Penenfuan Parameter Terigu Protein Rendah yang Berkorelasi terhadap Kekerasan Wafer Skala Lab

PENENTUAN PARAMETER TERIGU PROTEIN RENDAH
YANG BERKORELASI TERHADAP KEKERASAN WAFER
SKALA LAB

AGHITIA MAULANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penentuan Parameter
Terigu Protein Rendah yang Berkorelasi terhadap KekerasanWafer Skala Lab
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Aghitia Maulani
NIM F24100074

PENENTUAN PARAMETER TERIGU PROTEIN RENDAH
YANG BERKORELASI TERHADAP KERENYAHAN WAFER
SKALA LAB

AGHITIA MAULANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Penentuan Parameter Terigu Protein Rendah yang Berkorelasi terhadap Kekerasan
Wafer Skala Lab. Skripsi ini merupakan hasil magang penulis di PT GarudaFood
selama empat bulan, dari bulan Maret hingga Juni 2014. Skripsi ini disusun oleh
penulis sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian
di Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orangtua penulis, Papa Agus Maulana dan Mama Hidayati yang telah
mendoakan dan memberikan support dengan tulus, serta telah membantu
kelancaran finansial bagi penulis selama masa kuliah.
2. Nenek Ratmiyati dan Kakek Syamsuddin yang sampai saat ini selalu
mendoakan yang terbaik untuk cucunya.
3. Adik-adik penulis tersayang, Aa Iqbal, Abang Fahrul, Adek Qolby, dan
Adek Fajri yang selalu ceria, semangat, dan memberikan canda tawa bagi

penulis.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc sebagai dosen pembimbing
skripsi yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada
penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
5. Ibu Rosita selaku pembimbing lapang yang telah memberikan kesempatan,
kepercayaan, nasihat, bimbingan, dan masukan yang berarti bagi saya
selama kegiatan magang berlangsung.
6. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc. selaku penguji yang sudah banyak
memberikan saran dan masukan.
7. Aa Linggar yang selalu memberikan semangat, motivasi, dan canda tawa
bagi penulis.
8. Pak Jun, Pak Wi, Ibu Wati, Pak Roy, Ibu Eva, Mas Danur,Mbak Anita,
Mbak Uti, Mas Ojan, Mbak Juwi, Mas Bayu, seluruh Geng Gokilz, dan
segenap staff PT GarudaFood yang telah memberikan saran, nasihat, dan
ilmu yang bermanfaat selama kegiatan magang berlangsung.
9. Pak Iyas selaku teknisi SEAFAST Center yang membantu saya selama
proses penelitian ini.
10. Fitri selaku teman satu dosen pembimbing, serta Andino, Mutiara, dan
Agis, teman-teman satu magang yang selalu memberikan semangat dan
canda tawa selama di kantor.

11. Teman-teman ITP 47, sahabat-sahabat penulis, dan semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan acuan.
Terima kasih.
Bogor, September 2014
Aghitia Maulani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


DAFTAR ISI

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

1


Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Terigu

2

Biskuit

4

Wafer

5


Solvent Retention Capacity

6

METODOLOGI PENELITIAN

7

Bahan

7

Alat

7

Metode Penelitian

7


HASIL DAN PEMBAHASAN

11

Spesifikasi Terigu

11

Viskositas

12

SRC dan GPI

14

Kekerasan Wafer

18


Uji Organoleptik Metode Rating Hedonik

19

Korelasi Kekerasan Wafer secara Obyektif dan Subyektif

20

Korelasi Kekerasan Wafer dengan Analisis Terigu

21

SIMPULAN DAN SARAN

27

Simpulan

27


Saran

27

DAFTAR PUSTAKA

27

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

53

DAFTAR TABEL
1.
2.

3.
4.
5.

Standar mutu terigu menurut SNI 01-3751-2006 (BSN 2006)
Standar mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992 (DSN 1992)
Spesifikasi terigu (berasal dari masing-masing pemasok terigu)
Spesifikasi terigu untuk wafer (Haas et al. 1998)
Formulasi penambahan air dan viskositas adonan dari ketiga merk
terigu
6. Nilai viskositas adonan terigu merk A dari ketiga batch
7. Nilai viskositas adonan terigu merk B dari ketiga batch
8. Nilai viskositas adonan terigu merk C dari ketiga batch
9. Nilai persentase SRC masing-masing merk terigu pada ketiga batch
10. Nilai persentase SRC dari ketiga merk terigu
11. Nilai GPI terigu masing-masing merk terigu pada ketiga batch
12. Nilai GPI dari ketiga merk terigu
13. Nilai referensi SRC terigu protein rendah pada aplikasi produk wafer
14. Nilai kekerasan wafer dari ketiga merk terigu
15. Nilai kekerasan wafer terigu merk A dari ketiga batch
16. Nilai kekerasan wafer terigu merk B dari ketiga batch
17. Nilai kekerasan wafer terigu merk C dari ketiga batch
18. Hasil uji rating hedonik kekerasan wafer dari ketiga merk terigu
19. Hasil uji rating hedonik kekerasan wafer terigu merk A dari ketiga
batch
20. Hasil uji rating hedonik kekerasan wafer terigu merk B dari ketiga
batch

4
5
12
12
13
13
13
14
14
15
16
16
17
18
18
19
19
19
20
20

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.

Diagram alir proses pembuatan adonan
Diagram alir proses produksi wafer
Grafik hubungan antara nilai SRC dan GPI
Grafik hubungan antara kekerasan wafer secara obyektif dan
subyektif
5. Kurva linearitas viskositas adonan dengan kekerasan wafer
6. Kurva linearitas SRC air dengan kekerasan wafer
7. Kurva linearitas SRC sukrosa dengan kekerasan wafer
8. Kurva linearitas SRC natrium karbonat dengan kekerasan wafer
9. Kurva linearitas SRC asam laktat dengan kekerasan wafer
10. Kurva linearitas GPI dengan kekerasan wafer
11. Kurva linearitas SRC asam laktat dengan viskositas adonan wafer

9
10
17
21
22
23
23
24
25
25
26

DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil analisis viskositas adonan wafer
2. Perhitungan SRC batch 1
3. Perhitungan SRC batch 2
4. Perhitungan SRC batch 3
5. Kekerasan wafer
6. Uji rating hedonik kekerasan wafer
7. Kuesioner uji rating hedonik
8. ANOVA nilai viskositas adonan dari ketiga merk terigu
9. ANOVA nilai viskositas adonan dari ketiga batch
10. ANOVA SRC
11. ANOVA GPI
12. ANOVA nilai kekerasan wafer dari ketiga merk terigu
13. ANOVA nilai kekerasan wafer dari ketiga batch
14. ANOVA uji rating hedonik kekerasan wafer dari ketiga merk terigu
15. ANOVA uji rating hedonik kekerasan wafer dari ketiga batch

