Pengaruh Perbandingan Tepung Terigu dan Berbagai Jenis Mocaf Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia, dan Sensori Flat Wafer

  Tepung Mocaf Mocaf adalah singkatan dari Modified Cassava Flour yang berarti tepung

  singkong yang dimodifikasi. Secara definitif, mocaf adalah produk tepung dari singkong (Manihot esculenta Crantz) yang diproses menggunakan prinsip memodifikasi sel singkong secara fermentasi, dimana mikroba BAL (Bakteri Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung singkong ini. Mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong, sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi granula pati. Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-asam organik, terutama asam laktat. Hal ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Demikian pula, cita rasa mocaf menjadi netral dengan menutupi cita rasa singkong sampai 70% (Subagio, 2008).

  Mocaf dapat digunakan sebagai food ingredient dengan penggunaan yang sangat

luas. Mocaf tidak hanya bisa dipakai sebagai bahan pelengkap, namun dapat langsung

digunakan sebagai bahan baku dari berbagai jenis makanan, mulai dari mie, bakery,

cookies, hingga makanan semi basah. Tepung mocaf telah dilakukan pengujian dengan

  uji coba substitusi tepung terigu dengan mocaf dengan skala pabrik. Hasilnya menunjukkan bahwa hingga 15% mocaf dapat mensubstitusi terigu pada mie dengan mutu baik, dan hingga 25% untuk mie berkelas rendah, baik dari mutu fisik maupun organoleptik (Media Iptek, 2014).

  Komponen yang terdapat pada mocaf tidak sama persis dengan komponen yang terkandung pada tepung terigu, antara lain kandungan gluten yang tidak dimiliki tepung

  

mocaf tetapi dimiliki oleh tepung terigu sebagai bahan yang menentukan kekenyalan

  makanan. Mocaf mengandung sedikit protein karena berbahan baku singkong tetapi tepung terigu yang berbahan baku gandum memiliki kadar protein yang tinggi. Tepung

  

mocaf mengandung karbohidrat yang tinggi dan gelasi yang lebih rendah dibandingkan

  tepung terigu. Mocaf memiliki karakteristik derajat viskositas (daya rekat), kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan larut yang lebih baik dibandingkan tepung terigu (Salim, 2011). Adapun nilai proksimat mocaf dengan berbagai pengeringan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut .

  Tabel 1. Nilai proksimat mocaf dengan berbagai pengeringan Metode Pengeringan

  Tepung terigu Karakteristik Kimia protein rendah

  Matahari Hybrid Tungku Kombinasi Kadar air (%) 10,22 9,09 7,71 7,35

  12 Kadar protein (%) 1,29 1,04 1,27 1,35 8,9 Kadar lemak (%) 0,78 0,54 0,72 0,88 1,3 Kadar abu (%) 0,58 0,6 0,57 0,7 0,6 Karbohidrat

  Pati (%) 89,9 88,92 91,38 87,21 - Serat (%) 2,75 2,95 2,97 2,75

  2 Sumber : Ridwansyah dan Yusraini (2014) Keberadaan tepung mocaf sebagai alternatif dari tepung terigu, akan bermanfaat bagi industri pengolahan makanan nasional. Jenis dan karakteristik yang hampir sama dengan terigu, namun dengan harga yang jauh lebih murah membuat tepung mocaf menjadi pilihan yang sangat menarik. Berbagai jenis produk olahan tepung terigu yang bisa digantikan oleh tepung mocaf (Mocaf-Indonesia, 2009).

  Pengolahan tepung kasava termodifikasi secara teknis sangat sederhana, mirip dengan cara pengolahan tepung ubi kayu konvensional, namun disertai dengan proses fermentasi. Proses produksi tepung kasava termodifikasi dimulai dengan pengupasan kulit ubi kayu, pencucian sampai bersih, pengecilan ukuran, dilanjutkan dengan tahap fermentasi selama 12-72 jam. Setelah fermentasi, ubi kayu tersebut dikeringkan dan ditepungkan sehingga dihasilkan produk tepung kasava termodifikasi (Subagio, 2006).

  Metode Pengeringan Pengeringan merupakan proses penghilangan sejumlah air dari material. Dalam

pengeringan, air dihilangkan dengan prinsip perbedaan kelembaban antara udara

pengering dengan bahan makanan yang dikeringkan. Material biasanya dikontakkan

dengan udara kering yang kemudian terjadi perpindahan massa air dari material ke

udara pengering (Desrosier,1988).

