada larutan berumur 24 jam.
Konsentrasi
Pengamatan Jam ke(g/L)
1-24
48
72
96
120
0.0108
0 ± 0.00
0 ± 0.00a
2.4 ± 1.64a
19.2 ± 2.40a
71.6 ± 0.83a
0.0217
0 ± 0.00
0.8 ± 0.89a
3.2 ± 1.51a
31.6 ± 1.78b
81.6 ± 1.64b
a
a
c
0.0325
0 ± 0.00
0.4 ± 0.44
4.4 ± 0.83
43.6 ± 1.48
91.6 ± 1.64c
a
ab
d
0.0433
0 ± 0.00
0.4 ± 0.44
6.0 ± 0.70
50.8 ± 2.40
100 ± 0.00d
a
b
e
0.0541
0 ± 0.00
0.8 ± 0.89
9.2 ± 1.94
67.6 ± 1.92
100 ± 0.00d
Kontrol
0
0
0
0
0
Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolum yang sama menunjukkan uji berbeda
nyata pada taraf 5% (p0.05). Hal ini
disebabkan oleh sediaan formulasi yang berbentuk granul sehingga proses
pelepasan metopren sedikit demi sedikit (slow release) dan hormon pertumbuhan
larva yang tidak bekerja cepat sehingga tidak terjadi kematian langsung pada saat
kontak dengan metopren. Peningkatan kematian larva/pupa pada jam ke-96
berbeda nyata antara konsentrasi 0.0108 g/L, 0.0217 g/L, 0.0325 g/L, 0.0433 g/L,
dan 0.0541 g/L (P