30
31
32
33
34
36
37
38
39
40
44
45
46
49
50

PENDAHULUAN
Latar Belakang
PT GarudaFood merupakan salah satu perusahaan makanan dan minuman di
bawah kelompok usaha Tudung (Tudung Group). Beragam produk telah
dihasilkan dan terkenal di pasaran Indonesia. Salah satu produk unggulannya
adalah wafer Gery, yang termasuk dalam flat wafer jenis creamed sandwich wafer
yang terdiri dari 4 sheet wafer dan 3 lapis krim coklat di antara sheet wafer.
Kualitas produk akhir merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan bagi
industri pangan dalam menghadapi era globalisasi dan persaingan yang semakin
tajam. Suatu produk yang telah sampai ke tangan konsumen diharapkan
memenuhi selera konsumen. Kualitas produk akhir erat kaitannya dengan kualitas
bahan baku yang digunakan. Penggunaan bahan baku dengan kualitas yang baik
berkorelasi positif dalam menghasilkan produk akhir dengan kualitas yang baik
pula. Salah satu aspek penting terkait dengan kualitas produk akhir adalah tekstur.
Wafer merupakan produk pangan yang diharapkan memiliki tekstur yang tidak
rapuh dan tidak menghasilkan banyak remah.
Jenis terigu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan wafer adalah
terigu protein rendah yang memiliki kandungan protein sekitar 8–9% (Bogasari
1997). Selama ini, terigu protein rendah yang digunakan oleh PT GarudaFood
untuk memproduksi wafer menghasilkan wafer dengan tekstur kekerasan yang
bervariasi. Data proksimat terigu yang meliputi kadar air, kadar protein, kadar
abu, dan kadar gluten basah tidak cukup untuk digunakan sebagai parameter
dalam produksi wafer. Oleh karena itu, perlu dilakukan penentuan parameter lain
yang lebih akurat yang berkorelasi terhadap kekerasan wafer sehingga dihasilkan
wafer dengan tingkat kekerasan yang diinginkan
.
Perumusan Masalah
PT GarudaFood mensyaratkan jenis terigu protein rendah untuk
memproduksi wafer. Namun, sampai saat ini data proksimat terigu yang meliputi
kadar air, kadar protein, kadar abu, dan kadar gluten basah yang digunakan
sebagai parameter dalam produksi wafer belum cukup menggambarkan tekstur
wafer yang dihasilkan. Tekstur wafer yang dihasilkan setiap kali produksi tidak
konsisten, yaitu tekstur wafer rapuh dan menghasilkan banyak remah. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penentuan parameter lain yang paling berkorelasi terhadap
kekerasan wafer.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian magang di PT GarudaFood secara umum adalah
meningkatkan wawasan berpikir mahasiswa dalam skala industri, meningkatan
keterampilan mahasiswa seiring dengan perkembangan industri pangan, dan
memberikan pengalaman lapang dalam penerapan ilmu dan teknologi pangan di
industri dalam upaya penyelesaian tugas akhir sebagai syarat kelulusan. Tujuan
khususnya adalah menentukan parameter terigu protein rendah yang paling

2
berkorelasi terhadap kekerasan produk wafer sehingga parameter tersebut dapat
digunakan dalam pemilihan terigu yang sesuai untuk produksi wafer.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membantu industri makanan berbahan dasar
terigu, khususnya PT GarudaFood untuk memperoleh parameter terigu protein
rendah dalam menentukan kekerasan wafer. Selain itu, diharapkan pula hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai basis scale up pada skala industri.

TINJAUAN PUSTAKA
Terigu
Terigu merupakan tepung atau bubuk halus yang berasal dari biji gandum
(Triticum vulgare) yang digiling dan biasa digunakan sebagai bahan dasar
pembuat kue, mi, biskuit, dan roti. Terigu mengandung banyak zat pati, yaitu
karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air. Komponen terpenting yang
membedakan terigu dengan tepung-tepung lainnya adalah kandungan protein jenis
glutenin dan gliadin, yang pada kondisi tertentu dengan air dapat membentuk
massa yang elastis dan dapat mengembang yang disebut gluten. Gluten adalah
protein yang bersifat kenyal dan elastis yang akan mengembang jika dicampur
dengan air. Umumnya kandungan gluten menentukan kadar protein terigu,
semakin tinggi kadar gluten, maka semakin tinggi kadar protein terigu tersebut
(Bogasari 1997).
Menurut Kent (1975), terigu merupakan bahan baku utama untuk membuat
biskuit. Terigu mempengaruhi tekstur setelah pemanggangan, kekerasan, dan
bentuk dari biskuit. Istilah pada terigu, yakni terigu kuat dan lemah menunjukkan
kadar protein (gluten) pada gandum. Terigu kuat mengandung protein (gluten)
yang lebih tinggi dibandingkan terigu lemah. Gluten terbentuk dari dua komplek
yang dikenal sebagai glutenin dan gliadin. Glutenin membantu terbentuknya
kekuatan dan kekerasan adonan. Gliadin lebih lembut dan mempengaruhi
perpaduan dan elastisitas adonan.
Terdapat berbagai macam jenis terigu yang memiliki karakteristik dan
fungsi berlainan. Terigu tersebut antara lain: hard wheat (terigu protein tinggi
dengan kandungan protein 12–14%), medium wheat (terigu protein sedang dengan
kandungan protein 10–11%), soft wheat (terigu protein rendah dengan kandungan
protein 8–9%), self raising flour (terigu yang sudah ditambahkan bahan
pengembang dan garam), enriched flour (terigu yang disubstitusi dengan beragam
vitamin atau mineral dengan tujuan memperbaiki nilai gizi terkandung), whole
meal flour (terigu yang dibuat dari biji gandum utuh termasuk dedak dan
lembaganya sehingga warna tepung lebih gelap) (U.S. Wheat Associates 2006).
Dalam pembuatan makanan, hal yang harus diperhatikan adalah ketepatan
penggunaan jenis terigu. Terigu berprotein 12–14% ideal untuk membuat roti dan
mi, terigu berprotein 10–11% ideal untuk membuat biskuit, pastry, pie,dan donat,
sedangkan terigu berprotein 8–9% ideal untuk membuat gorengan, cake, dan
wafer (Bogasari 1997). Jenis terigu yang digunakan pada pembuatan wafer adalah

3
terigu protein rendah yang memiliki kandungan protein sebesar 8–9%. Standar
mutu terigu sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 1.