  Pengeringan secara alami dilakukan dengan mudah yaitu dengan menjemur bahan yang akan dikeringkan di bawah sinar matahari. Panas yang dibutuhkan untuk menguapkan air produk bersumber dari udara sekitar bahan dan matahari. Namun menurut Nelwan (1997) di dalam Adawiyah (2007), terdapat beberapa kendala pada proses pengeringan alamiah yaitu memerlukan tempat yang relatif luas, proses pengeringan lambat karena sangat tergantung pada cuaca, tidak praktis dalam meletakkan dan mengangkat bahan serta dapat terkontaminasi atau tercampur dengan bahan asing atau kotor.

  Pengering buatan dilakukan dengan menggunakan panas tambahan. Keuntungannya antara lain yaitu tidak tergantung cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas, dan kondisi pengeringan dapat dikontrol (Widodo dan Hendriadi, 2004 di dalam Sulikah, 2007). Adapun pengering buatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu:

  Pengering efek rumah kaca (hybrid)

  Pemanfaatan radiasi surya untuk pengeringan pangan atau hasil pertanian dilakukan dengan tiga cara yaitu secara langsung, tidak langsung dan kombinasi antara keduanya. Pada cara langsung, dimana bahan pertanian langsung menerima radiasi matahari. Pada cara tidak langsung ialah panas dari radiasi matahari tidak langsung memanaskan bahan, tetapi melalui permukaan fluida (udara atau air). Sedangkan kombinasi antara keduanya merupakan bangunan tembus cahaya yang dilengkapi dengan absorber (Witarsa, 2004).

  Prinsip alat pengering surya tipe efek rumah kaca yaitu penggunaan bangunan transparan yang berfungsi sebagai penyekat sehingga memungkinkan radiasi gelombang pendek matahari untuk masuk dan menyekat keluar radiasi gelombang panjang. Iradiasi surya yang terperangkap akan menaikkan suhu di dalam ruang pengering, dan panas yang terjadi akibat gelombang pendek yang dipancarkan oleh matahari diserap oleh produk, plat absorber dan komponen yang ada di dalam ruang pengering tersebut, yang kemudian diubah menjadi gelombang panjang. Lapisan penutup transparan memungkinkan gelombang panjang dari bahan untuk tertahan di dalam bangunan transparan (Witarsa, 2004).

  Gambar 1. Pengering Surya

  • Pengering Tungku

  Pemanfaatan energi dari sisa panas tungku penggorengan dapat digunakan sebagai

alternatif menggantikan energi yang berasal dari BBM dan bentuk diversifikasi energi

dari UKM sehingga proses pengeringan tidak tergantung pada kondisi cuaca, cepat dan

berkelanjutan. Selain itu metode pengeringan tungku ini memanfaatkan sisa panas dari

tungku penggorengan, kadar air dan mutu tepung kasava yang dihasilkan sangat

dipengaruhi oleh jumlah kayu bakar yang digunakan (Ridwansyah dan Yusraini, 2013).

  Gambar 2. Pengering Tungku Hasil penelitian Ridwansyah dan Yusraini menunjukkan pengeringan chips singkong pada pembuatan mocaf dengan pengeringan matahari, suhu udara rata-rata

  o

  adalah 36-46 C sedangkan suhu udara pada alat pengering buatan dengan sumber energi

  o

  panas dari tungku penggorengan ini dapat diatur agar selalu konstan yaitu 50-60 C. Suhu diatur agar tidak terlalu tinggi, sehingga diperoleh gaplek singkong kering dengan mutu yang baik. Pengeringan gaplek dengan alat ini setelah 4 jam menghasilkan gaplek kering dengan kadar air 13,5% sedangkan penjemuran matahari dengan waktu 18 jam menghasilkan kadar air 12,64%. Hasil pengamatan menunjukkan pemanfaatan energi panas dari tungku penggorengan dengan cara menutup tungku justru dapat mengurangi penggunaan kayu bakar hingga 30%. Oleh karena itu pemanfaatan energi panas dari tungku penggorengan ini justru memberikan 2 manfaat yaitu sebagai sumber energi untuk alat pengering serta mengurangi pemakaian kayu bakar (Julianti, dkk., 2011).