4
Tabel 1 Standar mutu terigu menurut SNI 01-3751-2006 (BSN 2006)
No.
1
1.1
1.2

Jenis Uji
Keadaan
Bentuk
Bau

1.3
2
3

Warna
Benda asing
Serangga
dalam
semua bentuk stadia
dan
potonganpotongannya
yang
tampak
Kehalusan,
lolos
ayakan 212 µm No.
70 (b/b)
Kadar air (b/b)
Kadar abu (b/b)
Kadar protein (b/b)
Keasaman
Falling Number (atas
dasar kadar air 14 %)
Besi (Fe)
Seng (Zn)
Vitamin B1 (thiamin)
Vitamin
B2
(riboflavin)
Asam folat
Cemaran logam
Timbal (Pb)
Raksa (Hg)
Tembaga (Cu)
Cemaran Arsen
Cemaran mikroba
Angka lempeng total
E. coli
Kapang

4

5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
15.1
15.2
15.3
16
17
17.1
17.2
17.3

Satuan

Persyaratan

-

Serbuk
Normal (bebas dari bau
asing)
Putih, khas terigu
Tidak ada
Tidak ada

%

Min. 95

%
%
%
mg KOH/100g
Detik

Maks. 14.5
Maks. 0.6
Min. 7.0
Maks. 50
Min. 300

mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg

Min. 50
Min. 30
Min. 2.5
Min. 4

mg/kg

Min. 2

mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg

Maks. 1.00
Maks. 0.05
Maks. 10
Maks. 0.50

kolon/g
APM/g
kolon/g

Maks. 106
Maks. 10
Maks. 104

Biskuit
Menurut SNI (1992), biskuit adalah sejenis makanan yang dibuat dari
tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan
dan pencetakan. Biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu biskuit keras,
crackers, wafer, dan cookies. Biskuit keras adalah jenis biskuit yang berbentuk
pipih, berkadar lemak tinggi, dan bila dipatahkan penampang potongannya

5
berlapis-lapis. Crackers adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui
fermentasi dan memiliki struktur yang berlapis-lapis. Cookies adalah jenis biskuit
yang berkadar lemak tinggi, renyah, dan bila dipatahkan penampang potongnya
bertekstur kurang padat. Sedangkan wafer adalah jenis biskuit berpori kasar,
renyah, dan bila dipatahkan penampang potongnya berongga. Bahan baku wafer
tidak memakai gula, kecuali jika wafer diperkaya dengan krim yang manis.
Standar mutu biskuit sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Standar mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992 (DSN 1992)
Kriteria Uji
Energi (kkal/100 gram)
Air (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Karbohidrat (%)
Abu (%)
Serat Kasar (%)
Logam Berbahaya
Bau dan Rasa
Warna

Syarat
Minimum 400
Maksimum 5
Minimum 9
Minimum 9.5
Minimum 70
Maksimum 1.5
Maksimum 0.5
Negatif
Normal dan tidak tengik
Normal

Menurut U.S. Wheat Associates (2006), biskuit diklasifikasikan
berdasarkan formulasi adonan, yakni adonan lunak (short dough), adonan keras
(hard dough), dan adonan cair (batter). Short dough merupakan formulasi adonan
dengan penambahan jumlah lemak lebih banyak dibandingkan air, contohnya
cookies. Hard dough merupakan formulasi adonan dengan penambahan air lebih
banyak dibandingkan jumlah lemak, contohnya crackers. Batter merupakan
formulasi adonan yang menggunakan air sebagai bahan utama, contohnya wafer.
Wafer
Wafer adalah biskuit yang terbuat dari adonan cair dan tipis dengan
ketebalan lebih kecil dari 1–4 mm (Nugroho 2007). Ciri khas wafer adalah
memiliki pori-pori kasar, renyah, dan bila dipatahkan penampang potongannya
berongga-rongga (Manley 2000). Wafer dibuat dari adonan yang dipanggang di
antara dua plat baja. Menurut Dogan (2006), wafer yang ada di pasaran biasanya
dalam bentuk lembaran datar yang besar yang dilapisi krim sebelum pemotongan
dan mungkin juga dilapisi lagi dengan cokelat. Faktor terpenting yang
mempengaruhi tekstur wafer adalah terigu. Fungsi terigu adalah membentuk
adonan selama proses pencampuran, menarik, atau mengikat bahan lainnya serta
mendistribusikannya secara merata, mengikat gas selama proses fermentasi, dan
membentuk struktur wafer selama pemanggangan (Kusumaningrum 2002).
Menurut U.S. Wheat Associates (2006), jenis-jenis wafer di antaranya
adalah: flat wafers, hollow wafers, wafer sticks, ice cream cones, waffles, dan
parlour products. Flat wafer adalah jenis creamed sandwich wafer yang terdiri
dari 4 sheet wafer dan 3 lapis krim di antara sheet wafer. Wafer dibentuk dari

6
adonan yang dipanggang di antara plat metal yang panas. Wafer hasil
pemanggangan berbentuk lembaran yang datar dan besar. Setelah proses
pemanggangan dan pendinginan, sheet wafer dilapisi dengan krim sehingga
membentuk sandwich wafer. Wafer yang dihasilkan ini masih dalam ukuran besar
dan utuh disebut dengan book wafer.Selanjutnya, book wafer dipotong sesuai
ukuran yang diinginkan (Oktania 2004).
.
Solvent Retention Capacity
Selama ini, metode reologi adonan (farinograf, mixograf, extensograf,
alveograf) dan baking tests (roti, cookies, dan kue) digunakan dalam analisis
hubungan antara kualitas terigu dan kualitas produk panggang. Akan tetapi
metode reologi adonan dan baking test hanya menganalisis kontribusi gabungan
dari komponen fungsional utama terigu, yang meliputi kerusakan pati, protein
gluten, dan pentosan (Guttieri et al. 2004). Metode Solvent Retention Capacity
(SRC) mampu menganalisis kontribusi fungsional individu dari masing-masing
komponen fungsional tersebut. Kemampuan untuk menganalisis kontribusi
fungsional individu masing-masing komponen fungsional terigu memungkinkan
untuk lebih memprediksi fungsi terigu dan meningkatkan kualitas biskuit (Kweon
et al. 2014). Metode SRC adalah metode baru yang dikembangkan oleh
Perusahaan Nabisco di Amerika tahun 2010 pada aplikasi produk cookie dan
cracker. Pada awalnya uji SRC dikembangkan untuk mengevaluasi fungsionalitas
terigu protein rendah, tetapi SRC juga telah terbukti dapat diterapkan untuk
evaluasi fungsionalitas terigu protein tinggi. Uji SRC memberikan ukuran
kemampuan pelarut untuk tiga komponen polimer fungsional terigu, yakni gluten,
kerusakan pati, dan pentosan, dimana masing-masing komponen memprediksi
kontribusi fungsional untuk fungsi terigu keseluruhan dan kualitas produk akhir
(Kweon et al. 2011).
Metode SRC menetapkan kualitas terigu dan profil fungsionalitas yang
berguna untuk memprediksi baking performance. Nilai SRC asam laktat terkait
dengan karakteristik glutenin, nilai SRC natrium karbonat terkait dengan tingkat
kerusakan pati, nilai SRC sukrosa terkait dengan karakteristik gliadin dan
pentosan, dan nilai SRC air dipengaruhi oleh seluruh komponen terigu (Barrera et
al. 2007). Air adalah referensi pelarut SRC karena dapat melembabkan dan
membengkakkan ketiga komponen polimer fungsional terigu. Nilai SRC air
terkait dengan kontribusi water holding capacity (WHC) oleh komponen
fungsional terigu, termasuk gluten, kerusakan pati, dan pentosan. WHC tepung
merupakan karakteristik fungsional yang penting berhubungan dengan proses dan
kualitas produk akhir (Gaines 2000). Pola gabungan dari empat nilai SRC
menetapkan profil kualitas tepung yang berguna untuk memprediksi fungsi dan
spesifikasi yang sesuai (US Wheat Crop Quality Seminars 2013). Selain SRC,
Gluten Performance Index (GPI) ditemukan sebagai parameter yang lebih baik
dalam menentukan performance glutenin pada terigu secara keseluruhan (Chung
2013). Nilai GPI berkorelasi dengan nilai SRC asam laktat, SRC sukrosa, dan
SRC natrium karbonat.