  Penggunaan alat pengering buatan dengan memanfaatkan sisa panas tungku penggorengan keripik sebagai sumber energi akan disempurnakan dengan perbaikan proses meliputi pengontrolan suhu dengan menggunakan termokopel dan termostart,

  2

  sedangkan alat pengering hybrid yang digunakan mempunyai ukuran 10 x 8 m dengan tinggi 2,4 m dan jumlah rak 60 ukuran 1 x 1 m. Suhu rata-rata dari pengeringan hybrid

  o ini berkisar 55-60 C (Riwansyah dan Yusraini, 2014).

  Hasil penelitian Ridwansyah dan Yusraini (2013) menunjukkan bahwa kadar air dari proses pengeringan dengan menggunakan sinar matahari 10,22%, pengeringan hybrid 9,09%, tungku 7,71% dan kombinasi hybrid dan tungku 7,35%. Derajat putih tertinggi dihasilkan dari metode pengeringan tungku 94,45% BaSO

  4 dan yang terendah

  pada metode pengeringan kombinasi 91,64% BaSO

  4 . Baking expansion tertinggi

  dihasilkan dari metode pengeringan hybrid 0,92 ml/g sedangkan yang terendah pada metode tungku 0,74 ml/g. Kadar air tepung kasava yang paling rendah diperoleh dari metode pengeringan kombinasi dan tungku, hal ini disebabkan pengeringan ini menggunakan sisa panas dari penggorengan keripik sehingga suhu pengeringan konstan dikisaran 45-60

  C. Daya serap air dan minyak untuk masing-masing metode memberikan hasil berbeda tidak nyata. Daya serap air dan minyak untuk tepung kasava termodifikasi juga tidak berbeda jauh dengan tepung ubi kayu tanpa fermentasi yang menghasilkan daya serap air dan minyak masing-masing 1,20 (g/g) dan 1,26 (g/g).

  Derajat putih tepung kasava termodifikasi juga menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara metode pengeringan tungku terhadap metode pengeringan hybrid dan kombinasi.

  Derajat putih tertinggi didapat pada metode pengeringan tungku sedangkan yang terendah didapat pada metode pengeringan kombinasi. Nilai baking expansion berbeda nyata pada metode pengeringan tungku terhadap ketiga metode pengeringan.

  Tepung Terigu

  Tepung terigu digunakan pada produk olahan pangan. Tepung terigu merupakan tepung yang berasal dari bahan dasar gandum yang diperoleh dengan cara penggilingan gandum yang banyak digunakan dalam industri pangan. Komponen yang terbanyak dari tepung terigu adalah pati, sekitar 70% yang terdiri dari amilosa dan amilopektin.

  Besarnya kandungan amilosa dalam pati ialah sekitar 20% dengan suhu gelatinisasi 56 - 62 (Belitz dan Grosch, 1987).

  Tepung terigu merupakan bahan dasar dalam pembuatan roti dan mie. Keistimewaan terigu diantara serealia lain adalah kemampuannya membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Gluten digunakan sebagai bahan tambahan untuk mempertinggi kandungan protein dalam roti. Biasanya mutu terigu yang dikehendaki

  • – adalah terigu yang memiliki kadar air 14%, kadar protein 8 - 12%, kadar abu 0,25 0,60% dan gluten basah 24 – 36% (Astawan, 2004).

  Protein tepung gandum sangat unik, dimana bila tepung gandum dicampur dengan air dalam perbandingan tertentu, maka protein akan membentuk suatu massa atau adonan koloidal yang plastis. Hal tersebut dapat menahan gas dan akan membentuk suatu struktur spons bila dipanggang untuk mencapai suatu kehalusan yang memuaskan.

  Jenis tepung gandum yang berbeda memerlukan jumlah pencampuran (air) yang berbeda (Desrosier, 1988).

  Tepung Komposit

  Tepung campuran (composite flour) yakni tepung campuran dari beberapa jenis tepung (substitusi) untuk menghasilkan produk dengan sifat fungsional yang hampir mendekati sifat bahan dasar produk aslinya. Dalam hal ini upaya untuk menekan ketergantungan dari tepung terigu (Khudori, 2008).