7

METODOLOGI PENELITIAN
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah terigu protein rendah
merk A, B, C yang berasal dari tiga kali kedatangan pada waktu yang berbeda.
Bahan lain yang digunakan sebagai bahan pengisi wafer, yaitu krim coklat.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisis terigu meliputi akuades, air
deionisasi, larutan sukrosa 50%, larutan Na2CO3 5%, dan larutan asam laktat 5%.
Alat
Alat-alat yang digunakan terdiri dari baskom, wadah plastik, saringan,
tabung sentrifus, sentrifus (Hettick Zentrifugen 1703, 208–240 V, 50–60 H, 3.5
A), timbangan analitik, moisture balance O’Hous MB-35 Halogen, stopwatch,
viskometer brookfield (LVT 201282, 12 VDC, 8 watts), sendok ukur 15 mL,
dough mixer (Electrolux Dito, XBM 10 Table Model), baking plate (Wafer Hand
Baking Apparatus ZQE Mini, 230 V, 50–60 Hz), microwave (Sharp R-2491N,
800 W), Stable Micro Systems Texture Analyzer (TA-XT Plus 11752, 100–240
V), dan alat-alat gelas.
Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri atas tiga tahapan, yaitu analisis fisik terigu yang
dilengkapi dengan data spesifikasi terigu, produksi wafer skala lab, dan analisis
produk akhir wafer. Analisis fisik terigu meliputi analisis viskositas, analisis
Solvent Retention Capacity (SRC), dan analisis Gluten Performance Index (GPI).
Analisis viskositas dilakukan setelah diperoleh formulasi penambahan air.
Menurut U.S. Wheat Associates (2006), formulasi umum penambahan air yang
biasa digunakan pada flat wafer adalah 130–150%. Formulasi penambahan air ini
dilakukan secara trial dan error pada terigu merk B dan C dimana terigu merk A
dilakukan penambahan air sebesar 130% dan kemudian diukur viskositasnya yang
diperoleh sebesar 7500 cP. Penambahan air pada terigu B dan C dilakukan secara
trial dan error hingga diperoleh nilai viskositas yang berdekatan dengan terigu A.
Setelah diperoleh formulasi penambahan air dan nilai viskositas masing-masing
adonan terigu, selanjutnya dilakukan analisis SRC dan GPI untuk menganalisis
kontribusi fungsional individu dari masing-masing komponen fungsional terigu,
yang meliputi kerusakan pati, protein gluten, dan pentosan. Terigu yang sudah
dilakukan analisis dilanjutkan proses produksi wafer skala lab dengan
menggunakan baking plate wafer yang kemudian wafer diisi dengan krim coklat
dan dipotong sesuai ukuran yang diinginkan. Analisis produk akhir wafer meliputi
analisis tekstur wafer dengan mengukur kekerasan wafer menggunakan texture
analyzer dan uji organoleptik metode rating hedonik. Kemudian dilakukan
penentuan parameter terigu protein rendah yang paling berkorelasi terhadap
tekstur kekerasan wafer.

8
Analisis Fisik Terigu
1. Analisis Viskositas (Shyu dan Sung 2010)
Analisis viskositas dilakukan dengan alat viskometer Brookfield. Sejumlah
adonan wafer (± 200 mL) dituangkan ke dalam gelas untuk kemudian dianalisa
dengan menggunakan spindel nomer 4 dengan kecepatan 30 rpm (faktor konversi
sebesar 200). Pengukuran viskositas dilakukan pada kondisi suhu ruangan ber-AC
(± 22–25 °C). Prinsip dari pengukuran viskositas ini adalah mengukur besarnya
hambatan yang disebabkan oleh kentalnya suatu fluida yang dialami oleh silinder
atau piringan ketika berputar dalam fluida yang diukur. Nilai viskositas dapat
diperoleh dengan rumus:
Viscositas (cP) = Dialreading x factor
Keterangan:
Nilai faktor diperoleh dari hubungan antara nomer spindel yang digunakan dengan
kecepatan spindel.

2. Analisis Solvent Retention Capacity dan Gluten Performance Index
(AACC International 2010)
Empat pelarut yang digunakan, yakni air deionisasi, sukrosa 50%, natrium
karbonat 5%, dan asam laktat 5% disiapkan. Sebanyak 5 gram terigu ditimbang di
dalam tabung sentrifus 50 mL untuk pencampuran dengan masing-masing pelarut.
Selanjutnya sebanyak 25 gram pelarut ditambahkan ke dalam tabung sentrifus
yang telah berisi sampel terigu dan tabung ditutup. Setelah itu, tabung sentrifus
dikocok selama 5 detik pada menit ke-0, 5, 10, 15, dan 20. Kemudian sampel
disentrifus selama 15 menit. Selanjutnya tabung dibalik selama 10 menit untuk
membuang supernatan dan mengalirkan pelarut berlebih yang masih ada. Tahap
terakhir, tabung ditimbang dengan residu. Nilai % SRC untuk masing-masing
pelarut dapat diperoleh dengan rumus:

Prediksi baru parameter SRC, Gluten Performance Index (GPI), ditemukan
sebagai prediksi yang lebih baik untuk memprediksi kinerja keseluruhan glutenin
pada terigu dalam jaringan modulasi polimer terigu (Kweon et al. 2011). Nilai
GPI berkorelasi terhadap nilai SRC asam laktat, SRC natrium karbonat, dan SRC
sukrosa. Nilai GPI didefinisikan sebagai:

Produksi Wafer Skala Lab
Pada tahap awal proses produksi dilakukan proses pembuatan adonan wafer.
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan adonan seperti garam,
pengembang, pengemulsi, air, dan terigu ditimbang. Kemudian dilakukan
pencampuran menggunakan dough mixer. Garam, pengembang, pengemulsi, dan

9
air dicampur terlebih dahulu. Setelah tercampur dengan baik, terigu ditambahkan
kemudian dilakukan pencampuran kembali hingga diperoleh adonan yang
homogen. Selanjutnya adonan wafer yang sudah jadi diukur viskositasnya
menggunakan viskometer Brookfield. Diagram alir proses pembuatan adonan
dapat dilihat pada Gambar 1.

Garam,
pengembang,
pengemulsi, air

Pencampuran dengan
menggunakan dough mixer

Penambahan terigu

Pencampuran dengan
menggunakan dough mixer

Adonan wafer

Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan adonan
Setelah proses pembuatan adonan selesai, adonan dipanggang di antara plat
metal yang panas dihasilkan sheet wafer berasa plain. Kemudian sheet wafer
didinginkan pada suhu ruang dan diisi dengan krim coklat. Selanjutnya dihasilkan
book wafer yang kemudian dipotong sesuai ukuran yang diinginkan. Diagram alir
proses produksi wafer skala lab di PT GarudaFood secara lengkap dapat dilihat
pada Gambar 2.

10

Garam, pengembang,
pengemulsi, air, terigu

Pencampuran dengan menggunakan dough mixer

Adonan wafer

Pemanggangan adonan di antara plat metal yang panas

Sheet wafer

Pendinginan sheet wafer pada suhu ruang

Pengisian krim coklat pada sheet wafer

Book wafer
ukuran besar

Pemotongan book wafer sesuai ukuran yang diinginkan

Book wafer
ukuran kecil
Gambar 2 Diagram alir proses produksi wafer

11
Analisis Produk Akhir Wafer
1. Analisis Kekerasan Wafer (Lloyd Materials Testing 2012)
Kekerasan wafer diuji menggunakan Stable Micro Systems Texture Analyzer
TA-XT Plus. Pada pengujian ini, probe yang digunakan adalah cylinder probe
(P/1KSS). Kekerasan wafer diperoleh dari peak pertama yang dihasilkan dengan
setting sebagai berikut:
Test Mode and Option : Measure Force in Compression
Pre-Test Speed
: 1.0 mm/s
Test Speed
: 0.5 mm/s
Post-Test Speed
: 10.0 mm/s
Distance
: 10.0 mm
Trigger Type
: Auto (Force)
Trigger Force
: 10.0 g
Data Acquisition Rate : 250 pps
2. Uji Organoleptik Metode Rating Hedonik (SNI 01-2346-2006)
Uji organoleptik yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode uji
rating hedonik untuk menilai sifat produk yang disajikan menggunakan skala
numerik (scoring). Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian kesukaan
terhadap kekerasan wafer menggunakan 30 panelis tidak terlatih. Tujuan dari uji
ini adalah untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap kekerasan ketiga
produk wafer dari merk terigu yang berbeda. Skala pengujian berkisar dari 1–5
dimana: 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3= antara suka dan tidak suka, 4 =
suka, 5 = suka sekali. Apabila diperoleh hasil tingkat penerimaan > 3.5 maka
produk tersebut dapat diterima tingkat kesukaannya terhadap kekerasan produk
wafer.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Spesifikasi Terigu
Secara umum, spesifikasi terigu yang disediakan oleh pemasok bahan hanya
mencakup kadar air, kadar protein, dan kadar abu yang merupakan spesifikasi
komposisi. Spesifikasi komposisi relatif tidak informatif dan tidak berguna,
sedangkan spesifikasi fungsional sangat penting dalam keberhasilan pembuatan
biskuit karena mampu menganalisis kontribusi fungsional individu dari masingmasing komponen terigu, yang meliputi kerusakan pati, protein gluten, dan
pentosan (Kweon et al. 2011). Data spesifikasi berfungsi untuk mengetahui
komposisi kimia terigu yang terdiri atas kadar air, kadar protein, kadar abu, dan
kadar gluten basah. Data spesifikasi terigu yang diperoleh dari masing-masing
pemasok dapat dilihat pada Tabel 3.

12
Tabel 3 Spesifikasi terigu (berasal dari masing-masing pemasok terigu)
Parameter
Kadar Air
Kadar Protein
Kadar Abu
Kadar Gluten Basah

A
Maks. 14.0
Maks. 11.0
Maks. 0.64
Maks. 25.5

Hasil (%)
B
≤ 14
≥9
≤ 0.7
≥ 22

C
13–14
Maks. 10.0
0.50–0.60
23–26

Apabila terigu memiliki kadar air di atas 14.5% dapat mengurangi umur
simpan dan meningkatkan kerusakan terigu akibat mikroorganisme. Selain itu,
apabila terigu memiliki kadar abu yang tinggi menunjukkan proporsi peningkatan
lapisan luar kernel gandum yang telah diekstrak, terigu akan berwarna lebih gelap,
dan penyerapan air akan meningkat (Haas et al. 1998). Secara umum, penyerapan
air yang tinggi pada terigu dengan kadar abu yang tinggi membuat masalah pada
tekstur wafer yang dihasilkan. Sheet wafer cenderung lengket dengan mudah pada
baking plate. Menurut Haas et al. (1998), terigu dengan kadar protein serendah
mungkin sangat cocok untuk digunakan dalam pembuatan flat wafers dan wafer
cones (kurang dari 10% protein dan kurang dari 30% wet gluten). Menurut Haas
et al. (1998), spesifikasi terigu protein rendah untuk wafer dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4 Spesifikasi terigu untuk wafer (Haas et al. 1998)
Parameter
Kadar Air
Kadar Protein
Kadar Abu
Kadar Gluten Basah
Penambahan Air

Hasil (%)
14.40
10.2–11.9
0.58
27.50
146

Data spesifikasi terigu terutama kadar protein tidak informatif karena
mencakup protein gluten (fungsional) dan protein non-gluten (non-fungsional).
Bahkan berkaitan dengan gluten, protein penyusunnya, gliadin dan glutenin,
memiliki fungsi nyata yang sangat berbeda. Gliadin memiliki berat molekul (BM)
yang rendah, kental, ekstensibel, lapisan dua dimensi, sedangkan glutenin
memiliki BM yang lebih tinggi, elastis, dan lapisan tiga dimensi (Nakamura et al.
2010).
Viskositas
Penambahan jumlah air sangat penting terhadap proses pemanggangan
wafer dan hasil akhir produk wafer (Haas et al. 1998). Formulasi umum
penambahan air yang biasa digunakan pada flat wafer adalah 130–150% (U.S
Wheat Associates 2006). Terigu merk A dibuat adonan dengan penambahan air
130% dan diukur viskositasnya yang diperoleh sebesar 7500 cP. Penambahan
jumlah air pada terigu merk B dan C dilakukan secara trial dan error dengan
mendapatkan nilai viskositas adonan yang berdekatan dengan terigu merk A.