  Fortifikasi tepung dengan menggunakan protein seperti protein kedelai, konsentrat protein ikan juga sering dilakukan terutama di Amerika Selatan. Protein- protein ini dari segi gizi merupakan unsur yang dikehendaki dalam tepung serealia, bukan hanya karena meningkatkan kandungan protein, tetapi juga memperbaiki komposisi asam amino, terutama lisin dalam protein. Protein-protein ini bila ditambahkan sampai sekitar 12% dari berat tepung, dapat merusak sifat-sifat reologis tepung gandum, misalnya volume roti kecil dan roti yang dibuat dari campuran tepung dan protein semacam itu mempunyai struktur remah (Buckle, dkk., 2009).

  Setiap tepung mempunyai sifat fisik dan kimia yang sangat beragam. Ini dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia patinya. Sifat-sifat ini juga akan mempengaruhi produk makanan yang dihasilkan, mencampur atau mengkombinasikan satu macam tepung dengan tepung lain diharapkan akan menghasilkan produk makanan dengan mutu yang baik, ditinjau dari komposisi maupun penampilan produknya (Haryadi, 1989).

  Wafer

  Wafer merupakan salah satu jenis biskuit. Biskuit merupakan istilah yang menunjukkan kepada sekelompok makanan ringan (snack food) berkadar air rendah dengan tekstur renyah, terbuat dari campuran tepung, shortening (lemak), gula, air, (Savitri, 2000). Komposisi produk biskuit sangat beragam, namun demikian hampir semua produk biskuit mengandung air berkisar antara: 0,7% - 6,7%: lemak 1,9% - 30,7%; protein 5,0% - 45%; gula (sukrosa) 1,0% - 44,7%; abu 0,0% - 1,0%; garam (NaCl) 0,2% - 3,1% (Paul dan Southgate, 1978).

  Manley (1983) membagi biskuit berdasarkan pada perbandingan air dan lemak, perbandingan antara jumlah bagian lemak terhadap tepung serta jumlah bagian gula terhadap tepung. Perbandingan antara air dan lemak digunakan untuk mengklasifikasi jenis adonan. Perbandingan antara jumlah bagian lemak dan gula terhadap jumlah bagian tepung digunakan untuk mengklasifikasikan produk akhir (Tabel 2).

  Wafer adalah sejenis biskuit yang tipis, dengan ketebalan antara 1

  • – 4 mm, yang mempunyai struktur lembut dan renyah. Wafer tidak seperti jenis biskuit lainnya baik dalam bentuk maupun pengolahannya. Wafer dibuat dengan proses pemanggangan yang sangat cepat, campuran bahan-bahannya tidak disebut dough (adonan) melainkan batter yang merupakan campuran likuid yang terdiri atas tepung, air, bahan pengembang dan sejumlah kecil bahan lain.Wafer dipanggang diantara dua lempengan datar yang terbuat dari besi atau baja dan lempeng chromium. Kedua lempeng tersebut disambungkan pada satu sisi dan dikancingkan sehingga dapat tertutup dengan baik (Almond, dkk., 1991). Tabel 2. Klasifikasi biskuit

  Jenis Biskuit Deskripsi Crackers Kandungan gula sedikit, kandungan lemak bervariasi, tergantung tekstur yang diinginkan.

  Semi sweet Kandungan gula sedang, kandungan lemak rendah, tekstur keras, dan manis. Short sweet Kandungan gula maupun lemak tinggi, jenis produknya beragam.

  Kandungan lemak maupun gula lebih tinggi

  Cookies/Rich short sweet

  daripada short sweet

  Snaps & cruches Kandungan gula sangat tinggi, tekstur sangat

  keras

  Sumber : Mainley (1983)

  Menurut Dogan (2006), wafer yang ada di pasaran biasanya dalam bentuk lembaran datar yang besar yang dilapisi krim sebelum pemotongan dan mungkin juga dilapisi lagi dengan cokelat. Bahan adonan wafer terdiri dari gula, tepung terigu, air, garam, lemak, dan bahan lainnya. Faktor terpenting yang mempengaruhi tekstur wafer adalah tepung terigu. Almond, dkk., (1991) menyatakan formula wafer terdiri atas sekitar 40% tepung dan 60% air dengan sedikit minyak sayur, garam, lechitin, aerating

  

agent (soda bikarbonat) dan gula serta pewarna. Kandungan air yang tinggi

  mengakibatkan komposisi lain tercampur hingga halus. Proses mixing harus dilakukan dengan cepat pada suhu yang rendah untuk mencegah kemungkinan batter (adonan) mengeras dan sebaiknya batter digunakan setelah 10 sampai 30 menit setelah mixing.