13
Formulasi penambahan air pada terigu merk A, B, dan C secara berturut-turut
adalah 130%, 135%, dan 140%. Artinya, terigu merk A membutuhkan air lebih
sedikit dibandingkan terigu merk B dan C. Formulasi penambahan air dan nilai
viskositas adonan dari ketiga merk terigu dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Formulasi penambahan air dan viskositas adonan dari ketiga merk terigu

Terigu

Penambahan Air (%)

Viskositas (cP)

A

130

7466.67a

B

135

7566.67ab

C

140

7833.33b

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)

Hasil analisis viskositas adonan dari ketiga merk terigu yang diperoleh
adalah sekitar 7466.67–7833.33 cP. Viskositas terendah terdapat pada adonan
terigu merk A, sedangkan viskositas tertinggi pada adonan terigu merk C.
Berdasarkan analisis ragam ANOVA dengan uji lanjut Duncan menunjukkan hasil
viskositas adonan terigu merk A tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan viskositas
adonan terigu merk B, namun berbeda nyata (P0.05) pada tiap batch-nya. Hal ini
berarti masing-masing merk terigu memiliki viskositas yang konsisten dan tidak
dipengaruhi oleh perbedaan batch. Hasil viskositas adonan terigu merk A, B, dan
C dari ketiga batch dapat dilihat secara berturut-turut pada Tabel 6, 7, dan 8.
Tabel 6 Nilai viskositas adonan terigu merk A dari ketiga batch
Terigu Batch
1
A
2
3

Viskositas (cP)
7500a
7400a
7500a

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 7 Nilai viskositas adonan terigu merk B dari ketiga batch
Terigu Batch Viskositas (cP)
7600a
1
B
7500a
2
7600a
3
Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)

14
Tabel 8 Nilai viskositas adonan terigu merk C dari ketiga batch
Terigu Batch
1
C
2
3

Viskositas (cP)
7800a
8000a
7700a

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)

SRC dan GPI
Metode solvent retention capacity (SRC) mampu menganalisis kontribusi
fungsional individu dari masing-masing komponen fungsional terigu, yakni
kerusakan pati, protein gluten, dan pentosan. Kemampuan untuk menganalisis
kontribusi fungsional individu masing-masing komponen fungsional terigu
memungkinkan untuk lebih memprediksi fungsi tepung dan meningkatkan
kualitas biskuit (Kweon et al. 2014). Nilai SRC merupakan berat pelarut yang
terikat oleh tepung setelah disentrifus. SRC dinyatakan persentase dari berat
tepung pada basis kelembaban 14% (Chung 2013). Perolehan nilai SRC masingmasing merk terigu pada ketiga batch dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Nilai persentase SRC masing-masing merk terigu pada ketiga batch
Pelarut
Air

Sukrosa

Natrium karbonat

Asam laktat

Batch
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3

Terigu A
58.04
61.56
56.32
98.01
103.86
100.44
74.79
82.34
74.58
90.73
95.60
95.96

SRC (%)
Terigu B
63.82
66.48
63.04
101.24
101.63
100.89
81.26
84.43
83.82
97.97
92.96
103.11

Terigu C
66.51
69.39
71.17
105.35
98.70
103.14
86.39
96.56
97.37
119.51
114.09
100.28

Hasil analisis SRC air menunjukkan bahwa terigu merk C memiliki nilai
SRC yang paling tinggi (66.51%, 69.39%, 71.17%) dibanding terigu merk A
(58.04%, 61.56%, 56.32%) dan B (63.82%, 66.48%, 63.04%) pada ketiga batch.
Hal ini berarti bahwa terigu merk C memiliki kemampuan menyerap air (WHC)
yang lebih tinggi dibanding terigu merk A dan B sehingga membutuhkan lebih
banyak penambahan air pada pembuatan adonan. Hasil analisis SRC sukrosa
menunjukkan bahwa terigu merk C memiliki nilai SRC yang paling tinggi
(105.40%, 103.14%) dibanding terigu merk A (98.01%, 100.44%) dan B

15
(101.20%, 100.89 %) pada batch 1 dan 3, namun terigu merk C memiliki nilai
SRC paling rendah (98.70%) dibanding terigu merk A (103.86%) dan B
(101.60%) pada batch 2. Hal ini berarti bahwa kandungan pentosan yang terdapat
pada terigu merk C lebih banyak dibanding terigu merk A dan B pada batch1 dan
3, namun paling sedikit pada batch 2. Pentosan pada terigu berasal dari aleuron
dan lapisan bran dari kernel gandum yang secara signifikan dapat meningkatkan
WHC terigu. Pentosan memiliki WHC jauh lebih tinggi daripada kerusakan pati
atau gluten. Hal ini menunjukkan pentosan memiliki peran yang merugikan dalam
produksi wafer. Jumlah pentosan yang tinggi merupakan karakteristik yang tidak
diinginkan untuk kualitas terigu yang baik pada produk wafer (Ram et al. 2005).
Hasil analisis SRC natrium karbonat menunjukkan bahwa terigu merk C
memiliki nilai SRC yang paling tinggi (86.39%, 96.56%, 97.37%) dibanding
terigu merk A (74.79%, 82.34%, 74.58%), dan B (81.26%, 84.43%, 83.82%) pada
tiap batch. Hal ini berarti bahwa kerusakan pati yang paling banyak terjadi pada
terigu merk C. Kerusakan pati dihasilkan selama penggilingan gandum. Semakin
banyak kerusakan pati pada terigu dapat meningkatkan WHC, mencegah optimasi
pembentukan gluten selama proses mixing, serta menurunkan konsistensi adonan
(Barreraet al. 2007). Hasil analisis SRC asam laktat menunjukkan bahwa terigu
merk C memiliki nilai SRC yang paling tinggi (119.50%, 114.09%) dibanding
terigu merk A (90.73%, 95.60%), dan B (97.97%, 92.96%) pada batch 1 dan 2,
namun terigu merk B memiliki nilai SRC yang paling tinggi (103.11%)
dibanding terigu merk A (95.96%) dan C (100.28%) pada batch 3. Hal ini berarti
bahwa terigu merk C memiliki kekuatan gluten yang lebih dibanding terigu merk
A dan C. Terigu yang sesuai untuk produksi wafer adalah terigu dengan kekuatan
gluten yang minimal (Kweon et al. 2011).
Berdasarkan analisis ragam ANOVA dengan uji lanjut Duncan menunjukkan
nilai persentase SRC air terigu merk A berbeda nyata (P0.05) pada ketiga
merk terigu. Nilai persentase SRC natrium karbonat terigu merk A tidak berbeda
nyata (P>0.05) dengan terigu merk B, namun berbeda nyata (P0.05) dengan terigu merk A dan C, namun terigu
merk A berbeda nyata (P0.05)

Gluten Performance Index (GPI) ditemukan sebagai parameter yang lebih
baik dalam menentukan performance glutenin pada terigu secara keseluruhan
(Chung 2013). Nilai GPI berkorelasi terhadap nilai SRC asam laktat, SRC natrium

16
karbonat, dan SRC sukrosa. Nilai GPI yang diperoleh dari ketiga merk terigu pada
tiap batch dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Nilai GPI terigu masing-masing merk terigu pada ketiga batch
GPI
Batch
1
2
3

Terigu A

Terigu B

Terigu C

0.5251
0.5134
0.5483

0.5368
0.4996
0.5582

0.6233
0.5843
0.5001

Hasil analisis GPI menunjukkan bahwa terigu merk C memiliki nilai GPI
yang paling tinggi (0.6233, 0.5843) dibanding terigu merk A (0.5251, 0.5134) dan
B (0.5368, 0.4996) pada batch 1 dan 2, namun memiliki nilai GPI yang paling
rendah (0.5001) dibanding terigu merk A (0.5483) dan B (0.5582) pada batch 2.
Terigu merk C memiliki nilai GPI yang cenderung lebih tinggi dibandingkan
terigu merk A dan B. Nilai GPI yang tinggi menunjukkan kekuatan gluten
maksimal. Berdasarkan analisis ragam ANOVA terhadap nilai GPI menunjukkan
tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) antara terigu merk A, B, dan C. Hasil
analisis GPI dari ketiga merk terigu dapat dilihat pada Tabel 12 dan hubungan
antara nilai SRC dan GPI dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 12 Nilai GPI dari ketiga merk terigu
Terigu
A
B
C

GPI
0.5289a
0.5315a
0.5692a

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)

17

Gambar 3 Grafik hubungan antara nilai SRC dan GPI
Berdasarkan hasil analisis SRC dan GPI dapat dilihat bahwa nilai GPI
berbanding lurus dengan nilai SRC asam laktat, namun berbanding terbalik
dengan nilai SRC sukrosa dan SRC natrium karbonat. Terigu untuk produksi
wafer membutuhkan penyerapan air yang rendah, jumlah pentosan yang rendah,
jumlah kerusakan pati yang rendah, dan kekuatan gluten minimal (Kweon et al.
2011). Terigu merk A merupakan merk terigu yang paling sesuai untuk digunakan
pada aplikasi pembuatan wafer dengan kemampuan penyerapan air yang rendah,
jumlah pentosan yang rendah, jumlah kerusakan pati rendah, dan kekuatan gluten
minimal. Menurut U.S. Wheat Crop Quality Seminars (2013), nilai referensi SRC
terigu protein rendah pada aplikasi produk wafer dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Nilai referensi SRC terigu protein rendah pada aplikasi produk wafer
(U.S. Wheat Crop Quality Seminars2013)
Pelarut
Air
Sukrosa
Natrium karbonat (pH 11)
Asam laktat (pH 2)

SRC (%)
Terigu untuk wafer
50–70
80–110
60–85
80–100

Keterangan:
Nilai SRC pelarut air, sukrosa, dan natrium karbonat dipilih nilai yang lebih rendah dari
tabel.
Nilai SRC pelarut asam laktat dibutuhkan nilai yang lebih tinggi dari tabel untuk
menghasilkan produk akhir yang lebih kuat.

18
Kekerasan Wafer
Tekstur merupakan faktor sensori yang penting untuk menghasilkan sensasi
trigeminal dari suatu produk saat dikonsumsi. Matz et al (1984) menjelaskan
bahwa mudah tidaknya bahan makanan itu hancur ditentukan oleh mudah
tidaknya partikel-partikel saling terpisah bila dikunyah. Wafer yang telah dibuat
kemudian diukur tingkat kekerasannya secara obyektif menggunakan alat Stable
Micro System Texture Analyzer TA-XT Plus. Kekerasan wafer diukur dengan
texture analyzer dan dinyatakan satuan gram gaya (gram force/gf). Semakin besar
resistensi untuk deformasi, maka semakin keras tekstur produk wafer. Hasil
analisis kekerasan wafer dari ketiga merk terigu yaitu berkisar antara 1610.70 gf
sampai 2049.57 gf. Kekerasan terendah terdapat pada adonan wafer terigu merk A
dan kekerasan tertinggi pada adonan wafer terigu merk C. Hasil analisis kekerasan
wafer dari ketiga merk terigu dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Nilai kekerasan wafer dari ketiga merk terigu
Terigu
A
B
C

Kekerasan (gf)
1610.70a
1784.29b
2049.57c

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)

Hasil analisis kekerasan wafer dari ketiga merk terigu yang diperoleh adalah
sekitar 1610.70–2049.57gf. Kekerasan terendah terdapat pada wafer dari terigu
merk A, sedangkan kekerasan tertinggi pada wafer dari terigu merk C.
Berdasarkan analisis ragam ANOVA dengan uji lanjut Duncan menunjukkan hasil
kekerasan wafer dari terigu merk A berbeda nyata (P0.05) pada tiap batch-nya. Wafer dari terigu merk B pada batch 2 berbeda
nyata (P0.05) dengan batch
3. Wafer dari terigu merk C pada batch 1 tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan
batch 2, namun berbeda nyata (P0.05)

19
Tabel 16 Nilai kekerasan wafer terigu merk B dari ketiga batch
Terigu
B

Batch
1
2
3

Kekerasan (gf)
1933.93a
1700.01b
1718.92b

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 17 Nilai kekerasan wafer terigu merk C dari ketiga batch
Terigu Batch
1
C
2
3

Kekerasan (gf)
2086.72a
2237.69a
1824.31b

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)