  Secara umum menurut Faridi (1994) komposisi kimia biskuit setiap 100 g dapat dilihat pada Tabel 3.

  Tabel 3. Komposisi kimia biskuit per 100 g bahan

  Kandungan Jumlah

  Kalori (kkal) 458

  Air (%) 2,2

  Karbohidrat (%) 75,1 Protein (%)

  6,9 Lemak (%)

  14,4 Vit B1 (mg)

  0,09 Besi (mg)

  2,7 Kalium (mg)

  62 Fosfor (mg)

  87 Sumber : Faridi (1994)

  Bahan Tambahan Pembuatan Wafer Susu UHT

  Susu UHT (Ultra High Temperature), dibuat dari susu cair yang dipanaskan dengan suhu ± 137°C. Praktis, karena awet dan tahan berbulan-bulan tanpa disimpan dalam lemari es. Beberapa zat/substansi yang terkandung dalam susu mempunyai pengaruh pada adonan adalah lemak menunjang elastisitas adonan. Mineral dan protein membantu dalam penguatan gluten (Faridah, dkk., 2008).

  Gula

  Gula merupakan salah satu jenis pemanis yang banyak digunakan dalam setiap pengolahan pangan. Gula mempunyai pengaruh penambah cita rasa yang nyata. Selain sebagai penambah cita rasa, gula juga banyak digunakan dalam pengawetan buah- buahan dan sayur-sayuran. Gula ditambahkan pada jenis roti tertentu untuk melengkapi karbohidrat yang ada untuk fermentasi dan untuk memberikan rasa yang lebih manis. Tapi gula lebih banyak dipakai untuk pembuatan kue dan biskuit dimana selain rasa manis gula juga mempengaruhi tekstur. Jadi jumlah gula yang tinggi membuat remah kue lebih lunak dan lebih basah, dan pada biskuit juga bersifat melunakkan (Buckle, dkk., 2009).

  Garam

  Garam dalam pembuatan wafer berfungsi sebagai penambah rasa gurih, pembangkit rasa bahan-bahan lainnya, dan penambahan kekuatan gluten. Pengolahan bahan makanan yang dilakukan dengan pemberian garam dapat mencegah kerusakan bahan pangan. Syarat garam yang baik dalam pembuatan wafer adalah harus 100% larut dalam air, jernih, bebas dari gumpalan-gumpalan dan bebas dari rasa pahit (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).

  Margarin

  Margarin merupakan produk turunan dari lemak nabati yang merupakan emulsi air dalam lemak yang mengandung minimal 80 % lemak. Adanya provitamin A (beta- karoten) memberikan warna kuning pada margarin sehingga jika digunakan dalam proses pengolahan dapat berkontribusi pada pembentukan warna kuning dari produk yang dihasilkan. Margarin banyak digunakan dalam proses pengolahan pangan. Margarin digunakan dalam formulasi produk seperti roti, biskuit, kue kering, dimana margarin berfungsi dalam pembentukan tekstur yang lembut dan beraroma (Kusnandar, 2010).

  Telur

  Dalam penggunaan telur di dalam formula wafer harus diperhitungkan kadar air yang terkandung dalam telur itu. Kuning telur adalah bagian yang lebih padat yang terkandung di dalamnya dan mengandung hampir semua fat dari telur itu. Kuning telur mengandung lechitin, ini berfungsi sebagai emulsifier. Meskipun bentuknya padat, kuning telur mengandung kadar air sebanyak 50%. Putih telur mengandung 86% air di dalamnya. Biasanya putih telur yang lebih dekat ke kuning telur lebih kental sifatnya daripada putih telur yang dekat dengan kulit telur (Sutrisno, 2009).

  Baking powder Baking powder berfungsi untuk meningkatkan kerenyahan kue kering, selain itu

baking powder juga berfungsi untuk membentuk volume, mengatur aroma dan rasa,

mengendalikan penyebaran dan pengembangan kue, dan juga menjadikan kue kering

lebih ringan. Penggunaan baking powder dalam jumlah yang berlebihan akan

menyebabkan kue menjadi terlalu mengembang dan menghasilkan rasa yang pahit

(Suyarni, dkk., 2006).

  Studi Pendahuluan yang Telah Dilaksanakan

  Penelitian yang sebelumnya telah dilakukan adalah pembuatan wafer dari ampok jagung termodifikasi yang dilakukan oleh Dharma (2011). Penelitian ini bertujuan untuk memanfaaatkan ampok termodifikasi menjadi produk pangan olahan (expanded food product) dalam bentuk wafer dan mengetahui sifat fisik dan kimia wafer serta penerimaan konsumen terhadap wafer. Wafer dibuat dengan campuran ampok termodifikasi dengan tepung terigu dengan perbandingan 1 : 1 dan 1 : 3.

  Hasil penelitian menunjukkan nilai kekerasan wafer tertinggi diperoleh dari wafer dengan perlakuan A C (ampok modifikasi enzimatis inkubasi t = 6 jam,

  6

  2

  pragelatinisasi ω = 8 rpm ; 50% ampok) sebesar 1909,76 gf, sementara nilai kekerasan terkecil diperoleh dari perlakuan A

  1 C 2 (ampok modifikasi enzimatis inkubasi t = 0 jam,

  pragelatinisasi ω = 4 rpm ; 50% ampok) sebesar 980, 71 gf. Kekerasan ampok dipengaruhi oleh jenis ampok. Nilai kerenyahan dan kekerasan wafer ampok lebih tinggi daripada produk komersil. Kadar air wafer berada antara 3,68% - 7,34% (bk). Kadar abu wafer relatif tinggi antara 2,56% - 3,29%(bk). Kadar protein berada antara 9,91% - 11,33% (bk). Kadar lemak wafer berada antara 19,63% (bk) - 21,86% (bk).

  Kadar serat wafer ampok tergolong tinggi yakni 11,60% (bk) hingga 17,96% (bk). Sementara kadar karbohidrat tergolong rendah yakni 44,51% (bk) hingga 51,37% (bk). Uji organoleptik menunjukkan penerimaan panelis terhadap wafer ampok berada pada kisaran netral. Wafer yang paling disukai berasal dari formula C

  1 (25% ampok),

  sementara wafer formula C

  2 (50% ampok) kurang diminati. Kadar ampok yang ditambahkan mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap wafer.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pernafasan - Perbedaan Inklinasi Insisivus Pada Pasien Maloklusi Klas I Dan Klas II Skeletal Dengan Pola Pernafasan Normal dan Pernafasan Melalui Mulut

0 0 12

Perbedaan Inklinasi Insisivus Pada Pasien Maloklusi Klas I Dan Klas II Skeletal Dengan Pola Pernafasan Normal dan Pernafasan Melalui Mulut

0 0 14

1. Mohon kesediaan Saudara untuk mengisi angket dengan memberikan identitas dan jawaban Saudara. 2. Berilah tanda silang (X) pada jawaban yang menurut Saudara paling tepat. - Pengaruh Pemberian Tugas Oleh Guru Kepada Siswa Terhadap Pemanfaatan Koleksi Pad

1 1 31

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perpustakaan Sekolah - Pengaruh Pemberian Tugas Oleh Guru Kepada Siswa Terhadap Pemanfaatan Koleksi Pada Perpustakaan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Medan

0 0 29

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Daya Terima Beras Analog Dari Tepung Ubi Kayu Sebagai Pangan Pokok Di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupate Dairi Tahun 2014

0 0 7

Respons Pertumbuhan Bibit Mucuna (Mucuna Bracteata D.C) Secara Stek Pada Media Tanam Limbah Kelapa Sawit dan Mikoriza

0 0 7

Respons Pertumbuhan Bibit Mucuna (Mucuna Bracteata D.C) Secara Stek Pada Media Tanam Limbah Kelapa Sawit dan Mikoriza

0 0 15

Survei Pengaruh Budidaya Tanaman Kelapa Terhadap Persentase Serangan Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera;Scarabaeidae) di Kecamatan Hamparan Perak

0 0 13

Pengaruh Konsentrasi Tepung Wortel (Daucus carota) pada Pakan Terhadap Peningkatan Warna Ikan Maskoki (Carassius auratus)

0 0 12

Pengaruh Perbandingan Tepung Terigu dan Berbagai Jenis Mocaf Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia, dan Sensori Flat Wafer

0 0 18