Uji Organoleptik Metode Rating Hedonik
Analisis sensori yang digunakan pada penelitian ini adalah uji hedonik. Uji
ini digunakan untuk menentukan tingkat kesukaan dan ketidaksukaan panelis
terhadap kekerasan wafer. Panelis yang digunakan sebanyak 30 dan panelis tidak
diperkenankan untuk membandingkan antar sampel. Uji rating hedonik yang
digunakan menggunakan skala kategori lima poin. Hasil uji rating hedonik
kekerasan produk wafer dari ketiga merk terigu disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Hasil uji rating hedonik kekerasan wafer dari ketiga merk terigu
Terigu
A
B
C

Skor kesukaan panelis terhadap atribut
kekerasan wafer
3.6a
3.7ab
3.8b

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)

Secara overall, hasil uji subyektif menunjukkan wafer yang dibuat dari
ketiga merk terigu dapat diterima tingkat kesukaannya terhadap atribut kekerasan
wafer dengan nilai tingkat penerimaan > 3.5. Nilai kesukaan secara keseluruhan
bernilai antara 3.6 sampai 3.8 (antara suka dan tidak suka hingga suka). Hasil uji
organoleptik menunjukkan wafer dari terigu merk C lebih disukai oleh panelis
dibandingkan wafer dari terigu merk A dan B.
Berdasarkan analisis ragam ANOVA dengan uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap kekerasan wafer dari terigu merk
A tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan wafer dari terigu merk B, namun berbeda
nyata (P0.05) pada tiap batch-nya. Hasil uji rating hedonik kekerasan wafer dari terigu
merk A, B, dan C dari ketiga batch dapat dilihat secara berturut-turut pada Tabel
19, 20, dan 21.
Tabel 19 Hasil uji rating hedonik kekerasan wafer terigu merk A dari ketiga batch
Terigu Batch
A

1
2
3

Skor kesukaan panelis terhadap atribut
kekerasan wafer
3.6a
3.6a
3.6a

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 20 Hasil uji rating hedonik kekerasan wafer terigu merk B dari ketiga batch
Terigu Batch
B

1
2
3

Skor kesukaan panelis terhadap atribut
kekerasan wafer
3.7a
3.8a
3.7a

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 21 Hasil uji rating hedonik kekerasan wafer terigu merk C dari ketiga batch
Terigu Batch
C

1
2
3

Skor kesukaan panelis terhadap atribut
kekerasan wafer
3.7a
3.9a
3.8a

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)

Korelasi Kekerasan Wafer secara Obyektif dan Subyektif
Pada Tabel 14 dan 18, dapat dibandingkan antara nilai kekerasan wafer
dengan skor kesukaan panelis terhadap atribut kekerasan wafer. Pada Tabel 14,
dapat dilihat bahwa wafer dari terigu merk A memiliki nilai kekerasan yang
paling rendah yaitu sebesar 1610.70 gf, sedangkan wafer dari terigu merk C
memiliki nilai kekerasan yang paling tinggi yaitu sebesar 2049.57 gf. Pada tabel
18, dapat dilihat bahwa wafer yang memiliki skor kesukaan terhadap atribut
kekerasan tertinggi adalah wafer yang dibuat dari terigu merk C dengan skor
kesukaan sebesar 3.8, sedangkan wafer yang memiliki skor kesukaan terhadap
atribut kekerasan terendah adalah wafer yang dibuat dari terigu merk A dengan

21
skor kesukaan sebesar 3.6. Dari dua analisis ini, dapat disimpulkan bahwa panelis
lebih menyukai produk wafer dengan tekstur yang lebih keras.
Hubungan antara nilai kekerasan wafer dan skor kesukaan panelis terhadap
atribut kekerasan wafer juga dapat dilihat darinilai kekerasan wafer yang lebih
tinggi memiliki skor kesukaan panelis terhadap atribut kekerasan wafer yang lebih
tinggi pula pada tiap batch-nya. Hubungan antara nilai kekerasan wafer secara
obyektif dan subyektif disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Grafik hubungan antara kekerasan wafer secara obyektif dan subyektif
Korelasi Kekerasan Wafer dengan Analisis Terigu
Kekerasan wafer juga dapat dikorelasikan dengan analisis terigu yang
dilakukan. Analisis terigu yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis fisik
yang meliputi viskositas adonan, SRC air, SRC sukrosa, SRC natrium karbonat,
SRC asam laktat, dan GPI. Masing-masing analisis terigu dilihat korelasinya
terhadap kekerasan wafer yang dihasilkan. Pada analisis viskositas adonan, nilai
kekerasan wafer cenderung meningkat dengan seiring meningkatnya viskositas
adonan. Kurva linearitas analisis viskositas adonan dengan tekstur wafer yang
dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 5.

22

Gambar 5 Kurva linearitas viskositas adonan dengan kekerasan wafer
Persamaan regresi linear yang diperoleh yaitu y = 1.145x - 6912.8 dengan
R2 sebesar 0.8637 (R2>0.50). Hasil persamaan regresi linear menunjukkan
viskositas adonan dengan kekerasan wafer yang dihasilkan memiliki linearitas
yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai viskositas adonan berpengaruh
terhadap kekerasan wafer yang dihasilkan. Hubungan viskositas adonan terhadap
tekstur akhir wafer adalah wafer dengan viskositas adonan yang terlalu encer
menghasilkan wafer dengan nilai kekerasan yang lebih rendah, namun apabila
viskositas adonan terlalu kental akan menghasilkan wafer dengan tekstur yang
lebih keras. Selain itu, adonan wafer yang terlalu kental akan sulit untuk
memenuhi seluruh luas permukaan baking plate karena adonan tidak tersebar
secara merata dan dapat menimbulkan kerusakan pada alat, sedangkan adonan
wafer yang terlalu encer dapat menyebabkan sheet wafer melengkung (U.S.
Wheat Associates 2006).
Nilai SRC air menunjukkan pengaruhnya terhadap daya serap air oleh
terigu. Terigu yang digunakan dalam produksi wafer adalah terigu jenis protein
rendah. Terigu protein rendah ini memiliki daya serap air yang rendah sehingga
akan menghasilkan adonan yang sukar diuleni, tidak elastis, dan daya
pengembangan yang rendah (Bennion 1980). Sifat tersebut cocok pada aplikasi
pembuatan wafer dimana tidak dibutuhkan daya pengembangan yang tinggi.
Kurva linearitas analisis SRC air dengan tekstur wafer yang dihasilkan dapat
dilihat pada Gambar 6.

23

Gambar 6 Kurva linearitas SRC air dengan kekerasan wafer
Persamaan regresi linear yang diperoleh yaitu y = 31.495x - 201.95 dengan
R2 sebesar 0.4608 (R2